Anda di halaman 1dari 6

Produksi Bersih untuk Bumi

Posted in Cuap-cuap ChemEng by Citra Taslim


Semakin gencarnya pertumbuhan Industri dari segala bidang juga harusnya semakin
disertai dengan penerapan teknologi yang basisnya ramah lingkungan. Dalam istilah
Industri sebenarnya sudah ada teknologi produksi bersih yang tujuannya untuk waste
minimisation.
Sedikit kutipan mengenai teknologi produksi bersih
Produksi bersih adalah strategi pengelolaan lingkungan yang sifatnya mengarah pada
pencegahan dan terpadu untuk diterapkan pada seluruh siklus produksi. Produksi bersih
merupakan sebuah strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif atau
pencegahan dan terpadu yang perlu diterapkan secara terus menerus pada proses
produksi dan daur hidup produk dengan tujuan mengurangi risiko terhadap manusia dan
lingkungan.
Hal tersebut, memiliki tujuan untuk meningkatkan produktivitas dengan memberikan
tingkat efisiensi yang lebih baik pada penggunaan bahan mentah, energi dan air,
mendorong performansi lingkungan yang lebih baik, melalui pengurangan sumbersumber pembangkit limbah dan emisi serta mereduksi dampak produk terhadap
lingkungan.
Produksi bersih berfokus pada usaha pencegahan terbentuknya limbah, yang merupakan
salah satu indikator inefisiensi. Dengan demikian, usaha pencegahan tersebut harus
dilakukan sejak awal proses produksi dengan mengurangi terbentuknya limbah serta
pemanfaatan limbah yang terbentuk melalui daur ulang. Keberhasilan upaya ini akan
menghasilkan penghematan yang besar karena penurunan biaya produksi yang
signifikan sehingga pendekatan ini dapat menjadi sumber pendapatan.
Istilah produksi bersih mulai diperkenalkan oleh UNEP (United Nations Environment
Program) pada bulan Mei 1989 dan diajukan secara resmi pada bulan September 1989
pada seminar The Promotion of Cleaner Production di Canterbury, Inggris. Indonesia
sepakat untuk mengadopsi definisi yang disampaikan oleh UNEP tersebut. (sumber)
Berdasarkan karakteristiknya, limbah industri dapat digolongkan menjadi tiga bagian,
yaitu limbah cair, gas dan partikel, serta padat. Berdasarkan nilai ekonominya, limbah
dibedakan menjadi limbah yang memiliki nilai ekonomis dan limbah yang tidak
memiliki nilai ekonomis. Limbah yang memiliki nilai ekonomis yaitu limbah yang
apabila diproses akan memberikan suatu nilai tambah.
Sebenarnya penerapan pada pengembangan teknologi bersih tidak melulu hanya
berkaitan pada biaya yang besar untuk pengelolaan limbah. Bukan rahasia kalau
pengelolaan limbah yang berbasis teknologi bersih membutuhkan biaya yang mahal.
Apalagi bila disertai rasa ketidakpekaan terhadap masalah yang berkaitan dengan

lingkungan. Pihak Industri terkait pastinya lebih berfikir untuk mengalokasikan dana
yang dimiliki untuk proses produksi dibandingkan untuk pengolahan limbah.
Tapi dibalik biaya besar yang diperlukan sebenarnya ada keterkaitan erat antara
pengelolaan limbah dengan ekonomi (profit), kesejahteraan dan kesehatan masyarakat
sekitar pabrik, dan wujud terimakasih untuk bumi. Lagipula dengan penerapan
teknologi seperti ini jelas sangat membantu menjaga sumber air untuk produksi ataupun
mampu meningkatkan pencapaian yang telah dicapai, yang pada akhirnya meningkatkan
kepercayaan masyarakat untuk menggunakan produk hasil teknologi bersih. Semakin
tingginya kesadaran masyarakat mengenai kesadaran lingkungan, juga memberikan
dampak positif bagi industri yang menggunakan acuan proses teknologi bersih.
Loyalitas terhadap produk tentu saja akan semakin meningkat dan ada rasa kebanggaan
bagi konsumen turut menggunakan produk yang mengusung konsep ramah lingkungan.
Produsen besar biasanya lebih aware mengenai hal ini, sementara produsen kecil
ataupun skala menengah dituding masih kurang atau dituding sebagai penyumbang
besar bagi kerusakan lingkungan, terlepas dari soal emisivitas di udara yang pasti akan
sama-sama disumbangkan produsen besar maupun kecil. Sebenarnya wajar saja bila
industri kecil ataupun menengah kurang memahami hal ini. Karena dari segi
pengelolaan yang rumit dan biaya yang mahal, lebih baik menutup mata mengenai hal
ini.
Industri besar atau kecil yang sebenarnya banyak menyumbang limbah cair berbahaya
adalah industri tekstil. Negara-negara maju pasti enggan memproduksi secara besarbesaran yang berhubungan dengan tekstil, pewarnaan tekstil, pencucian dan pencelupan
tekstil. Karena negara-negara tersebut tau betul limbah yang dihasilkan akan
memberikan dampak negatif yang besar bagi lingkungan dan kesehatan. Salah satu
contoh Industri tekstil adalah batik.
Sedikit kutipan mengenai hal ini
HAMPIR semua sungai yang mengalir di Pekalongan berwarna-warni bak pelangi. Ada
pula yang hitam pekat seperti oli. Jelas, itu akibat pencemaran limbah dari industri batik
yang menjadi mata pencaharian utama warga Pekalongan.
Limbah batik telah menjadi keseharian hidup masyarakat. Mereka seakan menganggap
enteng bahaya limbah yang mengalir di sungai-sungai di sekitar perkampungan. Padahal
air itu tak hanya mengancam kelestarian ekosistem sungai, namun juga mengancam
kehidupan mereka. Ya, air sungai yang tercemar itu meresap ke sumur-sumur warga.
Ada joke menarik terkait pengelolaan limbah ini. Konon, Wali Kota atau Bupati
Pekalongan tidak terlalu risau dengan keadaan sungai yang berwarna-warni. Justru,
mereka akan khawatir jika air sungai yang mengalir menjadi jernih. Jernih, berarti
denyut industri batik yang menjadi tumpuan hidup masyarakat Pekalongan mandek.
Banyak pekerja menganggur. Ekonomi rakyat pun terganggu.

Kondisi pencemaran limbah dari industri tekstil di Pekalongan semakin


memprihatinkan. Dari ratusan industri tekstil kecil dan besar yang ada, limbah yang
dihasilkan mencapai 50 ribu meter kubik per hari.
Bahaya Limbah
Sebagian besar berasal dari industri rumah tangga. Bahkan, sebagian industri rumahan
membuang limbah ke sungai tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. Perbuatan tersebut
membuat air sungai menjadi kotor dan tercemar.
Efek negatif pewarna kimiawi dalam proses pewarnaan oleh perajin batik adalah risiko
terkena kanker kulit. Ini terjadi karena saat proses pewarnaan, umumnya para perajin
tidak menggunakan sarung tangan sebagai pengaman, kalaupun memakai, tidak benarbenar terlindung secara maksimal.
Akibatnya, kulit tangan terus-menerus bersinggungan dengan pewarna kimia berbahaya
seperti Naptol yang lazim digunakan dalam industri batik. Bahan kimia yang termasuk
dalam kategori B3 (bahan beracun berbahaya) ini dapat memacu kanker kulit.
Selain itu, limbah pewarna yang dibuang sembarangan, juga bisa mencemari
lingkungan. Ekosistem sungai rusak. Akibatnya, ikan-ikan mati dan air sungai tidak
dapat dimanfaatkan lagi. Lebih dari itu, air sungai yang telah tercemar meresap ke
sumur dan mencemari sumur. Padahal air itulah yang digunakan untuk keperluan hidup
sehari-hari.
Keadaan semacam ini telah dialami oleh banyak warga, terutama di sentra industri
batik. Masyarakat di sekitar Kali Banger misalnya, telah lama mengeluhkan akibat
pencemaran limbah batik ini. Kali Banger, sungai yang membelah Pekalongan bagian
timur dari selatan ke utara ini, mengalirkan limbah batik dari pabrik-pabrik industri
batik besar maupun kecil yang membuang limbahnya ke sungai.
Saat kali pertama kali dibangun pabrik tekstil di sekitar Kali Banger pada awal 1980an,
perekonomian warga meningkat. Namun hal itu ternyata membawa dampak buruk bagi
lingkungan.
Tahun 1988, air sungai Kali Banger tidak dapat digunakan lagi. Sejak tahun itu,
perubahan warna sungai akibat pencemaran limbah cair dari pabrik yang juga
mengeluarkan bau bangkai yang menyengat diikuti oleh matinya ikan-ikan, banyak
ternak yang mati, dan juga kesehatan yang terganggu seperti penyakit kulit.
Pengelolaan Limbah
Beberapa pabrik berskala besar memang telah membangun Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) untuk mengolah limbah cair industri batik. Namun, jumlah itu tak
sepadan dengan limbah yang dihasilkan setiap hari. Pengusaha yang abai terhadap
pengolahan limbah jauh lebih banyak.

Mereka belum menganggarkan pengelolaan limbah ke dalam pos biaya produksi,


sehingga masih enggan untuk mengolah limbah sebelum dialirkan ke sungai. Masih
banyak pengusaha yang beranggapan, pengelolaan dan pengolahan limbah hanya
menjadi tanggung jawab pemerintah.
Pembangunan Unit Pengelolaan Limbah Terpadu yang diprakarsai pemerintah, seperti
yang telah ada di Desa Jenggot, mungkin menjadi alternatif bagi perajin kecil yang tak
mampu mengelola sendiri limbahnya karena besarnya investasi. Namun, jumlah unit
pengolahan limbah terpadu jauh dari memadai, sehingga perlu ditambah jumlah maupun
kapasitasnya.
Menurut data, kapasitas unit pengolah limbah di Jenggot ini baru mencapai 400 meter
kubik perhari, sementara limbah yang dihasilkan mencapai 700 meter kubik perhari. Itu
baru di kawasan Jenggot dan sekitarnya. Belum lagi limbah dari sentra-sentra industri
batik lainnya seperti di Kecamatan Wiradesa, Pabean, Buaran, Kramatsari, Pasirsari,
dan Setono.
Meski nilai investasi pembangunan unit pengolahan limbah terpadu.terbilang besar-di
Desa Jenggot misalnya, menelan anggaran Rp 1,7 miliar-namun upaya ini tetap harus
dilakukan. Jika tidak, kelangsungan hidup warga akan terancam karena kualitas air
tanah dan sungai menurun akibat pencemaran.
Pewarna Alami
Pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan pewarna alami batik telah dipraktikkan
oleh para perajin batik zaman dulu. Selain aman, juga tak kalah mutunya dibandingkan
pewarna kimiawi. Karena alasan efisiensi, pewarna alami mulai ditinggalkan. Pewarna
kimiawi, selain mudah digunakan, juga banyak dijual di pasaran.
Sudah telanjur digunakan secara luas, penggunaan pewarna kimiawi tak dapat begitu
saja dialihkan kepada pewarna alami. Perlu ada sosialisasi dan penyuluhan kepada para
perajin.(sumber)
Tulisan ini tidak bermaksud mematikan industri batik. Justru dengan pemahaman
semoga bisa meningkatkan kesadaran penggunaan teknologi yang berbasis ramah
lingkungan. Polemik seperti ini tidak hanya terjadi di pekalongan, di beberapa daerah
lain di Indonesia juga mengalami hal yang sama.
Di negara lain seperti china juga mengalami pencemaran dampak industri Blue Jeans.
Pencemaran paling masif terjadi di Sungai Dong dan Xiaoxi yang terletak di sebelah
barat Xintang, salah satu sentra industri jeans terbesar di China. Selain air sungai
menjadi biru, limbah pabrik jeans juga menyebabkan bau menyengat tercium di sekitar
sungai.
Setelah diteliti, 17 dari 21 sampel air yang diambil dari sungai-sungai tersebut
mengandung logam berat terutama cadmium 128 kali lipat dari batas aman yang

ditetapkan pemerintah setempat. Selain itu, pH atau tingkat keasaman air sungai
meningkat hingga 12 dari angka normalnya 7.
Polusi dari pembuatan jeans berasal dari bahan pewarna yang dipakai, bleaching yang
bisa masuk ke dalam tanah serta bahan bakar mesin produksi. Sementara itu
peningkatan pH dipicu oleh penggunaan detergen yang berlebihan dalam proses
pencucian bahan baku maupun pakaian jadi. (sumber)
Mari kita tinjau industri yang telah menerapkan teknologi produksi bersih. Saya akan
menjelaskan mengenai hal ini secara singkat. Sekarang ini pabrik rokok besar di
Indonesia juga telah menerapkan hal ini. Pengolahan limbah industri rokok saat ini
dikembangkan untuk menjadi pupuk yang digunakan untuk lahan tembakau yang
ditanam warga.
Di Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) PT Djarum, misalnya, sampah pembungkus
tembakau yang terbuat dari daun siwalan dapat diolah menjadi kompos dengan
memanfaatkan lumpur aktif mikroba. (sumber)
Industri pulp dan paper juga telah menerapkan hal ini. Saat melaksanakan kunjungan
Industri di Produsen Buku Tulis Sinar Dunia di Gresik, Jawa Timur. Juga telah
dilengkapi IPAL. Pengolahan air limbah cair pada Industri kertas membutuhkan lahan
yang cukup luas. Yang diawali dengan proses aerasi dengan aerator di bak
penampungan untuk kemudian di treatment lebih lanjut, sehingga bisa dimanfaatkan
sebagai air kolam untuk budidaya ikan air tawar.

http://iinparlina.files.wordpress.com/2011/10/17.jpg
Gambaran singkat mengenai Teknologi bersih ini semoga bisa membuka pemikiran kita
untuk hidup lebih hijau. Mendukug program dan produk yang berbasis teknologi bersih.
Akan selalu ada dampak positif dan negatif yang berusaha mencapai titik equilibrium.
Penerapan teknologa yang sepenuhnya 100% ramah lingkungan saat ini mungkin belum
bisa tercapai secara optimal. Adapun program pengembangan atau dukungan dari

sebuah Industri kepada masyarakat jangan hanya disikapi sebagai program cuci tangan
dari dampak negatif.
Dalam kacamata Industri yang menjadi patokan utama untuk dicapai adalah profit. Yang
diinginkan tentu saja biaya rendah dengan keuntungan maksimal. Namun ada sisi
keberlanjutan yang harus tetap dipertimbangan. Sisi humanis yang mengarahkan kita
untuk mencintai alam.
Seiring dengan perkembangan Industrialisasi alam pasti akan terus menjadi korban
eksploitasi secara besar-besaran. Selama ada permintaan dari Manusia yang konsumtif,
maka eksploitasi berupa produksi akan terus terjadi. Hal ini tidak bisa dihindari, tapi
dengan penerapan teknologi terpadu. Semoga bisa mengurangi sedikit beban yang harus
ditanggung bumi ini. Untuk hidup yang lebih baik kini dan nanti.
Semoga bermanfaat :-)

Anda mungkin juga menyukai