Anda di halaman 1dari 10

SHABRINA RAHMA ANINDYA (20140420052)

RESUME AKUNTANSI SYARIAH BAB 3 - SUMBER HUKUM


ISLAM

SUMBER HUKUM ISLAM


Sumber hukum Islam merupakan dasar atau referensi
untuk menilai apakah perbuatan manusia sesuai dengan syariah
(ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT) atau tidak.
Sumber hukum Islam yang telah disepakati jumhur (kebanyakan)
ulama ada 4 (empat), yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Ijmak dan
Qiyas, sebagaimana tertuang dalam QS 4:59.
Hai orang orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul
dan ulil amri (pemegang kekuasaan), diantara kamu. Kemudian
jika kamu berbeda pendapat tetntang sesuatu, maka
lembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunahnya)
jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang
demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ayat ini ditujukan kepada orang yang beriman untuk
menaati Allah SWT, Rasul, dan pemimpin (Ulil Amri). Taat kepada
Allah dilakukan dengan cara mengikuti perintah dan menjauhi
larangan Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran.
Taat kepada pemimpin (Ulil Amri) selama perintah pemimpin
tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunah.
Selanjutnya, apabila manusia berselisih mengenai sesuatu,
penetapan hukum harus kembali pada ketentuan Al-Quran dan
As-Sunah. Ketetapan hukum ini dapat berupa Ijmak yaitu
kesepakatan ulama atau Qiyas yaitu dengan menganalogikan
peristiwa yang ketetapan hukumnya sudah ada.
Urutan prioritas pengambilan sumber hukum antara AlQuran, As-Sunah, Ijmak dan Qiyas ialah apabila terdapat suatu
kejadian
memerlukan
ketetapan
hukum,
pertama-tama
hendaklah dicari terlebih dahulu di dalam Al-Quran.
Apabila rujukan tidak ditemukan dalam Al-Quran, barulah
beralih meneliti As-Sunah. Bila rujukan tidak ditemukan dalam Al-

Quran dan As-Sunah, abru dibolehkan merujuk kepada putusan


dari para mujtahid yang menjadi Ijmak (kesepakatan bersama)
dari masa ke masa tentang masalah yang sedang dicari
hukumnya itu. Kalau ada, penetapan hukum merujuk kepada
Ijmak tersebut. Sekiranya tidak ditemukan rujukan Ijmak dalam
masalh tersebut, maka ditempuh Qiyas, yaitu usaha sungguhsungguh dengan jalan membuat analogi kepada peristiwa sejenis
yang telah ada ketentuan hukum (nash)-nya, sesuai dengan
hadits Rasulullah SAW

A. AL-QURAN
Al-Quran ialah kalam Allah (kalamullah-QS 53:4) dalam
bahasa Arab, sebagai sebuah mukjizat yang dirunkan kepada
Nabi Muhammad SAW melalui utusan Allah Malaikat Jibril a.s
untuk digunakan sebagai pedoman hidup bagi manusia dalam
menggapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Kalam adalah sarana (wasilah) untuk menerangkan
sesuatu berupa ilmu pengetahuan, nasihat, atau berbagai
kehendak, lalu memberitahukan perkara itu kepada orang lain.
Allah SWT menurunkan Al-Quran langsung kepada Nabi
Muhammad SAW melalui utusannya Malaikat Jibril a.s, secara
berangsung-angsur selama 23 tahun. Setiap ayat yang
diturunkan, kemudian dihafalkan oleh Nabi dan para sahabat,
sehingga sempurna menjadi sebuah Al-Quran.
Sebagian ayat Al-Quran turun di kota Mekkah sebelum
peristiwa Hijrah, dan sebgaian yang lainnya turun di kota
Madinah setelah peristiwa Hijrah. Ayat yang diturunkan pertama
kali adalah QS 96: 1-5 sedangkan ayat yang terakhir adalah QS
5:3.
. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu,
dan Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu dan telah Aku ridhai Islam
sebagai agamamu
Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah (ayat-ayat Makkiyah),
sebagian besar menerangkan tentang Akidah Islamiyah yaitu AlWahdaniyah (ke-Esaan Tuhan), keimanan terhadap para malaikat,

para nabi dan hari akhir. Didalam ayat-ayat makkiyah ini juga
terdapat bantahan terhadap orang-orang musyrik, pemaparan
ibarat menerangkan akibat orang-orang yang berbuat syirik dan
durhaka dibeberapa negeri, dan mengajak kepada kebebasan
berfikir dan melepaskan dari apa yang dianut oleh orang tua dan
nenek moyang mereka. Ayat-ayat itu diturunkan sebelum
peristiwa Hijrah dimana orang-orang Islam masih dalam keadaan
lemah, sehingga belum layak dibebani hukum-hukum Islam.
Ayat-ayat yang turun di Madinah, mengandung hukumhukum fikih, aturan pemerintahan, aturan keluarga, serta aturan
tentang hubungan antara orang-orang muslim dan non muslim
yang menyangkut perjanjian dan poerdamaian. Saat itu, Daulah
Islamiyah
telah
trbentuk
lengkap
dengan
aparat
pemerintahannya, sehingga masyarakat siap dan mampu
memfungsikan hukum-hukum tersebut.
Berdasarkan keterangan di atas, maka kita ketahui bahwa
Al-Quran tidak turun secara sekaligus melainkan secara
berangsur-angsur. Ada dua alasan mengapa Al-Quran diturunkan
secara berangsur-angsur.
1. Untuk menguatkan hati, berupa kesenangan rohani (spiritual)
agar Nabi selalu tetap merasa senang dapat berkomunikasi
dengan Allah, dan menghujamkan Al-Quran serta hukumhukumnya di dalam jiwa nabi dan jiwa manusia umumnya,
sekaligus menjelaskan jalan untuk memahaminya. Disebut
menguatkan hukum, karena ada ayat-ayat Al-Quran
diturunkan tepat pada waktu diperlukannya. Ketika terjadi
kasus/permasalahan, pada saat itu pula ayat Al-Quran turun
menerangkan hukumnya, sehingga kehadiran hukum disini
tepat pada saat-saat dibutuhkan.
2. Untuk menartilkan (membaca dengan benar dan pelan) AlQuran, kondisi umat saat Al-Quran ditiurnkan adalah ummiy,
yaitu tidak dapat membaca dan menulis, sementara Allah
SWT menghendaki Al-Quran dapat dihafal dan ditresapi agar
secara berkesinambungan (mutawattir) tetap terpelihara
keasliannya (lestari) sampai hari kiamat. Turunnya Al-Quran
secara berangsur-angsur merupakan salah satu cara untuk
itu, sehingga memudahkan nabi dan para sahabat untuk
menghafalnya. (QS 75: 16-19).

Nabi Muhammad menerima Al-Quran dari malaikat Jibril,


membacanya dengan tartil serta menghafalnya, untuk kemudian
menyampaikan kepada para sahabat untuk dihafal dan
dituliskan. Para sahabat pun menyampaikan bacaan secara tartil
tadi untuk dihafal dan ditulis kepada orang-orang terdekat serta
kepada generasi berikutnya. Demikian seterusnya, sehingga
berkesinambungan (mutawattir) dari generasi ke generasi,
sampai pada sekarang ini dan akan berlanjut kemudian samapi
akhir zaman. Ini merupakan bukti nyata dari firman Allah yang
tertuang dalam QS 15:9. Sungguh Kami-lah yang menurunkan
Al-Quran dan sungguh kami yang memeliharanya.
Allah-lah yang menjaga kemurnian Al-Quran sehingga terbebas
dari penyimpangan yang dibuat oleh manusia.
a) Al-Quran Sebagai Sumber Hukum
Al-Quran dijadikan sebagai sumber hukum yang utama,
karena Al-Quran berasal dari Allah SWT yang Maha Mengetahui
apa ang terbaik bagi manusia dalam menata kehidupannya
sehingga selamat di dunia dan akhirat. Al-Quran memuat
seluruh aspek hukum terkait dengan akidah, syariah (baik
mahdhah maupun muamalah), dan akhlak serta terjaga
keasliannya dan keontetikannya. Oleh karena itu wujud
pengamalan dari keimanan kepada Allah, Rasul dan Kitab-Nya
dilakukan dengan menerima dan melaksanakan ajaran yang
terkandung dalam Al-Quran secara utuh, bukan dengan
sebagian dan mengingkari sebagian yang lain. (QS. 2: 208)
Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kedalam Islam
secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah
setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.
Mencari dan mengembangkan harta dan kekayaan
diperbolehkan dalam Islam, sepanjang hal itu dilaksanakan
dalam koridor yang benar dan halal yaitu melalui pekerjaan dan
atau perniagaan halal yang saling rela.
Al-Quran menyuruh untuk menghadirkan saksi yang jujur
apada akad transaksi (QS 2:282), dan jika akad tersebut
ditangguhkan pemayarannya, maka hendaklah ditulis, untuk
menghindarkan perselisihan di kemudian hari.

Al-Quran juga mengatur mengenai hukum keluarga antara


lain berupa penjelasan tentang pernikahan, mahram, perceraian
(thalaq), macam-macam iddah dan tempatnya, pembagian waris
(faraidh), dan sebagainya.
Pengaturan mengenai hukum pidana diatur dalam AlQuran. Pidana atas kejahatan yang menimpa seseorang adalah
dalam bentuk qishash yang didasarkan atas persamaan harta
kejahatan dan hukuman. Diantara jenis hukum qishash ialah
qishash pembunuh, qishash anggota badan dan qishash dari
luka. Dalam menetapkan hukum pidana, Al-Quran senantiasa
memperhatikan empat hal, yaitu : (Zahroh, 1999)
1. Melindungi jiwa, akal, harta benda, dan keturunan;
2. Meredam kemarahan orang yang terluka, lantaran ia dilukai;
3. Memberikan ganti rugi kepada orang yang terluka atau
keluarganya;
4. Menyesuaikan hukuman dengan pelaku kejahatan, yakni bila
pelaku
kejahatan
tersebut
orang
rendahan,
maka
hukumannya menjadi ringan.
Bahkan pengaturan dalam melakukan muamalah dengan non
muslim juga diatur dalam Al-Quran. Al-Quran membagi orang
kafir menjadi tiga bagian (Zahroh, 1999), yaitu :
1. Kafir dzimmy dan muahad, yaitu kafir yang telah mengikat
perjanjian, sehingga Allah SWT memerintahkan untuk bergaul
dengan mereka seperti sesama muslim;
2. Kafir mustaman, yaitu kafir yang dianggap aman/tidak
membahayakan, sehingga darah dan harta benda mereka
haram (tidak boleh diganggu) sepanjang mereka masih tetap
memegang teguh perjanjian;
3. Kafir harby (musuh), dimana Allah SWT tetap memebrikan
hak-hak yang harus dihormati atas harkat dan martabat
kemanusiaan, hak persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah
Insaniyah), hak keadilan, hak perlakuan sepadan dengan
memperhatikan keutamaan/kemaslahatan.
Dari tuntunan tersebut diketahui bahwa Islam memperlakukan
nonmuslim sangatlah adil. Sekaligus juga membuktikan bahwa
Al-Quran memang suatu bentuk pedoman yang sangat lengkap
dan bersifat universal.

B. AS-SUNAH
As-Sunah ialah ucapan (qauliyah), perbuatan (filiyah) serta
ketetapan-ketetapan (taqririyah) Nabi Muhammad SAW yang
merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran.
Dalam banyak hal, Al-Quran baru menjelaskan prinsipprinsip umum yang bersifat global dan universal. Oleh karena itu,
salah satu fungsi As-Sunah adalah untuk menjelasakan dan
menguraikan secara lebih terinci prinsip-prinsip yang telah
disebutkan dalam Al-Quran dengan contoh-contoh aplikatif.
Selain itu, As-Sunah bisa juga membatasi ketentuan AlQuran yang bersifat umum, dan bahkan bisa menetapkan
hukum yang tidak ada dalam Al-Quran. Salah satu contoh
ucapan Nabi Muhammad SAW yang dijadikan sumber hukum
Islam adalah sabda beliau yang memerintahkan untuk muali
puasa Ramadhan ketika masuk tanggal satu ramadhan dan
berhenti puasa (berbuka/lebaran) karena melihat tanggal 1
Syawal.
Contoh hukum Islam yang merujuk kepada perbuatan nabi
Muhammad SAW adalah praktik shalat dan haji sebagaimana
dicontohkan oleh beliau. Dihadapan para sahabat, rasul
menyatakan :
Lakukanlah shalat persisi sebagaimana kalian melihatkau
mengerjakan shalat.
Contoh ketetapan Nabi Muhammad SAW yang dijadikan
sumber hukum Islam adalah pembenaran oleh Rasul terhadap
tindakan salah seorang sahabat yang bertayamum, karena tidak
menemukan
air
untuk
mengerjakan
shalat
kemudian
menemukannya setelah shalat.
Berbeda dengan Al-Quran yang telah ditulis pada masa
Nabi, hadits lebih banyak dihafal dari pada ditulis. Bahkan pada
awalnya, Rasul melarang para sahabat untuk mecatat hadits,
karena khawatir tercampur dengan Al-Quran. Izin penulisan
hadits diberikan kepada sahabat tertentu seperti Abdullah bin
Amr. Rasul juga meminta orang yang mendengarkan hadits
untuk menyampaikan dengan teliti dan jujur kepada orang lain.

a. Fungsi As-Sunah
Fungsi As-Sunnah, antara lain:
1. Menguatkan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Quran
2. Memberikan keterangan ayat-ayat Al-Quran dan menjelaskan
rincian ayat-ayat yang masih bersifat umum
3. Membatasi kemutlakannya
4. Menakhsiskan/mengkhususkan keumumannya
5. Menciptakan hukum baru yang tidak ada di dalam Al-Quran
b. As-Sunah Sebagai Sumber Hukum
Ketaatan kepada Allah SWT harus diikuti dengan ketaatan
kepada Rasul. Sebaliknya, ketaatan kepada Rasul harus diikuti
pula dengan ketaatan kepada Allah SWT, sehingga keduanya
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

C. IJMAK
Ijmak adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa
setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap hukum syara yang
bersifat praktis (amaly), dna merupakan sumber hukum Islam
ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunah. Dalil yang menjadi dasar
Ijmak adalah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi :
Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut
pandangan Allah SWT juga baik.
Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat.
Ingatlah, barang siapa yang ingin menempati syurga, maka
bergabunglah (ikutilah) jamaah. Karena syaithan adalah
bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan lebih jauh dari
dua orang, daripada dari seseorang yang menyendiri. (HR. Umar
bin Khattab)
a. Tingkatan Ijmak
Menurut Imam SyafiI tingkatan ijmak adalah sebagai berikut :
1. Ijmak sharih ialah jika engkau atau salah seorang ulama
mengatakan hukum ini telah disepakati , maka niscaya
setiap ulama yang engkau temui juga mengatakan seperti apa
yang engkau katakana.
2. Ijmak Sukuti ialah suatu pendapat yang dikemukakan oleh
seorang mujtahid, kemudian pendapat tersebut telah

diketahui oleh para mujtahid di atas, akan tetapi tidak ada


seorang pun yang mengingkarinya.
3. Ijmak pada permasalahan pokok, jika para ahli fikih (fuqaha)
yang hidup dalam satu masa (generasi) berbeda dalam
berbagai pendapat, akan tetapi bersepakat dalam hukum
yang pokok, maka seseorang tidak boleh mengemukakan
pendapat yang bertentangan dengan pendapat-pendapat
mereka.
b. Terjadinya Ijmak
Faktor-faktor yang harus terpenuhi sehingga Ijmak dapat
dijadikan sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut:
1. Pada masa terjadinya peristiwa itu harus ada beberapa orang
mujtahid
2. Kesepakatan itu haruslah kesepakatan yang bulat
3. Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara yang telah mereka
putuskan itu dengan tidak memandang negara, kebangsaan
dan golongan mereka.
4. Kesepakatan itu diterapkan secara tegas terhadap peristiwa
tersebut baik lewat perkataan maupun perbuatan.
Sedangkan untuk menjadi mujtahid, harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut. (Yahya & Ftchurrahman, 1997)
1. Menguasai ilmu bahasa Arab dengan segala cabangnya.
2. Mengetahui nash-nash Al-Quran perihal hukum-hukum
syariat ynag dikandungnya, ayat-ayat hukum, cara
mengeluarkan (istimbath) hukum dari Al-Quran. Selain itu
juga harus mengetahui antara lain asbabun nuzul (sebab
turunnya suatu ayat), tafsir dari ayat yang hendak ditetapkan
hukumnya (istimbath).
3. Mengetahui nash-nash Al-Hadits yaitu mengetahui hukum
syariat yang didatangkan oleh Al-Hadits dan mampu
mengeluarkan (sitimbath-kan) hukum perbuatan orang
mukalaf dari padanya. Disamping ia harus mengetahui derajat
dan nilai hadits, seperti : mutawattir, ahad, shahih, hasan dan
dhaif juga harus mengetahui keadaan perawinya, mana hadits
yang tsiqah (terpercaya) untuk ditolak haditsnya.
4. Mengetahui maqashidus syariah (tujuan syariah), tingkah
laku dan adat kebiasaan manusia yang mengandung maslahat
dan kemudaratan.

Ijmak sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam


setelah Al-Quran dan As-Sunah, cara penetapan hukumnya
bukanlah hal yang mudah karena ada kriteria yang harus
dipenuhi agar hasil dari ijmak dapat dijadikan sebagai pedoman.

D. QIYAS
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan
yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya.
Sedangkan menurut terminologi, definisi qiyas secara umum
adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus
yang tidak disebutkan dalam suatu nash baik di Al-Quran dan
As-Sunah dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash
karena ada kesamaan dalam alasannya (illat), (Syafiie, 2007).
Hal ini sesuai dengan (QS 59:2)
Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai
wawasan.
Pelajaran adalah qiyaslah keadaanmu dengan apa yang terjadi.
Mengenai qiyas ini, imam SyafiI mengatakan : setiap
peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib
melaksanakannya. Akan tetapi, jika tidak ada ketentuan
hukumnya yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah,
yaitu dengan ijtihad, melalui qiyas.
Qiyas dapat dianggap sebagai sumber hukum, jika
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Sepanjang mengacu dan tidak bertentangan dengan AlQuran dan As-Sunah, qiyas diperlukan karena nash-nash
dalam Al-Quran dan As-Sunah itu universal dan global.
Sedangkan kejadian-kejadian pada manusia itu berkembang
terus. Oleh karena itu, tidak mungkin nash-nash (teks dalam
Al-Quran) yang universal itu dijadikan sebagai satu-satunya
sumber hukum terhadap kejadian-kejadian yang berkembang
mengikuti zaman.
2. Qiyas juga sesuai dengan logika yang sehat. Misalnya, orang
Islam meminum minuman yang memabukkan. Sangatlah
masuk akal, bila setiap menuman memabukkan yang
diqiyaskan dengan minuman tersebut, menjadi haram
hukumnya.

c. Argumentasi (kehujjahan) Qiyas


Tidak perlu diragukan, bahwa argumentasi jumhur ulama
didasakan pada prinsip berfikir logis, yaitu ayat Al-Quran dan
As-Sunah.
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil amri (pemegang kekuasaan)
diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul
(Sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah SWT dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS 4:59)
Ayat diatas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari
ungkapan kembali kepada Allah SWT dan Rasul (dalam masalah
khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tandatanda kecendrungan; apa seungguhnya yang dikehendaki Allah
SWT dan RAsul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat
hukum, yang dinamakan Qiyas.
Dari keempat sumber hukum tersebut diatas, Al-Quran
merupakan sumber hukum yang pasti karena tidak perlu metode
khusus untuk mengatakan ia adalah sumber hukum yang harus
diikuti seorang muslim, sedangkan untuk As-Sunah, penetapan
agar ia menjadi sumber hukum juga tidak diperlukan metode
khusus, kecuali memerlukan penggolongan hadits berdasarkan
perawihnya seperti telah disebutkan di atas. Untuk ijmak dan
Qiyas telah dikembangkan metodologi baku untuk menetapkan
suatu hukum yang disebut sebagai ilmu Fikih. Ilmu Fikih sendiri
didefenisikan sebagai metode pengambilan/penetapan hukum
tentang amal perbuatan manusia yang nashnya tidak ada
didalam Al-Quran dan As-Sunah tetapi didasarkan atas dasar
kesepakatan ulama. Sedangkan Ushul fikih ialah ilmu
pengetahuan dari kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan
yang dapat membawa kepada pengambilan hukum-hukum
tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil (Al-Quran dan
As-Sunah) untuk menghasilkan hukum yang sesuai dengan
syariat.

Anda mungkin juga menyukai