Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Blok Neurosensori adalah blok ke 15 pada semester 5 dari Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang.
Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk
menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Penulis memaparkan kasus
yang diberikan mengenai seorang anak laki laku yang berusia 10 tahun dengan keluhan mata
kanannya yang juling ke dalam.
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari tutorial ini, yaitu :
1

Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran
KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.

Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis dan
pembelajaran diskusi kelompok.

Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari skenario
ini.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Data Tutorial
Tutor

dr. Rasrinam Rasyad, Sp.S (K)

Moderator

Afifurrahman

Notulis

Annisa Nanda Putri

Sekretaris

Nadia APP Norman

Waktu

Senin,12 November2012
Rabu, 14 November 2012

Peraturan tutorial

1. Alat komunikasi dinonaktifkan (kecuali, untuk googling)


2. Semua anggota tutorial harus mengeluarkan pendapat dengan
cara mengacungkan tangan terlebih dahulu, dan apabila telah
dipersilahkan oleh moderator.
3. Tidak diperkenankan meninggalkan ruangan selama proses
tutorial berlangsung.(izin BAK)
4. Tidak diperbolehkan makan dan minum.

Skenario A Blok 15
Seorang anak laki-laki berumur 10 tahun dibawa oleh ibunya ke klinik dengan keluhan
mata kanannya juling kedalam. Keluhan ini muncul sejak mengalami kecelakaan lalu lintas 6
bulan yang lalu. Pada kecelakaan tersebut kepalanya terbentur dan penderita sempat kehilangan
kesadaran selama lebih dari 30 menit.
Bersamaan dengan itu penderita mengeluh mata kanan sulit digerakkan kearah temporal
kanan dan penglihatan ganda semakin bertambah bila melihat ke temporal kanan.
Pemeriksaan Oftalmologi:
AVOD: 6/6 E
AVOS : 6/6 E
Hischberg: ET 15
ACT (alternating cover test) : Shifting (+) OS mata dominan
Duction dan Version:

OD
OS
WFDT (worth four dot test) : uncrossed diplopia semakin bertambah bila melihat ke sisi
mata nondominan
FDT (forced duction test) : tidak terdapat tahanan pada gerakan dengan bantuan pinset

Klarifikasi Istilah:
1.
2.
3.
4.
5.

Esotropia: penyimpangan posisi bola mata dimana salah satu mata juling kedalam atas
AVOD: Visus orbital dextra
AVOS: Visus orbital sinistra
Diplopia: persepsi dua gambar dari sebuah objek tunggal
Hischberg test: metode pemeriksaan yang dilakukan untuk mengidentifikasi adanya
penyimpangan posisi bola mata dengan memperhatikan kedudukan reflex cahaya pada

kornea
6. ACT: pemeriksaan yang digunakan untuk melihat adanya heterophoria (gagal sumbu
pengelihatan untuk tetap sejajar setelah rangsang fusi visual dihilangkan)
7. Duction: pada ophthalmology rotasi mata oleh otot extraokuler disekeliling axis
horizontal, vertical, posterior dan anterior

8. Version: pada ophthalmology perputaran mata pada arah yang sama


9. WFDT: pemeriksaan untuk mengetahui binokularitas mata
10. FDT: pemeriksaan yang digunakan untuk melihat apakah ada tahanan pada rotasi mata
oleh otot ekstraokuler
11. Uncrossed diplopia: atau diplopia hononim adalah suatu keadaan juling kedalam dimana
bayangan terlihat juling kedalam terletak dibagian luar sisi yang sama dengan benda
aslinya.

Identifikasi Masalah:
1. Anak laki-laki, 10 tahun dibawa ke klinik dengan keluhan juling ke dalam .
2. Enam bulan lalu pasien kecelakaan lalulintas, kepalanya terbentur dan mengalami hilang
kesadaran lebih dari 30 menit
3. Penderita juga mengeluh mata kanan sulit digerakkan kea rah temporal kanan dan
penglihatan ganda semakin bertambah bila melihat ke temporal kanan.
4. Pemeriksaan Oftalmologi:
AVOD: 6/6 E
AVOS : 6/6 E
Hischberg: ET 15
ACT (alternating cover test) : Shifting (+) OS mata dominan
Duction dan Version:

OD
OS
WFDT (worth four dot test) : uncrossed diplopia semakin bertambah bila melihat ke sisi
mata nondominan
FDT (forced duction test) : tidak terdapat tahanan pada gerakan dengan bantuan pinset

Analisis Masalah:
1. A. Bagaimana Anatomi dan fisiologi mata? (otot, persarafan dan pergerakan bola mata)
Jawaban ada di Sintesis
B. Bagaimana etiologi dan mekanisme juling ke dalam?
Pada saat trauma terjadi, nervus VI mengalami kelumpuhan, nervus ini mempersarafi otot
rektus lateral, sehingga kelumpuhan yang terjadi mengakibatkan rektus laterals tidak
dapat menarik bola mata kearah lateral, sehingga bola mata bergulir kearah medial.

Nervus abdusen ini sering terkena lesi (parese) karena Jalan nervus VI ini panjang yang
membuat nervus ini rawan terhadap gangguan, misalnya oleh fraktur dasar tulang
tengkorak, tumor otak, meningitis basalis, lesi di sinus lavernosus, atau fisura orbitalis
superior.
2. A. Bagaimana pathogenesis trauma kepala dan hilangnya kesadaran dengan mata yang
juling ke dalam?
Kecelakaan kepala bergerak cepat dan meregang (akselerasi) pergerakan poros batang
otak blockade reversible pada lintasan retikularis asendens difus otak tidak dapat
input aferen kesadaran menurun sampai derajat terendah (pingsan) blokade hilang
pulih
Pada saat trauma terjadi, nervus VI mengalami kelumpuhan, nervus ini
mempersarafi otot rektus lateral, sehingga kelumpuhan yang terjadi mengakibatkan
rektus laterals tidak dapat menarik bola mata kearah lateral, sehingga bola mata bergulir
kearah medial.

3. A. Bagaimana pathogenesis diplopia kasus ini yang semakin bertambah bila melihat ke
temporal kanan?

Trauma kepala parese n vi bola mata tidak bisa bergerak ke lateral esotropia
perbedaan sudut mata bayangan tidak jatuh pada fovea centralis, hanya pada retina
perifer gangguan fusi pada otak objek yang sama terlihat di dua tempat diplopia
Normalnya, bayangan jatuh pada fovea centralis dan retina perifer.

Diplopia bertambah bila melihat ke temporal karena pada saat melihat ke temporal
sudut mata makin menjauhi fovea

4. A. Bagaimana cara pemeriksaan, interpretasi dan mekanisme pemeriksaan ophtalmologi


AVOD dan AVOS?
Tajam penglihatan mata kanan : AVOD (Acies Visus Okulo Dextra)
Tajam penglihatan mata kiri : AVOS (Acies Visus Okulo Sinistra)
Cara memeriksa visus seseorang adalah sebagi berikut :

1. Tempelkan kartu optotip snellen di dinding. Dudukan penderita dalam jarak 6 meter
dari optotip snellen.
2. Periksa mata kanan penderita, penderita menutup mata kiri dengan telapak tangan
(palmar) tanpa tekanan dilanjutkan dengan mata kiri. Lakukan pemeriksaan dari baris
atas sampai baris akhir. Catat urutan baris akhir yang bisa di baca penderita.
3. Jika huruf paling atas tidak bisa dibaca penderita maka lakukan tes jari tangan (finger
tes).
4. Lakukan pemeriksaan tersebut pada kedua mata (kanan-kiri).
5. Setelah visus mata kanan-kiri penderita diketahui tidak mencapai 6/6 maka
pemeriksaan selanjutnya melakukan tes pinhole.
Cara menyimpulkan hasil pemeriksaan visus.

gambar (optoptip snellen)


-Visus normal orang adalah 20/20 (dalam feet) atau 6/6 (dalam meter).
-Jika penderita hanya bisa melihat 3 huruf dari 6 huruf (50%) maka dianggap pada baris
tersebut belum lolos atau visus nya 6/12 meter (sebagai contoh tidak lulus dari baris 6
maka dianggap visusnya bisa melihat pada baris 5). Semisal lebih dari 3 huruf (lebih dari
50%) maka visusnya dianggap lolos atau visusnya 6/9 meter (sebagai contoh lulus dari
baris 6 maka dianggap visusnya bisa melihat pada baris 6).

-Bisa dikatakan juga semisal penderita hanya bisa melihat 3 huruf dari 6 huruf atau 50%
(baris 6) maka visus ditulis 6/12 meter plus 3 atau visus 6/9 meter false 3.
B. Bagaimana cara pemeriksaan, interpretasi dan mekanisme pemeriksaan ophtalmologi
Hischberg?
mata disinari dengan senolop dan akan terlihat refleks sinar pada permukaan kornea.
Refleks sinar sinar pada mata normal terletak pada kedua mata sama-sama di tengah
pupil.
1) Bila letaknya ditengah berarti tidak ada deviasi
2) Bila letaknya dipinggir pupil maka deviasinya 15
3) Bila letaknya dipertengahan antara pupil dan limbus maka deviasinya 30
4) Bila letaknya dilimbus maka deviasinya 45
C. Bagaimana cara pemeriksaan, interpretasi dan mekanisme pemeriksaan ophtalmologi
ACT?
Alat/sarana yang dipakai:
Titik/lampu untuk fiksasi
Jarak pemeriksaan :
Jauh : 20 feet (6 Meter)
Dekat : 14 Inch (35 Cm)
Penutup/Occluder

Prosedur/Tehnik Pemeriksaan :
Minta pasien untuk selalu melihat dan memperhatikan titik fiksasi, jika objek jauh kurang
jelas, maka gunakan kacamata koreksinya.

Pemeriksa menempatkan dirinya di depan pasien sedemikian rupa, sehingga apabila


terjadi gerakan dari mata yang barusa saja ditutup dapat di lihat dengan jelas atau di
deteksi dengan jelas.
Perhatian dan konsentrasi pemeriksa selalu pada mata yang ditutup.
Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari luar (temporal) kearah dalam
(nasal) pada mata yang baru saja di tutup, berarti terdapat kelainan EXOPHORIA.
Exophoria dinyatakan dengan inisial = X
Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari dalam (nasal) luar kearah
(temporal)pada mata yang baru saja di tutup, berarti terdapat kelainan ESOPHORIA.
Esophoria dinyatakan dengan inisial = E
Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari atas (superior) kearah bawah
(inferior)) pada mata yang baru saja di tutup, berarti terdapat kelainan HYPERPHORIA.
Hyperphoria dinyatakan dengan inisial = X
Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari bawah (inferior) kearah atas
(superior) pada mata yang baru saja di tutup, berarti terdapat kelainan HYPOPHORIA.
Hypophoria dinyatakan dengan inisial = X
Untuk mendeteksi Heterophoria yang kecil, seringkali kita tidak dapat mengenali adanya
suatu gerakan, seolah kondisi mata tetap di tempat. Untuk itu metode ini sering kita ikuti
dengan metode tutup mata bergantian (Alternating Cover Test).
Intrerpretasi : Esophoria

D. Bagaimana cara pemeriksaan, interpretasi dan mekanisme pemeriksaan ophtalmologi


duction dan vision?
Duksi (rotasi monokular)
Satu mata ditutup dan mata yang lain mengikuti cahaya yang digerakkan kesegala arah
pandangan, sehingga adanya kelemahan rotasi dapat diketahui. Kelemahan seperti ini
bisa karena paralisis otot atau karena kelainan mekanik anatomik.

Versi (gerakan Konjugasi Okular)

Uji untuk Versi dikerjakan dengan mata mengikuti gerakan cahaya pada jarak 33 cm
dalam 9 posisi diagnosis primer lurus kedepan; sekunder kekanan, kekiri keatas dan
kebawah; dan tersier keatas dan kekanan, kebawah dan kekanan, keatas dan kekiri, dan
kebawah dan kekiri. Rotasi satu mata yang nyata dan relative terhadap mata yang lainnya
dinyatakan sebagai kerja-lebih (overreaction) dan kerja kurang (underreaction).
Konsensus : pada posisi tersier otot-otot obliq dianggap bekerja-lebih atau bekerja-kurang
berkaitan dengan otot-otot rektus pasangannya. Fiksasi pada lapangan kerja otot paretik
menyebabkan kerja-lebih otot pasangannya, karena diperlukan rangsangan yang lebih
besar untuk berkontraksi. Sebaliknya, fiksasi oleh mata yang normal akan menyebabkan
kerja-kurang pada otot yang paretik.
E. Bagaimana cara pemeriksaan, interpretasi dan mekanisme pemeriksaan ophtalmologi
WFDT?
mekanisme pemeriksaan :
A. Pasang kacamata ujicoba atau phoroptor dengan lensa merah dikanan dan lensa hijau
dikir
B. Minta pasien melihat obyek worth four dot test

2 merah dan 2 hijau, berarti mata kanan dominan


2 merah dan 3 hijau, berarti mengalami diplopia( bila pasien tetap melihat
seperti itu meski ditanyakan ulang ) atau dominan bergantian ( jika merah

tampak lebih menyala dan hijau tampak pudar )


1 merah, 2 hijau dan 1 kuning berarti normal
1 merah, 2 hijau dan 1 kadang merah/hijau, berarti normal
1 merah dan 3 hijau berarti mata kiri dominan

Supresi atau pelemahan dberlakukan pada mata yan tidak dominan.


Interpretasi : diplopia

F. Bagaimana cara pemeriksaan, interpretasi dan mekanisme pemeriksaan ophtalmologi


FDT?

Forced Duction Test


Tujuan
Tes untuk mengetahui apakah strabismus disebabkan karena otot lumpuh atau ada
jaringan yang menghambat pergerakkan otot
Dasar

Gangguan pergerakkan mata yang disebabkan oleh defisiensi atau kelemahan otot yang
terjadi oleh traksi pada otot antagonis. Pergerakkan otot akan tertahan pada penjepitan
otot, peradangan dan perlengketan otot walaupun dengan bantuan tenaga (forced) otot ini
sukar bergerak.
Alat
1 Pinset
2 Anastesi local tetes mata
Teknik
1 Diberi anastesi local pada mata yang akan diperiksa
2 Pinset bergigi dipakai untuk memegang tendon dan konjungtiva dekat pada insersi
3

otot yang akan di periksa.


Pasien diminta melihat berlawanan arah dengan letak otot yang akan diperiksa.

4
5

Misalnya, dipegang dekat insersi rektus inferior pasien di suruh melihat keatas.
Waktu pasien melihat keatas pinset pemeriksa membantu pergerakkan mata ke atas
Diraba adanya kelainan pergerakkan.

Interpretasi
Pada kasus : tidak terdapat tahanan pada gerakan

Bila tidak terdapat tahanan pada gerakan dengan bantuan pinset berarti otot yang

berlawanan paresis atau strabismus akibat paresis otot


Bila terdapat tahanan berarti otot yang dipegang kaku dan tertahan oleh jaringan
bukan otot seperti konjungtiva, tendon, sehingga mengakibatkan mata tersebut
strabismus.

5. Bagaimana mata normal anak usia 10 tahun?


-

Waktu Lahir mata bayi masih irregulear dan tak terkoordinasi, dan dalam visus dikatakan
1/~

Sedangkan pada umur 2 minggu visus anak akan meningkat menjadi 3/60 dan dengan
adanya optokinetik drum

Sedangkan pada umur 5-6 minggu, terjadi proses wondering eye movement, dan mulai
terfiksasi pada obyek obyek terang.

Pada anak berumur 5,5 bulan, visus normalnya berkitaran antara lain 6/60 sampai 6/45

Pada anak berumur 6 bulan apabila ditemukan wondering eye, maka harus diperiksa lebih
lanjut, karena ada kemungkinan terkena strabismus.

Visus anak normal pada umur 3 tahun adalah 6/15

Sedangkan pada anak berumur 5-6 tahun, visus normalnya dapat berupa 6/9 sampai 6/6
Sedangkan pada kasus ini, visusnya 6/6 baik untuk mata kanan maupun mata kiri,
sehingga itu dikatakan normal.

6. Apa diagnosis banding pada kasus ini?


Diagnosis banding

7.

Acquired esotropia

abducens nerve palsy

accomodative esotropia

Infatile esotropia

Bagaimana cara penegakan diagnosis dan working diagnosis kasus ini?


Penjelasan ada di Sintesis

Anamnesis

Inspeksi

Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan

Pemeriksaan Kelainan Refraksi : A) Uji prisma dan penutupan, B) Uji objektif

Duksi (rotasi monokular) dan Versi (gerakan Konjugasi Okular)

Pemeriksaan Sensorik : Uji stereopsis, uji supresi, uji, Uji kelainan Korespondensi
retina, uji kaca beralur Bagolini.

Working Diagnosis: Paretic Esotropia

8. Apa etiologi dan factor resiko pada kasus ini?


trauma kepala
tumor
infeksi otak, telinga, mata
penyumbatan arteri karena DM
Faktor resiko :

lingkungan : berhubungan dengan kecelakaan karena dapat mengakibatkan trauma

kepala.
Pola makan : pola makan sering mengkonsumsi makanan manis dapat menyebabkan
DM .

9. Bagaimana epidemiologi kasus ini?


Terjadi pada kira-kira 2% pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun dan sekitar 3%

pada remaja dan dewasa muda.


Pria = wanita
Keturunan
50% strabismus pada usia dibawah 5 tahun

10. Bagaimana pathogenesis kasus ini?


Pathogenesis pada kasus ini, dimulai dengan adanya trauma kapitis yang letaknya lokal,
sehingga menyebabkan terjadinya ruptur ataupun rusaknya saraf abdusen atau saraf ke VI,
dimana saraf ini cukup rentan karena paling panjang dan ada daerah yang tidak begitu
terlindungi. Karena rusaknya saraf ini, maka otot rektus lateral tidak dapat bekerja dengan
sempurna, ataupun mengalami parese, sehingga dia tidak dapat mengimbangi tarikan dari
otot rektus medial, sehingga mata berdeviasi ke arah medial. Karena posisi awal mata tidak
pada tempat yang sama, maka bayangan yang masuk juga tidak sama antara mata kanan dan
mata kiri, sehingga syarat terjadinya fusi tidak terpenuhi, sehingga muncullah diplopia atau
penglihatan ganda. Apabila diplopia ini tidak segera diatasi maka otak akan memutus
bayangan pengganggu dari salah satu mata (biasanya yang juling) sehingga nantinya
terjadilah juga ambyopia.

11. Apa manifestasi klinis kasus ini?


Gangguan pergeraka mata kea rah luar (lateral)

Diplopia
Mata berdeviasi kearah nasal
Vertigo
Vomitus

12. Bagaimana tatalaksana kasus ini?


Tata laksana strabismus pada umumnya ada dua, yaitu bedah dan non bedah. Untuk yang
nonbedah terapi yang dapat dilakukan adalah pemberian toxin botulinum untuk
memparese otot mata rectus medialnya, atau juga dapat diberika lensa prisma untuk
membiaskan cahaya, akan tetapi untuk kasus ini terapi non bedah tidak dapat dilakukan
karena tidak dapat menyembuhkan penderita, sehingga kemungkinan tatalaksana yang
dilakukan adalah dengan melakukan tindakan bedah yaitu memperlemah otot
antagonisnya atau memperkuat otot yang parese.
13. Apa komplikasi kasus ini?
Supresi
Ambliopia
Defek otot
Adaptasi posisi kepala
14. Bagaimana prognosis kasus ini?
Dubia et Bonam
15. Apa KDU pada kasus ini?
3A: Mampu membuat diagnosis

klinik

berdasarkan

pemeriksaan

fisik

dan

pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan


laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi
pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).
Hipotesis:
Anak laki-laki, 10 tahun mengeluh juling kedalam (esotropia) karena pharese nervus VI dextra akibat
trauma kepala

Kerangka Konsep:

Anamnesis: Trauma kepala 6 bulan yang lalu dan sempat hilang kesadaran lebih dari 30 menit,

BAB III

SINTESIS
1. Anatomi dan Fisiologi mata

Diperlukan penentuan pergerakan bola mata, dan 9 posisi untuk diagnosis kelainan pergerakan
bola mata. Dikenal beberapa bentuk kedudukan bola mata :
1. Posisi primer, mata melihat lurus kedepan
2. Posisi sekunder, mata melihat lurus ke atas, lurus kebawah, ke kiri dan ke kanan
3. Posisi tertier, mata melihat ke atas kanan, ke atas kiri, ke bawah kanan dan ke bawah
kiri.
Faal penglihatan yang optimal dicapai seseorang apabila benda yang dilihat oleh kedua
mata dapat diterima setajam-tajamnya oleh kedua fovea, kemudian secara simultan dikirim ke
susunan saraf pusat untuk diolah menjadi suatu sensasi berupa bayangan tunggal. Faal
penglihatan optimal seperti tersebut di atas, yang terjadi pada semua arah penglihatan disebut
sebagai penglihatan binokular yang normal.
Agar terjadi penglihatan binokular yang normal, diperlukan persyaratan utama berupa:
1. Bayangan yang jatuh pada kedua fovea sebanding dalam ketajaman maupun ukurannya,
hal ini berarti bahwa tajam penglihatan pada kedua mata tidak terlalu berbeda sesudah
koreksi dan tidak terdapat aniseikonia, yang baik disebabkan karena refraksi maupun
perbedaan susunan reseptor.
2. Posisi kedua mata dalam setiap arah penglihatan adalah sedemikian rupa sehingga
bayangan benda yang menjadi perhatiannya akan selalu jatuh tepat pada kedua fovea.
Posisi kedua mata ini adalah resultant kerjasama seluruh otot-otot ekstrinsik pergerakan
bola mata.
3. Susunan saraf pusat mampu menerima rangsangan yang datang dari kedua retina dan
mensintesa menjadi suatu sensasi berupa bayangan tunggal.
Apabila salah satu dari ketiga persyaratan tersebut di atas tidak dipenuhi, maka akan
timbul keadaan penglihatan binokular yang tidak normal.Aniseikonia yaitu suatu perbedaan
penglihatan berat yang menimbulkan diplopia dan perbedaan hipermetropia sebanyak dua dioptri
atau lebih dapat menyebabkan gangguan faal penglihatan dalam masa perkembangan anak yang
disebut sebagai Developmental Arrest. Gangguan keseimbangan gerak bola mata akibat tonus

yang tidak sama kuat antara otot-otot penggerak bola mata maupun karena kelainan yang bersifat
sentral juga dapat mengakibatkan deviasi bola mata.
Aspek Motorik
Fungsi masing masing otot :
1. Musculus Ralateralis mempunyai fungsi tunggal untuk abduksi mata
2. Musculus Rektus medialis untk aduksi ,sedang otot yg lain mempunyai fungsi primer &
sekunder tergantung posisi bola mata.

Otot

Kevia primer

Kerja sekunder

Rektus lateral
abduksi

abduksi

Rektus medial

Rektus superior

Aduksi,intorsi
elavasi

Rektus inferior

Aduksi,ekstorsi
depresi

Oblik superior

Intorsi,abduksi
depresi

Oblik inferior

Ekstorsi,abduksi
elavasi

Pergerakan dua bola mata (Binokuler) :

Hukum Hering

Pada setiap arah gerakan mata secara sadar ,maka otot2 yg berpasangan akan terdapat
sejumlah rangsangan dalam jumlah yg sama besr sehingga menghasilkan gerakan yg tepat &
lancer.

Yoke Muscles
Pada setiap gerakan mata yang terkoordinir ,otot dari satu mata akan berpasaangan dengan
otot mata yang lain untuk menghasilkan gerakan mata dalam 6 arah kordinal
Ganguan pergerakan :
Bila terdapat satu atau lebih otot mata yang tidak dapat mengimbabgi gerakan otot mata lainnya
maka akan terjadi gangguan keseimbangan gerakan mata sumbu penglihatan akan menyilan
mata menjadi strabismus,diplopia.
1. Tonus yang berlebihan
2. Paretic /paralitic
3. Hambatan mekanik
Aspek Sensorik
Pada penglihatan binokuler yang normal bayangan dari objek yang menjadi perhatian
jatuh pada kedua fovea mata, impuls akan berjalan sepanjang optic pathway menuju
cortex talis dan diterima sebagai bayangan tunggal.

Otot dan Persyarafan


Gerakan Mata dikontrol oleh enam otot ekstrim okular yaitu :

Empat Otot rektus

o Muskulus Rektus medius, kontraksinya akan menghasilkan aduksi atau


menggulirnya bola mata kearah nasal dan otot ini dipersyarafi oleh saraf ke III
{Okulomotor}
o Muskulus Rektus lateral, kontaksinya akan menghasilkan abduksi atau
menggulirnya bola mata kearah temporal & otot ini dipersyarafi oleh saraf ke IV
{Abdusen}
o Muskulus Rektus superior,kontraksinya akan menghasilkan Elevasi, Aduksi &
Intorsi bola mata dan otot ini dipersyarafi ke III
o Muskulus rektus Inferior, kontraksinya akan menghasilkan depresi pada abduksi,
ekstorsi dan pada abduksi, dan abduksi 23 pada depresi otot ini dipersyarafi ke III

Dua Otot Obligus


o Muskulus Obligus superior,kontraksinnya akan menghasilakn depresi intorsi bila
berabduksi 39 ,depresi sat abdusi 51 dan bila sedang depresi akan berabduksi .otot
ini dipersyarafi saraf ke IV (troklear)
o Muskulus Obligus inferior ,dngn aksi primernya ekstorsi dlm abduksi sekunder
oblik inferior adlah elevasi dlm abduksi.otot ini dipersyarafi saraf ke III

Fasia
o Otot rektus dan oblik diselubungi fasia.didekat titik intersi otot-otot ini, Fasia
melanjutkan diri

menjadi kapsul Tenon yg terdapat diantara sklera &

konjungtiva, fasia yg menyatu dengan struktur tulang orbita berfungsi sebagai


ligamen pengontrol otot-otot ekstraokuler dan membatasi rotasi bola mata.

2. Strabismus
I. DEFINISI STRABISMUS
Strabismus adalah suatu keadaan dimana kedudukan kedua bola mata tidak searah.
Strabismus merupakan suatu kelainan posisi bola mata dan bisa terjadi pada arah atau jauh
penglihatan tertentu saja, atau terjadi pada semua arah dan jarak penglihatan.

II. ETIOLOGI STRABISMUS


Strabismus ditimbulkan oleh cacat motorik, sensorik atau sentral. Cacat sensorik
disebabkan oleh penglihatan yang buruk, tempat ptosis palpebra, parut kornea, katarak
kongenital. Cacat sentral akibat kerusakan otak. Cacat sensorik dan cacat sentral menimbulkan
strabismus konkomitan atau non paralitik. Cacat motorik seperti paresis otot mata akan
menyebabkan gerakan abnormal mata yang menimbulkan strabismus paralitik.
Gangguan fungsi mata seperti pada kasus kesalahan refraksi berat atau pandangan yang
lemah karena penyakit bisa berakhir pada strabismus. Ambliopia (berkurangnya ketajaman
penglihatan) dapat terjadi pada strabismus, biasanya terjadi pada penekanan kortikal dari
bayangan mata yang menyimpang.

III. MACAM MACAM STRABISMUS

Strabismus dapat dibagi dalam :


-

Foria
Dikenal 2 bentuk foria terdiri dari :
A. Ortoforia
Merupakan kedudukan bola mata dimana kerja otot-otot luar bola mata
seimbang sehingga memungkinkan terjadinya fusi tanpa usaha apapun. Pada ortoforia
kedudukan bola mata ini tidak berubah walaupun refleks fusi diganggu.
B. Heteroforia
Merupakan kedudukan bola mata yang normal namun akan timbul
penyimpangan (deviasi) apabila refleks fusi diganggu. Deviasi hilang bila faktor
desosiasi ditiadakan akibat terjadinya pengaruh refleks fusi.
a. Esoforia
Merupakan suatu penyimpangan sumbu penglihatan ke arah nasal yg
tersembunyi oleh karena masih adanya refleks fusi. Esoforia yang mempunyai
sudut penyimpangan lebih besar pada waktu melihat jauh disebabkan oleh suatu
insufiensi divergen dan mempunyai sudut penyimpangan yang lebih kecil pada
waktu melihat dekat disebabkan oleh suatu ekses konvergen.
Pengobatan esoforia dapat diobati dengan jalan :
1. Memberikan

koreksi

hipermetropia

untuk

mengurangi

rangsang

akomodasi yang berlebihan


2. Memberikan miotika untuk menghilangkan akomodasinya
3. Memberikan prisma base out yang dibagi sama besar untuk mata kiri dan
kanan
4. Tindakan operasi bila usaha-usaha diatas tidak berhasil.

b. Eksoforia (mata berbakat juling ke luar atau strabismus divergen laten)


Merupakan suatu tendensi penyimpangan sumbu penglihatan ke arah
temporal. Dimana pada eksoforia akan terjadi deviasi ke luar pada mata yang
ditutup atau dicegah terbentuknya refleks fusi. Apabila sudut penyimpangan pada
waktu melihat jauh lebih besar daripada waktu melihat dekat, maka hal ini
biasanya disebabkan oleh suatu ekses divergen. Sedangkan apabila sudut
penyimpangan pada waktu melihat deket lebih besar dibanding waktu melihat
jauh, maka hal ini disebabkan oleh kelemahan akomodasi.
Pengobatan ditujukan kepada kesehatan secara umum. Bila ada kelainan
refraksi harus diberikan koreksi. Bila mungkin diberikan latihan-latihan ortoptik.
Bila tidak berhasil dapat diberikan prisma base in yang kekuatannya dibagi dua
sama besar untuk masing-masing mata, kiri dan kanan.

c. Hiperforia (mata juling ke atas atau strabismus sursumvergen laten)


Merupakan suatu tendensi penyimpangan sumbu penglihatan kearah atas.
Dimana pada pada hiperforia akan terjadi deviasi ke atas pada mata yang ditutup.
Umumnya keadaan ini disebabkan kerja yang berlebihan (over action) otot-otot
rektus inferior dan obliqus superior atau kelemahan (under action) otot-otot rektus
inferior dan obliqus superior.
Pengobatan dapat dengan kacamata prisma dan puncak diatas (vertical base
down) di depan mata yang sumbu penglihatannya lebih tinggi dengan puncak
dibawah (vertical base up) di depan mata yang sumbu penglihatannya lebih
rendah. Dapat juga dilakukan operasi pada otot-otot rektus superior dan rektus
inferior.

d. Hipoforia (mata juling ke bawah atau strabismus dorsumvergen laten)

Merupakan suatu tendensi penyimpangan sumbu penglihatan ke arah


bawah. Mata berdeviasi ke bawah bila ditutup.

e. Sikloforia (mata berdeviasi torsi pada mata yang ditutup atau strabismus
torsional laten)
Merupakan suatu tendensi penyimpangan sumbu penglihatan berorasi :
i. Insikloforia : bila kornea jam 12 berputar ke arah nasal
ii. Eksokloforia : bila konea jam 12 berputar ke arah temporal.
-

Tropia
Heterotropia, suatu keadaan penyimpangan sumbu bola mata yang nyata di mana kedua
sumbu penglihatan tidak berpotongan pada titik fiksasi. Heterotropia dapat disebabkan
oleh kelainan :

Herediter

Anatomik, kelainan otot luar, kelainan rongga orbita

Kelainan refraksi

Kelainan persyarafan, sensorik motorik, AC/A rasio tinggi, keadaan yang


menggagalakn fusi.

Heterotropia dapat dibagi menurut arah penyimpangan sumbu penglihatan :

f. Esotropia
Juling ke dalam atau strabismus konvergen manifes dimana sumbu penglihatan
mengarah kearah nasal. Esotropia adalah suatu penyimpangan penglihatan yang nyata
dimana salah satu sumbu penglihatan lainnya menyimpang pada bidang horizontal ke
arah medial.
Bentuk-bentuk esotropia :

Esotropia konkomitan, yaitu bila sudut penyimpangan sama besarnya pada semua
arah pandang.

Esotropia nonkomitan yaitu bila besarnya sudut penyimpangan berbeda-beda pada


arah pandangan yang berbeda-beda pula.

Penyebab esotropia :

Faktor refleks dekat, akomodatif esotropia

Hipertoni rektus medius kongenital

Hipotoni rektus lateral akuisita

Penurunan fungsi penglihatan satu mata pada bayi dan anak.

Dikenal bentuk esotropia dalam :

Esotropia kongenital, mulai terlihat pada usia 6 bulan

Esotropia akomodatif, yang mulai usia 6 bulan hingga 7 tahun, bila dikoreksi
hipertropiannya maka akan terlihat hingga esotropianya

Esotropia nonakomodatif, yang tidak hilang dengan koreksi hipermetropiannya.

Pengobatan :
1. Mengetahui dan mengobati kelainan ini secara dini adalah penting untuk
mencegah penyulit-penyulit sensorik dan motorik.
2. Memberikan lensa koreksi untuk mengatasi keadaan miopinya
3. Tindakan operatif pada kasus-kasus dengan penyebab non-akomodatif.

Esodeviasi akomodatif dan nonreaktif


Esotropia akomodatif reaktif
Esotropia reaktif adalah suatu asodeviasi yang timbul sebagai akibat suatu usaha
akomodasi pada hipertropia tak terkoreksi. Biasanya timbul pada anak normal tetapi
sensitif antara usia 2 dan 3 rahun. Kacamata yang tepat waktunya dan penggunaan
koreksi hiperopik memberikan pengobatan yang memadai untuk esotropia refraktif pada
kebanyakan kasus. Bila kacamata tidak cukup segera berikan atau bila hiperopia itu tidak
terkoreksi dengan penuh, maka esodeviasi itu dapat menjadi sukar terhadap pengobatan
kacamata dan memerlukan pembedahan.

Esotropia akomodatif nonreaktif


Seperti pada pasien esotropia akomodatif reaktif, esotropia akomodatif nonreaktif
biasanya menjadi jelas nyata usia 2 dan 3 tahun. Pengobatannya terdiri dari koreksi penuh
untuk kelainan refraksi jarak jauh (kaca minus) dengan tambahan bifokal untuk jarak
dekat.

b. Eksotropia
Juling ke luar atau strabismus divergen manifes dimana sumbu penglihatan ke
arah temporal. Eksotropia adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan yang nyata
dimana salah satu sumbu penglihatan menuju titik fiksasi sedangkan sumbu penglihatan
yang lainnya menyimpang pada bidang horizontal ke arah lateral.

Bentuk-bentuk eksotropia :

Eksotropia konkomitan, yaitu bila sudut penyimpangan sama besarnya


pada semua arah pandangan

Eksotropia nonkomitan, yaitu bila besarnya sudut penyimpangan berbedabeda pada arah pandangan yang berbeda-beda.

Penyebab-penyebab eksotropia :

Herediter, unsur herediter sangat besar, yaitu trait autosomal dominant.

Inervasi, tetapi tidak terdapat abnormalitas yang berarti dalam bidang


sensorimotor

Anatomi, kelainan untuk rongga orbita misalnya penyakit Crouzon.

Pengobatan :
Dengan koreksi refraksi pada eksotropia merupakan hal yang penting dan
dilakukan secara hati-hati :

Bila pasien eksotropia dengan hipermetropia maka harus diberi kacamata


dengan ukuran yang kurang dari seharusnya untuk merangsang akomodasi
dan konvergensi.

Bila pasien menderita miopia maka harus diberi kacamata yang lebih besar
ukurannya

dari

yang

seharusnya

untuk

merangsang

akomodasi

konvergensi.

Pada dasarnya pengobatan eksotropia adalah operasi.

c. Hipertropia
Mata duduk tinggi, hipertropia atau strabismus sursumvergen manifes dimana
sumbu penglihatan mengarah ke arah atas.

d. Hipotropia
Mata duduk rendah atau strabismus dorsumvergen manifes merupakan
penyimpangan sumbu penglihatan ke arah bawah.

Siklotropia

Mata sumbu putar atau strabismus torsinal manifes dimana sumbu penglihatan
berputar.

Insiklotropia : bila kornea jam 12 berputar ke arah nasal

Ensiklotropia : bila kornea jam 12 berputar ke arah temporal.

Heterotropia komitan atau non komitan


Strabismus kankomitan yaitu juling akibat terjadinya gangguan fusi. Strabismus
konkomitan atau strabismus non paralitik merupakan tropia dimana besar sudut
deviasinya sama pada semua arah penglihatan. Strabismus inkomitan atau strabismus
paralitik terjadi akibat paralisis otot penggerak mata, dimana juling akan bertambah nyata
bila mata digerakan ke arah otot yang lumpuh. Dalam keadaan ini besar sudut deviasi
akan berubah-ubah tergantung kepada arah penglihatan penderita.

Gangguan keseimbangan gerakan mata disebabkan hal berikut :

Gerakan berlebihan salah satu otot mata

Gerakan salah satu otot yang kurang

Kemungkinan penyebab terjadinya juling :

Kelainan kongenital

Biasanya bentuk deviasi eso

Herediter

Hilangnya

penglihatan

pada

satu

retinoblastoma, trauma, katarak

Neuroparalitik

Kelumpuhan saraf ke III, IV dan VI.

mata

(fusi

terganggu)

seperti

pada

3. Penegakan Diagnosis dan Pemeriksaan Oftalmologi


Anamnesis:
Pertanyaan yang lengkap dan cermat tentang riwayat sakit sangat membantu dalam
menentukan, diagnosis, prognosis dan pengobatan strabismus. Dalam hal ini perlu
ditanyakan :
a. Riwayat keluarga : biasanya strabismus diturunkan secara autosomal dominan.
b. Umur pada saat timbulnya strabismus : karena makin awal timbulnya strabismus makin
jelek prognosisnya.
c. Timbulnya strabismus : mendadak, bertahap, atau berhubungan dengan penyakit
sistemik.
d. Jenis deviasi : bagaimana pasien menyadari strabismusnya? Bagaimana penglihatan
dekatnya? Kapan matanya terasa lelah? Apakah pasien menutup matanya jika terkena
sinar matahari? Apakah matanya selalu dalam keadaan lurus setiap saat? Apakah derajat
deviasinya tetap setiap saat?
e. Fiksasi : apakah selalu berdeviasi satu mata atau bergantian?

Pemeriksaan Oftalmologi:

Inspeksi

Dengan inspeksi sudah dapat ditentukan apakah strabismusnya konstan atau hilang timbul
(intermitten), berganti-ganti (alternan) atau menetap (nonalternan),dan berubah-ubah (variable)
atau tetap (konstan). Harus diperhatikan pula ptosis terkait dan posisi kepala yang abnormal.
Derajat

fiksasi masing-masing secara terpisah atau bersama-sama. Adanya nistagmus

menunjukkan bahwa fiksasinya buruk dan tajam penglihatannya menurun.

Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan

Tajam penglihatannya harus diperiksa walaupun secara kasar untuk membandingkan tajam
penglihatan kedua mata. Kedua mata diperiksa sendiri-sendiri, karena dengan uji binokular tidak
akan bisa diketahui kekaburan pada satu mata. Untuk anak-anak yang masih sangat muda, yang
bisa dilakukan kadang-kadang hanya berusaha agar mata bisa memfiksasi atau mengikuti sasaran
(target). Sasaran dibuat sekecil mungkin disesuaikan dengan usia, perhatian, dan tingkat
kecerdasannya. Jika dengan menutup satu mata anak tersebut melawan, sedang dengan menutup
mata yang lain tidak melawan, maka mata yang penglihatannya jelek adalah yang ditutup tanpa
perlawanan. Pada uji titik (dot test), anak yang diperiksa disuruh menaruhkan jari-jarinya pada
sebuah titik yang ukurannya telah dikalibrasi. Ini adalah uji kuantitatif paling awal yang
dikerjakan secara berkala (dimulai pada umur 2-2 tahun). Pada umur 2 - 3 tahun anak
sudah mampu mengenali dan mengerjakan uji gambar-gambar kecil (kartu Allen). Umumnya
anak umur 3 tahun sudah bisa melakukan permainan E (E-game) yaitu dengan kata snellen
konvensional dengan huruf E yang kakinya ke segala arah dan sianak menunjukkan arah kaki
huruf E tersebut dengan jari telunjuknya.
Tajam penglihatan dan kemampuan visual bayi lainnya dapat ditentukan dengan metode melihat
apa yang disukai anak (preferential looking method), yang didasarkan pada kebiasaan bayi yang
lebih menyukai melihat lapangan yang telah dipola (diberi corak) atau melihat lapangan yang
seragam.

Pemeriksaan Kelainan Refraksi

Memeriksa kelainan refraksi dengan retinoskop memakai sikloplegik adalah sangat penting.
Obat baku yang digunakan agar sikloplegia sempurna adalah atropine. Bisa diberikan dalam
bentuk tetes mata atau salep mata 0,5 % atau 1 % beberapa kali sehari selama beberapa hari.
Pemberian atropine pada anak-anak usia sekolah sangat tidak disukai karena sikloplegianya
berlangsung lama sampai 2 minggu sehingga mengganggu pelajaran sekolah. Pada semua umur
bisa digunakan homatropin 5 % atau siklopentolat 1 atau 2 % dan hasilnya baik.

Menentukan Besar Sudut Deviasi


A. Uji Prisma dan Penutupan
Uji penutupan (cover test)
Uji membuka penutup (uncover test)
Uji penutup berselang seling (alternate cover test)
Penutup ditaruh berselang seling didepan mata yang pertama dan kemudian mata
yang lain. Uji ini memperlihatkan deviasi total (heterotropia dan heteroforia).
Uji penutupan plus prisma Untuk mengukur deviasi secara kuantitatif,
diletakkan prisma dengan kekuatan yang semakin tinggi dengan kekuatan satu
atau kedua mata sampai terjadi netralisasi gerakan mata pada uji penutup
berselang-seling. Misalnya untuk mengukur esodeviasi penuh, penutup dipindahpindahkan sementara diletakkan prisma dengan kekuatan base out yang semakin
tinggi didepan salah satu atau kedua mata sampai gerakan re-fiksasi horizontal
dicapai oleh mata yang deviasi.
B. Uji Objektif
Uji prisma dan uji tutup bersifat objektif, karena tidak diperlukan laporan
laporan pengamatan sensorik dari pasien. Namun diperlukan kerjasama dan tajam
penglihatan yang utuh. Uji batang Maddox bersifat subjektif, Karena nilai akhir
pelaporan berdasarkan laporan pengamatan sensorik pasien.
Pada kasus dimana pasien dalam keadaan bingung atau tidak kooperatif, mungkin
tidak respon terhadap uji ini. Cara-cara penentuan klinis posisi mata yang tidak
memerlukan pengamatan sensorik pasien (uji objektif) jauh kurang akurat, walaupun
kadang-kadang masih bermanfaat.

Terdapat dua metode yang sering digunakan yang bergantung pada pengamatan posisi
reflek cahaya oleh kornea, yakni :
1. Metode Hirschberg
Pasien disuruh melihat sumber cahaya pada jarak 33 cm kemudian lihat pantulan cahaya
pada kedua kornea mata.
1)

Bila letaknya ditengah berarti tidak ada deviasi

2)

Bila letaknya dipinggir pupil maka deviasinya 15

3)

Bila letaknya dipertengahan antara pupil dan limbus maka deviasinya 30

4)

Bila letaknya dilimbus maka deviasinya 45

2. Metode Refleksi Prisma (modifikasi uji krimsky)


Penderita memfiksasi pada cahaya dengan jarak sembarangan. Prisma ditaruh didepan mata
sedang deviasi. Kekuatan prisma yang diperlukan agar refleksi kornea pada mata yang juling
berada ditengah-tengah pupil menunjukkan besarnya sudut deviasi.

Duksi (rotasi monokular)

Satu mata ditutup dan mata yang lain mengikuti cahaya yang digerakkan kesegala arah
pandangan, sehingga adanya kelemahan rotasi dapat diketahui. Kelemahan seperti ini bisa
karena paralisis otot atau karena kelainan mekanik anatomik.

Versi (gerakan Konjugasi Okular)

Uji untuk Versi dikerjakan dengan mata mengikuti gerakan cahaya pada jarak 33 cm dalam 9
posisi diagnosis primer lurus kedepan; sekunder kekanan, kekiri keatas dan kebawah; dan
tersier keatas dan kekanan, kebawah dan kekanan, keatas dan kekiri, dan kebawah dan
kekiri. Rotasi satu mata yang nyata dan relative terhadap mata yang lainnya dinyatakan
sebagai kerja-lebih (overreaction) dan kerja kurang (underreaction). Konsensus : pada posisi
tersier otot-otot obliq dianggap bekerja-lebih atau bekerja-kurang berkaitan dengan otot-otot
rektus pasangannya. Fiksasi pada lapangan kerja otot paretik menyebabkan kerja-lebih otot

pasangannya, karena diperlukan rangsangan yang lebih besar untuk berkontraksi. Sebaliknya,
fiksasi oleh mata yang normal akan menyebabkan kerja-kurang pada otot yang paretik.

1)

Pemeriksaan Sensorik
Uji stereopsis

Digunakan kaca sasaran Polaroid untuk memilahkan rangsangan. Sasaran yang dipantau secara
monokular hampir-hampir tidak bisa dilihat kedalamannya. Stereogram titik-titik acak (random
stereogram) tidak memiliki petunjuk kedalaman bila dilihat monocular. Lapangan titik-titik
secara acak (A field of random dots) terlihat oleh mata masing-masing tetapi hubungan titik ke
titik yang sesuai antara 2 sasaran adalah sedemikian rupa sehingga bila ada stereopsis akan
tampak suatu bentuk yang terlihat stereoskopis.
2)

Uji supresi

Adanya supresi bisa ditunjukkan dengan uji 4 titik Worth. Gagang pencoba dengan 4 lensa
merah didepan satu mata dan lensa hijau didepan mata yang lain. Ditunjukkan senter dengan
bulatan-bulatan merah, hijau dan putih. Bulatan-bulatan berwarna ini adalah tanda untuk
persepsi mata masing-masing dan bulatan putih yang bisa dilihat kedua mata dapat
menunjukkan adanya diplopia. Pemilahan bulatan-bulatan dan jaraknya Dari mata, menentukan
luasnya retina yang diperiksa. Daerah fovea dan daerah perifer dapat diperiksa dengan jarak
dekat atau jauh.
3)

Uji kelainan Korespondensi retina

Kelainan korespondensi retina dapat ditentukan dengan dua cara :


1.

dengan menunjukkan bahwa salah satu fovea tidak tegak lurus didepannya

2.

dengan menunjukkan bahwa titik retina perifer pada satu mata dan fovea mata lainnya

mempunyai arah yang bersamaan.


4)

Uji kaca beralur Bagolini

Uji ini merupakan uji metode yang kedua. Kaca bening dengan alur-alur halus yang arahnya
berbeda tiap-tiap mata ditempatkan didepan mata. Kondisi uji sedapat mungkin mendekati
penglihatan normal. Terlihat sebuah titik sumber cahaya dan seberkas sinar tegak lurus pada
arah alur. Jika unsur retina perifer mata yang berdeviasi menunjuk berkas cahaya melalui titik
sumber cahaya maka berarti ada kelainan korespondensi retina.

Anda mungkin juga menyukai