Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Aku masih ingat betul salah satu momen kencan kita yang
membuatku senantiasa mengenang betapa indah
melewatkan hari demi hari bersamamu.
"Jangan pernah me-rebonding rambutmu, Sayang," katamu
padaku saat kita melewatkan senja temaram di bibir pantai
seraya membelai ikal rambutku.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Setiap kali membelai rambutmu, aku merasakan sensasi
yang berbeda saat jari-jariku memilin dan menelusuri ruas
demi ruas rambutmu. Ketika ruas rambutmu bergerak
kembali menjadi ikal saat jariku lepas dari ujungnya,
rambut itu meretas lurus sejenak, lalu berpilin lagi,
perlahan tapi
pasti seperti alunan ombak di depan sana. Aku begitu
menyukainya," jawabmu tulus.
Aku tersipu dan kemudian kita tertawa bersama, kemudian
memandang debur ombak yang menghempas pantai serta
merasakan desau angin senja yang sejuk.
Kamu kemudian memeluk pundakku erat-erat dan bersama-sama lagi kita terpana menyaksikan
keindahan mentari beranjak ke peraduan di ufuk cakrawala meninggalkan jejak-jejak merah
jingga.
Aku tahu, kamu tentu tidak akan setuju pada keputusanku ini, namun percayalah ini jalan terbaik
yang mesti kita tempuh, untuk saling memelihara bara api cinta kita secara elegan. Kemarin,
ketika secara tidak sengaja kita bertemu di mal, kamu mengenalkan aku pada istri dan anakmu.
Saat itu aku tahu, dari balik sorot matanya yang polos dan sederhana, istrimu memendam
kepedihan yang lebih berat dari yang aku rasakan saat ini. Pun dari binar mata ceria, Ananda,
anakmu aku menangkap seberkas cahaya pilu dan kehilangan sosok ayah yang didambakannya.
Dalam pertemuan yang begitu singkat itu aku pun segera mendefinisikan ulang makna hubungan
kita. Bukan semata atas dasar 'solidaritas sesama wanita', tapi lebih dari itu, komitmen rahasia
yang kita bangun dalam setiap cumbuanmu dan desah napasku, pada dasarnya begitu rapuh
terutama oleh kesangsianku memaknai hubungan kita lebih lanjut. Keluarga yang dengan setia
menunggumu di rumah lebih berarti dari diriku yang bagimu sekedar penyalur hasrat
kelelakianmu. Aku merasakan kepedihan luar biasa merambati hatiku saat menyaksikan kalian
sekeluarga berjalan mesra berpelukan di hadapanku, setelah pertemuan di mal kemarin.
Sungguh beruntung Mbak Rita, istrimu, yang memiliki tajam mata elangmu dan kekar tubuhmu.
Meski sudah berulang kali kamu katakan: "Dia boleh memilikiku, tapi hatiku hanya untukmu,"
lewat bisik lirih di telingaku, selalu, sesaat setelah kita menuntaskan hajat percintaan kita.
(Ketika itu, aku memang tidak peduli entah pada berapa banyak wanita lain kamu ungkapkan
pernyataan yang sama). Saat ini aku baru menyadari sepenuhnya bahwa 'kepemilikan' atas
hatimu hanya semu belaka.
Bahwa aku mencintaimu sepenuh jiwa, aku tidak memungkirinya. Malam demi malam kulalui
tanpa sedikit pun melewatkan lamunan tentangmu. Termasuk membangun keluarga bahagia
bersamamu dengan anak-anak yang lucu sebagai perekat rumah tangga kita. Namun semuanya
mendadak hilang tak berbekas, ketika menyadari bahwa aku hanya menjadi kekasih rahasiamu,
yang menemanimu berlari dari jiwamu yang dahaga karena cinta yang mengerontang. Seperti
katamu setiap kita usai bercumbu: "Istriku tidak pernah memberi lebih baik seperti yang telah