Anda di halaman 1dari 24

TUGAS AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

Fikry Nugraha
Ramadhan
1392141013
Akuntansi S1
A
A. DASAR YANG DIGUNAKAN PEMERINTAH MENGGUNAKAN DAU & DAK
Berbicara mengenai Dasar yang digunakan Pemerintah menggunakan DAU &
DAK terlebih dahulu kita musti tahu bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) & Dana
Alokasi Khusus (DAK) merupakan bagian dari Dana Perimbangan.
Dasar Hukum Pemerintah:
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.165/PMK.07/2012
tentang Pengalokasian Anggaran Transfer Daerah
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi, yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum,
dan Dana Alokasi Khusus.
KONSEP:
Dana Alokasi Umum
Definisi
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar
Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi. DAU bersifat Block Grant yang berarti penggunaannya diserahkan
kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Dasar Hukum DAU
Dasar hukumnya adalah UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan PP No. 55 Tahun
2005 tentang Dana Perimbangan.
Pengalokasian Dana
DAU dialokasikan untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota. Besaran
DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN)
Netto yang ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan untuk
daerah kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan imbangan kewenangan antara
provinsi dan kabupaten/kota. Dalam hal penentuan proporsi dimaksud belum dapat

dihitung secara kuantitatif, maka proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota
ditetapkan dengan imbangan 10% dan 90%.

DAU untuk suatu daerah otonom baru


DAU untuk suatu daerah otonom baru dialokasikan setelah undang-undang
pembentukan disahkan. Penghitungan DAU untuk daerah otonom baru dilakukan
setelah tersedia data celah fiskal dan alokasi dasar untuk daerah baru tersebut.
Dalam hal data dimaksud tidak tersedia, maka penghitungan DAU dilakukan dengan
membagi secara proporsional dengan daerah induk. Dalam hal ini, penghitungan
menggunakan data jumlah penduduk, luas wilayah, dan belanja pegawai.
DAU Tambahan
Kelebihan penerimaan negara dari minyak bumi dan gas bumi yang
ditetapkan dalam APBN Perubahan dialokasikan sebagai DAU tambahan. DAU
tambahan dialokasikan kepada daerah berdasarkan formula DAU atas dasar celah
fiskal.
Berdasarkan Penjabaran diatas dapat diketahui bahwa dasar pencanangan
program DAU disebabkan adanya kebutuhan untuk meratakan pendapatan antar
daerah (dalam pengertian nominal ataupun perkapita). Maksudnya, Daerah yang
berpendapatan tinggi akan diberikan sedikit dana sementara daerah yang
berpendapatan rendah akan diberikan dana yang lebih besar. Tujuan pemerataan
pendapatan antar daerah hanya baik untuk dipakai sebagai referensi ideal tapi
bukan tujuan yang bisa dicapai secara fungsional. Bila transfer DAU ditujukan
langsung untuk menyamakan pendapatan perkapita, maka implikasinya adalah
bahwa desain transfer DAU harus mengacu pada perbedaan dalam tingkat
pendapatan antar daerah.
Penetapan Alokasi DAU
Alokasi DAU per daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Alokasi DAU
tambahan ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Penyaluran DAU
DAU disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum
Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. Penyaluran DAU dilaksanakan setiap bulan
masing-masing sebesar 1/12 dari alokasi DAU daerah yang bersangkutan. Tata cara
penyaluran DAU dan DAU tambahan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
Dana Alokasi Khusus
Definisi

Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional.
Dasar Hukum DAK
Dua peraturan perundangan tentang desentralisasi dan otonomi daerah,
yaitu UU No.32/2004 dan UU No.33/2004 saat ini menjadi dasar bagi penerapan
struktur politik dan administrasi pemerintahan, khususnya keuangan (fiskal) di
Indonesia. UU No. 32/2004 mengatur pelimpahan penyelenggaraan sebagian besar
urusan pemerintahan menjadi kewenangan daerah, sementara UU No.33/2004
menata kebijakan perimbangan keuangan sebagai konsekuensi atas pembagian
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan
ketentuan Pasal 162 Ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2004 yang mengamanatkan agar
DAK ini diatur lebih lanjut dalam bentuk PP, Pemerintah telah mengeluarkan PP
Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Pengalokasian DAK
Besaran Dana Alokasi Khusus (DAK) ditetapkan setiap tahun dalam APBN.
DAK dialokasikan dalam APBN sesuai dengan program yang menjadi prioritas
nasional. DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan
khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional yang
menjadi urusan daerah. Daerah Tertentu dimaksud adalah daerah yang dapat
memperoleh alokasi DAK berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria
teknis.
Pelaksanaan DAK sendiri diarahkan pada kegiatan investasi pembangunan,
pengadaan, peningkatan, dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan
masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana
fisik penunjang, dan tidak termasuk penyertaan modal. Sebagai contoh,
penggunaan DAK bidang pendidikan meliputi:
1) Rehabilitasi gedung sekolah/ruang kelas,
2) Pengadaan/rehabilitasi sumber dan sanitasi air bersih serta kamar mandi dan
WC,
3) Pengadaan/perbaikan meubelair ruang kelas dan lemari perpustakaan,
4) Pembangunan/rehabilitasi rumah dinas penjaga/guru/kepala sekolah, dan
5) Peningkatan mutu sekolah dengan pembangunan/penyediaan sarana dan
prasarana perpustakaan serta fasilitas pendidikan lainnya di sekolah.

DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan


kegiatan fisik, penelitian, pelatihan, dan perjalanan dinas-dinas seperti:
a) pelaksanaan penyusunan rencana dan program
b) pelaksanaan tender pengadaan kegiatan fisik
c) kegiatan penelitian dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan fisik
d) kegiatan perjalanan pegawai daerah dan kegiatan umum lainnya yang sejenis
Untuk menyatakan komitmen dan tanggung jawabnya, daerah penerima
wajib mengalokasikan dana pendamping dalam APBD-nya sebesar minimal 10%
dari jumlah DAK yang diterimanya. Untuk daerah dengan kemampuan fiskal
tertentu tidak diwajibkan menyediakan dana pendamping yakni daerah yang selisih
antara Penerimaan Umum APBD dan belanja pegawainya sama dengan nol atau
negatif. Namun, dalam pelaksanaannya tidak ada daerah penerima DAK yang
mempunyai selisih antara Penerimaan Umum APBD dan belanja pegawainya sama
dengan nol atau negatif.
Berdasarkan penjabaran tersebut dapat diketahui bahwa dasar pencanangan
program DAK disebabkan adanya kebutuhan untuk membiayai kegiatan khusus,
yang merupakan kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan
menggunakan rumusan DAU. Di lain sisi, kemampuan asli sebagian besar daerah
yang tercermin dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya mampu mengumpulkan
tidak lebih dari 15% nilai APBD.

Penetapan Alokasi DAK


Alokasi DAK per daerah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Berdasarkan penetapan alokasi DAK dimaksud, menteri teknis menyusun Petunjuk
Teknis Penggunaan DAK. Petunjuk Teknis Penggunaan DAK dikoordinasikan oleh
Menteri Dalam Negeri.
Penyaluran DAK
DAK disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum
Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.

B. PAJAK DAERAH
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah Otonom (daerah) yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pemerintah Daerah dalam memungut pajak sebagai sumber bagi pendapatan
daerahnya masing-masing dapat menetapkan ketentuannya dengan berdasarkan
kepada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Jenis-jenis Pajak Daerah ini terdiri dari:
Pajak Provinsi
1) Pajak Kendaraan Bermotor;
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
4) Pajak Air Permukaan; dan
5) Pajak Rokok.
Pajak Kabupaten/Kota
1) Pajak Hotel;
2) Pajak Restoran;
3) Pajak Hiburan;
4) Pajak Reklame;
5) Pajak Penerangan Jalan;
6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
7) Pajak Parkir;
8) Pajak Air Tanah;
9) Pajak Sarang Burung Walet;
10)

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan

11)

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Tarif Pajak Daerah


No
.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
.
11
.
12
.
13
.
14
.
15
.
16
.

Jenis Pajak Daerah

Tarif

Pajak Kendaraan Bermotor


Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Pajak
Bahan
Bakar
Kendaraan
Bermotor
Pajak Air Permukaan
Pajak Rokok
Pajak Hotel
Pajak Restoran
Pajak Hiburan
Pajak Reklame
Pajak Penerangan Jalan

Paling tinggi 10%


Paling tinggi 20%
Paling tinggi 10%

Pajak Mineral
Batuan
Pajak Parkir

Paling tinggi 25%

Bukan

Logam

dan

Paling tinggi 10%


Ditetapkan 10%
Paling tinggi 10%
Paling tinggi 10%
Paling tinggi 75%
Paling tinggi 25%
Paling tinggi 10%

Paling tinggi 30%

Pajak Air Tanah

Paling tinggi 20%

Pajak Sarang Burung Walet

Paling tinggi 10%

Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan


dan Perkotaan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan

Paling tinggi 0,3%


Paling tinggi 5%

Daerah dilarang memungut jenis Pajak selain yang tersebut di atas (Pasal 2
Ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2009). Apabila ada Daerah menetapkan Perda dan
melakukan pemunggutan Pajak Daerah selain yang ditetapkan UU, maka Perda
tersebut akan direkomendasikan untuk dapat dibatalkan.

C. PAJAK RETRIBUSI
Retribusi Daerah atau Retribusi adalah pungutan daerah (otonom)
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan. Ketentuannya dengan berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Klasifikasikan atas Penggolongan Jenis-Jenis Retribusi:
1. Retribusi Jasa Umum
Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau
diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan
umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
Jenis Retribusi Jasa Umum adalah:
1) Retribusi Pelayanan Kesehatan;
2) Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
3) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta
Catatan Sipil;
4) Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat;
5) Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
6) Retribusi Pelayanan Pasar;
7) Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
8) Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
9) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;
10) Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus;
11) Retribusi Pengolahan Limbah Cair;
12) Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang;
13) Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan
14) Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.
Jenis Retribusi di atas dapat tidak dipungut apabila potensi
penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk
memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.

2. Jasa Usaha
Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh
Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi:
a) pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang
belum dimanfaatkan secara optimal; dan/atau
b) pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara
memadai oleh pihak swasta.
Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah:
1) Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
2) Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
3) Retribusi Tempat Pelelangan;
4) Retribusi Terminal;
5) Retribusi Tempat Khusus Parkir;
6) Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa;
7) Retribusi Rumah Potong Hewan;
8) Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan;
9) Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;
10) Retribusi Penyeberangan di Air; dan
11) Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
3. Perizinan Tertentu
Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu
oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang
dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan
pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana,
sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan
menjaga kelestarian lingkungan.
Jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah:
1) Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;

2) Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;


3) Retribusi Izin Gangguan;
4) Retribusi Izin Trayek; dan
5) Retribusi Izin Usaha Perikanan.

D. PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)


Pengertian dan Dasar hukum PBB
PBB dikenakan terhadap objek pajak berupa tanah dan atau bangunan yang
didasarkan pada azas kenikmatan dan manfaat, dan dibayar setiap tahun. PBB
pengenaannya didasarkan padaUndang-undang No. 12 tahun 1985 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
No.12 tahun 1994. Namun demikian dalam perkembangannya PBB sektor
pedesaan dan perkotaan menjadi pajak daerah yang diatur dalam UndangUndang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)
Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 mulai tahun 2010. Definisi-definisi PBB
sebagai berikut :
1.Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.
Pengertian ini berarti bukan hanya tanah permukaan bumi saja tetapi betulbetul tubuh bumi dari permukaan sampai dengan magma, hasil tambang,
gas material yang lainnya.
2.Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara
tetap pada tanah dan/atau perairan.
Dalam pasal 77 ayat (2) Undang-Undang PDRD, disebutkan bahwa termasuk
dalam pengertian bangunan adalah :
o jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel,

pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang satu kesatuan dengan


kompleks bangunan tersebut,

o jalan TOL,
o kolam renang,
o pagar mewah,
o tempat olah raga,
o galangan kapal, dermaga,
o taman mewah,
o tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak,
o fasilitas lain yang memberikan manfaat.

Objek PBB

Objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan, dimana pengertian bumi


dan/atau bangunan adalah sebagai berikut :
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman
serta laut wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Bangunan,
adalah kontruksi teknik yang di tanam atau di lekatkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan.
Tidak semua objek bumi dan bangunan akan dikenakan PBB, ada juga objek
yang di kecualikan dari pengenaan PBB adalah apabila sebagai berikut :
digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang

ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak


dimaksud-kan untuk memperoleh keuntungan,
digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan

itu,

merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,

tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang
belum di bebani suatu hak,
digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan

timbal balik,

digunakan

oleh badan atau perwakilan organisasi


ditentukan oleh Menteri Keuangan.

internasional

yang

Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan


pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Subjek PBB
Subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu
hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Melihat pengertian
subjek pajak tersebut, tidak jarang ada objek pajak yang diakui oleh lebih dari
satu orang subjek pajak, yang berarti ada satu objek pajak tetapi memiliki
beberapa wajib pajak. Bagaimana kalau hal ini terjadi, apakah semua menjadi
terhutang PBB?
Apabila terjadi statu kejadian dimana satu objek pajak dimiliki/dikuasai oleh
beberapa subjek pajak atau satu objek pajak belum diketahui dengan jelas siapa
Wajib Pajaknya, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah melihat
perjanjian (agreement) antara para pihak yang berkepentingan terhadap objek
pajak tersebut. Dalam perjanjian tersebut salah satu pasalnya biasanya
membahas siapa yang akan melakukan kewajiban pembayaran pajak termasuk
pajak Bumi dan Bangunan. Apabila dalam perjanjian tidak disebutkan atau

memang terjadi lebih dari satu yang memanfaatkan objek pajak sehingga belum
diketahui siapa yang menjadi wajib pajak Direktorat Jenderal Pajak dapat
menetapkan subjek pajaknya (UU No 12 tahun 1994 Pasal 4 ayat 3).
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, apakah setiap yang membayar
PBB adalah pemilik atas objek pajak tersebut? Surat tanda pemberitahuan atau
dikenal dengan sebutan SPPT (Surat Pembayaran Pajak Terhutang) atau bukti
pelunasan bukanlah bukti pemilikan hak. Surat Tagihan Pajak atau bukti
pembayaran PBB adalah semata mata untuk kepentingan perpajakan dan tidak
ada kaitannya dengan status atau hak pemilikan atas tanah dan/atau bangunan.
Penilaian
Berbicara masalah PBB tidak akan terlepas dari nilai properti itu sendiri.
Karena besarnya PBB yang akan dibayarkan oleh WP akan tergantung pada
nilainya. Penilaian objek PBB pedesaan dan perkotaan meliputi penilaian objek
tanah dan bangunan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak (pemerintah daerah
menurut UU No. 28 Tahun 2009) untuk menentukan NJOP yang akan dijadikan
sebagai dasar pengenaan pajak.
Untuk menilai objek properti tersebut digunakan beberapa metode penilaian
sebagai berikut:
1. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach).
NJOP dihitung dengan cara membandingkan Objek pajak yang sejenis
dengan Objek lain yang telah diketahui harga pasarnya.

Pendekatan ini pada umumnya digunakan untuk menentukan NJOP


tanah, namun dapat juga dipakai untuk menentukan NJOP bangunan.

2. Pendekatan Biaya (Cost Approach).


Pendekatan ini digunakan untuk menentukan nilai tanah atau
bangunan terutama untuk menentukan NJOP bangunan dengan menghitung
seluruh biaya yang dikeluarkan untuk membuat bangunan baru yang sejenis
dikurangi dengan penyusutan phisiknya.
3. Pendekatan Pendapatan (Income Approach)
Pendekatan ini digunakan untuk menentukan NJOP yang tidak dapat
dilakukan berdasarkan pendekatan data pasar atau pendekatan biaya,
tetapi ditentukan berdasarkan hasil bersih objek pajak tersebut,

Pendekatan ini terutama digunakan untuk menentukan NJOP galian


tambang atau objek perairan.

Jenis Objek Pajak


1) Objek Pajak Umum yaitu objek pajak yang memiliki kriteria konstruksi
bangunan umum dengan luas tanah berdasarkan kriteria tertentu. Objek
pajak umum sendiri dibedakan menjadi:

a. Objek pajak standar, kriteria untuk objek pajak ini adalah:


Luas tanah 10.000 m
Jumlah lantai bangunan 4 lantai

Luas bangunan 1000 m

b. Objek pajak non standar, kriterianya ialah:


Luas tanah 10.000 m
Jumlah lantai bangunan 4 lantai

Luas bangunan 1000 m

2) Objek Pajak Khusus yaitu objek pajak yang memiliki kriteria konstruksi
bangunan khusus. Kriteria bangunan khusus ditinjau dari segi bentuk,
material pembentuk dan keberadaannya yang memiliki arti khusus. Contoh
objek pajak khusus adalah pelabuhan, Bandar udara, jalan tol, tempat
wisata, dan lain-lain.

E. BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)


Filosofi BPHTB
Mengapa BPHTB dinamai Bea, bukan Pajak ?
Tidak banyak yang tahu mengapa BPHTB dinamai dengan bea dan bukan
pajak. Ternyata ada beberapa ciri khusus yang membuatnya dinamai bea.
Ciri pertama, saat pembayaran pajak terjadi lebih dahulu daripada saat

terutang. Contohnya, pembeli tanah bersertifikat sudah diharuskan


membayar BPHTB sebelum terjadi transaksi (sebelum akta dibuat dan
ditandatangani). Hal ini terjadi juga dalam Bea Meterai. Siapapun pihak
yang membeli meterai tempel berarti ia sudah membayar Bea Meterai,
walaupun belum terjadi saat terutang pajak.
Ciri kedua adalah frekuensi pembayaran bea terutang dapat dilakukan secara

insidentil ataupun berkali-kali dan tidak terikat dengan waktu. Misalnya


membeli (membayar) meterai tempel dapat dilakukan kapan saja, demikian
pula membayar BPHTB terutang. Hal ini tentunya berbeda dengan pajak,
yang harus dibayar sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan dikenakan terhadap
orang atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan atas suatu hak atas tanah dan atau bangunan ini bisa diartikan
bahwa orang atau badan tersebut mempunya nilai lebih atas tambahan atau
perolehan hak tersebut. Dimana tidak semua orang mempunyai kemampuan
lebih untuk mendapatkan tanah dan atau bangunan.
Pengertian dan Dasar Hukum BPHTB
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) adalah pajak
yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dasar
hukum BPHTB adalah Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 jo. Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 tahun
1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Kemudian pajak ini
masuk dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 85 sampai dengan
Pasal 93. Peraturan terkait lainnya antara lain:
1.Peraturan Pemerintah Nomor 111 s.d. 114 tahun 2000,
2.Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.04/2004 tentang Pemberian
Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 91/PMK.03/2006,
3.Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tentang Tata Cara
Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana terakhir diubah


dengan PMK Nomor 14/PMK.03/2009.
Subjek BPHTB,
Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak
atas tanah dan bangunan dengan kata lain adalah pihak yang menerima
pengalihan hak baik itu badan mapupun orang pribadi. Subjek pajak yang
dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.
Objek BPHTB
Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah atau bangunan yaitu
terhadap peristiwa hukum atau perbuatan hukum atas transaksi/peralihan
haknya yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru Perolehan hak
tersebut meliputi;
a. Pemindahan hak
1. Jual beli,
2. Tukar menukar,
3. Hibah yaitu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas
tanah atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu,
4. Hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai
pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau
badan hukum tertentu, yang berlaku setalah pemberi hibah meninggal
dunia,
5. Waris yaitu pengalihan hak yang dilakukan terhadap tanah dan atau
bangunan dalam garis keturunan lurus,
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu pengalihan
hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau kepada badan
hukum lainnya,
7. Pemisahan yang menyebabkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak
bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan
kepada sesama pemegang hak bersama,
8. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu
peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu
pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut,
9. Penunjukkan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh
pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang,

10.Penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau


lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan
usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung,
1. Peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha
dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan
usaha yang bergabung tersebut,
2. Pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu usaha menjadi dua usaha atau
lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan
sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang
dilakukan tanpa likuidasi badan usaha yang lama,
3. Hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah
dan bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum
kepada penerima hadiah.
b. Pemberian hak baru.
1. Kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada
orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari
pelepasan hak,
2. Diluar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang
pribadi atau badan hukum dari negara atau dari pemegang hak milik
menurut peraturan perundang-undang yang berlaku.
Jenis-Jenis Hak atas Tanah
Diatur dalam UU Pokok Agraria (UU No. 5 / 1960):
1. Hak milik, yaitu hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang pribadi atau badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh
pemerintah,
2. Hak guna usaha , yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan
oleh perundang-undangan yang berlaku,
3. Hak guna bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu
yang ditetapkan dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
peraturan dasar pokok-pokok agraria,
4. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain
sesuai dengan perjanjian, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku,

Diatur dalam UU Rumah Susun (UU No. 16 / 1985):


5. Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang
bersifat bagian bersama benda bersama, tanah bersama yang semuanya
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang
bersangkutan,
Diatur dalam PP No. 8 Tahun 1953:
6. Hak pengelolaan yaitu hak menguasai dari negara yang kewenangan
pelaksanaanya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara
lain berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan
tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian dari
tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak
ketiga.
Objek yang Tidak Dikenakan BPHTB,
Yang bukan merupakan objek yang dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang
diperoleh :
1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik,
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintah dan atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum,
3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan,
4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama,
5. Karena wakaf atau warisan,
6. Untuk digunakan kepentingan ibadah.

Dasar Pengenaan BPHTB


Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP).

Jika NPOP sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan 9 tidak


diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB
pada tahun terjadinya perolehan maka DPP yang dipakai adalah NJOP.
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
Selanjutnya didalam pasal 7 UU BPHTB, pemerintah menentukan suatu
batas nilai perolehan tidak kena pajak yang disebut Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Ketentuan pasal 7 ini dijabarkan lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah dan yang terakhir adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 113 Tahun 2000 tanggal 1 Desember 2000 yang kemudian
ditindaklanjuti
lagi
dengan
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
516/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000. Keputusan Menteri Keuangan ini
kemudian mengalami perubahan dan yang terakhir diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 tanggal 22 Februari 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000
Tentang Tata Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak BPHTB. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 ini berisikan
ketentuan sebagai berikut:
1. untuk perolehan hak karena waris , atau hibah wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah
wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan paling banyak Rp.300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah),
2. untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur
dalam
Peraturan
Menteri
Negara
Perumahan
Rakyat
Nomor
03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan
Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR bersubsidi, dan Rumah
Susun Sederhana sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara

Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan


dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR
Rumah Susun Bersubsidi, ditetapkaan sebesar Rp.49.000.000,00 (empat
puluh sembilan juta rupiah),
3. untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku
usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah
untuk Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan
sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
4. untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf
a, huruf b, dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp.60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah),
5. dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d
lebih besar daripada NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
huruf b, maka NPOPTKP untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada
huruf b ditetapkan sama dengan NPOPTKP sebagaimana ditetapkan pada
huruf d,
6. dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d
lebih besar daripada NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
huruf c, maka NPOPTKP untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada
huruf c ditetapkan sama dengan NPOPTKP sebagaimana ditetapkan pada
huruf d. Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional, maksudnya adalah
NPOPTKP tersebut ditetapkan per daerah tingkat II (Kabupaten/Kota) dengan
mempertimbangkan usulan dari Kepala Daerah yang bersangkutan.
Sedangkan menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD pasal 85 ayat (4),
(5) dan (6) besarnya NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp.
60.000.000,00 untuk setiap wajib pajak. Kemudian untuk perolehan hak karena
waris atau hibah wasiat NPOPTKP ditetapkan paling rendah Rp. 300.000.000,00.
NPOPTKP menurut UU PDRD tersebut akan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Tarif BPHTB
Tarif BPHTB menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 jo. UndangUndang Nomor 20 tahun 2000 Pasal 5 adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan
Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Sedangkan menurut UU No. 28 Tahun 2009
tentang PDRD Pasal 88 disebutkan bahwa tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi
sebesar 5% dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Cara Penghitungan BPHTB
Perhitungan BPHTB berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 jo.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Pasal 8 adalah sebagai berikut:

Sedangkan perhitungan BPHTB menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 89


adalah sebagai berikut:

Saat terutangnya BPHTB


Menurut ketentuan pasal 9 ayat (1) UU BPHTB No. 20 Tahun 2000
menyatakan bahwa saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan adalah sebagai berikut :

Pajak terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak, dengan
kata lain saat terutang pajak BPHTB adalah merupakan saat untuk wajib
membayar pajak.
Tempat Terutangnya BPHTB
Tempat pajak terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi
yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.

Pembayaran BPHTB
Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau
Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau
Tempat Pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan Surat
Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (SSB).
Ketetapan BPHTB
Direktorat Jenderal Pajak (menurut UU No. 20 Tahun 2000) atau Kepala
Daerah (menurut UU No. 28 Tahun 2009) dalam jangka waktu 5 tahun sesudah
terutangnya BPHTB setelah terlebih dahulu melakukan pemeriksaan lapangan
ataupun kantor dan dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea (SKB) atau Surat
Ketetapan Pajak Daerah (SKPD):
1.Lebih bayar (LB), apabila pajak yang dibayar ternyata lebih besar daripada
jumlah pajak yang terutang atau dilakukan pembayaran pajak yang tidak
seharusnya terutang,
2.Nihil (N), apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak
terutang,
3.Kurang bayar (KB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lainnya ternyata jumlah pajak yang terutang tidak atau kurang bayar.
4.Kurang bayar tambahan (KBT) apabila ditemukan data baru dan atau data
yang semula belum terungkap (novum) yang menyebabkan penambahan
jumlah pajak yang terutang kecuali WP melapor sebelum pemeriksaan.
Terhadap jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam SKBKB tersebut
dikenakan sanksi administrasi sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang
kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan
(sehingga maksimal 48%) terhitung sejak tanggal terutangnya pajak.
Sedangkan terhadap kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT dikenakan
sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan
pajak tersebut, namun demikian jika WP melaporkan sendiri sebelum dilakukan
pemeriksaan maka kenaikan tersebut tidak dikenakan. Jangka waktu pelunasan
SKB tersebut adalah 1 bulan sejak tanggal diterbitkannya surat ketetapan.
Sanksi Tidak Membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan /
BPHTB
Apabila WP diketahui kurang bayar BPHTB maka Dirjen Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB (SKBKB) beserta denda sebesar 2%
perbulan untuk jangka waktu maksimal 24 bulan dihitung mulai saat terhutang
pajak sampai diterbitkan SKBKB. Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan BPHTB kurang Bayar (SKBKBT) jika ditemukan data baru atau data
yang sebelumnya tidak terungkap yang mengakibatkan menambahnya jumlah
pajak terutang setelah SKBKB terbit, maka dapat dikenakan denda sanksi

administrasi sebesar 100% dari kekurangan pajak tersebut kecuali WP


melaporkan sendiri sebelum adanya tindakan pemeriksaan.

Daftar Pustaka
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.165/PMK.07/2012 tentang
Pengalokasian Anggaran Transfer Daerah
http://www.wikiapbn.org/dana-perimbangan/
https://primalifejournal.wordpress.com/2013/03/19/dana-alokasi-khusus-dak/
http://dispenda.inhukab.go.id/web/detailberita/189#.Vm7kjW6O10s
https://id.wikipedia.org/wiki/Pajak
http://indrapajak.blogspot.co.id/2013/12/babak-baru-pajak-daerah.html
http://www.wikiapbn.org/pajak-daerah-dan-retribusi-daerah/
http://eddiwahyudi.com/perspektif-pajak-sebagai-sarana-pendukungpembangunan/pajak-bumi-dan-bangunan-pbb/
http://eddiwahyudi.com/perspektif-pajak-sebagai-sarana-pendukungpembangunan/bea-perolehan-hak-atas-tanah-dan-bangunan-bphtb/

Anda mungkin juga menyukai