Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Komplikasi yang berlangsung berhubungan dengan tindakan

anesthesia

dapat mengenai semua organ secara garis besar, komplikasi ini berbentuk trauma
primer (akibat tindakan anestesi), trauma sekunder sebagai akibat perubahan
fisiologi karena tindakan

arbiturat, gangguan faal organ (kesalahan manajemen

cairan, penggunaan obat-obat yang toksik bagi organ tertentu), atau kegagalan
manajemen pernafasan.
Secara garis besar ada empat hal yang harus diperhatikan pada pasien pasca
anestesi, yaitu: masalah pernapasan, kardiovaskuler, keseimbangan cairan,
persarafan, perkemihan, dan gastrointestinal (Abrorshodiq, 2009). Harus
diperhatikan bahwa komplikasi anestesi yang tidak segera ditangani akan
berdampak kematian bagi pasien. Beberapa komplikasi lain yang mungkin terjadi
antara lain: pernapasan tidak adekuat, pneumotorakis, atelektasis, hipotensi, gagal
jantung, embolisme pulmonal, pemanjangan efek

arbitur premedikasi,

arbiturat jantung, cedera kepala, sianosis, konfulsi, mual muntah, embolisme


lemak dan keracunan

arbiturate (Ellis & Campbell, 1986).

Komplikasi anestesi jarang terjadi, namun dapat mengancam jiwa


(Abrorshodiq,2009). Laporan umum mencatat kejadian kematian pada waktu atau
segera setelah operasi di beberapa rumah sakit di Amerika rata-rata 0,2% - 0,6%
dari operasi dan kematian yang disebabkan oleh anestesi 0,03% - 0,1% dari
seluruh anestesi yang diberikan (Admin, 2007). Campbell (1960) menambahkan
bahwa kematian yang terjadi pada waktu operasi atau segera setelah operasi dari
laporan kejadian karena anestesi sangat bervariasi dari 5% sampai 50%.

I.2 Tujuan
Tujuan pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui komplikasi
obat-obatan anestesi dan tindakan anestesi pada berbagai sistem organ tubuh,
pencegahan, dan penatalaksanaan komplikasi anestesi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kecelakaan anestetik dapat dikelompokkan menjadi yang dapat dicegah


dan yang tidak dapat dicegah. Berbagai contoh yang tidak dapat dicegah antara
lain sindrom kematian mendadak, reaksi obat idiosinkratik fatal, atau setiap akibat
buruk yang terjadi walaupun telah dilakukan penatalaksanaan yang sesuai. Namun
demikian, penelitian pada kematian yang terkait-anestetik atau hampir meninggal
menunjukkan bahwa sebagian besar kecelakaan tersebut dapat dicegah.
Tabel 1. Kesalahan manusia umum yang menyebabkan kecelakaan anestetik yang
dapat dicegah.
Putusnya sirkuit pernapasan yang tidak diketahui
Kesalahan pemberian obat
Kesalahan penatalaksanaan jalan napas
Penyalahgunaan mesin anestesia
Mesalahan penatalaksanaan cairan
Putusnya jalur intravena
Tabel 2. Malfungsi peralatan umum yang menyebabkan kecelakaan anestetik yang
dapat dicegah
Sirkuit pernapasan
Alat pemantauan
Ventilator
Mesin anestesia
Laringoskop

Tabel 3. Berbagai faktor yang berkaitan dengan kesalahan manusia dan


penyalahgunaan peralatan.
Faktor

Contoh

Persiapan yang tidak adekuat

Tidak dilakukan pemeriksaan mesin atau


evaluasi praoperasi; tergesa-gesa dan tidak
hati-hati

Pengalaman dan pelatihan yang tidak Ketidakpahaman


adekuat

peralatan anestetik

Keterbatasan lingkungan

Ketidakmampuan

dengan

untuk

teknik

atau

memvisualisasi

lapangan pembedahan: komunikasi yang


kurang dengan ahli bedah
Faktor fisik dan emosional

Kelelahan: masalah pribadi.

Pencegahan
Berbagai strategi untuk mengurangi insidens komplikasi anestetik yang
serius meliputi pemantauan dan teknik anestetik yang lebih baik, pendidikan yang
lebih baik, protokol dan standar praktik yang lebih menyeluruh, dan program
penatalaksanaan risiko yang aktif. Pemantauan dan teknik anestetik yang lebih
baik termasuk kontak dengan pasien yang lebih dekat, peralatan pemantauan yang
lebih menyeluruh, dan mesin dan ruang kerja anestesia yang dirancang dengan
lebih baik. Fakta bahwa sebagian besar kecelakaan terjadi selama fase
pemeliharaan anestesiadari pada selama induksi atau emergensitermasuk
kegagalan dalam kewaspadaan. Inspeksi, auskultasi, dan palpasi pada pasien
memberikan informasi yang penting. Peralatan sebaiknya memberikan tambahan
namun

jangan

menggantikan

indera

ahli

anestesiologi

sendiri.

Untuk

meminimalkan kesalahan dalam pemberian obat, syring dan ampul obat di dalam
wilayah kerja sebaiknya hanya diberikan pada mereka yang membutuhkan pada
kasus terbaru dan spesifik. Obat-obat ini secara konsisten harus selalu diencerkan
sampai mencapai konsentrasi yang sama untuk setiap penggunaan dan diberikan

lebel dengan jelas. Sistem komputer untuk pemindaian label obat yang berkodekhusus telah dikembangkan untuk membantu mengurangi kesalahan medis.
Komplikasi yang terjadi pada periode perioperatif dapat dicetuskan oleh
tindakan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien (Thaib, 1989). Komplikasi
segera dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian segera ataupun
belakangan setelah pembedahan.
Komplikasi anestesi dapat terjadi selama/durante anestesi atau pasca
anestesi
Komplikasi Durante Anestesi
1. Respirasi : obstruksi jalan nafas, respirasi abnormal, batuk, apnea,
singultus, spasme (laryngospasm, bronchospasm)
2. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, emboli, disritmia sampai
cardiac arrest
3. Thermic : hypothermia, hyperthermia
4. Kesadaran selama operasi
Komplikasi Pasca Anestesi
1. Respirasi : atelectase, pneumothorax, hiccup, aspirasi pneumonitis
2. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, decompensatio cordis
3. Mata : laserasi kornea, blepharospasm
4. Cairan tubuh : hipovolemia, hipervlemia
5. Neurologi : kejang, bangun lambat, trauma syaraf perifer
6. Mengigil
7. Malignant hyperthermia
8. Mimpi buruk
9. Gaduh-gelisah
10. Muntah

II.1 Komplikasi Anastesia Umum


Dalam anestesia umum ada beberapa hal yang berpotensi menyebabkan
morbiditas atau mortalitas diantaranya adalah hilangnya kemampuan pasien untuk
mempertahankan sendiri kehidupannya termasuk bernafas. Komplikasi pernafan

merupakan kasus morbiditas dan mortalitas intra maupun pasca bedah yang sering
dilaporkan. Komplikasi pada sistem pernafasan menyangkut juga komplikasi jalan
nafas. Sebagian besar ini akibat kegagalan manajemen jalan nafas. Kegagalan
manjemen jalan nafas bahkan dapat fatal sebelum tindakan bedah dilakukan.
Diantaranya disebabkan false route intubation, atau intubasi esophageal.
Komplikasi lain adalah regurgitasi isi lambung yang menyebabkan
pneumonia aspirasi. Hal ini biasanya terjadi pada pasien yang tidak puasa atau
yang terganggu pengosongan lambungnya.
Beberapa tindakan anestesi menyebabkan stimulus nyeri yang dapat
berbahaya jika tidak diantisipasi. Peningkatan tonus simpatis akibat nyeri dapat
menyebabkan hipertensi bahkan cerebrovaskuler accident, terutama pada pasien
yang sudah menderita hipertensi pra bedah. Nyeri juga faktor penyebab yang
signifikan untuk spasme koroner, krisis hipertensi pulmonal, atau hipercyanotic
spell. Aktivitas simpatis juga dapat mencetuskan aritmia jantung, apalagi jika
sebelumnya sudah ada ketidakseimbangan elektrolit.
Ketidakcermatan dalam manjemen cairan intraoperatif juga dapat fatal, seringkali
tanpa disadari. Hipovolemia yang berat hingga menyebabkan hipotensi cukup
mudah dideteksi akan tetapi hipovolemia yang terjadi perlahan, seringkali lolos
dari perhatian, apalagi jika ahli anestesiologi hanya mengandalkan normalnya
tekanan darah. Penyebab komplikasi sistem respirasi adalah multifaktorial. Resiko
ini meningkat pada pasien geriatri, pasien dengan kebiasaan merokok, lamanya
anestesia berlangsung, jenis operasi, keadaan umum yang buruk, dan tentu saja
pasi en dengan adanya penyakit paru atau kesulitan jalan nafas sebelum operasi.

II.1.1 Komplikasi Jalan Nafas


Hampir semua komplikasi jalan nafas berupa trauma, ketika melakukan
ventilasi dengan sungkup atau bag, jika tidak cermat lidah pasien dapat tergigit.
Oleh karena itu sekarang dianjurkan menggunakan sungkup muka yang bewarna

transparan karena selain dapat melihat lidah yang tergigit juga dapat melihat jika
pasien muntah.
Trauma jalan nafas (atas) dapat terjadi jika memasukkan alat bantu,
misalnya pipa orofaring (guedel) atau pipa nasofaringeal. Trauma jalan nafas yang
paling sering terjadi berhubungan dengan tindakan laringoskopi dan intubasi.
Mulai yang ringan (gigi tanggal, laserasi sudut mulut) hingga cedera glotis dan
jaringan lunak sekitarnya. Pada tindakan laringoskopi bahkan dapat terjadi
dislokasi dan subluksasi aritenoid.
Laringoskopi semakin traumatis jika pasien memang memiliki anatomi
yang sulit. Namun demikian, pasien dengan anatomi normalpun dapat mengalami
ini. Oleh karena itu, gindakan laringoskopi barus dilakukan sehalus mungkin,
sesingkat mungkin. Harus dipastikan juga analgesia (sistemik atau topikal)
bekerja adekuat.
Intubasi dengan pipa endotracheal (endotracheal tube atau ETT) serig
menyebabkan trauma dan kerusakan struktur jalan nafas atas. Terutama jika
intubasi dilakukan dalam keadaan pasien tetap bernafas spontan, ETT dapat
mencederai pita suara atau menyebabkan laringospasme. Penggunaan balon (cuff)
ETT juga dapat meninbulkan trauma terutama jika ukuran ETT sangat ketat di
trakea atau balon dikembangkan terlalu besar. Pada kasus yang berat bahkan dapt
menyebabkan kelumpuhan pita suara akibat tekanan pada saraf laringeus
reccurens. Pasca bedah, setelah ekstubasi terkadang baru disadari ada
pembengkakan di jalan nafas. Edema laring atau laringospasme pasca ekstubasi
dapat menjadi masalah besar karena dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas.
Edema laring dapat diatasi dengan pemberian O2 yang dilembabkan, epinefrin,
posisi kepala diangkat, bila perlu dilakukan intubasi ulang dengan pipa
endotracheal yang lebih kecil. Meskipun kontroversial, seringkali diberikan
steroid parenteral untuk mengurangi edema ini. Laringospasme dapat diatasi
dengan pemberian O2 tinggi melalui tekanan positif. Pada kasus yang berat dapat
diberikan pelumpuh otot.

Keberadaan ETT di trakea juga dapat merupakan iritan bagi pasien-pasien


yang sensitif. Pasien dengan hiperaktivitas bronkus atau asma bronkhial mudah
terpicu serangan oleh karena ETT ini. Jika ETT terlalu dalam dan masuk ke salah
satu bronkus pun, serangan asma dapat terjadi. Untuk pada kasus yang berat
bahkan menyebabkan atelektasis satu paru.
Pembesaran lambung dapat mendorong diafragma ke sefalat, mengganggu
ventilasi. Pernah terjadi kasus henti jantung akibat hiperkapnia karena kebocoran
sungkup laring ini. Oleh karena itu, sangat penting menggunakan kapnografi,
melakukan pemeriksaan berkala pada pasien dan sesekali membantu pernafasan
secara mekanik, meski pasien bernafas spontan.
CEDERA JALAN NAPAS
Pemasukan selang endotrakeal sehari-hari, jalan napas masker laring, jalan
napas

oral/nasal,

selang

gastrik,

probe

ekokardiogram

transesofageal

(transesofageal echocardiogram, TEE), dilator esofageal (boogie), dan jalan


napas darurat semuanya melibatkan risiko kerusakan struktur jalan napas.
Cedera jalan napas permanen yang paling umum adalah trauma gigi. Pada
kebanyakan kasus, laringoskopi dan intubasi endotrakeal terlibat, dan gigi seri
atas adalah yang paling sering terkena cedera.Faktor risiko utama untuk trauma
gigi termasuk intubasi trakeal, gigi geligi yang kurang baik sebelumnya, dan
karakteristik pasien yang berkaitan dengan penatalaksanaan jalan napas sulit
(termasuk pergerakan leher yang terbatas, pembedahan kepala dan leher
sebelumnya, kelainan kraniofasial, dan riwayat intubasi sulit).
Secara

umum,

yang

paling

tidak

serius

adalah

cedera

sendi

temporomandibular (temporomandibular joints, TMJ), yang semuanya berkaitan


selain dengan intubasi yang tidak dipersulit dan terjadi sebagian besar pada wanita
yang lebih muda dari 60 tahun.
Cedera laringeal terutama melibatkan paralisis pita suara, granuloma, dan
dislokasi aritenoid. Sebagian besar cedera trakeal berkaitan dengan trakeotomi
pembedahan darurat, namun beberapa berkaitan dengan intubasi endotrakeal.

Meminimalkan risiko cedera jalan napas dumulai pada penilaian praoperasi.


Dokumentasi gigi geligi terakhir (termasuk kerja gigi) harus dimasukkan.

II.1.2 Komplikasi Sistem Pernafasan


Komplikasi yang dapat fatal dalam waktu singkat adalah hipoksemia berat.
Hipoksemia berat dapat diakibatkan kegagalan menagemen jalan nafas, baik
karena anatomi sulit, false route, obstruksi, atau kesalahan pengaturan ventilasi
atau oksigen. Hipoksemia juga dapat terjadi karena hal-hal yang sepele seperti
diskoneksi ETT dengan sumber gas, bocornya sirkuit nafas, fraksi O2 yang rendah
atau pengaturan ventilasi semenit yang kurang dari seharusnya.
Obstruksi jalan nafas dapat terjadi karena beberapa faktor diantaranya
adalah tertekuknya pipa endotrakeal atau tersumbatnya pipa endotrakeal oleh
mukus, darah, benda asing atau pelumas. Pipa endokrakeal non kinkin dapat
mencegah terjadinya pipa yang tertekuk, oleh karena itu penggunaannya
dianjurkan pada pasien yang lama, operasi mulut, atau operasi yang memerlukan
posisi khusus. Balon pipa endotracheal yang dikembangkan secara berlebihan
juga dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Balon ini dapat menekan ujung
pipa pada dinding trakea, yang kemudian akan menyumbatnya.

II.1.3 Komplikasi Sistem Kardiovaskular


Berbagai komplikasi kardiovaskular sangat mudah terjadi selama anastesi
umum. selain peningkatan aktivitas simpatis, aktivitas parasimpatispun dapat
terjadi. umumnya peningkatan tonus para simpatis ini berbentuk refleks vagal.
Bradikardi adalah efek dari tonus vagal yang meningkat, biasanya di picu oleh
stimulus nyeri pada anastesia yang kurang dalam.
Perubahan irama jantung juga dapat terjadi, salah satunya adalah aritmia
intraoperatif, sebagian disebabkan karena peningkatan aktivitas simpatis,

kemungkinan

lain

karena

adanya

ketidakseimbangan

elektrolit,

semua

abnormalitas kadar elektrolit berpotensi menyebabkan aritmia.


Sebagian besar obat anestetik bersifat vasodilator dengan gradasi berbedabeda, yang dapat menyebabkan hipotensi. Semakin dalam anestesia, semakin
rendah pula tekanan darah. Jika pasien dalam kondisi hipovolemia tentu hipotensi
lebih mudah terjadi dan dapat berat. Dalam operasi emergensi (misalnya untuk
bleeding source control) dan menghadapi pasien yang dalam kondisi syok
hipovolemia, selain harus diusahakan resusitasi cairan secepatnya juga harus
dipilih obat anestesi yang tidak terlalu mendepresi sistem kardiovaskular. Pada
pasien dengan penyakit jantung coroner (coronary artery disease, CAD), kondisi
syok hipovolemia sangat mudah menyebabkan infark miokard akut yang fatal.
keadaan hipotensi - hipovolemi (menurunkan suplai oksigen ke miokard) dan
takikardi sebagai kompensasi hipovolemia (meningkatkan oksigen demand
miokard) adalah kombinasi terburuk CAD. Iskemia dan infark miokardakut juga
dapat terjadi setelah hipoksia berulang akibat intubasi yang sulit, obstruksi jalan
nafas, atau manajemen ventilasi-oksigen yang adekuat.
Satu komplikasi kardiovaskular yang mungkin kurang mendapat perhatian
adalah hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal adalah kelainan pada tekanan
darah di sirkulasi pulmonal. Dalam kondisi istirahat (termasuk dalam anestesia)
tekanan arteri pulmonalis normal adalah 25 mmHg atau kira-kira seperemlat
tekanan darah sistemik. Tekanan ini dapat tiba-tiba melonjak melampaui batas
normal, biasanya vatal dalam hitungan menit. Tekanan arteri pulmonalis akan
diteruskan dan menjadi beban jantung kanan, sedangkan jantung kanan tidak di
kondisikan untuk melawan tekanan yang tinggi, akibatnya dapat menjadi sudden
death.
II.1.4 Komplikasi Neurologi
Trauma pada medula spnalis atau saraf yang keluar dari medula spinalis
dapat terjadi. cedera vetebra servikalis akibat usaha laringoskopi dan intubasi
yang sulit merupakan penyebab tersering.

Komplikasi lain adalah cerebrovaskuler accident akibat hipertensi yang


tidak terkendali yang dipacu stimulus nyeri karena ini adalah akibat naiknya tonus
simpatis, maka secara teoritis semua hal yang meningkatkan tonus simpatis juga
dapat memicu komplikasi ini. Oleh karena itu, menjaga oksigenasi dan ventilasi
tetap direntang normal serta menjaga kecukupan cairan ekstravaskuler tidak kalah
penting dengan menjamin analgesia yang adekuat.
Cedera saraf perifer yang paling umum adalah neuropati ulnar. Yang
menarik, gejala-gejala awal sebagian besar seringkali terlihat lebih dari 24 jam
setelah prosedur pembedahan dan mungkin telah terjadi saat pasien yang berada
pada bangsal rumah sakit sedang tertidur. Berbagai faktor risiko meliputi jenis
kelamin laki-laki, lama inap di rumah sakit lebih dari 14 hari, dan habitus tubuh
yang sangat kurus atau obesitas.
Cedera saraf perifer lainnya tampaknya lebih berhubungan dekat dengan
pengaturan posisi atau prosedur pembedahan. Cedera ini mencakup saraf
peroneus, pleksus brakialis, atau saraf femoralis dan skiatika. Penekanan eksternal
pada saraf dapat membahayakan perfusinya, merusak integritas selularnya, dan
pada akhirnya menimbulkan edema, iskemia, dan nekrosis.
II.1.5 Komplikasi yang Berkaitan dengan Posisi
Perubahan posisi tubuh memiliki konsekuensi fisiologi yang dapat
diperberat dengan adanya penyakit. Anestesia umum dan regional dapat
membatasi respons kardiovaskular terhadap perubahan tersebut. Bahkan posisi
yang aman untuk periode singkat ternyata dapat menyebabkan komplikasi pada
orang yang tidak mampu bergerak untuk merespons terhadap nyeri. Sebagai
contoh, pasien alkoholik yang pingsan pada lantai yang keras dapat terbangun
dengan cedera pleksus brakialis. Begitu juga, anestesia regional dan umum
menghilangkan refleks-refleks protektif dan mempredisposisikan pasien pada
cedera.
Hipotensi postural, suatu konsekuensi fisiologis yang paling umum dari
posisi, dapat diminimalkan dengan menghindari perubahan posisi yang tiba-tiba
(misal, duduk dengan cepat), mengembalikan posisi jika terdapat perubahan tanda

vital, menjaga pasien sehidrasi mungin, dan memberikan obat-obat untuk


melawan reaksi yang diantisipasi
Posisi

Sistem Organ

Efek

Jantung

Ekualisasi tekanan di seluruh sistem arterial; meningkatn

Supine
Horizontal1

pengisian sisi kanan dan curah jantung; menurunnya deny


jantung dan resistansi vaskular perifer.
Pernapasan

Gravitasi meningkatkan perfusi pada segmen paru yan


tertekan (posterior); visera abdomen menggeser diafragma

arah sefalad. Ventilasi spontan lebih terjadi pada segmen pa

yang tertekan, sementara ventilasi terkontrol lebih terjadi pa

segmen yang bebas (anterior). Kapasitas residual fungsion

menurun dan dapat turun di bawah volume penutupan pad


pasien yang lebih tua.
Trendelenburg

Jantung

Aktivasi beroreseptor, secara umum menyebabkan penurun

curah jantung, resistansi vaskular perifer, denyut jantung, d


tekanan darah.
Pernapasan

Penurunan yang nyata pada kapsitas paru akibat pergeser


visera

abdomen;

meningkatnya

ketidaksesuai

ventilasi/perfusi dan ateletaksis; meningkatnya kecenderung


regurgitasi.
Lainnya

Peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran dar


serebral akibat kongesti vena serebral; meningkatnya tekan
intraokular pada pasien dengan glaukoma.

Trendelenburg

Jantung

terbalik

Preload, curah jantung, dan tekanan arterial menuru

Barorefleks meningkatkan tonus simpatis, denyut jantung, d


resistansi vaskular perifer.
Pernapasan

Pernapasan spontan membutuhkan kerja yang lebih sedik


kapasitas residual fungsional meningkat.

Lainnya

Tekanan perfusi serebral dan aliran darah mungkin menurun.

Litotomi

Jantung

Autotransfusi dari pembuluh darah kaki meningkatkan volum

darah yang bersirkulasi dan preload; menurunkan ka

memiliki efek yang sebaliknya. Efek pada tekanan darah d


curah jantung bergantung pada status volume.
Pernapasan

Penurunan

kapasitas

vital;

peningkatan

kecenderung

aspirasi.
Prone

Jantung

Pengumpulan darah pada ekstremitas dan kompresi pada oto

otot abdomen dapat menurunkan preload, curah jantung, d


tekanan darah.2
Pernapasan

Kompresi pada abdomen dan toraks menurunkan komplian


paru total dan meningkatkan kerja pernapasan.

Lainnya

Rotasi kepala ekstrim dapat menurunkan drainase vena serebr


dan aliran darah serebral.

Dekubitus

Jantung

lateral

Curah jantung tidak berubah kecuali aliran balik ve

tersumbat (misal, henti ginjal). Tekanan darah arterial dap

turun sebagai akibat penurunan resistansi vaskular (sisi kana


> sisi kiri).
Pernapasan

menurunnya volume pada paru yang tertekan; meningkatn

ventilasi pada paru yang tertekan pada pasien sadar (tidak a

ketidaksesuaian V/Q); menurunnya ventilasi pada paru yan

tertekan pada pasien yang teranestesi (ketidaksesuaian V/Q

Penurunan lebih lanjut pada ventilasi paru yang tertek


dengan paralisis dan suatu dada yang terbuka (lihat Bab 24).
Duduk

Jantung

Pengumpulan darah pada tubuh bagian bawah menurunk

volume darah sentral. Curah jantung dan tekanan darah arteri

turun walaupun terdapat peningkatan pada denyut jantung d


resistansi vaskular sistemik.
Pernapasan

Volume paru dan kapasitas residual fungsional meningka


kerja pernapasan meningkat.

Lainnya

Aliran darah serebral menurun.

Tabel 4. Berbagai efek fisiologis dari posisi umum pasien.

Komplikasi

Posisi

Embolisme udara

Duduk,

Pencegahan

prone, Mempertahankan tekanan vena di atas 0 pada lu

Trendelenburg terbalik
alopesia

Sakit punggung

Supine,

(lihat Bab 26).

litotomi, Normotensi, pemakaian alas, dan pemutaran kepa

Trendelenburg

yang jarang.

Semua

Penunjang lumbar, pemakaian alas, dan sedik


fleksi pinggul.

Sindrom

Khususnya litotomi

kompartemen

Mempertahankan tekanan perfusi dan menghinda


kompresi eksternal.

Abrasi korneal

Khususnya prone

Menutup dan/atau melubrikasikan mata

Amputasi jari

Semua

Periksa jari yang menonjol sebelum mengub


konfigurasi meja.

Kelumpuhan saraf
Pleksus brakialis

Semua

Hindari penarikan atau kompresi langsung pa


leher atau aksila

Peroneal

Litotomi,

komunis

lateral

dekubitus

Alas pada aspek lateral dari fibula atas.

Semua

Hindari kompresi pada humerus lateral.

Radialis

Semua

Pemakaian alas pada siku, supinasi lengan atas.

Ulnaris

Prone, duduk

Hindari penekanan pada bola mata.

Semua

Pemakaian alas pada penonjolan tulang

Iskemia retinal
Nekrosis kulit
1

Efek pada posisi horizontal merupakan perbandingan dengan pasien pada posisi tegak

lurus. Semua posisi lainnya dibandingkan dengan posisi horizontal.


2

Perubahan yang berkaitan dengan posisi prone diperberat oleh kerangka pelana konveks

yang digunakan pada pembedahan spinal posterior dan diminimalisasi oleh posisi prone
jackknife.

Tabel 5. Berbagai komplikasi yang berkaitan dengan posisi pasien.


II.1.6 Komplikasi Organ Sistem Lain
Anestesia umum juga dapat mengganggu fungsi beberapa organ vital
seperti hati dan ginjal. Hal ini terutama jika digunakan obat-obatan yang bersifat
hepato/nefrotoksik atau terjadi gangguan perfusi selama anestesia. Salah satu obat
anestesia yang terkenal dengan sifat hepatotoksiknya adalah gas volatil halotan.
Manajemen cairan intraoperatif yang tidak tepat juga dapat menyebabkan
masal. Selain hipovolemi, hipervolemi dapat membawa komplikasi edema
interstisial, terutama jika digunakan terlalu banyak cairan kristaloid. Pada pasien
dengan keterbatasan fungsi pompa jantung, hipervolemia mudah mengakibatkan
gagal jantung kongestif. Edema pulmonum intraoperatif hanya salah satu
gejalanya.
Komplikasi terbanyak pasca-anetesia, terutama jika menggunakan
anastetika inhalasi adalah mual muntah pasca bedah (post operative nausea and
vomitus, PONV).
Selain itu, komplikasi lain yang dapat terjadi adalah:
Awareness
Saat intraoperatif secara tidak diinginkan pasien menjadi sadar, pasien
dapat menunjukkan gejala mulai dari kecemasan ringan sampai gangguan stres
pasca trauma (misalnya, gangguan tidur, mimpi buruk, dan kesulitan
bersosialisasi).
Kembalinya

kesadaran

secara

tiba-tiba

bisa

disebabkan

karena

berkurangnya kedalaman anestesi karena pasien dapat mentoleransinya, anestesi


inhalasi yang inadekuat, dan medication errors. Untuk mencegah hal tersebut
pasien dapat diberikan volatile anestesi dengan level yang konsisten sehingga
menyebabkan efek amnesia atau berikan benzodiazepine.
Eye Injury

Dapat terjadi mulai dari simple cornea abrasion sampai dengan kebutaan.
Namun, yang paling sering terjadi adalah simple cornea abrasion. Penyebabnya
masih sulit diidentifikasi, tapi jarang bersifat permanen. Untuk mencegah hal ini
terjadi pada saat pasien tidak sadar tutup kelopak matanya dengan tape (terutama
pada pasien yang diintubasi), serta mencegah adanya kontak langsung antara
oxygen mask dengan mata.
Akhir-akhir ini, cedera mata yang membahayakan disebut neuropati optik
iskemik (ischemic optic neuropathy, ION) telah diketahui. Sindrom ini berasal
dari infark saraf optik akibat menurunnya penyaluran oksigen melalui satu atau
lebih arteriol kecil yang memasok kepala saraf. Banyak dari laporan, kasus ini
melibatkan hipertensi yang telah ada sebelumnya, diabetes, penyakit arteri
koroner, dan merokok, menunjukkan bahwa kelainan vaskular praoperasi
mungkin memiliki peran.
Langkah-langkah yang dapat diambil meliputi (1) meningkatkan aliran
keluar vena dengan memposisikan pasien dengan kepala di atas dan meminialkan
konstriksi abdomen, (2) memantau tekanan darah secara hati-hati dengan jalur
arterial, (3) membatasi derajat dan durasi hipotensi selama hipotensi terkontrol
(disengaja), (4) memberikan transfusi pada pasien anemik yang tampaknya
memiliki risiko ION dengan cukup dini untuk menghindari anemia berat, dan (5)
mendiskusikan dengan ahli bedah mengenai kemungkinan operasi bertahap pada
pasien risiko tinggi untuk membatasi prosedur yang terlalu lama.
Reaksi Alergi
Reaksi hipersensitivitas (alergi) merupakan respons imunologis yang
berlebihan terhadap stimulasi antigenik pada orang yang telah tersensitisasi
sebelumnya. Pasien dapat terpapar terhadap antigen melalui hidung, paru, mata,
kulit, dan saluran gastrointestinal, dan juga secara parenteral (intravena atau
intramuskular)

dan

secara

transperitoneal.

Kelas-kelas

tertentu

dari

monosit/makrofag memproses antigen dan memaparkannya pada protein


permukaan membran sel mereka terhadap limfosit T helper CD4 +. Hal ini dapat

menginduksi suatu hipersensitivitas TH1 yang tertunda, hipersensitivitas segera


TH2, atau respons anergik (tidak ada) TH0.
Bergantung pada antigen dan komponen sistem imun yang terlibat, reaksi
hipersensitivitas secara klasik dibagi menjadi empat tipe (Tabel 6). Reaksi tipe I
melibatkan antigen yang mengikat antibodi imunoglobulin (Ig) E yang memicu
pelepasan mediator inflamasi dari sel-sel mast. Pada reaksi tipe I, antibodi IgG
terikat komplemen (ikatan C1) berikatan dengan antigen pada permukaan sel,
mengaktifkan jalur komplemen klasik dan melisiskan sel. Contoh-contoh reaksi
tipe II meliputi reaksi transfusi hemolitik dan trombositopenia yang diinduksiheparin. Reaksi tipe III terjadi ketika kompleks imun antigen-antibodi (IgG atau
IgM) tersimpan di dalam jaringan, mengaktivasi komplemen dan membangun
faktor-faktor kemotaktik yang menangkap neutrofil ke area tersebut. Neutrofil
yang teraktivasi menyebabkan cedera jaringan dengan melepaskan enzim
liposomal dan produk-produk toksik. Reaksi tipe III melibatkan reaksi kesakitan
serum (serum sickness) dan pneumonitis hipersensitivitas akut. Reaksi tipe IV,
sering disebut sebagai hipersensitivitas yang tertunda, dimediasi oleh limfosit T
CD4+ yang telah tersensitisasi terhadap antigen spesifik oleh paparan sebelumnya.
Respons TH1 sebelumnya menyebabkan ekspresi protein reseptor sel T yang
spesifik untuk antigen. Paparan ulang terhadap antigen menyebabkan limfositlimfosit ini menghasilkan limfokin-limfokininterleukin (IL), interferon (IFN),
dan faktor nekrosis tumor- (TNF- )yang menangkap dan mengaktifkan sel-sel
mononuklear inflamasi selama 48-72 jam. Produksi IL-1 dan IL-6 oleh sel-sel
pemproses antigen memperkuat ekspresi klonal dari sel-sel T yang tersensitisasi
yang spesifik dan menangkap tipe sel T lainnya. Sekresi IL-2 mengubah sel T
sitotoksik CD8+ menjadi sel-sel pembunuh (killer); IL-4 dan IFN- menyebabkan
makrofag menjalani transformasi epiteloid, seringkali menyebabkan granuloma.
Berbagai contoh reaksi tipe IV adalah yang berkaitan dengan tuberkulosis,
histoplasmosis, skistosomiasis, dan pneumonitis hipersensitivitas dan juga
beberapa gangguan autoimun seperti artritis reumatoid dan granulomatosis
Wagener.
Tabel 6. Reaksi hipersensitivitas.

Tipe I (segera)
Atopi
Urtikariaangioedema
Anafilaksis
Tipe II (sitotoksik)
Reaksi transfusi hemolitik
Anemia hemolitik otoimun
Trombositopenia diinduksi-heparin
Tipe III (kompleks imun)
Reaksi Arthus
Serum sickness
Pneumonitis hipersensitivitas akut
Tipe IV (tertunda, dimediasi-sel)
Dermatitis kontak
Hipersensitivitas tipe-tuberkulin
Pneumonitis hipersensitivitas kronik

Obat Bebas
Fiksasi pada
antibodi IgE pada
sel mast dan
basofil darah

Carier
Contoh: Albumin
Obat Carier
Kompleks

Prednison Blok

Mitosis
Makrofag

Reaginic Antibodi IgE


membentuk prekursor
sel

Antibodi IgE
memproduksi sel

Reaginic antibodi
IgE

Ikatan alergen untuk menspesifikasi antibodi IgE


pada permukaan sel mast menyebabkan
pelepasan mediator
Blok parsial
antihistamin
Histamin, kinin,
leukotrien (SRS),
prostaglandin,
serotonin, platelet,
faktor aktivasi

Degranulasi dan
pelepasan mediator

Otot halus dan


organ lain

Isoproterenol, teophylin,
epineprin, dan kromolin blok
parsial

Gambar:

A:

Induksi dari IgE-mediated allergy sensitivity terhadap obat

dan allergen lain.


B: Respon dari sel IgE-sensitized terhadap paparan subsequent
terhadap allergens. lg, Immunoglobulin.

Reaksi Anafilaksis merupakan respons berlebihan terhadap alergen


(misal, antibiotik) yang dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Sindrom ini
tampak dalam beberapa menit setelah paparan terhadap antigen tertentu pada
orang yang telah tersensitisasi dan secara khas timbul sebagai distres pernapasan
akut, syok sirkulasi, atau keduanya. Kematian biasanya terjadi akibat asfiksia atau
syok sirkulasi yang ireversibel. Insidens reaksi anafilaksis selama anestesia

diperkirakan sebesar 1:5000 sampai 1:25.000 anestetik. Antibiotik merupakan


penyebab reaksi anafilaktik yang paling umum, namun lateks juga menjadi
penyebab yang semakin penting.
Mediator yang paling penting dari anafilaksis adalah histamin, leukotrien,
BK-A, dan faktor pengaktivasi platelet. Mediator-mediator ini meningkatkan
permeabilitas vaskular dan mengontraksi otot polos. Aktivasi reseptor-H1
mengontraksi otot polos bronkial, sementara aktivasi reseptor H 2 menyebabkan
vasodilatasi, meningkatkan sekresi mukus, takikardia, dan meningkatkan
kontraktilitas miokardial. BK-A memecah bradikinin dari kininogen; bradikinin
meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi dan mengontraksi otot
polos. Aktivasi faktor Hageman dapat menginisiasi koagulasi intravaskular pada
beberapa pasien. ECF-A, NCF, dan leukotrien B4 menangkap sel-sel inflamasi
yang memediasi cedera jaringan tambahan. Angioedema pada faring, laring, dan
trakea, menghasilkan obstruksi jalan napas bagian bawah. Histamin lebih
cenderung mengonstriksi jalan napas yang lebih besar, sementara leukotrien
terutama mempengaruhi jalan napas perifer yang lebih kecil. Transudasi cairan ke
dalam kulit (angioedema) dan visera menghasilkan hipovolemia dan syok,
sementara vasodilatasi arteriolar menurunkan resistansi vaskular sistemik.
Hipoperfusi koroner dan hipoksemia mencetuskan aritmia dan iskemia
miokardial. Mediator leukotrien dan prostaglandin juga dapat menyebabkan
vasospasme koroner. Syor sirkulasi yang memanjang menghasilkan asidosis laktat
dan kerusakan iskemik terhadap organ vital lainnya. Tabel 7 merangkum
manifestasi yang penting dari reaksi anafilaktik. Penting untuk mencatat bahwa
manifestasi kardiovaskular dan kutaneus merupakan gambaran yang lebih umum
dari anafilaksis dibandingkan bronkospasme selama anestesia.
Reaksi anafilaktoid menyerupai anafilaksis namun tidak bergantung pada
interaksi antibodi IgE dengan antigen. Suatu obat dapat secara langsung
melepaskan histamin dari sel mast (misal, urtikaria setelah dosis tinggi morfin
sulfat) atau mengaktivasi komplemen. Walaupun mekanismenya berbeda, reaksi
anafilaktik dan anafilaktoid secara klinis tidak dapar dibedakan dan sma-sama
mengancam nyawa. Tabel 8 menyebutkan penyebab umum dari reaksi anafilaktik

dan anafilaktoid. Insidens reaksi anafilaksis dan anafilaktoid di bawah anestesia


diperkirakan antara 1 dalam 3500 sampai 1 dalam 13.000.
Berbagai faktor yang dapat mempredisposisikan pasien terhadap reaksireaksi ini adalah usia muda, kehamilan, atopi yang telah diketahui, dan paparan
obat sebelumnya.
Tabel 7. Manifestasi klinis dari anafilaksis.
Sistem organ

Tanda dan Gejala

Kardiovaskular

Hipotensi,1 takikardia, aritmia

Pulmonar

Bronkospasme,1 batuk, dispnea, edema


pulmonar, edema laringeal, hipoksia

dermatologis

Urtikaria,1 edema wajah, pruritus

Tanda-tanda kunci selama anestesia umum.

Penatalaksanaan anafilaksis :
Hentikan pemberian obat
Pemberian 100% oxygen
Epinephrine (0.01 - 0.5 mg IV atau IM)
Pertimbangkan Intubasi atau tracheostomy
Cairan intra vena (injeksi ringer laktat 1-2 L)
Diphenhydramin (50-75 mg IV)
Ranitidin (150 mg IV)
Hydrocortison (di atas 200 mg IV) atau methylprednisolon (1-2 mg/kg)
Dosis dan perjalanan epinefrin tergantung pada beratnya reaksi.
Infuse 0,001 mg/menit bila diperlukan

Reaksi Alergi terhadap Obat Anestetik


Anafilaksis akibat obat anestetik sebenarnya jarang terjadi; reaksi
anafilaktoid jauh lebih umum. Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan
hipersensitivitas terhadap anestetik meliputi jenis kelamin wanita, riwayat atopik,
alergi yang telah ada sebelumnya, dan paparan anestetik sebelumnya. Relaksan
otot merupakan penyebab anafilaksis yang paling umum selama anestesia dengan
perkiraan insidens 1 dalam 6500 pasien. Relaksan otot merupakan hampir 70%
reaksi anafilaktik selama periode perioperasi.
Walaupun lebih jarang, obat-obat hipnotik juga dapat bertanggung jawab
untuk beberapa reaksi alergi. Insidens anafilaksis untuk tiopental dan propofol
berturut-turut adalah 1 dalam 30.000 dan 1 dalam 60.000. Reaksi alergi terhadap
ketomidat, ketamin, dan benzodiazepin sangatlah jarang. Reaksi anafilaktik
sebenarnya akibat opioid jauh lebih jarang dibandingkan pelepasan histamin
nonimun. Begitu juga, reaksi anafilaktik terhadap anestetik lokal jauh lebih jarang
dibandingkan reaksi vasovagal, reaksi toksik, dan efek samping dari epinefrin.
Tidak terdapat laporan mengenai anafilaksis terhadap anestetik volatil.

II.2. Komplikasi Anestesi Regional


Anestesi spinal adalah suatu cara untuk menimbulkan atau menghasilkan
hilangnya sensasi dan blok motorik dengan jalan memasukkan obat anestesi lokal
kedalam ruang subarakhnoid. Blok yang dihasilkan tidak permanen dari cabangcabang saraf anterior, posterior, serabut saraf posterior dan bagian dari medula
spinalis akibat hilangnya aktivitas otonom, sensoris dan motoris. Anestesi spinal
mempunyai beberapa kelebihan dibanding anestesi inhalasi, antara lain kedalaman
anestesi cepat tercapai, cara sederhana, peralatan yang diperlukan minimal, tidak
ada polusi dalam ruang operasi. Meskipun begitu risiko dan komplikasi anestesi
spinal tidak kalah berbahayanya dibanding anestesi umum, bahkan kadang-kadang
lebih berat. Komplikasi anestesi spinal dapat digolongkan menjadi komplikasi
yang terjadi segera dan lanjut.

Anestesi epidural atau anestesi ekstradural, peridural adalah salah satu


tehnik anestesi regional dengan menyuntikkan obat anestesi lokal kedalam ruang
epidural. Tujuannya untuk memblok serabut saraf spinalis dalam ruang epidural
yang keluar dari dura menuju foramen intervertebralis.
Komplikasi anestesi spinal dibagi menjadi dua bagian yaitu komplikasi
yang terjadi segera dan komplikasi lanjut.
II.2.1. Komplikasi Segera
1. Kardiovaskuler
a. Hipotensi
Anestesi spinal menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer,
penurunan tekanan darah sistolik dan penurunan tekanan darah arteri rata-rata,
penurunan laju jantung dan penurunan isi sekuncup.3,6 Hipotensi merupakan
penyulit yang sering timbul akibat blok simpatis.7 Penurunan tekanan darah ini
sebanding dengan tingginya level saraf simpatis yang terblok. Saraf simpatis yang
terblok pada anestesi adalah dua atau lebih dermatom diatasnya dari tempat
injeksi. Penurunan tekanan darah lebih besar terjadi pada ibu hamil dibandingkan
orang normal karena penekanan pembuluh darah besar oleh uterus yang
membesar.3,8 Secara klinis diagnosis hipotensi ditegakkan bila ada penurunan
tekanan darah sistolik sebesar 20 30 % dari tekanan darah sistolik semula atau
tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg.9,10
Angka kejadian pada anestesi spinal 1/3 dari seluruh kasus.10 Carpenter
dkk menyatakan bahwa pasien yang mengalami hipotensi akut pada anestesi
spinal biasanya mengalami komplikasi lain terjadi lebih awal dengan insiden
33%. Peneliti lain melaporkan dari 26% pasien yang mengalami komplikasi pada
anestesi spinal, 16% disertai hipotensi.11 Penurunan tekanan darah sering ditemui
didalam kamar operasi pada penderita yang mendapat anestesi spinal. Hal-hal
yang menjelaskan terjadinya tersebut antara lain :12
1. Berkurangnya isi sekuncup, sehingga berakibat menurunnya jumlah
aliran darah vena yang menuju ke jantung.

2. Terjadinya dilatasi pembuluh darah kapiler arteiol dan pembuluh darah


vena kecil oleh karena blok simpatis, sehingga terjadi vasodilatasi
sedang daerah yang tidak teranestesi terjadi vasokonstriksi karena
reflek baroreseptor.
3. Terjadi kelumpuhan saraf simpatis yang menuju ke jantung.
4. Terserapnya obat anestesi local kedalam sirkulasi.
5. Hipoksia dan iskemia dari pusat kardiorespirasi di otak, terlihat jelas
pada pasien dengan hipovolemia sebelumnya.
6. Tekanan pada pembuluh darah besar oleh uterus yang membesar atau
tumor abdomen yang besar akibatnya aliran darah vena yang menuju
ke jantung berkurang.
Smith dkk menyatakan terjadinya hipotensi oleh karena turunnya venous
return akibat penumpukan darah pada pembuluh darah vena. Volume darah tetap
dalam keadaan normal, sehingga jaringan dirasakan hangat dan kering oleh karena
vasodilatasi dan tidak akan terjadi anoksia/hipoksia seluler serta gangguan
metabolik sebagaimana yang terjadi pada hipotensi akibat hipovolemi. 10 Tahanan
pembuluh darah tepi ditentukan oleh tonus arteri yang diatur oleh persarafan
simpatis. Blok vasokonstriktor arteri menyebabkan dilatasi arteri dan kehilangan
tonus arteri, tidak hilang semua masih terdapat sisa tonus yang bermakna. Dilatasi
arteri tidak merata, vasodilatasi daerah yang terblok membuat kompensasi daerah
vasokonstriksi daerah yang tidak diblok.10
Derajat hipotensi yang relatif ringan sebagian besar berasal dari
perubahan tahanan pembuluh darah tepi. Bila tekanan terus turun dibawah batas
kritis, paling sering diakibatkan perubahan curah jantung. Batas kritis hipotensi
untuk penderita normal akibat perubahan curah jantung adalah sistolik 90 mmHg,
tetapi ada pendapat lain yang menyatakan sistolik 80 mmHg.13 Penurunan tekanan
darah umumnya terjadi dalam waktu 20 menit dari saat obat disuntikan dan bila
dibiarkan tekanan darah mencapai tingkat paling rendah dalam waktu 20 25
menit. Setelah mencapai tingkat terendah, secara spontan akan naik kembali
sekitar 5 10 mmHg setelah 10 15 menit kemudian, hal ini terjadi oleh karena
kompensasi aktifitas simpatis dari bagian yang tidak terblok bukan karena naiknya

curah jantung dan kemudian tekanan darah tersebut stabil sampai efek obat
anestesi local habis. Penurunan tekanan darah lebih sensitif terjadi pada orang tua
dan pada penderita dengan riwayat hipertensi sebelumnya.5,10,12
Perubahan tekanan darah tidak berhubungan dengan gerakan atau
rangsangan operasi. Bila dibandingkan dengan anestesi umum, begitu rangsangan
operasi diberikan biasa terjadi peningkatan tekanan darah dan laju jantung.12
Faktor yang mempengaruhi derajat dan insiden hipotensi pada anestesi spinal :
5,9,10

1. Umur
Setelah umur 50 tahun insiden hipotensi meningkat secara progresif
dari 10 % menjadi 30 % . Pada dewasa muda biasanya terjadi hipotensi
kurang berat dibanding usia lanjut dengan tinggi anestesi spinal yang
sama.10,14
2. Jenis kelamin
Lebih sering terjadi pada wanita , hal ini berhubungan dengan tingkat
blok yang lebih tinggi pada wanita meskipun jumlah anestesi local
yang diberikan sama. Perbandingan komplikasi anestesi spinal antara
wanita dan pria adalah 32 % dan 20 %.10
3. Berat badan
Hipotensi, mual dan muntah pada anestesi spinal lebih besar pada
pasien yang memiliki Body Mass Index ( BMI ) 30 %.10
4. Kondisi fisik
Pada pasien dewasa muda dan normovolemi, blok simpatis sampai
pertengahan toraks mungkin tidak menimbulkan hipotensi atau hanya
hipotensi ringan. Pada usia lanjut dan atau hipovolemi atau pasien
dengan kompresi pembuluh darah besar abdomen ( hamil, tumor
abdomen ), blok dengan tinggi yang sama akan terjadi hipotensi
berat.14
5. Jenis obat anestesi
Lidokain lebih cepat menimbulkan hipotensi dari pada buvipakain, rata
rata timbul pada 18 menit pertama tetapi buvipakain lebih sering.

Buvipakain hiperbarik menimbulkan hipotensi pada 23 menit pertama,


sedangkan buvipakain isobarik pada 38 menit pertama.10
Kelambatan kejadian hipotensi setelah pemberian buvipakain spinal
menggambarkan bahaya dimana seorang ahli anestesi harus waspada.
Dianggap bahwa 20 menit pertama setelah pemberian blok
subarakhnoid merupakan periode paling kritis, tetapi dengan obat long
acting tertentu penyebaran mungkin berlangsung lebih lama dan
menimbulkan hipotensi lambat yang tidak terduga.11
6. Tingkat hambatan sensorik
Pada tingkat T1

T5 25 % pasien mengalami hipotensi. Bila tinggi

anestesi spinal mencapai tingkat cervical 50 % pasien atau lebih


mengalami hipotensi.14
7. Posisi pasien
Posisi head up atau kepala lebih tinggi dari kaki pasien misal pada
operasi artroskopik sendi lutut, akan mengalami pooling darah vena
sehingga lebih mudah terjadi hipotensi.14
8. Manipulasi operasi
Semakin banyak manipulasi operasi semakin berat hipotensi yang
terjadi sehingga sukar untuk mengkompensasi.10
Hipotensi pada anestesi spinal menimbulkan gejala yang berhubungan dengan
hipoksia jaringan, yaitu gelisah, ketakutan, tinnitus, pusing dan sakit kepala
biasanya juga disertai mual dan muntah. Efek lebih lanjut berupa mengantuk ,
disorientasi dan koma yang pada akhirnya bisa menimbulkan syok dan kematian.10
b. Bradikardi
Terjadi pada anestesi spinal disebabkan oleh karena blok saraf simpatis
dan menurunnya rangsangan terhadap stretch receptors yang ada pada dinding
atrium. Stretch reseptors ini berfungsi mengatur tekanan darah dan laju jantung.1
2. Respirasi
Gangguan

respirasi

yang

timbul

akibat

anestesi

spinal

adalah

hipoventilasi, apneu, batuk, gangguan ponasi. Batuk terjadi karena ekspirasi

reserve menurun, sedangkan gangguan ponasi oleh karena residual capacity


menurun.3 Hipoventilasi dan apneu terjadi karena menurunnya aliran darah ke
medullary (pusat nafas), lumpuhnya otot intercostals dan diafragma karena terjadi
spinal tinggi. Tingginya level anestesi spinal tergantung dari besarnya dosis, posisi
penderita dan kecepatan penyuntikan.3,13
3. Sistem Saluran Pencernaan
Anestesi spinal menekan saraf simpatis, sehingga pada anestesi spinal
akan terlihat efek parasimpatis lebih menonjol. Pada usus akan terlihat
peningkatan kontraksi, tekanan intralumen meningkat, sphingter akan terjadi
relaksasi.12,15 Mual muntah merupakan gejala yang sering timbul akibat anestesi
spinal, kejadiannya kurang lebih hampir 25%. Adapun penyebab mual muntah
pada anestesi spinal ini antara lain : 3,12
1. Penurunan tekanan darah, merupakan penyebab terbesar. Bila
segera diatasi maka mual muntah akan segera berhenti.
2. Hipoksia,

merupakan

penyebab

terbesar

kedua

setelah

hipotensi. Hal ini dapat diatasi secara efektif dengan terapi


oksigen.
3. Kecemasan atau faktor psikologis. Hal ini dapat diatasi dengan
penjelasan prosedur yang baik atau dengan sedatif.
4. Pemberian narkotik sebagai premedikasi.
5. Peninggian

aktivitas

parasimpatis.

Blok

spinal

akan

mempengaruhi control simpatetik gastrointestinal.


6. Refleks traksi pada usus, manipulasi usus.
4. Temperatur Tubuh
Anestesi spinal menyebabkan penurunan suhu tubuh akibat vasodilatasi
sehingga memudahkan terjadinya penguapan panas. Hal ini dibuktikan dengan
menggunakan dopler laser yang diletakkan pada kaki untuk menilai fungsi
simpatis. Selain itu anestesi spinal juga menghambat pelepasan hormon
katekolamin sehingga akan menekan produksi panas akibat metabolisme.12,15
Menggigil sering mengikuti perubahan temperatur. Menggigil ini akan

menyebabkan peningkatan tekanan darah, laju jantung dan peningkatan kebutuhan


oksigen. Pengobatan menggigil dengan pemberian petidin 25 mg intra vena.
5. Anestesi Spinal Total
Komplikasi ini terjadi bila blok simpatis sampai thorakal atau bahkan
cervical, dapat terjadi hipotensi berat, bradikardi dan gangguan respirasi.
Terjadinya spinal tinggi ini dapat disebabkan misalnya : penderita mengangkat
kaki pada waktu obat dimasukkan, penderita mengejan, batuk atau tekanan intra
abdomen yang meningkat. Gejala yang sering timbul pada spinal tinggi biasanya
berupa : penurunan kesadaran, hipoventilasi sampai apneu, hipotensi dan
bradikardi. Penangananan kepala lebih tinggi dari badan, pemberian oksigen lewat
pipa endotrakhea, pemberian cairan. 13
6. Reaksi Alergi
Reaksi ini manifestasinya bermacam macam, bisa hanya berupa
kemerahan pada kulit, urtikaria namun dapat pula manifestasinya berupa reaksi
anafilaktik syok. Reaksi ini dapat terjadi segera ataupun lambat.
II.2.2. Komplikasi Lanjut
1. Sakit Kepala
Kejadian nyeri kepala setelah anestesi spinal adalah 5 10%, banyak
terjadi pada wanita, umur muda. Keluhan nyeri kepala meningkat sesuai dengan
besarnya jarum spinal yang digunakan. Lokasi nyeri kepala yang tersering adalah
dibagian frontal 50% occipital 25%, dan sisanya adalah di bagian lain. Kejadian
nyeri kepala umumnya 6 12 jam pasca anestesi spinal, meskipun dapat pula
terjadi lebih lambat.2,16 Nyeri kepala dapat berlangsung dalam hitungan hari,
minggu bahkan bulan meskipun umumnya berlangsung selama 1 2 minggu.
Keluhan ini terlihat dalam 3 hari pada 90% kasus dan dikeluhkan sampai 12 hari
sesudah tusukan jarum spinal.3,8,12
Teori yang dapat menjelaskan terjadinya nyeri kepala setelah anestesi spinal
antara lain :

1. Menurunnya tekanan cairan cerebrospinal akibat kebocoran durameter.


Hal ini dapat mengakibatkan penarikan terhadap pembuluh darah dan
saraf yang sensitive nyeri. Pernah dilaporkan adanya penyebab
kematian akibat herniasi tentorium serebri dan hematom subdural pada
otopsi bedah mayat setelah anestesi spinal.3,8,13,16
2. Iritasi selaput otak oleh zat kimia atau bakteri. Pada jenis ini tekanan
serebrospinal normal atau meningkat.12,15
Nyeri kepala semakin diperberat pada posisi berdiri atau duduk. Pada ibu hamil
atau penderita dengan tumor intraabdomen, nyeri kepala yang terjadi lebih berat
karena banyaknya cairan serebrospinal yang keluar, disamping itu penggunaan
obat vasopresor akan berinteraksi dengan oksitosin dalam meningkatkan kejadian
nyeri kepala paska bedah.3,12,13
Gangguan pendengaran atau penglihatan sering menyertai nyeri kepala.
Insiden gangguan pendengaran kira- kira 0,4% dengan gejala nyeri telinga
berdenging, tersumbat. Gangguan pendengaran ini karena berkurangnya tekanan
pada koklea. Kejadian gangguan penglihatan kira-kira 0,1% dengan gejala :
penglihatan ganda, mata kabur, kesulitan memfokuskan pandangan. Gangguan ini
terjadi karena lumpuhnya nervus VI dalam perjalanannya melewati dasar
tenggkorak, sehingga kalau ada perubahan pada cairan serebrospinal cepat
mengenai nervus VI.3
2. Nyeri Punggung
Nyeri punggung terjadi karena kerusakan atau teregangnya kapsula, otot,
ligament. Faktor faktor yang berpengaruh terhadap nyeri punggung setelah
anestesi antara lain : persediaan tempat tidur rumah sakit dengan kasur yang
terlalu lembek sehingga tidak menyokong punggung, trauma yang terjadi pada
saat penderita dipindahkan dari meja operasi, penderita dengan riwayat nyeri
punggung sebelumnya.3
3. Retensi Urin
Kejadian retensi urin yang terjadi karena terbloknya S 2 S4, sehingga
mengakibatkan tonus kandung kencing menurun dan hilangnya reflek

pengosongan kandung kencing. Produksi urin terus berlangsung namun karena


otot detrusor tidak dapat berkontraksi akibatnya terjadi retensi urin. Penderita
dapat dapat dikatakan retensi urin bila tidak dapat kencing lebih dari 6 jam. 6,16
Retensi urin terjadi pada operasi daerah perineum, urogenital dan abdomen bagian
bawah. Distensi kandung kencing akan mengakibatkan perubahan hemodinamik
seperti peningkatan tekanan darah dan peningkatan laju jantung.3,13
4. Infeksi
Infeksi yang sering terjadi pada anestesi spinal adalah meningitis dan
abses epidural. Kejadiannya berlangsung lambat. Meningitis yang terjadi dibagi
dua yaitu : meningitis yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus, bakteri
dan meningitis yang disebabkan oleh zat kimia seperti powder dari sarung tangan,
detergen, maupun dari zat aseptic yang digunakan misalnya povidon yodida.3,12
Kejadian meningitis sudah jauh berkurang karena sterilitas alat-alat sudah
modern. Pencegahan yang paling efektif adalah memperhatikan septik aseptik,
serta sterilitas alat serta bahan yang akan digunakan.16
5. Komplikasi Neurologi17
Hal hal yang menyebabkan terjadinya gangguan neurologik pada anestesi spinal
antara lain:
1. Kompresi medulla spinalis
-

Hematom : trauma jarum, kelainan pembuluh darah,


gangguan perdarahan, tumor.

Abses : infeksi lewat jarum, hematogen.

2. Trauma medulla spinalis


-

Kerusakan oleh jarum.

Toksik.

Macam gangguan neurologik pada anestesi spinal:


a. Sindroma kauda equina
Terjadi karena tekanan, iskemia atau kontak dengan bahan kimia toksik,
maka serabut otonom kauda equine sering menjadi bagian pertama yang terserang

akibat anestesi spinal. Kerusakan pada daerah rami saraf S 2-4 akan menimbulkan
lesi neuron motorik inferior berupa atoni kandung kemih dan hilangnya inisiasi
volunter miksi. Sindrom ini dapat berkembang berupa gejala kelemahan motorik
atau paralisa otot-otot di bawah lutut, otot-otot hamstring, gluteal disertai
menghilangnya reflek plantar dan ankle jerk. Jika L5 dan S1 terserang
menyebabkan hilangnya sensoris pada rami sacral bawah dan menghasilkan pola
anestesi sadle yang khas pada perineum, pantat dan paha yang menyebar hingga
kaki dan betis.
b. Kompresi saraf spinal akibat hematom spinal
Kompresi akut pada saraf spinal akibat yang timbul pada spatium
subarachnoid,

subdural,

atau

ekstradural

dapat

menimbulkan

paraplegi

irreversible mendadak. Meskipun perdarahan ini disebabkan oleh trauma jarum


spinal atau epidural tanpa diskrasia darah, tetapi ada kemungkinan disebabkan
oleh kelainan hemostatika.
c. Kompresi saraf spinal akibat pembentukan abses
Kompresi saraf spinal akibat proses infeksi dapat dikaitkan dengan tehnik
anstesi spinal. Penyebabnya adalah masuknya bahan yang terinfeksi melalui jarum
spinal menuju kanalis spinalis (kontaminasi dari kulit atau jarum) atau
kontaminasi dari bakteri yang ada di darah. Organisme yang sering ditemukan
adalah stapilokokus aureus. Gambaran klinisnya adalah nyeri punggung,
kelemahan, paralisa setelah tusukan jarum beberapa jam, hari atau bulan. Hal ini
bila tidak diterapi akan berkembang menjadi paraplegi.
d. Bahan asing yang menyebabkan arakhnoiditis
Kejadian arakhnoiditis pada anestesi spinal dapat menyebabkan skuele
neurologist serius. Penyebabnya adalah masuknya benda asing korosif ke dalam
spatium subarakhnoid. Gambaran klinis yang muncul berupa kelemahan progresif
yang berjalan perlahan dan hilangnya sensoris pada ekstremitas inferior yang
dimulai beberapa hari, minggu atau bulan setelah anestesi spinal dan berkembang
menjadi paraplegi serta dapat berkembang kearah kematian. Perubahan histologis

yang ditemukan yaitu respon peradangan meningeal disertai proliferasi arakhnoid


yang menjepit saraf spinalis serta menyebabkan infark saraf spinalis.
6. Komplikasi Akibat Obat Anestesi Lokal 20
Reaksi sistemik bisa terjadi bila obat anestesi local masuk pembuluh
darah. Gejala yang timbul dapat berupa penurunan kesadaran, kejang serta
bradikardi. Pencegahan

reaksi sistemik dengan melakukan aspirasi sebelum

penyuntikan obat atau dipastikan jarum spinal tidak masuk pembuluh darah.
Disamping itu dapat ditambahkan obat vasokonstriktor untuk menghambat
penyerapan obat. Reaksi alergi bisa terjadi akibat pemberian obat anestesi local.
Golongan ester lebih sering daripada golongan amida. Reaksi alergi ini terutama
terjadi pada penderita dengan riwayat atopi. Gejala yang timbul dapat berupa
urtikaria, bronkospasme atau henti jantung.
II.2.3 Komplikasi Anestesi Epidural
1. Duramater Robek Atau Tertusuk
Kejadian tertusuknya duramater pada waktu dilakukan anestesi epidural
yang dilakukan ahli anestesi 1% - 2,5%.12,21 Bila duramater robek akan terlihat
keluar cairan likuor serebro spinalis ( LCS ) pada pangkal jarum epidural,
terutama waktu dilakukan aspirasi. Cairan LCS dapat dibedakan dengan obat
anestesi lokal dengan cara : 12
-

dibedakan suhunya

memakai test glukosa dan protein dengan kertas strip yang


untuk pemeriksaan urin.

Dicampur dengan thiopenton bila terjadi pengkabutan


berarti obat anestesi lokal.

Akibat robeknya duramater dapat menyebabkan komplikasi :


a. Blok Total Spinal
Jika tidak diketahui robek, obat anestesi lokal untuk epidural dimasukkan
kedalam ruang sub arakhnoid maka akan terjadi blok total spinal. Angka
kejadian total total blok spinal 1 : 1000 kasus. 9 Penderita cepat terjadi

penurunan kesadaran, henti nafas dan hipotensi berat dan bila tidak segera
ditolong akan terjadi henti jantung. Penderita langsung di intubasi, diberi
nafas buatan oksigenasi 100% dan diberikan vasopresor. Bila terapi yang
diberikan adekuat jarang terjadi sequele.22 Untuk mengurangi resiko
terjadinya blok total spinal yang perlu diperhatikan :
-Hati-hati dalam melakukan tehnik anestesi epidural.
-Aspirasi untuk mengetahui tehnik anestesi epidural.
-Harus dilakukan tes dose.
b. Post Dural Puncture Headache ( PDPH )
Komplikasi ini akibat adanya kebocoran cairan LCS melalui duramater
yang robek, dengan demikian volume dan tekanan LCS menurun sehingga
terjadi regangan pembuluh darah otak dan meniningen. Jumlah cairan LCS
yang keluar melalui robekan duramater tergantung luasnya duramater yang
robek dan juga status hidrasi penderita. Kejadian PDPH pada wanita hamil
dalam persalinan sekitar 25-35% dengan jarum 18 G dan sekitar 15-20%
dengan jarum 20 G.23
Kejadian lebih banyak terjadi pada wanita dalam persalinan dibandingkan
dengan wanita yang tidak hamil, oleh karena pada wanita dengan
persalinan :
- Kehilangan darah sewaktu melahirkan atau operasi.
- Pada waktu mengejan akan memperbanyak cairan LCS yang keluar.
- Periode diurisis setelah persalinan menyebabkan dehidrasi.
- Tekanan intra abdominal menurun pada periode setelah persalinan.
Kebocoran sekitar 12 ml cairan LCS belum mengakibatkan PDPH, namun
bila jumlah sudah lebih dari 20 ml akan terjadi PDPH. PDPH mempunyai
ciri ciri :
-

Bertambah berat nyeri kepala sewaktu duduk atau berdiri

dan berkurang bila penderita berbaring.


-

Lokasi nyeri terutama didaerah frontal 50%, Occipital 25% dan

belakang mata.
-

Kadang disertai kaku kuduk, mual dan muntah karena rangsangan

meningen.

Nyeri timbul beberapa jam setelah blok epidural dan sembuh

setelah 2-3 hari, dapat beberapa minggu sampai beberapa bulan.


2. Kateter Epidural Masuk Kedalam Pembuluh Darah
Sewaktu diaspirasi akan terlihat darah dalam kateter. Bila masuk
pembuluh darah kateter harus dicabut, kemudian dipilih interspace diatas atau
dibawahnya untuk insersi jarum epidural ulang. Tidak boleh menyuntikan obat
local anestesi jika ada darah dalam kateter.24
3. Intoksikasi Obat Anestesi Lokal
Toksisitas obat anestesi local dapat diklasifikasikan dalam dua katagori yaitu :
a. Reaksi alergi
b. Toksisitas sistemik
-

Susunan saraf pusat (SSP)

Kardiovaskuler

a. Reaksi alergi
Reaksi alergi terhadap obat anestesi local sangat jarang. Manifestasinya
berupa dermatitis, urtikaria, pruritus, spasme bronchus dan anafilaksis.
Pengobatan dengan epinefrin dan steroid seperti Dopomedrol biasanya
memberikan hasil yang memuaskan.25 Pada penderita dengan riwayat alergi
terhadap obat anestesi local dapat dilakukan test sensitivitas pada kulit, tetapi
jarang dilakukan.25,26
b. Intoksikasi sistemik
Kerja obat lokal anestesi adalah menghambat konduksi pada saraf perifer.
Bila konsentrasi obat lokal anestesi cukup tinggi dalam plasma dapat
mempengaruhi eksitabilitas membran sel lain seperti jantung dan otak. Anestesi
epidural biasanya tidak mengakibatkan konsentrasi obat anestesi lokal meningkat
diatas nilai ambang toksisitas, tetapi bila bila tanpa disengaja obat lokal anestesi
masuk kedalam pembuluh darah menyebabkan efek sistemik dan intoksikasi
terhadap otak serta jantung.25 Gejala toksisitas anestesi lokal yaitu : 23
1. Ringan :Palpitasi, mulut dan tenggorokan kering, tinnitus, vertigo, sakit kepala,
mual dan kebingungan.

2. Sedang : Tingkat kebingungan lebih berat, kesadaran menurun, muscular


twitching, kejang.
3. Berat : Koma, hipotensi berat, bradikardi, apneu, dan dapat menyebabkan
kematian.
Kenaikan kadar progesteron pada wanita hamil berperan didalam
meningkatnya kardiotoksisitas dan potensial aritmogenik terhadap bupivakain,
tetapi tidak terhadap lidokain dan ropivakain. Bila kadar bupivakain dalam darah
lebih tinggi sedikit diatas kadar yang menyebabkan toksisitas terhadap SSP, maka
sudah bisa menyebabkan disritmia. Bretilium merupakan obat anti aritmia yang
lebih tepat dibandingkan dengan lidokain bila muncul ektopik ventricular.(Mulroy
1992).

4. Hipotensi
Terjadinya hipotensi tergantung dari ketinggian blok sensorik. Bila tingkat
analgetik dibawah T10 biasanya hipotensi yang terjadi minimal. Pengaruh
hipotensi terhadap janin pada ibu dengan persalinan dibawah analgesi epidural
tergantuing pada berat ringannya penurunan tekanan darah serta lamanya kejadian
tersebut. Bila hipotensi yang terjadi ringan dan sebentar tidak terjadi efek samping
yang serius terhadap janin, hal ini kemungkinan telah terjadi mekanisme
kompensasi aliran darah uteroplasenta.23 Persistent moderate hypotension dan
hipotensi yang berat meskipun waktunya sebentar akan menurunkan aliran darah
uteroplasenta dan dapat menyebabkan depresi pada janin. Hal-hal yang harus
diperhatikan pada wanita hamil sebagai berikut :
1. Pada keadaan hipotensi, hipovolemi supine hypotension
syndrome jangan dilakukan dengan tehnik anestesi epidural.
2. Analgesi jangan lebih tinggi dari dermatom T10.
3. Loading cairan dengan RL 500 1000 ml sebelum melakukan
tindakan.
4. Tekanan darah harus dipantau secara ketat.
Pada ibu hamil waktu terlentang terjadi hipotensi, posisi dirubah miring
kekiri bila tidak mungkin misal posisi litotomi, tindakan mendorong uterus akan

mengurangi kompresi uterus terhadap vena cava. Dapat diberikan cairan atau
efedrin 10-15 mg IV atau metaraminol melalui infus drip. Fenilefrin tidak
diberikan pada ibu hamil karena menyebabkan vasokontriksi uterus, sehingga
menurunkan perfusi interfilus dan menyebabkan bradikardi pada janin.
5. Hematom Epidural
Sangat jarang terjadi, kecuali epidural dilakukan pada penderita yang
mendapat terapi anti koagulan. Sampai saat ini masih menjadi perdebatan diantara
ahli mengenai keamanan tindakan anestesi epidural pada penderita yang sedang
mendapat terapi anti agragrasi trombosit missal aspirin atau persantin, meskipun
belum pernah dijumpai terjadinya hematom epidural pada penderita yang sedang
mendapat terapi antikoagulan yang dilakukan anestesi epidural. Pemasangan
kateter epidural pada Pain Control Analgesia sebaiknya dilakukan sebelum
pemberian heparin dan pencabutan kateter dilakukan setelah efek heparin
terkontrol.28
6. Komplikasi Neurologis
Komplikasi neurologis pada anestesi epidural sangat jarang terjadi,
kemungkinannya adalah kompresi pada korda spinalis akibat sekunder hematom
epidural, ischemia korda spinalis, meningitis, araknoiditis, syndrom kauda ekuina.
Selain trauma langsung berupa tertusuknya akar serabut saraf, korda spinalis atau
medulla spinalis oleh jarum epidural atau kateter epidural, penyuntikan obat
anestesi sendiri dapat menyebabkan trauma. Insersi jarum epidural dibawah L 1-L2
dapat mengurangi resiko atau mencegah terjadinya trauma.
7. Menggigil
Kejadian pada penderita dengan anestesi epidural 20 50%. Dengan
menggigil akan meningkatkan konsumsi O2, peningkatan kerja jantung dan
penurunuan PO2. Pemberian meperidin 25 50 mg IV atau melalui kateter
epidural biasanya menghasilkan efek yang memuaskan. Diduga narkotik bekerja
pada pusat termoregulator atau efeknya terhadap vasoaktif perifer yang
menghasilkan redistribusi suhu tubuh.

8. Nyeri Punggung ( Low Back Pain )


Nyeri punggung disebabkan oleh karena teregangnya otot atau
ligamentum. Faktor yang berpengaruh pada terjadinya nyeri punggung adalah :
tempat tidur penderita, meja operasi yang kurang baik, trauma waktu penderita
dipindah dari meja operasi dan adanya riwayat nyeri punggung sebelum operasi.
9. Retensi Urin
Retensi urin oleh karena terjadi blok pada S2 S4 terjadi penurunan tonus
kandung kencing serta hilangnya reflek pengosongan kandung kencing.
Menyebabkan peregangan kandung kencing akan menimbulkan perubahan
hemodinamik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Cousins MJ, bridenbaugh PO. Neural Blockade in Clinical Anesthesia and
Management of Pain. JBLippincott Company, Philadelphia, 1980:437-42.
2. Vincent

JC.

Principle

of

Anesthesiology

general

and

regional

Anesthesiology. 3th ed. Lea & Febriger. Philadelphia. 1993:1357-9.


3. John F. Butterworth, dkk. Anesthetic Complication In Morghan and
Mikhails Clinical Anesthesiology 5th Edition. United States: McGra-Hill
Education. 2013: 1219-1228.
4. Kaufman L, Sowray JH, Rood JP. General Anesthesia, Local Analgesia
and Sedation. Blackwell Scientific Publication, London. 1992: 87.
5. Ratna F. Soenarto dan Susilo Chandra. Komplikasi Anestesiologi dalam
Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta : Departemen Anestesiologi dan Intensive
Care FKUI. 2012: 207-218.
6. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2, Jakarta, EGC,
1996: 82-3.
7. Vandam LD. Complication Of Spinal and Epidural Anetesia. In :
Gravenstein N. Kirby RR (eds). Complication in Anestesiology. 2 nd ed.
New York : Lippincott Raven, 1996 : 563-582.

8. Haas DA. Localized Complication from Local Anesthesia. Journal of the


California Association.2000: 1-3

Anda mungkin juga menyukai