Referat Komplikasi Anestesi Gio
Referat Komplikasi Anestesi Gio
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Komplikasi yang berlangsung berhubungan dengan tindakan
anesthesia
dapat mengenai semua organ secara garis besar, komplikasi ini berbentuk trauma
primer (akibat tindakan anestesi), trauma sekunder sebagai akibat perubahan
fisiologi karena tindakan
cairan, penggunaan obat-obat yang toksik bagi organ tertentu), atau kegagalan
manajemen pernafasan.
Secara garis besar ada empat hal yang harus diperhatikan pada pasien pasca
anestesi, yaitu: masalah pernapasan, kardiovaskuler, keseimbangan cairan,
persarafan, perkemihan, dan gastrointestinal (Abrorshodiq, 2009). Harus
diperhatikan bahwa komplikasi anestesi yang tidak segera ditangani akan
berdampak kematian bagi pasien. Beberapa komplikasi lain yang mungkin terjadi
antara lain: pernapasan tidak adekuat, pneumotorakis, atelektasis, hipotensi, gagal
jantung, embolisme pulmonal, pemanjangan efek
arbitur premedikasi,
I.2 Tujuan
Tujuan pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui komplikasi
obat-obatan anestesi dan tindakan anestesi pada berbagai sistem organ tubuh,
pencegahan, dan penatalaksanaan komplikasi anestesi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Contoh
peralatan anestetik
Keterbatasan lingkungan
Ketidakmampuan
dengan
untuk
teknik
atau
memvisualisasi
Pencegahan
Berbagai strategi untuk mengurangi insidens komplikasi anestetik yang
serius meliputi pemantauan dan teknik anestetik yang lebih baik, pendidikan yang
lebih baik, protokol dan standar praktik yang lebih menyeluruh, dan program
penatalaksanaan risiko yang aktif. Pemantauan dan teknik anestetik yang lebih
baik termasuk kontak dengan pasien yang lebih dekat, peralatan pemantauan yang
lebih menyeluruh, dan mesin dan ruang kerja anestesia yang dirancang dengan
lebih baik. Fakta bahwa sebagian besar kecelakaan terjadi selama fase
pemeliharaan anestesiadari pada selama induksi atau emergensitermasuk
kegagalan dalam kewaspadaan. Inspeksi, auskultasi, dan palpasi pada pasien
memberikan informasi yang penting. Peralatan sebaiknya memberikan tambahan
namun
jangan
menggantikan
indera
ahli
anestesiologi
sendiri.
Untuk
meminimalkan kesalahan dalam pemberian obat, syring dan ampul obat di dalam
wilayah kerja sebaiknya hanya diberikan pada mereka yang membutuhkan pada
kasus terbaru dan spesifik. Obat-obat ini secara konsisten harus selalu diencerkan
sampai mencapai konsentrasi yang sama untuk setiap penggunaan dan diberikan
lebel dengan jelas. Sistem komputer untuk pemindaian label obat yang berkodekhusus telah dikembangkan untuk membantu mengurangi kesalahan medis.
Komplikasi yang terjadi pada periode perioperatif dapat dicetuskan oleh
tindakan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien (Thaib, 1989). Komplikasi
segera dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian segera ataupun
belakangan setelah pembedahan.
Komplikasi anestesi dapat terjadi selama/durante anestesi atau pasca
anestesi
Komplikasi Durante Anestesi
1. Respirasi : obstruksi jalan nafas, respirasi abnormal, batuk, apnea,
singultus, spasme (laryngospasm, bronchospasm)
2. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, emboli, disritmia sampai
cardiac arrest
3. Thermic : hypothermia, hyperthermia
4. Kesadaran selama operasi
Komplikasi Pasca Anestesi
1. Respirasi : atelectase, pneumothorax, hiccup, aspirasi pneumonitis
2. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, decompensatio cordis
3. Mata : laserasi kornea, blepharospasm
4. Cairan tubuh : hipovolemia, hipervlemia
5. Neurologi : kejang, bangun lambat, trauma syaraf perifer
6. Mengigil
7. Malignant hyperthermia
8. Mimpi buruk
9. Gaduh-gelisah
10. Muntah
merupakan kasus morbiditas dan mortalitas intra maupun pasca bedah yang sering
dilaporkan. Komplikasi pada sistem pernafasan menyangkut juga komplikasi jalan
nafas. Sebagian besar ini akibat kegagalan manajemen jalan nafas. Kegagalan
manjemen jalan nafas bahkan dapat fatal sebelum tindakan bedah dilakukan.
Diantaranya disebabkan false route intubation, atau intubasi esophageal.
Komplikasi lain adalah regurgitasi isi lambung yang menyebabkan
pneumonia aspirasi. Hal ini biasanya terjadi pada pasien yang tidak puasa atau
yang terganggu pengosongan lambungnya.
Beberapa tindakan anestesi menyebabkan stimulus nyeri yang dapat
berbahaya jika tidak diantisipasi. Peningkatan tonus simpatis akibat nyeri dapat
menyebabkan hipertensi bahkan cerebrovaskuler accident, terutama pada pasien
yang sudah menderita hipertensi pra bedah. Nyeri juga faktor penyebab yang
signifikan untuk spasme koroner, krisis hipertensi pulmonal, atau hipercyanotic
spell. Aktivitas simpatis juga dapat mencetuskan aritmia jantung, apalagi jika
sebelumnya sudah ada ketidakseimbangan elektrolit.
Ketidakcermatan dalam manjemen cairan intraoperatif juga dapat fatal, seringkali
tanpa disadari. Hipovolemia yang berat hingga menyebabkan hipotensi cukup
mudah dideteksi akan tetapi hipovolemia yang terjadi perlahan, seringkali lolos
dari perhatian, apalagi jika ahli anestesiologi hanya mengandalkan normalnya
tekanan darah. Penyebab komplikasi sistem respirasi adalah multifaktorial. Resiko
ini meningkat pada pasien geriatri, pasien dengan kebiasaan merokok, lamanya
anestesia berlangsung, jenis operasi, keadaan umum yang buruk, dan tentu saja
pasi en dengan adanya penyakit paru atau kesulitan jalan nafas sebelum operasi.
transparan karena selain dapat melihat lidah yang tergigit juga dapat melihat jika
pasien muntah.
Trauma jalan nafas (atas) dapat terjadi jika memasukkan alat bantu,
misalnya pipa orofaring (guedel) atau pipa nasofaringeal. Trauma jalan nafas yang
paling sering terjadi berhubungan dengan tindakan laringoskopi dan intubasi.
Mulai yang ringan (gigi tanggal, laserasi sudut mulut) hingga cedera glotis dan
jaringan lunak sekitarnya. Pada tindakan laringoskopi bahkan dapat terjadi
dislokasi dan subluksasi aritenoid.
Laringoskopi semakin traumatis jika pasien memang memiliki anatomi
yang sulit. Namun demikian, pasien dengan anatomi normalpun dapat mengalami
ini. Oleh karena itu, gindakan laringoskopi barus dilakukan sehalus mungkin,
sesingkat mungkin. Harus dipastikan juga analgesia (sistemik atau topikal)
bekerja adekuat.
Intubasi dengan pipa endotracheal (endotracheal tube atau ETT) serig
menyebabkan trauma dan kerusakan struktur jalan nafas atas. Terutama jika
intubasi dilakukan dalam keadaan pasien tetap bernafas spontan, ETT dapat
mencederai pita suara atau menyebabkan laringospasme. Penggunaan balon (cuff)
ETT juga dapat meninbulkan trauma terutama jika ukuran ETT sangat ketat di
trakea atau balon dikembangkan terlalu besar. Pada kasus yang berat bahkan dapt
menyebabkan kelumpuhan pita suara akibat tekanan pada saraf laringeus
reccurens. Pasca bedah, setelah ekstubasi terkadang baru disadari ada
pembengkakan di jalan nafas. Edema laring atau laringospasme pasca ekstubasi
dapat menjadi masalah besar karena dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas.
Edema laring dapat diatasi dengan pemberian O2 yang dilembabkan, epinefrin,
posisi kepala diangkat, bila perlu dilakukan intubasi ulang dengan pipa
endotracheal yang lebih kecil. Meskipun kontroversial, seringkali diberikan
steroid parenteral untuk mengurangi edema ini. Laringospasme dapat diatasi
dengan pemberian O2 tinggi melalui tekanan positif. Pada kasus yang berat dapat
diberikan pelumpuh otot.
oral/nasal,
selang
gastrik,
probe
ekokardiogram
transesofageal
umum,
yang
paling
tidak
serius
adalah
cedera
sendi
kemungkinan
lain
karena
adanya
ketidakseimbangan
elektrolit,
semua
Sistem Organ
Efek
Jantung
Supine
Horizontal1
Jantung
abdomen;
meningkatnya
ketidaksesuai
Trendelenburg
Jantung
terbalik
Lainnya
Litotomi
Jantung
Penurunan
kapasitas
vital;
peningkatan
kecenderung
aspirasi.
Prone
Jantung
Lainnya
Dekubitus
Jantung
lateral
Jantung
Lainnya
Komplikasi
Posisi
Embolisme udara
Duduk,
Pencegahan
Trendelenburg terbalik
alopesia
Sakit punggung
Supine,
Trendelenburg
yang jarang.
Semua
Sindrom
Khususnya litotomi
kompartemen
Abrasi korneal
Khususnya prone
Amputasi jari
Semua
Kelumpuhan saraf
Pleksus brakialis
Semua
Peroneal
Litotomi,
komunis
lateral
dekubitus
Semua
Radialis
Semua
Ulnaris
Prone, duduk
Semua
Iskemia retinal
Nekrosis kulit
1
Efek pada posisi horizontal merupakan perbandingan dengan pasien pada posisi tegak
Perubahan yang berkaitan dengan posisi prone diperberat oleh kerangka pelana konveks
yang digunakan pada pembedahan spinal posterior dan diminimalisasi oleh posisi prone
jackknife.
kesadaran
secara
tiba-tiba
bisa
disebabkan
karena
Dapat terjadi mulai dari simple cornea abrasion sampai dengan kebutaan.
Namun, yang paling sering terjadi adalah simple cornea abrasion. Penyebabnya
masih sulit diidentifikasi, tapi jarang bersifat permanen. Untuk mencegah hal ini
terjadi pada saat pasien tidak sadar tutup kelopak matanya dengan tape (terutama
pada pasien yang diintubasi), serta mencegah adanya kontak langsung antara
oxygen mask dengan mata.
Akhir-akhir ini, cedera mata yang membahayakan disebut neuropati optik
iskemik (ischemic optic neuropathy, ION) telah diketahui. Sindrom ini berasal
dari infark saraf optik akibat menurunnya penyaluran oksigen melalui satu atau
lebih arteriol kecil yang memasok kepala saraf. Banyak dari laporan, kasus ini
melibatkan hipertensi yang telah ada sebelumnya, diabetes, penyakit arteri
koroner, dan merokok, menunjukkan bahwa kelainan vaskular praoperasi
mungkin memiliki peran.
Langkah-langkah yang dapat diambil meliputi (1) meningkatkan aliran
keluar vena dengan memposisikan pasien dengan kepala di atas dan meminialkan
konstriksi abdomen, (2) memantau tekanan darah secara hati-hati dengan jalur
arterial, (3) membatasi derajat dan durasi hipotensi selama hipotensi terkontrol
(disengaja), (4) memberikan transfusi pada pasien anemik yang tampaknya
memiliki risiko ION dengan cukup dini untuk menghindari anemia berat, dan (5)
mendiskusikan dengan ahli bedah mengenai kemungkinan operasi bertahap pada
pasien risiko tinggi untuk membatasi prosedur yang terlalu lama.
Reaksi Alergi
Reaksi hipersensitivitas (alergi) merupakan respons imunologis yang
berlebihan terhadap stimulasi antigenik pada orang yang telah tersensitisasi
sebelumnya. Pasien dapat terpapar terhadap antigen melalui hidung, paru, mata,
kulit, dan saluran gastrointestinal, dan juga secara parenteral (intravena atau
intramuskular)
dan
secara
transperitoneal.
Kelas-kelas
tertentu
dari
Tipe I (segera)
Atopi
Urtikariaangioedema
Anafilaksis
Tipe II (sitotoksik)
Reaksi transfusi hemolitik
Anemia hemolitik otoimun
Trombositopenia diinduksi-heparin
Tipe III (kompleks imun)
Reaksi Arthus
Serum sickness
Pneumonitis hipersensitivitas akut
Tipe IV (tertunda, dimediasi-sel)
Dermatitis kontak
Hipersensitivitas tipe-tuberkulin
Pneumonitis hipersensitivitas kronik
Obat Bebas
Fiksasi pada
antibodi IgE pada
sel mast dan
basofil darah
Carier
Contoh: Albumin
Obat Carier
Kompleks
Prednison Blok
Mitosis
Makrofag
Antibodi IgE
memproduksi sel
Reaginic antibodi
IgE
Degranulasi dan
pelepasan mediator
Isoproterenol, teophylin,
epineprin, dan kromolin blok
parsial
Gambar:
A:
Kardiovaskular
Pulmonar
dermatologis
Penatalaksanaan anafilaksis :
Hentikan pemberian obat
Pemberian 100% oxygen
Epinephrine (0.01 - 0.5 mg IV atau IM)
Pertimbangkan Intubasi atau tracheostomy
Cairan intra vena (injeksi ringer laktat 1-2 L)
Diphenhydramin (50-75 mg IV)
Ranitidin (150 mg IV)
Hydrocortison (di atas 200 mg IV) atau methylprednisolon (1-2 mg/kg)
Dosis dan perjalanan epinefrin tergantung pada beratnya reaksi.
Infuse 0,001 mg/menit bila diperlukan
curah jantung dan kemudian tekanan darah tersebut stabil sampai efek obat
anestesi local habis. Penurunan tekanan darah lebih sensitif terjadi pada orang tua
dan pada penderita dengan riwayat hipertensi sebelumnya.5,10,12
Perubahan tekanan darah tidak berhubungan dengan gerakan atau
rangsangan operasi. Bila dibandingkan dengan anestesi umum, begitu rangsangan
operasi diberikan biasa terjadi peningkatan tekanan darah dan laju jantung.12
Faktor yang mempengaruhi derajat dan insiden hipotensi pada anestesi spinal :
5,9,10
1. Umur
Setelah umur 50 tahun insiden hipotensi meningkat secara progresif
dari 10 % menjadi 30 % . Pada dewasa muda biasanya terjadi hipotensi
kurang berat dibanding usia lanjut dengan tinggi anestesi spinal yang
sama.10,14
2. Jenis kelamin
Lebih sering terjadi pada wanita , hal ini berhubungan dengan tingkat
blok yang lebih tinggi pada wanita meskipun jumlah anestesi local
yang diberikan sama. Perbandingan komplikasi anestesi spinal antara
wanita dan pria adalah 32 % dan 20 %.10
3. Berat badan
Hipotensi, mual dan muntah pada anestesi spinal lebih besar pada
pasien yang memiliki Body Mass Index ( BMI ) 30 %.10
4. Kondisi fisik
Pada pasien dewasa muda dan normovolemi, blok simpatis sampai
pertengahan toraks mungkin tidak menimbulkan hipotensi atau hanya
hipotensi ringan. Pada usia lanjut dan atau hipovolemi atau pasien
dengan kompresi pembuluh darah besar abdomen ( hamil, tumor
abdomen ), blok dengan tinggi yang sama akan terjadi hipotensi
berat.14
5. Jenis obat anestesi
Lidokain lebih cepat menimbulkan hipotensi dari pada buvipakain, rata
rata timbul pada 18 menit pertama tetapi buvipakain lebih sering.
respirasi
yang
timbul
akibat
anestesi
spinal
adalah
merupakan
penyebab
terbesar
kedua
setelah
aktivitas
parasimpatis.
Blok
spinal
akan
Toksik.
akibat anestesi spinal. Kerusakan pada daerah rami saraf S 2-4 akan menimbulkan
lesi neuron motorik inferior berupa atoni kandung kemih dan hilangnya inisiasi
volunter miksi. Sindrom ini dapat berkembang berupa gejala kelemahan motorik
atau paralisa otot-otot di bawah lutut, otot-otot hamstring, gluteal disertai
menghilangnya reflek plantar dan ankle jerk. Jika L5 dan S1 terserang
menyebabkan hilangnya sensoris pada rami sacral bawah dan menghasilkan pola
anestesi sadle yang khas pada perineum, pantat dan paha yang menyebar hingga
kaki dan betis.
b. Kompresi saraf spinal akibat hematom spinal
Kompresi akut pada saraf spinal akibat yang timbul pada spatium
subarachnoid,
subdural,
atau
ekstradural
dapat
menimbulkan
paraplegi
penyuntikan obat atau dipastikan jarum spinal tidak masuk pembuluh darah.
Disamping itu dapat ditambahkan obat vasokonstriktor untuk menghambat
penyerapan obat. Reaksi alergi bisa terjadi akibat pemberian obat anestesi local.
Golongan ester lebih sering daripada golongan amida. Reaksi alergi ini terutama
terjadi pada penderita dengan riwayat atopi. Gejala yang timbul dapat berupa
urtikaria, bronkospasme atau henti jantung.
II.2.3 Komplikasi Anestesi Epidural
1. Duramater Robek Atau Tertusuk
Kejadian tertusuknya duramater pada waktu dilakukan anestesi epidural
yang dilakukan ahli anestesi 1% - 2,5%.12,21 Bila duramater robek akan terlihat
keluar cairan likuor serebro spinalis ( LCS ) pada pangkal jarum epidural,
terutama waktu dilakukan aspirasi. Cairan LCS dapat dibedakan dengan obat
anestesi lokal dengan cara : 12
-
dibedakan suhunya
penurunan kesadaran, henti nafas dan hipotensi berat dan bila tidak segera
ditolong akan terjadi henti jantung. Penderita langsung di intubasi, diberi
nafas buatan oksigenasi 100% dan diberikan vasopresor. Bila terapi yang
diberikan adekuat jarang terjadi sequele.22 Untuk mengurangi resiko
terjadinya blok total spinal yang perlu diperhatikan :
-Hati-hati dalam melakukan tehnik anestesi epidural.
-Aspirasi untuk mengetahui tehnik anestesi epidural.
-Harus dilakukan tes dose.
b. Post Dural Puncture Headache ( PDPH )
Komplikasi ini akibat adanya kebocoran cairan LCS melalui duramater
yang robek, dengan demikian volume dan tekanan LCS menurun sehingga
terjadi regangan pembuluh darah otak dan meniningen. Jumlah cairan LCS
yang keluar melalui robekan duramater tergantung luasnya duramater yang
robek dan juga status hidrasi penderita. Kejadian PDPH pada wanita hamil
dalam persalinan sekitar 25-35% dengan jarum 18 G dan sekitar 15-20%
dengan jarum 20 G.23
Kejadian lebih banyak terjadi pada wanita dalam persalinan dibandingkan
dengan wanita yang tidak hamil, oleh karena pada wanita dengan
persalinan :
- Kehilangan darah sewaktu melahirkan atau operasi.
- Pada waktu mengejan akan memperbanyak cairan LCS yang keluar.
- Periode diurisis setelah persalinan menyebabkan dehidrasi.
- Tekanan intra abdominal menurun pada periode setelah persalinan.
Kebocoran sekitar 12 ml cairan LCS belum mengakibatkan PDPH, namun
bila jumlah sudah lebih dari 20 ml akan terjadi PDPH. PDPH mempunyai
ciri ciri :
-
belakang mata.
-
meningen.
Kardiovaskuler
a. Reaksi alergi
Reaksi alergi terhadap obat anestesi local sangat jarang. Manifestasinya
berupa dermatitis, urtikaria, pruritus, spasme bronchus dan anafilaksis.
Pengobatan dengan epinefrin dan steroid seperti Dopomedrol biasanya
memberikan hasil yang memuaskan.25 Pada penderita dengan riwayat alergi
terhadap obat anestesi local dapat dilakukan test sensitivitas pada kulit, tetapi
jarang dilakukan.25,26
b. Intoksikasi sistemik
Kerja obat lokal anestesi adalah menghambat konduksi pada saraf perifer.
Bila konsentrasi obat lokal anestesi cukup tinggi dalam plasma dapat
mempengaruhi eksitabilitas membran sel lain seperti jantung dan otak. Anestesi
epidural biasanya tidak mengakibatkan konsentrasi obat anestesi lokal meningkat
diatas nilai ambang toksisitas, tetapi bila bila tanpa disengaja obat lokal anestesi
masuk kedalam pembuluh darah menyebabkan efek sistemik dan intoksikasi
terhadap otak serta jantung.25 Gejala toksisitas anestesi lokal yaitu : 23
1. Ringan :Palpitasi, mulut dan tenggorokan kering, tinnitus, vertigo, sakit kepala,
mual dan kebingungan.
4. Hipotensi
Terjadinya hipotensi tergantung dari ketinggian blok sensorik. Bila tingkat
analgetik dibawah T10 biasanya hipotensi yang terjadi minimal. Pengaruh
hipotensi terhadap janin pada ibu dengan persalinan dibawah analgesi epidural
tergantuing pada berat ringannya penurunan tekanan darah serta lamanya kejadian
tersebut. Bila hipotensi yang terjadi ringan dan sebentar tidak terjadi efek samping
yang serius terhadap janin, hal ini kemungkinan telah terjadi mekanisme
kompensasi aliran darah uteroplasenta.23 Persistent moderate hypotension dan
hipotensi yang berat meskipun waktunya sebentar akan menurunkan aliran darah
uteroplasenta dan dapat menyebabkan depresi pada janin. Hal-hal yang harus
diperhatikan pada wanita hamil sebagai berikut :
1. Pada keadaan hipotensi, hipovolemi supine hypotension
syndrome jangan dilakukan dengan tehnik anestesi epidural.
2. Analgesi jangan lebih tinggi dari dermatom T10.
3. Loading cairan dengan RL 500 1000 ml sebelum melakukan
tindakan.
4. Tekanan darah harus dipantau secara ketat.
Pada ibu hamil waktu terlentang terjadi hipotensi, posisi dirubah miring
kekiri bila tidak mungkin misal posisi litotomi, tindakan mendorong uterus akan
mengurangi kompresi uterus terhadap vena cava. Dapat diberikan cairan atau
efedrin 10-15 mg IV atau metaraminol melalui infus drip. Fenilefrin tidak
diberikan pada ibu hamil karena menyebabkan vasokontriksi uterus, sehingga
menurunkan perfusi interfilus dan menyebabkan bradikardi pada janin.
5. Hematom Epidural
Sangat jarang terjadi, kecuali epidural dilakukan pada penderita yang
mendapat terapi anti koagulan. Sampai saat ini masih menjadi perdebatan diantara
ahli mengenai keamanan tindakan anestesi epidural pada penderita yang sedang
mendapat terapi anti agragrasi trombosit missal aspirin atau persantin, meskipun
belum pernah dijumpai terjadinya hematom epidural pada penderita yang sedang
mendapat terapi antikoagulan yang dilakukan anestesi epidural. Pemasangan
kateter epidural pada Pain Control Analgesia sebaiknya dilakukan sebelum
pemberian heparin dan pencabutan kateter dilakukan setelah efek heparin
terkontrol.28
6. Komplikasi Neurologis
Komplikasi neurologis pada anestesi epidural sangat jarang terjadi,
kemungkinannya adalah kompresi pada korda spinalis akibat sekunder hematom
epidural, ischemia korda spinalis, meningitis, araknoiditis, syndrom kauda ekuina.
Selain trauma langsung berupa tertusuknya akar serabut saraf, korda spinalis atau
medulla spinalis oleh jarum epidural atau kateter epidural, penyuntikan obat
anestesi sendiri dapat menyebabkan trauma. Insersi jarum epidural dibawah L 1-L2
dapat mengurangi resiko atau mencegah terjadinya trauma.
7. Menggigil
Kejadian pada penderita dengan anestesi epidural 20 50%. Dengan
menggigil akan meningkatkan konsumsi O2, peningkatan kerja jantung dan
penurunuan PO2. Pemberian meperidin 25 50 mg IV atau melalui kateter
epidural biasanya menghasilkan efek yang memuaskan. Diduga narkotik bekerja
pada pusat termoregulator atau efeknya terhadap vasoaktif perifer yang
menghasilkan redistribusi suhu tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cousins MJ, bridenbaugh PO. Neural Blockade in Clinical Anesthesia and
Management of Pain. JBLippincott Company, Philadelphia, 1980:437-42.
2. Vincent
JC.
Principle
of
Anesthesiology
general
and
regional