Tonsilektomi
Pendahuluan
Latar Belakang
Tonsilektomi merupakan cara untuk mengatasi peradangan tonsil yang sudah
tidak bisa diobati dengan menggunakan obat. Peradangan tonsil atau tonsilitis ini akan
membesar dan mengganggu sesorang untuk bernafas dan menelan makanan atau pun
minuman jika tidak segera di operadi tonsilektomi. Tonsilektomi ini merupakan
operasi yang cukup sering dilakukan dalam dunia kesehatan, selain karena mudah
dilakukan juga tidak memiliki resiko yang besar saat penanganannya. Walaupun
begitu kita harus tetap bersikap waspada terhadap resiko yang mungkin terjadi.
Semua jenis operasi memiliki tahapan tahapan yang sesuai prosedur
kesehatan yang harus dilalui. Tahapan itu dibagi menjadi tiga tahap yaitu pre operasi
( sebelum operasi ), intra operasi ( pelaksanaan operasi ), dan pasca operasi ( setelah
operasi ). Petugas kesehatan yang akan melakukan operasi harus mengerti betul
tahapan tahapan tersebut. Dalam hal tonsilektomi ini petugas kesehatan tersebut
adalah dokter umum, dokter anestesi, dokter THT, dokter bedah umum, dan perawat.
Penanganan operasi tonsilektomi yang baik akan menghasilkan hasil yang maksimal
dan membuat pasien kembali sehat. Ini adalah tujuan semua dokter.
Untuk mengetahui lebih jelasnya dan untuk meningkatkan pemahaman tentang
apa itu tonsilitis, tonsilektomi, dan bagaimana langkah langkah operasi tonsilektomi
serta apa saja hal yang bersangkutan dengan tonsilektomi, maka dalam makalah ini
penulis akan menjelaskannya melalui pembahasan suatu kasus yang berkaitan dengan
dengan tema tersebut.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang sesuai dan dipilih untuk makalah ini adalah Seorang
perempuan membawa surat dari dokter THT untuk di rawat dan dirujuk ke dokter
anestesi untuk persiapan pre operasi. Penulis memilih rumusan masalah ini karena
sudah sesuai dengan kasus yang diberikan dan sesuai dengan tema yang akan
dijelaskan dalam makalah ini.
Tujuan
Penulisan makalah ini memiliki beberapa dasar tujuan. Tujuan tersebut adalah
meningkatkan pemahaman mahasiswa dan mahasiswi atau calon dokter di Fakultas
Kedokteran Ukrida mengenai penjelasan tentang tahapan tahapan operasi
tonsilektomi, serta hal hal lain yang berkaitan dengan tonsilektomi. Pengetahuan
pengetahuan yang akan dibahas melalui skenario di dalam makalah ini dapat menjadi
informasi yang berguna bagi mahasiswa dan mahasiswi dalam perkuliahan dan
kehidupan sehari hari.
Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang dapat diambil dari makalah ini adalah dapat
menjelaskan mengenai apa itu tonsilitis, tentang tahapan tahapan operasi
tonsilektomi, serta hal hal lain yang berkaitan dengan tonsilektomi.
Isi
Contoh kasus:
Seorang pasien perempuan, datang ke bagian pendaftaran rawat inap RS
dengan membawa surat permintaan rawat dari dokter spesialis THT. Di dalam surat
tersebut, dokter tersebut akan melakukan tindakan tonsilektomi dan dirujuk ke bagian
anestesi untuk penanganan perioperatif operasi tonsilektomi esok hari.
Pembahasan
Anatomi Tonsil
Tonsil merupakan dua kumpulan jaringan limfosit yang terletak di kanan dan kiri
faring diantara tiang tiang lengkung fauces. Tonsil dijelajahi pembuluh darah dan pembuluh
limfe serta mengandung banyak limfosit. Permukaan tonsil ditutupi membran mukosa yang
bersambung dengan bagian bawah faring. Permukaan ini penuh dengan menuangkan
sekresinya. Mukus ini mengandung banyak limfosit. Dengan demikian tonsil bekerja sebagai
garis depan pertahanan dalam infeksi yang tersebar dari hidung, mulut, dan tenggorok.
Meskpun demikian tonsil bisa gagal menahan infeksi, yaitu ketika terjadi tonsilitis
(peradangan tonsil) atau abses peritonsiler. Setelah pengobatan dengan antibiotika dan
pengobatan lokal, maka tonsilektomi dapat dipertimbangkan.1
Tonsil terdiri atas berada di tengah struktur telinga, hidung, dan tenggorokan, tonsil
sebenarnya terdiri atas tiga pasang.1
1. Tonsil faringealis, terletak pada dinding belakang saluran napas bagian atas atau
faring dan di belakang hidung.
2. Tonsil palatina pada sisi kiri dan kanan - pada lengkungan antara anak lidah dan dasar
mulut (amandel). Tonsil ini dilapisi epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk.
3. Tonsil lingualis, yang letaknya di permukaan atas pangkal lidah. Susunan tonsil ini
sama seperti tonsil palatina yaitu tersusun dari epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk.
Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan umum dan pembengkakan dari jaringan tonsila yang
biasanya disertai dengan pengumpulan leukosit, sel sel epitel mati, dan bakteri patogen
dalam kripta.
Tonsilitis akut4
1. Etiologi
Tonsilitis bakterial supurativa akut paling sering disebabkan oleh Grup A
Streptococcus beta hemolitikus. Meskipun pneumokokus, staphylococcus, dan
haemophillus influenzae juga virus patogen dapat dilibatkan. Kadang kadang
streptococcus non hemolitikus atau streptococcus viridans, ditemukan pada biakan,
biasanya pada kasus kasus berat.
2. Patofisiologi
Infeksi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi
radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus.
Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas.
Secara klinis detritus ini mengisi kripta dan tampak sebagai bercak kuning. Perbedaan
strain atau virulensi dari penyebab tonsilitis dapat menimbulkan variasi dalam fase
patologi sebagai berikut:
a. Peradangan biasa pada area tonsil saja
b. Pembentukan eksudat
c. Selulitis pada tonsil dan daerah sekitarnya
d. Pembentukan abses peritonsilar
e. Nekrosis jaringan
Bentuk tonsilitis akut dengan destritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis,
bila bercak bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur alur maka akan
4
menjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk
membrane semu (pseudomembran) yang menutupi tonsil.
3. Gejala dan tanda
Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorokan, nyeri
waktu menelan dan pada kasus berat penderita menolak makan dan minum melalui
mulut. Biasanya juga disertai demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa nyeri pada
sendi sendi, tidak nafsu makan, dan nyeri pada telinga. Rasa nyeri di telinga ini
karena nyeri alih melalui n. Glossofaringeus. Seringkali disertai adenopati servikalis
disertai nyeri tekan. Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis, dan
terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna, atau tertutup oleh membran semu. Kelenjar
submandibula membengkak dan nyeri tekan.
4. Pengelolaan
Pada umumnya penderita dengan tonsilitis akut serta demam sebaiknya tirah
baring, pemberian cairan adekuat serta diet ringan. Analgetik oral efektif untuk
mengurangi nyeri.terapi antibiotik dikaitkan denga biakan dan sensitivitas yang tepat.
Penisilin masih merupakan obat pilihan, kecuali jika terdapat resistensi terhadap
penisilin. Pada kasus resistensi penisilin, eritromisin atau antibiotik spesifik yang
efektif sebaiknya digunakan. Pengobatan sebaiknya diberikan selama lima sampai
sepuluh ahri. Jika hasil biakan didapatkan Streptococcus beta hemolitikus terapi yang
adekuat dipertahankan selama sepuluh hari untuk menurunkan kemungkinan
komplikasi non supurativa seperti nefritis dan jantung rematik.
Efektivitas obat kumur masih dipertanyakan, terutama apakah cairan dapat
berkontak dengan dinding faring, karena dalam beberapa hal cairan ini tidak mengenai
lebih dari tonsila palatina. Akan tetapi pengalaman klinis menunjukan bahwa dengan
berkumur yang dilakukan secara rutin menambah rasa nyaman pada penderita dan
mungkin dipengaruhi beberapa tingkat perjalanan penyakit.
Tonsilitis Kronik
1. Etiologi
Tonsilitis kronik merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua
penyakit tenggorokan yang berulang. Faktor predisposisi tonsilitis kronik adalah
rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang
buruk pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat. Radang pada tonsil dapat disebabkan kuman Grup A Streptococcus beta
hemolitikus, Pneumococcus, Streptococcus viridans, dan Streptococcus piogenes.
Gambaran klinis bervariasi dan diagnosa sebagian besar tergantung pada infeksi.6
5
tonsilitis
yang
paling
banyak
streptococcus group A.
Otistis Media Akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan
dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan
gendang telinga
Mastoiditis Akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel
sel mastoid.
Larigitis
Pre Operasi
a. Anamnesis
Seperti biasa anamnesis dilakukan terlebih dahulu. Hal hal yang ditanyakan
-
inhibitor.
Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dilakukan di waktu yang lalu, berapa kali
dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan
b. Informed consent
Informed consent ini dilakukan untuk meminta persetujuan pasien untuk
dilakukan tindakan medis terhadap dirinya maupun orang yang bersangkutan dengan
dirinya. Informed consent dilakukan secara oral dan tertulis. Pada saat melakukan
informed consent, pasien akan dijelaskan tindakan medis apa yang diberikan terhadap
dirinya, langkah langkahnya bagaimana, apa alat atau obat yang digunakan, untuk
apa tindakan itu dilakukan, dan apa efeknya terhadap pasien jika tindakan medis itu
dilakukan ataupun tidak dilakukan.8
c. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka
mulut, lidah relative besar sangat penting diketahui untuk memeriksa kesulitan
melakukan tindakan laringoskop intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan
menyulitkan pemasangan laringoskop intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi semua sistem organ
tubuh pasien.8
d. Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan penyakit
yang sedang dicurigai. Uji laboratorium yang biasanya dilakukan sebelum operasi
adalah pemeriksaan darah seperti Hb, Ht, leukosit, masa perdarahan, masa
pembekuan, golongan darah, dan rhesus. Pada pasien usia 40 tahun ke atas ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.8
e. Masukan oral
Refleks laring mengalamin penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada
pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan resiko tersebut, semua pasien
yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari
masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien
dewasa umumnya puasa dilakukan 6 8 jam, anak anak 4 6 jam, dan bayi 3 4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman
bening, air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.8
f. Klasifikasi status fisik
Skor ASA
ASA (American Society of Anasthesiologist) adalah klasifikasi yang lazim
digunakan untuk menilai status fisik pasien pre anestesi. Klasifikasi ini berasal dari
The American Society of Anesthesiologist yang terdiri dari:
Tabel 1. Klasifikasi ASA dari status fisik.9
Kelas
I
II
III
Status Fisik
Pasien normal yang sehat
Pasien dengan penyakit sistemik ringan
Pasien dengan penyakit sistemik berat
Contoh
Pasien bugar dengan hernia inguinal
Hipertensi esensial, diabetes ringan
Angina,
insufisiensi
pulmoner
IV
terhadap kehidupan
Pasien sekarat yang diperkirakan tidak Ruptur aneurisma aorta, emboli paru
bertahan selama 24 jam dengan atau massif
tanpa operasi
Kasus kasus
emergensi
diberi
Kelas III
Kelas IV
faring,
uvula,
tertutup
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya: 11
tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan
dan menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral
10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena
penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam.
Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin
misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum
jadwal operasi. Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansentron 2-4 mg
h. Pilihan Anestesi
Anestesi yang digunakan pada kasus ini adalah anestesi umum. Obat anestesi umum
diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena
- Anastetik inhalasi
Nitrogen oksida yang stabil pada tekanan suhu kamar merupakan salah satu
anestetik gas yang banya dipakai karena dapat digunakan dalam bentuk
kombinasi dengan anestetik lainnya. Halotan, enfluran, isofluran, desfluran dan
metoksifluran merupakan zat cair yang mudah menguap. Anastesi inhalasi
-
10
yang mendapat pernafasan untuk waktu yang lama. Anastetik yang termasuk
intravena :
i. Induksi Anastesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah
pasien tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan
anestesi sampai tindakan pembedahan selesai.9
Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obatobat yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan
lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata
STATICS:
Tabel 3. Persiapan induksi anastesi.
S : Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop pilih bilah
atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T : Tubes Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan usia > 5
tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway Pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-faring (nasotracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya
lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I : Introducer Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah dimasukkan
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya
Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi,
intramuskular, atau rectal.
Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang
jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya
11
yang paling dapat diandalkan untuk mencapai stadium operasi adalah hilangnya
refleks kelopak mata dan adanya pernapasan yang dalam dan teratur.
k. Teknik anastesi
Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka
Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut,
keadaan umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.
Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang,
sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik
kebelakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernafasan lancer.
N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi,
bersamaan dengan ini halotan dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit
dinaikkan dengan 1% sampai 3 atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh
penderita.
Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi
tidak cepat, dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau stadium
anesthesia sudah cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring
(guedel). Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap
rangsang operasi. Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa menit sebelum
operasi selesai. Selesai operasi, N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100%
beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi.
Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi
dengan sungkup muka.
Setelah induksi, dapat
dilakukan
intubasi.
Balon
pipa
endotrakea
dikembangkan sampai tidak ada kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan
dengan balon nafas. Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan
tidak masuk terlalu dalam yaitu di salah satu bronkus atau di eosofagus. Pipa
endotrakea di fiksasi, lalu pasang guedel di mulut supaya pipa endotrakea tidak
tergigit. Lalu mata ditutup dengan plester supaya tidak terbuka dan kornea tidak
menjadi kering. Lalu pipa endotrakea dihubungkan dengan konektor pada sirkuit
nafas alat anestesi.
Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali
Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas. Nafas dikendalikan secara
manual atau dengan respirator. Bila menggunakan respirator setiap inspirasi
(volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan frekuensi 10/14 per menit.
Apabila nafas dikendalikan secara manual, harus diperhatikan pergerakan dada
kanan dan kiri yang simetris. Menjelang akhir operasi setelah menjahit lapisan otot
14
selesai diusahakan nafas spontan dengan membantu usaha nafas sendiri secara
manual. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N2O
dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit. Ekstubasi dapat dilakukan setelah
nafas spontan normal kembali dengan volume tidal 300 ml. O2 diberi terus 5-6 L
selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi.
Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai
batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.
Intra Operasi
A. Tonsilektomi
Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan
patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma yang
berarti pada jaringan sekitarnya seperti uvula dan pilar.
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi Absolut
1) Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan nafas yang kronis
2) Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apneu waktu tidur
3) Hipertofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat
badan penyerta
4) Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma)
5) Abses perotinsiler yang berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan
sekitarnya
6) Tonsilitis kronis walaupun tanpa eksaserbasi akut tapi merupakan fokal infeksi
7) Karier difteri
8) Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam.
Indikasi Relatif
1) Terjadi Serangan tonsilitis akut berulang (yang terjadi walau telah diberi
penatalaksanaan medis yang adekuat).
2) Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus yang menetap dan
patogenik (karier).
3) Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional.
4) Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi
mononukleosis.
5) Riwayat demam rematik dengan kerusakan jantung yang berhubungan dengan
tonsilitis rekurens kronis dan pengendalian antibiotika yang buruk.
6) Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respon terhadap
penatalaksanaan medis.
7) Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas orofasial
dan gigi geligi yang menyempitkan jalan nafas bagian atas.
15
banyak ahli bedah bila tidak dilakukan adenoidektomi.1 Berbagai teknik diseksi baru
telah ditemukan dan dikembangkan disamping teknik diseksi standar, yaitu:
-
Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan. Densitas
baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat kerusakan bagian
jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan
yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang. Pengurangan jaringan
juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan pada medium penghantar
seperti larutan salin. Partikel yang terionisasi pada daerah ini dapat menerima
cukup energi untuk memecah ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini terjadi
pada suhu rendah (40C-70C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang rusak.
Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie, Elmed Surgitron
system (bekerja pada frekuensi 3,8 MHz), the Somnus somnoplasty system
(bekerja pada 460 kHz), the ArthroCare coblation system dan Argon plasma
coagulators. Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya, ablasi
sebagian atau berkurang volumenya. Penggunaan teknik radiofrekuensi dapat
18
atau defisiensi faktor VIII dan pasien yang mendapatkan terapi antikoagulan.
Coblation
19
menggunakan
mikrodebrider
endoskopi.
Meskipun
mikrodebrider
berkurang. Tekhnik ini direkomendasikan untuk tonsilitis kronik dan rekuren, sore
throat kronik, halitosis berat atau obstruksi jalan nafas yang disebabkan
pembesaran tonsil.
C. Penyulit Tonsilektomi
Berikut ini keadaan-keadaan yang memerlukan pertimbangan khusus dalam
melakukan tonsilektomi maupun tonsiloadenoidektomi pada anak dan dewasa:
1. Kelainan anatomi:
- Submucosal cleft palate (jika adenoidektomi dilakukan)
- Kelainan maksilofasial dan dentofasial
2. Kelainan pada komponen darah:
- Hemoglobin < 10 g/100 dl
- Hematokrit < 30 g%
- Kelainan perdarahan dan pembekuan (Hemofilia)
3. Infeksi saluran nafas atas, asma, penyakit paru lain
4. Penyakit jantung kongenital dan didapat (MSI)
5. Multiple Allergy
6. Penyakit lain, seperti:
- Diabetes melitus dan penyulit metabolik lain
- Hipertensi dan penyakit kardiovaskular
- Obesitas, kejang demam, epilepsi
D. Komplikasi Bedah
1) Perdarahan
Komplikasi perdarahan dapat tejadi selama operasi belangsung atau segera setelah
penderita meninggalkan kamar operasi (24 jam pertama post operasi) bahkan
meskipun jarang pada hari ke 5 -7 pasca operasi dapat terjadi perdarahan
disebabkan oleh terlepasnya membran jaringan granulasi yang terbentuk pada
permukaan luka operasi, karena infeksi di fossa tonsilaris atau trauma makanan
keras.
dengan gas ke dalam fossa, kauterisasi atau penjahitan ke pilar dengan anastesi
lokal atau umum.
2) Infeksi
Luka operasi pada fossa tonsilaris merupakan port dentre bagi mikroorganisme,
sehingga merupakan sumber infeksi dan dapat terjadi faringitis, servikal adenitis
dan trombosis vena jugularis interna, otitis media atau secara sistematik dapat
terjadi endokarditis, nefritis dan poliarthritis, bahkan pernah dilaporkan adanya
komplikasi meningitis dan abses otak serta terjadi trombosis sinus cavernosus.
Komplikasi pada paru-paru serperti pneumonia, bronkhitis dan abse paru biasanya
terjadi karena aspirasi waktu operasi. Abses parafaring dapat timbul sebagai
akibat suntikan pada waktu anastesi lokal. Pengobatan komplikasi infeksi adalah
21
pemberian antibiotik yang sesuai dan pada abses parafaring dilakukan insisi
drainase.
3) Nyeri pasca bedah
Dapat terjadi nyeri tenggorok yang dapat menyebar ke telinga akibat iritasi ujung
saraf sensoris dan dapat pula menyebabkan spasme faring.
Sementara dapat
22
o Pada pasien ini diperoleh kebutuhan cairan basalnya adalah sebagai berikut :
(4x 10 kg) + (2x10 kg) + (1x 40 kg) = 100 cc
Kebutuhan cairan operasi (O) :
o Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang peritoneum, ruang
ketiga, atau ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung pada besar
kecilnya pembedahan, 6-8 ml/kg untuk operasi besar, 4-6 ml/kg untuk operasi
sedang, dan 2-4 ml/kg untuk operasi kecil.
o Pada pasien ini diperoleh kebutuhan cairan operasinya adalah sebagai berikut :
Operasi sedang x Berat badan : 6 x 60 kg = 360 cc
Kebutuhan cairan puasa (P) ;
Lama jam puasa x kebutuhan cairan basal
8 x 100 = 800 cc
Pemberian cairan jam pertama :
Kebutuhan cairan basal + kebutuhan cairan operasi + 50% kebutuhan cairan
puasa
100 cc + 360 cc + 400 cc = 860 cc
Pada pasien diberikan antibiotik untuk pencegahan infeksi yaitu cefotaxime 1gr.
Cefotaxime merupakan antibiotik spektrum luas yang dapat digunakan terhadap
berbagai kuman gram-positif maupun negatif. Obat ini merupakan golongan
sefalosporin generasi ketiga.
Tramadol 100 mg diberikan pada sebagai analgetik kuat dan bekerja secara
sentral, pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga memblok sensasi nyeri dan respon
terhadap nyeri. Tramadol adalah analog kodein sintetik yang merupakan reseptor yang
lemah. Tramadol diberikan secara iv drip pada pasien. Tramadol mengalami
metabolisme di hati dan di ekskresi oleh ginjal. Lama anaslgesi dari obat ini adalah
sekitar 6 jam dengan dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 400 mg per hari.
Ketorolac 30 mg diberikan sebagai analgetik non opioid digunakan sebagai tambahan
penggunaan opioid dosis rendah untuk menghindari efek samping opioid yang berupa
depresi pernapasan. Sifat analgentik ketorolac setara dengan opioid (30mg ketorolac =
100 mg petidin = 12 mg morfin), sedangkan sifat antipiretik dan anti infamasinya
23
rendah. Cara kerja ketorolac adalah menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa
mengganggu reseptor opioid di sistem saraf pusat.
Selama operasi keadaan pasien stabil. Setelah operasis selesai, observasi
dilanjutkan pada pasien di recovery room, dimana dilakukan pemantauan tanda vital
meliputi tekanan darah, nadi, respirasi dan saturasi oksigen dan menghitung aldrete
score.
Post - Operasi
Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah operasi
dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila pasien gelisah,
harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah menurun, nadi
cepat) misalnya karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan).
Skor Aldrete
Skor aldrete adalah suatu kriteria untuk menilai keadaan pasien selama observasi di
ruang pemulihan (recovery room) yang digunakan untuk menentukan boleh tidaknya
pasien dikeluarkan dari ruang pemulihan. Kriteria yang digunakan dan umumnya yang
dinilai pada saat observasi di ruang pulih adalah warna kulit atau saturasi O 2, kesadaran,
sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik. Idealnya, pasien baru boleh dikeluarkan bila
jumlah skor total adalah 10 (skor maksimal). Namun, bila skor total telah di atas 8 ,
pasien boleh keluar dari ruang pemulihan. 4
Tabel 4. Aldretes Score4
Kriteria
Skor
Kesadaran
Sadar penuh
24
Penutup
Kesimpulan
Tonsilitis adalah peradangan di daerah tonsil yang menimbulkan gejala nyeri
tenggorokan, sulit menelan, tidak nafsu makan, dan lain lain. Selain obat dan tirah
baring, jika penyakit ini sangat mengganggu si penderita bisa dilakukan tonsilektomi.
Pada tonsilektomi, anastesi yang digunakan adalah anastesi umum. Dalam melakukan
pembedahan perlu diperhatikan teknik dan obat anastesi serta teknik pembedahannya.
Tindakan pre-operasi dilakukan untuk mempersiapkan pasien yang akan dibedah,
intra operasi adalah saat pembedahan, dan pasca operasi adalah tindakan yang harus
dilakukan terhadap pasien setelah pembedahan. Tonsilektomi merupakan pembedahan
yang cukup sering di lakukan namun jika tidak memperhatikan tindakan tindakan
pre, intra, dan pasca operasi dengan benar dapat menimbulkan komplikasi yang dapat
membahayakan dan merugikan pasien.
Daftar Pustaka
25
9. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Ed ke-2.
Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: Jakarta;2009.h.325-7.
10. Skor Mallampati. Diunduh tanggal 15 November 2015 dari http://medicinesia.com
11. Drake A. Tonsillectomy. http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm/emed-tonsilektomi
diakses tanggal 15 November 2015.
12. Efiaty, Soepardi T. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Ed
7. Jakarta: FK-UI; 2005.h.167-8.
26