Anda di halaman 1dari 22

Pengukuran Beda Tinggi

Definisi Ilmu Ukur Tanah (Surveying) Ilmu ukur tanah adalah cabang dari ilmu Geodesi yang
khusus mempelajari sebagian kecil dari permukaan bumi dengan cara melakukan
pengukuranpengukuran guna mendapatkan peta. Pengukuran yang di lakukan terhadap titik-titik detail
alam maupun buatan manusia meliputi posisi horizontal (x,y) maupun posisi vertikal nya (z) yang
diferensikan terhadap permukaan air laut rata-rata. Agar titik-titik di permukaan bumi yang tidak
teratur bentuknya dapat di pindahkan ke atas bidang datar maka di perlukan bidang perantara antara
lain : bidang Ellipsoid, bidang bultan dan bidang datar (untuk luas wilayah 55 km). Dalam pengertian
yang lebih umum pengukuruan tanah dapat dianggap sebagai disiplin yang meliputi semua metode
untuk menghimpun dan melalukan proses informasi dan data tentang bumi dan lingkungan fisis.
Dengan perkembangan teknologi saat ini metoda terestris konvensional telah dilengkapi dengan
metode pemetaan udara dan satelit yang berkembang melalui program-program pertanahan dan ruang
angkasa. Secara umum tugas surveyor adalah sebagai berikut:

a) Analisa penelitian dan pengambilan keputusan. Pemilihan metode pengukuran,


peralatan, pengikatan titik-titik sudut dsb
b) Pekerjaan lapangan atau pengumpulan data, yakni melaksanakan pengukuran dan
pencatatan data di lapangan.
c) Menghitung atau pemprosesan data, yakni hitungan berdasrkan data yang dicatat
untuk menentukan letak, luas dan volume.
d) Pemetaan atau penyajian data. Menggambarkan hasil ukuran dan perhitungan untuk
menghasilkan peta, gambar rencana tanah dan peta laut, menggambarkan darat dalam
bentuk numeris atau hasil komputer.
e) Pemancangan. Pemancangan tugu dan patok ukur untuk menentukan batas-batas
pedoman dalam pekerjaan konstruksi.

Alat Waterpass
Waterpass (penyipat datar) adalah suatu alat ukur tanah yang dipergunakan untuk mengukur

beda tinggi antara titik-titik saling berdekatan. Beda tinggi tersebut ditentukan dengan garis-garis visir
(sumbu teropong) horizontal yang ditunjukan ke rambu-rambu ukur yang vertical.
Sedangkan pengukuran yang menggunakan alat ini disebut dengan Levelling atau
Waterpassing. Pekerjaan ini dilakukan dalam rangka penentuan tiggi suatu titik yang akan ditentukan
ketiggiannya berdasarkan suatu system referensi atau bidang acuan.
Sistem referensi atau acaun yang digunakan adalah tinggi muka air air laut rata-rata atau
Mean sea Level (MSL) atau system referensi lain yang dipilih.Sistem referensi ini mempunyai arti
sangat penting, terutama dalam bidang keairan, misalnya: Irigasi, Hidrologi, dan sebagainya. Namun
demikian masih banyak pekerjaan-pekerjaan lain yang memerlukan system referinsi.
Untuk menentukan ketinggian suatu titik di permukaan bumi tidak selalu tidak selalu harus
selalu mengukur beda tinggi dari muka laut (MSL), namun dapat dilakukan dengan titik-titik tetap
yang sudah ada disekitar lokasi oengukuran. Titik-titik tersebut umumnya telah diketahui
ketinggiannya maupun kordinatnya (X,Y,Z) yang disebut Banch Mark (BM). Banch mark merupakan
suatu tanda yang jelas (mudah ditemukan) dan kokoh dipermukaan bumi yang berbentuk tugu atau
patok beton sehingga terlindung dari faktor-faktor pengrusakan.
Manfaat penting lainnya dari pengukuran Levelling ini adalah untuk kepentingan proyekproyek yang berhubungan dengan pekerjaan tanah (Earth Work) misalnya untuk menghitung volume

galian dan timbunan. Untuk itu dikenal adanya pengukuran sipat datar profil memanjang (Long
section) dan sipat datar profil melintang (Cross section).
Dalam melakukan pengukuran sipat datar dikenal adanya tingkat-tingkat ketelitian sesuai
dengan tujuan proyek yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan pada setiap pengukuran akan selalu
terdapat kesalah-kesalahan. Fungsi tingkat-tingkat ketelitan tersebut adalah batas toleransi kesalahan
pengukuran yang diperbolehkakan. Untuk itu perlu diantisipasi kesalah tersebut agar di dapat suatu
hasil pengukuran untuk memenuhi batasan toleransi yang telah ditetapkan

1. PENGUKURAN SIPAT DATAR


Metode sipat datar prinsipnya adalah Mengukur tinggi bidik alat sipat datar optis di lapangan
menggunakan rambu ukur. Hingga saat ini, pengukuran beda tinggi dengan menggunakan metode
sipat datar optis masih merupakan cara pengukuran beda tinggi yang paling teliti. Sehingga ketelitian
kerangka dasar vertikal (KDV) dinyatakan sebagai batas harga terbesar perbedaan tinggi hasil
pengukuran sipat datar pergi dan pulang.

Maksud pengukuran tinggi adalah menentukan beda tinggi antara dua titik. Beda tinggi h
diketahui antara dua titik a dan b, sedang tinggi titik A diketahui sama dengan Ha dan titik B lebih
tinggi dari titik A, maka tinggi titik B, Hb = Ha + h yang diartikan dengan beda tinggi antara titik A

clan titik B adalah jarak antara dua bidang nivo yang melalui titik A dan B. Umumnya bidang nivo
adalah bidang yang lengkung, tetapi bila jarak antara titik-titik A dan B dapat dianggap sebagai
Bidang yang mendatar.
Tinggi titik pertama ( h1) dapat di definisikan, sebagai koordonat lokal ataupun terikat dengan
titik yang lain yang telah diketahui tingginya, sedangkan selisih tinggi atau lebih di kenal dengan beda
tinggi ( h ) dapat diketahui/diukur dengan menggunakan prinsip sipat datar.
( h2 ) = h (1) + h ( 12 )
Yaitu, tinggi selanjutnya adalah tinggi titik sebelumnya ditambahkan dengan beda tinggi
antara kedua titik yang bersangkutan, Umumnya diambil selisih tinggi titik belakang terhadap titik
muka.
H ( 1 0 + h ( i-l ) + h ( i-l.i )
Yang menjadi masalah dalam pengukuran beda tinggi ini adalah pengambilan penentuan
referensi awalnya. Apabila peta yang di inginkan tersebut hanya berorientasi pada ketinggian setempat
saja, tanpa memperhatikan orientasi tinggi yang menyeluruh maka titik nol dapat dipilih
sembarangan.
Namun untuk pemetaan yang teliti dan mempunyai kaitan dengan peta nasional, maka titik
awalnya di ambil dari tinggi permukaan air laut rata-rata dalam keadaan titdak terganggu selama 18,6
tahun.
Sedangkan permukaan bumi itu sangat berpengaruh dengan berbagai gaya dan gerak endogen
serta eksogen, dan semua ini di pengaruhi secara langsung oleh distribusi massa di daerah sekitar titik
yang bersangkutan.
Hal ini yang menyebabkan masalah pengambilan referensi awal tersebut, karena sekalipun
titik awal di ambil dari permukaan air laut rata-rata, tetapi apabila berbeda lokasi awalnya, maka akan
tetap menghasilkan ketinggian yang berbeda pada satu titik.
Sekali lagi, dalam pemakaian peta yang cukup luas, patut di perhatikan oleh para perencana,
mengenai masalah kemugkinan kesalahan yang akan terjadi pada saat pelaksaaan kerja konstruksi,
yaitu tidak sesuainya perencanaan di atas peta dengan kenyataan di lapangan. Sehingga selalu
terdengar perencanaan pembangunan yang gagal akibat banjir yang tak terduga ataupun berbagai
gejala alam lainnya.
Tujuan Pengukuran Sipat Datar

Tujuan Intruksional Umum


Mahasiswa mampu memahami, mendeskripsikan, dan mengaplikasikan berbagai metode

pengukuran beda tinggi dengan pesawat penyipat datar pada praktik pengukuran dan pemetaan ilmu
ukur tanah.

Tujuan Instruksi Khusus

1. Mahasiswa mampu melakukan survei ke lapangan berkenaan dengan tugas yang diberikan.
2. Mahasiswa dapat menentukan letak patok-patok pengukuran dan pengkondisian dalam jumlah slag
yang genap.
3. Mahasiswa mampu mematok rencana pematokan itu di lapangan.
4. Mahasiswa mampu mengetengahkan gelembung nivo dengan cara menggerakkan 2 skrup kaki kiap
ke dalam atau keluar saja, dan menggerakkan 2 sekrup kaki kiap ke kanan atau ke kiri saja, dilakukan
secara interaktif sehingga gelembung nivo itu benar-benar di tengah dianggap bahwa garis bidik
sejajar dengan gelembung nivo.
5. Mahasiswa mampu melakukan pengukuran kesalahan garis bidik dengan kedudukan alat pada stand 1
dan stand 2, di mana rumus kesalahan garis bidik adalah (benang tengah belakang stand 1 benang
tengah muka 1) - (benang tengah belakang stand 2 - benang tengah muka stand 2) (jarak belakang
stand 1 - jarak muka stand 1) - (jarak belakang stand 2 - jarak muka stand 2).
6. Mahasiswa mampu mendirikan alat pada slag 1 dan slag-slag selanjutnya yang letaknya kira-kira di
tengah antara dua rambu serta mampu membaca benang atas, tengah, dan bawah rambu belakang,
benang atas, tengah, dan bawah rambu muka dan jarak muka dan jarak belakang.
Peralatan Yang Dibutuhkan

Alat sipat datar optis

Statif ( perhatiakan kecocokannya dengan alat )

Unting unting

Rambu ukur 2 buah

Alat tulis dan formulir ukuran

Payung 1 buah ( untuk memayungi alat )

Pita ukur 1 buah

Meteran 3 buah

Patok pengukuran ( disesuaikan dengan wilayah pengukuran )

Peta wilayah situasi ( dengan bebas pengukuran )

Alat Ukur Sipat Datar Optis


a.

Dumpy level (type kekar)


Pada tipe ini sumbu tegak menjadi satu dengan teropong. Semua bagian pada alat sipat datar tipe
kekar adalah tetap. Nivo tabung berada di atas teropong, teropong hanya dapat digeser dengan sumbu
kesatu sebagai sumbu putar.

Dimana:
1. Teropong.

10. Sumbu ke-1.

2. Nivo tabung.

11. Tombol Fokus.

3. Pengatur Nivo.
4. Pengatur dafragma.
5. Kunci Horizontal.
6. Skrup Kiap
7. Tribrach.
8. Trivet.
9. Kiap (Leveling Head).
b.

Reversible level (type reversi)


Pada tipe ini teropongnya dapat diputar pada sumbu mekanis dan disangga oleh bagian tengah
yang mempunyai sumbu tegak. Pada alat ini teropongnya dapat diputar pada sumbu mekanis dan
disangga oleh bagian tengah yang mempunyai sumbu tegak. Di samping itu teropong dapat diungkit
dengan skrup (no 13) sehingga garis bidik dapat mengarah ke atas, ke bawah, maupun mendatar.
Sumbu mekanis, disamping sebagai sumbu puitar teropong merupakan garis penolong untuk membuat
garis bidik sejajar dengan dua garis jurusan nivo reversi.

Dimana:

1. Teropong.

9. Kiap.

2. Nivo Reversi.

10. Sumbu ke-1 (Sumbu Tegak).

3. Pengatur Nivo.

11. Tombol Fokus.

4. Pengatur Diafragma.

12. Pegas.

5. Skrup Pengunci Horizontal. 13. Skrup Pengungkit Teropong.


6. Skrup Kiap.

14. Skrup Pemutar Teropong.

7. Tribrach.

15. Sumbu Mekanis.

8. Trivet.

c. Tilting level (type jungkit)


Pada tipe ini sumbu tegak dan teropong dihubungkan dengan engsel dan skrup
pengungkit.Berbeda dengan tipe reversi, pada tipe ini teropong dapat diungkit dengan skrup
pengungkit.
1.

Dimana:
Teropong.

8. Trivet.

2.

Nivo Tabung.

9. Kiap.

3.

Pengatur Nivo.

10. Sumbu ke-1.

4.

Pengatur Diafragma.

11. Tombol Focus.

5.

Pengunci Horizontal.

12. Pegas.

6.

Skrup Kiap.

13. Pengungkit Teropong.

7.

Tribrach.

d. Automatic level (type Otomatis)

Tipe ini sama dengan tipe kekar, hanya di dalam teropongnya terdapat akat yang disebut
kompensator untuk membuat agar garis bidik mendatar. Berbeda dengan 3 tipe sebelumnya, pada type
otomatik ini tidak terdapat nivo tabung untuk mendatarkan garis bidik sebagai penggantinya di dalam
teropong dipasang alat yang dinamakan kompensator.
Bila benang silang diafragma telah diatur dengan baik, sinar mendatar dan masuk melalui pusat
objektip akan selalu jatuh depat di titik potong benang silang diafragma, walaupun teropong miring
(sedikit). Dengan demikian, dengan dipasangnya kompensator antara lensa objektip dan diafragma
garis bidik menjadi mendatar. Walaupun demikian type otomatik mempunyai kekurangan yaitu mudah
dipengaruhi getaran, karena sebagai kompensatornya dipergunakan sistim pendulum.

Dimana:
1.

Teropong.

7. Trivet.

2.

Kompensator.

8. Kiap.

3.

Pengatur Diafragma.

9. Tombol Fokus.

4.

Pengunci Horizontal.

5.

Skrup Kiap.

6.

Tribrach.

Penyetelan instrumen-instrumen pokok sipat datar, di antaranya :

Sipat Datar Wye

Sipat Datar Tabung

Pengaturan alat
Dua buah syarat yang perlu di jawab dalam masalah kolimasi pada alat level ini adalah.
Sumbu tegak benar benar tegak apabila gelembung nivo sudah di tengah tengahnya, dan garis bidik
harus sejajar dengn garis nivo yang benar tersebut.
Sumbu tegak
1.

Letakan sumbu teropong sejajar dengan dua buah sekrup penyetel, dan ketengahkan gelembung nivo
dengan menggunakan kedua sekrup tersebut. Andaikan keslahan tersebut = e

2.

Putarlah teropong 90 derajat, atau sumbu teropong berada diats sekrup penyetel ketiga, dan aturlah
ketiga gelembung nivo tersebut dengan hanya menggunakan sekrup ketiga.

3.

ulangi kedua langkah diatas sehingganivo tetap berada di tengah.

4.

pada kedudukan pertama kesalaahn yang terdapat adalah = e, namun pada kedudukan kedua, dimana
teropong diputar sebesar 180 derajat, maka kemiringan sumbu yang terjadi adalah sebesar 2e.
Besaran 2e tersebut dapat dilihat dengan menggesernya gelembung nivo, misalnya sebesar n.

5.

Kembalikan gelembung nivo kearh tengah dengan satu sekrup penyetel yang bersangkutan, yaitu
sebesar n/2 bagian skala.

6.

kembalikan gelembung nivo ke tengah, dengan menyetel sekrup tabungnivo, yaitu sebesar n/2 bagian
skala sisinnya.

ulangi pekerjaan tersebut sehingga nivo berada di tengah tengah tabung nivo
Penyetelan Instrument Sifat Datar
a. Penyetelan instrumen sipat-datar wye
Pada instrumen sipat datar wye, adapun langkah-langkah penyetelan alat antara lain:

Penyetelan agar baris kolimasi sejajar dengan garis-garis rangka teleskop : Membidikkan pada
kertas putih yang dipasang sejauh 50 m dengan teleskop di atas penyangga berbentuk Y dan di pusat
benang silang pada kertas putih sebagai titik a. Kemudian memutar teleskop 180 mengitari sumbu
teleskop dan membidik lagi kertas putih tersebut. Apabila pusat benang silang tidak berhimpit dengan

titik a di atas, titik tersebut ditandai sebagai b dan disetel agar titik pusat benang silang jatuh tepat
pada c titik tengah antara a dan b.

Penyetelan agar garis kolimasi sejajar dengan sumbu niveau tabung dari teleskop:
Menempatkan gelembung pada nivo tabung di tengah-tengah dengan sekrup sekrup penyetel. Apabila
gelembung bergerak ketika teleskop diputar kira-kira 30 pada sumbunya, maka dibuat dalam keadaan
tidak bergerak dengan sekrup penyetel gelembung lateral.
Mengangkat teleskop dari penyangga berbentuk Y dan menempatkan kembali dalam arah lainnya
untuk memastikan apakah gelembung bergeser. Apabila masih juga bergeser, geserkan setengah
penggeserannya ke belakang dengan sekruip penyetel gelembung vertikal dan setengah pergeseran ke
belakang lainnya dengan sekrup-sekrup penyetel yang tersedia.

Penyetelan agar garis kolimasi tegak lurus sumbu vertikal :


Setelah melakukan penyetelan-penyetelan pada (a) dan (b) di atas, maka diperlukan pengaturan
selanjutnya, yaitu : Menempatkan gelembung di tengah-tengah dengan sekrup penyetel dan memutar
teleskop 180 mengelilingi sumbu vertikal untuk mengecek pergeseran gelembung.

b. Penyetelan instrumen sipat-datar tabung

Penyetelan agar sumbu nivo tegak lurus sumbu vertikal.

Menempatkan gelembung ditengah-tengah dengan sekrup-sekrup penyetel dan putar teleskop 180
mengelilingi sumbu vertikal untuk mengecek apakah gelembung bergeser atau tidak.
Apabila gelembung bergeser, maka dengan sekrup penyetel, gelembung ditempatkan pada setengah
pergeseran ke belakang dan setengah pergeseran ke belakang lainnya dengan sekrup-sekrup penyetel
lainnya.

Penyetelan agar garis kolimasi sejajar dengan sumbu-nivo (pengatur patok)

Menempatkan patok pada titiki A dan B satu dengan yang lainnya sejauh beberapa puluh sampai 100
meter, kemudian mengukur jarak Horizontalnya secara tepat dan akhirnya memasang lagi patok di C.
Menempatkan instrumen sifat-datar di titik C dan membaca graduasi a 1 dan d1 pada rambu yang
dipegang pada titik a dan B , maka ( a1 b1 ) adalah Perbedaan tinggi titik A dan B tersebut.
Kemudian memindah tempatkan instrumen sifat-datar tersebut pada titik D sejauh 5 m dibelakang
titik A atau titik B da selanjutnya membaca graduasi a 2 dan b2 pada rambu yang dipegang pada titik A
dan titik B.
Apabila ( a1 b1 ) = ( a2 - b2 ) maka penyetelan tidak diperlukan lagi. Akan tetapi apabila ( a 1 b1 ) =
( a2 - b2 ), maka diperlukan penyetelan benang silang sedemikin rupa sehingga dapat dilihat graduasi
( a2 + X ) pada garis kolimasi instrumen sifat-datar yang telah ditempatkan pada titik d tersebut.
Adapun X = ((D + d)/d)e, di mana e = (b2 - b1) - (a2 a1)

c. Penyetelan instrumen sipat-datar ungkit.

Penyetelan hubungan antara nivo bundar dengan sumbu vertikal.


Memasang skrup pengungkit pada posisi sentral dari perpindahan menyeluruh.
Menempatkan gelembung pada posisi ditengah-tengah dengan skrup-skrup

penyipat-datar.

Memutar teleskop 180o mengelilingi sumbu vertikal untuk mengecek masalah.


Memutar teleskop 90o mengelilingi sumbu vertikal untuk mengecek apakah gelembung masih
bergeser.

Penyetelan agar garis kolimasi sejajar sumbu niveau


Metode patok dapat digunakan sebagai halnya pada penyetelan instrumen sifat-datar tabung.
Meskipun benang silang digeser untuk menyetel instrumen sifat-datar tabung, akan tetapi sekrup
pengungkit harus disetel sedemikin rupa agar graduasi ( a + x ) pada rambu A dapat dibaca.

d.

Penyetelan instrumen sipat-datar otomatis


Apabila sumbu vertikalnya dalam posisi dengan kemiringan yang terlalu besar, instrumen sifatdatar seperti ini tidak dapat berfungsi dengan baik dan ketelitiannya pun akan menurun, karenanya
penyetelan niveau bundarnya haruslah sesempurna mungkin. Adapun caranya, yaitu:
Mengadakan penyetelan-penyetelan yang seperti sudah diuraikan pada penyetelan sifat-datar
ungkit, point a.
Menyetel garis kolimasi seperti yang sudah diuraikan pada metode patok.

Penentuan Beda Tinggi Antara Dua Titik


Penentuan beda tinggi antara dua titik dapat dilakukan dengan tiga cara penempatan alat sipat datar
tergantung pada keadaan di lapangan, adapun tiga cara penempatan alat sipat datar, yaitu:
a. Dengan menempatkan alat sipat datar di atas titik B (salah satu titik yang akan diukur beda
tingginya), bidik pesawat ke titik lainnya (A) yang sebelumnya telah berdiri rambu ukur. Sebagai
contoh, hasil bidikan tadi kita beri nama a. Setelah di ketahui a, pindahkan alat sipat datar ke titik A,
lakukan bidikan yang sama terhadap titik B, maka di ketahuilah hasil bidikan terhadap titik B yaitu b.
Beda tinggi dari kedua titik tersebut (h) dapat diperoleh dengan h = b-a. Perlu diketahui bahwa
dalam setiap pengukuran, letak gelembung nivou harus berada di tengah-tengah.
b.

Alat ukur penyipat datar diletakkan diantara titik A dan titik B dan membentuk suatu garis lurus, ukur
jarak antara alat sipat datar terhadap titik A dan titik B, Arahkan garis bidik dengan gelembung di
tengahtengah ke titik A (belakang) dan ke titik B (muka) yang telah berdiri rambu ukur, dan
misalkan pembacaaan pada dua mistar berturutturut ada b (belakang) dan m (muka). Bila selalu
diingat, bahwa angkaangka pada rambu selalu menyatakan jarak antara angka dan alas mistar, maka
dengan mudahlah dapat dimengerti, bahwa beda tinggi antara titiktitik A dan B ada h = b m.

c.

Alat ukur penyipat datar ditempatkan tdak diantara titik A dan B, tidak pula diatas salah satu titik A
atau titik B, tetapi di sebelah kiri titik A atau disebelah kanan titik B, jadi diluar garis AB. Pembacaan
yang dilakukan pada mistar yang diletakkan di atas titik A dan B sekarang adalah berrturut-turut b dan
m lagi, sehingga digambar didapat dengan mudah, bahwa beda tinggi

t = b m.

Kesalahan Kesalahan Pada Sipat Datar


Sesuai dengan karateristik, kesalahan dapat di bedakan dalam 3 klasifikasi sebagai berikut :
1.

kesalahan petugas

Sumber kesalahan adalah dari petugas yang menggunakan instrument yaitu kesalahan yang timbul
akibat kekeliruan, kurang hati-hati, kelalaian, ketidak mengertian terhadap instrument atau belum
terlatihnya petugas yang bersangkutan. Kesalahan yang di sebabakan pengukur mempunyai banyak
sebab dan bersifat individual . karena itu sukar di tinjau semuanya.yang penting adalah:
1. kesalahan pada mata. Kebanyakan orang pada waktu mengukur menggunakan satu mata saja. Mata
itu akan lelah, yang lambat laun akan mengakibatkan kasarnya pembacaan.apalagi bila nivo harus di
lihat tersendiri, karena tidak terlihat di dalam medan lihat teropong, sehingga kurang tepatnya
meletakan gelembung nivo di tengah-tengah.
2. kesalahan pada pembacaan karena kerap kali melakukan penbacaan dengan jalan

menaksir

maka bila mata telah lelah, nilai taksirannya menjadi kurang.


3.

kesalahan yang kasar. Karena belum pahamnya tentang pembacaan pada mistar. Mistar-mistar
mempunyai beberapa cara tersendiri dalam pembuat skalanya. Kesalahan yang kasar ini banyak sekali
di buat dalam menemtukan banyaknya meter dan decimeter angka pembacaan.
Karena dalam mempersiapkan dan merencanakan pekerjaan penguran haruslah diperhatikan halhal sebagai berikut:

1.

supaya di pergunakan metode yang berbeda-beda guna memungkinkan terjadinya pengecekan


otomatis

2. supaya di usahakan beberapa route pengukuran yang berlainan, untuk hasil ukur yang sama.

a.

Penelitian pengukuran dapat dilakukan dengan cara :


pada waktu berdiri di suatu tempat, membaca semua benang mendatar diafragma a,t dan b. maka
haruslah t = ( a + b )

b.

bila di gunakan alat ukur penyipat datar dengan nivo reversi, lakukan pengukuran cara a denagn nivo
di atas dengan nivo di bawah. Dua beda tinggi yang di dapat harus sama.

c.

Pada pengukuran antara dua tugu waterpass yang jaraknya selalu di buat kira-kira 2 km dengan
mengukur penyipat datar pulang pergi, dan selisih v antara hasil pengukuran pulang pergi tidak boleh
melebihi suatu angka yang dinamakan angka toleransi yang mana nanti akan di bicarakan.

d.

Pengukuran di lakukan oleh dua orang, pengukuran mana yang hurus di lakukan bebas dari satu
sama lainnya. Di tinjau oleh kedua orang itu hanya kedua beda tinggi pengukuran .
2.

Kesalahan Sistematis

Kesalah sistematis dapat terjadi karena kesalahan alat yang kita gunakan. Alat-alat yang di gunakan
adalah alat ukur penyipat datar dam mistar. Lebih dahulu kita akan tinjau kesalahan yang ada pada
alat ukur penyipat datar. Kesalahan yang di dapat adalah yang berhubungan dengan syarat utama.
Kesalahan itu adalah garis bidik tidak sejajar dengan dengan garis arah nivo

Dapat di ketahiu bahwa untuk mendapatkan beda tinggi antara dua titik mistar yang di letakan di atas
dua titik harus di bidik dengan garis bidik yang mendatar. Semua pembacan yang di lakukan dengan
garis bidik yang mendatar diberi tanda dengan angka 1. pembacaan dengan garis bidik yang mendatar
adalah BTb1-BTm1, sedang pembacaan yang di lakukan dengan garis bidik miring dinyatakan dengan
angka 2. bila gelembung di tengah-tengah , jadi garis arah nivo mendatar dan garis bidik tidak sejajar
dengan garis arah nivo, maka garis bidik akan miring dan membuat sudut denag garis arah nivo,
sehingga pembacaan pada kedua mistar akan menjadi BTm dan BTb .
Beda tinggi antara titik A dan titik B sama dengan t = BTb1-BTm1. sekarang akan dicari
hubungan antara selisih pembacaan BTb2 dan BTm2 yang di dapatkan garis bidik miring dengan
selisih pembacaan BTb1 dan BTm2 yang akan di dapat bila garis bidik mendatar jadi telah sejajar
dengan garis arah nivo . maka koreksi garis bidik untuk diatas adalah dengan:
= (BTb1-BTm1)-(BTb2-BTm2)
( db1-dm1)-(db2-dm2)
kesalahan sistematis dapat juga disebabkan oleh karena keadaan alam yang dapat di sebabkan
oleh:
1.

karena lengkungan permukaan bumi.

2.

karena melengkungnya sinar cahaya. ( refraksi ). Sinar cahaya yang datang dari benda yang di
teropong harus melalui lapisan-lapisan udara yang tidak sama padatnya, karena suhu dan tekannya
tidak sama.

3.

karena getaran udara . karena adanya pemindahan hawa panas dari permukaan bumi keatas, maka
bayangan dari mistar yang di lihat dengan teropong akan bergetar sehingga pembacan ada mistar tidak
dapat dilakukan.

4.

karena masuknya lagi kaki tiga dan mistar kedalam tanah. Bila dalam waktu antara pengukuran satu
mistar dengan mistar lainya baik kaki tiga maupun mistar kedua masuk lagi kedalam tanah maka
pembacan pada mistar kedua akan salah bila di gunakan untuk mencari beda tinggi antara dua titik
yang di tempati oleh mistar-mistar itu.

5.

karena perubahan garis arah nivo, karena alat ukur penyipat datar kena napas sinar matahari maka
akan terjadi tegangan pada bagian-bagian alat ukur, terutama pada bagian penting seperti nivo

6.

Pengaruh kesalahan garis bidik


Bila garis bidik sejajar dengan garis arah nivo, maka hasil pembacaan tidak benar, dan akibatnya,
beda tinggi tidak benar
Garis bidik mempunyai kemiringan sebesar dan garis arah nivo.
= bacaan seharus
= hasil ukuran
mengatasi kesalahan garis bidik ada dua cara :

Dasar / dihitung kemiringan garis bidik itu, dan selanjutnya dikoraksikan terhadap hasil
ukuran.

Eleminasi, yaitu dengan mengatur penempatan alat sehingga kesalahan tersebut hilang dengan
sendirinya (tereliminir).

Mencari kesalahan garis bidik

3. Kesalahan tak terduga


Semua kesalahan-kesalahan selain kedua jenis kesalahan di atas dapat di klasifikasikan sebagai
kesalahan tak terduga dan kesalahan semacam ini tidak di ketahui penyebabnya secara pasti.
Walaupun kadang-kadang dapat di ketahui penyebabnya, akan tetapi pengurainnya kedalam masingmasing factor penyebabnya sangatlah sukar. Dalam hal demikian maka di usahakan agar di peroleh
kesalahan yang bersifat gelobal, sedemikian rupa sehingga menghasilkan nilai yang mendekati nilai
yang sebenarnya. Dalam pekerjaan pengukuran, kesalahan tak terduga biasanya dip roses sebagai
rangkaian distribusi normal dengan nol sebagai harga rata-ratanya. Untuk estiminasi harga sangat
mungkin biasanya dengan menggunakan metode kuadrat terkecil.

2. PENGUKURAN TRIGONOMETRIS
A.

METODE PENGUKURAN TRIGONOMETRIS


Metode trigonometris prinsipnya adalah mengukur jarak langsung (jarak miring), tinggi alat,

tinggi benang tengah rambu dan sudut vertikal (zenith atau inklinasi) yang kemudian direduksi
menjadi informasi beda tinggi menggunakan alat theodolite. Seperti telah dibahas sebelumnya, beda
tinggi antara dua titik dihitung dari besaran sudut tegak dan jarak. Sudut tegak diperoleh dari
pengukuran dengan alat theodolite sedangkan jarak diperoleh atau terkadang diambil jarak dari peta.
Pada pengukuran tinggi dengan cara trigonometris ini, beda tinggi didapatkan secara tidak
langsung, karena yang diukur di sini adalah sudut miringnya atau sudut zenith. Bila jarak mendatar
atau jarak miring diketahaui atau diukur, maka dengan memakai hubungan - hubungan geometris
dihitunglah beda tinggi yang hendak ditentukan itu.

Bila jarak antara kedua titik yang hendak ditentukan beda tingginya tidak jauh, maka kita
masih dapat menganggap bidang nivo sebagai bidang datar, akan tetapi bila jarak yang dimaksudkan
itu jauh, maka kita tidak boleh lagi memisahkan atau mengambil bidang nivo itu sebagai bidang datar,
tetapi haruslah bidang nivo itu dipandang sebagai bidang lengkung, Disamping itu kita harus pula
menyadari bahwa jalan sinarpun bukan merupakan garis lurus, tetapi merupakan garis lengkung. Jadi
jika jarak antara kedua titik yang akan ditentukan beda tingginya itu jauh, maka bidang nivo dan jalan

sinar tidak dapat dipandang sebagai bidang datar dan garis lurus, tetapi haruslah dipandang sebagai
bidang lengkung dan garis lengkung.

Titik A dan B akan ditentukan beda tingginya dengan cara trigonometris. Prosedur pengukuran dan
perhitungannya adalah sebagai berikut:
1.

Tegakkan theodolite di A, ukur tingginya sumbu mendatar dari A. Misalkan t,

2.

Tegakkan target di B, ukur tingginya target dari B, misalkan l,

3.

Ukur sudut tegak m (sudut miring) atau z (sudut zenith),

4.

Ukur jarak mendatar D atau Dm (dengan EDM), dan

5.

Dari besaran-besaran yang diukur, maka:


Sudut tegak ukuran perlu mendapat koreksi sudut refraksi dan bidang-bidang nivo melalui A
dan B harus diperhitungkan sebagai Permukaan yang melengkung apabila beda tinggi dan jarak AB
besar dan beda tinggi akan ditentukan lebih teliti. Lapisan udara dari B ke A akan berbeda
kepadatannya karena sinar cahaya yang datang dari target B ke teropong theodolite akan melalui garis
melengkung. Makin dekat ke A makin padat. Dengan adanya kesalahan karena faktor alam tersebut di
atas hitungan beda tinggi perlu mendapat koreksi.

Dimana:
k = koefisien refraksi udara = 0.14
R = jari-jari bumi 6370 km
Besarnya sudut refraksi udara r dapat dihitung dengan rumus:
R = rm . Cp . Ct
rm = sudut refraksi normal pada tekanan udara 760 mmHg, temperatur udara 100C dan kelembaban
nisbi 60%

Agar beda tinggi yang didaptkan lebih baik, maka pengukuran harus dilakukan bolakbalik.
Kemudian hasilnya dirata - ratakan, dapat pula beda tinggi dihitung secara serentak dengan rumus:

dimana:
HA dan HB tinggi pendekatan A dan B (dari peta topografi)
m1, m2 sudut miring ukuran di A dan Bt dan 1 dibuat sama tinggi.

A.

TRIGONOMETRICAL LEVELING
Menutut (Wongsotjitro, 1980), beda tinggi antara dua titik dapat ditentukan dengan tiga cara

yaitu: Barometris, Trigonometris dan pengukuran menyipat datar. Ketiga metode tersebut mempunyai
ketelitian yang berbeda-beda. Hasil ketelitian terbesar adalah dengan cara pengukuran menyipat datar
dan ketelitian terkecil adalah metode Barometer. Metode trigonometris adalah suatu proses penentuan
beda tinggi dari titik-titik pengamatan dengan cara mengukur sudut miring atau sudut vertikalnya
dengan jarak yang diketahui, baik jarak dalam bidang datar maupun jarak geodetis (Basuki, 2006).
Pengukuran sudut vertikal atau kemiringan dapat menggunakan theodolith atau kompas survei.
Prinsip-prinsip yang digunakan pada pengukuran lingkup ukur tanah yaitu jarak antar titik
yang akan ditentukan beda tingginya tidak terlalu jauh, sehingga pengaruh kelengkungan bumi dan
refraksi dapat diabaikan atau diadakan koreksi linier dalam perhitungannya. Berbeda dengan lingkup
geodesi, pengukuran beda tinggi titik pengukurannya relatif jauh sehingga harus memperhatikan
kelengkungan bumi. Prinsip-prinsip umum bidang datar tidak dapat diterapkan pada pengukuran beda
tinggi ini. Nilai sudut vertikal dan horizontal harus dikoreksi dengan kelengkungan bumi dan refraksi.
Triginometrikal atau trigonometrikal levelling dibagi menjadi dua yaitu trigonometrikal
levelling segitiga dan memanjang. Metode trigonometri memanjang merupakan pengukuran
menggunakan dua titik yang terletak dalam segaris lurus dengan obyek. Metode trigonometri segitiga
menggunakan dua titik pengukuran yang membentuk sudut dan membentuk segitiga dengan obyek
pengamatan. Kedua cara tersebut menggunakan prinsip atau sifat segitiga.
B.

MENGUKUR JARAK BINTANG DENGAN METODE PARALAKS TRIGONOMETRI


Paralaks adalah perbedaan latar belakang yang tampak ketika sebuah benda yang diam dilihat

dari dua tempat yang berbeda. Kita bisa mengamati bagaimana paralaks terjadi dengan cara yang
sederhana. Acungkan jari telunjuk pada jarak tertentu (misal 30 cm) di depan mata kita. Kemudian
amati jari tersebut dengan satu mata saja secara bergantian antara mata kanan dan mata kiri. Jari kita
yang diam akan tampak berpindah tempat karena arah pandang dari mata kanan berbeda dengan mata
kiri sehingga terjadi perubahan pemandangan latar belakangnya. Perpindahan itulah yang
menunjukkan adanya paralaks.

Paralaks juga terjadi pada bintang, setidaknya begitulah yang diharapkan oleh pemerhati
dunia astronomi ketika model heliosentris dikemukakan pertama kali oleh Aristarchus (310-230 SM).
Dalam model heliosentris itu, Bumi bergerak mengelilingi Matahari dalam orbit yang berbentuk
lingkaran. Akibatnya, sebuah bintang akan diamati dari tempat-tempat yang berbeda selama Bumi
mengorbit. Dan paralaks akan mencapai nilai maksimum apabila kita mengamati bintang pada dua
waktu yang berselang 6 bulan (setengah periode revolusi Bumi). Namun saat itu tidak ada satu
orangpun yang dapat mendeteksinya sehingga Bumi dianggap tidak bergerak (karena paralaks
dianggap tidak ada). Model heliosentris kemudian ditinggalkan orang dan model geosentrislah yang
lebih banyak digunakan untuk menjelaskan perilaku alam semesta.
Paralaks pada bintang baru bisa diamati untuk pertama kalinya pada tahun 1837 oleh
Friedrich Bessel, seiring dengan teknologi teleskop untuk astronomi yang berkembang pesat (sejak
Galileo menggunakan teleskopnya untuk mengamati benda langit pada tahun 1609). Bintang yang ia
amati adalah 61 Cygni (sebuah bintang di rasi Cygnus/angsa) yang memiliki paralaks 0,29. Ternyata
paralaks pada bintang memang ada, namun dengan nilai yang sangat kecil. Hanya keterbatasan
instrumenlah yang membuat orang-orang sebelum Bessel tidak mampu mengamatinya. Karena
paralaks adalah salah satu bukti untuk model alam semesta heliosentris (yang dipopulerkan kembali
oleh Copernicus pada tahun 1543), maka penemuan paralaks ini menjadikan model tersebut semakin
kuat kedudukannya dibandingkan dengan model geosentris Ptolemy yang banyak dipakai masyarakat
sejak tahun 100 SM.
Setelah paralaks bintang ditemukan, penghitungan jarak bintang pun dimulai. Lihat ilustrasi
di bawah ini untuk memberikan gambaran bagaimana paralaks bintang terjadi. Di posisi A, kita
melihat bintang X memiliki latar belakang XA. Sedangkan 6 bulan kemudian, yaitu ketika Bumi
berada di posisi B, kita melihat bintang X memiliki latar belakang XB. Setengah dari jarak sudut
kedua posisi bintang X itulah yang disebut dengan sudut paralaks. Dari sudut inilah kita bisa hitung
jarak bintang asalkan kita mengetahui jarak Bumi-Matahari.

Dari geometri segitiga kita ketahui adanya hubungan antara sebuah sudut dan dua buah sisi.
Inilah landasan kita dalam menghitung jarak bintang dari sudut paralaks (lihat gambar di bawah).
Apabila jarak bintang adalah d, sudut paralaks adalah p, dan jarak Bumi-Matahari adalah 1 SA
(Satuan Astronomi = 150 juta kilometer), maka kita dapatkan persamaan sederhana.
tan p = 1/d
atau d = 1/p, karena p adalah sudut yang sangat kecil sehingga tan p ~ p.

Jarak d dihitung dalam SA dan sudut p dihitung dalam radian. Apabila kita gunakan detik
busur sebagai satuan dari sudut paralaks (p), maka kita akan peroleh d adalah 206265 SA atau 3,09 x
10^13 km. Jarak sebesar ini kemudian didefinisikan sebagai 1 pc (parsec, parsek), yaitu jarak bintang
yang mempunyai paralaks 1 detik busur. Pada kenyataannya, paralaks bintang yang paling besar
adalah 0,76 yang dimiliki oleh bintang terdekat dari tata surya, yaitu bintang Proxima Centauri di
rasi Centaurus yang berjarak 1,31 pc. Sudut sebesar ini akan sama dengan sebuah tongkat sepanjang 1
meter yang diamati dari jarak 270 kilometer. Sementara bintang 61 Cygni memiliki paralaks 0,29 dan
jarak 1,36 tahun cahaya (1 tahun cahaya = jarak yang ditempuh cahaya dalam waktu satu tahun = 9,5
trilyun kilometer) atau sama dengan 3,45 pc.
Hingga tahun 1980-an, paralaks hanya bisa dideteksi dengan ketelitian 0,01 atau setara
dengan jarak maksimum 100 parsek. Jumlah bintangnya pun hanya ratusan buah. Peluncuran satelit
Hipparcos pada tahun 1989 kemudian membawa perubahan. Satelit tersebut mampu mengukur
paralaks hingga ketelitian 0,001, yang berarti mengukur jarak 100.000 bintang hingga 1000 parsek.
Sebuah katalog dibuat untuk mengumpulkan data bintang yang diamati oleh satelit Hipparcos ini.
Katalog Hipparcos yang diterbitkan di akhir 1997 itu tentunya membawa pengaruh yang sangat besar
terhadap semua bidang astronomi yang bergantung pada ketelitian jarak.

3.PENGUKURAN BAROMETRIS

Metode barometris prinsipnya adalah mengukur beda tekanan atmosfer suatu ketinggian
menggunakan alat barometer yang kemudian direduksi menjadi beda tinggi.
Pengukuran dengan barometer relatif mudah dilakukan, tetapi membutuhkan ketelitian pembacaan
yang lebih dibandingkan dua metode lainnya, yaitu metode alat sipat datar dan metode trigonometris
Hasil dari pengukuran barometer ini bergantung pada ketinggian permukaan tanah juga bergantung
pada temperatur udara, kelembapan, dan kondisi - kondisi cuaca lainnya.
Pada prinsipnya menghitung beda tinggi pada suatu wilayah yang relatif sulit dicapai karena kondisi
alamnya dengan bantuan pembacaan tekanan udara atau atmosfer menggunakan alat barometer

Dari ketiga metode di atas yang keuntungannya lebih besar ialah alat sipat datar, karena setiap
ketinggian berbedabeda dan tekanan berbeda - beda maka hasil pengukurannya pun berbeda - beda.
Pengukuran sipat datar KDV maksudnya adalah pembuatan serangkaian titik - titik di lapangan yang
diukur ketinggiannya melalui pengukuran beda tinggi untuk pengikatan ketinggian titik - titik lain
yang lebih detail dan banyak. Tujuan pengukuran sipat datar KDV adalah untuk memperoleh
informasi tinggi yang relatif akurat di lapangan yang sedemikian rupa sehingga informasi tinggi pada
daerah yang tercakup layak untuk diolah sebagai informasi yang lebih kompleks. Referensi informasi
ketinggian diperoleh melalui suatu pengamatan di tepi pantai yang dikenal dengan nama pengamatan
pasut. Pengamatan ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat sederhana yang bekerja secara
mekanis, manual, dan elektronis.
Pengukuran sipat datar KDV diawali dengan mengidentifikasi kesalahan sistematis dalam hal ini
kesalahan bidik alat sipat datar optis melalui suatu pengukuran sipat datar dalam posisi 2 stand.
Peristiwa alam menunjukan bahwa semakin tinggi suatu tempat maka semakin kecil tekanannya.
Hubungan antara tekanan dan ketinggian bergantung pada temperatur, kelembaban dan percepatan
gaya gravitasi. Secara sederhana kita dapat menentukan hubungan antara perubahan tekanan dengan
perubahan tinggi.
Menurut hukum Boyle dan Charles:
P . V = R . T..........................................1

Dimana:
P = tekanan gas (udara) persatuan masa, dalam satuan Newton/m2
V = volume gas (udara) persatuan masa, dalam satuan m3
R = konstanta gas (udara)
T = temperatur gas (udara) dalam satuan kelvin (00C = 2730K).
Disamping itu, karena antara massa m dengan volume V dan kepadatan mempunyai hubungan:
M=V.
Maka untuk satu satuan masa, V = 1/. Dengan demikian rumus di atas akan menjadi:
P = . R . T....................2
Bila perubahan tekanan udara adalah dp untuk satu satuan luas sesuai dengan perubahan tinggi dh,
maka:
Dp = - g . . dh..............3
Dimana g = percepatan gaya berat, = kepadatan udara. Kombinasi rumus 2 dan 3 akan
memberikan:

Bila P1 adalah tekanan udara pada ketinggian H1 dan P2 adalah tekanan pada ketinggian H2, maka
dengan menggunakan rumus 4

Harga konstanta R dapat ditentukan besarnya, apabila kita menentukan harga standar untuk p = ps ,
= s dan T = Ts. Dari rumus 2:

Subtitusikan harga R persamaan 6 kedalam persamaan 5:

Bila diambil harga standar sbb:


Ps = 101325 N/m2 yang sesuai dengan tekanan 760 mmHg pada temperatur 00C dan g = 9.80665
N/kg

Dimana:
P2 = tekanan udara pada ketinggian H2 dalam mmHg
P1 = tekanan udara pada ketinggian H1 dalam mmHg
T = temperatur udara rata-rata pada ketinggian H1 dan H2 dalam 0K
Ts = temperatur udara standar = 2730K

Anda mungkin juga menyukai