Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Cerita Pendek
CERPEN: DHEWIDJA
e-mail: hendrawid04@yahoo.com
CerPen
tengah taman. Pohon itu tegak sendirian. Menjadi
yang tertinggi. Sekelilingnya perdu dan semak
merimbun. Mungkin pohon itu juga sedang
mempertanyakan keberadaannya. Mengapa hanya
kesendirian yang menemaninya menantang angin,
menyongsong petir?.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara kicauan
burung. Terdengar riuh bersahutan. Kutengadahkan
kepala ke langit dan tampak sekawanan burung yang
sedang beterbangan. Langit menghitam dibuatnya.
Aku tidak tahu nama burung itu. Mestikah mereka
bernama? pikirku. Aku menangkap ada kebebasan.
Entah mengapa, kemudian aku merasa begitu iri
pada mereka. Aku memimpikan bisa terbang seperti
mereka. Untuk mencari jawab di atas hamparan
bumi. Dengan pandangan mata elang.
Pergulatan batinku sejenak terhenti. Tersadar,
khayalanku sudah terlampau jauh. Tiba-tiba saja
sebaris kalimat bijak melintas di depan mataku.
Berjalan seperti running text yang biasa kulihat di tivi:
Segala sesuatu di muka bumi ini ada masanya.
Maka biarkan ia datang dengan sendirinya. Ia tidak
dapat kau undang apalagi kau paksa datang. Ia akan
datang sebagai tamu tak diundang. Kapan saja
sesukanya. Maka tunggulah karena ia pasti datang.
Aku menghela nafas panjang. Lantas otot-otot
tubuhku
melemas.
Perlahan-lahan
terlelap.
Bersandar di tiang beton teras perpustakaan.
CerPen
mengikuti irama nafasku. Kuperhatikan wajahnya
lekat-lekat. Sangat biasa. Tetapi ada misteri dalam
dirinya yang telah membuatku terperosok.
CerPen
Bukan di kamar wanita itu. Aku berada di rumah sakit
jiwa. Dibawa mantan istriku. Pengadilan agama
sudah mengabulkan gugatan cerainya.
Mataku lurus menatap jendela berterali besi.
Dalam halusinasiku, celah-celah terali besi itu
seakan hidup menjadi cuplikan-cuplikan cerita tanpa
suara. Ada perahu, laut, pantai, bukit, jejak dan...
wanita itu. Aku berteriak memanggilnya, hendak
meminta jawab. Tetapi wanita memudar lalu hilang
berganti tembok kusam berlumut.
Entah bagaimana caranya aku bisa keluar dari
kamar berterali besi itu. Kini tubuhku kumal dan
rambutku gimbal. Tidak ada lagi tempat bagi debu
untuk menempel di tubuhku.
Sudah seharian aku belum makan. Cacing-cacing
di perutku sudah menabuh genderang protes,
meminta perhatianku. Aku sedang menunggu remahremah nasi di depan sebuah kedai. Untuk
menenangkan mereka.
Aku berjalan mengikuti naluriku. Aku tidak tahu
apakah orang gila masih punya naluri. Sekarang aku
sudah berada di puncak bukit. Menjadi yang
CerPen