Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Kadar Glukosa Darah

2.1.1

Definisi dan metabolisme glukosa darah


Glukosa merupakan salah satu produk akhir pencernaan karbohidrat selain

fruktosa dan galaktosa. Glukosa merupakan jalur umum akhir untuk transpor
hampir semua karbohidrat ke sel jaringan. Setelah absorbsi dari saluran
pencernaan, banyak fruktosa dan hampir semua galaktosa diubah secara cepat
menjadi glukosa oleh hati, sehingga hanya sejumlah kecil fruktosa dan galaktosa
yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Sel hati mengandung sejumlah enzim
glukosa fosatase, yang dapat memecah glukosa-6-fosfat menjadi glukosa dan
fosfat sehingga sel hati dapat mentranspor kembali glukosa melalui membran sel
hati ke dalam darah (Guyton & Hall, 2012).
Glukosa merupakan produk akhir metabolisme karbohidrat dan merupakan
sumber energi utama pada organisme hidup dan penggunaannya dikendalikan oleh
insulin. Glukosa yang berlebihan akan diubah menjadi glikogen dan disimpan
dalam hati dan otot untuk digunakan bila diperlukan, serta diubah menjadi lemak
dan disimpan sebagai jaringan adiposa. Glukosa juga dapat dijumpai dalam urin
pasien diabetes melitus (Dorland, 2008).
2.1.2

Kadar gluksosa darah


Glukosa darah adalah hasil akhir dari pencernaan pati, sukrosa, maltose

dan laktosa. Glukosa merupakan bentuk karbohidrat yang beredar dalam tubuh
pada proses metabolisme dan di dalam sel merupakan sumber energi (Almatsier,

2010). Pengaturan kadar glukosa darah pada orang normal antara 80 sampai
90mg/100ml darah pada orang yang sedang berpuasa dan diukur sebelum makan
pagi. Konsentrasi ini meningkat menjadi 120 sampai 140mg/100ml selama kirakira satu jam pertama setelah makan. Sistem umpan balik negaif yang mengatur
kadar glukosa darah dengan cepat akan mengembalikan kadar glukosa darah
kembali ke nilai kontrolnya yang biasanya terjadi dalam waktu 2 jam sesudah
absorbsi karbohidrat yang terakhir (Guyton & Hall, 2012).
Ada beberapa cara pemeriksaan kadar glukosa darah, yaitu:
1.

Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, yaitu kadar glukosa darah yang
diukur setelah berpuasa paling sedikit 8 jam sebelum pemeriksaan (Setiati

2.

et al. 2014)
Pemeriksaan kadar glukosa darah 2 jam post prandial, yaitu pemeriksaan

3.

glukosa darah yang diukur 2 jam setelah makan (IDF, 2011).


Pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu, yaitu pemeriksaan kadar
glukosa darah tanpa memerhatikan waktu terakhir makan (ADA, 2015).
Kadar glukosa darah untuk mendiagnosis DM dibagi menjadi 2 bagian

besar, yaitu ada atau tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari
poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas,
sedangkan gejala tidak khas yaitu gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria), dan
pruritus vagina (wanita). Ditemukannya gejala khas DM jika dilakukan
pemeriksaan glukosa darah dan hasilnya abnormal sekali saja sudah cukup untuk
mendiagnosis DM, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM maka
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal (Setiati et al. 2014).

10

Pemeriksaan penapisan (skrining) dilakukan pada semua individu dengan


Indeks Massa Tubuh (IMT) >25 kg/m2 dengan faktor risiko lain yaitu (Setiati et
al. 2014):
1. Aktivitas fisik kurang.
2. Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama.
3. Masuk kelompok etnis risiko tinggi (African American, Latino, Native
American, Asian American, Pasific Islander).
4. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat >4000 gram atau
riwayat DM Gestasional.
5. Hipertensi (tekanan darah >140 mmHg atau sedang dalam terapi obat
hipertensi).
6. Kolesterol HDL <35 mg/dl atau trigliserida >250 mg/dl.
7. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
8. Riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Glukosa Darah Puasa
Terganggu (GDPT).
9. Keadaan yang berhubungan dengan resistensi insulin (Obesitas).
10. Riwayat penyakit kardiovaskular.
Skrining dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu atau
Tes Toleransi Glukosa Oral. Pemeriksaan skrining diulang tiap tahun untuk
kelompok risiko tinggi yang hasilnya negatif. Untuk orang berusia >45 tahun
tanpa faktor risiko pemeriksaan skrining dilakukan setiap 3 tahun atau lebih cepat
tergantung keadaan klinis pasien (Setiati et al. 2014).

Tabel 2.1 Konsentrasi glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosa DM (mg/dl)
Sampel darah
Bukan DM
Belum Pasti
DM
DM
Konsentrasi
Plasma Vena
<100
100-199
>200
Glukosa
Darah Sewaktu Darah Kapiler
<90
90-199
>200
(mg/dl)
Konsentrasi
Plasma
vena <100
100-125
>126

11

Glukosa Darah darah kapiler


Puasa (mg/dl)
Sumber: Setiati et al. 2012

2.1.3

<90

90-99

>100

Mekanisme pengaturan kadar glukosa darah


Pengaturan kadar glukosa darah dipengaruhi oleh hormon insulin dan

glukagon. Hormon insulin akan menurunkan glukosa darah. Mekanisme


penurunan kadar glukosa darah oleh insulin meliputi peningkatan laju penggunaan
glukosa melalui oksidasi, glikogenesis, dan lipogenesis (Almatsier, 2010).
Glukagon mempunyai pengaruh kebalikan dari insulin. Glukagon akan
mengaktifkan enzim fosforilase, yang menyebabkan pemecahan glikogen menjadi
glukosa fosfat. Enzim glukosa fosfatase yang tadinya dihambat oleh insulin
kemudian menjadi aktif oleh karena tidak ada insulin dan menyebabkan glukosa
bebas berdifusi kembali ke dalam darah. Orang normal dan DM tipe 2 tanpa
komplikasi memiliki masa paruh insulin di plasma sekitar 5 sampai 6 menit,
sedangkan pada pasien DM yang memiliki komplikasi nilai tersebut dapat
memanjang (Moore, et al. 2013; Suherman & Nafrialdi, 2011; Guyton & Hall,
2012).
Pankreas adalah suatu organ yang terdiri dari kelenjar eksokrin dan
endokrin. Bagian eksokrin dari pankreas mengeluarkan enzim alkalis dan
pencernaan melalui duktus pankreatikus ke dalam lumen saluran cerna. Bagian
endokrin pankreas tersebar di antara sel eksokrin pankreas berupa suatu unit yang
terpisah berbentuk pulau langerhans. Sel endokrin pankreas yang menghasilkan
sel hormon terbanyak adalah sel (beta) yang membentuk 70% dari luas pulau
lagerhans dan sel (alfa) yang mensekresikan glukagon dan membentuk 20% luas

12

pulau Langerhans (Eroschenko, 2010). Insulin merupakan hormon yang


merangsang jalur-jalur biosintetik yang menyebabkan peningkatan pemakaian
glukosa, penyimpanan karbohidrat dan lemak serta peningkatan sintesis protein.
Efek akhir yang ditimbulkan insulin adalah penurunan kadar glukosa darah, asam
lemak, dan asam amino darah sehingga metabolisme bergerak ke arah anabolisme.
Sedangkan glukagon memiliki efek katabolik pada simpanan energi. Efek
hiperglikemik pada hormon ini cenderung mengembalikan kadar glukosa darah
kembali ke normal (Sherwood, 2012).

2.1.4

Proses patofisiologi pada diabetes melitus


Diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis

dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi


karbohidrat (Price & Wilson, 2012). Diabetes melitus memiliki 3 ciri utama, yaitu
(Cross, 2013):
1. Ketidakmampuan tubuh untuk memanfaatkan glukosa dan kelebihan
dalam produksinya.
2. Berkurangnya sintesis protein.
3. Lipolisis yang berakibat hiperlipidemia, yang akan menyebabkan cepatnya
penurunan berat badan pada pasien DM.
Terdapat tiga tipe utama dari DM, yaitu:
1.

Diabetes melitus tipe 1 yang juga disebut DM onset juvenile. Biasanya


disebabkan oleh penyakit autoimun yang menyebabkan sel imun
menyerang sel penghasil insulin. Penyebab utama dari DM tipe 1 masih

13

belum diketahui sehingga penderitanya menghasilkan sangat sedikit


2.

insulin atau bahkan tidak sama sekali (IDF, 2014; Guyton & Hall, 2012).
Diabetes melitus tipe 2 yang juga disebut DM tidak tergantung insulin atau
DM onset dewasa yang terjadi sebanyak 90% dari seluruh kasus diabetes.
Diabetes melitus tipe 2 terjadi disebabkan penurunan sensitivitas jaringan
target terhadap efek metabolik insulin yang juga disebut sebagai resistensi
insulin. Diabetes melitus tipe 2 bisa terdiagnosis pada segala usia dan
sering dikaitkan dengan dengan obesitas yang akan menyebabkan

3.

resistensi insulin (IDF, 2014; Guyton & Hall, 2012).


Diabetes melitus tipe Gestasional adalah DM dengan tetap tingginya kadar
glukosa darah yang terjadi saat kehamilan. Kejadian dari DM tipe ini
adalah 1 dari 25 kehamilan dari seluruh dunia dan dapat berkomplikasi
terhadap ibu dan bayi. Biasanya DM tipe ini akan menghilang setelah
kelahiran namun wanita dengan DM tipe ini selama kehamilan dan
anaknya berisiko menjadi DM tipe 2 setelahnya. Penelitian menunjukkan
setengah dari riwayat DM tipe gestasional berubah menjadi DM tipe 2

4.

dalam waktu 5 hingga 10 tahun setelah melahirkan (IDF, 2014).


Diabtes melitus tipe lain yaitu DM dengan penyebab selain penyebab pada
DM tipe sebelumnya, yaitu akibat defek genetik fungsi sel , defek genetik
kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, DM akibat zat
kimia atau obat, dan sindrom genetik lain (Setiati et al. 2014).
Diabetes melitus tipe 2 lebih sering ditemukan dari DM tipe 1 dan kira-

kira ditemukan sebanyak 90 persen dari seluruh kasus DM. Diabetes melitus tipe
2 berbeda dengan tipe 1 dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi insulin plasma.
Diabetes melitus tipe 2 dimulai dari resistensi insulin yang akan mengganggu

14

penyimpanan karbohidrat, hal ini akan meningkatkan kadar glukosa darah dan
merangsang sekresi insulin sebagai upaya kompensasi (Arisman, 2014).
Resistensi insulin adalah resistensi terhadap efek insulin pada penyerapan,
metabolisme atau penyimpanan glukosa. Resistensi insulin adalah gambaran khas
pada kebanyakan penderita DM tipe 2 dan hampir selalu ditemukan pada
pengidap diabetes yang kegemukan (Kumar, Abbas, & Fausto, 2010). Resistensi
insulin dan gangguan metabolisme glukosa terjadi secara bertahap yang dimulai
dengan peningkatan berat badan dan obesitas. Terdapat dua pendapat yang
menghubungkan obesitas dengan resistensi insulin. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa jumlah reseptor insulin di otot rangka, hati dan jaringan
adiposa lebih sedikit pada orang gemuk daripada jumlah reseptor pada orang
kurus. Hipotesa lain mengatakan resistensi insulin disebabkan kelainan jaras
sinyal yang menghubungkan reseptor yang teraktivasi dengan berbagai efek
selular. Gangguan sinyal insulin disebabkan efek toksik dari akumulasi lipid di
jaringan seperti otot rangka dan hati akibat kelebihan berat badan (Guyton & Hall,
2012).

Beberapa faktor risiko dari DM tipe 2 yaitu (IDF, 2014):


a.
b.
c.
d.
e.
f.

Obesitas
Diet yang buruk
Aktivitas fisik yang kurang
Riwayat Keluarga
Etnis
Kadar glukosa darah yang tinggi selama kehamilan.
Dua defek metabolik yang menandai DM tipe 2 adalah berkurangnya

kemampuan jaringan terhadap insulin (resistensi insulin) dan disfungsi sel yang

15

bermanifestasi sebagai kurang adekuatnya sekresi insulin dalam menghadapi


resistensi insulin dan hiperglikemia. Gambar 2.1 menunjukkan tahap-tahap
metabolik DM tipe 2 yang dibantu faktor risiko lain (Kumar, Abbas, & Fausto,
2010).
Predisposisi Genetik

Obesitas
Faktor gaya Hidup

Resistensi Insulin
Normoglikemia

Hipeplasia sel kompensatorik

Toleransi glukosa terganggu

Kegagalan sel (dini)

Diabetes

Kegagalan sel (lanjut)

Kegagalan primer sel (jarang)

Gambar 2.1 Tahap-tahap metabolik DM tipe 2. (Kumar, Abbas, & Fausto, 2010)

Diabetes melitus merupakan suatu kelainan yang melibatkan banyak faktor


yang termasuk lingkungan dan faktor genetik. Mekanisme dasar yang
diperkirakan yaitu keadaan resistensi insulin yang berkepanjangan dalam jaringan
yang berakibat tidak adekuatnya sekresi insulin oleh sel . Kombinasi dari
obesitas, DM tipe 2 dan hiperlipidemia dapat meningkatkan risiko penyakit
kardiovaskular (Reid, Roberts, & Macduff, 2011).
Obesity
Adipocytes
Free Fatty Acid
Islets

Cytoxins

Adipokines

16

Insulin Secretion

Normal

Blood Sugar

Normal

Compensation
Raised
Impaired Glukosa
Tolerance

Failure
Decreased
Diabetes

Gambar 2.2 Bentuk primer terjadinya DM tipe 2 (Reid, Roberts, & Macduff, 2011;
Suyono & Djauzi, 1993)

Salah satu mekanisme yang diperkirakan sebagai efek obesitas terhadap resistensi
insulin adalah (Kumar, Abbas, & Fausto, 2010):
a. Peran asam lemak bebas (free fatty acids, FFA). Beberapa studi menyebutkan
koleasi FFA puasa terhadap resistensi insulin. Kadar trigliserida intrasel yang
meningkat yang dapat diakibatkan endapan FFA dalam organ-organ seperti
hati dan otot akan menghasilkan produk yang dapat menjadi inhibitor kuat
pembentukan sinyal insulin. Efek ini dinamakan lipotoksik yang kemungkinan
diakibatkan penurunan aktivitas protein kunci pembentuk sinyal insulin.
b. Peran adipokin dalam resistensi insulin. Adipokin atau sitokin adiposa adalah
berbagai protein yang dibebaskan ke dalam sirkulasi sistemik oleh jaringan
adiposa yang dilepaskan secara kolektif. Beberapa adipokin yang berperan
dalam resistensi insulin termasuk leptin, adinopektin, dan resistin. Disregulasi
sekresi adipokin tersebut yang diperkirakan berperan terhadap resistensi
insulin.
c. Paran parixisome proliferator-activated receptor gamma (PPAR) dan
tiazolidinedion (TZD). Tiazolidinedion merupakan suatu reseptor sasaran
untuk PPAR yang terletak di nukleus sebagai faktor transkripsi. PPAR
diekspresikan dalam jumlah besar di jaringan lemak dan pengaktifan resptor
ini oleh TZD akan menyebabkan penurunan resistensi insulin akibat modulasi

17

ekspresi gen di adiposit. Pengaktifan PPAR juga menurunkan kadar asam


lemak bebas yang akan berperan dalam resistensi insulin.
Gambar 2.3 Mekanisme terjadinya obesitas dan resistensi insulin (Kumar, Abbas, &
Fausto, 2010)

2.2

Lingkar Pinggang

2.2.1

Definisi

Lingkar pinggang adalah ukuran panjang yang mengelilingi pinggang


yang menggambarkan keliling pinggang (KBBI, 2010). Lingkar pinggang
menggambarkan lemak tubuh, dan tidak termasuk sebagian besar berat tulang
(kecuali tulang belakang) atau massa otot yang besar yang mungkin akan
bervariasi dan mempengaruhi hasil pengukuran. Ukuran lingkar pinggang ini

18

dapat memperkirakan luasnya obesitas abdominal bagian viseral dan berkorelasi


baik dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) (Setiati et al. 2014).
2.2.2

Pengukuran lingkar pinggang


Pengukuran lingkar pinggang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya

obesitas sentral. Jenis obesitas ini sangat berpengaruh terhadap kejadian penyakit
kardiovaskular dan diabetes melitus. Lingkar pinggang lebih sensitif dalam
menggambarkan risiko kardiovaskular dan metabolik dibandingkan dengan IMT
(Noudeh et al. 2013). Lingkar pinggang sebaiknya diukur pada garis tengah antara
arcus costae dan spina illiaca anterior superior. Pengukuran sebaiknya
menggunakan pita yang tidak mudah teregang yang konstan. Posisi kaki
sebaiknya sejajar dengan lantai dan menggunakan baju seminimal mungkin.
Subyek penelitian sebaiknya dalam keadaan tenang dan pengukuran diambil saat
subyek penelitian ekspirasi minimal. Setiap pengukuran sebaiknya dilakukan dua
kali, jika ada perbedaan kurang dari 1 cm, maka rata-rata dari pengukuran tersebut
perlu dinilai. Pengukuran yang selisih antara kedua pengukuran lebih dari 1 cm,
maka kedua pengukuran sebaiknya diulang (WHO, 2008).
Riskesdas pada tahun 2007 mengeluarkan langkah-langkah dalam
pengukuran lingkar pinggang. Berikut adalah alat-alat yang dibutuhkan dan
langkah-langkah pengukuran lingkar pinggang.
A. Alat yang dibutuhkan:
1. Ruangan yang tertutup dari pandangan umum. Jika tidak ada gunakan tirai
pembatas.
2. Pita pengukur.

19

3. Spidol atau pulpen.


B. Cara Pengukuran Lingkar Pinggang:
1. Jelaskan pada responden tujuan pengukuran lingkar pinggang dan tindakan
apa saja yang akan dilakukan dalam pengukuran.
2. Untuk pengukuran ini responden diminta dengan cara yang baik untuk
membuka pakaian bagian atas atau menyingkapkan pakaian bagian atas
dan raba tulang rusuk terakhir responden untuk menetapkan titik
pengukuran.
3. Tetapkan titik batas tepi tulang rusuk paling bawah.
4. Tetapkan titik ujung lengkung tulang pangkal paha atau panggul.
5. Tetapkan titik tengah di antara di antara titik tulang rusuk terakhir titik
ujung lengkung tulang pangkal paha atau panggul dan tandai titik tengah
tersebut dengan alat tulis.
6. Minta responden untuk berdiri tegak dan bernafas dengan normal
(pengukuran dilakukan saat ekspirasi normal).
7. Lakukan pengukuran lingkar pinggang dimulai atau diambil dari titik
tengah kemudian secara sejajar horizontal melingkari pinggang dan
pinggang kembali menuju titik tengah di awal pengukuran.
8. Apabila responden mempunyai pinggang yang gemuk ke arah bawah,
pengukuran mengambil bagian yang paling gemuk tersebut lalu berakhir
pada titik tengah tersebut lagi.
9. Pita pengukur tidak boleh melipat dan ukur lingkar pinggang mendekati
angka 0,1 cm.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran lingkar pinggang:
1.

Pengukuran lingkar pinggang yang benar dilakukan dengan menempelkan


pita pengukur diatas kulit langsung. Pengukuran di atas pakaian sangat
tidak dibenarkan.

20

2.

Apabila responden tidak bersedia membuka atau menyingkap pakaian


bagian atasnya,pengukuran dengan menggunakan pakaian yang sangat
tipis (kain nilon, silk dan lain-lain) diperbolehkan dan beri catatan pada
kuesioner.

2.2.3

Nilai normal pengukuran lingkar pinggang


Penelitian yang dilakukan di Belanda pada tahun 1995 mendapatkan

bahwa lingkar pinggang >102 cm pada laki-laki dan >88 cm pada perempuan
berhubungan dengan peningkatan substansi risiko obesitas dan komplikasi
obesitas. Sedangkan Asia Pasifik memakai ukuran lingkar pinggang laki-laki
90 cm dan perempuan 80 cm sebagai batasan (Setiati et al. 2014).

Tabel 2.2 Nilai lingkar pinggang berdasarkan etnis


Grup Etnis
Asia Selatan, Populasi Cina, Melayu dan AsiaIndia
Jepang
Amerika Tengah dan Selatan
Sub-Sahara Afrika
Timur Tengah
Eropa

Lingkar Pinggang (cm)


Pria >90 cm, Wanita >80 cm
Pria >85 cm, Wanita >90 cm
Gunakan rekomendasi Asia Selatan hingga tersedia
data spesifik.
Gunakan rekomendasi Eropa hingga tersedia data
spesifik.
Gunakan rekomendasi Eropa hingga tersedia data
spesifik.
Pria >94 cm, Wanita >80 cm

Sumber: IDF, 2006

2.2.4

Kelainan pada lingkar pinggang


Pengukuran lingkar pinggang dapat menggambarkan lokasi penyimpanan

lemak dalam tubuh. Penyimpanan lemak dalam pinggang lebih mudah untuk
terjadi berbagai gangguan kesehatan dibandingkan distribusi lemak yang normal.
Lemak daerah abdomen terdiri dari lemak subkutan dan intra abdominal yang
dapat dideteksi dan dinilai dengan CT Scan atau MRI. Jaringan lemak intra

21

abdominal atau viseral terdiri dari lemak omental dan mesentrial serta massa
lemak retroperitoneal (sepanjang perbatasan dorsal usus dan bagian permukaan
ventral ginjal). Lemak subkutan sebagai komponen obesitas sentral mempunyai
korelasi yang kuat dengan resistensi insulin seperti lemak viseral (Ferrini, 2013;
Setiati et al. 2014).
Obesitas timbul sebagai akibat masukan energi yang melebihi pengeluaran
energi. Energi dalam jumlah besar (dalam bentuk makanan) yang masuk ke dalam
tubuh melebihi jumlah yang dikeluarkan maka sebagian besar energi tersebut akan
disimpan sebagai lemak. Setiap kelebihan energi 9,3 kalori yang masuk ke tubuh,
kira-kira 1 gram lemak akan disimpan (Guyton & Hall, 2012).
Perempuan dengan hasil pengukuran lebih dari 35 inci atau pria dengan
hasil pengukuran lebih dari 40 inci lebih berisiko terkena penyakit (Ferrini, 2013).
Peningkatan ukuran lingkar pinggang berhubungan dengan risiko penyakit
kardiovaskular, kolesterol tinggi, hipertensi, dan diabetes. Obesitas sentral dapat
terjadi walaupun Indeks Massa Tubuh (IMT) dalam batas normal (Ross et al.
2014).
Penelitian yang dilakukan Gharipour et al. (2013) membandingkan
penggunaan lingkar pinggang, rasio piggang panggul dan IMT dalam prediksi
penyakit metabolik menyatakan bahwa penggunaan ukuran lingkar pinggang lebih
disarankan sebagai parameter untuk memprediksi penyakit metabolik tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Carey et al. (1997) untuk membandingkan antara
BMI dan Lingkar Pinggang terhadap risiko penyakit DM juga menghasilkan
kesimpulan yang serupa. Pengukuran lingkar pinggang termasuk dalam salah satu

22

evaluasi medis yang disarankan bagi penderita DM tipe 2. Penyebab dari sindrom
metabolik yang terjadi adalah akibat dari resistensi insulin. Resistensi insulin juga
menjadi dasar terjadinya DM. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang
penting pada DM tipe 2 dan biasanya terjadi pada usia pertengahan (Setiati et al.
2014; Ross et al. 2014; Perkeni, 2011; Guyton & Hall, 2012).
Diabetes terjadi 3 kali lipat lebih banyak terjadi pada orang dengan
obesitas dibanding dengan orang normal. Sel lemak pada orang obesitas akan
menjadi lebih besar dan lebih resisten terhadap insulin dan kedua hal ini
merupakan risiko mayor terhadap terjadinya DM tipe 2 (Rolfes, Pinna, &
Whitney, 2012).
Keterkaitan antara obesitas dan diabetes melitus diperantarai oleh efek
resistensi insulin. Resistensi insulin dapat terjadi walaupun pada obesitas simpel
tanpa disertai hiperglikemia, hal ini menunjukkan bahwa dalam keadaaan
kelebihan lemak terdapat kelainan pada pembentukan sinyal insulin. Obesitas
sentral lebih besar kemungkinannya menyebabkan resistensi insulin (Kumar,
Abbas, & Fausto, 2010).
Latihan fisik mempunyai hubungan yang erat terhadap kejadian DM tipe 2
dan obesitas dimana latihan regular dapat menjadi salah satu pencegahan dan
terapi (Muherdiyantiningsih et al. 2008; Ferrini, 2013; Guyton & Hall, 2012).
Hubungan antara ketiga hal tersebut telah dipelajari dan juga dapat menurunkan
kejadian penyakit lain seperti hipertensi. The American College of Sports
Medicine merekomendasikan untuk penurunan kalori dan lemak dengan latihan
moderate selama 150 sampai 250 menit per minggu, tetapi untuk perbaikan klinis

23

dibutuhkan lebih dari 250 menit per minggunya. Setiap 1 pon lemak tubuh hilang
setiap 3500 kalori dikeluarkan (Ferrini, 2013).

Anda mungkin juga menyukai

  • Hubungan Lingkar Pinggang dan Kadar Glukosa Darah
    Hubungan Lingkar Pinggang dan Kadar Glukosa Darah
    Dokumen6 halaman
    Hubungan Lingkar Pinggang dan Kadar Glukosa Darah
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • Promkes HT Dan DM
    Promkes HT Dan DM
    Dokumen24 halaman
    Promkes HT Dan DM
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Gagal Jantung Akut
    Laporan Kasus Gagal Jantung Akut
    Dokumen34 halaman
    Laporan Kasus Gagal Jantung Akut
    Zafira Ainillah Rachman
    100% (1)
  • Lap Kas
    Lap Kas
    Dokumen26 halaman
    Lap Kas
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • Lapkas TB
    Lapkas TB
    Dokumen33 halaman
    Lapkas TB
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • Referat KPD
    Referat KPD
    Dokumen23 halaman
    Referat KPD
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • BAB 2 Laporan Kasus Meningitis
    BAB 2 Laporan Kasus Meningitis
    Dokumen12 halaman
    BAB 2 Laporan Kasus Meningitis
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Gizi Buruk
    Laporan Kasus Gizi Buruk
    Dokumen45 halaman
    Laporan Kasus Gizi Buruk
    Zafira Ainillah Rachman
    100% (1)
  • Hepatitis B Kronik
    Hepatitis B Kronik
    Dokumen21 halaman
    Hepatitis B Kronik
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • Sinusitis
    Sinusitis
    Dokumen12 halaman
    Sinusitis
    rivanti asmara wijaya
    Belum ada peringkat
  • Mekanisme Kontraksi Otot
    Mekanisme Kontraksi Otot
    Dokumen19 halaman
    Mekanisme Kontraksi Otot
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • ARTRITIS SEPTIK LAPORAN KASUS
    ARTRITIS SEPTIK LAPORAN KASUS
    Dokumen42 halaman
    ARTRITIS SEPTIK LAPORAN KASUS
    Zafira Ainillah Rachman
    0% (1)
  • Asma DR - Marliza, SP.P
    Asma DR - Marliza, SP.P
    Dokumen36 halaman
    Asma DR - Marliza, SP.P
    Satriya Dharma
    Belum ada peringkat
  • Histologi Sistem Muskuloskeletal
    Histologi Sistem Muskuloskeletal
    Dokumen22 halaman
    Histologi Sistem Muskuloskeletal
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • Skripsi Zafira
    Skripsi Zafira
    Dokumen93 halaman
    Skripsi Zafira
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • Sinusitis
    Sinusitis
    Dokumen12 halaman
    Sinusitis
    rivanti asmara wijaya
    Belum ada peringkat
  • KOLERASI TES KULIT CUKIT DENGAN SINUSITIS MAKSILA
    KOLERASI TES KULIT CUKIT DENGAN SINUSITIS MAKSILA
    Dokumen33 halaman
    KOLERASI TES KULIT CUKIT DENGAN SINUSITIS MAKSILA
    mey_a_moy932
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Gout
    Jurnal Gout
    Dokumen8 halaman
    Jurnal Gout
    Andri Onnadio
    Belum ada peringkat
  • LK (DR - Tia)
    LK (DR - Tia)
    Dokumen4 halaman
    LK (DR - Tia)
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • Etika Batuk
    Etika Batuk
    Dokumen3 halaman
    Etika Batuk
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • 1 SM
    1 SM
    Dokumen4 halaman
    1 SM
    Need Hayday Friend
    Belum ada peringkat
  • Bab 3
    Bab 3
    Dokumen1 halaman
    Bab 3
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • Referat Asma Bronkial
    Referat Asma Bronkial
    Dokumen1 halaman
    Referat Asma Bronkial
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen7 halaman
    Bab 1
    Amelia Intan Saputri
    Belum ada peringkat
  • Halaman Cover
    Halaman Cover
    Dokumen1 halaman
    Halaman Cover
    Zafira Ainillah Rachman
    Belum ada peringkat