BAB 3 Metodologi
BAB 3 Metodologi
Pre
Feasibility
Studi
Feasibility
Studi
Detail
Engineeri
ng
Desain
feasibility study adalah tahap awal dalam studi atau penelitian sebelum implementasi
suatu proyek. Tahapan ini adalah tahapan dimana suatu ide pembangunan suatu proyek
infrastruktur dimunculkan kemudian dilakukan beberapa analisis yang diperlukan dalam
proses pra-FS tersebut yaitu, analisis supply-demand, analisis operasi, analisis teknis
dan, tentu saja analisis finansial maupun ekonomi. Keluaran yang dihasilkan adalah
analisis kelayakan teknis serta pembiayaan pada kajian ini
Seperti dijelaskan pada Gambar 3.1, tahapan pre feasibility study ditindaklanjuti dengan
pekerjaan feasibility study. Pada proses tersebut dilakukan beberapa review atau kaji
ulang dari studi sebelumnya. Dalam studi FS analisis yang dilakukan pada dasarnya
sama dengan lingkup analisis pada tahapan pra-FS namun dengan lingkup yang lebih
dibatasi serta tingkat akurasi analisis yang lebih tajam. Secara umum konsep studi,
analisis dan substansinya sama tetapi pada studi ini toleransi kesalahan yang dilakukan
akan semakin kecil.
Pada tahap pekerjaan FS terdapat tahapan ANDALL atau analisis dampak lalu lintas atas
dibangunnya suatu proyek tersebut. Preliminary design dari pembangunan proyek
tersebut harus sudah terlihat pada proyek FS dan preliminary design tersebut digunakan
untuk menghitung estimasi biaya pembangunan sampai dengan estimasi per pekerjaan
atau per satuan pekerjaan secara lebih rinci dan akurat sebagai penyempurnaan estimasi
pada tahap pra-FS.
Setelah proses perencanaan baik Pra-FS dan FS selesai kemudian masuk ke tahap
desain terinci dan pelaksanaan pekerjaan konstruksi harus dilanjutkan dengan tahap
evaluasi atau monitoring. Tahap ini adalah tahap teknis dimana segala permasalahan baik
secara ekonomi finansial, kendala teknis dan operasi telah dianalisis dan diprediksi pada
dua tahap sebelumnya sehingga keputusan untuk melaksanakan kegiatan tersebut
adalah keputusan yang sudah final.
3.2. PERATURAN MENGENAI PERLINTASAN KA
Pada UU No 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian, menjelaskan bahwa
perekerataapian adalah satu kesatuan system yang terdiri atas prasarana, sarana, dan
sumber daya manusia, serta norma, criteria, persyaratan, dan prosedur untuk
penyelenggaraan transportasi kereta api.
Pasal 91
(1) Perpotongan antara jalur kereta api dan jalan dibuat tidak sebidang.
(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan dengan tetap menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api
dan lalu lintas jalan.
Pasal 92
1. Pembangunan jalan, jalur kereta api khusus, terusan, saluran air dan/atau prasarana
lain yang memerlukan persambungan, dan perpotongan dan\atau persinggungan
dengan jalur kereta api umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) harus
dilaksanakan dengan ketentuan untuk kepentingan umum dan tidak membahayakan
keselamatan perjalanan kereta api
III-2
f). jarak pandangan bebas minimal 500 m untuk masinis dan minimal
150 m untuk pengemudi kendaraan bermotor
Pasal 4 (2)
Jarak pandangan bebas minimal 500 m bagi masinis kereta apian 150
meter bagi pengemudi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud
ayat (1) huruf f dimaksudkan bagi masing-masing untuk
memperhatikan tanda-tanda atau rambu-rambu dan khusus untuk
pengemudi kendaraan bermotor harus menghentikan kendaraannya
Pasal 6 (1)
Untuk melindungi keamanan dan kelancaran pengoperasian kereta api
pada perlintasan sebidang, kereta api mendapat prioritas berlalu lintas
Pasal 6 (2
Untuk keamanan dan kelancaraan operasi kereta api perlintasan wajib
dilengkapi rambu peringatan, rambu larangan, marka berupa pita
penggaduh, pintu perlintasan,dan isyarat suara adanya kereta api
melintas
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 22 tahun 2003 tentang Pengoperasian
Kereta api
Pasal 75 (3)
Pasal 80 (1)
Rintang jalan pada lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat
(3) huruf e, disebabkan oleh:
a. peristiwa alam,
b. kecelakaan,
c. adanya gangguan prasarana kereta api,
d. sebab ain yang dapat mengancam keselamatan perjalanan kereta
api
Pasal 80 (2)
Kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
disebabkan:
a. tabrakan kereta api dengan kereta api atau dengan moda lain,
b. kereta api sebagian atau seluruhnya keluar jalur rel,
c.kecelakaan lainnya.
3.3. PERLINTASAN JALAN REL DENGAN JALAN RAYA
Perlintasan antara jalan rel dengan jalan umum pada prinsipnya terbagi atas dua macam,
yaitu:
1. perlintasan yang dilalui dengan kendaraan, umumnya banyak dijumpai di daerah
perkotaan. Perlu dilengkapi dengan rambu dan pintu pengamanan lalu lintas;
2. perlintasan yang hanya dilewati orang dan hewan, tetapi tidak dilalui kendaraan.
Biasanya dapat ditemui pada daerah luar perkotaan atau pinggiran kota (pedesaan).
Perlintasan yang dilewati dengan kendaraan berarti perlintasan dengan jalan raya dapat
berbentuk sebidang dan tidak sebidang. Untuk lalu lintas kendaraan yang rendah masih
dimungkinkan terjadi perlintasan sebidang yang dilengkapi dengan beberapa rambu
pengamanan dan penjaga lintasan. Tetapi untuk lalu lintas kendaraan yang padat
khususnya di kota-kota besar, seharusnya dihindari terjadinya perlintasan sebidang,
sehingga perlu dibuat dibuat perlintasan tidak sebidang (viaduct).
A. Perlintasan sebidang
Untuk perlintasan sebidang yang merupakan suatu daerah konflik antara 2 moda yang
masing-masing mengejar sasaran yang sama yaitu efisiensi dalam pengoperasian
dengan kecepatan laju yang tinggi dan penyelaan yang rendah.
III-4
Perlintasan sebidang antara jalan rel dan jalan raya harus tersedia jarak pandangan yang
memadaii bagi kedua belah pihak, terutama bagi pengendara kendaraan. Sering terjadi
kecelakaan antara kereta api dengan pemakai jalan raya. Perlu dilakukan pengurangan
jumlah perlintasan sebidang inii khususnya untuk daerah-daerah yang padat lalu lintas
untuk mengurangi kemacetan yang sering terjadi terutama di dalam kota.
Apabila tidak ada rambu atau tanda pemberitahuan. Bahwa kereta api akan melewati
perlintasan, maka ada dua kejadian yang menetukan jarak pandangan (A policy on
Geometric Design of Highways and Streets, 1984, ASHTO).
a) Pengemudi kendaraan dapat melihat kereta api yang mendekat sedemikian rupa ,
sehingga kendaraan dapat menyeberangi perlintasan sebelum kereta api tiba pada
perlintasan
b) Pengemudi kendaraan dapat melihat kereta api yang mendekat sedemikian rupa,
sehingga kendaraan dapat dihentikan sebelum memasuki daerah perlintasan
B. Perlintasan tidak sebidang
Pada dasarnya perlintasan jalan rel dengan jalan dibuat tidak sebidang. Perlintasan tidak
sebidang ini merupakan pertemuan lintasan antara jalan dengan jalan rel tidak memiliki
elevasi (ketinggian) yang sama, sehingga salah satu dari lintasan tersebut berada di
bawah atau di atasnya. Secara umum terdapat dua macam perlintasan tidak sebidang
yaitu flyover dan underpass. Flyover merupakan bentuk perlintasan yang berupa
jembatan layang (jalan) yang berada di atas jalan rel. Sedangkan untuk underpass
merupakan bentuk perlintasan jalan raya berada di bawah jembatan (perlintasan) jalan
rel.
Untuk perlintasan tidak sebidang ini ketinggian (elevasi) dan kelandaian sangat
mempengaruhi. Dengan adanya persyaratan ini, maka untuk membuat perlintasan yang
tidak sebidang ini membutuhkan bentang jembatan (baik rel maupun jalan) yang cukup
panjang sebagai bentuk arahan keselamatan transportasi diperlintasan. Untuk keideal
jalur lintasan ini diusulkan untuk lintasan yang tidak sebidang. Namun secara finansial
kondisi saat ini untuk perlintasan seperti subway dan monorel masih jauh untuk
diterapkan di Indonesia.
3.4. PENENTUAN JENIS PERLINTASAN KA DAN JALAN RAYA
a. Perlintasan sebidang antara jalan dengan jalur kereta api, terdiri dari :
1) perlintasan sebidang yang dilengkapi dengan pintu;
a) otomatis;
b) tidak otomatis baik mekanik maupun elektrik
2) perlintasan sebidang yang tidak dilengkapi pintu.
b. Perlintasan sebidang sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 1) apabila melebihi
ketentuan mengenai:
1) Jumlah kereta api yang melintas pada lokasi tersebut sekurang-kurangnya 25
kereta/hari dan sebanyak-banyaknya 50 kereta /hari;
2) volume lalu lintas harian rata-rata (LHR) sebanyak 1.000 sampai dengan 1.500
kendaraan pada jalan dalam kota dan 300 sampai dengan 500 kendaraan pada
jalan luar kota; atau
III-5
3) hasil perkalian antara volume lalu lintas harian rata-rata (LHR) dengan frekuensi
kereta api antara 12.500 sampai dengan 35.000 smpk, maka harus ditingkatkan
menjadi perlintasan tidak sebidang.
Untuk menentukan batasan perlu tidaknya perlintasan kereta api dijaga atau tidak,
Gambar 2.2 memberikan batasan itu.
III-6
III-7
Pendalaman susbtansi
Survei transportasi
Hidrologi dan drainase
Topografi (pengukuran)
Geologi dan geoteknik Lingkungan
Volume
Kapasitas
Kinerja
Curah hujan
Genangan
Drainase
Geologi
Sondir
Gempa
Anlaisis
Alternatif-Alternatif
Sosial
Utilitas
Ekonomi
Tata Guna
lahan
Teknis
Sosial
Lingkungan
Ekonomi
Transportasi
Analisis ekonomi
Evaluasi kelayakan
Rekomendasi
III-8
1. Pendalaman substansi
Pendalaman substansi pengembangan Perlintasan Tidak Sebidang Kroya merupakan
langkah awal di dalam pengkajian studi ini. Pendalaman ini dengan melihat kondisi
secara langsung jaringan jalan secara spot dengan tingkat kedetailan yang sesuai
dengan ketetapan dan kriteria yang ada. Selain itu juga perlu dilakukan pemantapan
pada pendalama substanasi ini. Beberapa hal yang perlu didalami antara lain:
- pendalaman permasalahan
- pemetaan lingkup
- kajian literatur
- pemantapan metodologi
- penyusunan metode survei
- analisis kelayakan teknis
2. Pengumpulan data survei
Pengumpulan data survei merupakan parameter yang diambil sebagai bahan atau
dasar di dalam kajian kelayakan dan perencanaan untuk pengembangan Perlintasan
tidak sebidang Beberapa komponen survei yang ditinjau antara lain sebagai berikut.
Survei transportasi
Survei transportasi merupakan survei yang digunakan untuk mengetahui kondisi
Jaringan jalan pendekatan dengan ruas jaringan eksisting dan Inventarisasi jalan
ini dilakukan dengan visualisasi kondisi berdasarkan kajian lalu lintas dan
sebagainya.
Topografi
Pada kajian topografi ini dilakukan pengukuran terhadap poligon horisontal dan
vertikal lahan yang ada.
Geologi
Pada kajian geologi/tanah ini terdapat pada pendekatan dari data sekunder
3. Studi kelayakan
Studi kelayakan ini dilakukan lebih untuk mengetahui seberapa jauh kendala dan
potensi dengan adanya pengembangan Perlintasan tidak sebidang ini. Kelayakan
studi ini meliputi dari tinjauan aspek transportasi, sosial, lingkungan, ekonomi, dan
teknis. Pada pengembangan Perlintasan Tidak sebidang Kroya ini lebih pada upaya
penyelesaian kemungkinan permasalahan yang terkait dengan kajian kelayakan ini.
Namun apabila terdapat item yang secara acuan/aturan maupun teknis yang ada tidak
dapat ditoleransi, maka akan memberikan kewaspadaan terhadap kelayakan kajian
terkait peningkatan perlintasan jalan dengan rel tersebut sebagai masukan apakah
peningkatan ini perlu diteruskan atau perlu dilakukan penyesuaian maupun tidak layak
sama sekali untuk dilakukan. Kondisi ini dimungkinkan apabila terkait dengan tidak
dapat masuk atau sesuai standar yang ditentukan, diperlukan penanganan dengan
biaya yang relatif besar, terkait aspek keamanan dan keselamatan.
III-9
III-10
(1) Data sosio-ekonomi, yang meliputi data jumlah dan penyebaran penduduk, tingkat
pendidikan, jumlah dan penyebaran tenaga kerja, PDRB dan PDRB perkapita,
output (produksi) dari kegiatan ekonomi dan data terkait lainnya yang memiliki
hubungan yang kuat dengan studi
(2) Data tata ruang, yang meliputi data penggunaan lahan per jenis kegiatan, pola
penyebaran lokasi kegiatan, besaran penggunaan ruang dan pola kegiatannya.
(3) Data jaringan prasarana dan pelayanan transportasi, yang merangkum data
mengenai kondisi dan tingkat pelayanan jaringan transportasi yang berada di dalam
daerah studi, baik ruas maupun simpul pada moda transportasi yang dioperasikan.
Data yang dikumpulkan merupakan data eksisting dan data rencana
pengembangannya.
(4) Data Kondisi Geografis dan Geoteknik, yang meliputi data topografi, keberadaan
hambatan alam (sungai, bukit, daerah rawan bencana alam, dll.) di sekitar lokasi,
serta kondisi tanah untuk keperluan kajian kemungkinan peningkatan prasarana
pada ruas yang ditinjau.
(5) Data kondisi Right of Way (ROW) koridor yang ditinjau untuk kemungkinan
pengembangan dan identifikasi potensi permasalahan sosial yang mungkin terjadi.
Secara keseluruhan, data yang diperlukan dalam pelaksanaan studi ini ditampilkan pada
Tabel 3.2 berikut ini.
Tabel 3.2. Kebutuhan dan Sumber Data
No
.
1.
Kelompok
Data
Data Sosial
Ekonomi
2.
Data Tata
Ruang
(RTRW)
Item Data
a.
b.
c.
d.
a.
b.
c.
d.
e.
3.
Data Sarana
dan
Prasarana
Transportasi
Data Kondisi
Geografis
Data Lalu
5.
a.
b.
c.
d.
a.
b.
a.
Demografi/Kependudukan
Penggunaan ruang
Produktifitas dan sistem ekonomi
Data lain yang terkait dengan
pengembangan wilayah Kabupaten
Banyumas dan Cilacap (Kroya)
Penggunaan lahan/jenis kegiatan
Pola peneyebaran lokasi
kegiatan
Besaran pengguaan ruang dan
pola kegiatannya
Rencana pengembangan dan
Recana Detail Tata Ruang
Right of way pengembangan
jaringan jalan dan penggunaan tata
ruangnya
Jaringan jalan
Kondisi dan geometrik jalan
Kinerja jaringan jalan
Data kondisi simpang, berupa
antrian, delay, dsb
Topografi
Keberadaan hambatan alam
Data kebutuhan
Sumber
BPS, Pemda, dan
studi terdahulu
No
.
6.
Kelompok
Data
lintas
Data
Penyelidikan
Tanah
Item Data
perjalanan/pergerakan
b. Data asal tujuan penumpang
c. Data jumlah kendaraan.
Sumber
Umum, Dinas Bina
Marga,
Dishubkominfo,
Bapeda
Hasil Studi atau Dinas
Bina Marga, Dinas
Tata Kota
Dinas Bina marga,
Dishubkominfo
ekonomi dan finansial berkaitan dengan biaya dan keuntungan, sedangkan kelayakan
ekologis-sosial budaya berkaitan dengan perkiraan pengaruh proyek terhadap kondisi
lingkungan dan sosial masyarakat berkaitan dengan keberadaan proyek tersebut.
Kelayakan administratif mengukur apakah proyek tersebut dapat diimplementasikan
dalam sistem administrasi pemerintahan yang ada. Satu per satu, tiap macam kelayakan
tersebut di bahas di bawah ini.
3.10.1.
Kelayakan Teknis
Dua kriteria prinsip yang termasuk dalam katagori teknis adalah: efektivitas dan
ketercukupan (adequacy). Efektif berarti proyek dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Tapi, seringkali ketercapaian tujuan tidak selalu dapat dilacak hanya karena keberadaan
proyek tersebut, sering banyak faktor yang lain ikut mempengaruhi. Cara paling langsung
dan cepat untuk memprediksi kelayakan teknis adalah dengan cara melihat apakah
proyek seperti itu secara teknis dapat dilaksanakan di tempat lain. Tetapi, perlu
diwaspadai faktor-faktor lain yang khas di lokasi mungkin sekali ikut mempengaruhi
keberhasilan proyek di lokasi tersebut, sehingga cara ini pun tidak selalu cocok untuk
dipakai.
Pada kelayakan teknis ini, terdapat beberapa ketentuan maupun kriteria kelayakan yang
perlu diperhatikan, antara lain sebagai berikut
Kriteria
Trase
Topografi
Geologi
tanah
3.10.2.
Kelayakan Ekonomi dan Finansial
Salah satu alasan mengapa disiplin ekonomi mencapai kepopulerannya dalam analisis
kebijakan adalah karena mempunyai konsep-konsep yang terukur. Analis dan pengambil
keputusan lebih menyukai analisis dan informasi yang "keras" yang dapat
dikomunikasikan dengan istilah-istilah kuantitatif. Tiga konsep yang sering dijumpai dalam
kelayakan ekonomi, yaitu: kriteria yang terlihat dan yang tidak terlihat, dapat atau tidak
dapat diukur secara moneter, dan langsung atau tak langsung diukur dengan analisis
biaya-keuntungan (cost benefit analysis).
Penentuan kelayakan ekonomi ini didasarkan seberapa besar nilai manfaat yang
dihasilkan terhadap nilai biaya investasi yang ada. Beberapa indikator ekonomi telah
banyak diberikan dan banyak ragam metode untuk batasan penentuan kelayakan
ekonomi ini. Pada dasarnya batasan-batasan kelayakan ekonomi tersebut hampir sama
III-14
penggunaannya, untuk itu dalam kajian ekonomi ini dipergunakan batasan dasar untuk
menghitung nilai kelayakan ekonomi/finasial antara lain sebagai berikut
Tabel 3.4. Kriteria Penentuan Kelayakan Ekonomi
Kriteria
Ketentuan
Benefit Cost Ratio (BCR)
BCR > 1 (layak)
BCR = < 1 (tidak layak)
Economi Internal Rate of return (EIRR) EIRR > diskonto rate (layak)
EIRR < Discount rate (tidak layak)
NPV positif (layak)
Net Present Value
NPV negative (tidak layak)
3.10.3.
Kelayakan Administratif
Bila suatu proyek telah dikaji layak dari segi teknis, ekonomis maupun politis, tapi tidak
dapat diimplementasikan dalam sistem administrasi pemerintahan yang ada, maka proyek
tersebut mendapat masalah. Kelayakan administratif berkaitan dengan: kewenangan
(authority), komitmen kelembagaan (institutional commitment), kemampuan (capability),
dan dukungan organisasional (organizational support), kewenangan (authority) untuk
mengimplementasikan suatu kebijakan, menjadikannya suatu program atau proyek,
sering merupakan kriteria yang kritis.
3.10.4.
Kelayakan Ekologis dan Sosial-Budaya
Suatu usulan proyek perlu dikaji dampaknya dari segi ekologis, dengan mengadakan
Kajian Lingkungan baik dapat dalam bentuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) maupun UKL-UP. Demikian pula, kajian dampak sosial-budaya juga perlu
dilakukan sebagai bagian dari studi kelayakan proyek berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup.
3.10.5.
Kelayakan Transportasi
Secara umum, pada kelayakan transportasi ini beberapa ketentuan terkait kriteria
kelayakan yang perlu diperhatikan di dalam penyusunan perhitungan adalah kondisi
kinerja jaringan jalan yang ada dengan tingkat layanan jalan tersebut. Biasanya
penggunaan batasan antara kinerja ruas jalan mengacu pada Manual Kapasitas Jalan
Indonesia (1997). Adapun beberapa kriteria penting sebagai bagian dari kriteria
penentuan kelayakan transportasi ini adalah sebagai berikut
Tabel 3.5. Kriteria Penentuan Kelayakan Transportasi
Kriteria
Ketentuan
Acuan pedoman
Kinerja jalan (VCR)
Semakin tinggi nilai volume per MKJI, 1997
kapasitasnya (VCR) pada ruas
jalan tersebut menunjukkan nilai
kelayakannya
semakin
kecil.
Batasan nilai VCR ini adalah
maksimal 0,8. Apabila mencapai
nilai 1 atau lebih berarti
mengalami traffic jam (kemacetan
total)
III-15
Kriteria
Kecepatan/tundaan
Ketentuan
Semakin
lama
tundaan
perjalanan
dan
kecepatan
menurun semakin rendah nilai
kelayakannnya
Panjang antrian
Panjang antrian semakin panjang
memberikan kondisi semakin
rendah nilai kelayakannya
Sumber Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)
Acuan pedoman
MKJI, 1997
MKJI, 1997
3.10.6.
Analisis Kelayakan Ekonomi
Untuk mempersiapkan implementasi Feasibility Study beberapa kajian perlu dilakukan
terlebih dahulu, khususnya yang terkait dengan evaluasi kelayakan ekonomi. Indikator
ekonomi baku yang biasa digunakan dalam evaluasi kalayakan ekonomi, antara lain: Net
Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Break
Event Point (BEP). Secara umum semua indikator tersebut akan memberikan suatu
besaran yang membandingkan nilai manfaat dan biaya dari setiap alternatif yang
diusulkan, namun secara spesifik setiap indikator tersebut memiliki karakteristik yang
berbeda-beda. Pada umumnya semua indikator tersebut perlu diperiksa untuk
menggambarkan secara lebih jelas kejadian-kejadian ekonomi selama masa
perencanaan. Pada bagian berikut ini disampaikan penjelasan singkat mengenai indikator
kelayakan yang dimaksud.
Net Present Value (NPV)
Net Present Value adalah selisih antara Present Value Benefit dikurangi dengan
Present Value Cost. Hasil NPV dari suatu proyek yang dikatakan layak secara
ekonomu adalah yang menghasilkan nilai NPV bernilai positif. Dalam hal ini semua
rencana dinyatakan layak apabila NPV > 0
Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return (IRR) adalah besarnya tingkat suku bunga pada saat nilai NPV
= 0. Nilai IRR dari suatu proyek harus lebih besar dari nilai suku bunga yang berlaku
atau yang ditetapkan dalam perhitungan kelayakan proyek. Nilai ini digunakan untuk
memperoleh suatu tingkat bunga dimana nilai pengeluaran sekarang bersih (NPV)
adalah nol. Perhitungan untuk dapat memperoleh nilai IRR ini dilakukan dengan cara
coba-coba (trial and error).
Jika nilai IRR lebih besar dari discount rate yang berlaku, maka proyek mempunyai
keuntungan ekonomi dan nilai IRR pada umumnya dapat dipakai untuk membuat
ranking bagi usulan-usulan proyek yang berbeda.
Benefit Cost Ratio ( BCR )
Benefit Cost Ratio adalah Perbandingan antara Present Value Benefit dibagi dengan
Present Value Cost. Hasil BCR dari suatu proyek dikatakan layak secara finansial bila
nilai BCR adalah lebih besar dari 1. Nilai ini dilakukan berdasarkan nilai sekarang, yaitu
dengan membandingkan selisih manfaat dengan biaya yang lebih besar dari nol dan
selisih manfaat dan biaya yang lebih kecil dari nol.
III-16
Nilai BCR yang lebih kecil dari satu menunjukkan investasi yang tidak layak. Hal ini
menggambarkan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh pemakai jalan lebih kecil
daripada investasi yang diberikan pada penanganan jalan.
3.10.7.
Kajian Dampak Lingkungan
Penetapan tingkat kepentingan dampak mengacu pada Pedoman Mengenai Ukuran
Dampak Penting berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL No. KEP-056/Tahun 1994.
Ketujuh faktor yang digunakan sebagai ukuran dampak penting adalah:
Jumlah manusia yang akan terkena dampak
Luas wilayah persebaran dampak
Lamanya dampak berlangsung
Intensitas dampak
Banyaknya komponen lingkungan yang akan terkena dampak
Sifat kumulatif dampak, dan
Berbalik atau tidak berbaliknya dampak.
Dalam evaluasi dampak penting, dilakukan telaahan secara holistik komponen/parameter
lingkungan yang akan terkena dampak penting, mengevaluasi dampak berdasarkan
kegiatan yang akan dilaksanakan serta menganalisis kegiatan yang dominan
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.
Hasil evaluasi dituangkan dalam matriks evaluasi dampak penting sebagai kesimpulan
dari analisis prakiraan dan evaluasi dampak penting. Pembobotan dalam penentuan
besar/kecilnya dampak yang terjadi akan dikelompokkan sebagai berikut:
P
= Dampak Positif Penting
TP
= Dampak Positif Tidak Penting
P
= Dampak Negatif Penting
TP
= Dampak Negatif Tidak Penting
Hasil evaluasi dampak penting akan digunakan sebagai dasar pertimbangan penyusunan
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).
Penyusunan RKL dan RPL akan mempertimbangkan beberapa pendekatan, yaitu:
pendekatan teknologi, pendekatan sosial budaya dengan melibatkan masyarakat sekitar
lokasi proyek untuk berpartisipasi aktif, serta pendekatan institusional.
3.11. FINALISASI STUDI
Tahap ini merupakan tahap akhir dari studi yang dilaksanakan. Diharapkan rekomendasi
yang dihasilkan dapat digunakan/dimanfaatkan sebagai pegangan untuk tahapan
perencanaan lebih lanjut dan perbaikan pergerakan sistem transportasi pada wilayah
studi dan daerah Kecamatan Kroya secara umum.
III-17
Contents
3.1.
3.2.
3.3.
3.4.
3.5.
3.6.
METODOLOGI STUDI.................................................................................. 8
3.7.
3.8.
KEBUTUHAN DATA................................................................................... 10
3.9.
3.9.1.
3.9.2.
Survei Hidrologi................................................................................... 13
3.9.3.
3.10.
3.10.1.
Kelayakan Teknis.............................................................................. 14
3.10.2.
3.10.3.
Kelayakan Administratif.....................................................................15
3.10.4.
3.10.5.
Kelayakan Transportasi.....................................................................15
3.10.6.
3.10.7.
3.11.
FINALISASI STUDI................................................................................. 17
III-18
III-19