TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1
fruktosa dan galaktosa. Glukosa merupakan jalur umum akhir untuk transpor
hampir semua karbohidrat ke sel jaringan. Setelah absorbsi dari saluran
pencernaan, banyak fruktosa dan hampir semua galaktosa diubah secara cepat
menjadi glukosa oleh hati, sehingga hanya sejumlah kecil fruktosa dan galaktosa
yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Sel hati mengandung sejumlah enzim
glukosa fosatase, yang dapat memecah glukosa-6-fosfat menjadi glukosa dan
fosfat sehingga sel hati dapat mentranspor kembali glukosa melalui membran sel
hati ke dalam darah (Guyton & Hall, 2012).
Glukosa merupakan produk akhir metabolisme karbohidrat dan merupakan
sumber energi utama pada organisme hidup dan penggunaannya dikendalikan oleh
insulin. Glukosa yang berlebihan akan diubah menjadi glikogen dan disimpan
dalam hati dan otot untuk digunakan bila diperlukan, serta diubah menjadi lemak
dan disimpan sebagai jaringan adiposa. Glukosa juga dapat dijumpai dalam urin
pasien diabetes melitus (Dorland, 2008).
2.1.2
dan laktosa. Glukosa merupakan bentuk karbohidrat yang beredar dalam tubuh
pada proses metabolisme dan di dalam sel merupakan sumber energi (Almatsier,
2010). Pengaturan kadar glukosa darah pada orang normal antara 80 sampai
90mg/100ml darah pada orang yang sedang berpuasa dan diukur sebelum makan
pagi. Konsentrasi ini meningkat menjadi 120 sampai 140mg/100ml selama kirakira satu jam pertama setelah makan. Sistem umpan balik negaif yang mengatur
kadar glukosa darah dengan cepat akan mengembalikan kadar glukosa darah
kembali ke nilai kontrolnya yang biasanya terjadi dalam waktu 2 jam sesudah
absorbsi karbohidrat yang terakhir (Guyton & Hall, 2012).
Ada beberapa cara pemeriksaan kadar glukosa darah, yaitu:
1.
Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, yaitu kadar glukosa darah yang
diukur setelah berpuasa paling sedikit 8 jam sebelum pemeriksaan (Setiati
2.
et al. 2014)
Pemeriksaan kadar glukosa darah 2 jam post prandial, yaitu pemeriksaan
3.
besar, yaitu ada atau tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari
poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas,
sedangkan gejala tidak khas yaitu gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria), dan
pruritus vagina (wanita). Ditemukannya gejala khas DM jika dilakukan
pemeriksaan glukosa darah dan hasilnya abnormal sekali saja sudah cukup untuk
mendiagnosis DM, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM maka
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal (Setiati et al. 2014).
10
Tabel 2.1 Konsentrasi glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosa DM (mg/dl)
Sampel darah
Bukan DM
Belum Pasti
DM
DM
Konsentrasi
Plasma Vena
<100
100-199
>200
Glukosa
Darah Sewaktu Darah Kapiler
<90
90-199
>200
(mg/dl)
Konsentrasi
Plasma
vena <100
100-125
>126
11
2.1.3
<90
90-99
>100
12
2.1.4
13
insulin atau bahkan tidak sama sekali (IDF, 2014; Guyton & Hall, 2012).
Diabetes melitus tipe 2 yang juga disebut DM tidak tergantung insulin atau
DM onset dewasa yang terjadi sebanyak 90% dari seluruh kasus diabetes.
Diabetes melitus tipe 2 terjadi disebabkan penurunan sensitivitas jaringan
target terhadap efek metabolik insulin yang juga disebut sebagai resistensi
insulin. Diabetes melitus tipe 2 bisa terdiagnosis pada segala usia dan
sering dikaitkan dengan dengan obesitas yang akan menyebabkan
3.
4.
kira ditemukan sebanyak 90 persen dari seluruh kasus DM. Diabetes melitus tipe
2 berbeda dengan tipe 1 dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi insulin plasma.
Diabetes melitus tipe 2 dimulai dari resistensi insulin yang akan mengganggu
14
penyimpanan karbohidrat, hal ini akan meningkatkan kadar glukosa darah dan
merangsang sekresi insulin sebagai upaya kompensasi (Arisman, 2014).
Resistensi insulin adalah resistensi terhadap efek insulin pada penyerapan,
metabolisme atau penyimpanan glukosa. Resistensi insulin adalah gambaran khas
pada kebanyakan penderita DM tipe 2 dan hampir selalu ditemukan pada
pengidap diabetes yang kegemukan (Kumar, Abbas, & Fausto, 2010). Resistensi
insulin dan gangguan metabolisme glukosa terjadi secara bertahap yang dimulai
dengan peningkatan berat badan dan obesitas. Terdapat dua pendapat yang
menghubungkan obesitas dengan resistensi insulin. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa jumlah reseptor insulin di otot rangka, hati dan jaringan
adiposa lebih sedikit pada orang gemuk daripada jumlah reseptor pada orang
kurus. Hipotesa lain mengatakan resistensi insulin disebabkan kelainan jaras
sinyal yang menghubungkan reseptor yang teraktivasi dengan berbagai efek
selular. Gangguan sinyal insulin disebabkan efek toksik dari akumulasi lipid di
jaringan seperti otot rangka dan hati akibat kelebihan berat badan (Guyton & Hall,
2012).
Obesitas
Diet yang buruk
Aktivitas fisik yang kurang
Riwayat Keluarga
Etnis
Kadar glukosa darah yang tinggi selama kehamilan.
Dua defek metabolik yang menandai DM tipe 2 adalah berkurangnya
kemampuan jaringan terhadap insulin (resistensi insulin) dan disfungsi sel yang
15
Obesitas
Faktor gaya Hidup
Resistensi Insulin
Normoglikemia
Diabetes
Gambar 2.1 Tahap-tahap metabolik DM tipe 2. (Kumar, Abbas, & Fausto, 2010)
Cytoxins
Adipokines
16
Insulin Secretion
Normal
Blood Sugar
Normal
Compensation
Raised
Impaired Glukosa
Tolerance
Failure
Decreased
Diabetes
Gambar 2.2 Bentuk primer terjadinya DM tipe 2 (Reid, Roberts, & Macduff, 2011;
Suyono & Djauzi, 1993)
Salah satu mekanisme yang diperkirakan sebagai efek obesitas terhadap resistensi
insulin adalah (Kumar, Abbas, & Fausto, 2010):
a. Peran asam lemak bebas (free fatty acids, FFA). Beberapa studi menyebutkan
koleasi FFA puasa terhadap resistensi insulin. Kadar trigliserida intrasel yang
meningkat yang dapat diakibatkan endapan FFA dalam organ-organ seperti
hati dan otot akan menghasilkan produk yang dapat menjadi inhibitor kuat
pembentukan sinyal insulin. Efek ini dinamakan lipotoksik yang kemungkinan
diakibatkan penurunan aktivitas protein kunci pembentuk sinyal insulin.
b. Peran adipokin dalam resistensi insulin. Adipokin atau sitokin adiposa adalah
berbagai protein yang dibebaskan ke dalam sirkulasi sistemik oleh jaringan
adiposa yang dilepaskan secara kolektif. Beberapa adipokin yang berperan
dalam resistensi insulin termasuk leptin, adinopektin, dan resistin. Disregulasi
sekresi adipokin tersebut yang diperkirakan berperan terhadap resistensi
insulin.
c. Paran parixisome proliferator-activated receptor gamma (PPAR) dan
tiazolidinedion (TZD). Tiazolidinedion merupakan suatu reseptor sasaran
untuk PPAR yang terletak di nukleus sebagai faktor transkripsi. PPAR
diekspresikan dalam jumlah besar di jaringan lemak dan pengaktifan resptor
ini oleh TZD akan menyebabkan penurunan resistensi insulin akibat modulasi
17
2.2
Lingkar Pinggang
2.2.1
Definisi
18
obesitas sentral. Jenis obesitas ini sangat berpengaruh terhadap kejadian penyakit
kardiovaskular dan diabetes melitus. Lingkar pinggang lebih sensitif dalam
menggambarkan risiko kardiovaskular dan metabolik dibandingkan dengan IMT
(Noudeh et al. 2013). Lingkar pinggang sebaiknya diukur pada garis tengah antara
arcus costae dan spina illiaca anterior superior. Pengukuran sebaiknya
menggunakan pita yang tidak mudah teregang yang konstan. Posisi kaki
sebaiknya sejajar dengan lantai dan menggunakan baju seminimal mungkin.
Subyek penelitian sebaiknya dalam keadaan tenang dan pengukuran diambil saat
subyek penelitian ekspirasi minimal. Setiap pengukuran sebaiknya dilakukan dua
kali, jika ada perbedaan kurang dari 1 cm, maka rata-rata dari pengukuran tersebut
perlu dinilai. Pengukuran yang selisih antara kedua pengukuran lebih dari 1 cm,
maka kedua pengukuran sebaiknya diulang (WHO, 2008).
Riskesdas pada tahun 2007 mengeluarkan langkah-langkah dalam
pengukuran lingkar pinggang. Berikut adalah alat-alat yang dibutuhkan dan
langkah-langkah pengukuran lingkar pinggang.
A. Alat yang dibutuhkan:
1. Ruangan yang tertutup dari pandangan umum. Jika tidak ada gunakan tirai
pembatas.
2. Pita pengukur.
19
20
2.
2.2.3
bahwa lingkar pinggang >102 cm pada laki-laki dan >88 cm pada perempuan
berhubungan dengan peningkatan substansi risiko obesitas dan komplikasi
obesitas. Sedangkan Asia Pasifik memakai ukuran lingkar pinggang laki-laki
90 cm dan perempuan 80 cm sebagai batasan (Setiati et al. 2014).
2.2.4
lemak dalam tubuh. Penyimpanan lemak dalam pinggang lebih mudah untuk
terjadi berbagai gangguan kesehatan dibandingkan distribusi lemak yang normal.
Lemak daerah abdomen terdiri dari lemak subkutan dan intra abdominal yang
dapat dideteksi dan dinilai dengan CT Scan atau MRI. Jaringan lemak intra
21
abdominal atau viseral terdiri dari lemak omental dan mesentrial serta massa
lemak retroperitoneal (sepanjang perbatasan dorsal usus dan bagian permukaan
ventral ginjal). Lemak subkutan sebagai komponen obesitas sentral mempunyai
korelasi yang kuat dengan resistensi insulin seperti lemak viseral (Ferrini, 2013;
Setiati et al. 2014).
Obesitas timbul sebagai akibat masukan energi yang melebihi pengeluaran
energi. Energi dalam jumlah besar (dalam bentuk makanan) yang masuk ke dalam
tubuh melebihi jumlah yang dikeluarkan maka sebagian besar energi tersebut akan
disimpan sebagai lemak. Setiap kelebihan energi 9,3 kalori yang masuk ke tubuh,
kira-kira 1 gram lemak akan disimpan (Guyton & Hall, 2012).
Perempuan dengan hasil pengukuran lebih dari 35 inci atau pria dengan
hasil pengukuran lebih dari 40 inci lebih berisiko terkena penyakit (Ferrini, 2013).
Peningkatan ukuran lingkar pinggang berhubungan dengan risiko penyakit
kardiovaskular, kolesterol tinggi, hipertensi, dan diabetes. Obesitas sentral dapat
terjadi walaupun Indeks Massa Tubuh (IMT) dalam batas normal (Ross et al.
2014).
Penelitian yang dilakukan Gharipour et al. (2013) membandingkan
penggunaan lingkar pinggang, rasio piggang panggul dan IMT dalam prediksi
penyakit metabolik menyatakan bahwa penggunaan ukuran lingkar pinggang lebih
disarankan sebagai parameter untuk memprediksi penyakit metabolik tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Carey et al. (1997) untuk membandingkan antara
BMI dan Lingkar Pinggang terhadap risiko penyakit DM juga menghasilkan
kesimpulan yang serupa. Pengukuran lingkar pinggang termasuk dalam salah satu
22
evaluasi medis yang disarankan bagi penderita DM tipe 2. Penyebab dari sindrom
metabolik yang terjadi adalah akibat dari resistensi insulin. Resistensi insulin juga
menjadi dasar terjadinya DM. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang
penting pada DM tipe 2 dan biasanya terjadi pada usia pertengahan (Setiati et al.
2014; Ross et al. 2014; Perkeni, 2011; Guyton & Hall, 2012).
Diabetes terjadi 3 kali lipat lebih banyak terjadi pada orang dengan
obesitas dibanding dengan orang normal. Sel lemak pada orang obesitas akan
menjadi lebih besar dan lebih resisten terhadap insulin dan kedua hal ini
merupakan risiko mayor terhadap terjadinya DM tipe 2 (Rolfes, Pinna, &
Whitney, 2012).
Keterkaitan antara obesitas dan diabetes melitus diperantarai oleh efek
resistensi insulin. Resistensi insulin dapat terjadi walaupun pada obesitas simpel
tanpa disertai hiperglikemia, hal ini menunjukkan bahwa dalam keadaaan
kelebihan lemak terdapat kelainan pada pembentukan sinyal insulin. Obesitas
sentral lebih besar kemungkinannya menyebabkan resistensi insulin (Kumar,
Abbas, & Fausto, 2010).
Latihan fisik mempunyai hubungan yang erat terhadap kejadian DM tipe 2
dan obesitas dimana latihan regular dapat menjadi salah satu pencegahan dan
terapi (Muherdiyantiningsih et al. 2008; Ferrini, 2013; Guyton & Hall, 2012).
Hubungan antara ketiga hal tersebut telah dipelajari dan juga dapat menurunkan
kejadian penyakit lain seperti hipertensi. The American College of Sports
Medicine merekomendasikan untuk penurunan kalori dan lemak dengan latihan
moderate selama 150 sampai 250 menit per minggu, tetapi untuk perbaikan klinis
23
dibutuhkan lebih dari 250 menit per minggunya. Setiap 1 pon lemak tubuh hilang
setiap 3500 kalori dikeluarkan (Ferrini, 2013).