Fikry Nugraha
Ramadhan
1392141013
Akuntansi S1
A
A. DASAR YANG DIGUNAKAN PEMERINTAH MENGGUNAKAN DAU & DAK
Berbicara mengenai Dasar yang digunakan Pemerintah menggunakan DAU &
DAK terlebih dahulu kita musti tahu bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) & Dana
Alokasi Khusus (DAK) merupakan bagian dari Dana Perimbangan.
Dasar Hukum Pemerintah:
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.165/PMK.07/2012
tentang Pengalokasian Anggaran Transfer Daerah
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi, yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum,
dan Dana Alokasi Khusus.
KONSEP:
Dana Alokasi Umum
Definisi
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar
Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi. DAU bersifat Block Grant yang berarti penggunaannya diserahkan
kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Dasar Hukum DAU
Dasar hukumnya adalah UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan PP No. 55 Tahun
2005 tentang Dana Perimbangan.
Pengalokasian Dana
DAU dialokasikan untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota. Besaran
DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN)
Netto yang ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan untuk
daerah kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan imbangan kewenangan antara
provinsi dan kabupaten/kota. Dalam hal penentuan proporsi dimaksud belum dapat
dihitung secara kuantitatif, maka proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota
ditetapkan dengan imbangan 10% dan 90%.
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional.
Dasar Hukum DAK
Dua peraturan perundangan tentang desentralisasi dan otonomi daerah,
yaitu UU No.32/2004 dan UU No.33/2004 saat ini menjadi dasar bagi penerapan
struktur politik dan administrasi pemerintahan, khususnya keuangan (fiskal) di
Indonesia. UU No. 32/2004 mengatur pelimpahan penyelenggaraan sebagian besar
urusan pemerintahan menjadi kewenangan daerah, sementara UU No.33/2004
menata kebijakan perimbangan keuangan sebagai konsekuensi atas pembagian
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan
ketentuan Pasal 162 Ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2004 yang mengamanatkan agar
DAK ini diatur lebih lanjut dalam bentuk PP, Pemerintah telah mengeluarkan PP
Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Pengalokasian DAK
Besaran Dana Alokasi Khusus (DAK) ditetapkan setiap tahun dalam APBN.
DAK dialokasikan dalam APBN sesuai dengan program yang menjadi prioritas
nasional. DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan
khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional yang
menjadi urusan daerah. Daerah Tertentu dimaksud adalah daerah yang dapat
memperoleh alokasi DAK berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria
teknis.
Pelaksanaan DAK sendiri diarahkan pada kegiatan investasi pembangunan,
pengadaan, peningkatan, dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan
masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana
fisik penunjang, dan tidak termasuk penyertaan modal. Sebagai contoh,
penggunaan DAK bidang pendidikan meliputi:
1) Rehabilitasi gedung sekolah/ruang kelas,
2) Pengadaan/rehabilitasi sumber dan sanitasi air bersih serta kamar mandi dan
WC,
3) Pengadaan/perbaikan meubelair ruang kelas dan lemari perpustakaan,
4) Pembangunan/rehabilitasi rumah dinas penjaga/guru/kepala sekolah, dan
5) Peningkatan mutu sekolah dengan pembangunan/penyediaan sarana dan
prasarana perpustakaan serta fasilitas pendidikan lainnya di sekolah.
B. PAJAK DAERAH
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah Otonom (daerah) yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pemerintah Daerah dalam memungut pajak sebagai sumber bagi pendapatan
daerahnya masing-masing dapat menetapkan ketentuannya dengan berdasarkan
kepada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Jenis-jenis Pajak Daerah ini terdiri dari:
Pajak Provinsi
1) Pajak Kendaraan Bermotor;
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
4) Pajak Air Permukaan; dan
5) Pajak Rokok.
Pajak Kabupaten/Kota
1) Pajak Hotel;
2) Pajak Restoran;
3) Pajak Hiburan;
4) Pajak Reklame;
5) Pajak Penerangan Jalan;
6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
7) Pajak Parkir;
8) Pajak Air Tanah;
9) Pajak Sarang Burung Walet;
10)
11)
Tarif
Pajak Mineral
Batuan
Pajak Parkir
Bukan
Logam
dan
Daerah dilarang memungut jenis Pajak selain yang tersebut di atas (Pasal 2
Ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2009). Apabila ada Daerah menetapkan Perda dan
melakukan pemunggutan Pajak Daerah selain yang ditetapkan UU, maka Perda
tersebut akan direkomendasikan untuk dapat dibatalkan.
C. PAJAK RETRIBUSI
Retribusi Daerah atau Retribusi adalah pungutan daerah (otonom)
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan. Ketentuannya dengan berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Klasifikasikan atas Penggolongan Jenis-Jenis Retribusi:
1. Retribusi Jasa Umum
Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau
diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan
umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
Jenis Retribusi Jasa Umum adalah:
1) Retribusi Pelayanan Kesehatan;
2) Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
3) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta
Catatan Sipil;
4) Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat;
5) Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
6) Retribusi Pelayanan Pasar;
7) Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
8) Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
9) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;
10) Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus;
11) Retribusi Pengolahan Limbah Cair;
12) Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang;
13) Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan
14) Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.
Jenis Retribusi di atas dapat tidak dipungut apabila potensi
penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk
memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
2. Jasa Usaha
Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh
Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi:
a) pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang
belum dimanfaatkan secara optimal; dan/atau
b) pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara
memadai oleh pihak swasta.
Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah:
1) Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
2) Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
3) Retribusi Tempat Pelelangan;
4) Retribusi Terminal;
5) Retribusi Tempat Khusus Parkir;
6) Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa;
7) Retribusi Rumah Potong Hewan;
8) Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan;
9) Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;
10) Retribusi Penyeberangan di Air; dan
11) Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
3. Perizinan Tertentu
Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu
oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang
dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan
pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana,
sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan
menjaga kelestarian lingkungan.
Jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah:
1) Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
o jalan TOL,
o kolam renang,
o pagar mewah,
o tempat olah raga,
o galangan kapal, dermaga,
o taman mewah,
o tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak,
o fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Objek PBB
itu,
merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang
belum di bebani suatu hak,
digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbal balik,
digunakan
internasional
yang
memang terjadi lebih dari satu yang memanfaatkan objek pajak sehingga belum
diketahui siapa yang menjadi wajib pajak Direktorat Jenderal Pajak dapat
menetapkan subjek pajaknya (UU No 12 tahun 1994 Pasal 4 ayat 3).
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, apakah setiap yang membayar
PBB adalah pemilik atas objek pajak tersebut? Surat tanda pemberitahuan atau
dikenal dengan sebutan SPPT (Surat Pembayaran Pajak Terhutang) atau bukti
pelunasan bukanlah bukti pemilikan hak. Surat Tagihan Pajak atau bukti
pembayaran PBB adalah semata mata untuk kepentingan perpajakan dan tidak
ada kaitannya dengan status atau hak pemilikan atas tanah dan/atau bangunan.
Penilaian
Berbicara masalah PBB tidak akan terlepas dari nilai properti itu sendiri.
Karena besarnya PBB yang akan dibayarkan oleh WP akan tergantung pada
nilainya. Penilaian objek PBB pedesaan dan perkotaan meliputi penilaian objek
tanah dan bangunan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak (pemerintah daerah
menurut UU No. 28 Tahun 2009) untuk menentukan NJOP yang akan dijadikan
sebagai dasar pengenaan pajak.
Untuk menilai objek properti tersebut digunakan beberapa metode penilaian
sebagai berikut:
1. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach).
NJOP dihitung dengan cara membandingkan Objek pajak yang sejenis
dengan Objek lain yang telah diketahui harga pasarnya.
2) Objek Pajak Khusus yaitu objek pajak yang memiliki kriteria konstruksi
bangunan khusus. Kriteria bangunan khusus ditinjau dari segi bentuk,
material pembentuk dan keberadaannya yang memiliki arti khusus. Contoh
objek pajak khusus adalah pelabuhan, Bandar udara, jalan tol, tempat
wisata, dan lain-lain.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan dikenakan terhadap
orang atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan atas suatu hak atas tanah dan atau bangunan ini bisa diartikan
bahwa orang atau badan tersebut mempunya nilai lebih atas tambahan atau
perolehan hak tersebut. Dimana tidak semua orang mempunyai kemampuan
lebih untuk mendapatkan tanah dan atau bangunan.
Pengertian dan Dasar Hukum BPHTB
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) adalah pajak
yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dasar
hukum BPHTB adalah Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 jo. Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 tahun
1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Kemudian pajak ini
masuk dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 85 sampai dengan
Pasal 93. Peraturan terkait lainnya antara lain:
1.Peraturan Pemerintah Nomor 111 s.d. 114 tahun 2000,
2.Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.04/2004 tentang Pemberian
Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 91/PMK.03/2006,
3.Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tentang Tata Cara
Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea
Pajak terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak, dengan
kata lain saat terutang pajak BPHTB adalah merupakan saat untuk wajib
membayar pajak.
Tempat Terutangnya BPHTB
Tempat pajak terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi
yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.
Pembayaran BPHTB
Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau
Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau
Tempat Pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan Surat
Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (SSB).
Ketetapan BPHTB
Direktorat Jenderal Pajak (menurut UU No. 20 Tahun 2000) atau Kepala
Daerah (menurut UU No. 28 Tahun 2009) dalam jangka waktu 5 tahun sesudah
terutangnya BPHTB setelah terlebih dahulu melakukan pemeriksaan lapangan
ataupun kantor dan dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea (SKB) atau Surat
Ketetapan Pajak Daerah (SKPD):
1.Lebih bayar (LB), apabila pajak yang dibayar ternyata lebih besar daripada
jumlah pajak yang terutang atau dilakukan pembayaran pajak yang tidak
seharusnya terutang,
2.Nihil (N), apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak
terutang,
3.Kurang bayar (KB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lainnya ternyata jumlah pajak yang terutang tidak atau kurang bayar.
4.Kurang bayar tambahan (KBT) apabila ditemukan data baru dan atau data
yang semula belum terungkap (novum) yang menyebabkan penambahan
jumlah pajak yang terutang kecuali WP melapor sebelum pemeriksaan.
Terhadap jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam SKBKB tersebut
dikenakan sanksi administrasi sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang
kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan
(sehingga maksimal 48%) terhitung sejak tanggal terutangnya pajak.
Sedangkan terhadap kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT dikenakan
sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan
pajak tersebut, namun demikian jika WP melaporkan sendiri sebelum dilakukan
pemeriksaan maka kenaikan tersebut tidak dikenakan. Jangka waktu pelunasan
SKB tersebut adalah 1 bulan sejak tanggal diterbitkannya surat ketetapan.
Sanksi Tidak Membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan /
BPHTB
Apabila WP diketahui kurang bayar BPHTB maka Dirjen Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB (SKBKB) beserta denda sebesar 2%
perbulan untuk jangka waktu maksimal 24 bulan dihitung mulai saat terhutang
pajak sampai diterbitkan SKBKB. Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan BPHTB kurang Bayar (SKBKBT) jika ditemukan data baru atau data
yang sebelumnya tidak terungkap yang mengakibatkan menambahnya jumlah
pajak terutang setelah SKBKB terbit, maka dapat dikenakan denda sanksi
Daftar Pustaka
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.165/PMK.07/2012 tentang
Pengalokasian Anggaran Transfer Daerah
http://www.wikiapbn.org/dana-perimbangan/
https://primalifejournal.wordpress.com/2013/03/19/dana-alokasi-khusus-dak/
http://dispenda.inhukab.go.id/web/detailberita/189#.Vm7kjW6O10s
https://id.wikipedia.org/wiki/Pajak
http://indrapajak.blogspot.co.id/2013/12/babak-baru-pajak-daerah.html
http://www.wikiapbn.org/pajak-daerah-dan-retribusi-daerah/
http://eddiwahyudi.com/perspektif-pajak-sebagai-sarana-pendukungpembangunan/pajak-bumi-dan-bangunan-pbb/
http://eddiwahyudi.com/perspektif-pajak-sebagai-sarana-pendukungpembangunan/bea-perolehan-hak-atas-tanah-dan-bangunan-bphtb/