SISTEM PERNAFASAN
ANATOMI TERAPAN SISTEM RESPIRASI
Problematik fisioterapi pada kasus respirasi secara global dapat kita kelompokkan
menjadi tiga bagian, yaitu:
Problematika fisioterapi yang berhubungan dengan adanya perubahan patofisiologi
yang terjadi di saluran napas, jaringan paru serta pleura.
Problematika fisioterapi yang berhubungan dengan adanya perubahan pada
mekanika pernapasan/ alat-alat gerak pernapasan
Problematika fisioterapi yang berhubungan dengan adanya gangguan dari kedua
hal diatas yang menyebabkan terjadinya penurunan toleransi aktivitas
Oleh karena itu untuk dapat memahami problematika fisioterapi dengan baik,
fisioterapis perlu untuk memahami tentang anatomi dari sistem respirasi. Dalam
mempelajari anatomi terapan pada sistem respirasi, tidak hanya diperlukan
pengetahuan tentang saluran napas saja, tetapi juga diperlukan pengetahuan
tentang alat gerak pernapasan yang terdiri dari sangkar torak dan otot-otot
pernapasan serta abdomen.
SANGKAR TORAK
Sangkar torak berfungsi untuk melindungi organ-organ penting dari respirasi dan
sirkulasi, termasuk pula liver dan perut. Sangkar torak bagian belakang dibentuk
oleh 12 vertebra thoracalis dan 12 pasang costa bagian posterior. Sedangkan
bagian depan dibentuk oleh sternum dan cartilago costa, serta bagian lateralnya
dibentuk oleh costa. Pada saat bayi baru lahir, bentuk thorak hampir circular,
selama pertumbuhannya dari anak-anak sampai dewasa akan berkembang menjadi
lebih elliptical, dimana diameter lateral lebih lebar dibandingkan dengan diameter
antero-posteriornya. (Dean, 1996)
Sebagian besar dari sangkar torak dibentuk oleh tulang-tulang costa. Tujuh costa
yang pertama pada bagian posterior berhubungan langsung dengan collumna
vertebralis, sedang pada bagian depan melalui cartilago costae akan melekat pada
sternum. Tiga costae berikutnya, cartilago costanya akan melekat pada cartilago
costae diatasnya, sedang dua tulang costa terakhir tidak melekat pada tulang costa
diatasnya.
Masing-masing costae mempunyai kepala dan leher yang pendek yang akan
berartikulasi dengan vertebra. Kepala costae 2-10 akan berartikulasi dengan dua
vertebrae thoracalis yang berdekatan beserta diskus intervertebralisnya yang
Trachea dibentuk oleh ring-ring cartilago yang berjumlah antara 16 sampai dengan
20, berbentuk seperti sepatu kuda dan dihubungkan oleh otot polos. Ring-ring
cartilago tersebut mensupport bagian depan dan samping, sedang bagian posteior
ditutupi oleh otot-otot polos. Di carina, trachea bercabang menjadi dua, yaitu: (1)
Bronchus utama kanan dan (2)Bronchus utama kiri, yang keduanya secara berturutturut akan bercabang-cabang membentuk lobus dan segment-segment.
Percabangan bronchus utama yang sebelah kiri, membentuk sudut dengan trachea
lebih tajam serta lebih panjang bila dibandingkan dengan yang kanan. Bentuk yang
demikian ini menyebabkan memungkinkan aspirasi lebih mudah ke sisi kanan dari
pada ke bronchus kanan. Dinding bronchus tersusun atas lempeng-lempeng
cartilago yang tidak beraturan yang dihubungkan oleh otot-otot polos. Dindingnya
terisi oleh sel-sel epithel yang merupakan kelanjutan dari trachea. Semakin
mendekati ke sisi bronchus, lempengan-lempengan cartilago semakin menipis,
sebaliknya, otot-otot polos dan serabut-serabut elastis menjadi lebih menonjol yang
akan berpengaruh pada diameter dari bronchus. Sedang pada bronchiolus, tidak
ditemukan adanya cartilago dan glandula mukosa, sedang sel goblet jumlahnya
menurun. Disamping itu epithel pseudostratified aagan diganti dengan sel epithel
cuboid yg bercilia, yang semakin mendekati ke arah alveoli cilianya semakin
menghilang. Pada bronchiolus ini dapat kita temui adanya aalveolar macrophage
yang berfungsi untuk memfagosit partikel-partikel kecil yang tidak tersaring. Ini juga
merupakan bagian dari defences mechanism.
Ductus alveolus dibentuk oleh cabang-cabang dari broncheolus respiratorius.
Dinding ductus alveolus disusun oleh serabut elastic dan serabut otot polos yg tipis.
Lapisan ini lama-lama berkurang dan hanya tinggal epithel cuboid yg pendek.
Ductus alveolus ini berakhir dengan beberapa alveolar sacs (kantung-kantung
alveolus).
FISIOLOGI PERNAPASAN
Pernapasan adalah unik. Kebanyakan dari kita jarang yang memperhatikannya,
karena pernapasan dapat terjadi secara automatis (tanpa disadari), namun
pernapasan juga dapat terjadi dengan disadari (voluntary) misalnya ketika kita
sedang berlatih pernapasan, bahkan pada saat seseorang tidak sadarpun,
pernapasan masih juga berjalan. Pemahaman terhadap kerja dari sistem respirasi
dapat menjadikan dasar bagi penalaran/logika dalam melakukan praktik. Dengan
kata lain dengan memahami bagaimana sistem respirasi bekerja, maka
problematika pasien dapat ditegakkan dengan tepat dan pemberian terapi yang
efektif dapat diselenggarakan.
Fungsi utama dari sistem respirasi adalah pertukaran gas, dimana oksigen akan
diambil dari alveolus dan akan dibawa oleh haemoglobin menuju ke jaringan yang
akan diperlukan dalam proses metabolisme, disisi lain carbondioksida, sebagai hasil
sisa dari metabolisme akan dibuang melaui pernapasan saat ekspirasi. Jika
mekanisme tersebut berjalan baik, maka oksigen dalam pembuluh darah arteri,
karbondioksida dan kadar pH akan tetap dalam batas-batas normal pada berbagai
macam kondisi fisiologis yang berbeda. Untuk dapat memahami kerja dari istem
respirasi, maka berikut ini secara berturutan akan dibahas tentang: (1) Definisi dari
ventilasi, volume paru dan dead space/ruang rugi; (2) Distribusi ventilasi/gas; (3)
Mekanika pernapasan; (4) Difusi; (5) Perfusi; (6) Ratio ventilasi/perfusi.
alveoli. Alveolar dead space adalah udara yang mencapai alveoli tetapi tidak dapat
mencapai darah, sehingga tidak terjadi proses pertukaran gas disini. Penjumlahan
antara anatomikal dead space dan alveolar dead space disebut fisiological dead
space (ruang rugi fisiologis)
Adaempat volume paru yang utama, yaitu (1) Volume tidal; (2) Inspiratory reserve
volume; (3) expiratory reserve volume; dan (4) Residual volume.
Volume tidal (Vt) adalah sejumlah udara yang dihirup dan di keluarkan pada seatiap
kali pernapasan. Ini dapat menunjukkan kedalaman bernapas yang terdiri dari
sejumlah udara yang dapat mencapai alveoli (alveolar ventilation) dan yang hanya
berada di saluran napas (dead space ventilation).
Reverse volume (volume cadangan), adalah sejumlah udara yang dapat bergerak
diatas atau dibawah volume tidal normal. Hal ini dapat merefleksikan keseimbangan
antara elastisitas paru dan dinding torak, kekuatan otot-otot pernapasan dan
mobilitas torak. Oleh karena itu, volume cadangan berhubungan dengan
kemampuan untuk meningkatkan atau menurunkan volume tidal. Ada dua jenis
volume cadangan:
Inspiratory Reserve Volume/IRV (Volume cadangan inspirasi), Jumlah maksimal
udara yang dapat dihirup dari puncak volume tidal.
Expiratory Reserve Volume/ERV (Volume Cadangan Ekspirasi), Jumlah udara yang
dapat dikeluarkan setelah akhir volume tidal normal.
Residual Volume/Volume residu (RV), adalah sejumlah udara yang masih tetap
tinggal di paru-paru setelah ekspirasi paksa/penuh, oleh karena itu paru normal
tidak akan kolaps pada akhir ekspirasi maksimal.
Keempat volume tadi dapat dikombinasi untuk membentuk empat kapasitas paru,
yaitu; (1) Total Lung Capacity/TLC (Kapasitas total paru); (2) Vital Capacity/VC
(Kapasitas vital); (3) Inspiratory Capacity/IC (Kapasitas Ispirasi) dan (4) Functional
Residual Capacity/FRC (Kapasitas fungsional residu).
Total Lung Capacity, jumlah udara yang ada dalam sistem respirasi setelah inspirasi
maksimal, yang merupakan penjumlahan dari ke kempat volume paru.
Vital Capacity, Jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan setelah inspirasi
maksimal. Jadi VC adalah merupakan penjumlahan dari IRV + Vt + ERV.
Inspiratory capacity, yaitu jumlah udara maksimal yang dapat dihirup setelah akhir
ekspirasi tenang. Jadi IC adalah merupakan penjumlahan dari Vt + IRV.
Functional Residual Capacity, yaitu jumlah udara yang masih tertinggal dalam paru
setelah akhir ekspirasi tenang. Besarnya FRC ditentukan oleh keseimbangan dari
dua kekuatan yang berbeda, yaitu (1) Daya elastik recoil dari paru-paru ke arah
dalam; (2) Daya elastik recoil dari sangkar torak ke arah luar. Nilai FRC yang normal
amat bermanfaat untuk mekanika paru dan area permukaan alveolus yang optimal
dalam rangka efisiensi dari ventilasi dan proses pertukaran gas.
DISTRIBUSI VENTILASI/GAS
Udara yang masuk ke dalam paru-paru tidak didistribusikan ke dalam paru secara
merata. Salah satu penjelasan dari distribusi ventilasi yang tidak merata ini adalah
karena besar paru kiri dan kanan yang tidak sama. Perbedaan secara topografis
juga terjadi pada masing-masing bagian paru. Karena adanya perbedaan tekanan
intrapleural yang disebabkan oleh: gravitasi, dinding thorax, kekuatan paru, maka
alveoli pada area dependen akan lebih kecil dan lebih compliant dibandingkan
dengan alveoli di daerah yang kurang dependen. Oleh karena itu, pada saat
pernapasan terjadi pada FRC yang normal, alveoli pada daerah dependen akan
menerima udara inspirasi tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan daerah
independent (Shaffer et al, 1990). Sebagai contoh, pada saat seseorang duduk
tegak atau berdiri, maka pada saat pernapasan terjadi pada FRC yang normal, maka
daerah basal akan memperoleh distribusi ventilasi yang lebih banyak bila
dibandingkan daerah apical. Demikian pula pada posisi terlentang, maka bagian
posterior akan mendapatkan ventilasi lebih baik bila dibandingkan dengan bagian
anterior.
Namun demikian, jika pernapasan terjadi pada volume paru yang sangat rendah
(low lung volume) atau volume paru yang besar (high lung volume), maka
hubungan perbandingan diatas tidak berlaku. Pada pola pernapasan dengan volume
paru yang besar (high lung volume breathing pattern) semua alveoli menjadi kurang
lentur, oleh karenanya distribusi ventilasi cenderung merata. Kebalikannya, pada
pola pernapasan dengan volume paru rendah (low lung volume breathing pattern),
saluran napas pada daerah dependen tertutup yang menyebabkan tersumbatnya
distribusi ke area tersebut.
Distribusi ventilasi dapat juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lokal yang
berhubungan dengan penyakit, misalnya: obstruksi jalan napas, kelenturan dari
paru-paru dan sangkar torak, kelemahan otot-otot pernapasan. Namun demikian
adanya ventilasi kolateral antara alveoli yang saling berdekatan melalui the pores
of Kohn atau antara alveoli dan bronchiolus respiratorius melalui Lamberts canal
akan dapat membantu terventilasinya regio paru yang tersumbat saluran napasnya.
MEKANIKA PERNAPASAN
Dalam setiap siklus pernapasan, agar udara dapat mengalir masuk ke paru-paru,
maka otot-otot pernapasan harus bekerja kuat untuk dapat melawan daya elastik
recoil dari paru-paru dan totak, termasuk pula tahanan antara arus udara dengan
saluran napas. Kerja dari otot-otot pernapasan tersebut harus mampu membuat
tekanan intraalveolar rebih rendah dari tekanan atmosfir. Akibat perbedaan tekanan
ini, maka udara akan masuk ke paru-paru. Alat bantu pernapasan (ventilator) akan
diperlukan bila ada pasien yang otot-otot pernapasannya tidak mampu
menghasilkan tekanan negatif yang adequat.
Pada saat ekspirasi, udara akan keluar jika tekanan intraalveolar lebih besar dari
pada tekanan atmosfir. Hal ini terjadi saat otot-otot pernapasan kembali ke posisi
rileks. Diafragma akan bergerak ke atas, sehingga akan menekan paru-paru yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraalveolar. Demikian pula dengan otot-otot
intercostal, pada saat bergerak ke posisi rileks, maka sangkar torak akan turun ke
posisi preinspirasi. Hal ini juga menyebabkan penekanan ke paru dan peningkatan
tekanan intraalveolar. Walaupun masih kontroversi, proses ekspirasi ini dikatakan
merupakan proses yang pasif, akibat adanya daya elastic recoil Pru-paru. Namun
disisi lain, proses ekspirasi adalah proses yang aktif, dimana terjadi aktivitas otototot inspirasi yang bekerja secara eksentrik/memanjang. Jika tidak ada aktivitas dari
otot-otot tersebut, maka ekspirasi akan berlangsung secara singkat, sehingga arus
udara ekspirasi akan cepat.
DIFUSI
Jika udara telah mencapai alveoli, maka udara harus masuk ke pembuluh kapiler
melalui membran alveolar-capiler/ A-C membran (membrana respirasi). Udara harus
melewati lapisan surfaktan, membran epithel alveolus dan membran endothel
kapiler. Setelah mencapai kapiler, oksigen masih harus berjalan lagi melewati
plasma, membran erythrocyte dan cairan intercellurer dalam erythrocyte sampai
akhirnya bertemu dengan hemoglobin dan terikat padanya membentuk
oxyhemoglobin. Pada orang normal, perjalanan dari oksigen ini sebetulnya jaraknya
tidak jauh, tetapi pada orang yang sakit jaraknya dapat meningkat. Dinding alveolus
dan kapiler dapat menjadi lebih tebal. Cairan, edema atau exudate dapat
memisahkan kedua membran. Keadaan ini akan diketahui jika PaO2 menjadi rendah
dari normal secara kronis. Oksigen akan berdifusi secara lambat melalui A-C
membran tadi dibandingkan dengan difusi CO2. Akibatnya akan ditemukan adanya
hypoxemia dengan PaCO2 normal.
PERFUSI
Perfusi adalah merupakan aliran darah yang tersedia di sirkulasi pulmonal dan
berfungsi untuk pertukaran gas. Sirkulasi pulmonal berjalan pada tekanan yang
relatif rendah bila dibandingkan dengan sirkulasi sistemik. Dengan alasan tersebut,
dinding pembuluh darah di sirkulasi pulmonal lebih tipis dibandingkan dengan
sirkulasi sistemik.
Tekanan hidrostatik mempunyai efek yang siknifikan terhadap perfusi pada lobus
bagian bawah. Tekanan hidrostatik ini merupakan efek dari garvitasi terhadap
darah, yang menyebabkan kecenderungan darah untuk perfusi pada paru bagian
bawah.
Aliran darah di sirkulasi pulmonal tidak didistribusikan secara merata di alveoli.
Besarnya aliran di kapiler paru tergantung pada tekanan udara di alveolus dan
tekanan hidrostatik di kapiler. Walaupun tekanan udara di alveolar relatif sama,
tetapi tekanan hidrostatik di kapiler sangat bervariasi. Zona West menjelaskan
tentang hubungan tekanan dan arus sirkulasi. Pada zona I, pada daerah apex paru,
tidak ada darah yang mengalir di kapiler. Tekanan udara alveolar lebih besar dari
pada tekanan hidrostatik kapiler, akibatnya pembuluh kapiler akan tertekan.
Adapun bagian yang terbesar adalah zone II, disini tekanan arteriole pulmonalis
lebih besar dari tekanan udara alveolar, tetapi tekanan vena pulmonalis pada ujung
kapiler lebih rendah dari tekanan udara. Jadi arus darah ditentukan oleh perbedaan
tekanan arteriole pulmonal dan tekanan udara alveolar. Akibatnya semakin menuju
ke arah bagian dependen paru, maka tekanan intracapillary meningkat dan arus
darah juga meningkat. Pada zone III, atau bagian dependen paru, tekanan
hidrostatik vena melebihi tekanan alveolar. Kapiler akan terbuka lebar, sehingga
arus darah tidak terhambat. Pada orang normal, pada posisi duduk tegak, arus
darah akan meningkat dari apex ke bagian basal paru, dengan perbandingan bagian
basal akan mendapatkan aliran 10 kali lebih besar dari bagian apex.
Kapiler-kapiler paru, lebih permeabel terhadap plasma protein dari pada kapiler di
sirkulasi istemik. Jumlah protein di jaringan instersitial paru 10 20 kali lebih
banyak dibandingkan dengan di jaringan sistemik. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan tekana osmotik interstitial. Filtrasi terjadi di sepanjang kapiler paru.
Pada orang normal, epithel alveoli relatif tidak permeabel terhadap cairan. Cairan
yang terfiltrasi tidak masuk ke alveoli, tetapi akan diangkut oleh sistem
lymphatikus. Sistem lymphatikus disini dapat menghandle 10 kali lebih besar dari
normal pembuluh lymphe. Tetapi jika filtrasinya meningkat melebihi kapasitas ini,
maka cairan akan terakumulasi di jaringan interstitial (edema paru) dan akhirnya
akan masuk ke alveoli.
RATIO VENTILASI/PERFUSI
Udara dan darah harus berada pada tempat yang sama, pada waktu yang sama
untuk dapat terjadinya pertukaran gas. Oleh karena itu area yang terventilasi
dengan baik, harus kontak dengan area yang perfusinya baik agar didapatkan
pertukaran gas yang optimal, dengan kata lain ratio ventilasi perfusi (V A/Q)
harusnya seimbang, yaitu 1 :1. Adanya ketidak seimbangan dari hubungan ini dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas.
Wasted perfusion, terjadi pada kasus konsolidasi maupun kollaps alveolus
(atelectasis) yang menyebabkan darah yang mengalir di kapiler tidak mengangkut
oksigen (Low VA/Q).
Wasted ventilation, terjadi pada kasus emboli paru, dimana dapat menyebabkan
terjadinya alveolar dead space, yaitu udara segar yang masuk ke alveolus tidak
dapat kontak dengan darah karena tidak ada perfusi.
PROBLEMATIKA PASIEN PADA KASUS RESPIRASI
PENDAHULUAN
Salah satu kunci keberhasilan dari manajemen fisioterapi yang efektif adalah
melakukan pemeriksaan yang akurat, sehingga problematik pasien dapat
diidentifikasi. Penentuan problematik pasien ini adalah merupakan analisa dari data
yang didapat dari proses pemeriksaan. Secara global, problematik fisioterapi yang
dialami oleh pasien dengan gangguan respirasi dapat dibagi menjadi tiga kelompok
besar, yaitu:
Adanya perubahan patofisiologi pd saluran napas dan jaringan paru
Adanya perubahan mekanika pernapasan
Adanya penurunan toleransi aktivitas
Ketiga problem diatas saling berhubungan dan dapat menyebabkan hubungan
sebab akibat, artinya adanya kelainan pada saluran napas misalnya: obstruksi jalan
napas dapat menjebabkan kelainan terjadinya perubahan mekanika pernapasan,
begitu pula sebaliknya. Namun secara umum, problematik pasien yang sering
dihadapi oleh fisioterapis pada kasus respirasi adalah:
Sesak napas
Gangguan pembersihan jalan napas
Airflow limitation
Penurunan volume paru
Gangguan pertukaran gas
Disfungsi otot-2 pernapasan
Abnormal breathing pattern
Deformitas torak
Pain
Penurunan Toleransi aktivitas
SESAK NAPAS
landasan
patofisiologis
terjadinya
gangguan
CONTOH KLINIS
KOMPOSISI
Peningkatan produksi
Bronkitis
kronis,
asthma,
bronchiectasis, an artificial
intubation
Kolonisasi mukus
Infeksi paru
cystic
airway,
fibrosis,
tracheal
Dehidrasi sistemik
MUCOLILIARY
Usia
Kecepatan
mucociliary
sekitar 60% pd lansia
transport
Tidur
Environment pollutant
Obat
General anaesthesia,
menekan MC
Menurunkan aktifitas MC
Menurunkan aktifitas MC
morphine,
menurun
narcotic
kelemahan
otot-2
Pemeriksaan yang dapat kita lakukan untuk mengetahui adanya problem ini adalah:
Anamnesis
Penurunan arus udara yg terdapat dalam sal napas biasanya berhubungan dengan
problem Fisioterapi yg lain seperti sesak napas, penurunan toleransi aktivitas,
gangguan pembersihan jalan napas, dan batuk yg abnormal.
Beberapa proses patofisiologi yg mempengaruhi arus udara pd jalan napas mis:
Bronchoconstriction,
Oedema membrana mukosa,
Retensi mukus,
Destruksi/dilatasi dari saluran napas & jaringan parenchim paru
Sebagai akibat dari hambatan arus udara di saluran napas tersebut dapat
menyebabkan terjadinya perubahan fungsi paru dan mekanika pernapasan,
misalnya:
High lung volume breathing pattern
Increase work of breathing.
Increase RR
VA/Q mismatch
Low PaO2
Prolonged expiration
Hyperinflation
Pemeriksaan yang dapat kita lakukan untuk mengetahui adanya problem ini adalah
dengan menggunakan spirometry atau peak flowmeter.
Spirometry
Spirometry merupakan salah satu jenis pemeriksaan fungsi paru yang paling umum
dan sering dilakukan oleh fisioterapis. Dalam aplikasinya, spirometry merupakan
ekspirasi paksa tunggal yang diselenggarakan dari kapasitas total paru dengan
menggunakan sprirometer. Dari penyelenggaraan tes ini dapat diperoleh beberapa
pengukuran, yaitu:
FEV1
FEV3
FVC
PEFR
MMEFR
Peralatan yang dibutuhkan:
Spirometer
Clip hidung
Mouthpiece
Kertas spirometer
Prosedur
Jelaskan tujuan tes dan prosedur tes
Pasien diminta untuk melonggarkan pakaian yang ketat
Posisi pasien dapat duduk tegak atau berdiri
Mouthpiece diletakkan sedemikian rupa sehingga dagu sedikit terelevasi dan leher
sedikit ekstensi
Pasang clip hidung
Pasien
diminta
untuk
menarik
napas
sedalam
mungkin,
kemudian
menghembuskannya secepat mungkin, sekuat mungkin dan selama mungkin.
Selama pasien menjalani tes, terapis dapat memberikan support agar dapat
melakukan tes secara maksimal
Jalannya tes harus dievaluasi dengan seksama. Beberapa masalah yang sering
muncul:
Penurunan volume paru dapat terjadi pada beberapa kasus baik akut (mis; paska
operasi besar) maupun kronik (mis; penyakit paru fibrosis). Problem penurunan
volume paru ini akhir akhir ini mendapatkan perhatian yang serius, terutama
penurunan volume paru pada paska operasi bedah torak dan bedah abdomen
bagian atas, mengingat tingginya resiko terjadinya komplikasi paru akibat dari
penurunan volume paru ini. Terjadinya komplikasi paru paska operasi, selain dapat
meningkatkan biaya pengobatan, juga beresiko meningkatnya angka kematian
(mortality rate).
Hypercapnia
Hypocapnia
Untuk mengetahui adanya gangguan pertukaran gas, dapat kita lakukan analisa gas
darah
ANALISA GAS DARAH
Dalam kehidupan sehari hari, orang butuh bergerak, misalnya: pergi belanja ke
pasar/ supermarket, melakukan aktivitas keseharian di rumah, naik tangga ke lantai
atas, bahkan beberapa aktivitas memerlukan energi yang relatif besar, seperti
bermain olah raga dan beberapa aktivitas rekreasi yang lain.
Pada orang normal, aktivitas tersebut dapat dilakukan dengan nyaman. Sayangnya,
pada orang dengan penyakit paru-paru, mereka akan kesulitan untuk melakukan
aktivitas tersebut, bahkan untuk melakukan aktivitas keseharian di rumahpun
sering kesulitan dan tidak nyaman karena sesak. Kesulitan dalam bernapas ini
sering disebut dyspnoe dan sering menjadi alasan mengapa seseorang harus
berhenti melakukan suatu aktivitas atau exercise.
Banyak orang dengan penyakit respirasi kronik enggan untuk melakukan exercise
karena takut sesak. Hal ini akanmenyebabkan terjadinya deconditioning. Pada
seseorang yang deconditioning, kebutuhan energi yang diperlukan untuk suatu
aktivitas/exercise sangat tinggi dibandingkan dengan seseorang yang tingkat
kebugarannya baik (fit). Hal ini disebabkan karena mekanisme central dan perifer
yang menyebabkan peningkatan respon HR terhadap latihan, peningkatan cardiac
after load dan penurunan kapasitas otot untuk latihan aerobic. Disamping itu,
deconditioning dapat pula menyebabkan ketidak efisienan kerja otot, sehingga
perlu tingkat fungsi kognitif yang tinggi untuk melakukan suatu aktivitas.
Kesemuanya
ini
akanmenyebabkan
tingginya
energi
yang
diperlukan
untukmelakukan suatu exercise/aktivitas.
Salah satu protokol yang dapat digunakan untuk menentukan penurunan toleransi
aktivitas adalah dengan menggunakan protokol six minutes walking test
PROTOKOL UNTUK TES JALAN 6 MENIT
(SIX MINUTES WALK TEST)
Peralatan :
Trak sepanjang 25 meter
Pulse oximeter
Oxygen
Tensimeter
Blanko untuk dokumentasi
Kriteria ekslusi :
Pulse oximetri dilakukan selama tes, untuk tes yang pertama. Pasien yang
memerlukan oxygen harus tetap menggunakan oxygen. Untuk pasien yang tidak
menggunakan oxigen, kemudian pada saat tes SaO 2 menunjukan 85%, maka harus
diminta untuk berhenti dan tes tidak dilanjutkan.
Terapist berjalan dibelakang pasien
Pasien diberikan informasi tentang waktu yang telah dilalui (mis: 2, 4, 6 menit dan
stop)
Jarak yang terpanjang dari ketiga tes yang akan digunakan. Lamanya waktu
istirahat juga harus dicatat.
Segera sesudah tes, pasien diminta untuk menunjuk derajad sesak dan derajad
beratnya aktivitas dengan skala Borg. HR, BP, RR dan saturasi oksigen diukur.
Pasien juga diminta untuk menjelaskan keluhan apa yang menghambat jalannya
(mis: sesak, nyeri pada tungkai, dll)
DAFTAR PUSTAKA
Dean, E. (1996). Body positioning. In D. Frownfelter & E. Dean (Ed.)Principles and
practice of cardiopulmonary physical therapy. St, Louis; Mosby.
Ellis, . and Alison, J. (1992). Ey Issues in Cardiorespiratory Physiotherapy. Sydney;
Buterworth-Heinemann Ltd.
Ewart, W. (1901). The treatment of bronchiectasis and other brobchial affectations
by posture and respiratory exercise. Lancet, 2, 70-72.
Gosselink, H. (1989). Fysiotherapie ter vermindering van luchweg obstruktie. In H.
Gosselink (Ed.) Fysiothepaie bij CARA . Utrecht; Wetenschappelijke uitgeverij Bunge.
Hough, A. (1991). Physiotherapy
approach.London; Chapman & Hall.
in
espiratory
Care.
Problem
solving
Exercise.
Foundation
and
Pasteur, W. (1908). Massive collapse of the lung. Lancet, November 7th, 1352-1355.
Pavia,
D.
(1990).
The
role
hypersecretions. Lung, 614-621.
of
chest
physiotherapy
in
mucus
Powers, SK and Howly, ET. (1990). Exercise Physiology, Theory and Application to
Fitness and Performance.USA; Wm.C.Brown Publisher.
Pryor, J. and Webber, B. (1998) Physiotherapy for Respiratory and Cardiac
Problems.Edinburg; Churchill ivingstones.
Starr, JA. (1992) Manual technique of manual chest physical therapy and airway
clearance techniques. In C.C. Zadai (Ed.) Pulmonary management in physical
therapy. New ork; Churchill Livingstone.
Van der Schans, C. & Postma, D., Koeter, G., and ubin, B. (1999) Physiotherapy and
bronchial mucus transport. European Respiratory Journal, 13, 1477-1486.
Wanner, A. andSankner,MA(1983) Pulmonary Diseases, Mechanism of Altered
Structure and Function.Boston; LITTLE, Brown and Company.
Watchie, J. (1995). Cardiopulmonary Physical herapy, A Clinical manual.London; WB
Saunders Company.