Anda di halaman 1dari 2

10/12/2016

Mengurai State Capture di Indonesia

Mengurai State Capture di Indonesia


15 May 2016
156
1
Kompleksitas problematika disintegritas seolah tidak pernah pudar menyelimuti bangsa ini.
Problematika yang terjadi sudah merambah ke tataran sektor kehidupan bangsa yang telah sekian
lama masih belum menemui titik temu untuk mengatasinya. Dalam tulisan di bawah ini concern
pembahasaan lebih merujuk pada state capture yang terjadi di Indonesia.
Ada dua alasan utama mengapa state capture dapat berkembang biak di Indonesia. Pertama, secara
kultural, foedalisme menjadi hambatan pemberantasan korupsi. Dalam teori negara patrimonial, relasi
pemimpin atau elite politik sebagai pemegang kekuasaan rakyat bersifat asimetris. Sebagai patron,
elite politik mendominasi sumber daya ekonomi-politik. Siapa pun yang ingin mendapat akses sumber
daya ekonomi maupun politik harus melayani sang patron.
Praktik busuk inilah yang terjadi di lembaga parlemen dan birokrasi pemerintahan kita. Terjadi lingkaran
korupsi yang melibatkan anggota DPR dan birokrat sebagai patron dengan pengusaha sebagai klien.
Proyek baru diberikan kepada pengusaha yang dianggap paling memuaskan dalam memberikan
pelayanan kepada anggota DPR dan birokrat.
Dalam hubungan dyadic dengan DPR, birokrat memerankan diri sebagai klien untuk mendapat
persetujuan atas suatu kebijakan atau anggaran untuk berbagai proyek pembangunan. Kaum birokrat
biasanya mendapatkan dana suap dari pengusaha. Ironisnya, relasi patron-klien dikembangkan melalui
otoritas dan kewenangan partai politik yang semakin besar pascareformasi. Partai adalah produsen
utama pejabat publik, mulai dari presiden hingga bupati. Secara ketatanegaraan, kewenangan DPR
dalam menentukan pejabat dan kebijakan publik juga semakin besar sehingga terjadi legislative heavy.
Alasan kedua mengapa state capture lebih parah adalah manajemen partai yang jauh dari nilai-nilai
transparansi dan akuntabilitas. Rumus korupsi adalah monopoli kekuasaan (monopoly of power)
ditambah dengan diskresi pejabat (discrection of ofcials) minus accountability. Jika akuntabilitas partai
dan transparansi sumber pendanaan partai lemah, kewenangan besar tadi bisa diselewengkan oleh
partai atau elitenya.
Untuk itu, pengaturan dana parpol mutlak dilakukan termasuk pembatasan penerimaan maupun
pengeluaran, baik untuk kebutuhan operasional partai maupun pengeluaran dana saat kampanye. Jika
tak ada pembatasan spending kampanye, partai makin tergantung sumbangan dari pihak ketiga.
Thomas Ferguson, dalam Investment Theory of Party Competition (1995), menyatakan bahwa dalam
sistem politik yang digerakkan oleh uang (money-driven political system), kebijakan-kebijakan politik
tak lebih merupakan kepanjangan tangan kepentingan elite bisnis dan investor.
Tak ada makan siang gratis. Sumbangan pada partai adalah bentuk investasi yang memberikan return
http://www.gerak-an.com/2016/05/15/opini/mengurai-state-capture-di-indonesia/

1/2

10/12/2016

Mengurai State Capture di Indonesia

berupa kendali atas negara. Pelan tapi pasti, pusat kekuasaan bergeser ke arah plutarchy
(penguasaan negara oleh oligarki kaya) karena parpol akan tereduksi menjadi sekedar bawahan
segelintir elite korporasi. Partai atau kadernya tak lebih menjadi proksi atau anak perusahaan yang
kebetulan ditempatkan di DPR dan birokrasi pemerintahan.

http://www.gerak-an.com/2016/05/15/opini/mengurai-state-capture-di-indonesia/

2/2

Anda mungkin juga menyukai