Anda di halaman 1dari 24

Fadhila Ayu Safirina

1102013101
TUGAS MANDIRI
1. Cedera craniocerebral
1.1.Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma)
yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan
struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat,
2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari
luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois,
Rutland-Brown, Thomas, 2006).
1.2.Diagnosis dan Diagnosis Banding
a. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS). Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan
untuk mengkategorikan pasien menjadi :
GCS 13-15
: cedera kepala ringan
GCS 9-12 : cedera kepala sedang
GCS 3-8
: pasien koma dan cedera kepala berat.

a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi, pola dan
frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit fokal
serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan
dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat
perburukan salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera
diatasi.
b. Pemeriksaan Penunjang
X-ray tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari
dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila
dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan
adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila
CT scan tidak ada ( State of Colorado Department of
Labor and Employment, 2006).
CT-scan
Pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena
kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut
dengan tulang di sekitarnya.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang
sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita
dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak

pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk


pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal
dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam
Sastrodiningrat, 2007).
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah
dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang
sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita
dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita
cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan
adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang
nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih
harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong
menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif
pada penderita cedera kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam
Sastrodiningrat, 2007 ).
1.3.Tatalaksana
Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:
1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah
kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial
2. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)
3. Minimalisasi kerusakan sekunder
4. Mengobati simptom akibat trauma otak
5. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi
(antikonvulsan dan antibiotik)

Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:


1. Cedera kranioserebral tertutup
Fraktur impresi (depressed fracture)
Perdarahan epidural (hematoma epidural /EDH) dengan
volume perdarahan lebih dari 30mL/44mL dan/atau pergeseran
garis tengah lebih dari 3 mm serta ada perburukan kondisi
pasien
Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan
pendorongan garis tengah lebih dari 3 mm atau
kompresi/obliterasi sisterna basalis
Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan
progresivitas kelainan neurologik atau herniasi
2. Cedera kranioserebral terbuka
Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit,
fraktur multipel, durameter yang robek disertai laserasi otak
Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari
Pneumoencephali
Corpus alienum
Luka tembak

Tatalaksana pasien dalam keadaan sadar (SKG=15)


Simple Head Injury (SHI)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama
sekali dan tidak ada defisit neurologik, dan tidakada muntah. Tindakan
hanya perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas
indikasi.Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan keluarga
diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai kesadaran menurun
saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit
dibangunkan, pasien harus segera
dibawa kembali ke rumah sakit.
Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma
kranioserebral,
dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan
mengalami cedera kranioserebral ringan (CKR).
Tatalaksana pasien dengan penurunan kesadaran
Cedera kepala ringan (SKG = 13-15)
Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan luka, foto kepala, istirahat
baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai
terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk
menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid
interval, nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejalagejala lateralisasi (pupil anisokor, refleksi patologis positif). Jika dicurigai
ada hematoma, dilakukan CT scan.
Cedera kepala sedang (SKG = 9-13)
Urutan tindakan:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan
(Breathing), dan sirkulasi (Circulation)
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan
cedera organ lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang
ekstremitas lakukan fiksasi leher dengan pemasangan kerah leher dan
atau fiksasi tulang ekstremitas bersangkutan
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral
lainnya.
Cedera kepala berat (SKG 3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila
didapatkan fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada
luka terbuka dan ada perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk
pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera kranioserebral
sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU.
Tindakan di ruang unit gawat darurat :

Resusitasi dengan tindakan A = Airway, B = Breathing dan C =


Circulation
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi
kepala ekstensi.
Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa
muntahan, darah,
lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung
dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau
perifer.Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai
dengan pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral,
atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema
paru, emboli paru, atau infeksi.
Tata laksana:
Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
Cari dan atasi faktor penyebab
Kalau perlu pakai ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah
sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat
meningkatkan risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi
akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau
ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/ pneumotoraks,
atau syok septik. Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber
perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau
sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.

2. Pendarahan Intrakranial
2.1.Definisi
Perdarahan intrakranial adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di dalam
kranium, yang mungkin ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral
(parenkimatosa). Perdarahan intrakranial dapat terjadi pada semua umur
dan juga akibat trauma kepala seperti kapitis,tumor otak dan lain-lain.
8-13% ICH menjadi penyebab terjadinya stroke dan kelainan dengan
spectrum yang luas. Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau
perdarahan subaraknoid, ICH umumnya lebih banyak mengakibatkan
kematian atau cacat mayor. ICH yang disertai dengan edema akan
mengganggu atau mengkompresi jaringan otak sekitarnya, menyebabkan
disfungsi neurologis. Perpindahan substansi parenkim otak dapat
menyebabkan peningkatan ICP dan sindrom herniasi yang berpotensi fatal.

Berdasarkan cedera kepala di area intrakranial.


Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan
cedera otak difus.
Cedera otak fokal yang meliputi :
Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu
ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan
durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan
kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian
terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi
pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala,
muntah, kejang dan hemiparesis.
Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang
subdural yang terjadi akut (6-3 hari).Perdarahan ini terjadi akibat
robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.Biasanya kerusakan
otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
dibanding pada perdarahan epidural.
Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang
subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma.Subdural hematom
kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah
di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan
terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam
beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan
membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan
luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti
dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga
terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga

terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi


permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar
membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural
bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH
kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan
gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping itu
dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik
dan kejang
Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan
konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral
hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak
dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan
deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh
darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau
pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang
ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran.
Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan
energi dari trauma yang dialami.
Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah
kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma
dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan
subarahnoit (PSA).Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan
pembuluh darah, juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang
luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan
menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.
2.2.Diagnosis dan diagnosis banding
Pemeriksaan penunjang
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit)
penting dalam penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan
maupun trauma.
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin
jaringan, yang mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati
dibutuhkan jika pembedahan akan dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor
yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.
Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan
penurunan yang signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium
kaku. Pada bayi, yang volume darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam
kranium meluas dengan sutura terbuka yang menyebabkan kehilangan
darah yang berarti.Perdarahan yang demikian mengakibatkan
ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhatihati dan sering terhadap level hematokrit.
Pencitraan

Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan
vaskular cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau
vertex juga mungkin diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan
epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan
dengan fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena
kecacatan kranium yang lebih besar.
CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam
mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang
ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema
bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi
tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada
pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang besar
mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu
hematom kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin
dalam hematom menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim
otak dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan
hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian
menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu menjadi hipodensitas
(yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati
sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin
mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level
hemoglobin serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area
dimana konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan
epidural vertex dapat disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan
CT-scan aksial tradisional. Bahkan ketika terdeteksi dengan benar,
volume dan efek massa dapat dengan mudah disalahartikan. Pada
beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital dapat digunakan
untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi
intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural,
kontusio serebral, dan hematom intraserebral.

Gambar 1. Perdarahan epidural

Gambar 2. Perdarahan subdural

MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini
kurang tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa,
bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas.
3. Fraktur Basis Cranii
3.1.Definisi
Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat
benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput,
mastoid, supraorbita). Dalam beberapa studi telah terbukti fraktur basis
cranii dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme termaksud ruda paksa
akibat fraktur maksilofacial, ruda paksa dari arah lateral cranial dan dari
arah kubah cranial, atau karena beban inersia oleh kepala
3.2.Etiologi
Trauma kepala oleh karena kekerasan tumpul
Trauma kepala oleh karena kekerasan tajam
Trauma kepala akibat tembakan
Trauma kepala oleh karena gerakan mendadak
3.3.Klasifikasi
Fraktur Temporal
Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe
dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Fraktur
longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian
squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus
externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah
satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine
capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau
pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum
dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen
magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir
pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur
dari kedua frakturlongitudinal dan transversal.
Fraktur condylar occipital,

Adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial,
lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar.
Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan
mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini menjadi
displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I
fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi
dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur
yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital
lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil
karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami
kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan
lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.
Fraktur clivus
Digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan
kendaraann bermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah
dideskripsikan dalam literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis
terburuk, terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar. Defisit pada
nervus cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini.
Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak),
disebut Fraktur Calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak),
disebut Fraktur Basis Cranium.
a. Fraktur Calvarium.
Beberapa contoh fraktur calvarium
Fraktur Liniair
Bila fraktur merupakan sebuah garis (celah) saja. Fraktur liniair yang
berbahaya ialah fraktur yang melintas os temporal; pada os temporal
terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia Media. Bila fraktur
memutuskan Arteri Meningia Media maka akan terjadi perdarahan
hebat yang akan terkumpul di ruang diantara dura mater dan tulang
tengkorak , disebut perdarahan epidural.
Fraktur Berbentuk Bintang (Stellate Fracture)
Bila fraktur berpusat pada satu tempat dan garis garis frakturnya
nya menyebar secara radial.
Fraktur Impressie
Pada fraktur impressie ,fragment-fragment fraktur melekuk kedalam
dan menekan jaringan otak. Fraktur bentuk ini dapat merobek dura
mater dan jaringan otak di bawahnya dan dapat menimbulkan
prolapsus cerebri (jaringan otak keluar dari robekan duramater dan
celah fraktur) dan terjadi perdarahan.
b. Fraktur basis tengkorak
Fraktur atap orbita
Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor
Cerebro Spinal (LCS) bersama darah keluar melalui celah fraktur

masuk ke rongga orbita ; dari luar disekitar mata tampak kelopak


mata berwarna kebiru biruan . Bila satu mata disebut Monocle
Hematoma, bila dua mata disebut Brill Hematoma / Raccoons eyes
Fraktur melintas Lamina Cribrosa
Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf
penciuman ( Nervus Olfactorius) sehinggan dapat terjadi gangguan
penciuman mulai berkurangnya penciuman (hyposmia) sampai
hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek dura mater
dan arachnoid sehingga LCS bercampur darah akan keluar dari
rongga hidung (Rhinorrhoea)
Fraktur Fossa Media
Fraktur Os Petrossum
Puncak (Apex ) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah
masuk kedalam rongga telinga tengah dan memecahkan
Membrana Tympani; dari telinga keluar LCS bercampur darah
(Otorrhoea).
Fraktur Sella Tursica
Di atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari
2 bagian pars anterior dan pars posterior (Neuro Hypophyse). Pada
fraktur sella tursica yg biasa terganggu adalah pars posterior
sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone)
yang menyebabkan Diabetes Insipidus.
Sinus Cavernosus Syndrome.
Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media
yang memecahkan Arteri Carotis Interna yang berada di dalam
Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan langsung arteri
vena (disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan
Sinus Cavernsus > Carotid Cavernous Fistula).
Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit ,
conjunctiva berwarna merah. Bila membran stetoskop diletakkan
diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar suara seperti air
mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca
BRUI ).
Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna
didalam Sinus Cavernosus , yang terdiri atas : mata yang bengkak
menonjol , sakit dan conjunctiva yang terbendung (berwarna
merah) serta terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus
Syndrome,
Fraktur Fossa Posterior.
Fraktur melintas os petrosum
Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os
petrossum sampai os mastoid, menyebabkan LCS bercampur
darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid
sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang
telinga , disebut Battles Sign.

Fraktur melintas Foramen Magnum


di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga
getaran fraktur akan merusak Medula Oblongata , menyebabkan
kematian seketika.

3.4.Patofisiologi
Trauma Kepala
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan O 2 dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan O 2, Jadi
kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa. Sebagai bahan
bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan
menimbulkan koma.Kebutuhan glukosa 25% dariseluruh kebutuhan glukosa
tubuh sehingga bila kadar glukosa plasmaturun sampai 75% akan terjadi
gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami
hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan melalui proses metabolic
anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada komosio
berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam. Lalu hal
ini akan menyebaban asidosis metabolic.
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma
kapitis tergantung pada besar dan kekuatan benturan, arah dan tempat
benturan, serta sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan.
Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka dapat
mengakibatkan lesi otak berupa : lesi bentur (Coup), lesi antara (akibat
pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak
peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain=lesi media), dan
lesi kontra (counter coup).21 Berdasarkan hal tersebut cedera otak dapat
dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder
a. Kerusakan Primer
Kerusakan primer adalah kerusakan otak yang timbul pada saat cedera,
sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi
jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun difus. Kerusakan fokal
merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak,
bergantung kepada mekanisme trauma yang terjadi sedangkan kerusakan
difus adalah suatu keadaan patologis penderita koma(penderita yang tidak
sadar sejak benturan kepala dan tidak mengalami suatu interval lucid) tanpa
gambaran Space Occupying Lesion (SOL) pada CT-Scan atau MRI.
b. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi
dari kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia,
pembengkakan otak, Tekanan Tinggi Intrakranial (TTIK), hidrosefalus dan
infeksi.

Fraktur basis cranii


Merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar
tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang
berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek remote dari
benturan pada kepala (gelombang tekanan yang dipropagasi dari titik
benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme
termasuk benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak,
atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash).
Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor
berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek
misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan
gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh
foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring
fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan
tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya
kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah
occiput atau mandibula.
Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis
bahwa ruda paksa pada mandibula saja biasanya hanya menyebabkan
fraktur mandibula. Selanjutnya, complete dan partial ring type BSF
membutuhkan ruda paksa temporo-mandibular yang secara tidak langsung
menghasilkan pembebanan pada daerah sekitar foramen magnum
Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan
durameter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah
satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila
fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula
terjadi di daerah frontal atau oksipital.
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui
foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan

os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural,


desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang
kepala sehingga hematom bertambah besar. Hematoma yang membesar di
daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak ke arah
bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus
mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim
medis.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus
formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya
kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius).
Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak
mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah
ini, menyebabkan kelemahan respon motorik kontralateral, refleks hiperaktif
atau sangat cepat, dan tanda babinski positif. Dengan makin membesarnya
hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong ke arah yang berlawanan,
menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut
peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan
gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa
terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau
terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali.
Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang
progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara
dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi
kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena
cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural
hematoma cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma
dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien
langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
Sumber perdarahan :
Artery meningea ( lucid interval : 2 3 jam )
Sinus duramatis
Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan
vena diploica
Intracranial Bleeding
Perdarahan epidural :
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam
waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir
selalu berhubungan dengan fraktur cranial linier.Pada kebanyakan pasien,
perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau
keduanya.Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis
fraktur melewati lekukan minengeal pada squama temporal.
Perdarahan subdural :

Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar
atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan.Hal ini sangat
berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan
menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari
ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak
3.5.Manifestasi klinis
Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis
periorbita (racoon eyes), ekimosis retroauricular ( Battles sign), dan
kebocoran cairan serebrospinal (dapat diidentifikasi dari kandungan
glukosanya) dari telinga dan hidung. Parese nervus cranialis (nervus I, II, III,
IV, VII dan VIII dalam berbagai kombinasi) juga dapat terjadi.
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa
posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang
terkena.
1) Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:
a. Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
b. Epistaksis
c. Rhinorrhoe
2) Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:
a. Hematom retroaurikuler, Ottorhoe
b. Perdarahan dari telinga
Keterangan :
1) Otorrhea atau keluarnya cairan otak melalui telinga menunjukan terjadi
fraktur pada petrous pyramid yang merusak kanal auditory eksternal
dan merobek membrane timpani mengakibatkan bocornya cairan otak
atau darah terkumpul disamping membrane timpani (tidak robek)
2) Battle Sign (warna kehitaman di belakang telinga) : Fraktur meluas ke
posterior dan merusak sinus sigmoid.
3) Racoon atau pandabear: fraktur dasar tengkorak dari bagian anterior
menyebabkan darah bocor masuk ke jaringan periorbital.
3.6.Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis
Studi Imaging
Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada
kriteria panel memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam
menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto x-ray skull tidak bermanfaat
bila tersedianya CT scan.
CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu
dalam diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5
mm, dengan potongan sagital, bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT
scan Helical sangat membantu dalam menvisualisasikan fraktur condylar
occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.
MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai
tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament
dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan
menggunakan CT scan4.
Pemeriksaan lainnya

Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya


kebocoran CSF, dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu
tehnik dengan mengoleskan darah tersebut pada kertas tisu, maka akan
menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah,
maka disebut halo atau ring sign. Kebocoran dari CSF juga dapat
dibuktikan dengan menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur
transferrin.
Diagnosis banding

Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma


langsung seperti kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi
fraktur pada tulang-tulang yang membentuk dasar orbita (arcus os
zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau III, dan fraktur dinding medial
atau sekeliling orbital).
Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa
diakibatkan oleh :
a. Kongenital
b. Ablasi tumor atau hidrosefalus
c. Penyakit-penyakit kronis atau infeksi
d. Tindakan bedah
3.7.Tatalaksana
Diagnose fraktur basis kranii secara klinis lebih bermakna dibandingkan
dengan diagnose secara radiologis oleh karena:
1) Foto basis cranii posisinya hanging Foto , dimana posisi ini sangat
berbahaya tertutama pada cidera kepala disertai dengan cidera vertebra
cervikal ataupun pada cidera kepala dengan gangguan kesadaran yang
dapat menyebabkan gangguan pernafasan
2) Adanya gambaran fraktur pada foto basis kranii tidak akan merubah
penatalaksanaan dari fraktur basis kranii.
3) Pemborosan biaya perawatan karena penambahan biaya foto basis kranii.

Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi:


1) Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah
batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
2) Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu
dilakukan tampon steril (Consul ahli THT) pada tanda bloody otorrhea/
otoliquorrhea,
3) Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea
/otoliquorrheapenderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring
keposisi yang sehat.
4) Pemberian antibiotika profilaksis untuk mencegah terjadinya
meningoensefalitis masih kontroversial, di SMF Bedah Saraf RSU Dr.
Soetomo kami tetap memberikan antibiotika profilaksis dengan alasan
penderita fraktur basis kranii dirawat bukan diruangan steril / ICU tetapi
di ruang bangsal perawatan biasa dengan catatan pemberian kami batasi
sampai bloody rhinorrhea/otorrhea berhenti.

Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural
neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat
dipulangkan untuk berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara
itu, Pada Bayi dengan simple fraktur linier harus dilakukan pengamatan
secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status
neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya
ditatalaksana secara conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga
dikelola secara konservatif, jika disertai rupture membrane timpani biasanya
akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada
neurologis pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan
fraktur depress dengan baik membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi
dari fraktur depress. Obat anti kejang dianjurkan jika kemungkinan
terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi,
mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole
direkomendasikan pada kasus ini. Fraktur condylar tipe I dan II os occipital
ditatalaksana secara konservatif dengan stabilisasi leher dengan
menggunakan collar atau traksi halo.
Peran antibiotik pada profilaksis fraktur basis cranii
Pemberian antibiotic sebagai terapi profilaksis pada fraktur basis cranii
dengan pertimbangan terjadinya kebocoran dari lapisan meningeal akan
menyebabkan mikroorganisme pathogen dari saluran nafas atas (hidung dan
telinga) dapat mencapai otak dan selaput mengingeal, hal ini masih menjadi
controversial. Pemberian antibiotic profilaksis berkontribusi terhadap
terjadinya peningkatan resistensi antibiotic dan akan menyebabkan infeksi
yang serius.
Pada sebuah review artikel yang di publish antara tahun 1970 dan 1989,
menemukan 848 kasus dari fraktur basis cranii (519 mendapatkan antibiotic
profilaksis dan 8% menjadi meningitis) dan kesimpulannya adalah antibiotic
tidak mencegah terjadinya meningitis pada fraktur basis cranii14. Studi lain
juga menunjukkan dengan menggunakan uji statistik, dari total 1241 pasien
dengan fraktur basis cranii, 719 pasien diantaranya mendapat antibiotic
profilaksis dan 512 pasien tidak mendapat antibiotic profilaksis. Kesimpulan
dari penelitian tersebut menunjukkan antibiotic profilaksis tidak mencegah
terjadinya meningitis pada pasien fraktur basis cranii. (odds ratio (OR) =
1.15; 95% confidence interval (CI) = 0.68-1.94 P = .678)14.
Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anakanak dengan open fraktur depress memerlukan intervensi bedah.
Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk mengevaluasi fraktur depress jika
segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone.
Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear
dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya. Kadang
kadang, craniectomy dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan
dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan
dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur

3.8.Komplikasi
Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai
dengan rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan
dengan fraktur basis cranii dibahas di bagian klinis. Namun, terutama, facial
palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah akibat sekunder
untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan responsif terhadap steroid,
dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba pada saat
bersamaan terjadinya fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus,
dengan prognosis buruk.
Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii.
Fraktur pada ujung pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion
gasserian. Cedera nervus cranialis VI yang terisolasi bukanlah akibat
langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena terjadinya
ketegangan pada nervus.
Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur condylar
os oksipital, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom
Collet-Sicard (vide supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi
nervus cranialis III, IV,dan VI dan juga
dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan
pembentukan pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika
melibatkan struktur vena). cedera carotiddiduga terdapat pada kasus kasus
dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini, CT-angiografi
dianjurkan.
Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early
seizure, dan yang terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi
pada kondisi risiko tinggi, yaitu ada fraktur impresi, hematoma intrakranial,
kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis fenitoin dengan dosis 3x100
mg/hari selama 7-10 hari.
Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada
fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profilaksis
antibiotik ini masih kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal,
diberikan antibiotik dengan dosis meningitis.
Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan
gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan
berdarah. Kelainan tukak stres ini merupakan kelainan mukosa akut saluran
cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor yang
dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi
karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1
tablet peroral atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin)
dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari

3.9.Pencegahan
1) Pencegahan Primordial
Pencegahan Primordial ialah pencegahan yang dilakukan kepada orangorang yang belum terkena faktor risiko yaitu berupa safety facilities : koridor
(sidewalk), jembatan penyeberangan (over head bridge), rambu jalanan
(traffic signal); dan peraturan (law enforcement).
2) Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu, upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadi yang
dirancang untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang tejadinya trauma,
seperti : \
a. Tidak mengemudi di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan.
b. Penggunaan helm, sabuk pengaman (seat belt)
c. Pengendalian/ pembatasan kecepatan kendaraan
d. Membuat lingkungan yang lebih aman bagi manula dan anakanak, seperti : meningkatkan penerangan seluruh rumah, lantai
tidak licin, membuat pegangan pada kedua sisi tangga.
3) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang
dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya trauma yang
terjadi. Pada pencegahan sekunder dilakukan diagnosis yang berupa
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis, dan
pemeriksaan radiologis
4) Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah terjadi komplikasi trauma kapitis
yang lebih berat atau kematian. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan
melakukan rehabilitasi yang tepat, pemberian pendidikan kesehatan
sekaligus konseling yang bertujuan untuk mengubah perilaku (terutama
perilaku berlalu lintas) dan gaya hidup penderita. Rehabilitasi adalah bagian
penting dari proses pemulihan penderita trauma kapitis. Tujuan dari
rehabilitasi setelah trauma kapitis yaitu untuk meningkatkan kemampuan
penderita untuk melaksanakan fungsinya di dalam keluarga dan di dalam
masyarakat. Contoh dari rehabilitasi yaitu terapi peningkatan kemampuan
penderita untuk berjalan dan membantu penderita yang cacat akibat trauma
kapitis untuk beradaptasi terhadap lingkungannya dengan cara memodifikasi
lingkungan tempat tinggal sehingga penderita dapat melakukan kegiatan
sehari-hari dengan mudah. Terapi kejiwaan juga diberikan kepada penderita
yang mengalami gangguan psikologis, selain itu dukungan keluarga juga
membantu proses penyembuhan psikis penderita.
3.10.
Prognosis
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera
nervus cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian
besar jenis fraktur adalah jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak
disertai dengan hematom epidural. Sebagian besar fraktur, termasuk fraktur
depresi tulang cranium tidak memerlukan tindakan operasi
4. Trias cushing
DEFINISI

Sindrom Cushing merupakan kumpulan gejala-gejala berupa peningkatan berat


badan yang cepat terutama pada perut (obesitas sentral) dan wajah (moon
face), penumpukan lemak pada leher bagian belakang (buffalo hump),
hiperhidrosis (berkeringat berlebihan), striae pada abdomen, penipisan kulit,
hirsutisme, hipertensi, penurunan libido, gangguan menstruasi, dan lain-lain.
Kelainan ini disebabkan oleh kelebihan hormon kortisol dalam darah. Patologi
penyakit ini dijelaskan oleh Harvey Cushing pada 1932.
ETIOLOGI & PATOGENESIS
Secara umum penyebab dari sindrom Cushing adalah kelebihan sekresi hormon
kortisol dalam darah. Namun penyebab dari berlebihnya sekresi hormon kortisol
tersebut dapat berbeda-beda.
Segala kondisi yang menyebabkan peningkatan sekresi dari hormon
kortisol adalah penyebab terjadinya sindrom Cushing. Sindrom
Cushing ini dapat diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan
penyebabnya yaitu eksogen dan endogen. Pada umumnya sindrom
Cushing disebabkan oleh penyebab eksogen yaitu administrasi
glukokortikoid jangka lama (disebut juga Sindrom Cushing
iatrogenik). Biasanya terapi steroid ini diberikan untuk penyakit
asma atau reumatoid artritis dan terapi imunosurpresi setelah
transplantasi organ. Penyebab eksogen lainnya adalah administrasi
ACTH namun lebih jarang ditemukan.
Sindrom Cushing juga dapat disebabkan oleh penyebab endogen
dimana terjadi kelainan pada sekresi kortisol dalam tubuh kita
sendiri. Penyebab endogen sindrom Cushing ini bisa dibagi menjadi
2 macam yaitu ACTH-dependent (kelainan terdapat pada kelenjar
pituitari) dan ACTH-independent (kelainan terdapat pada kelenjar
adrenal) seperti dapat dilihat pada tabel di atas.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ACTH-secreting pituitary
adenoma adalah penyebab tersering sindrom Cushing yang
disebabkan penyebab endogen. Pada kebanyakan kasus adenoma
yang terjadi adalah mikroadenoma (<10mm). ACTH-secreting
pituitary adenoma bertanggung jawab atas 70% kasus sindrom
Cushing endogen dan sering juga disebut Cushing disease.
Sekresi dari ACTH ektopik oleh sel tumor nonpituitari terjadi pada
sekitaar 10% kasus sindrom Cushing endogen. Pada sebagian besar
kasus, tumor yang menyebabkan hal ini adalah small cell carcinoma
pada paru-paru. Varian ini biasa terjadi pada usia antara 40 sampai
50 tahun.
Neoplasma adrenal primer seperti adenoma adrenal dan karsinoma
adrenal merupakan penyebab tersering pada sindrom Cushing
ACTH-independent. Secara biokimia tanda yang bisa dilihat adalah
peningkatan kortisol serum namun ACTH rendah. Hiperkortisolisme
pada karsinoma biasanya lebih parah daripada adenoma atau
hiperplasia.
MANIFESTASI KLINIS
Hiperkortisolisme mendorong penumpukan lemak ke jaringan-jaringan
tertentu khususnya pada wajah bagian atas (menyebabkan moon face),
diantara tulang belikat (buffalo hump) dan mesenterik (obesitas sentral).
Alasan untuk distribusi jaringan adiposa yang aneh ini belum diketahui

namun diperkirakan berhubungan dengan resistensi insulin atau peningkatan


kadar insulin.
Selain itu hiperkortisolisme juga menyebabkan atrofi selektif pada otot fasttwitch (tipe 2) yang berakibat pada penurunan massa otot dan kelemahan
pada ekstremitas bagian proksimal. Glukokortikoid dapat menginduksi
glukoneogenesis dan menghambat pengambilan glukosa oleh sel yang
menyebabkan hiperglikemia, glucosuria, dan polidipsi. Efek kataboliknya
menyebabkan resorpsi tulang dan hilangnya kolagen sehingga kulit menjadi
tipis, mudah luka, penyembuhan luka yang buruk, dan striae. Resorpsi tulang
menyebabkan osteoporosis.
Pada wanita, peningkatan androgen adrenal menyebabkan jerawat,
hirsutisme, oligomenorea atau amenorea. Hipertensi sering terjadi dan dapat
dijumpai perubahan emosional, mudah tersinggung dan emosi labil sampai
depresi berat, bingung, atau psikosis.
TATA LAKSANA
Sebagian besar kasus Sindrom Cushing merupakan kasus iatrogenik akibat
administrasi glukokortikoid jangka panjang. Jadi untuk tata laksana nya
adalah memberikan terapi secara hati-hati dengan pengawasan atau
menghentikan terapi glukokortikoidnya.
Pada pasien dengan adenoma pituitari ataupun adenoma adrenal, adenoma
dapat dicabut (opeerasi) setelah diagnosis ditegakkan. Biasanya pasien akan
membutuhkan terapi replacement steroid pascaoperasi tidak peduli dimana
lokasi adenomanya. Pada pasien yang dicabut kedua kelenjar adrenalnya,
replacement dapat dilakukan dengan hydrocortisone dan prednisolone.
Kebanyakan pasien dengan karsinoma adrenal meninggal dalam 3 tahun setelah
diagnosis karena terjadi metastasis. Metastasis tersering terjadi di hati dan paru.
Obat utama untuk karsinoma adrenal adakah mitotan. Obat ini menekan
produksi kortisol dan menurunkan kadar kortisol dalam darah dan urine. Obat ini
biasa diberikan 3-4 kali sehari dengan dosis ditingkatkan bertahap 8-10g perhari

5. Fraktur le fort III dan tatalaksananya


Fraktur dimana seluruh wajah terpisah dari basis cranii karena tekanan pada
tulang orbita. Fraktur berjalan dari nasofrontal menuju tulang orbita medial,
sutura orbita superior dan inferior, lalu dinding lateral orbita menuju sutura
zygomaticus anterior.
Gejala:
Mobilitas sepertiga tengah wajah
Gagging karena gigi belakang
Mulut terbuka
Periorbital ecchymosis
Hidung bisa terpisah
Mata: diplopia, subconjunctival hemorrhage
Kerusakan saraf infraorbital
CSF Rhinorrhea
6. Fraktur Maxillofacial dan tatalaksananya

DEFINISI
Fraktur maxillofacial atau fraktur pada wajah dibagi menjad tiga, yaitu fraktur
pada sepertiga atas (diatas alis), sepertiga tengah, dan sepertiga bawah
(mandibular)
Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai fraktur sepertiga tengah
MIDDLE-THIRD FRACTURE (FRAKTUR SEPERTIGA TENGAH)
Berdasarkan lokasi fraktur, fraktur seperti tengah dibagi menjadi
1. Le Fort I (Guerins fracture)
Fraktur dimana alveolar dan palatum terpisah dari tulang wajah diatasnya.
Fraktur berjalan mulai dari apertura piriform nasal, menuju dinding medial
dan lateral sinus maxillaris, hingga pterygoid plates bawah.
Gejala:
Mobilitas tooth-bearing segment pada rahang atas
Oklusi
Krepitasi pada buccal sulcus
Bunyi cracked-pot pada perkusi gigi atas
Hematoma intraoral pada akar zygoma
Hematoma palatum
Memar pada bibir atas dab setengah bawah wajah tengah
2. Le Fort II
Fraktur dengan pola piramida dengan puncak pada nasal bridge, menuju
tulang orbital, sinus ethmoidal, sepanjang sutura sinus maxilla dan
zygomaticomaksilaris, hingga menuju terygoid plates.
Gejala:
Mobilitas maxilla
Gagging karena gigi belakang
Mulut terbuka
Periorbital ecchymosis
Hidung bisa terpisah
Mata: diplopia, subconjunctival hemorrhage
Kerusakan saraf intraorbital
3. Le Fort III
Fraktur dimana seluruh wajah terpisah dari basis cranii karena tekanan
pada tulang orbita. Fraktur berjalan dari nasofrontal menuju tulang orbita
medial, sutura orbita superior dan inferior, lalu dinding lateral orbita
menuju sutura zygomaticus anterior.
Gejala:
Mobilitas sepertiga tengah wajah
Gagging karena gigi belakang
Mulut terbuka
Periorbital ecchymosis
Hidung bisa terpisah
Mata: diplopia, subconjunctival hemorrhage
Kerusakan saraf infraorbital
CSF Rhinorrhea

TATALAKSANA
Tindakan di ruang unit gawat darurat :
Resusitasi dengan tindakan A = Airway, B = Breathing dan C =
Circulation
a. Jalan napas (Airway)
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau
perifer.Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai
dengan pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau
ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru,
emboli paru, atau infeksi.
Tata laksana:
Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
Cari dan atasi faktor penyebab
Kalau perlu pakai ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah
sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan
risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor
ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat
dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/ pneumotoraks, atau syok
septik. Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan,
perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara
dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.
Selain dengan penanganan diatas, untuk investigasi kasus digunakan
pemeriksaan radiografi. Yang paling sering digunakan adalah CT-scan. Berikut
ini adalah posisi CT Scan disesuaikan dengan fraktur yang terjadi
SITE OF FRACTURES

RADIOGRAPHS

Mandible: body and ramus


Mandible: condyles
Maxilla
Zyfomatic complex
Orbital blowouts
Nasal bones
Frontal bones

OPT, Lateral oblique, lower occlusal, PA


mandible
OPT, PA mandible with mouth open,
Toller transpharyngeal views
OM 15 degree and 30 degree, lateral
facial bones
OM 15 degree and 30 degree,
submentovortex
OM 15 degree and 30 degree,
tomograms
Lateral nasal bones, occipitofrontal
Lateral skull, occipitofrontal

Prinsip dari penanganan fraktur Le Fort adalah fiksasi maxilla ke struktur


diatasnya yang lebih stabil. Pada Le Fort III, fiksasi dilakukan pada os. Nasal,
orbita, atau sutura zygomatikum. Atasi juga pendarahan yang terjadi.

Anda mungkin juga menyukai