Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi

Gambar 2.1 Anatomi Telinga


Telinga adalah alat indra yang memiliki fungsi untuk mendengar suara yang
ada di sekitar kita sehingga kita dapat mengetahui/mengidentifikasi apa yang terjadi
di sekitar kita tanpa harus melihatnya dengan mata kepala kita sendiri (Boies, 2005;
Ballatyne et. Al, 2002).
Telinga manusia terdiri atas tiga bagian, yaitu
1. Telinga luar, yang menerima gelombang suara.
2. Telinga tengah, dimana gelombang suara dipindahkan dari udara ke tulang dan oleh
tulang ke telinga dalam.
3. Telinga dalam, dimana getaran ini diubah menjadi impuls saraf spesifik yang
berjalan melalui nervus akustikus ke susunan saraf pusat. Telinga dalam juga
mengandung organ vestibuler yang berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan
(Jide, 2008).
2.1.1 Telinga Luar
Telinga luar terdiri atas aurikula dan meatus akustikus eksternus. Aurikula
mempunyai bentuk yang khas dan berfungsi mengumpulkan getaran udara, aurikula
terdiri atas lempeng tulang rawan elastis tipis yang ditutupi kulit. Aurikula juga
mempunyai otot intrinsik dan ekstrinsik, yang keduanya dipersarafi oleh N.Fasialis
(Jide, 2008; Snell, 2006).

Aurikula atau lebih dikenal dengan daun telinga membentuk suatu bentuk unik
yang terdiri dari antiheliks yang membentuk huruf Y, dengan bagian krus superior di
sebelah kiri dari fosa triangularis, krus inferior pada sebelah kanan dari fosa
triangularis, antitragus yang berada di bawah tragus, sulcus auricularis yang
merupakan sebuah struktur depresif di belakang telinga di dekat kepala, konka berada
di dekat saluran pendengaran, angulus konkalis yang merupakan sudut di belakang
konka dengan sisi kepala, krus heliks yang berada di atas tragus, cimba konka
merupakan ujung terdekat dari konka, meatus akustikus eksternus yang merupakan
pintu masuk dari saluran pendengaran, fosa triangularis yang merupakan struktur
depresif didekat antiheliks, heliks yang merupakan bagian terluar dari daun telinga,
incisura anterior yang berada di antara tragus dan antitragus, serta lobus yang berada
dibagian paling bawah dari daun telinga, dan tragus yang berada di depan meatus
akustikus eksternus (Boies, 2005; Ballatyne et. Al, 2002; Snell, 2006).

Gambar 2.2 Bagian-bagian dari aurikula telinga luar.


Yang kedua adalah meatus akustikus eksternus atau dikenal juga dengan liang
telinga luar. Meatus akustikus eksternus merupakan sebuah tabung berkelok yang
menghubungkan aurikula dengan membran timpani. Pada orang dewasa panjangnya
lebih kurang 1 inchi atau kurang lebih 2,5 cm, dan dapat diluruskan untuk
memasukkan otoskop dengan cara menarik aurikula ke atas dan belakang. Pada anak
kecil aurikula ditarik lurus kebelakang, atau ke bawah dan belakang. Bagian meatus
yang paling sempit adalah kira-kira 5 mm dari membran timpani (Boies, 2005;
Ballatyne et. Al, 2002; Jide, 2008).
Rangka sepertiga bagian luar meatus adalah kartilago elastis, dan dua pertiga
bagian dalam adalah tulang yang dibentuk oleh lempeng timpani. Meatus dilapisi oleh

kulit dan sepertiga luarnya mempunyai rambut, kelenjar sebasea, dan glandula
seruminosa. Glandula seruminosa ini adalah modifikasi kelenjar keringat yang
menghasilkan sekret lilin berwarna coklat kekuningan yang dinamakan serumen atau
minyak telinga. Serumen berfungsi menangkap debu dan mencegah infeksi (Boies,
2005; Ballatyne et. Al, 2002; Jide, 2008).
Saraf sensorik yang melapisi kulit pelapis meatus berasal dari n. aurik
ulotemporalis dan ramus aurikularis N. Vagus. Sedangkan aliran limfe menuju
kelenjar parotis superfisialis, mastoid, dan servikalis superfialis (Snell, 2006).
2.1.2

Telinga Tengah
Telinga tengah adalah ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis

temporalis yang dilapisi oleh membrana mukosa. Ruang ini berisi tulang-tulang
pendengaran yang berfungsi meneruskan getaran membran timpani (gendang telinga)
ke perilympha telinga dalam. Kavum timpani berbentuk celah sempit yang miring,
dengan sumbu panjang terletak lebih kurang sejajar dengan bidang membran timpani.
Di depan, ruang ini berhubungan dengan nasofaring melalui tuba auditiva dan di
belakang dengan antrum mastoid (Snell, 2006)
Telinga tengah mempunyai atap, lantai, dinding anterior, dinding posterior,
dinding lateral, dan dinding medial, yaitu:
-

Atap dibentuk oleh lempeng tipis tulang, yang disebut tegmen timpani,
yang merupakan bagian dari pars petrosa ossis temporalis. Lempeng ini
memisahkan kavum timpani dan meningen dan lobus temporalis otak di
dalam fosa kranii media.

Lantai dibentuk di bawah oleh lempeng tipis tulang, yang mungkin tidak
lengkap dan mungkin sebagian diganti oleh jaringan fibrosa. Lempeng ini
memisahkan kavum timpani dari bulbus superior V. Jugularis interna.

Bagian bawah dinding anterior dibentuk oleh lempeng tipis tulang yang
memisahkan kavum timpani dari A. Carotis interna.

Pada bagian atas dinding anterior terdapat muara dari dua buah saluran.
Saluran yang lebih besar dan terletak lebih bawah menuju tuba auditiva,
dan yang terletak lebih atas dan lebih kecil masuk ke dalam saluran untuk
m. tensor timpani. Septum tulang tipis, yang memisahkan saluran-saluran
ini diperpanjang ke belakang pada dinding medial, yang akan membentuk
tonjolan mirip selat.

Di bagian atas dinding posterior terdapat sebuah lubang besar yang tidak
beraturan, yaitu auditus antrum. Di bawah ini terdapat penonjolan yang
berbentuk kerucut, sempit,kecil, disebut pyramis. Dari puncak pyramis ini
keluar tendon m. stapedius.

Sebagian besar dinding lateral dibentuk oleh membran timpani (Boies, 2005;
Ballatyne et. Al, 2002; Jide, 2008; Snell, 2006).
A. Membran Timpani
Membran timpani adalah membrana fibrosa tipis yang berwarna kelabu
mutiara. Membran ini terletak miring, menghadap ke bawah, depan, dan lateral.
Permukaannya konkaf ke lateral. Pada dasar cekungannya terdapat lekukan kecil,
yaitu umbo, yang terbentuk oleh ujung manubrium mallei. Bila membran terkena
cahaya otoskop, bagian cekung ini menghasilkan "refleks cahaya", yang memancar ke
anterior dan inferior dari umbo (Ballatyne et. Al, 2002; Jide, 2008; Snell, 2006)
Membran timpani berbentuk bulat dengan diameter lebih-kurang 1 cm.
Pinggirnya tebal dan melekat di dalam alur pada tulang. Alur itu, yaitu sulkus
timpanikus, di bagian atasnya berbentuk incisura. Dari sisi-sisi incisura ini berjalan
dua plika, yaitu plika mallearis anterior dan posterior, yang menuju ke processus
lateralis mallei. Daerah segitiga kecil pada membran timpani yang dibatasi oleh plikaplika tersebut lemas dan disebut pars flaccida. Bagian lainnya tegang disebut pars
tensa. Manubrium mallei dilekatkan di bawah pada permukaan dalam membran
timpani oleh membran mukosa. Membran timpani sangat peka terhadap nyeri dan
permukaan luarnya dipersarafi oleh n.aurikulotemporalis dan ramus aurikularis N.
Vagus (Snell, 2006).
Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral telinga dalam. Bagian terbesar
dari dinding memperlihatkan penonjolan bulat, disebut promontorium, yang
disebabkan oleh lengkung pertama koklea yang ada dibawahnya. Di atas dan belakang
promontorium terdapat fenestra vestibuli yang berbentuk lonjong dan ditutupi oleh
basis stapedis. Pada sisi medial fenestra terdapat perilympha skala vestibuli telinga
dalam. Di bawah ujung posterior promontorium terdapat fenestra koklea, yang
berbentuk bulat dan ditutupi oleh membran timpani sekunder. Pada sisi medial dari
fenestra ini terdapat perilympha ujung buntu skala timpani (Snell, 2006).
Tonjolan tulang berkembang dari dinding anterior yang meluas kebelakang
pada dinding medial di atas promontorium dan di atas fenestra vestibuli. Tonjolan ini

menyokong m. tensor timpani. Ujung posteriornya melengkung ke atas dan


membentuk takik, disebut processus cochleariformis.Di sekeliling takik ini tendo m.
tensor timpani membelok ke lateral untuk sampai ke tempat insersionya yaitu
manubrium mallei (Boies, 2005; Ballantyne et. Al, 2002; Snell, 2006).
Sebuah rigi bulat berjalan secara horizontal ke belakang, di atas
promontorium dan fenestra vestibuli dan dikenal sebagai prominentia canalis nervi
Facialis. Sesampainya di dinding posterior, prominentia ini melengkung ke bawah di
belakang pyramis (Snell, 2006).

Gambar 2.3 Membran Timpani


B. Tulang-Tulang Pendengaran
Di bagian dalam rongga ini terdapat 3 jenis tulang pendengaran yaitu tulang
maleus, inkus dan stapes. Ketiga tulang ini merupakan tulang kompak tanpa rongga
sumsum tulang (Snell, 2006).
Maleus adalah tulang pendengaran terbesar, dan terdiri atas caput, collum,
processus longum atau manubrium, sebuah processus anterior dan processus lateralis.
Caput mallei berbentuk bulat dan bersendi di posterior dengan incus. Collum mallei
adalah bagian sempit di bawah caput. Manubrium mallei berjalan ke bawah dan
belakang dan melekat dengan erat pada permukaan medial membran timpani.
Manubrium ini dapat dilihat melalui membran timpani pada pemeriksaan dengan
otoskop. Processus anterior adalah tonjolan tulang kecil yang dihubungkan dengan
dinding anterior kavum timpani oleh sebuah ligamen. Processus lateralis menonjol
kelateral dan melekat pada plica mallearis anterior dan posterior membran timpani
(Ballantyne et.al, 2002; Snell, 2006).

Incus mempunyai corpus yang besar dan dua crus. Corpus incudis berbentuk
bulat dan bersendi di anterior dengan caput mallei. Crus longum berjalan ke bawah di
belakang dan sejajar dengan manubrium mallei. Ujung bawahnya melengkung ke
medial dan bersendi dengan caput stapedis. Bayangannya pada membrana timpani
kadang-kadang dapat dilihat pada pemeriksaan dengan otoskop. Crus brevis menonjol
ke belakang dan dilekatkan pada dinding posterior kavum timpani oleh sebuah
ligament (Snell, 2006; Anil, 2007).
Stapes mempunyai caput, collum, dua lengan, dan sebuah basis. Caput
stapedis kecil dan bersendi dengan crus longum incudis. Collum berukuran sempit
dan merupakan tempat insersio m. stapedius. Kedua lengan berjalan divergen dari
collum dan melekat pada basis yang lonjong. Pinggir basis dilekatkan pada pinggir
fenestra vestibuli oleh sebuah cincin fibrosa, yang disebut ligamentum annulare
(Boies, 2005; Ballntyne et. al, 2002; Snell, 2006).

Gambar 2.4 Tulang-Tulang Pendengaran.


C. Otot-Otot Telinga Tengah
Ada 2 otot kecil yang berhubungan dengan ketiga tulang pendengaran. m.
tensor timpani terletak dalam saluran di atas tuba auditiva, tendonnya berjalan mulamula ke arah posterior kemudian mengait sekeliling sebuah tonjol tulang kecil untuk
melintasi rongga timpani dari dinding medial ke lateral untuk berinsersi ke dalam
gagang maleus. Tendo m. stapedius berjalan dari tonjolan tulang berbentuk piramid
dalam dinding posterior dan berjalan anterior untuk berinsersi ke dalam leher stapes.

Otot-otot ini berfungsi protektif dengan cara meredam getaran-getaran berfrekuensi


tinggi (Yusuf, 2000; Snell, 2006).
D. Tuba Eustachius
Tuba Eustachius merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani
dengan nasofaring. Panjang tuba eustachius adalah 37 mm. Tuba Eustachius
terbentang dari dinding anterior kavum timpani kebawah, depan, dan medial sampai
ke nasofaring. Sepertiga bagian posterior-nya adalah tulang dan dua pertiga bagian
anteriornya adalah kartilago. Tuba berhubungan dengan nasofaring dengan berjalan
melalui pinggir atas m. constrictor pharynges superior ( Snell, 2006; Rukmini, 2000).
Anatomi tuba Eeustachius dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Pars osseus
2. Pars kartilagines
Pertemuan antara pars osseus dan pars kartilagines merupakan daerah yang
paling sempit yang disebut isthmus. pars osseus bermuara pada kavum timpani pada
dinding anterior, bagian ini selalu terbuka. Pars osseus merupakan 1/3 panjang dari
tuba Eustachius (Snell, 2006).
Pars kartilagines merupakan 2/3 panjang tuba Eustachius. Berbentuk seperti
terompet. Bagian ini bermuara nasofaring dan selalu dalam keadaan tertutup. Baru
terbuka apabila ada kontraksi muskulus levator veli palatini (pada saat menguap atau
menelan) (Snell, 2006).
Perbedaan tuba Eustachius pada anak dan dewasa yang menyebabkan
meningkatnya insiden otitis media pada anak-anak. Panjang tuba pada anak setengah
panjang tuba dewasa, sehingga sekret nasofaring lebih mudah refluks ke dalam telinga
tengah melalui tuba yang pendek. Arah tuba bervariasi pada anak, sudut antara tuba
dengan bidang horizontal adalah 10. Sedangkan pada dewasa 45. Sudut antara
tensor veli palatini dengan kartilago bervariasi pada anak-anak tetapi relatif stabil
pada dewasa. Perbedaan ini dapat membantu menjelaskan pembukaan lumen tuba
(kontraksi tensor veli palatini) yang tidak efisien pada anak-anak. Masa kartilago
bertambah dari bayi sampai dewasa. Densitas elastin pada kartilago lebih sedikit pada
bayi tetapi densitas kartilago lebih besar. Pada anak-anak banyak lipatan mukosa di
lumen tuba Eustachius, hal ini dapat menjelaskan peningkatan compliance tuba pada
anak-anak (Rosenfeld, 1999; Bluestone, 1995).

Gambar 2.5 Perbedaan tuba Eustachius pada anak dan dewasa


Fungsi tuba Eustachius adalah:

Menjaga tekanan di dalam kavum timpani sama dengan tekanan dunia

luar (1 atm)
Menjaga ventilasi udara di dalam kavum timpani (suplai 02)
Drainase sekret dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke
kavum timpani

E. Antrum Mastoid
Antrum mastoid terletak di belakang kavum timpani di dalam pars petrosa
ossis temporalis, dan berhubungan dengan telinga tengah melalui auditus ad antrum,
diameter auditus ad antrum lebih kurang 1 cm (Hotimah, 2011).
Dinding anterior berhubungan dengan telinga tengah dan berisi auditus ad
antrum, dinding posterior memisahkan antrum dari sinus sigmoideus dan cerebellum.
Dinding lateral tebalnya 1,5 cm dan membentuk dasar trigonum suprameatus. Dinding
medial berhubungan dengan kanalis semisirkularis posterior. Dinding superior
merupakan lempeng tipis tulang, yaitu tegmen timpani, yang berhubungan dengan
meningen pada fosa kranii media dan lobus temporalis cerebri. Dinding inferior
berlubang-lubang, menghubungkan antrum dengan cellulae mastoideae (Hotimah,
2011).
2.1.3

Telinga Dalam
Telinga dalam terletak di dalam pars petrosa ossis temporalis, medial terhadap

telinga tengah dan terdiri atas (1) telinga dalam osseus, tersusun dari sejumlah rongga

di dalam tulang; dan (2) telinga dalam membranaceus, tersusun dari sejumlah sakus
dan duktus membranosa di dalam telinga dalam osseus (Snell, 2006; Hotimah, 2011).

Gambar 2.6 Telinga Dalam


A. Telinga Dalam Osseus
Telinga dalam osseus terdiri atas tiga bagian: vestibulum, canalis
semisirkularis, dan koklea. Ketiganya merupakan rongga-rongga yang terletak di
dalam substantia kompakta tulang, dan dilapisi oleh endosteum serta berisi cairan
bening, yaitu perilympha, yang di dalamnya terdapat labyrinthus membranaceus.
(Snell, 2006; Hotimah, 2011).
Vestibulum, merupakan bagian tengah telinga dalam osseus, terletak posterior
terhadap koklea dan anterior terhadap kanalis semisirkularis. Pada dinding lateralnya
terdapat fenestra vestibuli yang ditutupi oleh basis stapedis dan ligamentum
annularenya, dan fenestra koklea yang ditutupi oleh membran timpani sekunder. Di
dalam vestibulum terdapat sacculus dan utriculus telinga dalam membranaceus
(Hotimah, 2011).
Ketiga canalis semisirkularis, yaitu canalis semisirkularis superior, posterior,
dan lateral bermuara ke bagian posterior vetibulum. Setiap kanalis mempunyai sebuah
pelebaran di ujungnya disebut ampulla. Kanalis bermuara ke dalam vestibulum
melalui lima lubang, salah satunya dipergunakan bersama oleh dua kanalis. Di dalam
kanalis terdapat duktus semisirkularis (Hotimah, 2011).

Kanalis semisirkularis superior terletak vertikal dan terletak tegak lurus


terhadap sumbu panjang os petrosa. Kanalis semisirkularis posterior juga vertikal,
tetapi terletak sejajar dengan sumbu panjang os petrosa. Kanalis semisirkularis
lateralis terletak horizontal pada dinding medial aditus dan antrum, di atas kanalis
N.Fasialis (Hotimah, 2011).
Koklea berbentuk seperti rumah siput, dan bermuara ke dalam bagian anterior
vestibulum. Umumnya terdiri atas satu pilar sentral, modiolus cochleae, dan modiolus
ini dikelilingi tabung tulang yang sempit sebanyak dua setengah putaran. Setiap
putaran berikutnya mempunyai radius yang lebih kecil sehingga bangunan
keseluruhannya berbentuk kerucut. Apeks menghadap anterolateral dan basisnya ke
posteromedial. Putaran basal pertama dari koklea inilah yang tampak sebagai
promontorium pada dinding medial telinga tengah (Hotimah, 2011).
Modiolus mempunyai basis yang lebar, terletak pada dasar meatus akustikus
internus. Modiolus ditembus oleh cabang-cabang n. koklearis. Pinggir spiral, yaitu
lamina spiralis, mengelilingi modiolus dan menonjol kedalam kanalis dan membagi
kanalis ini. Membran basilaris terbentang dari pinggir bebas lamina spiralis sampai ke
dinding luar tulang, sehingga membelah kanalis koklearis menjadi skala vestibuli di
sebelah atas dan scala timpani di sebelah bawah. Perilympha di dalam skala vestibuli
dipisahkan dari kavum timpani oleh basis stapedis dan ligamentum annulare pada
fenestra vestibuli. Perilympha di dalam skala timpani dipisahkan dari cavum timpani
oleh membrana timpani sekunder pada fenestra koklea (Hotimah, 2011).
B. Telinga Dalam Membranaceus
Telinga dalam membranoceus terletak di dalam telinga dalam osseus,dan
berisi endolympha dan dikelilingi oleh perilympha. Telinga dalam membranaceus
terdiri atas utriculus dan sacculus, yang terdapat di dalam vestibulum osseus; tiga
duktus semisirkularis, yang terletak di dalam kanalis semisirkularis osseus; dan
duktus koklearis yang terletak di dalam koklea. Struktur-struktur ini saling
berhubungan dengan bebas (Hotimah, 2011).
Utriculus adalah yang terbesar dari dua buah saccus vestibuli yang ada,dan
dihubungkan tidak langsung dengan sacculus dan ductus endolymphaticus oleh
ductus utriculosaccularis (Hotimah, 2011).
Sacculus berbentuk bulat dan berhubungan dengan utriculus, seperti sudah
dijelaskan di atas. Ductus endolymphaticus, setelah bergabung dengan ductus utriculo

saccularis akan berakhir di dalam kantung buntu kecil, yaitu saccus endolymphaticus.
Saccus ini terletak di bawah duramater pada permukaan posterior pars petrosa ossis
temporalis (Hotimah, 2011).
Pada dinding utriculus dan sacculus terdapat reseptor sensorik khusus yang
peka terhadap orientasi kepala akibat gaya berat (Hotimah, 2011).
Duktus semisirkularis meskipun diameternya jauh lebih kecil dari kanalis
semisirkularis, mempunyai konfigurasi yang sama. Ketiganya tersusun tegak lurus
satu terhadap lainnya, sehingga ketiga bidang terwakili. Setiap kali kepala mulai atau
berhenti bergerak, atau bila kecepatan gerak kepala bertambah atau berkurang,
kecepatan gerak endolympha di dalam duktus semisirkularis akan berubah
sehubungan dengan hal tersebut terhadap dinding duktus semisirkularis. Perubahan ini
dideteksi oleh reseptor sensorik di dalam ampulla ductus semicircularis (Hotimah,
2011).
Duktus koklearis berbentuk segitiga pada potongan melintang dan
berhubungan dengan sacculus melalui ductus reuniens. Epitel sangat khusus yang
terletak di atas membrana basilaris membentuk organ Corti (organ spiralis) dan
mengandung reseptor-reseptor sensorik untuk pendengaran (Hotimah, 2011).
2.2 Fisiologi Pendengaran
Beberapa organ yang berperan penting dalam proses pendengaran adalah
membran tektoria, sterosilia dan membran basilaris. Interaksi ketiga struktur penting
tersebut sangat berperan dalam proses mendengar. Pada bagian apikal sel rambut
sangat kaku dan terdapat penahan yang kuat antara satu bundel dengan bundel
lainnya, sehingga bila mendapat stimulus akustik akan terjadi gerakan yang kaku
bersamaan. Pada bagian puncak stereosillia terdapat rantai pengikat yang
menghubungkan stereosilia yang tinggi dengan stereosilia yang lebih rendah,
sehingga pada saat terjadi defleksi gabungan stereosilia akan mendorong gabungangabungan yang lain, sehingga akan menimbulkan regangan pada rantai yang
menghubungkan stereosilia tersebut. Keadaan tersebut akan mengakibatkan
terbukanya kanal ion pada membran sel, maka terjadilah depolarisasi. Gerakan yang
berlawanan arah akan mengakibatkan regangan pada rantai tersebut berkurang dan
kanal ion akan menutup. Terdapat perbedaan potensial antara intra sel, perilimfa dan
endolimfa yang menunjang terjadinya proses tersebut. Potensial listrik koklea disebut
koklea mikrofonik, berupa perubahan potensial listrik endolimfa yang berfungsi

sebagai pembangkit pembesaran gelombang energi akustik dan sepenuhnya


diproduksi oleh sel rambut luar (May, Budelis, & Niparko, 2004).
Pola pergeseran membran basilaris membentuk gelombang berjalan dengan
amplitudo maksimum yang berbeda sesuai dengan besar frekuensi stimulus yang
diterima. Gerak gelombang membran basilaris yang timbul oleh bunyi berfrekuensi
tinggi (10 kHz) mempunyai pergeseran maksimum pada bagian basal koklea,
sedangkan stimulus berfrekuensi rendah (125 kHz) mempunyai pergeseran
maksimum lebih kearah apeks. Gelombang yang timbul oleh bunyi berfrekuensi
sangat tinggi tidak dapat mencapai bagian apeks, sedangkan bunyi berfrekuensi
sangat rendah dapat melalui bagian basal maupun bagian apeks membran basilaris.
Sel rambut luar dapat meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang berjalan
dengan meningkatkan gerakan membran basilaris pada frekuensi tertentu. Keadaan ini
disebut sebagai cochlear amplifier (Sherwood, 2014).

Gambar 2.7 Skema Fisiologi Pendengaran (Guyton, 2011)


Skema proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh telinga luar,
lalu menggetarkan membran timpani dan diteruskan ketelinga tengah melalui
rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran tersebut melalui
daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani

dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasikan akan diteruskan ke
telinga dalam dan di proyeksikan pada membran basilaris, sehingga akan
menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini
merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia selsel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari
badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi
pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks
pendengaran. (Sherwood, 2014).
2.3 Otitis Media Efusi
2.3.1 Definisi
Otitis media dengan efusi (selanjutnya disebut OME) adalah suatu proses pada
inflamasi pada mukosa telinga tengah yang tandai dengan adanya cairan non purulen
(serous atau mukus) di dalam telinga tengah, tanpa tanda-tanda infeksi akut. Penyakit
ini mempunyai banyak sinonim antara lain glue ear, allergic otitis media, mucoid ear,
otitis media sekretoria, non suppurative otitis media dan otitis media serosa (Rukmini,
2000).
Apabila efusi tersebut encer otitis media serosa dan apabila efusi tersebut
kental seperti lem otitis media mukoid (glue ear). Otitis media serosa terjadi terutama
akibat adanya transudat atau plasma yang mengalir dari pembuluh darah ke telinga
tengah yang sebagian besar terjadi akibat adanya perbedaan tekanan hidrostatik,
sedangkan pada otitis media mukoid cairan yang ada di telinga tengah timbul akibat
sekresi aktif dari kelenjar dan kista yang terdapat didalam mukosa telinga tengah dan
tuba Eustachius. Faktor yang berperan utama dalam keadaan ini adalah terganggunya
fungsi tuba Eustachius. Faktor lain yang dapat berperan sebagai penyebab adalah
adenoid, hipertrofi, adenoitis, sumbing palatum (cleft-palate), tumor di nasofaring,
barotrauma, sinusitis, rhinitis. Keadaan alergik sering berperan sebagai faktor
tambahan dalam timbulnya cairan ditelinga tengah (efusi di telinga tengah) (Soepardi,
2007).
Beberapa ahli memberi batasan yaitu otitis media efusi adalah keadaan
terdapat cairan di telinga tengah baik berbentuk nanah, sekret encer, ataupun sekret
yang kental (mucoid glue ear). Dengan kata lain otitis media efusi dapat berupa otitis
media serosa/otitis media sekretoria/otitis media mukoid/otitis media efusi terbatas

pada keadaan dimana terdapat efusi dalam kavum timpani dengan membran timpani
utuh tanpa tanda-tanda radang. Bila efusi tersebut berbentuk pus, membran timpani
utuh dan disertai tanda-tanda radang maka disebut otitis media akut (OMA)
(Soepardi, 2007).
Pada dasarnya otitis media serosa dapat dibagi atas dua jenis yaitu:
1. Otitis media serosa akut
Otitis media serosa akut adalah keadaan terbentuknya sekret di telinga secara
tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba. Keadaan akut ini dapat
disebabkan antara lain oleh:
-

Sumbatan tuba, dimana terbentuk cairan di telinga tengah disebabkan oleh


tersumbatnya tuba secara tiba-tiba seperti pada barotrauma.

Virus. Terbentuknya cairan ditelinga tengah yang berhubungan dengan infeksi


virus pada jalan nafas atas

Alergi terbentuknya cairan ditelinga tengah yang berhubungan dengan


keadaan alergi pada jalan nafas atas

Idiopatik (Soepardi, 2007).

Gambar 2.8 Otitis media serosa akut


2. Otitis media serosa kronik
Batasan antara kondisi otitis media kronik hanya pada cara terbentuknya
sekret. Pada otitis media serosa akut sekret terjadi secara tiba-tiba di telinga tengah
dengan disertai rasa nyeri pada telinga, sedangkan pada keadaan kronis sekret
terbentuk secara bertahap tanpa rasa nyeri dengan gejala-gejala pada telinga yang
berlangsung lama (Lalwani, 2007).
Otitis media serosa kronik lebih sering terjadi pada anak-anak, sedangkan
otitis media serosa akut lebih sering terjadi pada orang dewasa. Otitis media serosa

unilateral pada orang dewasa tanpa penyebab yang jelas harus selalu dipikirkan
kemungkinan adanya karsinoma nasofaring (Sherwood, 2014).
Sekret pada otitis media serosa kronik dapat kental seperti lem, maka disebut
glue ear. Otitis media serosa kronik dapat juga terjadi sebagai gejala sisa dari otitis
media akut (OMA) yang tidak sembuh sempurna (Lalwani, 2007).

Gambar 2.9 Otitis media serosa kronik


2.4 Epidemiologi
Infeksi telinga tengah menjadi masalah medis yang paling sering pada bayi
dan anak-anak umur pra sekolah, dan diagnosa utama yang paling sering pada anakanak yang lebih muda dari usia 15 tahun yang diperiksa di tempat praktek dokter
(Dhingra, 2005).
Sebagaimana halnya dengan kejadian infeksi saluran pernapasan atas (ISPA),
otitis media juga merupakan salah satu penyakit langganan anak. Di Amerika Serikat,
diperkirakan 75% anak mengalami setidaknya satu episode otitis media sebelum usia
tiga tahun dan hampir setengah dari mereka mengalaminya tiga kali atau lebih. Di
Inggris, setidaknya 25% anak mengalami minimal satu episode sebelum usia sepuluh
tahun. Di negara tersebut otitis media paling sering terjadi pada usia 3-6 tahun
(Dhingra, 2005).
Pada tahun 1990, 12.8 juta kejadian otitis media terjadi pada anak-anak usia di
bawah 5 tahun. Anak-anak dengan usia di bawah 2 tahun, 17% memiliki peluang
untuk kambuh kembali. 30-45% anak-anak dengan OMA dapat menjadi OME setelah
30 hari, dan 10% lainnya menjadi OME setelah 90 hari, sedikitnya 3.84 juta kasus
OME terjadi pada tahun tersebut; 1.28 juta kasus menetap setelah 3 bulan (Dhingra,
2005).
Statistik menunjukkan 80-90% anak prasekolah pernah menderita OME.
Kasus OME berulang (OME rekuren) pun menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi
terutama pada anak usia prasekolah, sekitar 28-38% (Efendi, 2005; Jide, 2008).

Daftar Pustaka
1. Yusuf, K. 2000. Hasil Otoskopi. Audiogram dan Timpahogram Pada
Pasien Usia 6-12 tahun yang Dicurigai Menderita Otitis Media Efusi di
Seksi Audiologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 1990. Media Perhati
Vol. 6 No. 4 Oktober Desember 2000. Jakarta
2. Boies, Adams. 2005. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. EGC: Jakarta .
3. Ballantyne J, Govers J, Scott B. 2002. Disease of the Ear, Nose,and
Throat. Publisher: Butthworth Co.Ltd. : 1987, vol. 52 Moore,keith L.
4. Jide. 2008. Indera Pendengaran dan Keseimbangan.
5. Hotimah, Mahyunie E. 2011. Otitis Media Serosa. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang: Malang
6. Sherwood L. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 4. EGC:
Jakarta
7. Soepardi EA,dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. FKUI:Jakarta
8. Anil, K. 2007. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology: Head
and Neck Surgery. Publisher: McGraw-Hill Medical
9. Rosenfeld RM and Bluestone CD. 1999. Evidence based media Stephen
Berman, MD eds. Canada BC Decker Inc
10. Bluestone CD, Klien JO. 1995. Otitis media in infant and children In
Bluestone et al eds. Pediatrics Otolaryngology 2 ed Philadelphia WB
Saunders Co.
11. May BJ, Budelis J, Niparko JK (2004) Behavioral studies of the
olivocochlear efferent system: Learning to listen in noise. Arch
Otolaryngol Head Neck Surg 130:660-664.
12. Rukmini S, Herawati S. Tekhnik Pemeriksaan Telinga Hidung Dan
Tenggorok. EGC:Jakarta
13. Lalwani K, Anil. Editor: Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology
Head and Neck Surgery , Ed.2. New York: McGraw Hill Lange . 2007.p 110.
14. Dhingra, PL. Editor: Otitis Media With Effusion. Disease of Ear, Nose and
Throat. New Delhi: B.I.Churchill Livingstone Pvt ltd.2005.p 64-67.
15. Efendi, Harjanto; Santoso Kuswidayati. Editor: Penyakit Telinga Tengah
dan Mastoid. BOIES Buku Ajar Penyakit THT, Ed.6. Jakarta: EGC. 2005.p
97-98.
16. Snell, R. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
EGC: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai