1102013101
TUGAS MANDIRI
1. Cedera craniocerebral
1.1.Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma)
yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan
struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat,
2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari
luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois,
Rutland-Brown, Thomas, 2006).
1.2.Diagnosis dan Diagnosis Banding
a. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS). Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan
untuk mengkategorikan pasien menjadi :
GCS 13-15
: cedera kepala ringan
GCS 9-12 : cedera kepala sedang
GCS 3-8
: pasien koma dan cedera kepala berat.
a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi, pola dan
frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit fokal
serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan
dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat
perburukan salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera
diatasi.
b. Pemeriksaan Penunjang
X-ray tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari
dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila
dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan
adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila
CT scan tidak ada ( State of Colorado Department of
Labor and Employment, 2006).
CT-scan
Pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena
kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut
dengan tulang di sekitarnya.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang
sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita
dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak
2. Pendarahan Intrakranial
2.1.Definisi
Perdarahan intrakranial adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di dalam
kranium, yang mungkin ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral
(parenkimatosa). Perdarahan intrakranial dapat terjadi pada semua umur
dan juga akibat trauma kepala seperti kapitis,tumor otak dan lain-lain.
8-13% ICH menjadi penyebab terjadinya stroke dan kelainan dengan
spectrum yang luas. Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau
perdarahan subaraknoid, ICH umumnya lebih banyak mengakibatkan
kematian atau cacat mayor. ICH yang disertai dengan edema akan
mengganggu atau mengkompresi jaringan otak sekitarnya, menyebabkan
disfungsi neurologis. Perpindahan substansi parenkim otak dapat
menyebabkan peningkatan ICP dan sindrom herniasi yang berpotensi fatal.
Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan
vaskular cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau
vertex juga mungkin diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan
epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan
dengan fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena
kecacatan kranium yang lebih besar.
CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam
mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang
ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema
bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi
tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada
pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang besar
mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu
hematom kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin
dalam hematom menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim
otak dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan
hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian
menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu menjadi hipodensitas
(yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati
sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin
mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level
hemoglobin serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area
dimana konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan
epidural vertex dapat disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan
CT-scan aksial tradisional. Bahkan ketika terdeteksi dengan benar,
volume dan efek massa dapat dengan mudah disalahartikan. Pada
beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital dapat digunakan
untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi
intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural,
kontusio serebral, dan hematom intraserebral.
MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini
kurang tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa,
bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas.
3. Fraktur Basis Cranii
3.1.Definisi
Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat
benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput,
mastoid, supraorbita). Dalam beberapa studi telah terbukti fraktur basis
cranii dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme termaksud ruda paksa
akibat fraktur maksilofacial, ruda paksa dari arah lateral cranial dan dari
arah kubah cranial, atau karena beban inersia oleh kepala
3.2.Etiologi
Trauma kepala oleh karena kekerasan tumpul
Trauma kepala oleh karena kekerasan tajam
Trauma kepala akibat tembakan
Trauma kepala oleh karena gerakan mendadak
3.3.Klasifikasi
Fraktur Temporal
Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe
dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Fraktur
longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian
squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus
externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah
satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine
capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau
pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum
dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen
magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir
pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur
dari kedua frakturlongitudinal dan transversal.
Fraktur condylar occipital,
Adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial,
lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar.
Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan
mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini menjadi
displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I
fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi
dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur
yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital
lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil
karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami
kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan
lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.
Fraktur clivus
Digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan
kendaraann bermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah
dideskripsikan dalam literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis
terburuk, terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar. Defisit pada
nervus cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini.
Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak),
disebut Fraktur Calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak),
disebut Fraktur Basis Cranium.
a. Fraktur Calvarium.
Beberapa contoh fraktur calvarium
Fraktur Liniair
Bila fraktur merupakan sebuah garis (celah) saja. Fraktur liniair yang
berbahaya ialah fraktur yang melintas os temporal; pada os temporal
terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia Media. Bila fraktur
memutuskan Arteri Meningia Media maka akan terjadi perdarahan
hebat yang akan terkumpul di ruang diantara dura mater dan tulang
tengkorak , disebut perdarahan epidural.
Fraktur Berbentuk Bintang (Stellate Fracture)
Bila fraktur berpusat pada satu tempat dan garis garis frakturnya
nya menyebar secara radial.
Fraktur Impressie
Pada fraktur impressie ,fragment-fragment fraktur melekuk kedalam
dan menekan jaringan otak. Fraktur bentuk ini dapat merobek dura
mater dan jaringan otak di bawahnya dan dapat menimbulkan
prolapsus cerebri (jaringan otak keluar dari robekan duramater dan
celah fraktur) dan terjadi perdarahan.
b. Fraktur basis tengkorak
Fraktur atap orbita
Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor
Cerebro Spinal (LCS) bersama darah keluar melalui celah fraktur
3.4.Patofisiologi
Trauma Kepala
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan O 2 dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan O 2, Jadi
kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa. Sebagai bahan
bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan
menimbulkan koma.Kebutuhan glukosa 25% dariseluruh kebutuhan glukosa
tubuh sehingga bila kadar glukosa plasmaturun sampai 75% akan terjadi
gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami
hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan melalui proses metabolic
anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada komosio
berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam. Lalu hal
ini akan menyebaban asidosis metabolic.
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma
kapitis tergantung pada besar dan kekuatan benturan, arah dan tempat
benturan, serta sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan.
Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka dapat
mengakibatkan lesi otak berupa : lesi bentur (Coup), lesi antara (akibat
pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak
peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain=lesi media), dan
lesi kontra (counter coup).21 Berdasarkan hal tersebut cedera otak dapat
dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder
a. Kerusakan Primer
Kerusakan primer adalah kerusakan otak yang timbul pada saat cedera,
sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi
jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun difus. Kerusakan fokal
merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak,
bergantung kepada mekanisme trauma yang terjadi sedangkan kerusakan
difus adalah suatu keadaan patologis penderita koma(penderita yang tidak
sadar sejak benturan kepala dan tidak mengalami suatu interval lucid) tanpa
gambaran Space Occupying Lesion (SOL) pada CT-Scan atau MRI.
b. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi
dari kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia,
pembengkakan otak, Tekanan Tinggi Intrakranial (TTIK), hidrosefalus dan
infeksi.
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar
atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan.Hal ini sangat
berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan
menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari
ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak
3.5.Manifestasi klinis
Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis
periorbita (racoon eyes), ekimosis retroauricular ( Battles sign), dan
kebocoran cairan serebrospinal (dapat diidentifikasi dari kandungan
glukosanya) dari telinga dan hidung. Parese nervus cranialis (nervus I, II, III,
IV, VII dan VIII dalam berbagai kombinasi) juga dapat terjadi.
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa
posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang
terkena.
1) Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:
a. Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
b. Epistaksis
c. Rhinorrhoe
2) Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:
a. Hematom retroaurikuler, Ottorhoe
b. Perdarahan dari telinga
Keterangan :
1) Otorrhea atau keluarnya cairan otak melalui telinga menunjukan terjadi
fraktur pada petrous pyramid yang merusak kanal auditory eksternal
dan merobek membrane timpani mengakibatkan bocornya cairan otak
atau darah terkumpul disamping membrane timpani (tidak robek)
2) Battle Sign (warna kehitaman di belakang telinga) : Fraktur meluas ke
posterior dan merusak sinus sigmoid.
3) Racoon atau pandabear: fraktur dasar tengkorak dari bagian anterior
menyebabkan darah bocor masuk ke jaringan periorbital.
3.6.Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis
Studi Imaging
Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada
kriteria panel memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam
menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto x-ray skull tidak bermanfaat
bila tersedianya CT scan.
CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu
dalam diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5
mm, dengan potongan sagital, bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT
scan Helical sangat membantu dalam menvisualisasikan fraktur condylar
occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.
MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai
tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament
dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan
menggunakan CT scan4.
Pemeriksaan lainnya
Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural
neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat
dipulangkan untuk berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara
itu, Pada Bayi dengan simple fraktur linier harus dilakukan pengamatan
secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status
neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya
ditatalaksana secara conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga
dikelola secara konservatif, jika disertai rupture membrane timpani biasanya
akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada
neurologis pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan
fraktur depress dengan baik membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi
dari fraktur depress. Obat anti kejang dianjurkan jika kemungkinan
terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi,
mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole
direkomendasikan pada kasus ini. Fraktur condylar tipe I dan II os occipital
ditatalaksana secara konservatif dengan stabilisasi leher dengan
menggunakan collar atau traksi halo.
Peran antibiotik pada profilaksis fraktur basis cranii
Pemberian antibiotic sebagai terapi profilaksis pada fraktur basis cranii
dengan pertimbangan terjadinya kebocoran dari lapisan meningeal akan
menyebabkan mikroorganisme pathogen dari saluran nafas atas (hidung dan
telinga) dapat mencapai otak dan selaput mengingeal, hal ini masih menjadi
controversial. Pemberian antibiotic profilaksis berkontribusi terhadap
terjadinya peningkatan resistensi antibiotic dan akan menyebabkan infeksi
yang serius.
Pada sebuah review artikel yang di publish antara tahun 1970 dan 1989,
menemukan 848 kasus dari fraktur basis cranii (519 mendapatkan antibiotic
profilaksis dan 8% menjadi meningitis) dan kesimpulannya adalah antibiotic
tidak mencegah terjadinya meningitis pada fraktur basis cranii14. Studi lain
juga menunjukkan dengan menggunakan uji statistik, dari total 1241 pasien
dengan fraktur basis cranii, 719 pasien diantaranya mendapat antibiotic
profilaksis dan 512 pasien tidak mendapat antibiotic profilaksis. Kesimpulan
dari penelitian tersebut menunjukkan antibiotic profilaksis tidak mencegah
terjadinya meningitis pada pasien fraktur basis cranii. (odds ratio (OR) =
1.15; 95% confidence interval (CI) = 0.68-1.94 P = .678)14.
Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anakanak dengan open fraktur depress memerlukan intervensi bedah.
Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk mengevaluasi fraktur depress jika
segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone.
Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear
dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya. Kadang
kadang, craniectomy dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan
dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan
dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur
3.8.Komplikasi
Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai
dengan rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan
dengan fraktur basis cranii dibahas di bagian klinis. Namun, terutama, facial
palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah akibat sekunder
untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan responsif terhadap steroid,
dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba pada saat
bersamaan terjadinya fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus,
dengan prognosis buruk.
Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii.
Fraktur pada ujung pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion
gasserian. Cedera nervus cranialis VI yang terisolasi bukanlah akibat
langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena terjadinya
ketegangan pada nervus.
Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur condylar
os oksipital, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom
Collet-Sicard (vide supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi
nervus cranialis III, IV,dan VI dan juga
dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan
pembentukan pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika
melibatkan struktur vena). cedera carotiddiduga terdapat pada kasus kasus
dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini, CT-angiografi
dianjurkan.
Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early
seizure, dan yang terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi
pada kondisi risiko tinggi, yaitu ada fraktur impresi, hematoma intrakranial,
kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis fenitoin dengan dosis 3x100
mg/hari selama 7-10 hari.
Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada
fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profilaksis
antibiotik ini masih kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal,
diberikan antibiotik dengan dosis meningitis.
Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan
gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan
berdarah. Kelainan tukak stres ini merupakan kelainan mukosa akut saluran
cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor yang
dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi
karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1
tablet peroral atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin)
dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari
3.9.Pencegahan
1) Pencegahan Primordial
Pencegahan Primordial ialah pencegahan yang dilakukan kepada orangorang yang belum terkena faktor risiko yaitu berupa safety facilities : koridor
(sidewalk), jembatan penyeberangan (over head bridge), rambu jalanan
(traffic signal); dan peraturan (law enforcement).
2) Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu, upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadi yang
dirancang untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang tejadinya trauma,
seperti : \
a. Tidak mengemudi di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan.
b. Penggunaan helm, sabuk pengaman (seat belt)
c. Pengendalian/ pembatasan kecepatan kendaraan
d. Membuat lingkungan yang lebih aman bagi manula dan anakanak, seperti : meningkatkan penerangan seluruh rumah, lantai
tidak licin, membuat pegangan pada kedua sisi tangga.
3) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang
dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya trauma yang
terjadi. Pada pencegahan sekunder dilakukan diagnosis yang berupa
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis, dan
pemeriksaan radiologis
4) Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah terjadi komplikasi trauma kapitis
yang lebih berat atau kematian. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan
melakukan rehabilitasi yang tepat, pemberian pendidikan kesehatan
sekaligus konseling yang bertujuan untuk mengubah perilaku (terutama
perilaku berlalu lintas) dan gaya hidup penderita. Rehabilitasi adalah bagian
penting dari proses pemulihan penderita trauma kapitis. Tujuan dari
rehabilitasi setelah trauma kapitis yaitu untuk meningkatkan kemampuan
penderita untuk melaksanakan fungsinya di dalam keluarga dan di dalam
masyarakat. Contoh dari rehabilitasi yaitu terapi peningkatan kemampuan
penderita untuk berjalan dan membantu penderita yang cacat akibat trauma
kapitis untuk beradaptasi terhadap lingkungannya dengan cara memodifikasi
lingkungan tempat tinggal sehingga penderita dapat melakukan kegiatan
sehari-hari dengan mudah. Terapi kejiwaan juga diberikan kepada penderita
yang mengalami gangguan psikologis, selain itu dukungan keluarga juga
membantu proses penyembuhan psikis penderita.
3.10.
Prognosis
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera
nervus cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian
besar jenis fraktur adalah jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak
disertai dengan hematom epidural. Sebagian besar fraktur, termasuk fraktur
depresi tulang cranium tidak memerlukan tindakan operasi
4. Trias cushing
DEFINISI
DEFINISI
Fraktur maxillofacial atau fraktur pada wajah dibagi menjad tiga, yaitu fraktur
pada sepertiga atas (diatas alis), sepertiga tengah, dan sepertiga bawah
(mandibular)
Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai fraktur sepertiga tengah
MIDDLE-THIRD FRACTURE (FRAKTUR SEPERTIGA TENGAH)
Berdasarkan lokasi fraktur, fraktur seperti tengah dibagi menjadi
1. Le Fort I (Guerins fracture)
Fraktur dimana alveolar dan palatum terpisah dari tulang wajah diatasnya.
Fraktur berjalan mulai dari apertura piriform nasal, menuju dinding medial
dan lateral sinus maxillaris, hingga pterygoid plates bawah.
Gejala:
Mobilitas tooth-bearing segment pada rahang atas
Oklusi
Krepitasi pada buccal sulcus
Bunyi cracked-pot pada perkusi gigi atas
Hematoma intraoral pada akar zygoma
Hematoma palatum
Memar pada bibir atas dab setengah bawah wajah tengah
2. Le Fort II
Fraktur dengan pola piramida dengan puncak pada nasal bridge, menuju
tulang orbital, sinus ethmoidal, sepanjang sutura sinus maxilla dan
zygomaticomaksilaris, hingga menuju terygoid plates.
Gejala:
Mobilitas maxilla
Gagging karena gigi belakang
Mulut terbuka
Periorbital ecchymosis
Hidung bisa terpisah
Mata: diplopia, subconjunctival hemorrhage
Kerusakan saraf intraorbital
3. Le Fort III
Fraktur dimana seluruh wajah terpisah dari basis cranii karena tekanan
pada tulang orbita. Fraktur berjalan dari nasofrontal menuju tulang orbita
medial, sutura orbita superior dan inferior, lalu dinding lateral orbita
menuju sutura zygomaticus anterior.
Gejala:
Mobilitas sepertiga tengah wajah
Gagging karena gigi belakang
Mulut terbuka
Periorbital ecchymosis
Hidung bisa terpisah
Mata: diplopia, subconjunctival hemorrhage
Kerusakan saraf infraorbital
CSF Rhinorrhea
TATALAKSANA
Tindakan di ruang unit gawat darurat :
Resusitasi dengan tindakan A = Airway, B = Breathing dan C =
Circulation
a. Jalan napas (Airway)
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau
perifer.Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai
dengan pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau
ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru,
emboli paru, atau infeksi.
Tata laksana:
Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
Cari dan atasi faktor penyebab
Kalau perlu pakai ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah
sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan
risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor
ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat
dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/ pneumotoraks, atau syok
septik. Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan,
perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara
dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.
Selain dengan penanganan diatas, untuk investigasi kasus digunakan
pemeriksaan radiografi. Yang paling sering digunakan adalah CT-scan. Berikut
ini adalah posisi CT Scan disesuaikan dengan fraktur yang terjadi
SITE OF FRACTURES
RADIOGRAPHS