Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sklerosis Sistemik adalah penyakit sistemik kronis yang ditandai dengan penebalan dan
fibrosis kulit (sklerosis sistemik) dengan keterlibatan organ internal yang luas terutama paru,
saluran cerna, jantung dan ginjal. Stadium dini dari penyakit ini berhubungan dengan
gambaran inflamasi yang menonjol, diikuti dengan perubahan struktural dan fungsional yang
menyeluruh pada mikrovaskular dan disfungsi organ yang progresif akibat dari proses
fibrosis.1
Sklerosis sistemik adalah penyakit sporadis dengan distribusi yang luas diseluruh dunia
dan menyerang semua ras. Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyaknya kasus yang
tidak dilaporkan, apalagi pada kasus yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada
masyarakat umum di Carolina Selatan Amerika Serikat, mendapatkan prevalensi sebesar 1975 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita dan laki-laki 9,4:1. Pada
penelitian di Tennesee Amerika Serikat , ternyata jumlah pasien sklerosis sistemik pada
wanita usia reproduksi (20-44 tahun) sebesar 15 kali jumlah pasien laki-laki pada usia yang
sama, sedangkan pada wanita usai 45 tahun atau lebih frekuensinya hanya 1,8 kali laki-laki
pada usia yang sama. Penelitian di Inggris, Australia dan Jepang menunjukkan insiden yang
lebih rendah dibandingkan di Amerika Serikat, sementara du Indonesia tepatnya di poliklinik
reumatologi RSCM terdapat 43 kasus dalam kurun waktu 2 tahun (2007-2008), dengan
perbandingan wanita dan pria adalah 9,8 :1 dengan median usia adalah 32 tahun.1-2
Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun sklerosis sistemik pada ras kulit
berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa beberapa faktor
lingkungan mungkin berhubungan dengan timbulnya sklerosis sistemik misalnya debu silika
dan implantasi silikon. Beberapa bahan kimia seperti vinilklorida, epoksin-resin,
trikoloroetilen serta obat-obatan seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan juga diketahui
berhubungan dengan timbulnya sklerosis sistemik, walaupun prevalensinya jarang namun
sekitar 50 % pasien meninggal atau mengalami komplikasi pada organ mayor dalam 3 tahun
setelah didiagnosis.1-2

Mengingat angka mortalitas yang tinggi dan komplikasi yang dapat terjadi, penulis
merasa perlu membuat referat tentang sklerosis sistemik untuk mengetahui gambaran umum,
cara menegakkan diagnosis dan penatalaksanaanya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Sklerosis Sistemik adalah penyakit sistemik kronis yang ditandai dengan penebalan dan
fibrosis kulit (sklerosis sistemik) dengan keterlibatan organ internal yang luas terutama paru,
saluran cerna, jantung dan ginjal. Stadium dini dari penyakit ini berhubungan dengan
gambaran inflamasi yang menonjol, diikuti dengan perubahan struktural dan fungsional yang
menyeluruh pada mikrovaskular dan disfungsi organ yang progresif akibat dari proses
fibrosis. Sklerosis sistemik ditandai oleh adanya indurasi dan penebalan kulit ,fibrosis dan
obliterasi pembuluh darah kulit, paru, pencernaan, ginjal dan jantung. Penyakit ini
berhubungan dengan adanya antibody anti nuclear spesifik, terutama antigen- sentromer dan
anti sklero-70 (anti-Scl-70). 1-2
B. Epidemiologi
Sklerosis sistemik adalah penyakit sporadis dengan distribusi yang luas diseluruh dunia dan
menyerang semua ras. Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyaknya kasus yang
tidak dilaporkan, apalagi pada kasus yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada
masyarakat umum di Carolina Selatan Amerika Serikat, mendapatkan prevalensi sebesar 1975 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita dan laki-laki 9,4:1. Pada
penelitian di Tennesee Amerika Serikat , ternyata jumlah pasien sklerosis sistemik pada
wanita usia reproduksi (20-44 tahun) sebesar 15 kali jumlah pasien laki-laki pada usia yang
sama, sedangkan pada wanita usai 45 tahun atau lebih frekuensinya hanya 1,8 kali laki-laki
pada usia yang sama. Penelitian di Inggris, Australia dan Jepang menunjukkan insiden yang
lebih rendah dibandingkan di Amerika Serikat, sementara du Indonesia tepatnya di poliklinik
reumatologi RSCM terdapat 43 kasus dalam kurun waktu 2 tahun (2007-2008), dengan
perbandingan wanita dan pria adalah 9,8 :1 dengan median usia adalah 32 tahun.1-2
Sklerosis sistemik adalah penyakit yang jarang dan sebagian besar penelitaian
epidemiologi deskriptif berasal dari penelitian retrospektif dan prospektif pasien yang masuk
rumah sakit atau penelitian pada populasi yang dicurigai. Hanya terdapat satu penelitian
berbasis populasi yang dilakukan oleh Maricq dkk tahun 1989. Penelitian prevalensi di
Inggris oleh Allock dkk tahun 2004 menemukan frekuensi yang lebih tinggi yaitu 12 diantara
100.000 penduduk, serupa dengan penelitian Mayes dkk 2003 di Amerika utara dan
penelitian Roberts-Thomson dkk 2001 di Australia. 2

Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun sklerosis sistemik pada ras kulit
berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa beberapa faktor
lingkungan mungkin berhubungan dengan timbulnya sklerosis sistemik misalnya debu silika
dan implantasi silikon. Beberapa bahan kimia seperti vinilklorida, epoksin-resin,
trikoloroetilen serta obat-obatan seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan juga diketahui
berhubungan dengan timbulnya sklerosis sistemik.1-2
Kesimpulan dari studi demografik ini didapatkan bahwa penyakit ini jarang terjadi pada
anak-anak dan insidennya meningkat sesuai dengan penambahan usia. Insiden yang jarang
ini menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan penting dalam kerentanan
yang terjadi pada populasi.1-2
C. Etiologi
1. Faktor genetik
Faktor genetik berperan dalam kerentanan individu terhadap penyakit ini.

Suatu

penelitian menunjukkan adanya peningkatan 13 sampai 15 kali kemungkinan terjadinya


sklerosis sistemik pada saudara dari penderita sklerosis sistemik. Penelitian lain
menunjukkan bahwa sklerosis sistemik terjadi secara signifikan pada keluarga dengan
sklerosis

sistemik

(1,6%) dibandingkan pada populasi umum ( 0,026%). Penelitian

genetik saat ini difokuskan pada polimorfisme gen kandidat, terutama gen yang
berhubungan dengan regulasi imunitas, inflamasi, fungsi vaskuler dan homeostasis jarigan
ikat. Hubungan yang lemah antara single nucleotide polymorphisms (SNPs) denagan
sklerosis sistemik telah dilaporkan pada gen yang mengkode

angiotensin-converting

enzyme (ACE), endothelin 1, nitric oxide synthase, B-cell markers (CD19), kemokin
(monocyte chemoattractantprotein 1) dan reseptor kemokin, sitotokin (interleukin (IL)-1
alpha, IL-4, dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha), growth factors dan reseptornya
(connective tissue growth factor [CTGF] and transforming growth factor beta [TGF-beta])
dan protein matriks ekstraseluler (fibronectin, fibrillin, and SPARC).2-3
2. Faktor lingkungan
Agen infeksius terutama virus, paparan toksin lingkungan dan pekerjaan serta obatobatan telah dicurigai dapat mencetuskan sklerosis sistemik. Pada pasien dengan sklerosis
sistemik ditemukan peningkatan antibodi terhadap human cytomegalovirus (hCMV) dan
antitopoisomerase I autoantibodies yang dapat memicu terjadinya apoptosis dan aktifasi
fibroblast kulit. Hal ini terjadi melalui proses mimikri molekuler antara hCMV dengan

host. Penelitian lain menunjukkan implikasi infeksi hCMV pada vaskulopati allograft pada
transplantasi organ padat. Vaskulopati ini dicirikan dengan pembentukan neointima
vaskuler, proliferasi otot polos dan vaskulopati obliteratif. hCMV dapat secara langsung
menginduksi produksi CTGF pada fibroblast yang terinfeksi.2-3
Beberapa peneliti melaporkan terjadinya peningkatan insiden sklerosis sistemik pada
pekerja yang terpapar silika. Paparan kerja lainnya yang mungkin berhubungan dengan
sklerosis sistemik adalah polyvinyl chloride, epoxy resins dan aromatic hydrocarbons
(toluene, trichloroethylene). Obat-obatan yang berhubungan dengan kejadian sklerosis
sistemik adalah bleomycin, pentazocine, cocaine dan penekan nafsu makan (terutama
derivat fenfluramine). 2-3
D. Klasifikasi
Sklerosis sistemik terbagi menjadi sklerosis sistemik difusa dan sklerosis sistemik terbatas,
pada sklerosis sistemik difusa terjadi penebalan kulit di ekstremitas distal dan proksimal
muka dan seluruh tubuh sedangkan pada sklerosis sistemik terbatas penebalan kulit terbatas
pada ekstremitas distal namun dapat juga daerah wajah. Sistemik sklerosis difusa terjadi pada
20% pasien, sistemik sklerosis terbatas terjadi pada 80% pasien.1-2

Tabel 1. Perbedaan antara sklerosis sistemik terbatas dan sklerosis sistemik difusa 1-2
Tampilan

Sklerosis Sistemik Terbatas

Sklerosis Sistemik Difus

Kulit yang terlibat Terbatas pada jari, lengan distal,


wajah, progresifitas lambat
Fenomena
Mendahului keterlibatan kulit;
Raynaud
berhubungan dengan iskemia
Fibrosis pulmonal Mungkin terjadi, moderat

Difus: jari-jari, ekstremitas, wajah,


badan, progresifitas cepat
Sejalan dengan keterlibatan kulit

Hipertensi arteri Sering, lambat, mungkin terisolasi


pumonal
Krisis
renal Sangat jarang
sklerosis sistemik

Dapat terjadi, berhubungan dengan


fibrosis pulmonal
15 % terjadi; diawal

Sering, awal dan berat

Kalsinosis kutis

Sering, menonjol

Dapat terjadi, ringan

Karakteristik
autoantibodi
Prognosis

Antisentromer

Antitopoisomerase (Scl-70)

Baik, survival rate untuk 10 tahun Buruk, survival rate untuk 10 tahun
>70%
40-60%

E. Patogensis
Faktor genetik dan lingkungan berperan dalam patogenesis sklerosis sistemik dan pada
sebagian besar pasien tampaknya kerentanan host merupakan factor kunci yang dapat
mencetuskan penyakit. Patogenesis Sklerosis sistemik terdiri dari proses vaskulopati, aktivasi
respon imun seluler dan humoral serta progresivitas fibrosis organ multipel. Autoimunitas,
perubahan fungsi sel endotel dan aktifitas vaskuler mungkin merupakan manifestasi dini dari
Sklerosis sistemik berupa fenomena raynaud yang terjadi bertahun-tahun sebelum gambaran
klinis lain muncul.3-4
Sel target utama dari respon imun adalah sel endotel dan fibroblast. Makrofag, sel mast,
eosinofil dan basofil jumlahnya meningkat dalam darah dan jaringan sklerosis sistemik yang
aktif. Sel-sel ini mampu memproduksi mediator larut yang dapat memodifikasi fungsi endotel
dan fibroblast. Sebagai contoh sel mast menghasilkan histamin yang menstimulasi proliferasi
dan sintesis matriks oleh fibroblast dan menyebabkan retraksi sel endotel.3-4
Cedera vaskuler dini pada penderita yang secara genetik rentan terhadap scleroderma, akan
menyebabkan perubahan fungsi dan struktur vaskuler, inflamasi dan terjadinya autoimunitas.
Inflamasi dan respon imun akhirnya menyebabkan sel fibroblast teraktifasi dan berdifernsiasi
secara terus menerus, menghasilkan fibrogenesis yang patologis dan kerusakan jaringan yang
ireversibel.3-4

1. Vaskulopati
Pada sklerosis sistemik keterlibatan vaskuler yang terjadi tersebar luas dan penting
dalam implikasi klinis. Fenomena Raynaud, sebagai manifestasi awal penyakit ditandai
dengan perubahan respon aliran darah pada suhu dingin. Perubahan ini awalnya reversibel,
terjadi akibat perubahan sistem saraf otonom dan perifer dengan kurangnya produksi
neuropeptida seperti calcitonin gen-related peptide dari aferen saraf sensoris dan
peningkatan sensitifitas reseptor alpha 2-adrenergik pada sel otot polos vaskuler. Pada
fenomena Raynaud primer gejala klinis relative lebih ringan dan tidak progresif seperti
halnya sklerosis sistemik yang mengakibatkan perubahan morfologi dan fungsi sirkulasi
yang ireversibel dan mengakibatkan cedera endotel.3-4

Tabel 2. Perbedaan fenomena raynaud primer dengan fenomena raynaud pada sklerosis sistemik
Fenomena raynaud

Sklerosis sistemik

Perempuan :laki-laki
Frekuensi serangan perhari
Faktor pencetus
Umur mulai timbul
Proliferasi intimal
Antibodi antinuclear
Antibodi antisentromer
Antibodi anti-sel-70
Kapilaroskopi abnormal
Aktifasi trombosit in vivo

primer
20:1
> 10 kali
Dingin
Pubertas
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

4:1
> 5kali
Dingin
Pada usia yang lebih tua
Positif
90%-95%
50%-60%
20%-30%
>95%
>75%

Di dalan sel endotel terdapat perubahan produksi dan responsifitas endothelium-derived


factors yang memediasi vasodilatasi (nitric oxide, prostacyclin) dan vasokonstriksi
(endothelin-1). Terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah

mikro sehingga

diapedesis leukosit transendotelial meningkat, aktifasi kaskade koagulasi dan fibrinolitik


serta agregasi trombosit. Trombosit yang diaktifkan akan menghasilkan vasokonstriktor,
seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT), tromboksan-Az (Tx-Az) dan ADP. Untuk mengatasi hal
ini, sel endothelial yang masih utuh akan menghasilkan vasodilator seperti prostasiklin,
Monoamineoxidase (MAO) dan endothelium-dependent relaxation factor (EDRF). Tetapi
sel endothelial yang rusak tidak dapat bereaksi terhadap vasodilator tersebut. Selain itu sel
endothelial yang rusak juga menghasilkan vasokonstriktor endothelin-1. akibatnya akan
terjadi vasokonstriksi. Penyempitan lumen akan makin diperberat oleh adanya hiperplasi
intima. Sel miointimal yang menyerupai sel otot polos mengalami proliferasi, membran
basal menebal, reduplikasi serta terjadi perkembangan fibrosis adventitia. Oklusi lumen
vaskuler progresif akibat hipertrofi tunica intima dan media serta fibrosis adventitia,
ditambah dengan kerusakan persisten sel endotel dapat mengakibatkan iskemia jaringan.
Gambaran fenomena Raynaud juga terjadi pada berbagai arteri kecil dan arteriol pada
organ viseral, sehingga timbul berbagi kelainan pada organ tersebut. Perubahan yang
terjadi pada mikrosirkulasi meliputi timbulnya celah diantara sel endotel, vakuolisasi dan
pembengkakan sel endotel, nekrosis seluler, duplikasi lamina basalis dan infiltrasi seluler
perivaskuler oleh limfosit, plasmosit dan makrofag. Pada sklerosis sistemik juga
didapatkan gangguan fibrinolisis, karena kerusakan sel endotel menyebabkan penurunan
sintesis aktivator plasminogen dan berbagai faktor pro dan antikoagulan.3-4
2. Autoimunitas seluler dan humoral

Secara umum didapatkam limfopenia dengan rasio sel T dan sel B yang normal, tetapi
didapatkan peningkatan rasio sel T-4 terhadap sel T-8 Selain itu juga terdapat penurunan
kadar sel NK (Natural Killer) yang pada permukaannya terdapat antigen T8 Sel-sel
+

inflamasi mononuklear banyak terkumpul pada lapisan dermis penderita sklerosis sistemik
dan pada umumnya sel T4 yang teraktivasi. Sel T berperan memproduksi interleukin-2 (IL2) yang dapat merubah sel NK menjadi sel LAK (Lymphocite-activated killer) yang
ternyata sangat penting pada kerusakan endotelial. Fagosit mononuklear juga mempunyai
peranan yang sangat penting dalam patogenesis sklerosis sistemik, terutama makrofag
alveolar. Sel-sel ini memproduksi berbagai sitokin sepertitransforming growth factor-B
(TGF-B), platelet-derived growth factor (PDGF), tumor necrosis factor (TNF), IL-1B,
berbagai protease dan mediator lain yang penting pada pathogenesis sklerosis sistemik.
Sel lain yang banyak ditemukan di dalam dermis penderita sklerosis sistemik adalah sel
mast. Sel ini berperan dalam memproduksi berbagai mediator seperti triptase yang dapat
merusak sel endotel, serta histamin yang dapat merangsang proliferasi dan sintesis matriks
fibroblas dan menyebabkan retraksi sel endotel. 3-5
Pada stadium dini penyakit, sel T dan monosit/makrofag yang teraktifasi akan
terakumulasi di dalam lesi di kulit, paru dan organ lain yang terkena. Sel T yang
menginfiltrasi, mengekspresikan penanda aktivasi seperti CD3, CD4, CD45 dan HLA-DR
serta menampakkan restriksi reseptor yang mengindikasikan ekspansi oligoclonal sebagai
respon terhadap antigen yang tidak diketahui. Sel T CD4+ yang bersirkulasi juga
meningkatkan reseptor kemokin dan mengekspresikan molekul adhesi alpha 1 integrin
yang berfungsi meningkatkan kemampuan untuk mengikat endotel dan fibroblast. 3-5
Sel endotel mengekspresikan ICAM-1 dan molekul adhesi lain yang memfasilitasi
diapedesis leukosit. Makrofag dan sel T yang teraktivasi menunjukkan respon Th2
terpolarisasi dan mensekresi Interlukin (IL) 4 dan IL 13. Kedua sitokin Th2 ini dapat
menginduksi TGF-beta yang merupakan modulator regulasi imun dan akumulasi matriks
yang. TGF-beta dapat menginduksi produksi dirinya sendiri serta sitokin lain karena
mempunyai aktifitas autokrin/parakrin untuk mengaktifasi fibroblast dan sel efektor lain.
Penelitian DNA mengenai ekspresi sel T CD8+ pada lavase cairan bronchial menunjukkan
pola ekspresi gen Th2 terktivasi yang dicirikan dengan peningkatan kadar IL-4 dan IL-13
serta penurunan produksi interferon gamma (IFN-gamma). Sitokin Th2 merangsang

sintesis kolagen dan respon profibrosis lain. IFN-gamma menghambat sintesis kolagen dan
memblok aktivasi fibroblast yang dimediasi sitokin.3-5
Autoantibodi yang bersirkulasi terdeteksi pada pasien sklerosis sistemik. Kadar
autoantibodi berhubungan dengan keparahan penyakit dan titernya berfluktuasi sesuai
aktifitas penyakit. Autoantibodi spesifik Sklerosis sistemik adalah antinuklear dan
menyerang langsung protein mitosis seperti topoisomerase I dan RNA polymerase. Enzim
DNA topoisomerase I sangat penting peranannya pada proses pembukaan gulungan DNA
untuk replikasi dan transkripsi RNA.

Autoantibodi Topoisomerase I pada Sklerosis

sistemik dapat secara langsung mengikat fibroblast demikian juga autoantibodi terhadap
fibroblast, sel endotel, fibrillin-1 serta enzim matriks metalloproteinase. Beberapa
autoantibodi ini mungkin mempunyai peran patogenik langsung sebagai mediator
kerusakan jaringan.3-5
Autoantibodi lain yang sering ditemukan adalah antibodi antisentromer yang terdapat
pada 30% penderita sklerosis sistemik yang terbatas dan CREST Syndrome. Ada 3 antigen
sentromer yang spesifik pada penderita sklerosis sistemik yaitu CENP-A (17/19 kDa
protein), CENP-B (80 kDa protein) dan CENP-C (120 kDa protein). Adanya autoantibodi
terhadap antigen sentromer menunjukkan tingginya pemecahan kromosom. 3-5
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel B berperan baik dalam autoimunitas dan
fibrosis pada scleroderma. Selain menghasilkan antibodi, Sel B dpat berperan sebagai
antigen presenting cell (APC), menghasilkan sitokin seperti IL-6 dan TGF-beta, serta
memodulasi fungsi sel T dan sel dendritik. Sel B pada pasien sklerosis sistemik
menunjukkan abormalitas intrinsik.3-5

Tabel 3. Sitokin yang berperan dalam sklerosis sistemik4

3. Komponen seluler dan molekuler fibrosis


Fibrosis yang terjadi pada berbagai organ adalah penanda utama Sklerosis sistemik yang
membedakan Sklerosis sistemik dengan penyakit jaringan ikat lain. Fibrosis merupakan
konsekuensi dari autoimunitas dan kerusakan vaskuler. Proses ini ditandai dengan
penggantian arsitektur jaringan normal dengan jarunga ikat aseluler yang progresif yang
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas sklerosis sistemik.3-5
Fibroblast dan sel mesenkim normalnya bertanggungjawab terhadap integritas
fungsional dan struktural jaringan ikat parenkim organ. Ketika Fibroblast diaktivasi oleh
TGF-beta dan sitokin lain, fibroblast mengalami proliferasi, migrasi, relaborasi dengan
kolagen dan matriks makromolekul lain, mensekresi growth factor dan sitokin,
mengekspresi reseptor permukaan untuk sitokin-sitokin tersebut dan berdiferensiasi
menjadi miofibroblast. Respon fibroblast ini memfasilitasi perbaikan cedera jaringan yang
efektif. Pada kondisi fisiologis, program perbaikan fibroblast akan berhenti dengan
sendirinya setelah penyembuhan terjadi.3-5
Pada respon fibrosis yang patologis, aktivasi fibroblast terjadi terus-menerus dan makin
besar yang menghasilkan perubahan matriks dan pembentukan jaringan parut. Aktivasi
fibroblast yang salah ini serta akumulasi matriks adalah perubahan patologis utama yang
mendasari terjadinya fibrosis pada sklerosis sistemik. 3-5

Selain aktivasi fibroblast jaringan ikat lokal, sel progenitor mesenkimal dari sumsum
tulang yang beredar

juga berperan dalam fibrogenesis. Sel mononuklear yang

mengekspresikan CD14 dan CD34 berdiferensiasi memproduksi kolagen alpha-smooth


muscle actin-positive fibrocytes pada penelitian in vitro. Proses ini diperkuat oleh TGFbeta. 3-5

Gambar 1. Aktivasi fibroblast pada sklerosis sistemik. 5

Fibroblast dapat berdiferensiasi menjadi miofibroblast yang mirip otot polos. Baik
proses transisi epitel dan diferensiasi miofibroblast dimediasi oleh TGF-beta. Miofibroblast
bertahan di dalam jaringan terjadi karena adanya resistensi terhadap apoptosis.
Miofibroblast berkontribusi terhadap pembentukan skar melalui kemampuannya dalam
memproduksi kolagen dan TGF-beta, memperbesar kekuatan kontraktil pada matriks di
sekitar dan mengubahnya menjadi skar yang rapat. 3-5
Ditemukan peningkatan kecepatan transkripsi gen kolagen tipe I dari fibroblast pasien
sklerosis sistemik. Didapatkan juga peningkatan sintesis berbagai molekul matriks
ekstraseluler, ekspresi reseptor kemokin dan molekul adhesi permukaan, sekresi PDGF,
resitensi tehadap apoptosis dan sinyal autokrin TGF-beta. Aktivasi sinyal transduksi TGfbeta intraseluler yang tidak benar melalui Smad3 phosphorylation dan kegagalan loop
umpan balik negative Smad-7 tamapak pada Sklerosis sistemik. Protein koaktivator inti
p300 memfasilitasi transkripsi yang dimediasi Smad dan merupakan lokus yang penting

dalam integrasi sinyal ekstraseluler yang memodulasi fungsi fibroblast. Abnormalitas


ekspresi, fungsi dan interaksi antara Smad, p300 dan protein seluler lain mempengaruhi
meneta dan progresifitas proses fibrogenik scleroderma dengan cara memodulasi
transkripsi gen. 3-5

Gambar 2. Perubahan lesi pada berbagai stadium sklerosis sistemik. 5

F. Manifestasi klinis
Sklerosis sistemik terdiri dari 3 stadium yaitu stadium 1 menyerupai morbus Raynaud,
stadium 2 mukosa terserang, dan stadium 3 alat-alat dalam terkena pula.
1. Stadium I
Terjadi kelainan vasomotorik berupa akrosianosis dan akroasfiksi terutama pada jari
tangan. Pada wajah, terdapat teleangiektasia, ditemukan juga bercak edematosa berbatas
tidak jelas.Kemudian terlihat

bercak-bercak berindurasi

yang berwarna putih-

kekuningan. Pengerasan pada kulit dan keterbatasan gerakan berakibat timbulnya muka
topeng (mask face), mikrostomia, sklerodaktili jari tangan dengan ulserasi pada ujung jari
(akroskeloris), hiperpigmentasi dan depigmentasi, serta atrofi.5-6
2. Stadium II

Mukosa oral mulai terkena, terdapat indurasi di lidah dan gingiva, serta terdapat
parosisma vasomotorik dan kelainan sensibilitas. 5-6
3. Stadium III
Alat-alat visera mulai terserang. Disfungsi dan penurunan motilitas esophagus
mengakibatkan disfagia dan malabsorbsi. Lambung dan usus kecil mengalami kelainan
yang sama. Fibrosis di paru membuat penderita dyspnea, bahkan dapat terjadi pula kor
pulmonal dengan menyebabkan payah jantung, perikarditis,

dan efusi

perikardium.

Ginjal akan mengalami kegagalan fisiologis yang disertai dengan uremia dan
hipertensi. Hanya pada sebagian kasus, penyakit dapat berhenti spontan. Angka
kelangsungan hidup hingga 10 tahun ialah 35 47%.5-6
Sindrom CREST (calsinosis cutis, Raynaud phenomenon, eosophagus motility,
sclerodactily dan teleangiectasis syndrome) merupakan bentuk ringan dari sklerosis
sistemik sistemik, yaitu hanya esophagus yang terkena, sedangkan organ dalam lainnya
tidak terkena.

Angka kelangsungan hidup 10 tahun adalah 93%. Manifestasi

klinis

sklerosis sistemik bergantung pada perluasan dan stadium penyakit. Pada diffuse
cutaneous scleroderma terjadi pergeseran kulit yang progresif. Selain itu ditemukan
fenomena Raynaud yang terjadi dalam satu tahun setelah kulit mulai mengeras.
Kelainan

biasanya mengenai

batang tubuh, wajah, lengan atas,

dan tungkai atas.

Selanjutnya dapat terjadi fibrosis paru, keterlibatan jantung dan gangguan ginjal. 5-6
Pada

limited cutaneous

scleroderma

terdapat

pergeseran kulit

pada daerah

ekstremitas yang terletak jauh dari sendi lutut dan siku, termasuk wajah. Pada tipe ini,
biasanya pasien sudah lama mengalami fenomena Raynaud. Antibody anti-centrome dan
hipertensi

arteri

pulmonal

dapat

ditemukan. Kalsinosis, fenomena

Raynaud,

dismotilitas esophagus, sklerodaktili, dan teleangiektasia (CREST) merupakan bagian


dari kelainan ini. 5-6
G. Gambaran Patologi
1. Patologi kulit
Fibrosis pada kulit dan organ lainnya, termasuk pembuluh darah, merupakan gambaran
patologis yang paling sering ditemukan pada sklerosis sistemik. Peningkatan matriks
ekstraselular pada dermis, terutama kolagen tipe I dan III, yang disertai penipisan
epidermis dan hilangnya rete pegs merupakan gambaran patologis yang khas pada

sklerosis sistemik. Hal ini meyebabkan penegangan kulit yang khas pada sklerosis
sistemik. Pada stadium awal, tampak infiltrasi sel radang mononuklear di dalam dermis,
terutama limfosist T dan Mast sel. Sel-sel ini banyak ditemukan mengelilingi pembuluh
darah dermis. Pada stadium akhir (fase atrofik), kulit relatif aselular. Lesi Vaskuler pada
kulit menunjukkan gambaran yang sama dengan lesi pada organ lainnya. Tunika intima
arteri dan arteriola tampak berproliferasi sehingga lumennya menjadi sempit. Dengan
tekhik nailfold capilaroscopy, akan tampak kerusakan dan hilangnya kapiler yang makan
lama makin banyak. Pada pembuluh darah besar, akan tampak hiperplasi tunika intima,
sehingga lumennya menyempit dan akhirnya berobliterasi.5-6
Keterlibatan kulit termasuk tanda kardinal sklerosis sistemik dan biasanya muncul
pertama kali pada jari tangan dan jari kaki. Seiring berjalannya waktu, akan terjadi edema
non-pitting pada jari tangan (puffy fingers) dan kaki yang tidak disertai rasa nyeri. Edema
ini berhubungan dengan deposisi glikosaminoglikan di dalam dermis atau efek hidrostatik
akibat kerusakan vaskuler. Beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian, edema
akan diikuti dengan indurasi sehingga kulit menjadi tebal dan keras (sclerodactili). Sendi
tangan lebih sering terkena,

dapat

terjadi resorpsi

dan pemendekan falang serta

penyempitan rongga antar sendi. Pada wajah dapat ditemukan teleangiektasis, hidung
yang berbentuk seperti paruh, dan berkurangnya arpetura mulut (mikrostomi). Selain
itu terdapat galur radial di sekitar mulut dan tidak ada ekspresi wajah. Hal tersebut
menyebabkan tampilan wajah yang khas dan wajah menjadi kaku seperti topeng.
Akibatnya timbul masalah kosmetik gangguan makan, serta higiene oral. Terjadi juga
kerontokan rambut serta hilangnya kelenjar keringat (hipo atau anhidosis). 5-6
Penebalan kulit akan mengenai jari tangan dan bagian yang lebih proksimal yaitu
dorsum manus, lengan atas, muka dan akhirnya ke seluruh tubuh. Kelainan ini
patognomonis untuk sklerosis sistemik karena hampir tidak pernah ditemukan pada
penyakit lain. Umunya kelainan pada bagian distal tubuh lebih berat daripada di bagian
proksimal tubuh. Bersamaan dengan kelainan tersebut, lipatan kelainan tersebut lipatan
kulit akan menghilang, kulit akan tampak mengkilap dan terjadi hipo dan hiperpigmentasi
(salt and pepper) Pada sklerosis sitemik yang difus, penebalan kulit akan menyebar ke
seluruh tubuh, terutama pada dinding dada dan abdomen sedangkan pada kelainan yang
terbatas pada kulit akan didapatkan pada jari atau jari dan muka. Pada fase awal indurasi,

secara histologik akan tampak peningkatan serat kolagen pada dermis, hiperplasi dan
hialinisasi subintimal arteriol, dan infiltrasi limfosit, terutama sel T. Kulit yang menebal
makin lama akan makin menebal. Tetapi kadang-kadang akan terjadi pelunakan yang
biasanya dimulai dari bagian tubuh yang sentral. Jadi kulit yang mengeras terakhir akan
membaik lebih dahulu.

Beberapa tahun kemudian, akan tampak bintik-bintik

teleangiektasi, terutama pada muka, jari, lidah dan bibir. Teleangiektasis terutama terjadi
pada subtipe yang terbatas (CREST Syndrome), tetapi dapat juga terjadi pada subtipe yang
difus. Pada subtipe yang terbatas, juga dapat timbul kalsinosis subkutan. Kalsinosis
subkutan dapat hanya berupa titik kecil, tetapi dapat juga berupa masa yang besar. Pada
stadium akhir, akan timbul atropi dan penipisan kulit terutama pada bagian ekstensor sendi
yang kontraktur, sehingga dapat terjadi ulserasi akibat tarikan mekanik pada bagian itu. 5-6

Penebalan dan peregangan kulit pada wajah (a), Sclerodaktili dengan ulserasi digital; hilangnya
lipatan kulit dan kontraktur sendi (b), Hiperpigmentasi dan Hipopogmentasi (c) 6

2. Patologi paru-paru
Pada paru-paru, dapat ditemukan 2 gambaran patologik, yaitu fibrosis paru dan kelainan
vaskuler. Terjadi penebalan tunika media, sehingga terjadi penyempitan lumen dan timbul
hipertensi pulmonal yang dapat berakhir sebagai gagal jantung kanan. Fibrosis paru
umumnya terjadi pada kedua basal paru yang dapat dilihat jelas pada gambaran radiologik
toraks. Keadaan ini akan menyebabkan penurunan kapasitas difusi karbon monoksida dan
pada akhirnya akan terjadi penurunan kapasitas vital (penyakit paru restriktif). Pada bilasan
bronkoalveolar,akan ditemukan banyak sel radang terutama limfosit dan makrofag.
Kelainan paru umumnya lebih berat pada penderita dengan antibodi antitopoisomerase 1
dan anti U3 RNP yang positif dan lebih ringan pada penderita dengan antibodi
antisentromer yang positif.

Hipertensi pulmonal dapat terjadi pada sebagian kecil

penderita, terutama pada subtipe terbatas dengan antibodi antisentromer yang positif.
Untuk mencegah perburukan fungsi, maka deteksi dini kelainan paru pada sklerosis
sistemik harus dilakukan. Umumnya kelainan paru tidak memberikan gejala yang spesifik,
kecuali setelah ada kelainan hemodinamika atau penurunan kapasitas vital yang berat.
Untuk itu dianjurkan pemeriksaan uji fungsi paru secara berkala (3 6 bulan sekali).4-6
3. Patologi Jantung
Kelainan miokardial, jarang didapatkan pada sklerosis sistemik tetapi bila didapatkan
akan meningkatkan angka mortalitas. Umumnya akan terjadi fibrosis pada sistem konduksi
jantung, sehingga mengakibatkan timbulnya aritmia dan kematian jantung mendadak.
Berbeda dengan oragan lain, kelainan pada pembuluh koroner jarang didapatkan pada
sklerosis sistemik. Kadang-kadang dapat menyerang perikardium dan miokardium.
Kelainan pada perikardium ditandai oleh fibrosis dan penebalan perikardium parietal dan
viseral yang akhirnya dapat berkembang menjadi perikarditis konstruktif. Selain itu terjadi
gangguan fungsi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal. 4-6
4. Patologi saluran cerna
Pada saluran cerna, lesi terbanyak terdapat pada esofagus, walaupun gaster, usus halus
proksimal dan kolon juga dapat terserang. Pada esofagus distal akan terjadi dismotalitas
motorik sehingga timbul disfagia dan refluks gastroesofageal. Peristaltik esofagus akan
menurun dan pada pemeriksaan flouroskopi akan tampak hipomotalitas. Pada esofagus
distal akan terjadi metaplasi mukosa (metaplasi Barret) yang merupakan predisposisi
timbulnya adenokarsinoma esofagus, tetapi keganasan ini jarang terjadi pada sklerosis
sistemik. Secara histologis, tampak gambaran fibrosis pada tunika propria dan submukosa,
serta peningkatan sel radang pada tunika muskularis. Akibat fibrosis, peristaltis usus akan
berkurang. Pada usus kecil akan terjadi hipomotalitasdan berkurangnya lapisan otot. Atropi
pada lapisan mukosa dan otot usus kecil, akan menyebabkan udara masuk ke dinding usus
sehingga timbul pnematosis intestinalis yang akan tampak pada gambaran radiologik. Pada
kolon juga dapat terjadi atropi lapisan otot sehingga mengakibatkan timbulnya divertikel
yang bermulut lebar yang khas untuk sklerosis sistemik. Hipomotalitas kolon akan
menyebabkan konstipasi dan pada beberapa keadaan dapat terjadi atropi otot sfingter ani
yang mengakibatkan inkontinensia alvi dan prolaps rekti.4-6

5. Patologi ginjal
Akan tampak lesi arteriol yang berupa proliferasi intima, penipisan tunika media dan
reduplikasi lamina elastika. Membaran basal glomeruli mengalami duplikasi. Gambaran
sklerotik pada glomeruli mmerupakan tanda khas infark kortek ginjal dan stradium akhir
sklerosis sistemik.Sklerosis sistemik akan menyebabkan krisis renal sklerosis sistemik
akibat yang ditandai oleh peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, insufisiensi renal yang
progesif dan hemolisis mikroangiopatik. Kelainan ini umumnya terjadi pada subtipe yang
difus dan sangat jarang terjadi pada subtipe yang terbatas. Krisis renal merupakan
penyebab kematian yang utama pada sklerosis sistemik. Penyebab uatama kelainan ginjal
adalah kelainan vasukler, terutama pada arteri arkuata dan interlobular. Pada dinding
pembuluh darah tersebut terjadi hiperplasi mukoid subintimal yang akan berkembang
menjadi nekrosis fibrinoid.4-6
6. Patologi muskuloskeletal
Pada otot rangka, akan tampak jaringan fibrosis perivaskular yang menyebabkan
penurunan kekuatan otot dan peingkatan ringan enzim otot dalam serum (keratin-kinase
dan aldolase).. Selain itu dapat juga terjadi kelainan seperti tampak pada poli dan
dermatomiositis, yaitu infiltrasi limfositik perivaskular, nekrosis, degenerasi dan regenerasi
jaringan otot. Secara klinis akan tampak kelemahan otot proksimal dan peningkatan enzim
otot serum yang bermakna. Pada tendon akan tampak deposisi fibrin dalam sarung tendon,
sehingga gerak tendon terbatas dan akhirnya dapat timbul kontraktur fleksi, teutama pada
jari-jari. Pada persendian, dapat timbul poliartralgia terutama pada subtipe yang difus.
Secara radiologik akan tampak gambaran atropati erosive. Pada falang distal, dista radius
dan ulna, ramus mandibula dan permukaan superior iga posterior dapat terjadi osteolisis
akibat hipovaskularisasi sehingga terjadi resopsi tulang pada tempat tersebut.4-6
H. Diagnosis
1. Anamnesis
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penyakit ini termasuk penyakit multisistem,
autoimun, dan berbasis genetik, maka diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang
riwayat pasien. Pertanyaan yang paling penting (90% kasus ) adalah ada tidaknya
Raynauds phenomenon (RP) yang mendahului sebelum terjadinya gejala. RP adalah
gangguan otonom berupa vasopasme pembuluh darah pada distal jari kaki dan tangan,

yang menyebabkan terjadinya nyeri,

cyanosis, dan iskemik jaringan, lalu kemudian

disusul vasodilatasi, sehingga terjadi kemerahan pada daerah yang kebiruan dan nyeri
tersebut. Selain itu, apakah ada penyakit jaringan konektif lainnya, seperti rheumatoid
arthritis, systemic lupus erythematosus, poliarteritis, granulomatosis wagener. Hal ini
disebabkan karena adanya kemungkinan insiden yang lebih bes ar pada mereka yang
mempunyai penyakit autoimun sebelumnya. 5,7

Gambar 3. Raynauds phenomenon

riwayat keluarga, apakah pada anggota keluarga ada yang mengalami hal serupa,
mengingat penyakit ini terkait dengan gen (familial). Penelitian lain juga menyebutkan
bahwa sindrom skelroderma ini dapat terjadi akibat faktor lingkungan. Misalkan adanya
riwayat paparan vinil klorida, benzena, toluena, resin epoksida, obat-obatan seperti
bleomicin, pentazosin, kokain, docetaxel, metafenilediamina, dll. Adanya riwayat pernah
bekerja pada penambangan tembaga dan emas di bawah tanah juga beresiko terkena
sklerodema. Jika terjadi nyeri dada setelah makan, kemungkinan sudah terjadi reflux,
jika terjadi sesak kemungkinan terjadi hipertensi pulmonal, fibrosis paru dan gagal
jantung, jika terjadi edema, gangguan kesadaran, hipertensi kemungkinan sudah terjadi
gagal ginjal.5,7
2. Pemeriksaan fisik
Diagnosis sklerosis sistemik (sklerosis sistemik) sebagian besar

menjadi jelas

berdasarkan pengamatan klinis pasien. Penyakit ini terdiri dari tiga fase, yaitu fase kelainan
vasomotor, di mana terjadi Raynauds phenomenon pada ujung jari kaki dan tangan, di

wajah terdapat telangiektasia. Pada awalnya terjadi edema, eritem pada kulit, yang
selanjutnya akan menebal dan mengeras secara perlahan. Hal ini membuat pergerakan
sendi tangan, kaki dan wajah menjadi kaku (sindaktil dan maskface/mikrostomia).
Selanjutnya,dapat terjadi bula atau ulkus pada distal jari-jari, kontraktur, atrofi, imobilisasi,
dan deformitas. Fase kedua yaitu terkenanya mukosa oral yang menyebabkan terjadinya
indurasi di lidah dan ginggiva, serta terdapat paroksisma vasomotorik dan kelainan
sensibilitas. Fase ketiga adalah keterlibatan organ-organ dalam. Pada sistem saluran cerna,
terdapat kelemahan otot sfingter esofagus, sehingga dapat terjadi reflux esofagitis, dan
terdapat perlambatan pengosongan lambung. Pada system kardiopulmonal, terdapat
PAH (Pulmonary arterial Hipertension), akibat sklerosis arteri pulmonal (>20mmHg),
dan akan berujung ke gagal jantung kanan. Selain itu, terdapat sklerosis pada arteri
ginjal yang dapat mengakibatkan renal hypertension (>150/85 mmHg), proteinuri (>200
mg/gr kreatinin urin), dan gagal ginjal akut (>30% pengurangan laju filtrasi
glomerulus). 5,7
Diagnosis Sklerosis sistemik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang. Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis sistemik sebelum
timbul kelainan kulit yang khas. Tetapi kemungkinan sklerosis sistemik harus dipikirkan
bila ditemukan gambaran fenomena Raynaud pada wanita umur 20-50 tahun. 2,5,7
Tahun 1980, American Rheumatism Association (ARA) mengajukan kriteria sklerosis
sistemik dengan sensitifitas 97 % dan spesifisitas 98 %., yaitu bila terdapat:
-

Satu kriteria mayor, atau


2 dari 3 kriteria Minor
Kriteria Mayor :
Sklerosis sistemik proksimal : penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang simetrik
pada

kulit

jari

dan

kulit

proksimal

terhadap

sendi

metakarpofalangeal

atau

metatarsofalangeal. Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka, leher dan
batang tubuh (toraks dan abdomen). 5,7
Kriteria Minor :
-

Sklerodaktili : perubahan kulit seperti tersebut di atas tetapi hanya terbatas pada jari
Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Hal ini terjadi akibat iskemia.

Fibrosis basal kedua paru. Gambaran linier atau lineonodular yang retikular terutama di
bagian basal kedua paru, tampak pada gambaran foto thorak standar. 5,7
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis dalam hal ini adalah
pemeriksaan

laboratorium

dan histopatologi. Untuk

pemeriksaan

laboratorium,

dibutuhkan pemeriksaan ANA (antinuclear antibody), ESR, anti-single stranded DNA,


anti double stranded. 7
DNA (lebih jarang). Ini dibutuhkan untuk mengetahui ada tidaknya proses autoimun yang
sedang berlangsung. Pemeriksaan lab yang lain ditujukan untuk memantau kondisi
organ viseral. Misalkan pemeriksaan urin, LFG, kateterisasi jantung kanan, EKG, tes
fungsi paru, kadar kreatinin, dan lainlain tergantung gejala yang terjadi dan suspek
organ yang mengalami kelainan. . 7
a. Pemeriksaan autoantibody
Pada 95% pasien sklerosis sistemik didapatkan antibody antinuclear. ANA spesifik
terhadap DNA topoisomerase I (anti topoisomerase, anti Scl-70) didapatkan 20- 30%,
dan separuhnya terdapat pada pasien sklerosis sistemik difusa. ANA spesifik yang
lain adalah DNA Histon kompleks, Anti PM-Scl dan anti RNA Polimerase I,II dan III. 7

Gambar 4. Autoantibodi pada sklerosis sistemik

b. Gambaran histopatologi sklerosis sistemik

Pada stadium dini gambarannya sama dengan morfea. Pada stadium lanjut terlihat
menghilangnya

unit

pilosebasea,

mikroskop elektron serat

kelenjar

keringat

dan

salurannya.

Dengan

kolagen yang imatur ukurannya antara 100-400 A

sedangakan yang normal ukurannya antara 700-800 A. Semua pembuluh darah dari
semua ukuran terkena. Pada fase dini hanyalah terjadi pelebaran kapiler dan pembuluh
limfe, kemudia proliferasi intima dan mungkin perlengketan komplit. Perubahan
tersebut mungkin juga terjadi pada pembuluh darah otot. .5,7

Gambar 5. (C.) Infiltrasi limfosit disekitar pembuluh darah paa spesimen kulit pasien
scleroderma. (D) Deposisi matriks kolagen yang melewati dermis dan meluas ke
jaringan lemak subkutan. (E) Penebalan tunika intima dan media arteri interlobar
dari biopsi ginjal pasien sklerosis sistemik.
I.

Diagnosis banding

1. Morbus Hansen
Pada Morbus Hansen didapatkan kelainan kulit hipopigmentasi atau eritematus dengan
adanya gangguan estesi yang jelas. Bila gejala lanjut dapat timbul gejala seperti Fasies
Leonina, penebalan cuping hidung, madarosis dan gloves and stocking anastesia.
Selain itu juga terdapat

kerusakan syaraf

tepi bisa bersifat sensorik, motorik dan

autonomik. Sehingga dapat muncul hipoestesia, kelemahan otot sampai terjadi amputasi
dan lesi yang terserang tampak lebih kering. Gejala lain adalah pembesaran syaraf tepi
terutama dekat dengan permukaan kulit. Bila terdapat reaksi kusta tipe II dapat diikuti
kelainan organ lain.7
2. Vitiligo
Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik ditandai dengan makula putih yang meluas.
Dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung melanosit. Makula dapat

hipo atau hiperpigmentasi dengan diameter beberapa millimeter atau sentimeter batas
tegas tanpa perubahan epidermis yang lain. Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris.
Daerah yang sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama pada jari,
periorifisial sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan
bagian fleksor. 7
3. Raynaud Disease
Adalah penyakit vaskular yang mempengaruhi aliran darah ke ekstremitas saat terjadi
perubahan suhu dan stress. Ditandai dengan picat dan sianois paroksimal bagian akral
yang disebabkan spasme kuat arteri kecil dan atriol lokal. 7
J. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan disesuaikan dengan organ mano yang terlibat. Derajat penyakit
merupakan kunci untuk dimulainya terapi. Progresifitas perubahan kulit menunjukkan
perlunya terapi segera utnuk mencegah kerusakan organ internal. Pemilihan terapi yang tepat
tergantung manifestasi organ spesifik. 7,8
Strategi penatalaksannan skleroderma telah berkembang dengan pesat beberapa tahun
terakhir ini seperti tampak pada gambar di bawah ini.

Gambar 8. Ringkasan penatalaksanaan skleroderma terbatas dan difusa sesuai keterlibatan organ
(CTGF : connective tissue growth factor; GAVE : gastric antral venous ectasia; GERD :
gastroesophageal refl ux disease; MCP-1 : macrophage chemoattractant protein 1; MMF,
mycophenylate mofetil; MTX : methotrexate; NTG, nitroglycerin; OT/PT : occupational
therapy/physical therapy; PAH : pulmonary arterial hypertension; PDE-5 : type 5 phosphodiesterase;
RP : Raynauds pheno menon;SRC:scleroderma renal crisis; SSRI, specifi c serotonin receptor uptake
inhibitor; Stem cell Tx, stem cell transplantation; TGF-, transforming growth factor beta.). 7,8

Penyuluhan dan dukungan psikososial


Penyuluhan dan dukungan psikososial memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
pasien sklerosis sistemik, karena perjalanan penyakit lama dan progresif. 7
Terapi Vaskuler
Komplikasi Skleroderma terjadi akibat PAH (pulmonary arterial hypertension), RP
(Raynauds phenomenon) dan SRC (scleroderma renal crisis). Pendekatan penatalaksanaan
keadaan ini telah berkembang dengan cepat. 7
PAH (Pulmonary Arterial Hypertension)
Disfungsi endothel pada PAH menyebabkan peningkatan endothelin dan penurunan nitric
oxide dan prostasiklin. Pemberian Continuous intravenous epoprostenol (Flolan) dan
subcutaneous atau intravenous treprostinil (Remodulin) yang sudah disahkan oleh US Food and
Drug Administration (FDA) dipakai sebagai terapi lini pertama penatalaksanaan PAH fs NYHA
IV. Efek prostasiklin yang selektif pada pembuluh darah pulmonal, memberikan tempat untuk
pemberiannya dengancara inhalasi untuk menghindari efek sitemiknya. Pemberian Iloprost
(Ventavis) tampaknya memberikan perbaikan fungsi dan hemodinamik serta menurunkan
kecepatan progresifitas penyakit. Peran endothelin 1 pada PAH idiopatik dan PAH skleroderma
memungkinkan dikembangkannya endothelin receptor antagonists (ERA) dengan contoh
preparat oral Bosentan (Tracleer). Type V phosphodiesterase (PDE-5) yang memetabolisme
cyclic guanine monophosphate (cGMP) dapat dihambat dengan

PDE-5 inhibitor sildenafil

(Viagra) untuk meningkatkan vasodilatasi pulmonal dengan efek samping keram otot. 7,8
Scleroderma Renal Crisis (SCR)
Definisi SCR adalah terjadinya hipertensi maligna dan anemia heholitik mikroangiopati
pada pasien scleroderma. Penatalaksanaan SCR adalah dengan ACE inhibitor. Obat ini tetap
dapat diberikan walaupun fungsi ginjal menurun dengan drastic. Jika diperlukan dapat dilakukan
dialysis. Pada kelainan ginjal pemberian steroid dan plasmafaresis tidak ada gunanya. 7,8
Raynauds Phenomenon (RP)
Terapi utama RP adalah menghangatkan badan. Pemakaian sarung tangan, penghangat
tangan dan penghangat ekstremitas lain dapat dipakai. Calcium-channel blockers seperti

amlodipine, nifedipine atau felodipine, adalah terapi medikal pertama pada RP. Dosis rendah
selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) juga digunakan karena dapat menhambat efek
agregasi dan aktivasi trombosit. Diantara

SSRI, fluoxetine ( Prozac, Symbyax, Sarafem)

responnya baik dalam beberapa penelitian. ACE inhibitor dan ARB tidak efektif untuk RP.
Iskemi dan ulserasi jari ditatalaksana dengan pemberian Iloprost secara intermiten serta obatobatan lain yang dipakai pada PAH. 7,8
Obat Anti Infl amasi
Saat ini pemberian obat antiinflamasi pada skleroderma terbatas pada adanya keterlibatan
enyakit paru interstitial dan miositis. 8

Cyclophosphamide
Cyclophosphamide (CYC) telah digunakan sebagai terapi utama untuk penyakit paru
interstisial skleroderma. Dalam uji coba terkontrol baru-baru ini, cyclophosphamide
meningkatkan kapasitas vital paksa (FVC) sebesar 2,9% dibandingkan dengan plasebo. 8
Transplantasi Stem Cell autologous
Immunoablasi

dengan imun rekonstitusi dengan menggunakan stem cell perifer

autologous telah dipertimbangkan untuk scleroderma. Berbagai studi terus menerus dilakukan
untuk membandingkan anatara transplantasi sel induk dengan CYC dalam penatalaksanaan
scleroderma. 8
Methotrexate
Percobaan acak terkontrol mengevaluasi efisiensi dari metotreksat dalam skleroderma
dalam mengontrol stabilitas penyakit yang lebih besar dibandingkan dengan plasebo.
Methotrexate

digunakan untuk kasus awal scleroderma dengan gambarabran skleroderma

terbatas pada kulit dan muskuloskeletal sistem, termasuk myositis. 7,8


Mofetil Mycophenolate

Belum ada penelitian acak buta ganda untuk Mofetil mycophenolate dalam
penatalaksanaan skleroderma. Bukti yang ada sekarang menunjukkan Mofetil mycophenolate
mungkin efektif pada skleroderma. 8
Tabel 3. Terapi scleroderma 8

Terapi Antifibrotik
Terlepas dari kenyataan bahwa fibrosis merupakan komponen utama dalam patofisiologi
skleroderma, sampai saat ini belum ada obat anti fibrosis yang terbukti efektif untuk saat ini.
Agen nonspecifik, termasuk D-penicillamine dan rekombinan relaksin manusia, telah gagal
dalam uji klinis. Pentingnya ekspresi faktor pertumbuhan transformasi beta (TGF-beta) dalam
patogenesis skleroderma telah mendorong evaluasi agen yang dapat menghambat TGF-beta.
Meskipun penggunaan anti- antibodi TGF-beta telah diusulkan dalam studi-studi awal
aman, namun bukti klinis masih harus diamati. Terapi antisitokin lain belum berhasil pada
scleroderma. 7,8
Terapi Organ Spesifik Lain
Selain terapi ditujukan terhadap gangguan organ paru, ginjal dan pembuluh darah perifer
dalam skleroderma, saluran pencernaan adalah fokus umum untuk terapi organ specifiki. Jangka
panjang proton-pump inhibition (PPI) sangat efektif dalam mengobati refluks gastroesofagus
yang sering menjadi masalah kronis dan menjadi komplikasi pada skleroderma. Dosis tinggi
yang diperlukan kadang-kadang 2-3 kali dosis terapi normal, untuk mengurangi gejala. Dilatasi
dari striktur esophagus dapat dilakukan bila terdapat indikasi. ektasia vena lambung antral
(gastric antral venous ectasia /GAVE),sekarang dianggap sebagai penyebab paling umum dari

perdarahan gastrointestinal pada pasien skcleroderma. GAVE

didiagnosis dan diobati

dengan endoskopi dan laser photocoagulation. Terjadi atropi otot polos sehingga menyebabkan
gastroparesis dan hipomotilitas usus kecil. Agen Prokinetik, termasuk metoklopramide dan
domperidone, digunakan dengan efek yang yang bervariasi. Pseudo-obstruksi usus dapat
ditangani

dengan subkutan octreotide, analog somastatin. Perut kembung dan / atau diare

menandakan pertumbuhan yang berlebih dari bakteri usus kecil. Hal ini diobati dengan
pemberian antibiotic yang diubah secara berkala untuk menghindari resistensi antibiotic
contohnya pemebrian satu-dua minggu metronidazol 250 mg tiga kali sehari atau ciprofloxacin
500 mg empat kali sehari.Semakin beratnya scleroderma maka keterlibatan saluran pencernaan
mungkin akan didominasi oleh inkontinensia tinja dan sembelit. Obat antidiare dan dan obat
antikonstipasi dapat dipakai sesuai indikasi. 7,8

K. Prognosis
Angka harapan hidup pada 5 tahun untuk penderita sklerosis sistemik adalah sekitar 68%.
Harapan hidup akan semakin pendek dengan luasnya kelainan kulit dan banyaknya
keterlibatan organ viseral. Pada sklerosis sistemik difus, kematian biasanya terjadi karena
kelainan paru, jantung atau ginjal. Sedangkan pada sklerosis sistemik terbatas, kematian
terjadi karena hipertensi pulmonal dan malabsorbsi.2-4
Penelitian Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor yang memperburuk prognosis
penderita sklerosis sistemik yaitu 2-4
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Usia lanjut ( > 64 tahun)


penurunan fungsi ginjal (BUN < 16 mg/dl)
Anemia ( Hb < 11 gr/dl)
Penurunan kapasitas difusi CO2 pada paru (<50% prediksi)
Penurunan kadar protein serum total (<6 mg/dl)
Penurunan cadangan paru (Kapasitas vital paksa <80% pada Hb. 14 gr/dl atau kapasitas
vital paksa <65% pada Hb<14 gr/dl

Anda mungkin juga menyukai