Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem ekonomi islam merupakan sistem yang lahir sejak
adanya islam, dengan sumber hukum utama ada pada Al-Quran
dan Hadits. Dalam ekonomi islam mengatur keseluruhan bagian
manusia dalam hal ekonomi, baik itu bagaimana bertindak
sebagai produsen, konsumen ataupun distributor, bahkan lebih
jauh lagi mengatur tentang perekonomian nasional, bagaimana
seharusnya

kebijakan

yang

diterapkan

untuk

menciptakan

kesejahteraan masyarakat.
Semua telah di atur, bagaimana pendapatan negara beserta
instrumen-instrumennya juga pengeluaran negara pada hal-hal
apa saja, bagitu pula penyimpanan keuangan negara telah di atur
dalam ekonomi islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prinsip pendapatan dan pengeluaran keuangan
publik islam?
2. Seperti apa kaidah dalam membelanjakan keuangan negara
dalam islam?
3. Bagaimana bentuk kebijakan pengeluaran negara dalam
islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan

memahami

prinsip

pendapatan

dan

pengeluaran keuangan publik islam.


2. Mengetahui dan memahami kaidah dalam membelanjakan
keuangan negara dalam islam.
3. Mengetahui dan memahami bentuk kebijakan pengeluaran
negara dalam islam.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Prinsip Pendapatan dan Pengeluaran Keuangan Publik
Islam.
Kebijakan

fiskal

merupakan

kebijakan

pemerintah

dalam

mengatur setiap pendapatan dan pengeluaran negara yang


dikeluarkan untuk mejaga stabilitas ekonomi dalam rangka
mendorong pertumbuhan ekonomi.1
Prinsip islam tentang kebijakan fiskal dan anggaran belanja
bertujuan

untuk

didasarkan

atas

mengembangkan
distribusi

suatu

kekayaan

masyarakat
berimbang

yang

dengan

menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang


sama. Kebijakan fiskal dianggap sebagai alat untuk mengatur dan
mengawasi perilaku manusia yang dipengaruhi melalui insentif
yang disediakan dengan meningkatkan pemasukan pemerintah.
Kebijakan fiskal dalam suatu negara tentulah diharapkan sesuai
dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai karena tujuan pokok agama
Islam adalah mencapai kesejahteraan umat manusia secara
keseluruhan.2
1 Dr. Rozalinda, M. Ag., Ekonomi Islam. hlm. 205.
2 Ibid, 210. (M.A. Mannan, Islamic Economic Theory and Practice (A
Comparative Study), (India: Idarah Al-Adabiyah, 1988) 317.

Kebijakan

fiskal

menurut

ekonomi

islam,

diharapkan

melaksanakan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi dalam


suatu negara yang mempunyai ciri khas tertentu dari nilai
orientasi, dimensi etik, dan sosial dalam pendapatan dan
pengeluaran negara islam.3
Adapun ciri-ciri kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi islam
adalah:
1. Pengeluaran negara dilakukan berdasarkan pendapatan
sehingga jarang terjadi defisit anggaran.
2. Sistem pajak proposional, pajak dalam ekonomi Islam
dibebankan berdasarkan tingkat produktifitas. Misalnya
kharaj, besarnya pajak ditentukan berdasarkan tingkat
kesuburan tanah, sistem irigasi, maupun jenis tanaman.
3. Perhitungan zakat berdasarkan hasil keuntungan bukan
pada jumlah barang. Misalnya, zakat perdagangan, yang
dikeluarkan zakatnya adalah hasil keuntungan, sehingga
tidak ada pembebanan terhadap biaya produksi.
B. Kaidah Belanja Negara Islam
Menurut Gusfahmi, pengeluaran negara memiliki prinsip yang
harus ditaati oleh Ulil Amri, yakni sebagai berikut:4
1. Tujuan penggunaan pengeluaran kekayaan negara telah
ditetapkan langsung oleh Allah Swt.

3 Ibid, 211.
4 Gusfahmi S.E., M.A., Pajak Menurut Syariah. hlm. 129-135.

Sesungguhnya sedekah (zakat) itu hanyalah untuk orangorang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan
hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya,
untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi
Maha bijaksana.
Q. S. At-Taubah [9]: 60.
Pada ayat tersebut, Allah Swt. langsung menentukan
tujuan penggunaan dari pendapatan zakat, yaitu asnaf yang
delapan. Demikian pula misalnya dengan ghanimah, hanya
ditujukan untuk lima kelompok dalam ayat tersebut.

Ketahuilah, sesungguhnya apa saya yang dapat kamu


peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya
seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu
beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan
kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di
hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.

Q. S. Al-Anfaal [8]: 41.


2. Apabila ada kewajiban tambahan, maka harus digunakan
untuk tujuan semula kenapa ia dipungut.
Kebutuhan, secara umum dapat dibagi dua, yaitu: (1)
kebutuhan negara dan (2) kebutuhan individu. Kebutuhan
negara adalah kebutuhan yang pengadaannya difardukan
kepada

negara

(Baitul

Mal),

dimana

negara

wajib

mengadakannya melalui sumber-sumber pendapatan tetap,


seperti: Shadaqah, Ghanimah, dan Fayi. Pendapatan ini
digunakan untuk kepentingan negara dan hal-hal yang
menjadi

tanggungan

keamanan,

negara,

kesehatan

dan

seperti

mengadakan

pendidikan.

Sedangkan

kebutuhan individu adalah kebutuhan yang pengadaannya


difardukan kepada kaum muslimin.
Dalam

keadaan

darurat

dan

terjadi

kekosongan

/kekurangan Baitul Mal, khalifah berhak untuk mengambil


harta

individu,

mereka

sendiri

untuk

memenuhi

(kaum

muslim)

kebutuhan-kebutuhan
seperti

keamanan,

kesehatan dan pendidikan, yang tidak terpenuhi oleh kas


negara, lalu dipungutlah pajak (dharibah). Uang pajak itu
harus digunakan untuk kepentingan kaum musliminn itu
sendiri, misalnya: membuat jalan raya, sekolah-sekolah,
menggaji aparat keamanan dan lain-lain.
3. Adanya

pemisahan

antara

pengeluaran

yang

wajib

diadakan disaat ada atau tidaknya harta dan pengeluaran


yang wajib diadakan hanya di saat adanya harta.
Menurut Nabhani, tidak semua jenis pengeluaran harus
diadakan,

melainkan

tergantung

sifat

masing-masing

pengeluaran itu. Ada pengeluaran yang wajib diadakan,


walaupun tidak ada dana yang tersedia di Baitul Mal,
sehingga Khalifah harus meminjam atau memungut pajak.

Sebaliknya, ada pengeluaran yang hanya diadakan bila


diadakan bila dana itu ada, seperti zakat. Berikut contohcontoh pengeluaran yang dimaksud.
a. Peneluaran zakat hanya di saat adanya harta zakat.
Zakat dalam Baitul Mal berada di tempat tersendiri,
terpisah dengan mata anggaran lain. Ia adalah hak
orang tertentu yang akan dibelanjakan hanya terhadap
mereka, berdasarkan ada dan tidak adanya.
b. Pengeluaran untuk mengatasi kemiskinan dan mendanai
jihad adalah di saat ada maupun tidak adanya harta.
Baitul Mal adalah pihak yang wajib menangani
kekurangan atas fakir miskin, ibnu sabil atau untuk
mendanai jihad. Pembelanjaan (pengeluaran) seperti ini
tidak ditentukan berdasarkan ada atau tidak adanya
harta, melainkan sebagai hak yang bersifat paten (harus
disediakan), baik di saat ada ataupun tidak di Baitul Mal.
Apabila harta ada, maka seketika wajib dikeluarkan. Bila
tidak

ada

harta,

lalu

dikhawatirkan

akan

terjadi

kerusakan karena pembelanjaannya ditangguhkan, maka


negara

bisa

(harus) meminjam, untuk

di

salurkan

seketika itu juga, berapapun hasil pengumpulanya dari


kaum muslimin.
c. Pengeluaran untuk kompensasi, harus dibayar di saat
ada maupun tidak adanya harta.
Pengeluaran ini adalah biaya yang harus dibayar negara
untuk

kompensasi

memberikan

jasanya,

atau
lalu

hak

orang-orang

mereka

meminta

yang
harta

sebagai upah atas jasanya.


d. Pembelanjaan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan ,
bukan untuk kompensasi adalah di saat ada

maupun

tidak adanya harta.


Pembelanjaan kelompok ini diberikan untuk barang,
bukan sebagai nilai pengganti harta-harta yang telah

dihasilkan. Contohnya: jalan raya, air, bangunan mesjid,


sekolah, rumah sakit, dan masalah lainnya yang adanya
dianggap

vital

penderitaan.
e. Pembelanjaan

dimana
karena

umat

adanya

akan

mengalami

kemaslahatan

dan

kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi.


Contohnya adalah pembuatan jalan baru, ketika jalan
lain sudah ada, membuka rumah sakit baru yang
sebenarnya sudah cukup dengan rumah sakit yang ada,
dan sebagainya. Hak untuk mendapatkan pembelanjaan
ini ditentukan berdasarkan adanya harta, bukan pada
saat tidak ada.
f. Pembelanjaan karena

adanya

unsur

keterpaksaan

(darurat) semisal ada peristiwa yang menimpa kaum


muslimin seperti : paceklik, angin taufan, gempa bumi,
atau serangan musuh.
Apabila harta tersebut ada, maka wajib disalurkan
seketika itu juga. Apabila harta itu tidak ada, maka
kewajiban dipikul oleh kaum muslimin seketika itu juga.
Kemudian harta itu diletakan di Baitul Mal untuk
disalurkan kepada yang berhak.
4. Penegeluaran harus hemat.
Pengeluaran haruslah ditujukan untuk hal-hal yang jelas
bermanfaat dan hema, tidak boros dan islam mengutuk
pemborosan. Penimbunan juga dikutuk karena dengan
penimbunan itu, kekayaan tidak dapat beredar dan manfaat
pengunaannya tidak dapat dinikmati si pemakai dan
masyarakat. Allab Swt. berfirman:

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta),


mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian.
Q. S. Al-Furqan [25] : 67
C. Kebijakan Pengeluaran Negara Islam
1. Masa periode awal pemerintah islam.
Dasar penyusunan anggaran pada masa ini adalah berapa
penghasilan yang diterimalah yang menentukan jumlah
yang tersedia untuk dibelanjakan. Kecuali dalam keadaan
darurat karena perang atau bencana alam lainnya, untuk ini
dikenakan pungutan khusus atau sumbangan. Kebijakan
anggaran ini tidak berorientasikan pertumbuhan karena
ketika

itu

tidak

terdapat

seruan

untuk

pertumbuhan

ekonomi dalam arti modern. Jadi dapat disimpulkan, konsep


anggaran berimbang atau surpluslah yang merupakan
praktik yang berlaku di masa Islam periode awal. Karena
kebutuhan negara masih sederhana, maka pendapatan
negara dari zakat dan infaq sudah memenuhi kebutuhan.5
2. Masa periode modern pemerintah islam
Pada Pemerintahan Islam periode modern, terjadi
perubahan yaitu, mulai memakai anggaran defisit dan
meninggalkan kebijaksanaan anggaran berimbang, yang
dianggap tidak berorientasi pada pertumbuhan. Ada tiga
ekonom islam yang sama-sama setuju dengan konsep
anggaran defisit, yaitu:

5 Ibid, 138. Dikutip dari Mustafa E. Nasution, BeberapaPemikiran


tentang Keuangan Publik Islam, http://tazkiaonline.com/artikel,
Monday, 31 Mey 2004.

a. Menurut Mannan, sebuah negara islam modern harus


harus

menerima

konsep

anggaran

modern

(sistem

anggaran defisit) dengan perbedaan pokok adalah dalam


hal penanganan defisit (kekurangan) anggaran itu.
Negara

islam

pengeluaran

dewasa

yang

ini

mutlak

harus

mulai

diperlukan

dengan

(sesuai

yang

direncanakan dalam APBN) dan mencari jalan serta caracara

baru

untuk

mencapainya,

baik

dengan

merasionalisasi struktur pajak atau dengan mengambil


kredit (utang) dari sistem perbankan dalam negeri atau
dari luar negeri (Bank Dunia, IMF, ADB dll).6
Pemilihan konsep anggaran defisit ini tentunya akan
memerlukan tambahan dengan cara meminjam. Untuk
itu terdapat tiga sumber pinjaman tradisional bagi
kebanyakan negeri islam, yaitu: bank sentral, bank
umum, dan masyarakat (obligasi).7
Namun, utang harus dibuat tanpa adanya tekanan dari
pihak

pemberi

utang

(kreditor)

yang

akan

dapat

mengakibatkan hilangnya kebebasan, kehormatan dan


kedaulatan negara muslim. Kemudian, yang tak kalah
pentingnya adalah, utang itu harus tanpa bunga (riba),
yang akan memberatkan pihak yang berutang (debitur).8
b. Menurut Umer Chapra juga setuju dengan anggaran
pembelanjaan

defisit,

namun

dengan

solusi

yang

berbeda dengan Mannan. Chapra berpendapat bahwa


negara-negara muslim harus menutup defisit dengan
pajak, yaitu mereformasi sistem perpajakan dan program
6 Ibid, 139.
7 Ibid, 139.
8 Ibid, 139.

pengeluaran negara, bukan dengan jalan pintas melalui


ekspansi moneter dan meminjam.9
Chapra lebih setuju dengan meningkatkan pajak, karena
pinjaman akan membawa kepada riba. Dan pinjaman itu
juga meniadakan keharusan berkorban, namun hanay
menangguhkan

beban

sementara

waktu

dan

akan

membebanai generasi yang akan datang dengan beban


yang berat yang tidak semestinya mereka pikul.10
c. Menurut Zallum, ia setuju dengan anggaran defisit,
dengan solusi yang hampir sama dengan Chapra, yaitu
defisit diatasi dengan penguasaan BUMN dan Pajak.
Zallum mengatakan bahwa:
Anggaran belanja negara pada saat ini sangat berat dan
besar, setelah meluasnya tanggung jawab dan
bertambahnya perkara-perkara yang harus disubsidi.
Pendapatan Baitul Mal dari sumber-sumber (tradisional)
seperti fayi, jizyah, kharaj, ushr, dan khumus.
Kadangkala tidak memadai untuk menutupi pengeluaran
negara yang semakin berkembang. Oleh karena itu,
negara harus mengupayakan cara lain yang mampu
menutupi kebutuhan pembelanjaan Baitul Mal, baik
dalam kondisi ada harta maupun tidak. Kewajiban
tersebut berpindah kepada kaum Muslim pada saar
Baitul Mal kosong.11

9 Ibid, 139. Dikutip dari M. Umer Chapra, 299. , Islam and The
Economic Challage, The Islamic Foundation and The International
Institute of Islamic Thought, USA, 1416 H/1995 M, Edisi Terjemahan
oleh Ikhwan Abidin Basri, Islam dan Tantangan Ekonomi, Gema Insani
Press & Tazkia Institute, Jakarta, Cet. I, 2000, 370.
10 Ibid, 139.
11 Ibid, 140. Dikutip dari Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di
Negara Khilafah, Edisi Terjemahan oleh Ahmad S, dkk, (Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah 1998), Cet. Ke-3. 82.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Prinsip islam tentang kebijakan fiskal dan anggaran belanja
bertujuan
didasarkan

untuk
atas

mengembangkan
distribusi

suatu

kekayaan

masyarakat
berimbang

yang

dengan

menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang


sama. Kebijakan fiskal dianggap sebagai alat untuk mengatur dan
mengawasi perilaku manusia yang dipengaruhi melalui insentif
yang disediakan dengan meningkatkan pemasukan pemerintah.

Kebijakan fiskal dalam suatu negara tentulah diharapkan sesuai


dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai karena tujuan pokok agama
Islam adalah mencapai kesejahteraan umat manusia secara
keseluruhan.
Tujuan

penggunaan

pengeluaran

kekayaan

negara

telah

ditetapkan langsung oleh Allah Swt.; Apabila ada kewajiban


tambahan, maka harus digunakan untuk tujuan semula kenapa ia
dipungut; Adanya pemisahan antara pengeluaran yang wajib
diadakan disaat ada atau tidaknya harta dan pengeluaran yang
wajib diadakan hanya di saat adanya harta; Penegeluaran harus
hemat.
Ada dua macam kebijakan pengeluaran yaitu pada masa awal
pemerintahan islam dengan konsep anggaran berimbang dan
kebijakan pengeluaran di masa periode modern pemerintahan
islam dengan konsep anggaran defisit.
B. Saran
Diharapkan agar memahami bagaimana kebijakan fiskal oleh
pemerintah

islam

bagi

mahasiswa

khususnya pengeluaran oleh pemerintah.

baik

pendapatan

dan

Anda mungkin juga menyukai