Anda di halaman 1dari 30

Makalah

Mikrobiologi Lingkungan (Pre Requisite)

Oleh:
Kelompok 1
Gunadi Priyambada
Mulki Rachmawati
Nuha Amiratul Afifah
Marita Wulandari
Setya Aji P

PROGRAM PASCA SARJANA TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2016

BAB 1 PENDAHULUAN
Menurut definisi World Health Organization (WHO) sampah adalah sesuatu yang tidak
digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari
kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Undang-Undang Pengelolaan Sampah
Nomor 18 tahun 2008 menyatakan sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau
dari proses alam yang berbentuk padat.
Akhir-akhir ini masalah sampah merupakan salah satu masalah yang serius pada lingkungan
hidup baik di Indonesia yang hubungannya sangat dekat dengan aktivitas manusia. Setiap
aktivitas manusia tidak terlepas dengan masalah sampah. Dengan meningkatnya populasi
penduduk, maka bertambah pula jumlah sampah yang dihasilkannya. Oleh karenanya,
diperlukan banyak tempat penampungan sementara (TPS) maupun tempat penampungan
akhir (TPA). Namun hal ini tidak menyelesaikan masalah oleh karena membesarnya konversi
lahan menjadi tempat pemukiman mengurangi jatah lahan untuk TPS dan TPA. Masalah ini
diperburuk oleh kemajuan ekonomi manusia yang bukan hanya memperbesar jumlah sampah,
namun karakteristik limbah yang semakin berbahaya.
Adapun keuntungan dari pengolahan sampah adalah meningkatkan efektivitas pengangkutan
sampah, memperbaharui sumber daya, dan memperpanjang umur TPS dan TPA. Salah satu
pengolahan sampah yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengomposan sampah
sehingga dihasilkan pupuk organik. Pupuk organik merupakan pupuk alami yang dihasilkan
dari proses pengomposan yang dapat meningkatkan unsur-unsur hara pada tanah. Kompos
memiliki unsur-unsur makro dan mikro yang dibutuhkan oleh tanaman.
Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis,
khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energy
(Hamastuti, 2012). Dalam skala besar, pengomposan diterapkan dalam treatment lumpur hasil
pengolahan limbah buangan industri. Saat ini penggunaan kompos sebagai pupuk kembali
digalakkan dalam usaha pertanian. Dalam skala besar, banyak pabrik memanfaatkan
komposting untuk pengelolaan sludge hasil dari Waste Water Treatment. Hal ini didorong
oleh sifat tanah yang telah jenuh terhadap bahan kimia dalam bentuk pupuk anorganik yang
selama ini digunakan. Untuk mendorong keberlanjutan tanaman dan keseimbangan
mikroorganisme dan unsur hara dalam tanah, maka diperlukan kombinasi dengan memakai

pupuk organik. Pupuk organik ini sangat memiliki nilai manfaat yang besar bagi peningkatan
produksi pertanian baik secara kuantitas maupun kualitas dan meningkatkan kualitas lahan
disamping mengurangi pencemaran lingkungan.
Dalam proses pembuatan kompos, bahan baku akan mengalami dekomposisi / penguraian
oleh mikroorganisme. Proses sederhana pengomposan berlangsung secara anaerob yang
sering menimbulkan gas. Sedangkan proses pengomposan secara aerob memerlukan oksigen
yang cukup dan tidak menghasilkan gas. Pada kompos terdapat unsur-unsur hara yang
dibutuhkan tanaman, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
Dalam prosesnya, bahan baku kompos mengalami perubahan kimiawi oleh mikroorganisme
yang membutuhkan nitrogen untuk hidupnya. Namun, tidak semua bahan baku tersebut
mengandung nitrogen yang cukup untuk kebutuhan mikroorganisme pengurai tersebut
sehingga pemberian tambahan nitrogen perlu dilakukan guna mendukung kebutuhan
mikroorganisme pengurai. Salah satu cara untuk meningkatkan kadar nitrogen pada bahan
baku kompos adalah dengan penambahan effective microorganism 4 atau EM 4 sebagai
aktivator. Hal ini mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri sehingga proses
penguraian bahan baku kompos menjadi lebih cepat yang dapat mereduksi waktu yang
dibutuhkan pada laju pengomposan. Pada proses pengomposan, jika aerasi kurang, maka
akan menghasilkan bau busuk sebagai akibat terbentuknya ammonia (NH 3) dan asam sulfida
(H2S).
Adapun Fungsi yang didapat dari pengomposan adalah:
a.
b.
c.
d.

Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah.


Mengurangi volume limbah
Meningkatkan nilai jual sampah organik
Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan sampah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Composting
2.1.1 Pengertian Composting
Proses composting telah lama dikenal sejak berabad lalu, proses composting ini digunakan
dalam bidang agrikultur dan holtikultur sebagai proses daur ulang nutrisi tanaman dan
penyubur tanah (Howard, 1948). Composting atau proses pengomposan adalah proses
dekomposisi secara biologis dan proses penstabilan substrat organik dibawah suatu kondisi
yang menghasilkan panas dan suatu produk yang dapat menyuburkan tanah. Proses ini
dibantu oleh mikroorganisme. Saat ini kompos banyak digunakan sebagai cara alternatif
untuk mengurangi jumlah limbah padat organik akibat aktivitas manusia.
Di alam terbuka, proses pengomposan bias terjadi secara alami. Rumput-rumput dan daundaun serta kotoran hewan perlahan membusuk dan menyuburkan tanah akibat produk
sampingan dari metabolisme mikroorganisme.
2.2.2 Jenis dan Sumber Bahan Kompos
Sumber bahan utama kompos adalah bahan organik yang berasal dari hasil pertanian dan
nonpertanian (limbah kota dan limbah industri). Dari hasil pertanian antara lain sekam padi,
kotoran hewan, dan pupuk hijau. Limbah kota berasal dari makanan sisa atau sampah rumah
tangga. Bahan organik yang paling baik adalah pupuk kandang (Setyorini, dkk). Berdasarkan
sumber bahan kompos, kompos dapat dibedakan menjadi kompos sisa tanaman, kompos
kotoran hewan, sampah kota. Adapun kompos yang diolah dengan bantuan cacing, atau yang
disebut dengan vermikompos.
1. Kompos Sisa Tanaman
Unsur-unsur hara dalam tanaman dapat digunakan untuk menyuburkan tanah setelah
mengalami proses dekomposisi. Proses dekomposisi ini menghasilkan nilai rasio C/N yang
berbeda-beda tergantung jenis tanaman. Rasio C/N ini bermakna perbandingan atom C dan
atom N dalam tanaman. Atom C digunakan sebagai sumber energy sedangkan unsur N
digunakan untuk sintesis protein. Rasion C diantara 30 sampai 40 merupakan rasio yang
cukup ideal untuk mikroba dalam proses composting. Apabila rasio C/N terlalu tinggi
mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.

2. Kompos dari Kotoran Hewan

Hewan yang biasa dipakai sebagai bahan kompos diantaranya kotoran ayam, sapi, kerbau,
kambing, dan kuda. Makanan yang dimakan hewan-hewan tersebut menentukan faktor
unsur-unsur yang terkandung dalam kotoran hewan. Bentuk hara dalam kotoran hewan
merupakan hara yang kompleks, yaitu senyawa kompleks organo protein, asam humat atau
lignin yang sulit terdekomposisi sehingga proses dekomposisi berjalan lambat.
Pengelolaan kompos dari kotoran hewan perlu diperhatikan jika terdapat bakteri-bakteri
pathogen yang dapat membahayakan manusia.
3. Kompos dari Sampah Kota
Sampah kota yang dapat diolah menjadi kompos diantaranya adalah sampah sisa sayuran,
tanaman dan makanan yang mengandung unsur C berupa senyawa sederhana maupun
kompleks. Selulosa merupakan salah satu senyawa kompleks yang memerlukan proses
dekomposisi yang relatif lama (Rao, 1975).
4. Vermikompos
Kompos cacing atau vermicast yang merupakan hasil penguraian bahan organik oleh jenis
cacing tertentu. Vermikompos yang banyak mengandung unsur hara dapat digunakan
sebagai pupuk alami atau pembenah tanah. Cacing yang biasa digunakan dalam
pembuatan vermikompos adalah Eisenia foetida, dan Lumbricus rubellus (cacing merah).

2.2 Peranan Mikroorganisme dalam Proses Pengomposan


2.2.1 Mikroorganisme Perombak Bahan Organik
Mikroorganisme perombak bahan organik merupakan activator biologis yang tumbuh alami
atau sengaja diberikan untuk mempercepat pengomposan dan meningkatkan mutu kompos.
Jumlah dan jenis mikroorganisme menentukan keberhasilan proses dekomposisi atau
pengomposan. Proses dekomposisi bahan organik di alam tidak dilakukan oleh satu
mikroorganisme monokultur tetapi dilakukan oleh konsorsiamikroorganisme. Beberapa jenis
mikroorganisme yang umum ditemukan dalam tumpukan sampah tercantum dalam tabel 2.1.

Tabel 2.1 Mikroorganisme yang Umum Berasosiasi dalam Tumpukan Sampah

Mesofil

Bakteri
Pseudomonas spp.

Fungi
Alternaria spp.

Achromobacter spp.

Cladosporidium spp.

Bacillus spp.

Aspergilllus spp.

Flavobactterium spp.

Mucor spp.

Clostridium spp.

Humicola spp.

Streptomyces spp.
Termofil Bacillus spp

Penicillum spp.
Aspergillus

Stereptomyces spp.

Mocur pusillus

Thermoactinomyces spp.

Chaetomium thermophile

Thermus spp.

Humicola lanugiosa

Thermonospora spp.

Absida ramose

Microplyspora spp.

Sprotricbum thermophile (yeast)


Thermoascus aureanticus

Beberapa jenis bakteri termasuk beberapa jenis aktinomiset juga mampu mendegradasi
polimer selulosa, hemiselulosa, dan lignin, namun dengan kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan fungi. Bakteri terutama berperan pada degradasi polisakarida yang lebih
sederhana.
2.2.2 Bakteri Perombak Bahan Organik
Bakteri perombak bahan organik dapat ditemukan di tempat yang mengandung senyawa
organik berasal dari sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik di laut maupun di darat. Berbagai
bentuk bakteri dari bentuk yang sederhana (bulat, batang, koma, dan lengkung), tunggal
sampai bentuk koloni seperti filamen/spiral mendekomposisi sisa tumbuhan maupun hewan.
Sebagian bakteri hidup secara aerob dan sebagian lagi anaerob, sel berukuran 1 m - 1.000
m. Dalam merombak bahan organik, biasanya bakteri hidup bebas di luar organisme lain,
tetapi ada sebagian kecil yang hidup dalam saluran pencernaan hewan (mamalia, rayap, dan
lain-lain).
Bakteri yang berkemampuan tinggi dalam memutus ikatan rantai C penyusun senyawa lignin
(pada bahan yang berkayu), selulosa (pada bahan yang berserat) dan hemiselulosa yang
merupakan komponen penyusun bahan organik sisa tanaman, secara alami merombak lebih
lambat dibandingkan pada senyawa polisakarida yang lebih sederhana (amilum, disakarida,

dan monosakarida). Demikian pula proses peruraian senyawa organik yang banyak
mengandung protein (misal daging), secara alami berjalan relatif cepat.
2.2.3 Fungi Perombak Bahan Organik
Fungi terdapat di setiap tempat terutama di darat dalam berbagai bentuk, ukuran, dan warna.
Pada umumnya mempunyai kemampuan yang lebih baik dibanding bakteri dalam mengurai
sisa-sisa tanaman (hemiselulosa, selulosa, dan lignin). Umumnya mikroba yang mampu
mendegradasi selulosa juga mampu mendegradasi hemiselulosa (Alexander, 1977).
Sebagian besar fungi bersifat mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan memakai mikroskop);
hanya kumpulan miselium atau spora yang dapat dilihat dengan mata. Tetapi fungi dari kelas
Basidiomycetes dapat diamati dengan mata telanjang sehingga disebut makrofungi.
Makrofungi menghasilkan spora dalam bangunan yang berbentuk seperti payung, kuping,
koral atau bola, bahkan beberapa makrofungi tersebut sudah banyak dibudidayakan dan
dimakan. Pertumbuhan hifa dari fungi kelas Basidiomycetes dan Ascomycetes (diameter hifa
520 m) lebih mudah menembus dinding sel-sel tubular yang merupakan penyusun utama
jaringan kayu. Pertumbuhan pucuk hifa maupun miselium (kumpulan hifa) menyebabkan
tekanan fisik dibarengi dengan pengeluaran enzim yang melarutkan dinding sel jaringan
kayu.
Residu tanaman terdiri atas kompleks polimer selulosa dan lignin. Perombakan komponenkomponen polimer pada tumbuhan erat kaitan-nya dengan peranan enzim ekstraseluler yang
dihasilkan. Beberapa enzim yang terlibat dalam perombakan bahan organik antara lain adala
-glukosidase, lignin peroksidase (LiP), manganese peroksidase (MnP), dan lakase, selain
kelompok enzim reduktase yang merupakan peng-gabungan dari LiP dan MnP yaitu enzim
versatile peroksidase. Enzim-enzim ini dihasilkan oleh Pleurotus eryngii, P. ostreatus, dan
Bjekandera adusta (Lankinen, 2004). Selain mengurai bahan berkayu, sebagian besar fungi
menghasilkan zat yang bersifat racun sehingga dapat dipakai untuk mengontrol
pertumbuhan/perkembangan organisme pengganggu, seperti beberapa strain Trichoderma
harzianum yang merupakan salah satu anggota dari Ascomycetes, bila kebutuhan C tidak
tercukupi akan menghasilkan racun yang dapat menggagalkan penetasan telur nematoda
Meloidogyne javanica (penyebab bengkak akar) sedangkan bila kebutuhan C tercukupi akan
bersifat parasit pada telur atau anakan nematoda tersebut.

Residu tanaman mengandung sejumlah senyawa organik larut dalam air, seperti asam amino,
asam organik, dan gula yang digunakan oleh mikroba untuk proses perombakan. Fungi dari
kelas Zygomycetes (Mucorales) sebagian besar sebagai pengurai amilum, protein, dan lemak,
hanya sebagian kecil yang mampu mengurai selulosa dan khitin. Beberapa Mucorales seperti
Mucor spp. dan Rhizopus spp. mengurai karbohidrat tingkat rendah (monosakarida dan
disakarida) yang dicirikan dengan perkecambahan spora, pertumbuhan, dan pembentukan
spora yang cepat.
2.2.4 Aktivitas Enzim Selama Proses Pengomposan
Mikroorganisme di dalam tumpukan bahan organik tidak dapat langsung memetabolisme
partikel bahan organik tidak larut. Mikroorganisme memproduksi dua sistem enzim
ekstraselular; sistem hidrolitik, yang menghasilkan hidrolase dan berfungsi untuk degradasi
selulosa dan hemiselulosa; dan sistem oksidatif, yang bersifat ligninolitik dan berfungsi
mendepolimerasi

lignin.

Mikroorganisme

memproduksi

enzim

ekstraseluler

untuk

depolimerisasi senyawa berukuran besar menjadi kecil dan larut dalam air (subtrat bagi
mikroba). Pada saat itu mikroba mentransfer substrat tersebut ke dalam sel melalui membran
sitoplasma untuk menyelesaikan proses dekomposisi bahan organik. Aktivitas enzim selulase
menurunkan jumlah selulosa sekitar 25% selama sekitar tiga minggu. Aktivitas lipase,
protease, dan amilase meningkat dan menurun selama tahapan pengomposan. Aktivitas
semua enzim tersebut menurun tajam selama tahapan termofilik, yang kemungkinan
disebabkan oleh inaktivasi panas. Denaturasi enzim sering dikorelasikan dengan kematian
mikroba. Hal ini menunjukkan bahwa adanya mikroba dan aktivitas enzim dalam tumpukan
kompos setelah tahapan termofilik disebabkan oleh introduksi ulang pembalikan, ketahanan
hidup mikroba di bagian luar, bagian dingin dari tumpukan kompos.
Dari hal tersebut tampak pentingnya proses microbial dalam proses pengomposan, dan
kecepatannya dapat diatur oleh berbagai faktor yang mempengaruhi keterlibatan mikroba
dalam proses. Ketidakcocokan substrat, kelembapan, atau suhu kompos di luar rata-rata, dan
problem difusi oksigen ke dalam kompos merupakan faktor pembatas dalam proses
pengomposan.

Penampilan

fungi

perombak

selulosa

(selulolitik)

pada

medium

carboxymethyl cellulose (CMC)-agar dan fungi perombak lignin (lignolitik) pada medium
lignin-guaicol-benomyl-agar ditampilkan pada gambar reaksi 1 dan 2 dibawah :

Enzim selulase sangat aktif memutuskan turunan selulosa dapat larut (selulosa amorf) seperti
CMC menghasilkan selodekstrin (60C), selobiosa (40 C) dan glukosa (20C). CMC-ase
merupakan salah satu komponen kompleks enzim selulase yang menyerang secara acak
bagian dalam struktur selulosa. Aktivitas CMC-ase koloni fungi selulolitik pada media CMCagar membentuk zona bening di bawah dan sekitar koloni. Koloni fungi yang menunjukkan
aktivitas degradasi lignin membentuk zona berwarna merah di bawah dan sekitar koloni
karena adanya quinon yang merupakan produk oksidasi guaicol akibat aktivitas lakase atau
peroksidase (LiP, MnP) (Thorn et al., 1996). Aktivitas enzim secara kualitatif dinilai dari
intensitas warna merah dan semikuantitatif dinilai dari rasio diameter zona bening atau zona
merah terhadap diameter koloni fungi uji dibandingkan fungi reference.
2.2.5 Proses Perombakan Bahan Organik
Proses biologi untuk menguraikan bahan organik menjadi bahan humus oleh mikroorganisme
dikenal sebagai dekomposisi atau pengomposan. Aktivitas dasar mikroorganisme tanah sama
seperti kehidupan lainnya, bertahan hidup melalui reproduksi. Mikroorganisme tanah
menggunakan komponen residu tanaman sebagai substrat untuk memperoleh energi yang
dibentuk melalui oksidasi senyawa organik, dengan produk utama CO 2 yang dilepas kembali
ke alam, dan sumber karbon untuk sintesis sel baru. Dekomposisi atau pengomposan disebut
juga sebagai respirasi mikroba atau mineralisasi, yang merupakan salah satu bagian dari
siklus karbon.
Mikroorganisme umumnya berumur pendek. Sel yang mati akan didekomposisi oleh populasi
organisme lainnya untuk dijadikan substrat yang lebih cocok daripada residu tanaman itu
sendiri. Secara keseluruhan proses dekomposisi umumnya meliputi spektrum yang luas dari
mikroorganisme yang memanfaatkan substrat tersebut, yang dibedakan atas jenis enzim yang
dihasilkannya. Upaya kombinasi tersebut dapat mengubah karbon yang berada dalam
berbagai bentuk senyawa organik menjadi ke bentuk oksidasi, yaitu CO 2. Salah satu bentuk
produk transformasi adalah bahan organik tanah (humus).
Proses perombakan bahan organik dapat berlangsung pada kondisi aerob dan anaerob
(Gaur, 1982). Pengomposan aerob merupakan proses pengomposan bahan organik dengan
menggunakan O2. Hasil akhir dari pengomposan aerob merupakan produk metabolisme
biologi berupa CO2, H2O, panas, unsur hara, dan sebagian humus. Hasil akhir dari

pengomposan anaerob terutama berupa CH4 dan CO2 dan sejumlah hasil antara; timbul bau
busuk karena adanya H2S dan sulfur organik seperti merkaptan (Haug, 1980).
1. Reaksi yang terjadi pada perombakan sistem aerobik
Gula (CH2O)x + O2

x CO2 + H2O + E

(selulosa, hemiselulosa)
N-organik (protein)

NH4+

Sulfur Organik (S) + x O2

SO4-2 + E

Fosfor organik

H3BO3

NO2- NO3- + E
Ca (HPO4)

(fitin, lesitin)
2. Reaksi Utuh
Bahan organik

Aktivitas Mikroorganisme

CO2+H2O+hara+humus+E
(484-674 kcal/mol glukosa)

Pengomposan anaerob diartikan sebagai proses dekomposisi bahan organik tanpa


menggunakan O2 Reaksi yang terjadi pada perombakan sistem anaerobic :
(CH2O) x

bakteri penghasil asam

x CH3COOH

Methanomonas

CH4 + CO2

N-organik

NH3

2H2S + CO2

(CH2O) x + S + H2O +E (26 kcal/mol glukosa)

Proses pengomposan terdiri atas tiga tahapan dalam kaitannya dengan suhu, yaitu mesofilik,
termofilik, dan pendinginan. Tahap awal mesofilik, suhu proses naik ke sekitar 40oC karena
adanya fungi dan bakteri pembentuk asam. Suhu proses akan terus naik ke tahap termofilik
antara 40-700C, bakteri termofilik Actinomisetes dan fungi termophilik. Pada kisaran suhu
termofilik, proses degradasi dan stabilisasi akan berlangsung secara maksimal. Pada tahapan
pendinginan terjadi penurunan aktivitas mikroba, penggantian mikroba termofilik dengan
bakteria dan fungi mesofilik. Selama tahapan pendinginan, proses penguapan air dari material
yang telah dikomposkan akan masih terus berlangsung, demikian pula stabilisasi pH dan
penyempurnaan pembentukan asam humat. Bahan akhir yang terbentuk bersifat stabil dan
merupakan sumber pupuk organik.

Dalam proses perombakan bahan organik, sel mikroba yang mati merupakan sumber hara
bagi tanaman

dan substrat mikroorganisme yang hidup. Dinding sel fungi yang terdiri

selulosa, khitin, dan khitosan, dan dinding sel bakteri yang terdiri atas asam Nacetylglucosamin dan Nacetylmuramic yang terkandung dalam peptidoglikan bersama
dengan material polisakharida lainnya di degradasi dan merupakan substrat yang sangat baik
bagi pertumbuhan mikroba. Kurva dekomposisi beberapa jenis mikroba ditunjukkan pada
Gambar 2.1

Gambar 2.1 Suhu selama pengomposan : empat fase, mesofilik, termofilik,


stasioner, dan pematangan

Proses perombakan bahan organik secara alami membutuhkan waktu relatif lama (3-4 bulan)
sehingga sangat menghambat upaya pelestarian penggunaan bahan organik untuk lahan-lahan
pertanian, apalagi jika dihadapkan dengan masa tanam yang mendesak untuk menghasilkan
produksi tinggi, sehingga sering dianggap kurang ekonomis dan tidak efisien. Bahan dasar
serasah tanaman, secara alami adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Sebagian besar
materi limbah organic Gumnospermae dan Angiospermae merupakan lignoselulosa dan
hamper setengah materi lignoselulose merupakan senyawa selulose dan

15-36% adalah

senyawa lignin (Eriksson et al., 1989), serta hemiselulosa 25-30% dari total berat kering kayu
(Perez et al., 2002).
Degradasi lignin merupakan tahapan pembatas bagi kecepatan dan efisiensi dekomposisi
yang berhubungan dengan selulosa (Thorn et al., 1996). Lignin berikatan dengan
hemiselulosa dan selulosa membentuk segel fisik di antara keduanya, yang merupakan barier
yang mencegah penetrasi larutan dan enzim (Howard et al., 2003). Kompleksitas struktur,

bobot molekul yang tinggi, dan sifat ketidaklarutannya dalam air membuat degradasi lignin
sangat sulit (Perez et al., 2002). Oleh karena itu lignin menjadi penghalang akses enzim
selulolitik pada degradasi bahan berligno-selulose. Hal ini menghambat proses dekomposisi,
yang pada akhirnya menyebabkan penumpukan limbah organik yang berdampak negatif bagi
lingkungan. Polimer tersebut dapat didegradasi oleh beberapa macam mikroorganisme yang
mampu

memproduksi

enzim

yang

relevan.

Strategi

untuk

mempercepat

proses

biodekomposisi bahan organik dengan memanfaatkan mikroba lignoselulotik (dekomposer).


2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan
1. Rasio C/N
Selama proses composting, mikroba memecah senyawa organik untuk memperoleh energi
yang digunakan untuk hidup dan memperoleh nutrient (N, fosfor, potassium) untuk
mengembangkan populasinya. Dari banyak elemen yang dibutuhkan untuk dekomposisi
mikroba, C dan N adalah yang paling penting. Karbon (C) menyediakan energy dan 50%
komponen dari massa sel mikroba, sedangkan nitrogen (N) adalah komponen krusial dari
protein, asam nukleat, asam amino, enzim, co-enzim, yang dibutuhkan untuk
perkembangan dan fungsi sel. Rasio ideal C:N untuk proses composting adalah 30:1.
Selama proses composting berlangsung, rasio C:N akan berkurang hingga mencapai 10:1
atau 15:1 untuk produk hasil composting (Chen, et.al., 2011).
Nilai C/N kompos (produk) yang semakin besar menunjukan lebih banyak Carbon
dibandingkan Nitrogen. Hal ini menyebabkan sistem kekurangan nitrogen sehingga
pertumbuhan optimal bakteri menjadi terhambat yang mempengaruhi lama waktu
pengomposan. Jika sistem dalam rasio C/N yang terlalu kecil maka akan ada kelebihan
Nitrogen sehingga kelebihannya dikeluarkan dari dalam sistem dalam bentuk ammonia
gas yang menyebabkan sistem pengomposan mengeluarkan bau.

Gambar 2.2 Efek C:N rasio pada composting

Tingginya rasio C/N mempengaruhi pertumbuhan bakteri di dalam sistem pengomposan


sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menjadi kompos semakin lama. Bahan-bahan
dengan rasio C/N yang tinggi misalnya: dedaunan (30-80:1), jerami (40-100 :1) kertas
(150-200 :1) , serbuk gergaji (100-500:1). Sedangkan bahan kompos dengan rasio C/N
rendah adalah sampah dedaunan hijau dari sisa sayuran ( 12-20:1), rerumputan (12-25:1),
kotoran sapi & kuda ( 20-25:1).
2. Kadar air
Kelembapan dalam kompos harus selalu dijaga dengan kadar air maksimum 50-60%
(Chen, et.al., 2011).

Kadar air yang terlalu rendah akan menyebabkan proses

pengomposan yang terlalu lambat dan jika kadar air lebih dari 65 % maka unsur hara akan
ikut tercuci, sehingga aktivitas mikroba menurun. Proses pengomposan akan bereaksi
secara anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap. Dengan kadar air yang cukup,
mikroorganisme dapat memanfaatkan senyawa organik yang larut dalam air.
3. Bahan Pengomposan
Material organik yang dijadikan bahan pengomposan juga perlu diperhatikan. Apakah
bahan tersebut mudah terurai atau sulit terurai, misalnya makin banyak mengandung
kandungan kayu atau lignin makin sulit terurai. Lignin 1 berikatan dengan hemiselulosa2
dan selulosa membentuk segel fisik di antara keduanya, yang merupakan barier yang
mencegah penetrasi larutan dan enzim (Howard et al., 2003). Kompleksitas struktur, bobot
molekul tinggi dan sifat hidrofobik membuat lignin sulit terurai (C tinggi). Untuk itu
dalam proses pengomposan, perlu ditambahkan decomposer seperti enzim lignoselulotik
yang dapat mempercepat proses dekomposisi.
4. Ukuran partikel bahan kompos
Aktivitas mikroba berada antara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih
luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan sehingga proses dekompsisi
akan lebih cepat. Selain itu, ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan
(porositas). Untuk memperluas area permukaan, maka dapat dilakukan dengan
memperkecil ukuran partikel bahan dengan cara pencacahan (Herdiyantoro,2010).

1 Lignin: bahan pembentuk polimer tidak berbentuk yang bersama-sama dijumpai di antara sel dan dinding sel
tumbuhan, berfungsi sebagai kayu
2 Hemiselulosa merupakan suatu polisakarida lain yang terdapat dalam tanaman dan tergolong senyawa organik
(Simanjuntak,1994). Hemiselulosa mudah larut dalam alkali tapi sukar larut dalam asam, sedang selulosa adalah
sebaliknya

5. Suhu
Proses pengomposan melibatkan dua rentang suhu: mesofilik dan termofilik. Sedangkan
suhu yang ideal untuk tahap pengomposan awal adalah 20-45 C, pada tahap berikutnya
(dengan organisme termofilik mengambil alih), rentang suhu 50-70 C adalah suhu ideal.
Suhu tinggi adalah ciri proses pengomposan aerobik dan indikator aktivitas mikroba yang
kuat. Patogen biasanya hancur pada 55 C, sedangkan titik kritis untuk penghapusan
benih gulma adalah 62 C.
Temperatur yang tinggi menyebabkan konsumsi oksigen yang tinggi sehingga proses
dekomposisi semakin cepat. Suhu yang terlalu rendah menyebabkan proses pengomposan
berjalan lambat. Jika suhu terlalu tinggi, maka akan membunuh mikroorganisme sehingga
mikroorganisme yang tertinggal adalah mikroorganisme thermofilik.
6. pH
pH mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme dan senyawa N. pH
optimal utnuk bakteri adala 6,0 7,5 sedangkan pH optimal pada jamur adalah 5,5 8,0.
pH pada proses pengomposan sebaiknya dijaga 6-9. Pada sistem pengomposan, terjadi
perubahan pH selama rentang waktu pengomposan. pH awal material organic adalah
antara 5-7. Pada pH 5, terjadi perombakan material organik menjadi asam-asamnya.
Kemudian terjadi peningkatan pH mencapai 8 yang disebabkan oleh ion ammonium yang
dilepakan pada saat pertumbuhan bakteri (Chen, et.al., 2011).
7. Aerasi
Pengomposan akan terjadi dengan cepat pada proses aerob artinya jika cukup oksigen
dalam sistem (Herdiyanto, 2010). Aerasi secara alami akan terjadi saat suhu meningkat
yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam
kompos. Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan (kelembapan). Jika
aerasi terhambat, maka akan menimbulkan bau tidak sedap yang disebabkan oleh proses
anaerob. Adapun untuk meningkatkan aerasi, dapat dilakukan dengan cara:
a. Pembalikan bahan kompos
b. Mengalirkan udara ke dalam tumpukan kompos dengan aerator atau pipa
berlubang

Gambar 2.3 Pipa untuk aerasi pada sistem pengomposan

2.4 Metode Pengomposan


Beberapa metode pengomposan menurut The United States Department of Agriculture
(USDA), di antaranya adalah: passive composting pile, windrow process, aerated static pile,
dan in vessel system.
1. Passive Composting Pile
Metode passive composting pile adalah metode pembuatan kompos dengan membentuk
campuran bahan baku menjadi tumpukan. Aerasi dilakukan melalui pergerakan udara pasif
melalui tumpukan. Ini mengharuskan tumpukan bahan baku cukup kecil untuk
memungkinkan pergerakan udara pasif. Jika terlalu besar, zona anaerobik terbentuk.
Perhatian khusus harus diberikan ketikak pencampuran baku bahan dimana campuran bahan
baku tersebut harus dipastikan memiliki porositas yang diperlukan dan terjadinya aerasi yang
memadai selama periode pengomposan. Karena metode ini bersifat lambat dan berpotensi
terjadinya pengembangan kondisi anaerob lebih besar, maka berpotensi besar menimbulkan
permasalahan bau.

Gambar 2.4 Passive Composting Pile

2. Windrow Process
Pada proses Windrow Composting, kompos ditumpuk dalam barisan tupukan yang disusun
sejajar. Bahan baku kompos ditumpuk memanjang, tinggi tumpukan 0.6 sampai 1 meter,
lebar 2-5 meter. Sementara itu panjangnya dapat mencapai 40 50 meter.Tumpukan secara
berkala dibolak-balik untuk meningkatkan aerasi, menurunkan suhu apabila suhu terlalu
tinggi, dan menurunkan kelembaban kompos. Teknik ini sesuai untuk pengomposan skala
yang besar. Lama pengomposan berkisar antara 3 hingga 6 bulan, yang tergantung pada
karakteristik bahan yang dikomposkan.
Pada sistem ini cara pembuatan kompos di tempat terbuka beratap dengan aerasi alamiah.
Secara teknis tidak diperlukan sarana dan prasarana yang kompleks dan modern sehingga
dapat diterapkan dengan mudah dan tepat guna. Demikian pula jumlah modal, biaya
operasional dan biaya pemeliharaan tempat pengkomposan relatif lebih rendah dibandingkan
dengan semua sistem pengkomposan lainnya. Sedangkan prosesnya sangat cocok dengan
iklim tropika dimana kelembaban dan temperatur udaranya cukup tinggi dan stabil (25
sampai 30 C).

Gambar 2.5 Pengomposan dengan Teknik Windrow Composting

Gambar 2.6 Proses Pembalikan Kompos

3. Aerated Static Pile

Pengomposan dengan metode ini dilakukan dengan menimbun bahan kompos dan
mengangin-anginkannya menggunakan aerasi mekanik. Tumpukan/gundukan kompos
(seperti windrow system) diberi aerasi dengan menggunakan blower mekanik. Tumpukan
kompos ditutup dengan terpal plastik. Teknik ini dapat mempersingkat waktu pengomposan
hingga 3 4 minggu. Secara prinsip proses komposting ini hampir sama, dengan windrow
system, tetapi dalam sistem ini dipasang pipa yang dilubangi untuk mengalirkan udara.
Udara ditekan memakai blower. Karena ada sirkulasi udara, maka tumpukan bahan baku
yang sedang diproses dapat lebih tinggi dari 1 meter.
Proses itu sendiri diatur dengan pengaliran oksigen. Apabila temperatur terlalu tinggi, aliran
oksigen dihentikan, sementara apabila temperatur turun aliran oksigen ditambah. Karena
tidak ada proses pembalikan, maka bahan baku kompos harus dibuat sedemikian rupa
homogen sejak awal. Dalam pencampuran harus terdapat rongga udara yang cukup. Bahanbahan baku yang terlalu besar dan panjang harus dipotong-potong mencapai ukuran 4 10
cm.

Gambar 2.7 Aerated Static Pile

4. In-Vessel
Dalam sistem ini membutuhkan biaya lebih besar dengan sistem yang otomatis. Merode ini
dapat mempergunakan kontainer berupa apa saja, misalnya berupa parit memanjang. Karena
sistem ini dibatasi oleh struktur kontainer, sistem ini baik digunakan untuk mengurangi
pengaruh bau yang tidak sedap seperti bau sampah kota. Sistem in vessel juga
mempergunakan pengaturan udara sama seperti sistem Aerated Static Pile. Sistem ini
memiliki pintu pemasukan bahan kompos dan pintu pengeluaran kompos jadi yang berbeda..
Pada proses In-Vessel, proses pengomposan berlangsung lebih cepat yaitu berkisar antara 714 hari.

Gambar 2.8 In-Vessel

Berikut ini adalah perbandingan empat (4) metode composting:


Passive Composting
Pile
Dipengaruhi oleh cuaca

Aerated Static Pile

Windrow

In-Vessel

Dipengaruhi oleh cuaca

Dipengaruhi oleh cuaca


Tidak memerlukan
teknologi tinggi

Memerlukan volume
yang besar untuk setiap
proses, produk yang
dihasilkan banyak
Kisaran biaya modal
rendah
Membutuhkan beberapa
tenaga kerja
Potensi tinggi untuk
terjadi bau selama
proses

Dapat diaplikasikan
secara luas baik dalam
skala kecil dan besar
Memerlukan volume
yang besar untuk setiap
proses, produk yang
dihasilkan banyak
Kisaran biaya modal
sedang
Membutuhkan
beberapa tenaga kerja
Volume besar, udara
harus diolah untuk
kontrol bau

Tidak terlalu
dipengaruhi oleh cuaca
Prosesya membutuhkan
waktu yang singkat

Sedikit tergantung pada


peralatan mekanik

Cukup tergantung pada


peralatan mekanik

Potensi tinggi untuk


terjadi bau selama
proses; sulit untuk
mengisi udara untuk
perlakuan
Sedikit tergantung pada
peralatan mekanik

Membutuhkan energi
yang rendah

Membutuhkan cukup
energy

Membutuhkan energi
yang rendah

Tidak memerlukan
teknologi tinggi

Memerlukan volume
yang besar untuk setiap
proses, produk yang
dihasilkan banyak
Biaya modal rendah

Memerlukan volume
yang sedikit di setiap
tahap

Tenaga kerja intensif

Tenaga kerja tidak


intensif
Volume kecil proses
udara yang lebih mudah
ditangkap untuk
perlakuan

Biaya modal tinggi

Sangat tergantung pada


peralatan mekanik
Membutuhkan cukup
energi

Sumber : The United States Department of Agriculture, 2000

2.5 Manfaat Kompos


Komposting memiliki beragam manfaat yang bisa dibagi ke dalam tiga kategori yaitu yang
pertama manfaat komposting pada bidang agrikultur; manfaat composting pada lingkungan;

dan manfaat composting pada sosial dan ekonomi. Dalam bidang agrikultur, komposting
meningkatkan kualitas tanah dengan cara mengurangi soil bulk density dan meningkatkan
struktur tanah melalui pelonggaran tanah berat menggunkan bahan organik dan secara tidak
langsung melalui hummus penstabil-agregat. Composting juga meningkatkan kemampuan
penampungan air dengan cara mengikat air pada material organik, melindungi permukaan
tanah dari erosi udara dan air dengan mengurangi dispersi akibat hujan, peningkatan inflitrasi,
pengurangan limpasan air, dan meningkatkan kebasahan permukaan, serta membantu
mengikat partikel tanah ke dalam bentuk remah-remah menggunakan jamur atau
actinomycetes mycelia. Terakhir, komposting meningkatkan aerasi tanah sehingga suplai
oksigen ke akar cukup dan melepaskan kelebihan karbon dioksida dari akar, meningkatkan
kemampuan penyerapan tanah akibat warnanya yang gelap, dan mengatur temperatur tanah
sehingga lingkungan menjadi lebih baik untuk pertumbuhan akar.
Selain kualitas fisik tanah, komposting juga meningkatkan kualitas kimiawi yang terkandung
dalam tanah dengan cara meningkatkan kemampuan tanah mengikat nutrien yang penting
bagi pertumbuhan tanaman dan meningkatkan kapasitas pertukaran kation, kapasitan
pertukaran anion, dan kapasitas buffering tanah untuk periode yang lebih lama. Komposting
sendiri mengandung nutrien penting seperti N, P, J, Ca, dan Mg serta mikronutrien penting
seperti Cu, Zn, Fe, Mn, B, dan Mb. Dalam segi lingkungan, komposting membantu
mengurangi dampak polusi dan mengurangi polusi itu sendiri dengan cara menyerap odor dan
mendegradasi komponen organik yang tidak stabil, mengikat logam berat dan mencegahnya
masuk ke sumber air atau terserap oleh tanaman, mendegradasi dan mengeliminasi pengawet
kayu, produk perminyakan, pestisida, dan hidrokarbon yang terklorin dan tidak terklorin yang
mencemari tanah, mencegah produksi methane dan air lindi di TPA dengan mengalihkan
material organik untuk komposting, dan mengurangi odor dari area agrikultur.
Secara sosial dan ekonomi, komposting meningkatkan harga karena tanaman yang lebih
berkualitas, memperpanjang masa penggunaan TPA sehingga menunda konstruksi TPA baru
atau insenerator yang mahal, mengurangi atau mencegah pembiayaan TPA atau pembakar dan
mengurangi biaya pembuangan sampah dan biaya transportasi jarak jauh, dan memberikan
manfaat lingkungan akibat pengurangan penggunaan TPA dan pembakar.
BAB 3 STUDI KASUS

Peran Mikroorganisme Azotobacter chroococcum, Pseudomonas fluorescens,


dan Aspergillus niger pada Pembuatan Kompos Limbah Sludge Industri
Pengolahan Susu
Hita Hamastuti 1), Elysa Dwi O 1), S.R Juliastuti 1,*), dan Nuniek Hendrianie 1) Jurusan Teknik Kimia,
Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Abstrak
Saat ini 66% lahan pertanian di Indonesia dalam keadaan kritis akibat penggunaan pupuk
kimia secara berlebih. Untuk mengatasi hal tersebut, dilakukan pembuatan pupuk organik
bentuk padat (kompos) dengan memanfaatkan limbah padat industri pengolahan susu. Tujuan
penelitian ini adalah mengamati pengaruh penambahan biofertilizer yaitu, Azotobacter
chroococcum, Pseudomonas fluorescens dan Aspergillus niger terhadap kualitas dari kompos
dengan bahan baku dari limbah sludge industri pengolahan susu dan membandingkan
pengaruh antara tanah, tanah + blanko (kompos limbah sludge industri pengolahan susu tanpa
biofertilizer), tanah + limbah sludge industri pengolahan susu + biofertilizer Azotobacter
chroococcum dan Pseudomonas fluorescens, tanah + limbah sludge industri pengolahan susu
+ biofertilzer Azotobacter chroococcum dan Aspergillus niger, tanah + kompos yang berada
di pasaran, serta mengamati perubahan ketinggian dan banyaknya jumlah kapasitas panen
pada tanaman uji cabai dan terong. Metode penelitian yang digunakan adalah penambahan
tepung tulang pada sludge sebanyak 0,6 kilogram dan ditampung dalam rotary drum
composter yang dilengkapi dengan aerator. Kualitas kompos ditingkatkan dengan
penambahan Azotobacter chroococcum sebagai bakteri penambat nitrogen serta
Pseudomonas fluorescens dan Aspergillus niger sebagai pelarut fosfat. Variabel ratio
penambahan Azotobacter chroococcum dan Pseudomonas fluorescens adalah 10:5 ml (1:0,5
%v/w), 20:10ml (2:1 %v/w) dan 30:15ml (3: 1,5 %v/w). Dan dengan ratio yang sama
diberikan untuk penambahan Azotobacter chroococcum dan Aspergillus niger. Parameter
yang dianalisa dalam penelitian ini adalah kandungan nitrogen, fosfat, kalium, pH,
temperatur, karbon dan kadar air. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa mikroorganisme
Azotobacter chroococcum, Pseudomonas fluorescens dan Aspergillus niger dapat
meningkatkan kadar nitrogen dan fosfat pada limbah sludge industri pengolahan susu.
Variabel terbaik ialah Azotobacter chroococcum 1%v/w : Aspergillus niger 0,5%v/w dengan
kadar N 1,37%, P 0,89% dan K 0,83% serta rasio C/N 22,03. Hal ini juga ditunjukkan dengan
pertambahan tinggi tanaman terong 12,2% dan cabai 21,6% serta kapasitas panen terong 44,2
gram/tanaman dan cabai 11 gram/tanaman.
Kata kunci - Azotobacter chroococcum, kompos, limbah sludge industri susu, Pseudomonas
fluorescens, Aspergillus nigel

I. PENDAHULUAN
Saat ini lahan pertanian di Indonesia dapat dikatakan sedang dalam keadaan sakit, karena
unsur hara yang berada di dalam tanah sudah rusak oleh pupuk kimia. Lahan pertanian yang
sudah masuk dalam kondisi kritis mencapai 66% dari kurang lebih 7 juta lahan pertanian
yang ada di Indonesia. Penggunaan pupuk kimia berlebih dapat merusak struktur tanah. Hal
ini terjadi karena kandungan mineral yang terlalu tinggi membunuh mikroorganisme yang
bertugas melakukan dekomposisi dalam tanah. Akibatnya tanah menjadi keras, kurang
mampu menahan air dan nutrisi (Nabila, 2011).
Di sisi lain pupuk merupakan salah satu sarana produksi yang memiliki peranan penting
dalam peningkatan produksi dan kualitas hasil budidaya tanaman. Untuk memenuhi standar
mutu dan menjamin efektifitas pupuk, maka pupuk yang diproduksi harus berasal dari
formula hasil rekayasa yang telah diuji mutu dan efektifitasnya. Untuk itu diperlukan inovasi
pupuk yang ramah lingkungan dan dapat memper-kaya unsur hara dalam tanah.
Limbah padat pabrik susu berupa sludge mengandung bahan organik (C, N, P dan K) yang
sangat bermanfaat untuk perbaikan tingkat kesuburan tanah. Limbah pabrik susu dapat
memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Penggunaan limbah pabrik susu sebagai
bahan pupuk, dapat mengurangi penggunaan pupuk buatan (Nihayati,1998).
II. KOMPOS DAN BIOFERTILIZER
Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa tanaman, hewan atau manusia seperti
pupuk kandang, pupuk hijau, dan kompos. Manfaat utama pupuk organik adalah dapat
memperbaiki kesuburan kimia, fisik dan biologis tanah, selain sebagai sumber hara bagi
tanaman (Suriadikarta, 2006). Bahan baku pupuk organik antara lain sisa panen, serbuk
gergaji, kotoran hewan, limbah media jamur, limbah pasar, limbah rumah tangga dan limbah
pabrik, serta pupuk hijau.
Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis,
khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi.
Kompos adalah hasil dekom-posisi parsial/ tidak lengkap, dipercepat secara artifisial dari
campuran bahan-bahan organik oleh populasi berbagai macam mikroba dalam konsisi
lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik. Teknologi pengomposan saat

ini menjadi sangat penting artinya terutama untuk mengatasi permasalahan limbah organik
yang salah satunya limbah sludge industri pengolahan susu.
Salah satu cara pengaplikasian pupuk organik ialah dalam bentuk kompos. Kompos sangat
bermanfaat untuk konservasi tanah dan air yaitu sebagai mulsa penutup tanah. Pengom-posan
antara lain bertujuan untuk menghasilkan pupuk organik dengan porositas, kepadatan serta
kandungan

air

tertentu,

menyederhanakan

komponen

bahan

dasar

yang

mudah

didekomposisi, membunuh patogen seperti E. coli dan Salmonella, serta memineralisasi hara
untuk pertumbuhan tanaman. Penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah (soil
conditioner) dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga mempertahankan
dan menambah kesuburan tanah pertanian.
Biofertilizer adalah organisme yang memperkaya kualitas nutrien dari tanah. Sumber utama
dari biofertilizer adalah bakteria, fungi, dan sianobakteria. Kelompok mikroba yang sering
digunakan adalah mikroba-mikroba yang menambat N dari udara, mikroba yang melarutkan
hara (terutama P dan K), dan mikroba-mikroba yang merangsang pertumbuhan tanaman.
Mikroba yang digunakan sebagai pupuk hayati (biofertilizer) dapat diberikan langsung ke
dalam tanah, disertakan dalam pupuk organik yang akan ditanam. Penggunaan yang paling
banyak dewasa ini adalah mikroba penambat N dan mikroba untuk meningkatkan
ketersediaan P dalam tanah.
A. Azotobacter Chroococcum
Azotobacter sp. adalah bakteri gram negatif, bersifat aerobik, polymorphic dan mempunyai
berbagai ukutan dan bentuk. Bakteri ini memproduksi polysacharides. Azotobacter sp.
sensitif terhadap asam, konsentrasi garam yang tinggi dan temperatur di atas 35oC.
Terdapat empat spesies penting dari Azotobacter yaitu Azotobacter chroococcum,
Azotobacter agilis, Azotobacter paspali dan Azotobacter vinelandii dimana Azotobacter
chroococum adalah spesies yang paling sering ditemui di dalam kandungan tanah.
Azotobacter mempunyai sifat aerobik maka dari itu bakteri ini memerlukan oksigen
sehingga dengan adanya aerasi, pertumbuhan dari Azotobacter dapat ditingkatkan
(Saribay, 2003). Azotobacter mampu mengubah nitrogen (N2) dalam atmosfer menjadi
amonia (NH4+) melalui proses pengikatan nitrogen dimana amonia yang dihasilkan diubah
menjadi protein yang dibutuhkan oleh tanaman.

B. Pseudomonas Fluorescens
Pseudomonas fluorescens merupakan bakteri berbentuk batang dengan ukuran sel 0.5
1.0 x 1.5 5.0 m, motil dengan satu atau lebih flagella, gram negatif, aerob, tidak
membentuk spora dan katalase positif, menggunakan H2, atau karbon sebagai sumber
energinya, beberapa spesies bersifat patogen bagai tanaman, kebanyakan tidak dapat
tumbuh pada kondisi masam (pH 4.5) (Intan, 2007). Pseudomonas fluorescens mampu
meningkatkan kelarutan P dari fosfat alam sebesar 16,4 ppm menjadi 59,9 ppm,
meningkatkan kelarutan dari AlPO4 dari 28,5 ppm menjadi 30,6 ppm dan meningkatkan P
yang tersedia di tanah dari 17,7.
C. Aspergillus niger
Aspergillus niger merupakan fungi dari filum ascomycetes yang berfilamen, mempunyai
hifa berseptat, dan dapat ditemukan melimpah di alam. Fungi ini biasanya diisolasi dari
tanah, sisa tumbuhan, dan udara di dalam ruangan. Koloninya berwarna putih pada Agar
Dekstrosa Kentang (PDA) 25 C dan berubah menjadi hitam ketika konidia dibentuk.
Kepala konidia dari Aspergillus niger berwarna hitam, bulat, cenderung memisah menjadi
bagian-bagian yang lebih longgar seiring dengan bertambahnya umur.
Aspergillus niger dapat tumbuh optimum pada suhu 35-37 C, dengan suhu minimum 6-8
C, dan suhu maksimum 45-47 C. Selain itu, dalam proses pertumbuhannya fungi ini
memerlukan oksigen yang cukup (aerobik). Aspergillus niger memiliki warna dasar
berwarna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat gelap
sampai hitam. Pada kondisi optimal Aspergillus niger mampu mensekresikan asam-asam
organik yang berfungsi mengurai fosfat. Hal inilah yang mendasari para peneliti untuk
mengembangkannya sebagai agensia pelarut batuan fosfat, guna memasok fosfat (P) untuk
tanaman.
III. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dalam skala batch di Labora-torium Pengolahan Limbah Industri,
Jurusan Teknik Kimia, FTI-ITS. Adapun kondisi operasi penelitian :
a. Massa limbah padat

= 3 kg

b. Temperatur Operasi

= 25 - 400 C

c. pH

= 6,5 8

d. Rate Aerasi

= 1,15 m3/hari/kg

e. Lama Pengomposan

= 12 hari atau sampai dengan kompos matang.

f. Penambahan sumber fosfat= tepung tulang 0,6 kg/3 kg limbah


Variabel penelitian :
a. Konsentrasi bakteri Azotobacter chroococcum, bakteri Pseudomonas fluorescens dan
jamur Aspergillus niger
Tabel 3.1 Kombinasi bakteri N dan bakteri P

Azotobacter chroococcum
10 ml/kg limbah padat (1 %v/w)
20 ml/kg limbah padat (2 %v/w)
30 ml/kg limbah padat (3 %v/w)

Pesudomonas fluoresens
5 ml/kg limbah padat (0,5 %v/w)
10 ml/kg limbah padat (1 %v/w)
15 ml/kg limbah padat (1,5 %v/w)
Tabel 3.2 Kombinasi bakteri N dan jamur P

Azotobacter chroococcum
10 ml/kg limbah padat (1 %v/w)
20 ml/kg limbah padat (2 %v/w)
30 ml/kg limbah padat (3 %v/w)

Aspergillus Niger
5 ml/kg limbah padat (0,5 %v/w)
10 ml/kg limbah padat (1 %v/w)
15 ml/kg limbah padat (1,5 %v/w)

b. Tanaman uji = terong dan cabai


c. Media Tanam : tanah , tanah + blanko (kompos limbah sludge industri pengolahan susu
tanpa biofertilizer), tanah + limbah sludge industri pengolahan susu + biofertilizer A
(bakteri Azotobacter chroococcum dan bakteri Pseudomonas fluorescens), tanah + limbah
sludge industri pengolahan susu + biofertilizer B (bakteri Azotobacter chroococcum dan
jamur Aspergillus niger), tanah + kompos di pasaran
d. Cara pemupukan : pemupukan dilakukan 1 kali selama 1 bulan, penambahan pupuk
sebanyak 30% volume pot tanaman, penambahan pupuk dilakukan saat tanaman berusia
2,5 bulan.
Limbah sludge industri pengolahan susu yang berupa padatan dianalisa kandungan nitrogen,
fosfat, kalium, pH, temperatur, karbon dan kadar airnya. Setelah itu padatan dicampur dengan
tepung tulang yang berfungsi sebagai sumber fosfat. Lalu ditampung dalam rotary drum
composter yang telah dilengkapi dengan aerator. Kemudian ditambahkan bakteri Azotobacter
chroococcum, Pseudomonas fluorescens dan jamur Aspergillus niger sesuai dengan variabel.
Dibawah ini merupakan reaktor composting secara rotary drum.

Gambar 3.1 Rotary Drum Composter kapasitas 5 kg

Di dalam rotary drum composter tersebut dialiri udara dengan menggunakan aerator untuk
menunjang proses aerob, setelah itu aerator dilepas, lalu drum diputar atau diaduk setiap hari.
Kemudian aerasi dilanjutkan kembali sampai dengan proses pengomposan selesai, yaitu
selama + 12 hari atau pada saat kompos matang. Kompos yang matang berbau seperti tanah,
berwarna coklat kehitam-hitaman, dan suhunya mendekati dengan suhu awal pengomposan.
Selain itu pH dan temperatur limbah padat dalam rotary drum composter juga diukur sekali
setiap hari selama proses pengomposan.
Kompos yang sudah jadi dianalisa kadar nitrogen, fosfat, kalium, pH, temperatur, karbon dan
kadar airnya. Selanjutnya pupuk diujicobakan pada tanaman uji berupa terong dan cabai, dan
diamati pertumbuhannya selama 30 hari dengan pengambilan data setiap 2 minggu sekali.
Tanaman uji dicatat ketinggian, jumlah daun, waktu dan jumlah bunga, kapasitas panen, dan
data pertumbuhan lain yang mendukung. Sebagai pembanding, kompos di pasaran juga diuji
cobakan dan dibandingkan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahan baku pembuatan kompos diperoleh dari limbah sludge industri pengolahan susu PT
Indolakto Pandaan. Limbah sludge diambil dari area waste water treatment dengan kondisi
agak kering. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup, 2006 limbah ini mengandung banyak
material organik. Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk memanfaatkan kandungan
unsur hara dalam limbah tersebut sebagai pupuk organik melalui proses pengomposan. Untuk
meningkatkan kualitas pupuk, maka dilakukan penambahan tepung tulang sebagai sumber P,
bakteri penambat nitrogen.
Azotobacter chroococcum, serta bakteri Pseudomonas fluorescens dan jamur Aspergillus
niger sebagai pengurai fosfat. Mikroorganisme ditambahkan dalam bentuk cair dengan

konsentrasi antara 1,425 x 108 4,175 x 108 sel/ml. Variabel ratio penambahan Azotobacter
chroococcum dan Pseudomonas fluorescens adalah 1: 0,5%v/w, 2:1%v/w dan 3:1,5%v/w.
Dan dengan ratio yang sama diberikan untuk penambahan Azotobacter chroococcum dan
Aspergillus niger.
Dalam proses persiapan bahan baku, dilakukan proses penghancuran sludge yang
menggumpal menjadi remah-remah untuk memperluas kontak mikroorganisme selama proses
pengomposan. Limbah sludge dibagi ke dalam masing-masing rotary drum composter
dengan berat rata rata 3 kg. Kemudian dilakukan penambahan molases sebanyak 100ml tiap
1 kg limbah sebagai sumber karbon, untuk menaikkan ratio C/N limbah yang awalnya hanya
3,25. Langkah selanjutnya menambahkan mikroorganisme sesuai variabel yang telah
ditetapkan dan membuat blanko, yaitu media yang tidak ditambahkan mikroorganisme.
Setiap harinya dilakukan aerasi dengan rate udara 1,15m 3/hari dan pengadukan selama 3 kali
agar mikroorganisme dan udara dapat tersebar merata. Pada awalnya proses pengomposan
direncanakan selama + 12 hari, tetapi pada kenyataannya proses pengomposan berjalan
selama 1 bulan hingga kompos matang.
Suhu akhir pengomposan mendekati suhu ruang di daerah penelitian sekitar 31C, hal ini
menunjukkkan kompos berada pada tahap maturasi atau proses pematangan. pH rata-rata
kompos

7,81,

nilai

ini

sesuai

dengan

peraturan

menteri

pertanian

No.28/Permentan/SR.1305/5/2009 yaitu pH antara 4 sampai 8. Hasil pengomposan


menunjukkan tekstur kompos tidak dapat gembur seperti tanah. Hal ini dikarenakan adanya
kandungan minyak dan lemak dalam limbah yang masih cukup tinggi, yaitu 7,78%.
Kandungan lemak dan minyak menyebabkan sludge mudah menggumpal sehingga kurang
baik apabila dikompos tanpa campuran sampah organik lain.
Kadar air juga diukur sebagai salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi aktifitas
mikroorganisme dalam menguraikan bahan organik. Air berperan penting dalam pelarutan
nutrien dan sel protoplasma. Kadar air yang tinggi menunjukkan proses dekomposisi limbah
berjalan baik, begitu pula sebaliknya. Sejalan dengan waktu, penurunan kadar air
menandakan bahan organik yang menjadi makanan mikroorganisme telah habis
terdekomposisi (Pahlevi, 2004). Berdasarkan SNI 19-7030-2004 , kompos yang telah matang
memiliki kadar air kurang dari 50%, dan seluruh variabel pengomposan dalam penelitian ini
sesuai dengan kriteria tersebut.

Gambar 3.2 Perbandingan Kandungan N,P,K pada Berbagai Variabel


Tabel 3.3 Ratio C/N pada berbagai variabel pengomposan
Variabel Pengomposan
Kompos Ac : An (1:0,5) %v/w
Kompos Ac : An (2:1) %v/w
Kompos Ac : An (3:1,5) %v/w
Kompos Ac : Pf (1:0,5) %v/w
Kompos Ac : Pf (2:1) %v/w
Kompos Ac : Pf (3:1,5) %v/w
Blanko
Tanah
Kompos di pasaran

Ratio

C/N

yang

ideal

berdasar

peraturan

C/N
22,03
6,02
6,71
27,48
10,30
50,86
31,33
10,98
7,77

menteri

pertanian

No.28/Permentan/

SR.1305/5/2009 ialah 15-25%. Dalam berjalannya proses pengomposan, ratio C/N yang
terlalu tinggi mengindikasikan dekomposisi berjalan lambat karena mikroorganisme tidak
dapat tumbuh dengan optimal. Sebaliknya ratio C/N terlalu rendah mengindikasikan
pertumbuhan mikroorganisme yang terlalu cepat dan tidak terkontrol, akibatnya akan timbul
kondisi anaerobik dan kompos menjadi bau. Bau tersebut berasal dari perubahan sebagian
nitrogen menjadi gas amoniak (Kardin, 2008). Idealnya, pada akhir pengomposan, yaitu pada
saat kompos matang nilai ratio C/N akan menurun dibanding kondisi awal. Penggunaan
kompos dengan ratio C/N yang terlalu tinggi dapat menimbulkan defisiensi N sehingga
pertumbuhan tanaman tidak normal, kerdil, daunnya menguning dan kering (Suriadikarta,

2006). Ratio C/N rata- rata pada pupuk kompos dalam penelitian ini 22,11% , sesuai dengan
ketentuan ideal dari Peraturan Menteri Pertanian.
Dalam penelitian ini juga dilakukan uji kompos dengan menggunakan tanaman cabai dan
terong. Tanaman terong dapat dipanen pada bulan ke-4, sedangkan untuk cabai pada saat
umur tanaman mencapai 3,5 bulan sejak masa tanamnya. Berdasarkan literatur, kedua
tanaman ini memiliki masa panen 3-4 bulan sejak dari masa tanamnya (Susila, 2006).
Pemberian kompos dengan variabel Azotobacter chroococcum 1%v/w: Apergillus nigers
0,5%v/w menghasilkan kapasitas panen terbesar, baik pada tanaman terong maupun cabai.
Hal ini dikarenakan pada kompos tersebut ratio C/N telah memenuhi persyaratan teknis
minimal untuk pupuk organik No. 28/Permentan /SR.1305/5/2009 , yaitu sebesar 22,03.
Sedangkan untuk kompos lainnya ratio C/N masih belum memenuhi baku mutu tersebut.
Proses pembungaan dan pembuahan pada tanaman berhubungan dengan ratio C (Karbon) dan
N (Nitrogen). Karbon diperlukan sebagai bahan baku pembentuk energi dan buah, sedangkan
nitrogen berperan dalam pembentukan jaringan.
Aspergillus niger 0,5%v/w memiliki pertumbuhan yang lebih pesat dibanding variabel lain.
Tanaman terong bertambah 4,7cm atau 12,2% tinggi awal, sedangkan tanaman cabai
bertambah 5,5cm atau 21,6% tinggi awal. Sama halnya dengan pembentukan buah,
pertambahan tinggi tanaman juga dipengaruhi oleh ratio C/N. Apabila ratio C/N memenuhi
baku mutu, maka pertumbuhan tanaman sebanding dengan kapasitas panen buah yang
dihasilkan. Tumbuhan memerlukan nitrogen untuk pertumbuhannya terutama pada fase
vegetatif yaitu pertumbuhan cabang, daun dan batang. Nitrogen membantu proses
pembentukan klorofil, fotosintesis, protein, lemak, dan persenyawaan organik lainnya.
Apabila kekurangan unsur N, maka pertumbuhan tanaman tidak normal dan tanaman menjadi
kerdil.
V. KESIMPULAN
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Mikroorganisme Azotobacter chroococcum dapat
meningkatkan kadar nitrogen hingga 500%, sedangkan Pseudomonas fluorescens dan
Aspergillus niger dapat meningkatkan kadar fosfat hingga 14,29% pada limbah sludge
industri pengolahan susu. Variabel terbaik ialah Azotobacter chroococcum 1%v/w :
Aspergillus niger 0,5%v/w, dibuktikan dengan pertambahan tinggi tanaman terong 12,2% dan
cabai 21,6% serta kapasitas panen terong 44,2 gram/tanaman dan cabai 11 gram/tanaman.

Perlu dilakukan pengaturan pH pada proses pengomposan sehingga pH kompos sesuai baku
mutu dan sesuai dengan syarat tumbuh tanaman uji.

DAFTAR PUSTAKA

Chen, L., M. de Haro Marti, A Moore, C. Falen, 2011, The Composting Process, University
of Idaho: Idaho
Chen J-H, Wu J-T. 2005. Benefit and drawbacks of composting. Taiwan. Compost production
a manual for Asian countries:27.
Eureka Recycling. 2008. Recycling, composting and greenhouse gas reductions in Minnesota.
Minnesota.
Gaur, A.C. 1982. A Manual of rural composting. In Improving Soil Ferftility Through
Organic Recycling. Project Field Document No. 15. Food and Agricultural
Organization of The United Nation, Rome.
Haug, R.T. 1980. Composting Engineering. Ann Arbor Science, Michigan.
Hans, J. K. Microbiology of Composting. Jerman
Herdiyantoro, Diyan, 2010, Pengomposan: Mikrobiologi dan Teknologi Pengomposan,
Laboratorium Biologi dan Bioteknologi, Universitas Padjajaran, unpublished
Howard, R.L., E. Abotsi, J.V. Rensburg, and Howards. 2003. Lignocellulose biotechnology:
issues of bioconversion and enzyme production. African Journal of Biotechnology 2:
602-619.http://www.academicjournals.org/journal/AJB/article-full-textpdf/C18EA4B11309
Rao, S.S.N, 1975, Soil Microorganism and Plant Growth, Oxford & IBH Publ.Co. New
Delhi, India
Setyorini, D. 2003. Persyaratan Mutu Pupuk Organik untuk Menunjaang Budidaya Pertanian
Organik. BPTP DI Yogyakarta.
The United States Department of Agriculture, 2000, Environmental Engineering National
Engineering Handbook

Anda mungkin juga menyukai