Anda di halaman 1dari 302

t76

HEMOPOESIS
Soebandiri

3. Kompartemen ke-3

terdiri atas zat-zat yang dapat


menstimulasi sel-sel darah untuk berproliferasi,

BATASAN

berdiferensiasi dan/atau berfungsi sesuai dengan tugas

Hemopoesis adalah proses pembuatan darah. Sebagaimana


diketahui, darah terbagi atas:

Bagian yang Berbentuk (formed elements). Terdiri

yang sudah direncanakan. Komponen ini disebut


hemopoetic growtlt factors (HGF) atau .faktor

atas

pertumbuhan hemopoetik (FPH).

sel-sel darah merah (eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit)

dan keping-keping darah (trombosit; plateLet) yar,g


bentuknya dapat dilihat dengan mikroskop.
I. KOMPARTEMEN SEL.SEL DABAH

Bagian yang Tidak Berbentuk. Plasma yang terdiri atas


molekul-molekul air, protein-protein, lemak, karbohidrat,
vitamin-vitamin, enzim-enzim dan sebagainya, yang larut

Komparlemen sel darah terdiri atas:

dalamplasma.

A. Sel lnduk Pluripoten (SlP)

ini hanyalah proses


(bagian
ke-1 yaitu formed
pembentukan sel-sel darah
Yang dibicarakan dalam bab

Menurut teori unitarian. sel-sel darah berasal dari satu sel


induk pluripoten (Pluripotent Stem Cells). Sel-sel ini
jumlahnya sedikit, namun mempunyai kemampuan besar
berproliferasi berkali-kali sesuai kebutuhan.
Pengenalan SIP ini dipelopori oleh Till dan Mc Culloch

elements). Akan dibahas 3 komponen (kompartemen) yang


berperan penting pada hemopoesis, yaitu :
. Kompartemen sel-sel darah

.
.

Kompartemenlingkungan-mikro

pada tahun 1960-an dengan penelitiannya yang

Komparte mefi zat-zat pemicu/perangsang (stimulator)


hemopoesis

menggunakan teknologi pembiakan in-vivo pada tikus.


Mereka menamakan SIP itu sebagai CFU-S (Colony
Forming Unit Spleen). Selanjutnya Dexter pada dekade
berikutnya mengembangkan suatu media pembiakan yang

KOMPONEN-KOMPONEN HEMOPOESIS

baik untuk pembiakan in-vitro dari SIP ini (DexterCulture). Media ini mengkaitkan juga pentingnya LMH

Hernopoesis adalah suatu proses yang kompleks yang


melibatkan banyak komponen-komponen yang saling
terkait antara lain:
l. Komponen atau Kompartemen yang terdiri atas sel-sel
darah baik sel-sel induk, sel-sel bakal dan sel-sel matur.
2. Komponen atau Kompartemen yang disebut stroma
atau lingkungan mikrohemopoetik (LMH) atau

sedemikian sehingga CFU-S

menghasilkan stimulator-stimulator pertumbuhan


hemopoesis yang disebut Hemopoetic Growth Factors
(HGF) atau juga Colony Stimulating Factors (CSF) yang
dapat menstimulasi koloni-koloni sel-sel bakal darah untuk
terus berprolifrerasi dan berdiferensiasi sesuai jalur
turunannya (lineage)nya. Hal ini akan dibahas berikut ini.
Dengan majunya ilmu imunologi ditemukan teknologi
hibridoma yang memungkinkan kita membuat antibodi

hemo po e tic - mic r o - env ir onment.

dianggap sebagai benih sedangkan


dapat dianggap sebagai tanah di mana
benih itu tumbuh. Kedua kompartemen ini tidak sendirisendiri tetapi berbaur.

Komponen
komponen

ini dapat hidup lama dan

dinamakan Long Term Culture Initiating Cells (LTC-IC).


Dalam media Dexter terdapat sel-sel lingkungan mikro yang

1 dapat

110

1106

HEMAIOIOGI

monoklonal (Monoc Lonal Antibody ) (MoAb) dalam jumlah


banyak; kemudian dikembangkan penemuan-penemuan
petanda-petanda imunologis di permukaan sel-sel darah
yang dinamai menurut sistem CD (Cluster of Dffirentiation). Petanda-petanda ini dapat dideteksi dengan MoAb
dan dengan teknik imunohistokimia atatt flovt cytometry.
SIP mempunyai petanda imunologis CD-34. Selain itu
juga belum didapatkan petanda yang mengarah ke suatu

jalur turunan yang lain. HLA-DR sering masih negatif,


sehingga baik sekali untuk pencangkokan sumsum tulang
(PST) yaitu pencangkokan SIP (Stem Cell Transplantation).

B. Sel Bakal Terkait Tugas (SBTT) atau


Co m

itted P rogen ito r H e m o poeti c Ce I I s

Dengan stimulasi faktor pertumbuhan yang berasal dari


LMH yang dinamakan faktor sel induk (Steru Cell Factor
= SCF), SIP dapat berdifferensiasi menjadi sel-sel bakal
darah yang terkait tugas (SBTT) yang terkait pada tugas
menurunkan turunan-turunan sel-sel darah. yaitu jalur-jalur
turunan mieloid dan makrofag disebtt colony forming unit
g r an ul o cy t e, e ry t h r o cy t e, m e g ak a ry- o cy t e, mo n o cy t e ( CFU GEMM) dan jalur turunan limfosit (Lltmphoid Progeniror

Cells=LPC).
SBTT yang bertugas menurunkan sistem granulosit,
eritrosit, monosit/makrofag dan megakariosit dalam
teknologi pembiakan pada tikus disebut CFU-GEMM.

lebih tua (sel-sel matur).

Hierarki pertumbuhan sel-sel darah dapat dilihat pada


Gambarl.

C. Sel-sel Darah Dewasa


Subkompartemen ini terdiri atas golongan granulosit
(eosinofil, basofil, neutrofi l), golongan-golongan mor-rosit/
makrofag, trombosit, eritrosit dan limfosit B dan T yang
perlu dibahas tersendiri.

II. KOMPABTEMEN LINGKUNGAN


Di

sumsum tulang sel-sel darah berada berbaur dengan

kompartemen

II

yaitu jaringan lain yang terdiri

Stroma terdiri atas bermacam subkompartemen yaitu


fibroblas, adiposit, matriks ekstraselular, monosit, makrofag
dan sel-sel endotel yang dapat menghasilkan macam-macam

DARAH TEPI/ORGAN
PERIFER SEL MATUR

MY+MetaMyP-

Mo#MoaMpg
I

-K#Tr

CFU-E
tll
lll
Gambar 1. Hierarki sel-sel darah

l-Batl
I

poti

atas

kumpulan macam-macam sel dan matriks yang disebut


stroma dari sumsum tulang.

MY+

PSC

MIKRO

HEMOPOETTK(LMH)

SUMSUM TULANG/ORGAN SENTRAL


SEL.SEL MATUR

I.2.SBTT

l.1.stP

CFU-GEMM ini distimulasi oleh GEMM-CSF untuk


berdiferensiasi menjadi CFU-G, CFU-M, CFU-Meg dan
CFU-E (melalui BFU-E = Burst Forming Unit Erythrocyte).
Seterusnya CFU-G distimulasi G-CSF ; GM-CSF dapat
menstimulasi CFU-G dan CFU-MK manjadi sel-sel yang

KromatoNorm.bl

Eo

ERY

lRetic
I

tt07

HEMOFOIESIS

Nomenklatur FPH menggunakan

zat y ar,g dapat menstimulasi peftumbuhan sel-sel induk, selsel bakal, dan sel-sel darah yang

lallt.Zat-zatint dinamakan

colony stimulating factors (CSF) atau jtga Hemopoetic

..

Growth Factors (HGF). CSF yang merangsang

pertumbuhan granulocyte disebut granulocyte colony


stimulating facror (G-CSF), sedangkan yang monosit dan

makrofag disebut Monocyte/Macrophage Colony


Stimulating Factors (M-CSF). Zat-zat ini akan dibahas
lebih lengkap di bagian berikutnya dari bab ini.
Stroma yang terdiri atas fibroblas, monosit, makrofag,

3 cara

yaitu:

Memakai akhiran CSF seperti GM-CSF, G-CSF, M-CSF

dan sebagainya.

Memakai awalan

IL

(Interleukin=senyawa yang

diproduksi suatu sel yang dapat mempengaruhi sel


darah lain) seperti IL-l, IL-2 dst.
Memakai nama-nama khusus seperli Stem-cell-factor
(SCF), eritropoetin, trombopoetin dan seterusnya.

Stimulasi dapat berarti dua arah yaitu positif bila


betul menstimulasi atau negatif bila ia menghambat

endotel dan sebagainya itu disebut juga sebagai

proses.

lingkungan mikro hemopoetik (LMH). Jadi jaringan LMH


ini seakan-akan merupakan tanah yang menghidupi selsel induk dan sel-sel bakal yang dianggap sebagai benih
di persemaian. Kalau stroma atau LMH ini rusak atau
defisien maka pertumbuhan sel-sel darah akan terganggu
(hipoplastik sampai aplastik). Awalnya sel-sel bakal darah
melekat pada LMH melalui suatu molekul adhesi yang

Senyawa-senyawa FPH mempunyai 3 sifat


biologis, yaitu:
Pleiotrofi artinya

satu FPH dapat menstimulasi beberapa

sel-sel bakal; misalnya: IL-3 dapat menstimulasi CFU-G


maupun CFU-E dan CFU-Meg, meskipun dalam derajat
yang berbeda (Multi-CSF)

diproduksi oleh stroma, kemudian melalui interaksi antar sel

matriks sel bakal dirangsang untuk berdifferensiasi dan

Redundansi artinya satu sel bakal dapat distimulasi oleh 2


FPH, misalnya:CtrU-E dapat distimulasi oleh IL-3 maupun
oleh E-CSF (eritropoetin) meskipun dalam derajat yang

berfungsi seperti yang sudah direncanakan.

berbeda.

KOMPONEN (KOMPARTEMEN) FPH (FAKTOR


PERTUMBUHAN HEMOPOETIK), DISEBUT JUGA

T[ansmodulasi reseptor artinya reseptor sel bakal A dapat


pula berfungsi sebagai reseptor sel bakal B.

HGF (HEMOPOETTC GROWTH FACTORI

Hal ini mempunyai arti klinis yang penting, karena


Batasan: FPH adalah senyawa-senyawa yang dapat
menstimulasi proliferasi, diferensiasi dan aktifasi

dengan demikian berarti pengobatan dengan kombinasi


FPH akanjauh lebih berhasil daripada dengan satu FPH

fungsional dari sel-sel bakal darah.

(tentu bila ada indikasi), namun biayanya tentu lebih


mahal juga. Proses produksi selanjutnya dari sel-sel
darah seperti eritrosit, granulosit, trombosit, limfosit
(kompartemen I) tidak dibahas di bab ini. Proses ini

FPH diproduksi oleh stroma (kompartemen II).


Normalnya FPH hanya didapatkan dalam kadar sedikit di
dalam darah. Awalnya orang membuat FPH dari sel-sel
stroma yang dibiakkan (teknologi pembiakan). Dengan

disebut juga sebagai eritropoesis, granulopoesis,

jumlah banyak dan dipasarkan di seluruh dunia oleh

trombopoesis, limfopoesis dan seterusnya yang dapat


terjadi di sumsum tulang maupun di sistem hemopoetik
perifer, namun perlu pembahasan khusus. Makin lama
makin banyak FPH baru yang ditemukan dan

industri farmasi sebagai senyawa-senyawa FPH (HGF).

diproduksi.

majunya ilmu biologi molekular gen-gen pada kromosomkromosom yang menyandi FPH dapat ditentukan, lalu di
klon dan dengan teknologi rekombinan dapat dibuat dalam

Jenis Sel

G-CSF GM-CSF FGF VWF H-CAM Selektin

Cadherin

LMH
Fibroblast
Endotil
Adiposit
Matriks Ekstra
Selular (ECM)

++

+++

+++

++

+
+

+++

++

++

+++

++

+++

+++

+++

+++

1108

HEIVTANOI.OGI

Lokasi gen

FPH

----tL-2 -----

Menstimulasi FPH lain ; CFU-GEMM

lL-1

lL-3

Aktivitas/ sel sasaran

FPH sel-sel T

-----

CFU-GEMM;CFU-G

CFU-M ; CFU-E dan sebagainya

(multiCSF)
lL-4

-----

Sel-B;CFU-GM
3.1

r\-s

-----

Eos

differentiating factor

NK cell

_ z_J-J.
5q----------t

Tc

Stimulasi dan aktivasi G dan M

a4aa

Stimulasi dan aktivasi G (Granulosit)

G-CSF
Epo

Stimulasi dan aktivasi BFU-E dan CFU-E

SCF

Stimulasi dan aktlvasi SIP : CFU-GEMM

factor

Trombopoetin

(Stem cell

Trombopoesis

Gambar 2, Beberapa FPH, lokasi gen dan aktivitas/ sel sasaran

REFERENSI
L. Hampson IN, Dexter TM. The biology of hemopoesis.
Education Programme of The 26 r' Conggress of The ISH.
Singapore: 25-29 August: t996. p 399.
Koury MJ, Boudurant MC. Origin and development of blood cells.
In: Lee GR. et al, editors. Wintrobe's clinical hematology
Volume IA. Chapter 8, 10'i'edition. Phjladelhia: Lippincott
Williams & Wilkins; 1999. p. 145.
Mazzl Jl Hematopoesis In : Massa JJ, editor. Manual of clinical
hematology. 2"d edition. Boston: Little, Brown; 1995. p. 1.
Hampson

Mollineux G, Mazanet R Hemopoetic growth factors. In: Provan


D, Gribben J, editors. Molecular hematology. Oxford, London:
Blackwell Science; 2000. p. 198.
Soebandiri. Hemopoetic growth factors Naskah Lengkap Konas
VIII PHTDI, Surabaya 11-13 Oktober 1997 (Kuliah UMUM

It).

of hemopoetic cell
production. In: Hoffbrand AV, Lewis SM, Tuddenham EGD,
Editors. Post graduate hematology. 4'h edition. Oxford, Boston.
Singapore: Butterworth Heinemann; 1999. p. l.

Testa NG, Dexter TM. The regulation

177
PENDEI(ATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA
I Made BaKa

PENDAHULUAN

ke arah penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan


penyakit dasarjuga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari
memia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus
anemia tersebut.

Anemia merupakan masalah medik yang paling sering


dijumpai di klinik di seluruh dunia, di samping sebagai
masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara
berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas
kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak besar
terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi. serta kesehatan
fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering.
anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak rnendapat
perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik.

Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan


pemahaman tentang patogenesis dan patofisiologi
anemia, serta ketrampilan dalam memilih, menganalisis serta

merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk membahas pendekatan
praktis dalam diagnosis dan terapi anemia yang sering
dihadapi oleh dokter umum ataupun spesialis penyakit

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai


penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen

dalam.

dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan

oxygen carrlting capacity). Secara praktis anemia


ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit
atau hitung eritrosit (.red cell courtt). Tetapi yang paling

KRITERIAANEMIA

lazrm dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan

hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan


tertentu di mana ketiga parameter tersebut tidak sejalan
dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan
akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah
berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit
paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin
dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia. jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal serla keadaan fisiologis
tertentu seperti misalnya kehamilan.
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri
(disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai macam
penyakit dasar (underlying disease) . Oleh karena itu dalam
diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada
label anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit dasar
yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena
seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga
apabila hal ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi

penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin,


disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya
ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi

masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang


dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat
bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis
kelamin, adanyakehamilan dan ketinggian tempat tinggal.
Oleh karena itu perlu ditentukan titikpemilah (czt offpoint)
di bawah kadar mana kita anggap terdapat anemia. Di
Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk lakilaki adalah 14 gldl dan 12 g/dl pada perempuan dewasa
pada permukaan laut. Peneliti lain memberikan angka yang
berbeda yait:u 12 g/dl (hematokrit3SEo) untuk perempuan
dewasa, I I g/dl (hematokrit 367o) untuk perempuan hamil,
dan 13 g/dl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off
point anemia untuk keperluan penelitian lapangan seperti

terlihat pada Tabel 1.

110

1110

HEMIffOIOGI

disebabkan oleh karena: 1). Gangguan pembentukan


Kelompok

Kriteria Anemia (Hb)

dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Garnbaran lebih

< 13 g/dl
< 12 gldl
< 1 1gldl

Laki-laki dewasa
Wanita dewasa tidak hamil
Wanita hamil

eritrosit oleh sumsum tulang; 2). Kehilangan darah keluar


tubuh (perdarahan); 3). Proses penghancuran eritrosit

rinci tentang etiologi anemia dapat dilihat pada Thbel 3.

Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek


dokter) di Indonesia dan negara berkembang lainnya,

Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam


sumsum tulang
Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi vitamin 812
Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia sideroblastik
Kerusakan sumsum tulang
Anemia aplastik
Anemia mieloptisik
Anemia pada keganasan hematologi
Anemia diseritropoietik
Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada
gagal ginjal kronik
Anemia akibat hemoragi
Anemia pasca perdarahan akut
Anemia akibat perdarahan kronik

kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis.


Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka
sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau

dirawat di rumah sakit akan memerlukan pemeriksaan work


up anemialebih lanjut. Oleh karena itu beberapa peneliti di
Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria

2.
3

hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari workup


anemia, atau di India dipakai angka 10-1 1 g/dl.

PREVALENSIANEMIA
Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai
baik di klinik maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari
30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita
anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik.
De Maeyer memberikan gambaran prevalensi anemia di
dunia untuk tahun 1985 seperti terlihat pada Tabel 2.

a
b
c

a.
b

a.
b.
c.
d.
e.

1
2

Anemia hemolitik

1.

Anemiahemolitikintrakorpuskular

a.
b.

Gangguan membran eritrosit (membranopati)


Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia
akibat defisiensi G6PD
Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalassemia
Hemogloblnopati struktural: HbS, HbE, dll
Anemia hemolitikekstrakorpuskuler
a, Anemia hemolitik autoimun
b, Anemia hemolitik mikroangiopatik
Lain-lain

Anak Anak
0-4th 5-12 th
Negara maju 12%
7%
Negara
51%
46%
berkembang
Dunia
43%
37%

Laki
dewasa

3%
26%
18yo

Wanita
1 5-49 th

14%
59%
51yo

2.
Wanita
hamil
11%
47%
350/"

Untuk Indonesia, Husaini dkk memberikan gambaran


prevalensi anemia pada tahun 1989 sebagai berikut:
Anak prasekolah
:30-40Vo
Anak usia sekolah
:25 -357o
Perempuan dewasa tidak h amll : 30 - 40Vo

Perempuanhamil
Laki-laki dewasa

50-1O7o
:20-30Vo
:

Pekeria berpenghasilan rendah : 30 - 40Vo

c.

D.

Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan


patogenesis yang kompleks

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan


gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau
hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi
menjadi tiga golongan: 1). Anemia hipokromik mikrositer,
bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg;2). Anemia normokromik
normosirer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg;3).
Anemiamakrositer, bilaMCV > 95 fl.
Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan

Berbagai survei yang telah pernah dilakukan di Bali


memberikan angka-angka yang tidakjauh berbeda dengan
angka di atas.

(Tabel 4) akan sangat menolong dalam mengetahui


penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi

ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA

PATOFISIOLOGI DAN GEJALA ANEMIA

Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan

Gejala umum anemia (sindrom anemia atav anemic


syndrome) adalah gejala yang timbul pada setiap kasus

oleh bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia

anemla.

1111

PENDEKATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA

Anemia hipokromik mikrositer


Anemia defisiensi besi
Thalassemia major
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia sideroblastik
Anemia normokromik normositer
Anemia pasca perdarahan akut
Anemia aplastik
Anemia hemolitik didapat
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia pada gagal ginjal kronik
Anemia pada sindrom mielodisplastik
S. Anemia pada keganasan hematologik
Anemia makrositer

a.
b.
c.
d.

a.
b.
c.
d.
e.
f.
a.

Bentukmegaloblastik

b.

Anemia defisiensi asam folat


Anemia defisiensi B12, termasuk anemia
perntstosa
Bentuk non-megaloblastik
Anemia pada penyakit hati kronik
Anemia pada hipotiroidisme
Anemia pada sindrom mielodisplastik

1.

Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan

Anemia

hepatomegali

3. Gejala

aplastik:

dan tanda-tanda infeksi

penyakit dasar. Gejala yang timbul akibat penyakit

dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi


tergantung dari penyebab anemia tersebut- Misalnya gejala
akibat infeksi cacing tambang: sakit perug pembengkakan
parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus
tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti
misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh kalena
artritis reumatoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan
fi sik sangat penting pada kasus anemia untuk mengarahkan

diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis

2.

anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.

1.
2.
3.

PEMERIKSAAN UNTUK DIAGNOSIS ANEMIA

Pemeriksaan Laboratorium
anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin
turun di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini

Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang

timbul karena: 1). Anoksia organ; 2). Mekanisme

diagnostik pokok dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan


ini terdiri dari: 1). Pemeriksaan penyaring (screening test):

kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut

2). Pemeriksaan darah seri anemia;3). Pemeriksaan sumsum

oksigen.

tulang; 4). Pemeriksaan khusus.

Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik)


apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dl. Berat

ringannya gejala umum anemia tergantung pada: a).


Derajat penurunan hemoglobin; b). Kecepatan penurunan
hemoglobin; c). Usia; d). Adanya kelainan jantung atau
paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala,
yartu:
1. Gejala umum anemia. Gejala umum anemia, disebutjuga
sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ

target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap


penurunal kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap
kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar
tertentu (Hb<7 g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah,

lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata


berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan
dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang
mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak
tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat

tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di


luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah
penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7gldl).

Gejala khas masing-masing anemia. Gejala ini spesifik


untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh:
2.

.
.

Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah,


stomatitis angularis, dan kuku sendok (koilonychia).
Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik
pada defisiensi vitamin B12

Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari
pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan
hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya
anemia serta jenis morfologik anemia tersebu! yang sangat
berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.

Pemeriksaan Darah Seri Anemia


Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit,
trombosit, hitung retikulosit dan laju endap darah. Sekarang

sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer


yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.

Pemeriksaan Sumsum Tulang


Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang
sangat berharga mengenai keadaan sistem hematopoesis.
Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada
beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang muflak

diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia


megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat
mensupresi sistem eritroid.

Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus,
misalnya pada:
. Anemia defisiensi besi: serum iron.TIBC (total iron

lt12
binding capacity), saturasi transferin, protoporfirin

eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan

.
.
.

HEMAIIOI.OGI

dan kemungkinan penyebabnya. Hasil ini dapat diperkuat


dengan pendekatan probabilistik (pendekatan berdasarkan

pengecatan besi pada sumsum triang (Perl's stain).


Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B 12 serum,
tes supresi deoksiuridin dan tes Schiling.

pola etiologi anemia), yang bersandar pada data

Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb,

Pendekatan Probablistik atau Pendekatan


Berdasarkan Pola Etiologi Anemia

elektroforesis hemoglobin dan lain-lain.


Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang.

Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu


seperti misalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal

epidemiologi yaitu pola etiologi anemia di suatu daerah.

Secara umum jenis anemia yang paling sering dijumpai di


dunia adalah anemia defisiensi besi, anemia akibat penyakit

tiroid.

kronik dan thalassemia. Pola etiologi anemia pada orang


dewasa pada suatu daerah perlu diperhatikan dalam

PENDEKATAN DIAGNOSIS

membuat diagnosis. Di daerah tropis anemia defisiensi besi


merupakan penyebab tersering disusul oleh anemia akibat
penyakit kronik dan thalassemia. Pada perempuan hamil

Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan


penyakit (disease entity), yang dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal ini
penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak
cukup hanya sampai pada diagnosis anemia, tetapi sedapat
mungkin kita harus dapat menentukan penyakit dasar yang
menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-tahap dalam
diagnosis anemia adalah:
. Menentukan adanya anemia
. Menentukan jenis anemia
. Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
. Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang
akan mempengaruhi hasil pengobatan

Pendekatan Diagnosis Anemia


Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis

anemia karena defisiensi folat perlu juga mendapat


perhatian. Pada daerah terlentu anemia akibat malaria masih

cukup sering dijumpai. Pada anak-anak tampaknya


thalasemia lebih memerlukan perhatian dibandingkan
dengan anemia akibat penyakit kronik. Sedangkan di Bali,
mungkin juga di Indonesia, anemia aplastik merupakan
salah satu anemia yang sering dijumpai. Jika kita menjumpai

anemia di suatu daerah, maka penyebab yang dominan di


daerah tersebutlah yang menjadi perhatian kita perlamatama. Dengan penggabungan bersama gejala klinis dan
hasil pemeriksaan laboratorium sederhana, maka usaha
diagnosis selanjutnya akan lebih terarah.

Pendekatan Klinis
Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah:
1). Kecepatan timbulnya penyakit (arvitan anemia), 2).
Berat ringannya derajat anemia. 3). Gejala yang menonjol.

anemia, altara lain adalah pendekatan tradisional,


pendekatan morfologi, fungsional dan probabilistik, serta
pendekatan klinis.

Pendekatan Tradisional, Morfologik,


Fungsional dan Probabilistik
Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil


laboratorium, setelah dianalisis dan sintesis maka
disimpulkan sebagai sebuah diagnosis, baik diagnosis
tentatif ataupun diagnosis definitif.
Pendekatan lain adalah pendekatan modologi, fisiologi

dan probabilistik. Dari aspek morfologi maka anemia


berdasarkan hapusan darah tepi atau indeks eritrosit
diklasifikasikan menj adi anemia hipokromik mikrositer,
anemia normokromik normositer dan anemia makrositer.
Pendekatan fungsional bersandar pada fenomena apakah
anemia disebabkan karena penumnan produksi eritrosit
di sumsum tulang, yang bisa dilihat dari penurunan angka
retikulosit, ataukah akibat kehilangan darah atau hemolisis,
yang ditandai oleh peningkatan angka retikulosit. Dari
kedua pendekatan ini kita dapat menduga jenis anemia

Pendekatan Berdasarkan Awitan Penyakit


Berdasarkan awitan anemia, kita dapat menduga jenis
anemia tersebut. Anemia yang timbul cepat (dalam
beberapa hari sampai minggu) biasanya disebabkan oleh:
l). Perdarahan akut, 2). Anemia hemolitik yang didapat
seperti halnya pada AIHA terjadi penurunan Hb >1 g/dl
per minggu. Anemia hemolitik intravaskular juga sering

terjadi dengan cepat. seperti misalnya akibat salah


transfusi, atau episode hemolisis pada anemia akibat
defisiensi G6PD, 3). Anemia yang timbul akibat leukemia
akut, 4). Krisis aplastik pada anemia hemolitik kronik.
Anemia yang timbul pelan-pelan biasanya disebabkan
oleh: 1). Anemia defisiensi besi; 2). Anemia defisiensi folat
atau vitamin Bl2;3). Anemia akibat penyakit kronik;
4). Anemia hemolitik kronik yang bersifat kongenital.

Pendekatan Berdasarkan Beratnya Anemia


Derajat anemia dapat dipakai sebagai petunjuk ke arah
etiologi. Anemia berat biasanya disebabkan oleh:
1). Anemia defisiensi besi; 2). Anemia aplastik; 3). Anemia
pada leukemia akut; 4). Anemia hemolitik didapat atau

1113

PENDEKATAN TER}IADAP PASIEN ANEMIA

kongenital seperti misalnya pada thalasemia major;

PENDEKATAN TERAPI

5). Anemia pasca perdarahan akut; 6). Anemia pada GGK

stadium terminal.
Jenis anemia yang lebih sering bersifat ringan sampai
sedang, j arang sampai deraj at berat ialah: I ).Anemia akibat

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian


terapi pada pasien anemia ialah: 1). Pengobatan hendaknya

penyakit kronik; 2). Anemia pada penyakit sistemik;

ditegakkan terlebih dahulu; 2). Pemberian hematinik tanpa


indikasi yang jelas tidak dianjurkan; 3). Pengobatan
anemia dapat berupa: a). Terapi untuk keadaan darurat
seperti misalnya pada perdarahan akut akibat anemia
aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia

3). Thalasemia

Trait.

Jika pada ketiga anemia tersebut di atas dijumpai


anemia berat, maka harus dipikirkan diagnosis lain, atau
adanya penyebab lain yang dapat memperberat derajat
anemia tersebut.

Pendekatan Berdasarkan Sifat Gejala


Anemia
Sifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu
diagnosis. Gejala anemia lebih menonjol dibandingkan
gejala penyakit dasar dijumpai pada: anemia defisiensi besi,

anemia aplastik, anemia hemolitik. Sedangkan pada


anemia akibat penyakit kronik dan anemia sekunder Iainnl,a
(anemia akibat penyakit sistemik, penyakit hati atau ginjal),

diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah

pasca perdarahan akut yang disertai gangguan


hemodinamik. b), Terapi suportif, c). Terapi yang khas
untuk masing-masing anemia, d). Terapi kausal untuk
mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia
tersebut; 4). Dalam keadaan di mana diagnosis definitif
trdak dapat ditegakkan, kita terpaksa memberikan terapi
percobaan (terapi ex juvantivus). Di sini harus dilakukan
pemantauan yarrg ketat terhadap respon terapi dan
perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan

gejala-gejala penyakit dasar sering lebih menonjol.

Pendekatan Diagnostik Berdasarkan

Hapusan darah tepi dan indeks


eritrosit (MCV, N4CH, MCHC)

Tuntunan Hasil Laboratorium


Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil
penilaian klinis dan iaboratorik merupakan cara 1,ang ideal
tetapi memerlukan fasilitas dan ketrampilan klinrs vang

Anemia normokromik
normositer

Di bawah ini diajukan algoritma pendekatan


diagnostik anemia berdasarkan hasil pemeriksaan
cukup.

laboratorium (Gambar

s.d. Gambar 4)

ANEMI A H IPOKROMIK MIKROSITER

TIBC lJ
Feritin N/l
Ring sideroblast

dalam sumsum
tulang

Gambar 2. Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer

ttr4

HEMAIIOI.OGI

Enzimopati
Membranopati
Hemoglobinopati

Gambar 3. Algoritme diagnosis anemia normokromik normositer

B1 2 serum

rendah

Anemia defisiensi Bl
asam folat dalam
terapi
Anemia
pada

hipotiroidisme
Anemia
pada

hipotiroidisme

Gambar 4. Algoritme pendekatan diagnostik anemia makrositer

1115

PENDEK/IiIAN TERI{ADAP PASIEN AI\EMIA

evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan

Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U,

diagnosis; 5). Transfusi diberikan pada anemia pasca


perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan

Williams WJ. Approach to the patient. In: Beutler E, Coller BS,

hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan


jika anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah
jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan whole
blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan
volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan dengan
tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika kerja cepat
seperti furosemid sebelum transfusi.

Lichtman MA, Kipps TJ, editors. Williams hematology. 6th


edition New York: McGraw Hill p 3-8.
Beutler E. The common anemias. JANIA i990;259:2433-7.
Boediwarsono, Adi P, Soebandiri. Diagnosis dan pengobatan anemia
Surabaya: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Lab/UPF Ilmu
Penyakit Dalam FK UNAIR-RSUD Dr Sutomo; 1988.

Med Books; 1983


Conrad ME. Anemia eMedicine Journal 2002;3(2):l-25.
Evatt BL. Fundarnental diagnostic hematology: anemia Atlanta &
Geneva: US Department of Health and Human Services & WHO,
Cawley JC. Haematology London: W. Heineman

r992.
DeMaeyer

EM Preventing and controlling deficiency anemia


through primary health care. Geneva: WHO; 1989
Djubelgovic B, Hadley T & Pasic RA New algorithm for diagnosis

KES!MPULAN
Anemia merupakan kelainan yang sering dijumpai. Untuk
penelitian lapangan umumnya dipakai kriteria anemia
menurut WHO, sedangkan untuk keperluan klinis dipakai
kriteria Hb < 1 0 g/dl atau hematokrrt < 30Vo. Anemia dapat
diklasifikasikan menurut etioparogenesisnya ataupun
berdasarkan morfologi eritrosit. Gabungan kedua klasifi kasi
ini sangat bermanfaat untuk diagnosis. Dalam pemeriksaan
anemia diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
laboratorik yang terdiri dari: pemeriksaan penyaring,
pemeriksaan seri anemia, pemeriksaan sumsum tulang:
pemeriksaan khusus. Pendekatan diagnosis anemia dapat
dilakukan secara klinis, tetapi yang lebih baik ialah dengan
gabungan pendekatan klinis dan laboratorik. Pengobatan
anemia seyogyanya dilakukan atas indikasi yang jelas.
Terapi dapat diberikan dalam bentuk terapi darurar. terapi
suportif, terapi yang khas untuk masing-masing anemia
dan terapi kausal.

REFERENSI

Bakta IM. Hematologi ringkas. Denpasar: UPT

Penerbit

Universitas Udayana, 2001.

Bakta IM Segi-segi praktis pengelolaan anemia. Buletin


Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah lndonesia

(PHTDI) 1999;1(2):67-88
Bakta IM, Lila IN, Widjana DP, Sutisna P. Anemia dan anemia
defisiensi besi di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan,
Kabupaten Tabanan Bali. Naskah lengkap KOPAPDI VIII.
Yogyakarta: KOPAPDI VIII; 1990.
Bakta IM. Anemia kekurangan besi pada usia lanjut. Majalah
Kedokteran Indonesia. 1989;39:504-6.
Bakta IM, Sutjana DP & Andewi JP. Prevalensi anemia dan infeksi
cacing tambang di Desa Pejaten Bali. Naskah lengkap kongres
nasional MHTDI. Yogyakarta: PHTDI; 1983
Bakta IM, Soenarto, Sutanegara D. Penelitian anemia di pedesaan
(suatu survei di Desa Kedisan Bali). Naskah lengkap KOPAPDI
Semarang: KOPAPDI; 1981.

of anemia

Postgraduate

Medicine 1989;85:119-30.

Djulbegovic B. Reasoning and decision rnaking in hematology. New


York: Churchrl Livingstone; 1992
Fairbanks VF The anemias. ln: Mazz,a JJ, editor Manual of clinical
hematology 2"d editiolr. Boston: Litte Brown; 1995" p. 11-69.
Glader B. Anemia: general considerations. In: Greer GM, Paraskevas

F, Glader B, editors. Wintrobe's clinical hematology 11'h


edition. Philadelphia: Lippincot, Williams; 2004. p. 941-1009.
Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH Essential hematology. 4'h
edition. Oxford: Blackwell Science: 2001.
Husaini M, Husaini YK, Siagian UL & Suhamo D. Anemia gizi: suatu

studi kompilasi informasi dalam menunjang kebijaksanaan


program Bogor: Puslitbang Gizi; 1989
lsbisrer HP, Pittglio DH Clinical hematology: a problem-oriented
approach. Baltimore: William & Wilkin; 1988.
Kellermeyer RW, General principles of the evaluation and therapy
of anemlas Med Clin N Am. 1984:66:533-43.
Linker CA. Blood. In: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA,
editors. Current medical diagnosis & treatment. 36'h edition.
Stanford: Appleton & Lange; 1997. p.463-518.
Longo DL. Oncology and hematology. In: Braunwald E, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors.
Harrison's Principle of Internal Medicine. 15'h edition New
York: McGraw Hill; 2001. p. 491-762.
Mehta BC. Approach to patient with anemia. Indian J Med Sci.
2004:58:26-9
Schnall SF, Berliner N, Duffy TP, Benz EJ. Approach to the adult
and child with anemia. In: Hoffman R, Benz EJ, Shttil SJ, Furie
B, Cohen HJ, Silberstein LE, McGlove P, editors. Hematology:
Basic Principles and Practice. 3'd edition. New York: Churchill
Livingstone; 2000. p. 361 -82.
Shah A. Anemia Indian J Med Sci 2004: b58:24-5.
Weatherall DJ & Wasi P Anemia. In: Warren KS & Wasi P, editors.
Tropical and geographial medicine New York: McGraw-Hill

Book:1985.
WHO Technical Reporl Series No. 405. Nutritional Anemia. Geneva:

WHO; 1968.

178
ANEMIA APLASTIK
Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder

PENDAHULUAN

EPIDEMIOLOGI

Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang


relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam
jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia
sumsum tulang dan pertama kali dilaporkan tahun 1888

Insidensi anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh


dunia dan berkisar antara 2 sampai 6 kasus per 1 juta

oleh Ehrlich pada seorang perempuan muda yang


meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan

gejala anemia berat, perdarahan, dan hiperpireksia.


Pemeriksaan postmortem terhadap pasien tersebut

penduduk per tahun dengan variasi geografis. Penelitian


The International Aplastic Anemia and Agranulolytosis
Study diawal tahun 1980-an menemukan frekuensi di Eropa
dan Israel sebanyak 2 kasus per I juta penduduk. Penelitian
di Perancis menemukan angka insidensi sebesar 1,5 kasus

per 1 juta penduduk per tahun. Di Cina, insidensi

menunjukkan sumsum tulang yang hiposelular (tidak


aktif). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali
menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun

dilaporkan 0,74 kasus per 100.000 penduduk per tahun


dan di Bangkok 3,7 kasus per I juta penduduk per tahun.
Ternyata penyakit ini lebih banyak ditemukan di belahan

berikutnya definisi anemia aplastik masih belum berubah


dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakan pendapat

Timur dunia daripada di belahan Barat.


Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia
15 sampai 25 tahun; puncak insidens kedua yang lebih
kecil muncul setelah usia 60 tahun. Umur dan jenis kelamin
pun bervariasi secara geografis. Di Amerika Serikat dan
Eropa umur sebagian besar pasien berkisar antara 15-24
tahun. Cina melaporkan sebagian besar kasus anemia
aplastik pada perempuan berumur di atas 50 tahun dan
pria di atas 60 tahun. Di Perancis, pada pria ditemukan dua
puncak yaitu antara umur 15-30 dan setelah umur 60 tahun,
sedangkan pada perempuan kebanyakan berumur di atas

bahwa tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia


sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun 1959, Wintrobe
membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus

pansitopenia, hipoplasia berat atau aplasia susmsum


tulang, tanpa ada suatu penyakit primer yang
menginfiltrasi, mengganti atau menekan jaringan
hemopoietik sumsum tulang.

Selain istilah anemia aplastik yang paling sering


digunakan, masih ada istilah-istilah lain seperti anemia
hipoplastik, anernia refrakter, hipositemia progresif,

60 tahun.
Perjalanan penyakit padapriajuga lebih berat daripada
perempuan. Perbedaan umur dan jenis kelamin mungkin
disebabkan oleh risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan
geografis mungkin disebabkan oleh pengaruh lingkungan.

anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmieloftisis dan


anemia paralitik toksik.

Anemia aplastik dapat diwariskan atau didapat.


Perbedaan antara keduanya bukan pada usia pasien.
melainkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan
laboratorium. Oleh karena itu, pasien dewasa mungkin

membawa kelainan herediter yang muncul di usia


dewasa. Dalam bab ini yang dibahas terutama adalah
anemia aplastik didapat sedangkan sedikit penjelasan
mengenai anemia aplastik herediter diberikan di akhir

KLASIFIKASI
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia
aplastik didapat diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat,
atau sangat berat (Tabet 1). Risiko morbiditas dan mortalitas

bab.

1116

LttT

ANEMIAAPI.ASTIK

Klasifikasi

Kriteria

Anemia aplastik berat


Selularitas sumsum
tulang
Sitopenia sedikitnya
dua dari tiga seri sel
darah

.
.
.

Anemia aplastik sangat


berat

Sama seperti di atas kecuali


hitung neutrofil < 200/pL

Anemia aplastik tidak


berat

Sumsum tulang hiposelular namun


sitopenia tidak memenuhi kriteria
berat

.
.

< 250k
Hitung neutrofil < 500/pL
Hitung trombosit < 20.000/pL
Hitung retikulosit absolut
< 60 000/pL

lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia

dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas dan


antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mileran
atau nitrosourea. Bahan kimia terkenal yang dapat
menyebabkan anemia aplastik ialah senyawa benzena.
Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia
aplastik sementara atau permanen, misalnya virus Epstein-

Barr, influenza A, dengue, tuberkulosis (milier).


Sitomegalovirus dapat menekan produksi sel sumsum
tulang, melalui gangguan pada sel-sel stroma sumsum
tulang. Infeksi oleh human im.munodeficiency virus (HIY)
yang berkembang menjadr acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS) dapat menimbulkan pansitopenia. Infeksi
pada pasien dengan defisensi imun

kronik olehparvovirus

juga dapat menimbulkan pansitopenia. Akhir-akhir ini,


sindrom anemia aplastik dikaitkan dengan hepatitis

pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai

walaupun merupakan kasus yang jarang. Meskipun telah


banyak studi dilakukan, virus yang pasti belum diketahui,
namun diduga virus hepatitis non-A, non-B, dan non-C.

807o; infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan


penyebab kematian utama. Anemia aplastik tidak berat

Pada kehamilan, kadang-kadang ditemukan


pansitopenia disertai aplasia sumsum tulang yang

jarang mengancam jiwa dan sebagian besar tidak

berlangsung sementara. Hal ini mungkin disebabkan oleh

membutuhkan terapi.

estrogen pada seseorang dengan predisposisi genetik,


adanya zat penghambat dalam darah atau lidak ada

ketimbang selularitas sumsum tulang. Angka kematian


setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja untuk

perangsang hematopoiesis. Anemia aplastik sering sembuh

PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS

setelah terminasi kehamilan, dapat terjadi lagi pada

Dahulu, aremia aplastik dihubungkan erat dengan paparan

kehamilan berikutnya.
Namun, sekarang diyakini ada penjelasan patohsiologis
anemia aplastik yang masuk akal, yang disimpulkan dari

terhadap bahan-bahan kimia dan obat-obatan. Anemia


aplastik dianggap disebabkan paparan terhadap bahanbahan toksik seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan atau
senyawa kimia tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan,
hepatitis viral, dan fasciitis eosinofilik. Jika pada seorang
pasien tidak diketahui faktor penyebabnya, maka pasien
digolongkan anemia aplastik idiopatik. Sebagian besar
kasus anemia aplastik bersifat idiopatik. Beberapa etiologi
anemia aplastik tercantum dalam Tabel 2.

Anemia aplastik terkait obat terjadi karena


hipersensitivitas atau dosis obat yang berlebihan. Obat
yang banyak menyebabkan anemia aplastik adalah

kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering

Toksisitas langsung

.
.
.

latrogenik

.
.

Radiasi

Kemoterapi
Benzena
Metabolit intermediate beberapa jenis obat

Penyebab yang diperantarai imun


latrogenik: transfusion-ass ociated graft-versus-host
disease
Fasciitis eosinofilik
Penyakit terkait hepatitis
Kehamilan
Metabolit intermediate beberapa jenis obat
Anemia aplastik idiopatik

.
.
.
.
.
.

berbagai observasi klinis hasil terapi dan eksperimen


laboratorium yang sistematik. Di akhir tahun 1960-an,
Mathd et al memtnculkan teori baru berdasarkan kelainan
autoimun setelah melakukan transplantasi sumsum tulang
kepada pasien anemia aplastik. Keberhasilan transplantasi

sumsum tulang untuk menyembuhkan anemia aplastik


memperlihatkan adanya kondisi defisiensi sel asal (s/ert
cell).
Adanyareaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga
dibuktikan oleh percobaan in vitro yang memperlihatkan
bahwa limfosit dapat menghambat pembentukan koloni
hemopoietik alogenik dan autologus. Setelah itu, diketahui
bahwa limfosit T sitotoksik memerantarai destruksi sel-sel
asal hemopoietik pada kelainan ini. Sel-sel T efektor tampak
lebihjelas di sumsum tulang dibandingkan dengan darah
tepi pasien anemia aplastik. Sel-sel tersebut menghasilkan

interferon-y dan TNF-cr yang merupakan inhibitor


langsung hemopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas
pada sel-sel CD34*. Klon sel-sel T imortal yang positif
CD4 dan CDS dari pasien anemia aplastik juga mensekresi
sitokin T-helper-l yang bersifat toksik langsung ke selsel CD34 positif autologus.
Sebagian besar anemia aplastik didapat secara
patofisiologis ditandai oleh destruksi spesifik yang
diperantarai sel T ini. Pada seorang pasien, kelainan
respons imun tersebut kadang-kadang dapat dikaitkan
dengan infeksi virus atau pajanan obat tertentu atalu zat

1118

HEMAIOLOGI

kimia terlentu. Sangat sedikit bukti adanya mekanisme lain,


seperti toksisitas langsung pada sel-sel asal atau defisiensi
fungsi faktor perlumbuhan hematopoietik. Lagipula, derajat

destruksi sel asal dapat menjelaskan variasi perjalanan


klinis secara kuantitatif dan variasi kualitatif respons imun

Destruksi lmun
Banyak data laboratorium yang menyokong hipotesis
bahwa pada pasien anemia aplastik didapat, limfosit
bertanggung jawab atas destruksi kompartemen sel
hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa

dapat menerangkan respons terhadap terapi imunosupresif.

limfosit pasien menekan hematopoiesis. Sel-sel ini

Respons terhadap terapi imunosupresif menunjukkan


adanya mekanisme imun yang bertanggung jawab atas
kegagalan hematopoietik.

memproduksi faktor penghambat yang akhirnya diketahui


adalah inter-feron-y. Adanya aktivasi respons selT helperI (Thr) disimpulkan dari sifat imunofenotipik sel-sel T dan
produksi interferon, tumor necrosis factor, dan interleukin2 yang berlebihan. Deteksi interferon-Y intraselular pada
sampel pasien secara;flow c)ttometr\, mungkin berkorelasi

Kegagalan Hematopoietik
Kegagalan produksi sel darah bertanggung jawab atas
kosongnya sumsum tuang yang tampak jelas pada
pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen
core biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan

magnetic resonance imagin.g vertebra memperlihatkan


digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata.
Secara kuantitatif, set-sel hematopoietik yang imatur dapat

dihitung dengan flow cytomelry. Sel-sel tersebut

mengekspresikan protein c.ytoadhesive, yang disebut


CD34. Padapemeriksaan.flow- cytometD,, antigen sel CD34
dideteksi secara fluoresens satu persatu, sehinggajumlah
sel-sel CD34* dapat dihitung dengan tepat. Pada anemia
aplastik, sel-sel CD34* juga hampir tidak ada yang berarti
bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid,
dan megakaryositik sangat kurang jumlahnya. Assa-v lain
untuk sel-sel hematopoietik yang sangat primitif dan
"tenang" (quiescent), yang sangat mirip jika tidak dapat
dikatakan identik dengan sel-sel asal, juga memperlihatkan
penurunan. Pasien yang mengalami panstopenia mungkin
telah mengalami penunrnan populasi sel asal dan sel induk
sampai sekitar 77o atau kurang. Defisiensi berat tersebut
mempunyai konsekuensi kualitatif, yang dicerminkan oleh
pemendekan telomer granulosit pada pasien anemia
aplastik.

L.mpositT
sitotoksit

__ Resepto,4
"'-f'IFN-8

lnterleukin-2

\-/\--

rrrrr

dengan respons terapi imunosupresif dan dapat


memprediksi relaps.
Pada anemia aplastik, sel-sel CD34* dan sel-sel induk
(progenitor) hemopoietik sangat sedikitjumlahnya. Namun,

meskipun defisiensi myeloid (granulositik, eritroid, dan


megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini,
defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung limfosit
umumnya nornal pada hampir semua kasus, demikian pula
fungsi sel B dan sel T. Lagipula, pemulihan hemopoiesis
yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif
yang efektif. Jadi, sel-sel asal hemopoietik tampaknl'a masih
ada pada sebagian besar pasien anettiia aplastik.

Perubahan imunitas menyebabkan destruksi,


khususnya kematian sel CD34 yang diperantarai ligan Fas.

dan aktivasi alur intraselular yang menyebabkan


penghentian siklus sel (cell-cycle arrest). Sel-sel T dari
pasien membunuh sel-sel asal hemopoietik dengan
e r') yang HLA-DR- r e s t r i c t e d mel alui li gan
Fas. Sel-sel asal hemopoietik yang paling primitif tidak

peri I aku (mann

atau sedikit mengekspresikan HLA-DR atau FAS, dan


ekspresi keduanya meningkat sesuai pematangan sel-se1
asal. Jadi, sel-sel asal hemopoietik primitif, yang normalnya
berjumlah kurang dari 107o sel-sel CD34* total, relatif tidak
terganggu oleh sel-sel T autoreaktif; di lain pihak, sel-sel

,-.,

Set
Set

hematopotettk

*"t"0,o,
i

n"l""pro,
IFN.E
Ekspansi
k on

sel-se T

l
Gambar 1. Destruksi imun pada sel hematopoietik (Modifikasi dari Young, 1997)

rt19

AhIEMIAAPI.ASITIK

asal hemopoietik yang lebih matur dapat menjadi target


utama serangan sel-sel imun. Sel-sel asal hemopoietik

perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah

primitif yang selamat dari serangan autoimun

ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan

memungkinkan pemulihan hemopoietik perlahan-lahan


yang terjadi pada pasien anemia aplastik setelah terapi
imunosupresif.

Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan

pasien. Hematomegali, yang sebabnya bermacam-macam,

splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun.


diagnosis.

MAN!FESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS


Jenis Pemeriksaan Fisis

Anemia aplastik mungkin muncul mendadak (dalam


beberapa hari) atau perlahanJahan (berminggu-minggu atau

Pucat

100

berbulan-bulan). Hitung jenis darah menentukan

Perdarahan
Kulit
Gusi
Retina
Hidung
Saluran cerna
Vagina

63
34
26
20

Demam
Hepatomegali
Splenomegali

16

manifestasi klinis. Anemia menyebabkan fatig, dispnea dan

jantung berdebar-debar. Trombositopenia menyebabkan


mudah memar dan perdarahan mukosa. Neutropenia
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga
mungkin mengeluh sakit kepala dan demam.
Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah
lengkap dengan hitung jenis leukosit, hitung retikulosit,
dan aspirasi serla biopsi sumsum tulan g.PemeiksaanJlow
cytometry darah tepi dapat menyingkirkan hemoglobinuria nokturnal paroksismal, dan karyoQping sumsum

tulang dapat membantu menyingkirkan sindrom


myelodisplastik. Pasien berusia kurang dari 40 tahun perlu
diskrining untuk anemia Fanconi dengan memakai obat

klastogenik diepoksibutan atau mitomisin. Riwayat


keluarga sitopenia meningkatkan kecurigaan adanya

'.
.
.
.
.

7
6
J

7
0

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Darah Tepi

kelainan diwariskan walaupun tidak ada kelainan fisik yang

Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu


ditemukan. Jenis anemia adalah normokrom normositer.

tampak.

Kadang-kadang, ditemukan pula makrositosis,

Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan


pada pemeriksaan rutin. Keluhan yang dapat ditemukan
sangat bervariasi (Tabel 3). Pada Thbel 3 terlihat bahwa
perdarahan, badan lemah, dan pusing merupakan keluhan
yang paling sering ditemukan.

anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau

leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan


anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan
rendah. Limfositosis relatif terdapat pada leblh
kasus.

dai

15Vo

Jenis keluhan
Perdarahan
Badan lemah
Pusing

Jantung berdebar
Demam

Nafsu makan berkurang


Pucat
Sesak napas
Penglihatan kabur
Telinga berdengung

B3

30
69
36
33
29
26
23
19

't3

PEMERIKSAAN FISIS
Hasil pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun
sangat bervariasi. Pada Thbel 4 terlihat bahwa pucat
ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan

Gambar 2. Sumsum tulang normal (Kiri) dan aplastik (Kanan).


(Diambil dari www ashimagebank.org)

tt20
Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah.

retikulosit ditemukan
lebih dari 27o. Akattetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap
beratnya anemia (coruected reticulocyte count) maka
diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga.
Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan

HEMATOLOGI

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Pada sebagian kecil kasus, persentase

bukan anemia aplastik.

Laju Endap Darah


Laju endap darah selalu meningkat. Penulis menemukan
bahwa 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai laju endap darah
lebih dari 100 mm dalam jam pertarna.

Faal Hemostasis
Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk
disebabkan oleh trombositopenia. Faal hemostasis lainnya
normal.

Nuclear Magnetic Resonance lmaging


Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui

luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan


tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum

tulang berselular.

Radionuclide Bone Marrow lmaging (Bone


Marrow Scanning)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh
scanning tubuh setelah disuntik dengan koloid radioaktif
technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum
tulang alau iodium chloride yang akan terikat pada
transferin. Dengan bantuan scar sumsum tulang dapat
ditentukan daerah hemopoeisis aktif untuk memperoleh
sel-sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel

induk.

Sumsum Tulang
Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif

yang mungkin teraspirasi, maka sering diperlukan

DIAGNOSIS BANDING

aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi


sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia

Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsi

aplastik. Hasil pemeriksaan sumsum tulang sesuai


kriteria diagnosis.

menunjukkan aplasia; namun hiposelularitas sumsum


dapat terjadi pada penyakit hematologi lainnya. Uji
diagnostik yang baru telah mempengaruhi diagnosis

Virus

banding dan pemahaman kita tentang kegagalan sumsum


tulang (Gambar 3). Perbedaan antara anemia aplastik

Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan


virus Hepatitis, HIY parvovirus, dan sitomegalovirus.

didapat dan herediter telah dipertajam dengan assal


spesifik untuk kelainan kromosomal dan zat kimia tertentu

yang menandai anemia Fanconi. Meskipun biasanya

Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa


Tes

ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai

penyebab.

muncul pada anak-anak, anemia Fanconi dapat didiagnosis


pada saat dewasa, walaupun tanpa kelainan skeletal atau

urogenital.

Sumsum tulang hiposelular dibutuhkan untuk

Kromosom
Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan
kromosom. Pemeriksaan sitogenetik dengan fluore sc ence
in situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik dengan

flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan

diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposelular.

Defisiensi lmun
Adanya difisiensi imun diketahui melalui penentuan titer
immunoglobulin dan pemeriksaan imunitas sel T.

diagnosis anemia aplastik. Namun, aspirat kadang-kadang


secara mengejutkan tampak selular meskipun secara
keseluruhan sumsum tulang hiposelular, sebab sebagian

besar pasien masih mempunyai sarang-sarang


hemopoiesis yang masih berlangsung. Jadi, core biopsy

l-2 cm penting untuk pengkajian

selularitas.

Diseritropoiesis ringan bukan tidak lazim pada anemia


aplastik, khususnya pada pasien yang juga memiliki
populasi sel-sel hemoglobinuria nokturnal paroksismal
kecil sampai sedang. Namun, adanya sejumlah kecil selsel blas myeloid, atau gambaran displastik seri myeloid

atau megakaryosit membantu diagnosis sindrom


myelodisplatik hipoplastik.

Lain-lain
Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan
mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.
Kadar eritropoetin ditemukan meningkat pada anemia
aplastik.

Myelodisplasia Hiposelular
Membedakan anemia aplastik dari sindrom myelodisplastik
hipoplastik dapat menjadi tantangan, khususnya pada
pasien yang lebih tua, karena sindrom ini lebih banyak

ttzt

AI\EMIAAPL/q'SITIK

Agranulositosis

a hiposelular
hemoglobinuria
nokturnal paraksismal

Gambar 3. Tumapang tindih antara kelainan anemia aplastik dan diagnosis


bandingnya (Modif ikasi dari Young, 2002)

terjadi. Proporsi sel-sel CD34* di sumsum tulang mungkin


membantu pada beberapa kasus. CD34 diekspresikan pada
sel-sel asal/ induk hemopoietik dan bersifat fundamental

untuk patofisiologi kedua kelainan ini. Pada sindrom


myelodisplastik, ekspansi klonal muncul dari sel asal
CD34.; pada anemia aplastik didapat, sel-sel asal CD34.
merupakan target serangan autoimun. Den-san demikian,
proporsi sel-sel CD34- adalah 0,3c/c atau kurang pada
pasien anemia aplastik, sedangkan proporsinya normal
(0,5- I ,07o) atau lebih tinggi pada sindrom myelodisplatik
hipoplastik.

Pemeriksaan sitogenetik sel-sel sumsum tulang


sekarang sudah rutin dilakukan, tetapi interpretasi hasil
dapat kontroversial. Klomosom umumnya normal pada

anemia aplastik, tetapi aneuploidi atau abnormalitas


struktural relatif sering pada sindrom myelodisplastik. Jika

sumsum tulang normal atau hiperselular dan sel-sel


hematopoietik jelas-jelas dismorfik, maka myelodisplasia
mudah dibedakan dari anemia aplastik. Namun, mungkin
pada sekitar 20% kasus, sumsum tulang tampak hiposelular,
selain itu, perubahan morfologinya mungkin ringan atau
meragukan, dan uji kromosom memberikan hasil normal

atau tidak berhasil. Diagnosis banding lebih dipersulit


dengan evolusi anemia aplastik yang telah diobati menjadi
myelodisplasia.

Leukemia Limfositik Granular Besar


Penyakit ini juga dapat menjadi diagnosis untuk sumsum
tulang yang kosong atau displastik. Limfosit granular besar
dapat dikenali dari fenotipenya yang berbeda pada
pemeriksaan mikroskopik darah, yaitu pola pulasan selsel khusus pada flow cytometry, dan ketidakteraturan
reseptor sel T yang membuktikan adanya ekspansi
monoklonal populasi sel T.

Anemia Aplastik dan Hemoglobinuria


Nokturnal Paroksismal (PNH)
Terdapat hubungan klinis yang sangat kuat antara anemia
aplastik dan PNH. Pada PNH, sel asal hematopoietik abnormal menurunkan populasi sel darah merah, granulosit,

dan trombosit yang semuanya tidak mempunyai


sekelompok protein permukaan sel. Dasar genetik PNH
adalah mutasi didapat pada gen PIG-A di kromosom X

yang menghentikan sintesis struktur jangkar


glikosilfostatidilinositol. Defisiensi protein ini
menyebabkan hemolisis intravaskular, yang
mengakibatkan ketidakmampuan eritrosit untuk menginaktivasi komplemen permukaan. Tidak adanya protein
tersebut mudah dideteksi dengan flow cytometta eritrosit

dan leukosit, tes Ham dan sukrosa sekarang sudah


ketinggalan j aman (obsolete).
Telah lama diketahui bahwa beberapa pasien PNH akan
mengalami kegagalan sumsum tulang, dan sebaliknya, PNH
dapat ditemukan sebagai "peristiwa klonal lanjut"
bertahun-tahun setelah diagnosis anemia aplastik.
Pemeriksaan flow cytomelry memperlihatkan bahwa
sejumlah besar pasien dengan kegagalan sumsum tulang
mengalami ekspansi klon PNH hematopoietik pada saat
datang.

PENATALAKSANAAN
Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi

atau transplantasi sumsum tulang (TST). Faktor-faktor


seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok
(matched sibling donor), dan faktor-faktor risiko seperti
infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan
untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat

1122

HEMATOLOGI

(AIG) atau antilympho-

terapi imunusupresi atau TST. Pasien yang lebih muda

adalah antithymocyte globulin

umumnya mentoleransi TST lebih baik dan sedikit


mengalami GVHD. Pasien yang lebih tua dan yang

cyte Blobulin (ALG) dan siklosporinA(CsA). Mekanisme


kerjaAIG atauALG pada kegagalan sumsum tulang tidak

mempunyai komorbidi tas biasanya ditawarkan serangkaian

diketahui dan mungkin melalui:

terapi imunusupresif. Pasien berusia lebih dari 20 tahun


dengan hitung neutrofil 200-500/ mm3 tampaknya lebih
mendapat manfaat dari imunosupresi dibandingkan TST.
Secara umum, pasien dengan hitung neutrofil yang sangat
rendah cenderung lebih baik dengan TST, karena
dibutuhkan waktu yang lebih pendek untuk resolusi
neutropenia (harus diingat bahwa neutropenia pada pasien

yang mendapat terapi imunosupresif mungkin baru


membaik setelah 6 bulan). Untuk pasien usia menegah yang
memiliki donor saudara yang cocok, rekomendasi terapi
harus dibuat setelah memperhatikan kondisi kesehatan
pasien secara menyeluruh, derajat keparahan penyakit, dan
keinginan penyakit. Suatu algoritme terapi dapat dipakai
untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik (Gambar
4).

..

Koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated

pada sel asal,


Stimulasi langasung atau tidak langsung terhadap hemopolesls.

Regimen imunosupresi yang paling sering dipakai


adalah ATG dari kuda (AIGam dosis 20 mgikg per hari
selama 4 hai) atau ATG kelinci (thymoglobulin dosis 3,5
mg/kg perhari selama 5 hari) plus CsA (12-15 mg/kg, bid)
umumnya selama 6 bulan. Berdasarkan hasil penelitian pada
pasien yang tidak berespons terhadap ATG kuda, AIG
kelinci tampaknya sama efektif dengan AIG kuda. Angka
respons terhadap AIG kuda bervariasi dari 70-807c dengan
kelangsungan hidup 5 tahun 80-907o. ATG lebih unggul

dibandingkan CsA, dan kombinasi ATG dan CsA


memberikan hasil lebih baik dibandingkan

AIG

atau CsA

saJ a.

Pen

TERAPI KONSEBVATIF

ambahan

ranulo

cy

co

lon

v-

-s t

imul at i n g fa

cto

Terapi imunosupresif merupakan modalitas terapi

(G-CSF) dapat memulihkan neutropenia tetapr tidak


menambah keiangsungan hidup. Namun respons awal
terhadap G-CSF setelah terapi AIG merupakan faktor
prognostik yang baik untuk respons secara keseluruhan.

terpenting untuk sebagian besar pasien anemia aplastik.


Obat-obatan yang termasuk dalam terapi imunosupresif

Secara umum, pasien yang berespons terhadap kombinasi


ATG/ CsA mempunyai kelangsungan hidup yang sangat

Terapi lmunosupresif

Anemia Aplastik Berat


Usia < 35 tahun
dengan HLA

Usia > 35 tahun aiau

tidak ada HLA


matched sibling

matched sibling

Transplantasi
sumsum tulang

Ada respons

Tidak ada respons

Ulangi pemberian ATG / ALG

Turunkan CSA dalam 6 bulan

Tidak ada respons

Ada respons

Faktor pertumbuhan
hematopoietik atau
androgen atau

matched unrelated
transplant

Gambar 4. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia berat (Diambil dari Bagby, 2004)

tt23

ANEMIAAPI.A,SITIK

baik, sedangkan mereka yang refrakter mempunyai


kelangsungan hidup yang kurang. Perhitungan pada 3
bulan setelah terapi AIG mempunyai korelasi yang baik
dengan prognosis jangka panjang. Regimen imunosupresif

minggu pertama). Walaupun tidak terjadi remisi total


transfusi komponen darah tidak dibutuhkan lagi. Kira-kira
30-50Vo dari mereka yang berhasil akan kambuh lagi dalam

2 tahun berikutnya. Pada golongan pasien ini yang

yang lebih baru memakai mycophenolate mofetil, dan dalam

kebanyakan berespons lagi bila diberiATG. Kira-kira257o

konteks toksisitas CsA, Zenapax (anti-IL-2 receptor

pasien yang semula tidak memberikan respons, terjadi


respons pada pemberi an NIG 2-4bulan setelah pemberian

[CD25] monoclonal antibody) mungkin bermanfaat tetapi


keampuhan obat-obat ini belum terbukti. Campath- I H saat

ini juga sedang diuji untuk keadaan-keadaan refrakter


untuk mengkaji potensi pemanfaatnnya sebagai obat
imunosupresif.

Kegagalan terapi imunosupresif mungkin


mencerminkan unde

rt re

atment ala.u kelelahan cadangan

sel-sel asal sebelum pemulihan hematopoietik. Di samping


itu, tidak adanya respons terapi mungkin juga disebabkan

salah diagnosis atau adanya patogenesis non-imun,


seperti anemia aplastik herediter. Relaps dapat disebabkan

penghentian dini imunosupresi, dan hitung darah pasien


sering masih tergantung CsA. Terapi induksi dengan regimen AIG masa kini atau bahkan siklofosfamid dapat pula
tidak cukup untuk mengeliminasi sel-sel T autoimun.
Pasien-pasien refrakter dapat diobati lagi dengan AIG
multipel, yang dapat menghasilkan kesembuhan (salvage)
pada sejumlah pasien. Suatu penelitian pada pasien yang
refrakter dengan AIG kuda, AIG kelinci menghasilkan

pertama.

Siklosporin bekerja dengan menghambat aktivasi dan


proliferasi prekursor limfosit sitotoksik. Dosisnya adalah
3-10 mglkgBB/hari per oral dan diberikan selama 4-6 bulan.
Siklosporin dapat pula diberikan secara intravena. Angka
keberhasilan setara dengan AIG. Pada 50% pasien yang
gagal dengan AIG dapat berhasil dengan siklosporin.
Kombinasi AIG, siklosporin dan metilprednisolon
memberikan angka remisi sebasar 707o pada anemia
aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon
angka remisi sebesar 46Vo. Dosis siklosporin yang
diberikan 6 mg/kgBB peroral selama 3 bulan. Dosis
metilprednisolon 5 mglkg BB per oral setiap hari selama
seminggu kemudian berangsur-angsur dikurangi selama
3 minggu.

Relaps

angka respons 50Vo dan kelangsungan hidup jangka

Secara konseptual, analog dengan terapi penyakit

panjang yang sangat baik.


Siklofosfamid dosis tinggi telah dianjurkan sebagai
terapi lini pertama yang efektif untuk anemia aplastik.
Angka respons yang tinggi dikaitkan dengan pencegahan
kekambuhan dan juga penyakit klonal. Namun, sitopenia
yang berkepanjangan menghasilkan toksisitas yang
berlebihan akibat komplikasi neutropenik menyebabkan
penghentian uji klinik. Follow-up jangka panjang pada
pasien yang mendapat siklofosfamid memperlihatkan
bahwa relaps dan penyakit klonal dapat terjadi setelah
terapi ini. Oleh karena itu, penggunaan siklofosfamid
hanya untuk kasus-kasus tertentu atau sebagai bagian
dari uji terkontrol dengan spektrum indikasi yang sempit.
AIG atauALG diindikasikanpada: 1). Anemia aplastik
bukan berat, 2). Pasien tidak mempunyai donor sumsum

keganasan, terapi imunusupresif intensif dengan ATG


dapat dipandang sebagai terapi induksi, yang mungkin

tulang yang cocok, 3). Anemia aplastik berat, yang berumur

lebih dari 20 tahun, dan pada saat pengobatan tidak


terdapat infeksi atau perdarahan atau dengan granulosit
lebih dari 200/ mm3.
Karena merupakan produk biologis, pada terapi AIG
dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat, sehingga

selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.


Kortikosteroid ditambahkan untuk melawan penyakit serum intrinsik terhadap terapi AIG, yaitu prednison 1 mg/
kgbb selama 2 minggu pertama pemberian AIG. Di samping
itu, neutropenia dan trombositopenia yang ada akan
semakin berat. Kira-kira 40- 60Vo pasienberespons terhadap
AIG dalam 2-3 bulan (hampir tidak pernah daTam 2-3

membutuhkanperiode pemeliharaan lama dengan CsA atau

bahkan re-induksi. Angka relaps stelah terapi


imunusupresif adalah 35Vo dalam 7 tahun. Secara umum,
relaps mempunyai prognosis yang baik dan kelangsungan
hidup pasien tidak memendek. Pasien dengan hitung darah
yang turun dapat menerima CsA, dan jika tidak berhasil,

harus diberikan ATG ulang. Angka respons dapat


dibandingkan dengan yang tampak pada AIG inisial. Pada
beberapa contoh, AIG kelinci dapat dipakai ketimbang
AIG kuda. Siklofosfamid dosis tinggi telah disarankan
untuk imunusupresi yang mencegah relaps. Namun, hal
ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan
siklofosfamid memberikan lama respons lebih dari 1 tahun.
Sebaliknya, 75% respons terhadap AIG adalah dalam 3
bulan pertama, dan relaps dapat terjadi dalam I tahun
setelah terapi ATG.

Penyebab

Etiologi yang Mungkin

Kelelahan cadangan sel


asal

Anemia aplastik diperantarai

lmunosupresi tidak cukup

Serangan imun persisten

tmun

Salah diagnosis
Kegagalan sumsum

tulang herediter

Patogenesis non-imun

tt24

HEMIIIIOI.OGI

TERAPI PENYELAMATAN (SAIYA GE THER APIEfl

Regimen conditioning yarrg paling sering adalah

Siklus lmunosupresi BerulanE


Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama

dapat berespons terhadap siklus imunosupresi AIG


ulangan. Pada sebuah peneiitian, angka penyelamatan
yang bermakna pada pasien yang refrakter AIG kuda
tercapai dengan siklus keduaAIG kelinci. Namun, siklus
ketiga tampaknya tidak dapat menginduksi respons
pada pasien yang tidak berespons terhadap terapi
ulangan. Upaya melakukan terapi penyelamatan dapat

menunda transplantasi sumsum tulang. Namun


dampaknya masih kontroversial. Pasien dengan donor
saudara yang cocok dan tidak berespons terhadap terapi

AIG/ CsA harus menjalani TST. Selain

terapi ATG

berulang, obat-obat baru seperti Campath-1H atau


antibodi monoklonal anti-CD3 dapat digunakan dalam
konteks uji klinik.

Faktor-faktor Pertumbuhan Hematopoietik


dan Steroid Anabolik
- c o lony stimulating
factor (G-CSF,
ig/kg/tiari) atau GM-CSF (Sargramostim
dosis 250 ig/kg/hari) bermanfaat untuk meningkatkan
neutrofil walaupun tidak bertahan lama. Faktor-faktor
pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai
satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik. Beberapa

Pen ggunaan g ranwlocyte

Filgrastim dosis

TRANSPLANTASI SUMSUM TULANG

pasien akan memperlihatkan pemulihan neutropenia dengan

G-CSF, tetapi neutropenia berat karena anemia aplastik


biasanya refrakter. Jika dikombinasi den gan regirnen AIG/
CsA, G-CSF dapat memperbaiki neutropenia dan respons
terapi ini merupakan faktor prognostik dini yang positif
untuk respons di masa depan. Peningkatan dosis G-CSF
tampaknya tidak bermanfaat. Kombinasi G-CSF dengan obat
lain telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasuskasus refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan

dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien.


Namun, beberapa laporan mengaitkan terapi G-CSF yang

lama sebagai penyebab evolusi klonal, khususnya


monosomi-7.

Steroid Anabolik
Steroid anabolik digunakan secara luas untuk terapi
anemia apalstik sebelum penemuan terapi imunosuresif.
Androgen merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel
induk sumsum tulang. Saat ini, androgen hanya digunakan
sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter
terapi imunosupresif. Androgen yang tersedia saat ini
antara lain oxymethylone dan danazol. Obat-obat ini
terbukti bermanfaat bagi sebagian pasien anemia aplastik

siklofosfamid dan AIG dan telah terbukti lebih unggul


dibandingkan regimen terdahulu yaitu siklofosfamid plus

total thoracoabdominal irradiation. Perbaikan pada


perawatan pasien dan terapi graft-versus-host disease
telah membuatTST menjadi proseduryang jauh lebih aman
dan menjadikan TST suatu pilihan bagi lebih banyak pasien

anemia aplastik. TST menyediakan alternatif terapi yang


benar-benar kuratif berlawanan dengan komplikasi jangka
panjang terapi IS konservatif, termasuk perkembangan
MDS dan angka relaps yang tinggi.
TST allogenik tersedia untuk sebagian kecil pasien
(hanya sekitar 307o yang mempunyai saudara dengan
kecocokan HLA). Dengan perbaikan umum, TST dapat
memberikan kelangsungan hidup jangka panjang sebesar
947o (dengandonor saudara yang cocok). Hasil yang lebih

baik telah dilaporkan pada pasien anak, tetapi tidak


demikian halnya pada pasien yang lebih tua. Dengan
demikian, TST harus ditawarkan sebagai pilihan kepada
pasien anak dan dewasa muda yang memiliki donor cocok.

Batas usia untuk TST sebagai terapi primer belum


dipastikan, namun pasien yang berusia lebih tua dari 3035 tahun, lebih baik dipilih terapi imunosupresif intensif
sebagai upaya pertama.
Transplantasi sumsum tulang alogenik dengan saudara

kandung HLA-A,B,-DR-matched, mencapai angka


keberhasilan remisi komplit permanen lebih dari 80Vo pada
kelompok pasien terpilih yang berumur k-urang dari 40 tahun
dan bisa hidup lama. Makin meningkat umur, makin meningkat
pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang

donor yang disebut grafi-versus-host disease (GVHD).


Transplantasi sumsum tulang antara umur 40-50 tahun
mengandung risiko meningkatnya GVHD dan morlalitas.
Transplantasi sumsum tulang dapat dikerjakan
Pada umumnya, bila pasien berumur kurang dari 50
tahun yang gagal dengan ATG dan mempunyai saudara
kandung sebagai donor yang cocok maka pemberian
transplantasi sumsum tulang perlu dipertimbangkan. Akan
tetapi dengan pemberian imunosupresif sering diperlukan
transfusi selama beberapa bulan. Bila transfusi komponen
darah sangat diperlukan, sedapat mungkin diambil dari
mereka yang bukan potensial sebagai donor sumsum
tulang untuk membatasi reaksi penolakan cangkokan (gray'

rejection) yang kelak dapat mengurangi keberhasilan


transplantasi sumsum tulang, karena antibodi yang
terbentuk akibat transfusi. Pada pasien yang belum
ditransfusi, 10 tahun setelah transplantasi sumsum tulang,
yang hidup mencapai 817o, sedangkan bagi yang telah
mendapat transfusi sebelumnya yang hidup hanya 46Vo.

ringan. Pada anemia aplastik berat biasanya tidak


bermanfaat. Komplikasi utama adalah virilisasi dan

Kriteria Respons

hepatotoksitas.

Kelompok European Bone Marrow Transplantation

LTz5

ANEMIAAPI.A,STIK

(EBMT) mendefinisikan respons terapi sebagai berikut:


. Remisi komplit: bebas transfusi, granulosit sekurangkurangnya 2000/mm3, dan trombosit sekurang-

kurangnya 1 00.000/mm3.

Remisi sebagian: tidak tergantung pada transfusi,


granulosit di bawah 2000/mm3, dan trombosit di bawah

Kejadian ini mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit


walaupun komplikasi tersebut lebih jarang ditemukan pada
transplantasi sumsum tulang.

ANEMIA APLASTIK HEREDITER

100.000/rnm3.

Refrakter: tidakadaperbafkan.

TERAPISUPORTIF
Bila terdapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi

eritrosit berupa packed red cells sampai kadar


hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien
dengan penyakit kardiovaskular.
Risiko perdarahan meningkat bila trombosit kurang dari
20.000/ mm3. Transfirsi trombosit diberikan bila terdapat
perdarahan atau kadar trombosit di bawah 20.000/mm3
(prohlaksis). Pada mulanya diberikan trombosit donor acak.
Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan
pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi
sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya

(orang tua atau saudara kandung) atau pemberian


gammaglobulln dosis terapi. Timbulnya sensitisasi dapat
diperlambat dengan menggunakan donor tunggal.
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih
kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping
yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit
yang ditransfusikan sangat pendek. Pada infeksi berat,
khasiatnya hanya sedikit sehingga pemberian antibiotik
masih diutamakan.

Sindrom kegagalan sumsum tulang herediter antara lain


meliputi anemia Fanconi, diskeratosis kongenita, sindrom
Shwachman-Diamond, dan trombositopenia megakaryositik. Sebagian besar anemia aplastik (AA) bersifat
didapat, namun ada juga bentuk-bentuk AA yang

diwariskan. Kelainan-kelainan ini sangat jarang, mirip


dengan AA didapat tetapi jarang berespons terhadap terapi
imunosupresif. Kegagalan sumsum tulang herediter
biasanya muncul pada usia dekade pertama dan kerap
disertai anomali fisik (tubuh pendek, kelainan lengan,
hipogonadisme, bintik-bintlk cafi - au- lait pada anemia
Fanconi). Beberapa pasien mungkin mempunyai riwayat
keluarga dengan sitopenia.
Dalam kelompok ini, anemia Fanconi adalah penyakit
yang paling sering ditemukan. Anemia Fanconi merupakan
kelainan autosomal resesifyang ditandai oleh defek pada
DNA repair dan memiliki predisposisi ke arah leukemia
dan tumor padat. Diskeratosis kongenital, adalah sindrom
kegagalan sumsum tulang diwariskan yang secara klasik
muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi
kuku, dan leukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki
heterogenitas dan manifestasi klinik yang beragam.
Terdapat bentuk-bentuk X- linke d re c e s s iv e, autosomal

dominan, dan autosomal resesif. Bentuk X-linked


recessive diakibatkan oleh mutasi pada gen

DKCl, yang

menghasilkan protein dyskerin, yang penting untuk


stabilisasi telomerase. Gangguan telomerase
PROGNOSIS DAN PEBJALANAN PENYAKIT
Riwayat alamiah anemia aplastik dapat berupa: 1). Berakhir
dengan remisi sempuma. Hal ini jarang terjadi kecuali bila
iatrogenik akrbat kemoterapi atau radiasi. Remisi sempurna
biasanya terjadi segera. 2). Meninggal dalam 1 tahun. Hal
ini terjadi pada sebagian besar kasus. 3). Bertahan hidup
selama 20 tahun atau lebih. Membaik dan bertahan hidup
lama namun kebanyakan kasus mengalami remisi tidak
sempurna.

menyebabkan pemendekan telomer lebih cepat, kegagalan

sumsum tulang, dan penuaan dini Qtremature aging).


Diskeratosis congenita autosomal dominan disebabkan
mutasi pada gen TERC (yary menyandi komponen RNA
telomerase) yang pada akhirnya mengganggu aktivitas
telomerase dan pemendekan telomer abnormal. Sejumlah
kecil pasien (kurang dari 5Vo) yangs disangka menderita

AA didapat memiliki mutasi ZERC.

Trombositopenia amegakaryositik diwariskan


merupakan kelainan yang ditandai oleh trombositopenia

Jadi, pada anemia aplastik telah dibuat cara

berat dan tidak adanya megakaryosit pada saat lahir.

pengelompokan lain untuk membedakan antara anemia


aplastik berat dengan prognosis buruk dengan anemia
aplastik lebih ringan dengan prognosis yang lebih baik.
Dengan kemajuan pengobatan prognosis menjadi lebih

Sebagian besar pasien mengalami rzissense alau nonsense

baik.

Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan


keganasan sekunder. Pada penelitian di luar negeri dari
103 pasien yang diobati dengan ALG, 20 pasien diikuti

mutations pada gen C-MPL. Banyak dari antara mereka


mengalami kegagalan sumsum tulangmultilineage di usia
dua puluhan. Sindrom Shwachman-Diamond adalah
kelainan autosomal resesif yang ditandai dengan disfungsi
eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan kegagalan
sumsum tulang. Seperti pada anemia Fanconi. pasien

sindrom

ini mengalam peningkatan risiko terjadinya

jangka panjang berubah menjadi leukemia akut,

myelodisplasia atau leukemia pada usia yang sangat muda.

mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma.

Belum ada lesi genetik yang dianggap menjadi

Lt26

HEMANOI.OGI

penyebabnya, tetapi mutasi sebuah gen di kromosom 7


telah dikaitkan dengan penyakit ini.

REFERENSI
Adamson JW and Erslev AY. Aplastic anemia. In: Williarns WJ,
Beutler E, EWslev AY, Lichtman MA, editors. Hematology. 4'h
edition. New York: Mc Graw-Hill; 1990. p. 158-74
Alter BP Bone marrow failure: a child is not just a sma1l adult (but
an adult can have a childhood disease). Hematology. 2005:96103

Bagby GC. Lipton JM, Sloand EM, Schiffer. Marrow failure. Hematology. 2004:318-36
Brodsky RA, Jones RJ Aplastic anemia. Lancet. 2005;365:164156
Fibbe WE Telomerase mutations in aplastic anemia N Engl J Med.
2O05:352:1 481 -3.
Gluckman E, Esperou-Bourdeau H, Baruchel A, Boogaerts M, Briere
J, Donadio D, et al. Muticentre randomized study comparing

cyclosporine-A alone and antithymocyte globulin with


prednisone for treatment of severe apiastic anemi. Blood.
1992:''7 9:2540-6.
Gordon-Smith EC. Aplastlc anemia and allied disorders. Cun Opin
Hematol. 1993:45-51 .

L. Succesful marrow recovery after eHUGMCSF treatment in a patient with idiophatic aplastic anemia.
KONAS VII Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah
Indonesia & International scientific meeting of Haematologist
from Southeast Asian Coutries, Medan, Desember 1993.
Maciejewski JP, Risitano AM. Aplastic anemia: management of adult
patients. Hematology. 2005: 1 10-17.

Hariman H. Soeroso

Rosenfeld S, Follmann D, Nunez O, Young NS. Antithymocyte globulin and cyclosporine for severe aplastic anemi.a. Association
between hematologic response and long-term outcome. JAMA.

2003;289(9): 1 130-5.
Salonder H. Gambaran klinik anemia aplastik dan kriteria ramalan
pasien berumur pendek Skripsr. Bagian Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. 1983.
Thornpson LH. Unraveling the Fanconi anemia-DNA repair connection. Nat Genet. 2005;31 :921-2.
Yamaguchi H, Calado RT, Ly H, Kajigaya S, Baerlocher GM, Chanock
SJ, et al. Mutation in TERT, the gene for telomerase reverse
transcriptase, in aplastic anemia N Engl J Med.
200s;3s2(14):1413 -24
Young NS. The pathophysiology of acquired aplastic anemia. N
Engl J Med. 1991;336(19):1365-12
Young NS. Acquired aplastic anemia. Ann Intem Med. 2002;136:53'16.

t79
ANEMIA DEFISIENSI BESI
I Made Bakta, Ketut Suega, Tjokorda Gde Dharmayuda

PENDAHULUAN

sebagian besar besi berasal dari sumber nabati. tetapi


perangkat absorbsi besi tidak mengalami evolusi yang
sama, sehingga banyak menimbulkan defisiensi besi.

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul


akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis.
karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang
pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin
berkurang. ADB ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer
dan hasil laboratorium yang menunjukkan cadangan besi
kosong. Berbeda dengan ADB, pada anemia akibat

KOMPARTEMEN BESI DALAM TUBUH

Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh


berupa: (1) senyawa besi fungsional, yaitu besi yang

penyakit kronik penyediaan besi untuk eritropoesis


berkurang oleh karena pelepasan besi dari sistem

membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh; (2)


besi cadangan, senyawa besi yang dipersiapkan bila
masukan besi berkurang; (3) besi transport, besi yang
berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya untuk
mengangkut besi dari satu kompartemen ke kompartemen
lainnya.
Besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk
logam bebas (free iron), tetapi selalu berikatan dengan
protein tertentu. Besi bebas akan merusak jaringan.
mempunyai sifat seperti radikal bebas. Dalam keadaan
normal seorang laki dewasa mempunyai kandungan besi
50 mg/kgBB, sedangkan perempuan dewasa adalah 35 mg/
kgBB. Tabel 1 menggambarkan komposisi besi pada
seorang laki-laki dengan berat badan 75 kg. Jumlah besi
pada perempuan pada umumnya lebih kecil oleh karena
massa tubuh yang juga lebih kecil.

retikuloendotelial berkurang, sedangkan cadangan besi


masih normal. Pada anemia sideroblastik penyediaan besi

untuk eritropoesis berkurang karena gangguan


mitokondria yang menyebabkan inkorporasi besi ke dalam
heme terganggu. Oleh karena itu ketiga jenis anemia ini

digolongkan sebagai anemia dengan gangguan


metabolisme besi.
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling
sering dijumpai, terutama di negara-negara tropik atau
negara dunia ketiga, oleh karena sangat berkaitan erat
dangan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih
dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak
kesehatan yang sangat merugikan serta dampak sosial

yang cukup serius.

METABOLISME BESI

Besi merupakan trace element vital yang sangat

dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan hemoglobin,


mioglobin dan berbagai enzim. Besi di alam terdapat dalam
jumlah yang cukup berlimpah. Dilihat dari segi evolusi alat
penyerapan besi dalam usus, maka sejak awal manusia

Senyawa besi fungsional

Hemoglobin

Mioglobin

Enzim-enzim

B
C

dipersiapkan untuk menerima besi yang berasal dari sumber


hewani, tetapi kemudian pola makanan berubah di mana

Senyawa besi transportasi


Senyawa besi cadangan

Hemosiderin

Total

rtz

Transferin
Feritin

2300 mg
320 mg
B0 mg

3 mg
700 mg
300 mg
3803 mg

1128

HEMATOLOGI

ABSOBBSI BESI
Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari
makanan. Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam
tubuh diperlukan proses absorbsi. Absorbsi besi paling
banyal< terjadi pada bagian proksimal duodenum
disebabkan oleh pH dari asam lambung dan kepadatan
protein tertentu yang diperlukan dalam absorbsi besi pada
epitel usus. Proses absorbsi besi diba-qi meniadi 3 fase:

Faseluminal: besi dalam makanan diolah dalam lambung


kemudian siap diserap di duodenum.
Fase Mukosal: proses penyerapan dalam mukosa usus
yang merupakan suatu proses aktif.
Fase Korporeal: meliputi proses transportasi besi dalam
sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sei yang memerlukan, dan
penyir-npanan besr (storage) oleh tubuh.

metabolisme tembaga), kemudian besi (feri) diikat oleh


apotransferin dalam kapiler usus.
Besi heme diabsorbsi melalui proses yang berbeda
yang mekanismenya belurn diketahLri dengan jetras. Besi
herne dioksidasi menjadi hemin, yang kemudian diabsorbsi
secara intak (utuh) diperkirakan melalui suatu reseptor.

Absorbsi besi heme jauh lebih efisien dibnndingkan


dengan besi non-herne. Besar kecilnya besi yang ditahan
dalam enterclsit atau diloloskan ke basolateral diatur oleh
"set point" yang sudah diset saat enterosit berada pada
dasar kripta Lieberkuhn, kemudian pada waktu pematangan
bermigrasi ke arah puncak vili sehingga siap sebagai sel

absorptif.

Dikenal adanya mLrcosal blctck. suatl fenon.rena di


mana setelah beberapa hari dari suatu bolr-rs besi dalam

diet, maka enterosit resisten terhadap absorbsi besi


berikutnya. Hambatan ini mungkin timbul karena
akumulasi besi dalam enterosit sehingga menyebabkan

set-;toint diatur seolah-olah kebutuhan besi sudah

Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk yaittr:

berlebi han.

Besi heme: terdapat dalam daging dan ikan, tin-ckat


absorbsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan pen-uhar.trbat
sehingga mempunyai bioavar labilitas tin ggi.

Permukaan

Besi hon-heme: berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan,

Apikal
Fe'-

tingkat absorbsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan


pemacu atau penghambat sehingga bioavailabilitasnya
rendah.

Yang tergolong sebagai bahan pemacu absorbsi besi


adalah "ntett .factors:' dan vitamin C, sedangkan yang
tergolong sebagai bahan penghambat ialah tanat, Ph)'tat
dan serat (fibre). Dalam larnbung katena pen-garLrh asaln

lambung maka besi dilepaskarr dari ikutrtnnla den-uau


senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentnk

feri ke f'ero yang siap untuk diserup.

fo
I

Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa
duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi
secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan

o"e

terkendali (c ar eJully r e g u at e d). B es i di pertah ankan dal am


keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Sel absorptif
terletak pada puncak dari vili us us (ap ic al c e ll'). P ad,a b rtts h
borcler dari sel absortif, besi feri dikonversi nrenjadi besi

fero oleh enzim ferireduktase, mtrngkin dimediasi oleh


protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor

melalui membran difasilitasi oleh divaLent metal


transporter (DMT 1, disebut juga sebagar Nramp
2). Setelahbesi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan

dalam bentuk feritin, sebagian Ciloloskan melalui


b as ol at e ral tr ans p o rt e r (f'erroprcti n di s eb Lrt ju ga sebagai
IREG l) ke dalamkapilerusus. Padaproses ini terjadi rcduksi
dari f'eri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh
hephaestin, yang identik dengan seruloplasmin pada

DtilT 1 = dirralent rnetaltransporter i


DIIYTB = duodenal rytt-rchr'orle f-r liko pi'urt:i
Gambar

1.

Proses absorpsi besi pada permukaan duodenum

1129

ANEMIADEFISIENSI BESI

misalnya padar anemia hemolitik autoimun. Oleh karena itu


hemokromatosis sekunder jauh lebih sering pada keadaan
pertama dibandingkan dengan keadaan kedua. Akhir-akhir
ini ditemukan suatu peptida hormonal kecil yaitu hepcidin

FASE KOBPOBEAL
Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), melewati
bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus, kemudian

dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin.


Transferin akan melepaskan besi pada sel RES melalui
proses pinositosis. Satu molekul transferin dapat mengikat

maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada


transferin (Fe.-Tf) akan diikat oleh reseptor transferin
(tronsf'errirt re ceptors = TJ'r\ yang terdapat pada
permukaan sel, terutama sel normoblas. Kompleks Fe,-TfTfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi
oleh klatrin (clathrin-coated pit), cekungan ini mengalami
invaginasi sehingga membentuk endosom. Suatu pompa
proton menurunkan pH dalam endosom. menyebabkan

perubahan konformasionai dalam protein sehingga


melepaskan ikatan besi den-ean transferin. Besi dalant
endosom akan dikelutrrkan ke sitoplasma dengan bantuatt

DN{Tl. sedangkan ikatan apotransferin dan reseptot'


transt'erin mengalami siklus kembali ke perrnukaan sel dan
dapat dipergunakan kembali.

MEKANISME REGULASI ABSORBSI BESI


Terdapat 3 mekanisme regulasi absorbsi besi dalam usus

Regulator dietetik. Absolbsi besi dipengaruhi oleh jenis


cliet dimana besi terdapat. Diet dengan

biovaiiabilitas tin-egi

yaitu besi heme. besi dari sttmber hewani. serta adanl,a faktor
e nhan c e rakan meni n gkatkan absorb s i besi. Sedan,gkan besi
dengan bioavaibilitas rendah adalah besi non-heme, besi
yang berasal dar-i sumber nabati dan banyak mengandung
inhibitor akan diserlai prosentase absopsi besi yag rendah.
P ada di

tatl

r e g ulato

r ini

1uga di ken al ada ny a muc o s' al

yang diperkirakan mempunyai peran sebagai soLuble


regulator absorhsi besi dalam usus.

SIKLUS BESI DALAM TUBUH


Pertukararn besi dalarn tubuh merupakan lingkaran yang
tertutup yang diatur oleh besarnya besi yang diserap usus,

sedangkan kehilangan besi fisiologik bersifat tetap. Besi


yang diserap usus setiap hari berkisar antara 1-2 mg,
ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama melalui
eksfoliasi epitet. Besi dari usus dalam bentuk transferin
akan bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari
makrofag dalam sumsum tulang sebesar 22 mg untuk dapat
memenuhi kebutuhan eritropoesis sebanyak 24 mg per hzri.
Eritrosit yang terbentuk secara efektif yang akan beredar
melalui sirkulasi memerl ukan besi 1 7 mg, sedangkan besi
sebesar 7 mg akan dikembalikan ke makrofag karena
terj adi nya eritropoesis inet'ektif (hemolisis i ntramedular).
Besi l,nng terdapat padir eritrosit yang beredaq .setelah
mer.rgalami proses penuaan juga akan dil<ernbalikan pada
makrofag sLr'nsum tulang sebesar l7 mg. Sehingga dengan
demrkian dapat dilihat suatu lingkarall tertutup (closed
t'irtuit) )'an-s sangat efisien, seperti yang dilukiskan pada

Gambar2.

kt c k.

seperti yang telah diuraikan di depan.

Regulator simpanan. Penl,erapan besi diatur melalui


besarnya cadangan besi daiam tubuh. Penyerapan besi
rendah jika cadangan besi tinggi, sebaliknya apabila
cadangan besi rendah maka absorbsi besi akan ditingkatkan.
Bagaimana mekanisme regtLlasi ini bekerla belum diketahui

dengan pasti. Diperkirakan melalui cr.r'pt'cell


prograrnnti.ng sehubungan dengan respon saturasi
transferin plasma dengan besi.

Regulator eritropietik. Besar absorbsi besi berhubungan

kecepatan eritropoesis. Ertthropoietic regulator


mempunyai kemampuan regulasi absorbsi besi lebih tinggi

dibandingkan dengan stores reguLalor. Mekanisme


erythropoietic regwlator ini belum diketahui dengan pasti.
Eritropoesis inefektif (peningkatan eritropoesis tetapi
disertai penghancuran prekursol eritrosit dirlam sumsum
tulang), seperti misalnya pada thalassetnia atau
hemoglobinopati lainnya, disertai peningkatan absorbsi

Skema siklus pedukaran besi dalam tubuh

KLASIFIKASI DERAJAT DEFISIENSI BESI

besi lebih besar dibandingkan dengan peningkatan

Jika dilihat dari beratnya kekurangan bes-i dalam tubuh

eritropoesis akibat destrLLksi eritrosit di darah tepi. seperti

maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan:

1130

HEIIilATOI.OGI

Deplesi besi (iron depleted state): cadangan besi menurun


tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu

ETIOLOGI

Eritropoesis defi siensi besi (iron deficie nt erythropoie

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena


rendahnya masukan besi, gangguan absorbsi, serta

sis)'.

cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis


terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.

Anemia defisiensi hesi: cadangan besi kosong disertai

kehilangan besi akibat perdarahan menahun:


' Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun
dapat berasal dari:

anemia defisiensi besi.

divertikulosis, hemoroid dan infeksi cacing

PREVALENSI

tambang.

Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang


paling sering dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat.
ADB merupakan anemia yang sangat sering dijumpai di
negara berkembang. Dari berbagai data yang dikumpulkan
sampai saat ini, didapatkan gambaran prevalensi anemia

'

defisiensi besi seperti tertera pada Tabel 2.

'
Afrika
Laki dewasa

Wanita tak

Amerika

Latin

lndonesia

6%

aol
o/o

20o/o

17 - 21%

25

60%

39 - 460/"

46 - 92%

16 - 50%

- 48%

hamil

Wanita hamil

saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian


salisilat atau NSAID, kanker lambung, kanker kolon,

Belum ada data yang pasti mengenai prevalensi ADB


di Indonesia. Martoatmojo et al memperkirakanADB pada
lakilaki 16-507o dan25-847o pada perempuan tidak hamil.
Pada pensiunan pegawai negeri di Bali didapatkan
prevalensi anemia 36Vo dengan 61% disebabkan oleh
karena defisiensi besi. Sedangkan pada penduduk suatu
desa di Bali didapatkan angka prevalens ADB sebesar
27%.

'

saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau


metrorhagia.
- saluran kemih: hematuria
- saluran napas: hemoptoe.
Faktor nutrisi: akibat kurangnyajumlah besi total dalam
makanan, atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang
tidak baik (makanan banyak serat, rerdah vitamin C,
dan rendah daging).
Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas,
anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.
Gangguan absorbsi besi: gastrektomi. tropical sprue
atau

kolitis kronik.

Pada orang dewasa anemia defisiensi yang dijumpai di

klinik hampir identik dengan perdarahan menahun. Faktor


nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai
penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada
lakilaki ialah perdarahan gastrointestinal, di negara tropik
paling sering karena infeksi cacing tambang. Sedangkan
pada perempuan dalam masa reproduksi paling sering karena
meno-metrorhagia.

Terdapat perbedaan pola etiologi ADB di masyarakat


atau di lapangan dengan ADB di rumah sakit atau praktek

klinik. ADB di lapangan pada umumnya disertai anemia


ringan atau sedang, sedangkan di klinik ADB pada

Perempuan hamil merupakan segmen penduduk

umumnya diserlai anemia derajat berat. Di lapangan faktor

yang paling rentan pada ADB. Di India, Amerjka Latin


dan Filipina prevalensi ADB pada perempuan hamil
berkisar antara35To sampai 99olc. Sedangkan di Bali, pada

nutrisi lebih berperan dibandingkan dengan perdarahan.

suatu pengunjung puskesmas didapatkan prevalens


anemia sebesar 507o denganT5To anemia disebabkan
oleh defisiensi besi. Dalam suatu survei pada42 desa di
Bali yang melibatkan 1684 perempuan hamil didapatkan
prevalens ADB sebesar 467o, sebagian besar derajat
anemia ialah ringan. Faktor risiko yang dijumpai adalah

tingkat pendidikan dan kepatuhan

meminum

Bakta, pada penelitian di Desa Jagapati, Bali, mendapatkan


bahwa infeksi cacing tambang mempunyai peran hanya
pada sekitar 30% kasus, faktor nutrisi mungkin berperan
pada sebagian besar kasus, terutama pada anemia derajat
ringan sampai sedang. Sedangkan di klinik, seperti misalnya

pada praktek swasta, ternyata perdarahan kronik


memegang peran penting, pada laki-laki ialah infeksi cacing

tambang (54%) dan hemoroid (21Ea), sedangkan pada


perempuan menorhagia (337o), hemoroid dan cacing

pil besi.

tambang masing-masin g

DiAmerika Serikat, berdasarkan survei gizi (NHANES


III) tahun 1988 sampai tahun 1994, defisiensi besi
dijumpai kurang dari IVo pada laki dewasa yang berumur
kurang dari 50 tahun, 2-47o pada laki dewasa yang
berumur lebih dari 50 tahun, 9-117o pada perempuan

PATOGENESIS

masa reproduksi, dan 5-l 7o pada perempuan


pascamenopause.

17 Vo.

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi


sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan
besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atalo

1131

ANEMIA DEFISIENSI BESI

negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh


penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi
dalam usus, sefta pengecatan besi dalam sumsum tulang

besi menyebabkan berkurarrgnya penyediaan besi pada


bakteri sehingga menghambat pertumbuhan bakteri yang
berakibat pada ketahanan terhadap infeksi. Di pihak lain

negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka

besi dibutuhkan oleh enzim untuk sintesis DNA dan enzim

cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan


besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan
gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis
belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai : iron deficient

mieloperoksidase netrofil sehingga menurunkan imunitas

erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang


dijumpai ialah peningkatan kadar free protophorphyrin
atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi
transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC)
meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik

yang menderita anemia disertai peningkatan angka

ialah peningkatan reseptor ffansferin dalam serum. Apabila

GEJALA ANEMIA DEFISIENSI BESI

jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin


terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun,
akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut
sebagai iron deficiency anemia. Pada saat inijuga terjadi
kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim
yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut
dan faring serta berbagai gejala lainnya.

PERUBAHAN FUNGSIONAL NON-ANEMIA PADA


DEFISIENSIBESI
Di samping

pada hemoglobin, besi juga menjadi komponen

penting dari mioglobin dan berbagai ensim yang


dibutuhkan dalam penyediaan energi dan transpor
elektron. Oleh karena itu defisiensi besi di samping
menimbulkan anemia, juga akan menimbulkan berbagai
dampak negatif, seperti misalnya pada (1) sistem
neuromuskular yang mengakibatkan gangguan kapasitas
kerja; (2) gangguan terhadap proses mental dan

kecerdasan; (3) gangguan imunitas dan ketahanan


terhadap infeksi; (3) gangguan terhadap ibu hamrl danjanin

yang dikandungnya. Gangguan

ini

dapat timbul pada

anemia ringan atau bahkan sebelum anemia manifes.

Defisiensi besi menimbulkan penurunan fungsi


mioglobin, enzim sitokrom dan gliserofosfat oksidase,

menyebabkan gangguan glikolisis yang berakibat

selular.

Defisiensi besi dihubungkan dengan risiko prematuritas


serta morbiditas dan mortalitas fetomatemal. Ibu hamil
kematian maternal, lebih mudah terkena infeksi dan sering
mengalami gangguan partus.

Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3


golongan besar, yaitu: Gejala umum anemia, gejala khas
akibat defisiensi besi, gejala penyakit dasar.

Gejala Umum Anemia


Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom
wrcmia(anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi

besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 gldl.


Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata

berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada


anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secaraperlahanlahan sering kali sindroma
anemia tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan
anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi

lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh


dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat simtomatik

jika hemoglobin telah turun di bawah 7 gldl.

Gejala Khas Defisiensi Besi


Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak

dijumpai pada anemia jenis lain adalah:


. koilonychla: kuku sendok (spoon nail),kttku menjadi
rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung

penumpukan asam laktat sehingga mempercepat kelelahan


otot. Defisiensi besi terbukti menurunkan kesegaran

jasmani, sedangkan pada buruh pemetik teh terbukti

menurunkan produktivitas kerja. Dampak negatif ini dapat


dihilangkan jika diberikan preparat besi.
Defisiensi besi menimbulkan gangguan perkembangan
kogn itif dan non-kognitif pada anak dan bayi sehingga dapat
menurunkan kapasitas belajar. Hal ini diperkirakan karena
gangguan pada enzim aldehid oksidase yang menyebabkan
penumpukan serotonin, serta enzim monoaminooksidase
yang menyebabkan penumpukan katekolamin dalam otak.

Pengaruh defisiensi besi terhadap infeksi masih


kontroversial. Ada yang berpendapat bahwa defisiensi

Pada

pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama


pada konyungtiva dan jaringan di bawah kuku.

.
.
.

sehingga mirip seperti sendok (Gambar 3)

atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan


mengkilap karena papil lidah menghilang.
stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan
pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak
berwama pucat keputihan

disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel


hipofaring
atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim,
seperti: tanah liat, es, lem, dan lain-lain.

Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom


Paterson Kelly adalah kumpulan gejala yang terdiri dari

tt32
anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan

HEMAIOITOGI

disfagia.

eritrosit. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami perubahan


sebelum kadar hemoglobin menurun.
Hapusan darah tepi (Gambar 4) menunjukkan anemia

Gejala Penyakit Dasar

hipokromik mikrositer, anisositosis, dan poikilositosis.

Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala

penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi


tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit cacing
tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan
kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada
anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon
dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang besar atau
gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.

Makin berat derajat anemia makin berat derajat hipokromia.


Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus
dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Jika

terjadi hipokromia dan mikrositosis esktrim, maka sel


tampak sebagai sebuah cincin sehingga disebut sel cincin
(ring cell), atau memanjang seperti elips, disebut sebagai
sel pensil (pencil cell atau cigar cell). Kadang-kadang
dijumpai sel target.
Leukosit dan trotnbosit pada umumnya normal. Tetapi
granulositopenia ringan dapat dijumpai pada ADB yang
berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang
drjumpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai pada
ADB dengan episode perdarahan akut.

Gambar 3. Kuku sendok (koilonychia) pada jari tangan seorang


pasien anemia defisiensi besi

PEMERIKSAAN LABORATOBIUM
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi

Gambar 4. Hapusan darah tepi pasien anemia defisiensi besi,


menunlukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis,
poikilositosis (A) Tampak beberapa sel pensil (panah), bandingkan
dengan hapusan darah tepi normal di sebelahnya (B)

yang dapat dijumpai adalah:

Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit: didapatkan


anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadr
hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCVdan MCH
menurun. MCV < 70 fl hanya didapatkan pada anemia
defisiensi besi dan thalassemia major. MCHC menurun pada

defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama.


Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi.
Peningkatan anisositosis ditandai oleh peningkatan RDW
(red cell distribution width). Dulu dianggap pemeriksaan
RDW dapat dipakai untuk membedakan ADB dengan
anemia akibat penyakit kronik, tetapi sekarang RDW pada
kedua jenis anemia ini hasilnya sering tumpang tindih.
Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memakai angka
< 80 fl, tetapi pada penelitian kasus ADB di Bagian Penyakit
Dalam FK UNUD Denpasar, dijumpai bahwa titik pemilah
< 78 fl memberi sensitivitas dan spesifisitas paling baik.
Dijumpai juga bahwa penggabungan MCY MCH, MCHC

danb RDW makin meningkatkan spesifisitas indeks

Konsentrasi Besi Serum Menurun padaADB, dan TIBC

(total iron binding capacity) Meningkat. TIBC


menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap
besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi

serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria


diagnosis ADB, kadar besi serum menurun < 50 lt gldl, total
iron binding capacitt (TIBC) meningkat > 350 pg/dl, dan
saturasi transferin < 1 5 7o. Ada juga yang memakai saturasi

transferin < 167a, atat < l8Vo. Harus diingat bahwa besi
serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar,
dengan kadar puncak pada jam 8 sampai

l0 pagi.

Feritin Serum Merupakan Indikator Cadangan Besi yang


Sangat Baik, Kecuali pada Keadaan Inflamasi dan
Keganasan Tertentu. Titik pemilah (cut oJf point) untuk
feritin serum padaADB dipakai angka < 12 p,gll, tetapi ada
juga yang memakai < l5 pg/l..Untuk daerah tropik di mana

I 133

AIYEMIA DEFISIENSI BESI

angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang


diajukan di negeri Barat tampaknya perlu dikoreksi. Pada
suatu penelitian pada pasien anemia di rumah sakit di Bali
pemakaian feritin serum < l2ltgll dan <20 pgll memberikan

dan erythrocyte iron turn over rate (EIT) yang mengukur


pergerakan besi dari sumsum tulang ke sel darah merah
yang beredar. Secara praktis kedua pemeriksaan ini tidak
banyak digunakan, hanya dipakai untuk tujuan penelitian.

sensitivitas dan spesifisitas masing-ma sing 68Vo dan 98Vo


serta 68Vo darr 96%. Sensitivitas tertinggi (847o) justru
dicapai pada pemakaian feritin serum < 40 mg/|, tatpa
mengurangi spesifitas terlalu banyak (92Ea). Hercberg

Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab


anemia defrsiensi besi. Antara lain pemeriksaan feses untuk

untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin


serum < 20 mg/l sebagai kriteria diagnosis ADB. Jika terdapat
infeksi atau inflamasi yang jelas seperli afihdtis rematoid,
maka feritin serum sampai dengan 50-60 pg/l masih dapat
menunjukkan adanya defisiensi besi. Feritin serum

pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi, barium


intake ata:u barium inloop, dan lain-lain, tergantung dari
dugaan penyebab defisiensi besi tersebut.

merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis

IDA

yang paling kuat oleh karena itu banyak dipakai baik di


klinik maupun di lapangan karena cukup reliabel dan praktis,
meskipun tidak terlalu sensitif. Angka feritin serum normal
tidak selalu dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi,
tetapi feritin serum di atas 100 mg/dl dapat memastikan
tidak adanya del-rsiensi besi.

hotopoffirin merupakan bahan

antara pada pembentukan


heme. Apabila sintesis heme terganggu, misalnya karena
defisiensi besi, maka protoporfirin akan menumpuk dalam
eritrosit. Angka normal adalah kurang dari 30 mg/dl. Untuk
defisiensi besi protoporfirin bebas adalah lebih dari 100
mg/dl. Keadaan yang sama juga didapatkan pada anemia
akibat penyakit kronik dan keracunan timah hitam.

Kadar reseptor transferin dalam serum meningkatpada


defisiensi besi. Kadar normal dengan cara imunologi adalah
pgll-. Pengukuran reseptor transferin terutama dipakai
untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit
kronik. Akan lebih baik lagi apabila dipakai rasio reseptor
transferin dengan log feritin serum. Rasio >1,5 menunjukkan
ADB dan rasio <1,5 sangat mungkin karena anemia akibat
4 -9

cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan


semikuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz,

DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti
disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga
tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan
adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau
hematokrit. Cut off point anemia tergantung kriteria yang
dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap

kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi,


sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebdLb dari

defisiensi besi yang terjadi.

Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis


anemia defisiensi besi (tahap satu dan tahap dua) dapat
dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi
dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut:
Anemia hipokromik mikrositerpada hapusan darah tepi,
atau MCV <80 fl dan MCHC <317o dengan salah satu dari
a, b, c, atau d.

..

penyakrtkronik.
Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik

ringan sampai sedang dengan normoblas kecil-kecil.


Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tak teratur. Normoblas
ini disebut sebagai micronormoblast.
Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perl's

stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir


hemosiderin negatif). Dalam keadaan normal 40-607o
normoblast mengandung granula feritin dalam
sitoplasmanya, disebut sebagai sideroblas. Pada defisiensi
besi maka sideroblast negatif. Di klinik, pengecatan besi
pada sumsum tulang dianggap sebagai baku emas (gold
standard) diagnosis defisiensi besi, namun akhir-akhir ini

.
.

Dua dari tiga parameter di bawah ini:

Besiserum<50mg/dl
TIBC>350mg/d1
Saturasitransferin: <757o,atalu

Feritinserum<20mgll,atau
Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl's

stain) menttnjukkan cadangan besi (butir-butir

hemosiderin) negatif, atau


Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x200 mgftrari (atau
preparat besi lain yang setara) selama 4 minggu diserlai
kenaikan kadar hemoglobin lebih dari2 gldl.

Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang


menjadi penyebab defisiensi besi. Tahap ini sering
merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai

jenis pemeriksaan tetapi merupakan tahap yang

sangat

Studi ferokinetik. Studi tentang pergerakan besi pada

penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta


kemungkinan untuk dapat menemukan sumber perdarahan
yang membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang
baik, sekitar 207o kasus ADB tidak diketahui penyebabnya.

siklus besi dengan menggunakan zat radioaktif. Ada dua

Untuk pasien dewasa fokus utama adalah mencari

jenis studi ferokinetik yaifi plasma iron transport rate

sumber perdarahan. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan

perannya banyak diambil alih oleh pemeriksaan feritin


serum yang lebih praktis.

(PIT) yang mengukur kecepatan besi meninggalkan plasma,

fisis yang teliti. Pada perempuan masa reproduksi

rt34

HEITIATIOI.OGI

anamnesis tentang menstruasi sangat penting, kalau perlu


dilakukan pemeriksaan ginekologi. Untuk laki-laki dewasa
di Indonesia dilakukan pemeriksaan feses untuk rnencari

telur cacing tambang. Tidak cukup hanya dilakukan


pemeriksaan hapusan langsung (direct smear dengan
eosin), tetapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan semi
kuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, untuk

DIAGNOSIS DIEFERENSIAL
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia
hipokromik lainnya seperti: anemia akibat penyakit kronik,
thalassemia, anemia sideroblastik. Cara membedakan
keempat jenis anemia tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

menentukan beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan

tidaklah serta merta dapat dianggap sebagai penyebab


utama ADB, harus dicari penyebab lainnya. Titik kritis

TERAPI

cacing tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan


telur per gram feses (TPG) ataLL egg per gram faeces (EPG)
>2000 pada perempuan dan >4000 pada laki-laki. Dalam
suatu penelitian lapangan ditemukan hubungan yang
nyata antara derajat infeksi cacing tambang dengan
cadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih

Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana


pemberian terapi. Terapi terhadap anemia defisiensi besi

lemah pada perempuan.

Anemia akibat cacing tambang (hookworm anemia)


adalah anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh
karena infeksi cacing tambang berat (TPG > 2000). Anemia akibat cacing tambang sering disertai pembengkakan
parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada

pemeriksaan laboratorium di samping tanda-tanda


defisiensi besi yang disertai adanya eosinofilia. Pada
suatu penelitian di Bali, anemia akibat cacing tambang
dijumpai pada 3,37o pasien infeksi cacing tambang
atat 12,2Vo dari 123 kasus anemia defisiensi besi yang
dijumpai.

Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dapat


dilakukan tes darah samar (occult blood /esl) pada feses,
dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran
cerna atas atau bawah.

Anemia
Defisiensi Besi
Derajat
anemra

MCV
MCH

Besi serum

Ringan sampai
berat
Menurun
Menurun
Menurun

adalah:

a.

b.

Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan.


Misalnya pengobatan cacing tambang, pengobatan
hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal harus
dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali
Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan
besi dalam itbuh (iron replacemen therapy):

Terapi Besi Oral. Terapi besi oral rnerupakan terapi pilihan


pertama oleh karena efektif, murah dan aman. Preparat yang
tersedi a adalah fe r r o u s s u lp h at (sulfas ferosus ) merupakan
preparat pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi
efektif. Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Setiap 200 m-e

sulfas ferosus mengandung 66 mg besi elemental.


Pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg mengakibatkan
absorbsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan
eritropoesis dua sampai tiga kali normal.
Preparat Tain'. ferrows gluconate, feruous fumarat,
ferrous lactate dartferrous ,succinote. Sediaan ini harganya
lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek samping hampir
sama dengan sulfas ferosus. Terdapatjuga bentuk sediaan

Anemia Akibat
Penyakit Kronik

Trait

Thalassemia

Ringan

Ringan

Menurun/N
Menurun/N
Menurun < 50

Menurun
Menurun
Normal/

<30

Anemia

Sideroblastik
Ringan
sampai berat
Menurun/N
Menurun/N
Normal/ 1

TIBC

Meningkat >360

Menurun <300
Menurun/N 10-20Yo

Normal / J
Meningkat
> 200

Normali J

Saturasi
transferin

Menurun < 15%

Besi sumsum
tulang
Protoporfirin
eritrosit

Negatif

Positif

Positif kuat

Meningkat

Meningkat

Normal

Positif dgn rlng


slderob/ast
Normal

Feritin serum

Menurun <20 ltgll

Normal 20-200 pg/l

Meningkat >50
ps/l

Meningkat
>50 pg/l

Elektrofoesis
Hb.

Hb 42
meningkat

Meningkat
>200k

1135

ANEMIADEFISIENSI BESI

enteric coated yang dianggap memberikan efek samping


lebih rendah, tetapi dapat mengurangi absorbsi besi.
Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung
kosong, tetapi efek samping lebih sering dibandingkan
dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang
mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat

1000 mg. Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui


rumus di bawah ini:

Kebutuhan besi (mg) = (1s-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500


atau 1000 mg

makan atau setelah makan.

Efek samping utama besi per oral adalah gangguan


gastrointestinal yang dijumpai pada 15 sampai 207o,yang
sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat
berupa mual, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi

efek samping besi diberikan saat makan atau dosis


dikurangi menjadi 3 x 100 mg.
Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, adajuga

yang menganjurkan sampai

l2

bulan, setelah kadar

Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau diberikan


dalam beberapa kali pemberian.

c.

.
.

hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh.


Dosis pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200
kambuhkembali.
Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan
preparat vitamin C, tetapi dapat meningkatkan efek samping

terapi. Dianjurkan pemberian diet yang banyak


mengandung hati dan daging yang banyak mengandung
besi.

oral; (2) kepatuhan terhadap obat yang rendah;


(3) gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif yang
dapat kambuh

jika diberikan besi; (4) penyerapan besi

terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi; (5) keadaan

di mana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak


cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral, seperti
misalnya pada hereditary hemoruha gic te leangi e c to s iai

transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi


darah. Indikasi pemberian transfusi darah pada anemia
kekurangan besi adalah:
- Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman
payah jantung
- Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia
dengan gejala pusing yang sangat menyolok
- Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin
yang cepat seperti pada kehamilan trimester akhir
atau preoperasl.

mg. Jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia sering

Terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral sangat efektif


tetapi mempunyai risiko lebih besar dan harganya lebih
mahal. Oleh karena risiko ini maka besi parenteral hanya
diberikan atas indikasi tertentu. Indikasi pemberian besi
parenteral adalah: (1) intoleransi terhadap pemberian besi

Pengobatan lain
diet: sebaiknyadiberikan makananbergizi dengan tinggi
protein terutama yang berasal dari protein hewani
vitamin c: vitamin c diberikan 3 x 100 mg per hari untuk
meningkatkan absorposi besi

Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed red

cell) untuk mengurangi bahaya overload. Sebagai


premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemid
rntravena.

Respons Terhadap Terapi


Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang pasien
dinyatakan memberikan respons baik bila retikulosit naik
pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke-10
dan normal lagi setelah hari ke14, diikuti kenaikan Hb 0,15
g/hari atau 2 g/dl setelah 3-4 minggu. Hemoglobin menjadi
normal setelah 4-10 minggu.

(6) kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti


pada kehamilan trimester tiga atau sebelum operasi; (7)

Jika respons terhadap terapi tidak baik, maka perlu

defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian

.
.
.
.

eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia


akibat penyakit kronik.
Preparat yang tersedia ialah iron dextran complex
(mengandung 50 mg besi/ml), iron sorbitol citric acid
complex dan yang terbaru adalah iron fenic gluconate
dan iron sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat
diberikan secara intramuskular dalam atau intravena
pelan. Pemberian secara intramuskular memberikan rasa
nyeri dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek
samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis,
meskipun jarang(0,6Vo). Efek samping lain adalah flebitis,
sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut dan
sinkop.
Terapi besi parenteral berlujuan untuk mengembalikan
kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai

dipikirkan:
Pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum.

Dosis besi kurang


Masih ada perdarahan cukup banyak
Ada penyakit lain seperti misalnya penyakit kronik,
keradangan menahun atau pada saat yang sama ada
defisiensi asam folat
Diagnosis defisiensi besi salah.
Jika dijumpai keadaan di atas, lakukan evaluasi kembali
dan ambil tindakan yang tepat.

PENCEGAHAN
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di
masyarakat maka diperlukan suatu tindakan pencegahan
yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat

tt36

HEMIIiIOI.OGI

berupa:
. Pendidikankesehatan:
- kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian

jamban, perbaikan lingkungan kerja, misalnya


pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah
penyakit cacing tambang

penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi


makanan yang membantu absorbsi besi

Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber


perdarahan kronik paling yang sering dijumpai di daerah

tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat

dilakukan dengan pengobatan masal dengan

anthelmentik dan perbaikan sanitasi.


Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada
segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan

anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan


hamil dan anak balita memakai pil besi dan folat.

. Fortifikasi

bahan makanan dengan besi, yaitu

mencampurkan besi pada bahan makan. Di negara Barat


dilakukan dengan mecampur tepung untuk roti atau
bubuk susu dengan besi.

REFERENSI
Adamson

JW Iron Deficiency and others Hypoproliverative Ane-

mias. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo

DL, Jameson JL (editors). Harrison's Principle of Intemal Medicine. 15'h edition. New York: McGraw Hill, 2001. p. 491-762
Andrews NC. Iron Deficiency and Related Disorders. In: Greer GM,
Paraskevas fl Glader B (editors). Wintrobe's Clinical Hematology. 11'h edition. Philadelphia: Lippincot, Williams, Wilkins,
2O04.

p 947-1009.

Brittenham GM. Disorders of Iron Metabolism: Iron Deficiency


and Overload. In: Hoffman R, Benz EJ, Shttil SJ, Furie B, Cohen
HJ, Silberstein LE, McGlove P (editors). Hematology: Basic
Principles and Practice. 3'd edition. New York: Churchill
Livingstone, 2000. p 367-382.
Conrad ME. Iron Deficiency Anemia. eMedicine Joumal, Vo1 3, No
2, February 19,2002.
DeMaeyer EM. Preventing and Controlling Deficiency Anemia
Through Primary Health Care. Geneva: WHO; 1989.
Fairbanks VF, Beutler E . Iron Deficiency In: Beutler E, Coller BS,
Lichtman MA, Kipps TJ (editors). Williams Hematology. 6th
edirion. New York: McGraw Hill, 2001 p 441 - 410.
Flemrng RE, Sly WS Hepcidin: a putative iron-regulatory hormone
relevant to hereditary hemochromatosis and the anemia of
chronic disease. PNAS 2001;98:6160-8162.
Frewin R, Henson A, Provan D ABC of Clinical Haematology: Iron
Deficiency Anaemia BMJ. 1997;314:360
Goddard AF, Mclntyre AS, Scott BB. Guidelines for the management
of iron deficiency anaemia. Gut 2000; 46(Supp1 IV):iv1-iv5.
Hercberg S. Iron and Folat Deficiency Anaemias. Intemational Child
Health 1991; ll:44-60
Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Essential Haematology. 4'h
edition. Oxford: Blackwell Science. 2001
Hoffbrand AV, Lewis SM, Tuddenham EGD Postgraduate
Haematology 4'h edition. Oxford:Butterworth Heineman, 1999

Andrews NC. Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med


1999;341:1986-1995.

Baker WF. Iron Deficiency in Pregnancy, Obstetrics,

and

Gynecology. Hematol/Oncol Clin N Amer 20001,14(2).

Bakta IM. Hematologi Ringkas. Denpasar : UPT Penerbit


Universitas Udayana, 2001.
Bakta IM. Infeksi Cacing Tambang pada Orang Dewasa dan Perannya
sebagai salah satu Penyebab Anemia Defisiensi Besi: studi

imunoepidemiologik

Med Public Healrh 1994;25: 459-463.


Bakta IM. The role of hookworm infection as an etiologic factor of
iron dehciency anemia in Bali (Indonesia): an intervention study.
Proceedings of VIIIth Congress of Asian Pacific Division International Society of Hematology. Brisbane l5-18 October 1995.
Bakta IM, Wijana DP, Sutisna IP. Hookworm infeqtion and iron
stores: a survey in a rural community in Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1993;25: 501.
Bakta IM. The relationship between hookworm infection and iron
stores: a study in adult population of Jagapati Village, Bali,
Indonesia. International Journal of Hematology 1996; 64(Suppl
1): S33

di desa Jagapati, Bali

(Disertasi).

Surabaya:Universitas Airlangga, 1993.

IM. Lila IN. Widjana DP & Sutisna P. Anemia dan anemia


defisiensi besi di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan,
Kabupaten Tabanan Bali. Yogyakarta : Naskah Lengkap
KOPAPDI VIII, 1990.
Bakta IM. Aspek epidemiologi anemia defisiensi besi. Acta Medica
Bakta

Indonesiana 1993;XXV: 1054-1073.


Bakta IM. Anemia defisiensi besi pada penduduk dewasa desa Jagapati,

Bali. Acta Medica Indonesiana 1993;XXY:1237-7244.


Bakta IM. Anemia kekurangan besi pada usia lanjut Majalah
Kedokteran Indonesia 1989; 39: 504-506.
Bakta IM. Anemia Defisiensi Besi pada Praktek Swasta seorang
Spesialis Penyakit Dalam di Denpasar. Majalah Kedokteran
Udayana 19961'27 :ll2-118.
Bakta IM, Budhianto FX. Hookworm anemia in the adult population of Jagapati Village, Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop

Hillman RS, Ault KA Hematology in Clinical Practice: A Guide to


Diagnosis and Management. 3'd edition. New York: McGraw

Hiil,2002.
Kandarini Y. Pemeriksaan indeks eritrosit sebagai uji saring
diagnosis anemia defisiensi besi (karya tulis akhir). Denpasar:
Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam ,rK
Universitas Udayana/RS Sanglah, 2003

Kerlin P, Reiner R, Davies M, Sage RE, Grant AK. Iron Deficiency


Anemia - A hospective Study Aust NZ Med I 1979;9:402-401
Mast AE, Blinder MA, Gronowski AM, Chumley C, Scott MG
Clinical utility of the soluble transferrin receptor and compari-

son with serum ferritin

in

several populations.

Clin Chemistry

1998;44:45-57
Martoatmojo S, Abunain D, Muhilal, Enoch M, Sastroamidjojo S.
Masalah anemia gizi pada perempuan hamil dan hubungannya

Gizi dan Makanan


79'73:3:22-41
Schmaier AH, Ptruzzelli KM. Hematology for Medical Student
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003.
Shalr A. Iron Deficiency Anemia Part-I. Indian J Med Sci 2O04;58:1981.
Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-II. Indian J Med Sci
2004',58:134-137
Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-III. Indian J Med Sci
dengan pola konsumsi makanan. Penelitian

2004;58:214-276.

AT{EMIA DEFISIENSI BESI

Suega K, Dharmayuda TG, Sutarga M, Bakta IM. Iron deficiency in


pregnant women in Bali, Indonesia: a profile of risk factors and

epidemiology. Southeast Asian J Trop Med Public Health


2002;33:604-607

feritin serum sebagai sarana diagnosis


anemia defisiensi besi (karya tulis akhir). Denpasar: Denpasar:

Somayana G. Pemeriksaan

Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK


.Universitas Udayana/RS Sanglah, 2005.
WHO Technicai Report Series No. 405. Nutritional Anemia. Geneva:

WHO; 1968.

tl37

180
ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIS
Iman Supandiman, Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman

PENDAHULUAN

reumatoid merupakan penyebab terbanyak. Enteritis


regional, kolitis ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya
juga dapat disertai anemia pada penyakit kronis.

Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau


inflamasi kronis maupun keganasan. Anemia ini umumnya

Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker,


walaupun masih dalam stadium dini dan asimtomatik, seperti

ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan

berat badan dan disebut anemia pada penyakit kronis.


Cartwright dan Wintrobe melaporkan bahwa pada tahun
1842, peneliti-peneliti di Perancis telah menemukan adanya
massa eritrosit yang lebih rendah pada penderita tifoid
dan cacar dibandingkan dengan orang normal. Diketahui

pada sarkoma dan limfoma. Anemia ini biasanya disebut


dengan anemia pada kanker (cancer-related anemia).

a. Pemendekan Masa Hidup Eritrosit


Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari
sindrom stres hematologik (haematological,stress
syndrome), di mana terjadi produksi sitokin yang
berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi,

di kemudian hari bahwa penyakit infeksi

seperti
pneumonia, sifilis, HIV-AIDS dan juga pada penyakit lain
seperti artritis reumatoid, limfoma Hodgkin dan kanker
sering disertai anemia dan disebut sebagai anemia pada
penyakit kronis.
Pada umumnya, anemia pada penyakit kronis ditandai
oleh kadar Hb berkisar 7- I

inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan


sekuestrasi makrofag sehingga mengikat lebih banyak zat
besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan
produksi eritropoietin oleh ginjal. serta menyebabkan

gl dL,kadar Fe serum menurun

disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe yang tinggi di


jaringan serta produksi sel darah merah berkurang.

perangsangan yang inadekuat pada eritropoiesis di


sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat

menyebabkan penurunan transformasi T4 (tetra-

iodothyronine) menjadi T3 (tri-iodothl,ronine),


di mana terjadi
penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut 02 sehingga

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

menyebabkan hipotiroid fungsional

Laporan/data penyakit tuberkulosis, abses paru,

sintesis eritropoietin-pun akhirnya berkurang.

endokarditis bakteri subakut, osteomielitis dan infeksi


jamur kronis serta HfV membuktikan bahwa hampir semua

b. Penghancuran Eritrosit

infeksi supuratif kronis berkaitan dengan anemia. Deraj at


anemia sebanding dengan berat ringannya gejala, seperti

Beberapa penelitian membuktikan bahwa masa hidup


eritrosit memendek pada sekitar 20-30Eo pasierl Defek ini
terjadi di ekstrakorpuskular, karena bila eritrosit pasien

demam, penurunan beratbadan dan debilitas umum. Untuk

terjadinya anemia memerlukan waktu 1-2 bulan setelah


infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan

ditranfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup


normal.Aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan

anlara produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb


menjadi stabil.

peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan


sebagai bagian dari filter Timpa (compulsive screeningl,
menjadi kurang toleran terhadap perubahan/kerusakan

Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama


sepefii pada infeksi kronis, tetapi lebih sulit karena terapi
yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen dan artritis

minor dari eritrosit.

1138

1139

ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIS

menyebabkan anemia ringan dengan gambaran khas

c. Produksi Eritrosit
Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah
meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya
gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronis. Hal
ini memberikan konsep bahwa anemia disebabkan oleh
penurlrnan kemampuan Fe dalam sintesis Hb. Penelitian
akhir menunjukkan parameter Fe yang terganggu mungkin
tebih penting untuk diagnosis daripada untuk patogenesis
anemia tersebut (Tabel 1).

seperti anemia penyakit kronis. Pada kultur sumsum tulang


manusia ia akan menekan eritropoiesis pada pembentukan

BFU-E dan CFU-E. Penelitian terkini menunjukkan bahwa


efekTNF-o ini melalui IFN-1yang diinduksi oleh TNF dari
sel stroma.
IL- 1 berperan dalam berbagai manifestasi inflamasi. juga

terdapat dalam serum penderita penyakit kronis. IL-1,


seperti halnya TNF, akan menginduksi anemia pada tikus
dan menekan pembentukan CFU-E pada kultur sumsum
tulang manusia.

Kedua interferon tadi diduga dapat langsung

Anemia
Normal Defisiensi
Fe
Fe plasma (mg/L)
TIBC
Persen saturasi
Kandungan Fe di
makrofag
Feritin serum
Reseptor
transferin serum

70-90
250-400
30
++

20-200
8-28

Anemia
Penyakit
Kronis

30

30

>450

<200

'15

+++
10

150

>28

8-28

TlBC-total iron binding capacity

Pengukuran kecepatan penyerapan zat besi oleh


saluran cerna pada beberapa kasus dengan kelainan kronis
memberikan hasil yang sangat bervariasi. sehingga tidak

dapat disimpulkan. Pada umumnya memang terdapat


gangguan absorbsi, walaupun ringan. Ambilan zat besi ke
sel-sel usus dan pengikatan oleh apoferitin intrasel masih
normal, sehingga defek agaknya terjadi saat pembebasan
Fe dari makrofag dan sel-sel hepar pada pasien penyakit
kronis. (kalimat ini dihapus)

menghambat CFU-E tanpa melalui efek TNF-cx, serta dapat

menekan progenitor non-eritroid. Walaupun demikian,


bagaimana peranannya dalam patogenesis anemia secara
pasti belum dapat dijelaskan, karena masih banyak faktorfaktor lain yang tak terduga yang mungkin berperan
penting dalam patogenesis anemia jenis ini.

GAMBARAN KLINIS
Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan
sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejalapenyakit
dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-Il grldL umumnya
asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau

debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas


transport 02 jaringan akan memperjelas gejala anemianya
atau memperberat keluhan sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai


konjungtiva yang pucat tanpa kelainan yang khas dari
anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari
hasil pemeriksaan laboratorium.

Fungsi sumsum tulang. Meskipun sumsum tuiang yang

nornal dapat mengkompensasi pemendekan masa hidup


eitrosit, diperlukan stimulus eritropoietin oleh hipoksia
akibat anemia. Pada penyakit kronis, kompensasi yang

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya

Anemia umumnya adalah normokrom-normositer,

penglepasan atau menurunnya respons terhadap

meskipun banyak pasien mempunyai gambaran hipokrom


dengan MCHC <3I gldL dan beberapa mempunyai sel
mikrositer dengan MCV <80 fL. Nilai retikulosit absolut
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Perubahan
pada leukosit dan trombosit tidak konsisten, tergantung

eritropoietin. Penelitian mengenai penglepasan eritropoietin


menunjukkan hasil yang berbeda-beda; pada beberapa
penelitian kadar eritropoietin tidak berbeda bermakna pada

pasien anemia tanpa kelainanan kronis, sedangkan


penelitian lain menunjukkan penurunan produksi

dari penyakit dasarnya.


Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi

eritropoietin sebagai respons terhadap anemia sedangberat. Agaknya hal ini disebabkan oleh sitokin, seperti
IL- I dan TNF-cr yang dikeluarkan oleh sel-sel yang cedera.

sine qua non rntlk diagnosis anemia penyakit kronis.


Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu infeksi atau

Penelitian invitro pada sel hepatoma menunjukkan bahwa


sitokin-sitokin ini mengurangi sintesis eritropoietin.
Terdapat 3 jenis sitokin yakni TNF-cr, IL-1, IFN-y yang
ditemukan dalam plasma pasien dengan penyakit inflamasi
atau kanker, dan terdapat hubungan secara langsung antara
kadar sitokin ini dengan beratnya anemia. TNF-u dihasilkan

inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi


protein pengikat Fe (transferin) menurun menyebabkan
saturasi Fe yang lebih tinggi daripada anemia defisiensi
besi. Proteksi saturasi Fe ini relatif mungkin mencukupi
dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu persediaan
yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid

oleh makrofag aktif dan bila disuntikan pada tikus

imatur.

tt40

HEMAIIOI.OGI

Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi

c. Eritropoietin.

Data penelitian menunjukkan bahwa

lebih lambat daripada penurunan kadar Fe serum,

pemberian eritropoietin bermanfaat dan sudah

disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8- 12


hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi
metabolik yang berbeda.

kanker, gagal ginjal, mieloma multipel, artritis reumatoid

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


Meskipun banyak pasien dengan infeksi kronik, inflamasi
dan keganasan menderita anemia, anemia tersebut disebut
anemia pada penyakit kronis hanya jika anemia sedang,
selularitas sumsum tulang normal, kadar besi serum dan

disepakati untuk diberikan pada pasien anemi akibat


dan pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi
beserta efek sampingnya, pemberian eritropoietin
mepunyai beberapa keuntungan, yakni: mempunyai
efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi TNFu dan interferon-y. Dilain pihak, pemberian eritropoietin
akan menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal serta
meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher.

Saat ini terdapat tiga jenis eritropoietin, yakni


eritropoietin alfa, eritropoietin beta dan darbopoietin.

TIBC rendah, kadar besi dalam makrofag dalam sumsum


tulang normal atau meningkat, serta feritin serum yang

Masing-masing berbeda struktur kimiawi, afinitas terhadap


reseptor, dan waktu paruhnya sehingga memungkinkan kita

meningkat.

memilih mana yang lebih tepat untuk suatu kasus.


Dengan demikian mekanisme terjadinya anemia pada
penyakit kronis merupakan hal yang harus dipahami oleh

Beberapa penyebab anemia berikut ini merupakan


diagnosis banding atau mengaburkan diagnosis anemia
pada penyakit kronis:
1. Anemia dilusional. Pada penyakit kronis terutama pada
keganasan stadium lanjut.
2. Drug -induced marrow s uppre s s ion atat drug - induc e d
hemolysis. Pada penekanan sumsum tulang akibat obat,
kadar besi serum tinggi. Pemeriksaan hitung retikulosit,

haptoglobin, bilirubin LDH dan tes Coombs harus


dilakukan untuk menyingkirkan hemolisis.

3. Perdarahan kronis.
4. Thalasemiaminor.
5. Gangguan ginjal.

REFERENSI
Erslev AJ. Anemia of chronic disease. In: Beutler E, Lichtman MA,
Col1er BS,Kipps TJ, Seligsohn U, eds. Williams Hematology 6'h
ed. New-York: McGraw-Hill Medical publishing division 2001;

4l:481-7

Pada keadaan

ini umur eritrosit

memendek dan terdapat kegagalan relatif sumsum tulang.

6.

setiap dokter sebelum memberikan transfusi, preparat besi


maupun eritropoietin.

Metastasis pada sumsum tulang.

PENGOBATAN

Gasche C, Waldhoer T, Feichtenschlager T, et al. Prediction of

response to iron sucrose

in inflammatory bowel

disease-

associated associated anemia. Am J Gastroenterol.


20O1:96:2382-'7

Henke M, Laszig R, Rube C. et al Erythropoietin to treat head and


neck cancer patients with anaemia undergoing radiotherapy:
randomised, double-blind, placebocontrolled trial. Lancet
20O3:362:1255-60.

Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah

Leyland-Jones

mengobati penyakit dasamya. Terdapat beberapa pilihan


dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain:
a Tlansfusi. Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang

terminated unexpectedly. Lancet Oncol. 2003;4:459-60.


Papadaki HA, Kritikos HD, Valatas V et al Anemia of chronic
disease in rheumatoid arthritis is associated with increased
apoptosis of bone marrow erythroid cells: improvement following anti-tumor necrosis factor-alpha antibody therapy. Blood
2002:100:47 4-82.
Spivak JL. Iron and the anemia of chronic disease. Oncology
(hunting). 2002; I 6:Suppl 1 0:25-33
Stenvinkel P. The role of inflammation in the anaemia of end-stage
renal disease. Nephrol Dial Transplant. 2001 ; 16:Suppll :36-40
Tilg H, Ulmer H, Kaser A, Weiss G Role of IL-10 for induction of
anemia during infl ammation.J Immunol. 2002;769 :2204-9.
Wilson A, Reyes E, Ofman J. Prevalence and outcomes of anemia in

diseftai gangguan hemodinamik. Tidak ada batasan yang


pasti pada kadar hemoglobin berapa kita harus memberi

transfusi. Beberapa literatur disebutkan bahwa pasien


anemia penyakit kronik yang terkena infark miokard,
transfusi dapat menurunkan angka kematian secara
bermakna. Demikian juga pada pasien anemia akibat
kanker, sebaiknya kadar Hb diperlahankan 1 0- 1 1 grldl-.
Preparat besi. Pemberian preparat besi pada anemia
penyakit kronis masih terus dalam perdebatan. Sebagian
pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan
besi dapat mencegah pembentukan TNF-cx. Alasan lain,
pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat
besi terbukti dapat meningkatkan kadar hemoglobin.
Terlepas dari adanya pro dan kontra, sampai saat ini
pemberian preparat besi masih belum direkomendasikan
untuk diberikan pada anemia pada penyakit kronis.

B. Breast cancer trial with

erythropoietin

inflammatory bowel disease: a systematic review of the


literature. Am J Med 2004;116:Supp17A:S44-S9.
Weiss G, Goodnough

2005:3521
Weiss

I 0.1: I

LL Anemia of chronic

disease.

N Engl J Med.

0 I I -23.

Pathogenesis and treatment

of anaemia of chronic

disease.

Blood Rev. 2002:16:87 -96.

Wstenfelder C, Baranowski RL. Erythropoietin stimulates


proliferation of human renal carcinoma cells. Kidney Int.
2000158: 641-51.

181
ANEMIA MEGALOBLASTIK
Soenafto

Kebanyakan anemia megaloblastik disebabkan karena

PENDAHULUAN

defisiensi vitamin B 12 (kobalamin) dan atau asam folat.

Anemia megaloblastik merupakan kelainan yang


disebabkan oleh gangguan sintesis DNA dan ditandai oleh
sel megaloblastik. Kriteria anemia dan defisiensi gizi
menurutWHO 1912 sebagai berikut:
Dinyatakan Anemia, bila kadar hemoglobin (Hb) pada
ketinggian permukaan laut lebih rendah dari nilai pada
golongan umur yang ada yaitu :
Anak umur 6 bulan - 6 tahun
6 tahun - 14 tahun
Pria dewasa
Perempuan dewasa tak hamil
Perempuan dewasa hamil

119/100ml

12gll00nn
t3 grl100 ntl

Berbagai macam keadaan klinik yang berkaitan dengan


anemia megaloblastik dapat diklasifikasikan seperli yang
tertera berikut ini.

KLASIFIKASI ANEMTA MEGALOBLASTIK

Defisiensi Kobalamin

.
.

12grl100mI
11gr/100mI

Asupan tidak cukup: vegetarian (arang)

Malabsorbsi
- Defek penyampaian dari kobalamin dari makanan:
achlorhidria gaster, gastrektomi, obat-obat yang

Untuk anemia gizi, selain kadar Hb ditambah tolok ukur

kadar besi, asam Folat dan vitamin B 12.

Perlu diingat bahwa peningkatan atau penurunan Hb


hematokrit (Ht) adakalanya palsu. Keadaan yang dapat
meningkat palsu ialah: berkurangnya plasma darah,

mia pernisiosa, Gastrektomi total, Abnormalitas


fungsional atau tak adanya faktor intrinsik yang

dan

bersifat kongenital.

.-

combusio (luka bakar), diuresis yang berlebihan, dehidrasi.


Kadar rendah palsu contohnya pada keadaan hamil atau
dekompensasi jantung.

Anemia megaloblastik adalah gangguan yang

(arang)

- Kompetisi pada kobalamin: fish

tapeworm

(Diphylobotrium latum), Bakteri blind loop

awal hematopoietik dan epitel gastrointestinal. Pembelahan

syndrome

sel terjadi lambat, tetapi perkembangan sitoplasmik

dihancurkan dalam sumsum tulang. Dengan demikian


selularitas sumsum tulang sering meningkat tetapi
produksi sel darah merah berkurang, dan keadaan
abnormal ini disebut dengan istilah eritropoiesis yang tidak
efektif (ineffe ctiv e e ry throp oi e s i s).

Gangguandariileumterminalis: spruetropikal, sprue


non tropikal, enteritis regional, reseksi intestinum,
neoplasma dan gangguan granulomatosa (arang),
sindrom Imerslund (malabsorbsi kobalamrn selektif)

disebabkan oleh sintesis DNA yang terganggu. Sel-sel


yang pertama dipengaruhi adalah yang secara relatif
mempunyai sifat perubahan yang cepat, terutama sel-sel

normal, sehingga sel-sel megaloblastik cenderung menjadi


besar dengan peningkatan rasio dari RNA terhadap DNA.
Sel-sel awal/pendahulu eritroid megaloblastik cenderung

menghalangi sekresi asam


Produksi faktor intrinsik yang tak mencukupi: ane-

Obat-obalan

'.

p-aminosalicylic acid, kolkisin,

neomsln.

Lain lain: NO (Nitrous oxide) anesthesia, defisiensi


transkobalamin II (arang), defek enzim kongenital
(arang).

Defisiensi Asam Folat


Asupan yang tak adekuat: diet yang tak seimbang (sering

tl4l

tt42

HEMAIIOI.OGI

pada peminum alkohol, usia belasan tahun, beberapa bayi)

Keperluan yang meningkat : kehamilan, bayi, keganasan,


peningkatan hematopoiesis (anemia hemolitik kronik),
kelainan kulit eksfoliatif kronik, hemolisis

Malabsorbsi: sprue tropikal, sprue nontropikal, obat-obat:


phenytoin, barbiturat (?) ethanol
Metabolisme yang Terganggu: penghamb at dihydrofolat
re ductas e (metotreksat, pirimetamin, triamteren. pentamidin,
trimetoprin). Alkohol, Jarang defisiensi enzim (dihy drofolat
reductase, dll).

Sebab-sebablain
Obat-obat yang mengganggu metabolisme DNA: antagonis
purin (6 merkaptopurin, azatioprin, dll). Antagonis pirimidin

(5-fluorourasil, sitosin arabinose, dll). Lain-lain

prokarbazin, hidroksiurea, acyclovir, zidovudin

Gangguan metabolik (iarang): asiduria urotik herediter,


sindrom Lesch-Nyhan, lain lain
Anemia megaloblastik dengan penyebab tak diketahui:
anemia megaloblastik refrakter, Sindrom Diguglielmo,
anemia diseritropoietik kongenital.

ASAM FOLAT DAN VITAMIN 812


Asam folat dan vitamin B72 adalahzatyatgberhubungan
dengan unsur makanan yang sangat penting bagi tubuh.

Peran utama asam folat dan vitamin B12 ialah dalam


metabolisme intraselular. Seperti yang diterangkan di
depan, adanya defisiensi kedua zat tersebut akan
menghasilkan tidak sempurnanya sintesis DNA pada tiap
sel, di mana pembelahan kromosom sedang terjadi.
Jaringan-jaringan yang memiliki pergantian sel yang sangat
cepat akan mengalami perubahan yang sangat dramatis.
antara lain adalah sistem hematopoiesis yang sangat

sensitif pada defisiensi dan menyebabkan anemia


megaloblastik.

Asam folat adalah nama yang biasa diberikan pada


asampteroylmonoglutamic. Zat ini disintesis pada banyak
macam tanaman dan bakteri. Buah-buahan dan sayur
merupakan sumber diet utama dari vitamin. Beberapa
bentuk dari asam folat dalam diet sangat labil dan dapat
menjadi rusak pada waktu dimasak. Keperluan minimal tiap
hari secara normal kurang lebih 50 ug, tetapi pada keadaan
tertentu akan meningkat sejalan dengan peningkatan
metabolisme seperti pada kehamilan.
Defisiensi folat merupakan komplikasi yang sering
terjadi pada penyakit usus halus karena penyakit tersebut

dapat mengganggu absorbsi folat dari makanan dan


resirkulasi folat lewat siklus enterohepatik. Pada

megaloblastik.
Penyakit seperli anemia hemolitik dapatpula jadi rumit
oleh komplikasi defisiensi folat yang dapat terjadi. Obatobat yang menghambat dihidrofolat reduktase (antara lain
metotreksat, trimetoprim) atau yang dapat mengganggu

absorbsi dan penyimpanan folat dalam jaringan tubuh


(antikonvul san tertentu, kontraseptif oral) mampu
mengakibatkan penurunan kadar folat dalam plasma, dan
bersamaan waktunya dapat menjadi penyebab anemia
megaloblastik. Hal ini karena adanya gangguan maturasi
yang disebabkan oleh defek inti sel. Jadi gangguan
maturasi yang timbul dalam pertumbuhan sel darah merah
karena defisiensi asam folat atau vitamin B I 2 disebabkan
karena timbulnya defek dari inti sel darah merah yang muda
dalam sumsum tulang.
Folat dalam plasma pertama ditemukan dalam bentuk
dari N5-metiltetrahidrofolat, suatu monoglutamat, yang
ditransport ke dalam sel-sel oleh zat pengangkut yaitu yang
khusus dalam bentuk tetrahidro dari vitamin. Setelah di

dalam sel, gugus N5-metil dilepas ke dalam reaksi


kobalamin yang diperlukan, dan folat kemudian diubah

menjadi bentuk poliglutamat. Konjugasi pada


polyglutamate mungkin berguna untuk penyimpanan folat
di dalam sel.
Ikatan folat dengan protein tampak dalam plasma, susu,

dan cairan tubuh lain. Fungsi ikatan folat dan ikatan


dengan membran perintisnya hingga kini belum diketahui.
Baik bentuk ikatan maupun perintisnya ada kaitannya
dengan pengangkutan tetrahidrofolat.
Fungsi utama senyawa folat ialah memindahkan "1karbon moieties" seperti gugus-gugus metil dan formil ke
berbagai senyawa organik. Sumber dari "1-karbon moi-

eties" biasanya adalah serin, yang bereaksi dengan

tetrahidrofolat menghasilkan glisin dan N5-10metilentetrahidrofolat. Sumber pilihan lain adalah asam
fbrmiminoglutamat, suatu lanjutan dalam katabolisme

histidin, yang menyampaikan gugus formimino


tetrahidrofolat dan asam glutamat. Derivat-derivat tersebut
menyediakan tempat masuk ke dalam kelompok pemberi
dan mudah saling menukar yang terdiri dari derivat-derivat

tetrahidrofolat pembawa macam-macam "1-carbon


moieties".

Unsur-unsur pokok dari kelompok tersebut dapat


memberikan "1-karbon moieties" mereka kepada senyawasenyawa penerima yang sesuai, guna membentuk lanjutan
metabolik dengan tquan akhir mengubah pembentukan
blok-blok yang digunakan untuk sintesis makromolekulmakromolekul. Yang sangat penting dalam pembentukan
blok-blok tersebut adalah:

alkoholisme akut atau kronik, asupan harian folat dalam


makanan akan terhambat, dan siklus enterohepatik akan

Purin-purin,

terganggu oleh efek toksik dari alkohol pada sel sel

Deoksitimidilat monofosfat (dTMP), disintesis dari N5-10


metilentetrahidrofolat dan deoksiuridilat monofosfat
(dUMP);dan

parenkim hati, hal ini yang menjadi penyebab utama dari

defisiensi folat yang menimbulkan eritropoiesis

di mana atom-atomc-z dan C-8 dimasukkan

dalam reaksi ketergantungan pada folat;

Lt43

ANEMIAMEGALOBI.ASTIK

Metionin, yang dibentuk oleh peralihan dari gugus metil

segera berparti sipasi dalam siklus perpindahan 1 -karbon.


Selama produksi dTMP dari dUPM fragmen l-karbon telah
direduksi dari formaldehid ke gugus metil dalam perjalanan

dari N5-metiltetrahidrofolat ke homosistein.


Lebih lanjut dapat dilihat pada gambar metabolisme folat
sebagai berikut

dari reaksi perpindahan, yang tidak sebagai THF, tetapi


sebagai dihidrofolat (DHF). Untuk partisipasi selanj utn y a

(Gambar 1).

ke dalam siklus perpindahan 1-karbon, DHF telah direduksi

menjadi THF. Reaksi

Niro - metil THF

ini dikatalisis oleh dihidrofolat

reduktase.

atau

N5 - tbnnil THF

Vitamin

812

cH2cH2coNH2

CONHTI C!,

H.

cH2CH2GONH2

N
I

Co*

CONH,-

l"r-

NHCOCH2CHi

cH,

bn.

cH.

il

'cH.

t9'.

bHrcHrcoNH,

-?HcH.

Metil THF

Gambar 1. Metabolisme folat

oH-cbr

Folat sangat penting untuk sintesis de rtota purin.


deoksitimidilat monofosfat (dTMP). dan metionin. seba-sai
lanjutan pembawa dari fiagmen-fragmen 1-karbon 1,sng
digunakan untuk biosintesis dari senyawa-senyawa
tersebut. Bentuk aktifnya adalah tetrahidrofolat (THF).

_l

Gambar 3. Fumus kimia vitamin 812


Methylcobalamine, Adenosylcobalamine Coenzyme untuk
methionine synthase dan L - methylmalonyl - CoA mutase.

Derifat aktif atau bentuk kofaktor. Bentuk bentuk


poliglutamat dari tetrahidrofolat dengan unit karbon

Folat
cooH

tambahan.

Fungsi utama sebagai koenzim guna satu pengangkut

CH
I

CH.

l"

CH.

cI

il

r.r
,,-

cooH
I

cH
I

cH.
I

cHz
I

C-OH
ll

Gambar 2. Rumus kimia lolat

THF memperoleh fragmen l-karbon, terutama dari serin,


yang merubah menjadi glisin dalam rangkaian dari reaksi.
Untuk sintesis purin, fragmen 1-karbon pertama dioksidasi
ke tingkat dari asam formik, lalu mengirimkan ke substrat.

Untuk sintesis metionin, keperluan reaksi kobalamin,


fragmen 1-karbon pertama dikurangi sampai tingkat gugus
methyl, lalu dikirimkan ke homosistein. Dalam reaksi ini
kofaktor tertentu dikeluarkan sebagai THF, yang dapat

karbon dalam asam nukleat. dari metabolisme asam amino.


Kobalamin adalah vitamin yang mempunyai susunan
komponen organometalik yang kompleks, di mana atom
cobalt terletak dalam inti cincin, suatu struktur yang mirip
bentuk porfirin dari mana Heme dibentuk. Tidak seperti
heme, namun kobalamin tidak dapat disintesis dalam tubuh
manusia dan harus di penuhi dari makanan. Sumber utama
hanya dari daging dan susu. Keperluan minimum sehari
untuk kobalamin kurang lebih 2,5 ug.
Selama pencernaan dalam lambung, kobalamin dalam
makanan dikeluarkan dalam bentuk-bentuk kompleks yang
stabil dengan pengikat gaster R, salah satu keluarga gugus

yang terdekat dari glikoprotein glikoprotein yang


fungsinya belum diketahui, yang terdapat dalam sekresi
(misalnya, saliva, susu, cairan lambung, empedu), fagosit
dan plasma.

Pada saat memasuki duodenum, ikatan kompleks


kobalamin-R dicerna, dan menghasilkan kobalamin. yang

rt44

HEITiIAIOI-OGI

kemudian terikat pada faktor intrinsik (FI), suatu

cepat dibersihkan dari dar ah (lz sampai

glikoprotein dengan berat 50-kDa yang dihasilkan oleh


sel-sel parietal dari lambung. Sekresi dari faktor intrinsik

pembersihan dari kobalamin yang terikat pada TC I

umumnya sejalan dengan asam lambung. Ikatan kompleks


kobalamin-Fl dapat melawan untuk dicerna oleh proteolitik

dan melintas menuju ke ileum distal, dimana reseptor


reseptor spesifik pada vili mukosa dan menyerap kompleks
kobalamrn-Fl. Jadi FI, seperti halnya ikatan besi transferin,
adalah protein sel pengatur alat pengangkut. Reseptor
pengikat kompleks kobalamin-Fl akan dibawa masuk ke
sel mukosa ileum. di mana FI kemudian dimusnahkan dan
kobalamin dipindahkan ke lain protein pengangkut, yaitu

transkobalamin (TC)

II.

Kompleks kobalamin-Tc

II

kemudian disekresi kedalam sirkulasi, dari situ dengan


cepat dibawa ke hati, sumsum tulang, dan sel lain. Jalur
penyerapan kobalamin dapat disimak pada Gambar 4.

am), sedan gkan

memerlukan waktu berhari hari. Hingga kini fungsi TC I


belum diketahui.
Di dalam sel sel tubuh manusia, kobalamin merupakan
faktor yang esensial bagi dua enzim, yaitu metionin sintase
dan metil malonil-koenzimA(CoA) sintase. Kobalamin ada
dalam duabentuk aktif metabolik, yang dikenal pada gugus
alkil yang terikat pada enam posisi koordinasi dari atom
Cobalt yaitu : metilkobalamin dan adenosilkobalamin (uga

disebut vitamin

Bl2). Sianokobalamin belum diketahui

peran fisiologisnya dan harus diubah ke bentuk biologis


aktif sebelum dapat digunakan oleh jaringan jaringan.
Metilkobalamin adalah bentuk yang diperlukan untuk
metionin sintase, yang bertindak sebagai katalisator dalam
perubahan homosistein ke metionin (Gambar 1). Bila reaksi
tersebut terganggu, maka metabolisme folat menjadi kacau;
dan dalam kekacauan ini yang menjadi latar belakang
kerusakan dalam sintesa DNA dan pada pasien dengan

defisiensi kobalamin timbul adanya bentuk maturasi


megaloblastik.

il

lleum terminal

cbt

Darah

Sel

jaringan

terkonjugasi, meskipun kadar serum folat normal atau

Gambar 4. Jalur penyerapan kobalamin

supranormal. Ini dapat pula menerangkan mengapa dengan

Dalam keadaan normal kurang lebih 2 mg kobalamin


disimpan dalam hati, dan selain itu 2 mg disimpan di jaringan

seluruh tubuh. Dari sudut pandang keperluan harian


minimal, kurang lebih 3 sampai 6 tahun diperlukan untuk

individu normal menjadi kekurangan kobalamin bila

II

pemberian folat besar dapat menghasilkan remisi


hematologik parsial pada pasien dengan defisiensi
kobalamin.

Kadar plasma hemosistein meningkat pada defisiensi


folat dan kobalamin, dan kadar yang tinggi dari homosistein
plasma tampaknya merupakan faktor risiko untuk kejadian
trombosis vena dan arteri. Hingga kini belum diketahui

absorbsi dihentikan secara tiba tiba.

Meskipun TC

Pada dehsiensi kobalamin, maka N5 -metiltetrahidrofolat


yang tak terkonjugasi, yang baru diambil dari aliran darah,
tidak dapat diubah menjadi bentuk lain dari tetrahidrofolat
oleh transfer metil. Ini yang disebut hipotese folat trap.
Karena N5-metiltetrahidrofolat adalah substrat yang tak
baik untuk enzim konjugasi, keadaan ini sebagian besar
tetap dalam bentuk tak terkonjugasi dan dengan pelan
pelan keluar dari sel. Karenanya defisiensi folat dijaringan
akan terjadi, dan ini akan menimbulkan hematoporesis
megaloblastik. Hipotesis ini dapat menerangkan mengapa
simpanan folat jaringan pada defisiensi kobalamin secara
substansial, maka dengan penurunan yang tidak seimbang
dalam konjugasi, bila dibanding dengan folat yang tidak

adalah saatu acceptor g:lrra

bahwa hiperhomosistein yang diakibatkan oleh defisiensi

penyerapan baru dari kobalamin, dimana kebanyakan


kobalamin yang beredar dalam sirkulasi diikat pada TC I,
yaitu suatu glikoprotein yang sangat erat hubungannya
dengan pengikat'R gaster. TC I tampaknya diturunkan
sebagai bagian dari lekosit. Yang berlawanan ialah bahwa
kebanyakan kobalamin yang beredar terikat pada TC I dari

folat atau kobalamin merupakan predisposisi untuk


trombosis atau mengubah respons dari pengobatan.

Adenilkobalamin diperlukan untuk konversi dari


metilmalonil CoA menjadi succinyl CoA. Tidak adanya

pada yang terikat pada TC II; meskipun demikian


pengangkutan awalnya dari semua kobalamin yang
diabsorbsi oleh intestinum, dapat diterangkan dengan

kofaktor ini yang berperan penting dalam peningkatan yang


cukup besar dalam kadar jaringan dari metil malonil CoA
dan pendahulunya, yaitu propionil CoA. Sebagai
konsekuensi, maka asam lemak nonfisiologik yang
mengandung sejumlah atom karbon yang berlebihan akan

II dengan

disintesis dan bergabung menjadi Lipid neuronal.

adanya fakta bahwa ikatan kobalamin pada TC

tl45

AI\EMIA MEGAI.OBIASTTIK

Abnormalitas biokimiawi ini dapat mempunyai sumbangan


akan te{ adinya komplikasi neurologis defisiensi kobalamin.

GANGGUAN KLINIS
Sebagaimana terlera dalam klasilftasi anemia megaloblastik,

kausa dari anemia megaloblastik sangat bervariasi


tergantung dari keadaan wilayah di dunia ini. Di wilayah
dengan udara dingin, defisiensi folat sering terjadi pada
pecandu alkohol, sedangkan defisiensi kobalamin
disebabkan karena anemia pernisiosa atau aklorhidria
merupakan tipe yang sering dari anemia megaloblastik.

Di wilayah tropis, sprue

adil.ah endemik yang


merupakan penyebab penting timbulnya anemia
megaloblastik, sedangkan di Skandinavia, adanya cacing
pita dalam ikan yaitu Difilobotrium latumi, mungkin sebagai

penyebabnya. Tentang infestasi cacing pita di masyarakat


Bali perlu mendapat perhatian.

Defisiensi kobalamin kebanyakan selalu berkaitan


dengan malabsorbsi. Asupan harian kobalamin lebih dari
cukup untuk keperluan tubuh, kecuali pada vegetarian.
Berbeda dengan asupan harian asam folat adalah kecil di
banyak wilayah di dunia. Lebih lanjut, karena simpanan
asam folat dalam tubuh relatifrendah, maka defisiensi asam
folat dapat timbul mendadak selama periode berkurangnya

asupan atau meningkatnya keperluan metabolik. Dan


terakhir, defisiensi asam folat dapat disebabkan oleh
malabsorbsi. Sering pula dua atau lebih faktor yang
berdampingan akan berakibat pada pasien.
Tidakjarang kombinasi defisiensi kobalamin dan asam
folat dapat terjadi. Pada para pasien " tropical sprue "
sering timbul defisiensi kedua vitamin tersebut.

Lesi biokimiawi sebagai akibat dalam maturasi


megaloblastik dari sel sel sumsum tulang juga dapat
mengakibatkan abnormalitas fungsional dan struktural dari

sel sel epitel yang cepat berproliferasi dari mukosa


intestinum. Jadi defisiensi yang berat dari salah satu vitamin dapat mengakibatkan malabsorbsi.
Anemia megaloblastik dapat pula dipengaruhi oleh
faktor faktor yang tak ada kaitannya dengan defisiensi
vitamin. Kebanyakan dari penyebab tersebut dikarenakan
obat obat yang mengganggu sintesis DNA. Meskipun
kurang sering, maturasi megaloblastik dapat merupakan
gambaran defek sel induk hematopoietik yang didapat. Dan
sangatjarang ialah adanya defisiensi enzim spesifik yang

kongenital.

Defisiensi Kobalamin
Gambaran klinis defisiensi kobalamin melibatkan darah,
traktus gastrointestinal, dan sistema nervorum.
Manifestasi hematologis sepenuhnya selalu berakibat

anemia, meskipun sangat jarang purpura, dapat pula


tampak, karenatrombositopeni. Keluhan dari anemia dapat

terungkap seperti rasa lemah, nyeri kepala ringan, vertigo,

tinitus, palpitasi, angina dan keluhan yang berkaitan


dengan kegagalan jantung kongestif. Tanda fisik dari
pasien dengan defisiensi kobalamin yaitu pucat, dengan
kulit sedikit kekuningan begitu juga mata. Peningkatan
kadar bilirubin ada kaitannya dengan tingginya pelipat
gandaan sel sel eritroid dalam sumsum tulang. Nadi
denyutnya cepat, dan jantung mungkin membesar, pada
auskultasi biasanya terdengar bising sistolik.

Manifestasi gastrointestinal karena defisiensi


kobalamin akan ada keluhan nyeri lidah, yang pada
inspeksi tampak papil lidah halus dan kemerahan. Keluhan

lain yaitu anorexia dengan turunnya berat badan,


kemungkinan bersamaan dengan diare dan lain-lain
keluhan gastrointestinal. Manifestasi yang terakhir ini
muogkin merupakan bagian dari megaloblastosis dari epitel
usus halus, yang mengakibatkan malabsorbsi.

Manifestasi gangguan neurologis,

sering

mengakibatkan gagal sepenuhnya dalam upaya


pengobatan. Perubahan patologi yang awal adalah
demielinasi, kemudian diikuti oleh degenerasi aksonal dan

akhirnya kematian neuronal; dan stadium akhir dari


perjalanan penyakit ialah tak dapat pulih. Tempat yang
menderita gangguan termasuk syaraf perifer; medula spinalis, dimana kolumna posterior dan lateral mengalami
demielinasi; dan juga serebrum sendiri. Keluhan dan gejala
termasuk mati rasa dan parestesia pada ekstremitas,
kelemahan dan ataksia. Kemungkinan terjadi gangguan
dari sfingter. Refleks-refleks mungkin hilang atau
meningkat. Tanda Romberg dan Babinsky mungkin dapat

positif dan rasa sikap dan getaran biasanya hilang.


Gangguan mental mulai dari sifat mudah marah yang ringan
dan mudah lupa sampai demensia yang berat atau psikosis

yang sesungguhnya. Hendaklah diingat bahwa penyakit


neurologik dapat pula tampak pada pasien dengan
hematokrit dan indeks sel darah merah yang normal.
Kemungkinan akan banyak keuntungannya dengan
pemberian suplemen folat dalammakanan, yang mungkin
dapat memperbaiki keadaan seperti gejala neurologis
karena defisiensi kobalamin. Gangguan pelepasan
kobalamin dari makanan, kejadiannya belum dapat
diketahui,
Seperti diketahui kobalamin dalam makanan terikat pada
enzim dalam daging dan kemudian dipisahkan dari enzim
tersebut oleh asam hidroklorida dan pepsin dalam lambung.

Umumnya orang orang berusia lebih dari 70 tahun


mengalami aklonidria. Karenanya mereka tak mampu untuk

membebaskan kobalamin dari sumber makanan tapi


memelihara kemampuan absorbsi kristalin B12, suatu
bentuk yang paling sering terdapat dalam multivitamin.
Ternyata hanya sebagian kecil dari orang orang usia lebih
dari'70 tahun yang mengalami defisiensi kobalamin, tapi
banyak yang mengidap perubahan biokimiawi, ini termasuk
kadar yang rendah dari ikatan kobalamin dengan TC II

tt46

HEMAIOI.OGI

dan peningkatan kadar homosistein, yang dapat


meramalkan defisiensi kobalamin
Hal yang serupa yaitu para pasien yang mengalami
berkurangnya produksi asam lambung karena obat-obatan,
seperti omeprazol, dapat juga mengganggu pelepasan
kobalamin dari makanan. Namun, "proton pump inhibrtof'
tidak menghambat sekresi faktor intrinsik dari sel-sel parietal.

Anemia Pernisiosa
Anemia pernisiosa, dianggap yang paling lazim sebagai
penyebab defisiensi kobalamin. Ini disebabkan karena tidak
adanya faktor intrinsik dan adanya atrofi dari mukosa
maupun destruksi autoimun dari sel sel parietal. Untuk orang orang Asia hal tersebut jarang terjadi. Ini merupakan
penyakit untuk manusia usia lanjut, jarang untuk usia di
bawah 30 tahun, meskipun anemia pemisiosa yang khas
dapat terjadi pada anak umur di bawah 10 tahun (Juvenile

pernicious anemia). Adanya kondisi kelainan yang


diwariskan dimana keadaan histologik lambung yang normal dan mengeluarkan faktor intrinsik baik yang abnormal
maupun sama sekali tidak disekresi akan mengakibatkan
defisiensi pada bayi atau anak sangat muda.

Kejadian anemia pernisiosa secara substansial


meningkat pada penyakit penyakit imunologik, termasuk

penyakit Grave, miksedema, tiroiditis, insufisiensi


adenokortikal idiopatik, vitiligo, dan hipoparatiroidisme.
Pasien anemia pernisiosa juga mempunyai antibodi dalam

sirkulasi yang abnormal, yang berkaitan dengan


penyakitnya: yaitu 907o mempunyai antibodi sel
antiparietal, yang langsung melawan H+, K+-AIPase,
sedangkan 60Vo memp]urtyai antibodi antifaktor intrinsik.

Antibodi sel antiparietal juga dijumpai pada 50Vo para


pasien atrofi gaster tanpa anemia pernisiosa, demikian pula

l0

sampai 157o dari populasi pasien yang


tak diseleksi, tetapi antibodi antifaktor intrinsik biasanya
tidak ada pada para pasien tersebut. Sanak keluarga dari
terdapat pada

para pasien anemia pernisiosa terdapat peningkatan


kejadian penyakit, walaupun keluarga yang terkena
kemungkinan juga mempunyai antibodi antifaktor intrinsik
dalam serumnya. Akhirnya pengobatan dengan
kortikosteroid mungkin dapat memperbaiki penyakitnya.
Pada anemia pernisiosa, sel sel T sitotoksis dapatjuga
mempunyai andil dalam destruksi sel sel parietal. Anemia
pernisiosa tidakjarang terdapat pada para pasien dengan
agammaglobinemia. Hal ini menunjang peran pada sistem
imun seluler sebagai patogenesisnya. Dan berbeda dengan
Helicobacter pylori yang tidak mengakibatkan destruksi
sel parietal pada anemia pernisiosa.
Ciri yang sering dijumpai pada anemia pemisiosa adalah

atrofi lambung yang mempengaruhi bagian yang


mensekresi asam dan pepsin dari lambung; terkecuali

antrum. Perubahan patologis lain adalah defisiensi


kobalamin sekunder; ini termasuk perubahan
megaloblastik dalam lambung dan epitel intestinum dan

perubahan neurologik. Abnormalitas epitelium gaster


tampak sebagai cellular atypia dalam preparat sitologik
Iambung, dapatan ini harus dibedakan dengan hati hati
dari abnormalitas yang tampak pada keganasan.

Pasca Gastrektomi
Setelah gastrektomi atau kerusakan mukosa lambung yang

luas karena bahan obat yang merusak, maka akan terjadi


anemia megaloblastik, karena sumber faktor intrinsik telah

dibuang. Pada para pasien yang demikian absorbsi


kobalamin yang diberikan oral akan terganggu. Anemia
megaloblastik dapat pula timbul karena gastrektomi parsial,
yang sebabnya belum jelas.

Organisme !ntestinal
Anemia megaloblastik dapat tampak pada stasis dari lesi
anatomik (striktur, divertikel, anastomosis, blind loops)
atau pseudo obstruksi (diabetes melitus, skleroderma,
amiloid). Anemia disini disebabkan oleh kolonisasi dari
sejumlah besar kumpulan bakteri dalam usus halus yang
mengkonsumsi kobalamin intestinal sebelum diabsorbsi.
Steatorrhea mungkin juga dapat dijumpai dalam keadaan
demikian, karena metabolisme garam empedu terganggu
bila intestinum dihuni lebih banyak oleh kolonisasi bakteri.
Respons hematologis telah diabsorbsi setelah pemberian

antibiotik oral seperti tetrasiklin dan ampisilin. Anemia


megaloblastik dapat dijumpai pada orang-orang pengidap
cacing pita karena adanya kompetisi dari cacing dalam
memakan kobalamin. Dengan membinasakan cacing pita
tersebut maka problema tersebut dapat diatasi.

Abnormalitas lleum
Definisi kobalamin senng dijumpai pada "tropical sprue",
sedangkan hal ini merupakan komplikasi yang diluar
kebiasaan dari "nontropical sprue" (gluten- s ens i tiv e e n teropathy). Sebenarnya tiap gangguan yang bersamaan
dengan kapasitas absorbsi pada ileum distal dapat
menimbulkan defisiensi kobalamin. Keadaan khusus yaitu

termasuk enteritis regional, penyakit Whipple, dan


tuberkulosis. Keterlibatan segmental dari ileum distal oleh
suatu penyakit dapat mengakibatkan anemia megaloblastik
tanpa adanya lain manifestasi dari malabsorbsi intestinal
seperti steatorrhea. Malabsorbsi kobalamin dapat juga
tampak setelah reseksi ileum.
Sindrom Zollinger-Elison (hiperasiditas lambung yang

hebat karena tumor yang mensekresi gastrin) dapat


mengakibatkan malabsorbsi kobalamin oleh pengasaman
usus halus, akan menghambat transfer vitamin dari ikatan
R ke faktor intrinsik dan mengganggu ikatan kobalamin-Fl
komplex ke reseptor ileum. Pankreatitis kronik dapat juga
mengakibatkan malabsorbsi kobalamin, tetapi ini hanya
selalu ringan dan jarang menimbulkan defisiensi kobalamin
secara klinis. Akhirnya, gangguan kongenital yangjarang

ll47

ANEMIA MEGALTOBLAIiTIK

dijumpai, yaitu penyakit Imerslund-Grasbeck, yang


melibatkan suatu defek yang selektif dalam absorbsi
kobalamin yang bersamaan dengan proteinuri. Para
individu yang mempunyai suatu mutasi cubulin, yaitu
suatu reseptor yang menjadi perantara absorbsi intestinal
dari kompleks kobalamin-Fl.

Nitrous Oxide
Menghirup nitrous oxide sebagai obat bius
menghancurkan kobalamin yang endogen. Pemakaian
seperti biasanya dan besarnya pengaruh obat bius tidak
cukup untuk menimbulkan defisiensi kobalamin secara

klinis, tetapi pemakaian berulang atau

yang

berkepanjangan (>6 jam), utamanya pada pasien tua yang


mempunyai simpanan kobalamin pada ambang batas, akan

dapat menyebabkan anemia megaloblastik dan defisit


neurologik akut.

Defisiensi Asam Folat


Penambahan asam folat dalam produk dari biji-bijian dan
padi-padian telah disarankan oleh US Food and Drug
Administration sejak Januari 1 998, maka kejadian defisiensi
asam folat nyata menurun. Para pasien dengan defisiensi
asam folat lebih sering kurang gizi dibanding dengan
defisiensi kobalamin. Manifestasi gastrointestinal adalah
serupa tetapi dapat lebih meluas dan lebih berat dari anemra perxrslosa.

Diare sering ada, dan cheilosis dan glossitis juga


dialami. Namun, berlawanan dengan defisiensi kobalamin,
tidak tampak adanya abnormalitis neurologik.
Manifestasi hematologik dari defisiensi asam folat
adalah sama dengan defisiensi kobalamin. Defisiensi asam
folat secara umum berhubungan dengan satu atau lebih
faktor sepefti: asupan yang tak memadai, keperluan yang
meningkat, atau malabsorbsi.

Kadang kadang pada kehamilan tersebut tak dapat


mendeteksi, sampai defek tersebut telah berkembang; jadi,
ketentuan suplementasi folat pada perempuan setelah
mereka mengetahui hamil, tidaklah efektif. Namun demikian,
suplementasi makanan yang mengandung folat, dapat
mengurangi defek saluran saraf sampai lebih dari 50%.
Defisiensi folat dapat tampak selama masa pertumbuhan
cepat bayi dan remaja. Para pasien dengan hemodialisa
kronik perlu diberi suplementasi folat guna mengganti folat
yang hilang.

Malabsorbsi. Defisiensi folat sering menyertai Tropical


sp

rue, balk gejala gastrointestinal maupun malabsorbsi akan

membaik dengan pemberian asam folat atau dengan


antibiotik oral. Pada pasien dengan nontripocal sprue (ghIen-sensitive enteropathy) dapat pula berkembang secara
nyata timbulnya defisiensi asam folat yang sejalan dengan
parameter dari malabsorbsi. Hal yang serupa, adalah
defisiensi folat pada pecandu alkohol dapat pula karena
kemungkinan dari malabsorbsi. Termasuk pula gangguan
usus halus kadang-kadang bersamaan dengan defisiensi
folat.

Obat- obatan
Selanjutnya masalah defisiensi folat atau kobalamin yang
sering menjadi penyebab anemiamegaloblastik adalah obat

obatan. Bahan obat yang mengakibatkan anemia


megaloblastik, disebabkan karena mengganggu sintesis

DNA, baik secara langsung atau melawan kerja folat. Ini


dapat diklasifikasi sebagai berikut:
Langsung penghambat sintesis DNA, mereka termasuk
analog purin (6-tioguanin, azatioprin, 6-merkaptopurin),
analog pirimidin (5-fluorourasil, sitosin arabinose), dan obat
yang mengganggu sintesis DNA dengan berbagai macam

mekanisme (hidroksiurea, prokarbazin). Obat antivirus


zidovudin (AZT), yang digunakan untuk pengobatan HIV,

Asupan yang tak memadai. Para peminum alkohol akan

sering menimbulkan anemia megaloblastik berat.

dapat mengalami defisiensi asam folat karena sumber utama

Keperluan yang meningkat. Janngan jaringan yang relatif


pembelahan selnya sangat cepat seperti sumsum tulang,

Antagonis folat. yang paling toksik dari golongan ini adalah


metotreksat, suatu penghambat yang kuat pada dihidrofolat
reduktase, yang digunakan untuk pengobatan keganasan
tertentu dan penyakit-penyakit reumatik tertentu. Yang
kurang toksik tetapi mampu untuk menimbulkan anemia
megaloblastik adalah beberapa penghambat dihidrofolat
reduktase yang lemah, yang digunakan untuk pengobatan
berbagai macam kondisi nonmalignan. Obat-obatan
tersebut temasuk pentamidin, trimetoprim, triamteren, dan

mukosa usus, memerlukan cukup besar akan folat.

pmmetamm.

Karenanya, para pasien anemia hemolitik kronik atau


penyebab lain terjadinya eritropoiesis yang aktif akan
mengalami defisiensi. Perempuan hamil mempunyai risiko
tinggi untuk terjadi defisiensi folat karena keperluan yang
rneningkat bersamaan dengan perkembangan janin. Bila
defisiensi timbul pada minggu peftama kehamilan, maka
dapat mengakibatkan defek saluran saraf pada neonatus.

Lain-lain. Sejumlah obat yang melawan folat dari

asupan kalori yang dikonsumsi berasal dari minuman


beralkohol. Alkohol dapat mengganggu metabolisme folat.

Pecandu narkotik juga mudah menjadi defisiensi folat


karena malnutrisi. Banyak individu fakir miskin dan usia
lanjut yang mendapat makanan yang kurang akan menderita
defisiensi folat.

mekanismenya yang sukar dimengerti, akan tetapi dipikirkan


ikut serta dan menyangkut pada absorbsi dari vitamin oleh
intestinum. Dalam kelompok ini adalah " ant i c onv ul s ant s"

fenitoin, primidon, dan fenobarbital. Anemia megaloblastik


yang disebabkan oleh obat obat tersebut adalah ringan.

1148

HEMIIiTOI.OGI

Mekanisme Lain

perlu dipikirkan akan adanya anemia megaloblastik.

Sebab herediter. Anemia megaloblastik dapat tampak pada

Penyebab lain makrositosis termasuk hemolisis, penyakit


hati, alkoholisme, hipotiroidisme, dan anemia aplastik. Bila
makrositosis nyata yaitu MCV lebih dari 1 10 fl, maka pasien
tersebut lebih condong pengidap anemia megaloblastik.
Makrositosis jarang tampak bersamaan dengan defisiensi
besi atau thalassemia. Indeks retikulosit yang rendah, dan
jumlah leukosit maupun trombosit mungkin pula menurun,

beberapa penyakit herediter. "Orotic acidurict" suatt


defisiensi orotidilik dekarboksilase dan foslbrilase, karena
defek dalam metabolisme pirimidin dan dengan ciri adanya

perlumbuhan yang terlambat dan perkembangan maupun


dari ekskresi sejumlah besar dari asarn orotik. Malabsorbsi
folat yang kongenital penyebab anemia megaloblastik,
bersamaan dengan ataksia dan retardasi mental.
Anemia megaloblastik yang responsif dengan tiamin
yang disertai dengan ketulian saraf dan diabetes melitus

pernah dilaporkan pada beberapa anak. Perubahan


megaloblastik yang disertai berinti banyak dari pendahulu
sel darah merah dapat dilihat dalam sumsum dari para

pasien tertentu dengan anemia dyserythropoietik


kongenital, suatu golongan gangguan/penyakit yang
diwariskan dengan ciri anemia ringan sampai sedang dan
perjalanannya tidak ganas.
Defisiensi TC II, seperti abnormalitas yang diwariskan
pada absorbsi kobalamin sebagai penyebab defisiensi
yang mencolok dari kobalamin pada bayi atau awal masa
kanak kanak. Anemia megaloblastik tak dijumpai pada
defisiensi TC I yang diwariskan.

ANEMIA MEGALOBLASTIK YANG REFRAKTER


Eritropoiesis megaloblastik kadang kadang dapat tampak
pada mielodisplasia. Perubahan megaloblastik terbatas

pada seri sel darah merah. Mielodisplasia sering


menghasilkan perbedaan gambaran morfologik yang lebih

jelas pada normoblas ortokromatik dimana inti


megaloblastik berhubungan dengan sitoplasma yang
sangat hipokromik. Varian ini disebut " megaloblastoid"
yang merujuk pada defek maturasi inti dan sitoplasma.
" Me galoblastoid " tidakberurti " me galoblastoid ringan" .
Sepefii halnya bentuk lain dari mielodisplasia, anemia
megaloblastik refrakter ada hubungannya dengan

terutama pada para pasien dengan anemia berat. Dari


gambaran darah perifer, tampak dengan nyata adanya
anisositosis dan poikilositosis, bersamaan dengan
makroovalositosis, yaitu sel darah merah dengan
hemoglobinisasi penuh merupakan ciri dari anemia
megaloblastik. Dapat dijumpai pula adanya beberapa bintik
basofilik, dan kadang kadang ditemukan sel darah merah
yang berinti. Pada seri leukosit, yaitu adanya netrofil yang
tampak adanya inti dengan segmen lebih dari 5 atau 6 dan
dikenal dengan istilah hipersegmen. Temuan ini merupakan
ciri khas, maka hendaknya meningkatkan dugaan kearah
anemia megaloblastik. Myelosit yang jarang mungkin pula
tampak. Juga dapat pula ditemukan bentuk trombosit yang
aneh. Dari pemeriksaan sumsum tulang ditemukan adanya
hiperselular dengan penurunan rasio mieloid/eritroid dan
berlimpah besi yang tercat.
Perintis/pendahulu sel darah merah tampak adanya sel
yang besar abnormal dan mempunyai inti yang tampaknya
kebanyakan kurang matur, hal ini perlu diperkirakan dari

perkembangan sitoplasma (nuclear-cytoplasmic


asynchrony). Kromatin inti lebih tersebar dari yang diduga,
dan ia memadat dalam gambaran yang sangat khas sebagai

ciri dari eritropoiesis megaloblastik. Mitosis abnormal


dapat tampak. Perintis granulosit juga dirusak, tampak
banyak yang menjadi besar dan yang normal, termasuk

band yang sangat besar dan metamielosit. Jumlah


megakariosit menurun dan tampak morfologi yang
abnormal.

Diagnosis

Ciri anemia megaloblastik adalah eritropoiesis yang tak


efektif. Pada pasien dengan megaloblatik berat, sebanyak
90% perintis sel darah merah mungkin dihancurkan dan
mereka diedarkan dalam aliran darah, dibanding dengan
707o sampai l5%o pada individu normal. Meningkatnya
penghancuran eritroblas dalam medula sumsum tulang
akan berakibat peningkatan bilirubin yang tak terkonjugasi
dan asam laktat dehidrogenase (isoenzim 1) dalam plasma.

Guna menegakkan diagnosis anemia megaloblastik, perlu

. Guna

menelusuri baik pemeriksaan fisis maupun pemeriksaan


laboratoris darah juga sumsum tulang. Pemeriksaan
laboratorium darah meliputi hemoglobin, hematokrit,

megaloblastik, sangat penting untuk menentukan apakah


ada defisiensi vitamin yang spesifik dengan mengukur
kadar serum kobalamin dan folat. Nilai kobalamin normal
dalam serum adalah antara 300 sampai 900 pg/ml; nilai
kurang dari 200 mg/ml menunjukkan adanya defisiensi
yang nyata secara klinis. Tampaknya ini berbeda dengan
kriteria WHO seperti yang tertera di depan. Pengukuran
dari kobalamin yang terikat pada TC II, sebenarnya lebih

peningkatan kej adian leukemia akut.

Perubahan megaloblastik tampak pada mielosis


eritremik dan eritrolekemia akut, di mana pendahulu sel
darah merah nyata terlibat.

retikulosit, leukosit, trombosit, hitung jenis, laju endap

Bl2, serumfolat, folateritrosit, MCV


dan lain-lain tes khusus yang sesuai. Pemeriksaan film/
hapusan darah perifer perlu diperhatikan bentuk bentuk
sel sel darah merah, leukosit, dan trombosit. Didapatkan
secara nyata makrositosis yaitu MCV lebih dari 100 fl maka
darah, serumvitamin

mengevaluasi pasien dengan anemia

fisiologik guna pengukuran status kobalamin, tapi

tt49

ANEMIA MEGAIOBI-I{SiTIK

pengukuran kadar dengan cara tersebut belum dapat


dilakukan secara rutin saat ini. Kadar serum normal dari
asam folat berkisar antara 5 sampai 20 nglml; nilai sama

subyek guna melihat fluktuasi jangka pendek dari asupan


folat dan hal ini lebih dari serum folat sebagai indeks dari
simpanan folat.
Saat defisiensi kobalamin telah dipikirkan, maka
patogenesisnya dapat dilacak dengan menggunakan tes

syndrome") atau penyakit ileum (termasuk defek absorbsi


ileum sekunder karena defisiensi kobalamin itu sendiri).
Malabsorbsi kobalamin karena kelebihan pertumbuhan
bakteri sering dapat dikoreksi dengan pemberian antibiotik.
Tes Schilling dapat menetapkan informasi yang cukup
dipercaya setelah pasien mendapat terapi yang memadai
dengan kobalamin parenteral.
Tes Schiiling yang normal pada pasien yang telah
dibuktikan dengan defisiensi kobalamin, akan memberi
petunjuk adanya absorbsi yang jelek dari vitamin bila
dicampur dengan makanan. Ini dapat ditegakkan dengan
mengulang tes Schilling dengan kobalamin radioal<tif yang
diaduk dengan telur.
Kadar serum dari asam metilmalonat dan homosisteiu

Schilling. Pasien diberi kobalamin radioaktif oral, dan segera

juga berguna untuk diagnosis anemia megaloblastik.

diikuti setelah itu dengan penyuntikan intramuskular

Keduanya meningkat pada defisiensi kobalamin, namun


peningkatan homosistein, tapi bukan asam metil malonik
dapat terjadi pada defisiensi folat. Tes-tes tersebut
mengukur simpanan vitamin dalam jaringan dan dapat
rnenunjukkan suatu defisiensi meskipun bila pemeriksaan
yang sederhana, tapi kurang dipercaya pada kadar lblat
dan kobalamin yang didapatkan dan hasilnya pada ambang
batas atau dalam batas normal. Pala pasien terutama nsia
lanjut, tanpa anemia dan dengan kadar serum kobalamin
normal, tetapi terdapat peninggian kadar serum asam metil

atau di bawah 4 ng/ml secara umum dipertimbangkan

untuk

diagnostik dari defisiensi folat. Tidak seperti serum


kobalamin, kadar serum folat dapat menggambarkan
adanya perubahan baru pada asupan makanan.
Pengukuran kadar folat dalam sel darah merah sangat
berguna untuk mendapat informasi, tetapi ini bukannya

kobalamin tanpa dilabel.

Proporsi radioaktivitas yallg diberikan akan


dikeluarkan dalam urin selama 24 jam berikutnya, hal ini
akan menetapkan suatu ketelitian ukuran dari absor-bsi
kobalamin dan dianggap bahwa sampel urin yang
menyeluruh telah dikumpulkan. Karena defisiensi
kobalamin hampir selalu karena malabsorbsi, tingkat
pertama dari tes Schilling harus abnormal (misal didapat
sejumlah kecil radioaktivitas dalam urin). Kemudian pasien
diberi kobalamin terikat pada faktor intrinsik yang dilabel.
Absorbsi dari vitamin akan mencapai normal pada pasien
yang menderita anemia pernisiosa atau beberapa tipe lain
dari deiisiensi faktor intrinsik. Bila absorbsi kobalamin

masih tetap rendah, maka pasien mungkin terdapat


pertumbuhan berlebihan dari bakteri ("blind loop

rnalonat dapat mengakibatkan abnormalitas neuropsikiatrik.


Pengobatan para pasien defisiensi kobalamin yang tak

kentara biasan),& akan mencegah kemerosotan lebih lanjtrt


dan rnungkin berhasil memperbaiki kesehatan pasien.
Alurpikir guna menetapkan anemia rxegaloblastik dapat
disimak pada Gambar 5.

Hitung Sel Darah, Jumlah Retikulosil

Mor{ologi
SDM

Hemolisis/
Hemorrhagia

Normositik
Normokromik

Mikro atau
Makrositik

ipoproliferatif

Gangguan
maturasi

Kehilangan darah
Hemolisis intravaskular
Defek metabolik
Abnormalitas membran
Hemoglobinopati
Defek autoimun
Hemolisis fragmentasi

Defek sitoplasma
- Defisiensi Fe
- Talasemia
- Anemia side
- Roblastik
Defek inti
- Defisiensi folate
- Defisiensi vitamin B12
- Keracunan obat
- Anemia refrakter

Gambar 5. Alur plkir menetapkan anemia megaloblastik

1150

Pengobatan

HEMAIIOI.OGI

Setelah diagnosis defisiensi kobalamin ditegakkan maka

Folat, terutama dalam dosis besar, dapat mengoreksi


anemia megaloblastik karena defisiensi kobalamin tanpa

perlu memberikan terapi spesifik berkaitan dengan

mengubah abnormalitas neurologik. Manifestasi

penyakit dasar yang melatar belakangi, misalnya adanya


pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam intestinum
perlu diberi antibiotik, sedangkan terapi utama untuk
defisiensi kobalamin adalah terapi pengganti. Sebab defek
yang ada, biasanya selalu malabsorbsi, maka para pasien
diberi pengobatan parenteral, terutama dalam bentuk
suntikan kobalamin intramuskular.
Awal pemberian terapi parenteral dengan kobalamin
1000 ug i.m, tiap minggu sampai 8 minggu, kemudian
dilanjutkan suntikan i.m kobalamin 1000 ug tiap bulan dari
sisa hidup pasien. Defisiensi kobalamin dapat dikelola
secara efektif dengan pemberian terapi oral dengan kristalin
B 12 sejumlah 2 mg per hari; namun ketidak patuhan lebih
besar pada terapi oral dibanding terapi i.m.
Respons terapi adalah memuaskan. Segera setelah
terapi dimulai, dan beberapa hari sebelum respons
hematologis tampak nyata dalam darah perifer. pasien

neurologik mungkin tetap tidak menjadi buruk oleh terapi


folat. Defisiensi folat, akan terselubung pada pasien yang

merasakan kekuatan meningkat dan ada perbaikan


kesehatannya. Morfologi sumsum tulang mulai kembali ke
keadaan normal dalam waktu beberapajam setelah terapi
dimulai. Retikulositosis mulai pada hari ke-4 sampai hari
ke-5 setelah terapi dimulai dan mencapai puncak kurang
lebih 7 hari, dan remisi berikutnya dari anemia setelah
beberapa minggu. Bila retikulositosis tidak tampak, atau

makan folat dosis tinggi. Dalam hal yang demikian, respons

hematologis folat jangan digunakan sebagai tolok ukur


untuk keberhasilan pasien dengan defisiensi kobalamin;
dan defisiensi kobalamin hanya dapat disingkirkan dengan
evaluasi laboratorium yang memadai.
Pada pasien usia lanjut kejadian defek absorbsi

kobalamin ringan frekuensinya tinggi, dan mungkin


risikonya meningkat. Defisiensi kobalamin yang berat akan
memberi gejala neurologis dari pada gejala hematologis,

dan beberapa ahli menyarankan pemberian kristalin


kobalamin oral dengan dosis 0,1 mg per hari guna
profilaksis pada usia di atas 65 tahun.

DEFISIENSIFOLAT
Seperti defisiensi kobalamin, defisiensi folat perlu diobati
dengan terapi pengganti. Dosis yang lazim diberikan adalah
1 mg per hari per oral, namun dosis tinggi sampai 5 mg per

hari mungkin diperlukan pada defisiensi folat yang


disebabkan karena malabsorb si. Pemberian folat parenteral

bila kurang cepat dari yang diharapkan dari kadar

jarang diperlukan. Respons hematologis sama dengan


yang dapat dijumpai setelah terapi pengganti pada

hematokrit, maka perlu dicari kemungkinan faktor lain yang


mengakibatkan anemia (a.1. infeksi, bersamaan dengan
defisiensi besi atau folat, atau hipotiroidisme). Hipokalemia
dan retensi garam dapat tampak lebih awal dalam perjalanan
terapi. Trombositosis mungkin ditemukan.
Pada kebanyakan kasus, terapi pengganti adalah semua
yang diperlukan guna pengobatan defisiensi kobalamin.
Kadang kadang pasien menunjukkan anemia yang berat
disertai pula gangguan yang membahayakan keadaan
kardiovaskular yang gawat maka diperlukan transfusi. Ini

defisiensi kobalamin, misalnya terjadinya retikulositosis


yang nyata setelah kurang lebih 4 hari, kemudian diikuti
dengan terkoreksinya anemia setelah 1 sampai 2 bulan
kemudian. Lama terapi tergantung pada keadaan dasar
defisiensi.
Para pasien dengan keperluan yang terus menerus
meningkat seperti pada pasien anemia hemolitik atau
mereka yang dengan malabsorbsi atau malnutrisi kronik,
hendaknya terus menerus didorong guna memelihara dan
mengajarkan diet yang optimal dengan kecukupan folat.

perlu dilakukan dengan hati hati, sebab pasien yang


demikian dapat berkembang menjadi gagal jantung karena
adanya kelebihan cairan.
Darah harus diberikan pelan pelan dalam bentuk PRC

(Packed Red Blood Cell,s), dan harus selalu dalam


pengawasan. Volume PRC yang diberikan sedikit demi
sedikit akan cukup guna menghindari masalah gagal
kardiovaskular akut.
Dengan pengobatan jangka lama selama hidupnya, para

pasien akan mengalami tidak berlanjutnya manifestasi


defisiensi kobalamin, namun gejala neurologiknya tidak
sepenuhnya dapat dikoreksi meskipun dengan terapi yang
optimal. Pada pasien anemia pernisiosa perlu dengan
cemat diawasi dan selalu diikuti perkembangannya karena
adanya potensi untuk berkembang menjadi karsinoma
lambung.

Penyebab Lain Anemia Megaloblastik


Anemia megaloblastik karena obat obatan dapat diobati,

bila mungkin, dengan mengurangi dosis obat

atau

menyingkirkan. Efek antagonis folat yang menghambat


dihidrofolat reduktase dapat dilawan oleh asam folinik (5formil tetrahidrofolat (THF) dalam dosis 100 sampai 200
mg per hari, yang akan menghambat metabolisme folat
dengan cara menyediakan suatu bentuk folat yang dapat
diubah menjadi 5,10 - methylene THF. Untuk bentuk
megaloblastik dari anemia sideroblastik, pemberian
piridoksin dengan dosis sampai 300 mg per hari dapat
dicoba, karena ada anemia sideroblastik yang tidak respons
dengan piridoksin. Anemia megaloblastik yang refrakter
perlu dipikirkan terapi suportif.

1151

ANEMIAMEGALOBI^ASTIK

KESIMPULAN

REFERENS!

Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan


oleh defek sintesis DNA dalam sel-sel terutama dari
hematopoietik. Klasifikasi anemia megaloblastik dapat
dikelompokkan dalam: defisiensi kobalamin, defisiensi
asam folat dan sebab sebab lain.

Adamson JW, Longo DL. Anemia and polycythemia. Harrison's


principles of internal medicine. l6th edition. Volume 1 New
York: McGraw -Hill; 2005.p. 329-36.
Babior BM, Bunn HF. Megaloblastic anemias. Harrison's principles
of intemal medicine. 16'h edition. Volume 1 New York: McGrawHill; 2005. p. 601-7.

Asam folat dan vitamin B12 adalah zat yang


berhubungan dengan unsur makanan yang sangat
diperlukan bagi tubuh. Peran utama dari asam folat dan
vitamin B 12 ialah dalam metabolisme intraselular. Bila kedua
zat tersebut mengalami defisiensi, akan menghasilkan tidak
sempumanya sintesis DNA. Hematopoiesis sangat sensitif
pada defisiensi vitamin tersebut, dan gejala awal ialah
anemia megaloblastik.

Untuk membuat diagnosis perlu diperhatikan gejala


klinis dan laboratoris. Terapi ditujukan untuk penggantian
atau menghilangkan defisiensi tersebut.

Hillman RS. Hematopoietic agent Growth factors, minerals and


vitamins III, vitamin B12, folic acid, and the treatment of
megaloblastic anemias. In: Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Theurapeutic, editors 10'h edition International edition. New York: Mc Graw-Hil1; 2001. p. i503-14.
Lipschitz DA Anemia in the elderly. Principle of geriatric medicine
and gerontology. 2"d edition. New York: Mc Grawth-Hill, Inc;
2000. p. 662-8.
Russel RM. Vitamin and trace mineral defisiensi and excess. Harrison's

principtes of internal medicine. 16th edition. Volume 1. New


York: McGraw-Hil1; 2005. p. 403-11.
Soenarto. Permasalahan pengelolaan anemia. Kedaruratan medik

II

2001. Pertemuan Ilmiah Tahunan ke V Perhimpunan Dokter


Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Semarang. Semarang:

Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2001.

p. 48-67.

t82
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN
Elias Parjono, Kartika Widayati Taroeno-Hariadi

mempu berikatan secara kovalen dengan partikel yang


mengaktifkan komplemen (sel duah merah berlabel
antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g, dan
C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran
sel darah merah dan merupakan produk flnal aktivasi
C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b
menjadi C4b2b3b (C5 converlase).C5 convertase akan
memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang

DEFINISI
Anemia hemolitik imun (autoimmune hemolytic otrctnid =

AIHA/AHA) merupakan

suatu kelainan di mana terdapat

antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit


memendek.

berperan dalam kompleks penghancur membran.


Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul
C5b,C6,C7,C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini
akan menyisip ke dalam membratt sel sebagai suatu

PATOFISIOLOGI
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini

terjadi melalui aktivasi sistem komplemen, aktifasi

aluran transmembran sehingga permeabilitas tnembran


normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam
sel sehingga sel membengkak dan ruptur.

mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.


1.

aktifasi sistem komplemen. Secarakeseluruhan aktifasi

sistem komplemen akan menyebabkan hancumya membran


sel eritrosit dan terj adilah hemolisis intravaskuler.yang
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuri.

altematif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi


akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor

Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik

B kemudian melekat pada C3b, dan oleh D faktor B

ataupun j alur alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki


kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah lgM, IgGl,

dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb
selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a
dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb
dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b berperan
dalam penghancuran membran.

IgG2,IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin,


sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida
padaperrnukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu

tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena


bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu

tubuh.

aktifasi komplemen

jalur klasik.

Reaksi diawali

aktifasi komplemen jalur alternatif. Aktifator jalur

2. Aktifasi selular yang menyebabkan hemolisis


ekstravaskular. Jika sel darah disensitasi dengan IgG

Cl suatu protein yang dikenal sebagai


recognition unit. Cl akan berikatan dengan kompleks
imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu
jalur klasik. Fragmen
, mengkatalisis reaksi-reaksi pada
Cl akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu
kompleks C4b,2b (dkenal sebagai C3-convertase).

yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan


dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktifasi
komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut
akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses
immune adherence ini sangat penting bagi perusakan sel

C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b deur C3a.

terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan


fagositosis.

dengan aktivasi

C3b mengalami perubahan konformational sehingga

eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence,

tt52

1153

AI\EMIA HEMOLTTIK AUTOIMUN

ll

Anemia Hemolitik Auto lmun (AIHA)


A. AIHA tipe hangat
f . idiopatik
2. sekunder (karena cll, limfoma, SLE)
B. AIHA tipe dingin
1 idiopatik
2 sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis,
virus, keganasan limforetikuler)
C Paroxysmal Cold hemoglobinuri
1 idiopatik
2 sekunder (viral, dan sifilis)
D AIHA Atipik
'1 AIHA tes antiglobulin negatif
2 AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin
AIHA diinduksi obat

lll. AIHA diinduksi aloantibodi

A.

Reaksi Hemolitik Transfusi


Penyakit Hemolitik pada Bayi Baru Lahir

KLASIFIKASI
Anemia Hemolitik Imun dapat diklasilikasikan sebagai
berikut: (Tabel 1)

DIAGNOSIS
Gambar 1. Aktifasi komplemen pada AIHA

Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi


pada eritrosit
ETIOLOGI

DirectAntiglobulin Test (direct Coomb's /esl): sel eritrosit


pasien dicuci dari protein-protein yang melekat dan

Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas,


kemungkinan terjadi karena gangguan central tolerance,
dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif

direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal


terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplomen,
terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat

residual.

salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi
aglutinasi.

-t

Arrti-iri'r
&Sgl

Gambar 2. Skema Direct Antiglobulin Tesl

uti netrinn

Its4

HEMATOI,OGI

B h0ei

crit

IqB

nr5
14B

ls
l,]G

*+

'}i

lrum

Petient Serurn

&n{.i

-sr*

Bfu

A*lqluti;catlrr

Gambar 3. lndirect Antiglobulin Test

Indirect antiglobulin test (indirect Coomb's /esl.).' untuk


mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum.
Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen.

(Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes coombs direk

positip lemah, tes coomb indireknegatip). Nilai normal


dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-

90. Bila ada tanda respons terhadap steroid, dosis

Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada


sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin
sera dengan terjadinya aglutinasi.

diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20

mgihari. Terapi steroid dosis < 30mg/hari dapat


diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan

Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat


Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana
autoantibodi bereaksi secara optimal pada suhu 370C.
Kurang leblh 507o pasien AIHA tipe hangat disertai

penyakit lain.
1. Gejala dan tanda: Onset penyakit tersamar, gejala
anemia terjadi perlahanJahan, ikterik, dan demam. Pada

beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit


mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat.
Urin berwama gelap karena te{adi hemoglobinuri. Ikterik

terjadi pada 4070 pasien. Pada AIHA idiopatik

untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama.

splenomegali terjadi pada 50-607o, hepatomegali terjadi


pada307o, dan limfadenopati terjadi pada25Vo pasien.
Hanya25Vo pasien tidak disertai pembesaran organ dan

2.

3.

Remrsi komplit pasca splenektomi mencapai 50-l5Vc,


namun tidak bersifat pernanen. Glukokortikoid dosis
rendah masih sering digunakan setelah splenektomi.
Imunosupresi. Azathioprin 50-200 mg/hari (80 mg/m2),
siklofosfamrd 50- I 50 mgftari (60 melt::,2)

limfonodi.
Laboratorium: Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7

g/dl Pemeriksaan Coomb direk biasanya positip


Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam
serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit.
Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi
dengan semua sel eritrosit normal. Autoantiodi tipe
hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel
eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh.
Prognosis dan survival. Hanya sebagian kecil pasien
mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar
memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik,

namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 707o.


Anemia, DVT, emboli pulmo, infark lien, dan kejadian
kardiovaskuler lain bisa terjadi selama periode penyakit
aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar l5-25Vo.
Prognosis pada AIHA sekunder tergantung penyakit
yang mendasari.

4. Terapi:
a. Kortikosteroid

: 1-1.5 mg/kgBB/irari. Dalam 2 minggu


sebagian besar akan menunjukkan respon klinis baik

memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah,


namun bila dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk
mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera
dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.
Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak
bisa dilakukan tapering dosis selama 3 bulan, maka perlu
dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan
menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah
merah. Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah
splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit
terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar

Terapi lain:

Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai


bersama-sama steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid

diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol


diturunkan menjadi 200-400 mg.hari. Kombinasi Danazol
dan prednison memberikan hasil yang bagus sebagai
terapi inisial dan memberikan respon pada 80% kasus.
'Efek danazol berkurang bila diberikan pada kasus relaps
atau Evan's Syndrome
Terapi immunoglobulin intravena (400 mglkgBB per hari
selama 5 hari) menunjukkan perbaikan pada beberapa

pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif


pada beberapa pasien lain. Menurut Flores respon
hanya 4)VoJadi terapi ini diberikan bersama terapi lain
dan responsnya bersifat sementara.
Mycophenolate mofetil500 mg perhari sampai 1000 mg
per hari dilaporkan memberikan hasil yang bagus pada

AIHArefrakter.

1155

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN

Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan


memperlihatkan respon yang cukup menggembirakan
sebagai salvage therapylT. Dosis Rituximab 100 mg per
minggu selama 4 minggu tanpa memperhitungkan luas

berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali37


C, terjadilah lisis karena propagasi pada protein-protein
komplemen yang lain.
a. gambaran klinis;AIHA (2-57o), hemolisis paroksismal

disertai menggigil, panas, mialgia, sakit kepala,


hemoglobinuri berlangsung beberapa jam. Sering

permukaan tubuh.
Terapi plasmafaresis masih kontroversial.

e. Terapi transfusi: terapi transfusi bukan merupakan


kontraindikasi mutlak. Pada kondisi yang mengancam
jiwa (misal Hb g 3 g/dl) transfusi dapat diberikan, sambil
menunggu steroid dan immunoglobulin untuk berefek.

disertai uflikaria

b. laboratorium: hemoglobinuria,

Landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah.

c.
ANEMIA HEMOLITIK IMUN TIPE DINGTN

sferositosis,

eritrofagositos. Coombs positif, antibodi DonathPrognosis dan survival: pengobatan penyakit yang
mendasari akan memperbaiki prognosis. Prognosis pada
kasus-kasus idiopatik pada umumnya juga baik dengan

survival yang panjang.


Terjadinya hemolisis diperantarai antibodi dingin yaitu

aglutinin dingin dan antibodi Donath-Landstainer.

d. Terapi : menghindari faktor pencetus. glukokottikoid

dan

splenektomi tidak ada manfaatnya.

Kelainan ini secara karakteristik memiliki aglutinin dingin


IgM monoklonal. Spesifisitas aglutinin dingin adalah

terhadap antigen

I/i.

Sebagian besar IgM yang punya


memiliki yH4-34. Pada ummnya

ANEMIA HEMOLITIK IMUN DIINDUKSI OBAT

spesifl sitas terhadap anti-I

aglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat


rendah, dan titer ini akan meningkat pesat pada fase
penyembuhan infeksi. Antigen I/i bertugas sebagai

Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis


karena obat yaitu: hapten/penyerapan obat yang
melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan

reseptor mycoplasma yang akan meyebabkan perubahan

kompleks ternary(mekanisme kompleks imun tipe

presentasi antigen dan menyebabkan produksi


autoantibodi. Pada limfoma sel B, aglutinin dingin ini
dihasilkan oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan

innocent bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi


terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serla oksidasi
hemoglobin. Penyerapan/adsorpsi protein nonimunologis
terkait obat akan menyebabkan tes Coomb positip tanpa
kerusakan eritrosit.
Pada mekanisme hapten/adsorpsi obat, obat akan

berikatan dengan sel darah merah dan terjadi lisis langsung

dan fagositosis.

a.

gambaran klinik; sering terjadi aglutinisasi pada suhu


dingin. Hemolisi berjalan kronik. Anemia biasanya

dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan

akrosianosis, dan splenomegali

eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut


akan dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari

b. laboratorium: anemia ringan,

sferositosis,

polikromatosia, tes Coombs positif, anti-I, anti-I, anti -

c.
d.

melapisi eritrosit.dengan kuatAntibodi terhadap obat akan

ringan dengan Hb: 9-12 g/dl. Sering didapatkan

Pr, anti- M, atau anti-P.


Prognosis dan survival. Pasien dengan sindromkronik
akan memiliki survival yang baik dan cukup stabil
Terapi: menghindarai udara dingin yang dapat memicu

hemolisis
Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu
Chl orambucil 2- 4 mglhai
Plasmafaresis untuk mengurangi antibodi IgM secara
teoritis bisa mengurangi emolisis, namun secara praktik
hal ini sukar dilakukan.

eritrosit hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung


eritrosit berlapis obat yang sama (misal penisilin).
Mekanisme pembentukan kompleks temary mellbatkwr
obat atau metabolit obat, tempat ikatan obat permukaan
sel target, antibodi, dan aktifasi komplemen. Antibodi
melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan
eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan
antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat
ataupun membran eritrosit. Beberapa antibodi tersebut
memiliki spesifisitas terhadap antigen golongan darah
terlentu seperti Rh, Kell, Kidd, atau Vi. Pemeriksaan Coomb

biasanya positif. Setelah aktifasi komplemen terjadi

hemolisis intravaskuler, hemoglobinemia

dan

PAROXYSMAL COLD HEMOGLOBINUBI

hemoglobinuri. Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat


obat kinin, kuinidin, sulfonamide, sulfonylurea, dar,

Ini adalah bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai,

thiazide.
Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi
terhadap eritrosit autolog, seperti contoh methyldopa.
Methyldopa yang bersirkulasi dalam plasma akan
menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh

hemolisis terjadi secara masif dan berulang setelah terpapar


suhu dingin. Dahulu penyakit ini sering ditemukan, karena
berkaitan dengan penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrim
autoandibodi Donath-Landsteiner dan protein komplemen

1156

HEMI$IOI.OGI

pada permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada


pennukaan sel darah merah adalah autoantibodi, obat tidak

REFERENSI

melekat. Mekanisme bagaimana induksi formasi

Thomas

autoantibodi ini tidak diketahui.


Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh
karenahemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami

oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidatif.


Eritrosit yang tua makin mudah mengalami traumaoksidatif.
Tanda hemolisis karena proses oksidasi adalah dengan
ditemukannya methemeglobin, sulflremoglobin, dan H e inz
bodies, blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh
obat yang menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah
nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid.
Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya

tes Coomb positip karena adsorpsi nonimunologis,


immunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen dan
plasma protein lain pada membran eritrosit.

a.

Gambaran klinis: riwayat pemakaian obat tertentu


positip. Pasien yang trmbulhemolisis melalui mekanisme

hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi


sebagai hemolisi ringan sampai sedang. Bila kompleks
ternary yang berperan maka hemolis akan terj adi secara

berat, mendhdak dan disertai gagal ginjal. Bila pasien


sudah pemah terpapar obat tersebut, maka hemolisis
sudah dapat terjadi pada pemaparan dengan dosis

tunggal.

b.

Laboratorium: anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes

Coomb positip. Lekopenia, trombositopenia.

c.

hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada


hemolisis yang diperantarai kompleks te rnat).
Terapi: Dengan menghentikan pemakaian obat yang

menjadi pemicu, hemolisis dapat dikurangi.


Kortikosteroid dan transfusi darah dapat diberikan pada
kondisi berat.

ANEMIA HEMOLITIK ALOIMUN KARENA


TRANSFUSI

Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi


transfusi

akut yang

disebabkan karena ketidaksesuaian

ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC golongan A


pada penderita golongan darah O yang memiliki antibodi
IgM anti -A pada serum) yang akan memicu aktifasi
komplemen dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan
menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit

pasien akan sesak napas, demam,nyeri pinggang,


menggigil, mual, muntah, dan syok. Reaksi transfusi tipe
lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi, biasanya
disebabkan karena adanya antibodi dalam kadar rendah
terhadap antigen minor ertrosit. Setelah terpapar dengan

sel-sel antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat


kadarnya dan menyebabkan hemolisis ekstravaskular.

AT Autoimmune Hemolytic Anemia. In Lee GR, Foerster


J, Lukens J eds. Wintrobe's Clinical Hematology. l0'h ed.
Williams&Wikins, Baltimore. 1999:1233-1255
Petz LD, Allen DW, Kaplan ME. Hemolytic Anemia: Congenital
and Aquired rnMazza JJ ed. Manual of Clinical Hematology

2"d

ed. Little, Brown and Co, Boston, 1995 :87-114


Rosse WF, Schrier SL. Pathogenesis of Autoimmune Hemolytic
Anemia: cold agglutinin disease.Uptodate 2004 (I2) 2
Rosse WF, Schrier SL Clinical Features and Treatment of Autoimmune Hemolytic anemia: warm agglutinin.Uptodate 2004 (12)
2

of Autolmmune Hemolytic
anemia: warm agglutinin and Drugs.Uptodale 2004 (.12) 2
Janeway C, Travers P, Walport M Sclomchik M. Immunobiology:
the immune system in health and disease.5'h ed. Churcil
Rosse WF, Schrier SL. Pathogenesis

Livingstone.2001
Dhaliwal G, Cornet PA, Tierney LM. Hemolytic Anemia. Am Fam
Phy sician 2004 :69 :2599 -2606.
Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Hemolytic Anemia Resulting from Warm-Reacting Antibodies. Williams Manual
of Hematology. 6'h ed. McGraw Hill, 2003: l2'7-132.
Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ Cryopathic
Hemolytic Anemia Williams Manual of Hematology. 6'h ed.
McGraw Hill. 2003: 133-136.
Keiton JG, Chan h, Heddle N, Whittaker S Acquired Hemolytic
Anemia. Blood and Bone Marow Pathology: 185-202
Stiene-Martin EA, Lotsoeich-Steininger CA, Koepke JA. Acquired
Immune Anemias of Increased Destruction. Clinical Hematology: Principles, Procedures, Correlation. 2"d ed. Lippincott,
Philadelphia, 1998 :280-292
Rosse WF. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria. Uptodate 2004 (12)
2

Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Drug induced


Hemolytic Anemia Williams Manual of Hematology. 6'h ed.
McGraw Hill, 2003: 137-142
Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ Transfusion of
Blood and Red Cells. Williams Manual of Hematology 6d ed
McGraw Hill, 2003: 513-520
Hoffman PC, Gertz MA, Brodsky RA. Immune Hemolytic AnemiaSelected Topic. Hematology 2006:1-6
Reardon JE, Marques MB. Laboratorium Evaluation and Transfusion Support of Patients with Autoimmune Hemolytic Anemia
Am J Clin Pathol 2006:125(Sup1 ) : 571-S77
Shanafelt TD, Madueme HL, Wolf RC, Teferri A.. Rituximab for
Immune Cytopenia in Adults: Idiopathic Thrombocytopenia,
Autoimmune Hemolytic Anemia, Evan's syndrome. Mayo Clin
Proc 2003:78: 1 340-1346
Provan D, Butler T, Evangelista ML. Activity and Safety Profile of
Low Dose Rituxzimab for the treatment of Autoimmune
Cytopenias in Adults. Haematologica 2001 ;92:1695-1698

183
ANEMIA HEMOLITIK NON IMUN
Ikhwan Rinaldi, Aru W. Sudoyo

PENDAHULUAN

Purpura (TTP), Sindrom Uremik Hemolitik (SLIH),


Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID)iD is s eminated

Anemia hemolisis adalah kadar hemoglobin kurang dari


nilai normal akibat kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat

I nt r av

dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya.

a s c ular C o a g ulat i o an (DIC), preeklampsia,


eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik

Infeksi, misalnya: infeksi malaria, infeksi

bab"esiosis,

infeksi Clostridium

Etiologi dan Klasifikasi


Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena:

1). defek molekular: hemoglobinopati atau enzimopati:


2). abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran;
3). faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau
autoantibodi.
Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat
dikelompokkan menj adi

Anemia hemolisis herediter, yang termasuk kelompok ini


adalah:

Defekenzim/enzimopati

DefekjalurEmbdenMeyerhof

Defisiensi piruvat kinase


Defisiensi glukosa fosfat isomerase
Defisiensi fosfogliserat kinase
Defek jalur heksosa monofosfat
- Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase

Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah


resipien, anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi:
1). Anemia hemolisis intrakorpuskular. Sel eritrosit pasien
tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang
kompatibel, sedangkan sel eritrosit kompatibel normal dapat

bertahan hidup di sirkulasi darah pasien; 2). Anemia


hemolisis ekstrakorpuskular. Sel eritrosit pasien dapat
bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel,
tetapi sel eritrosit kompatibel normal tidak dapat bertahan
hidup di sirkulasi darah pasien.
Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin
pada kejadian hemolisis, anemia hemolisis dikelompokkan
menjadi:

Anemia hemolisisis imun. Hemolisis terjadi karena


keterlibatan antibodi yang biasanya IgG atau gM yang
spesifik untuk antigen eritrosit pasien (selalu disebut
autoantibodi).

Anemia hemolisis didapat, yang termasuk kelompok ini

Anemia hemolisis non imun. Hemolisis terjadi tanpa


keterlibatan imunoglobulin tetapi karena faktor defek
molekular, abnormalitas struktur membran, faktor
lingkungan yang bukan autoantibodi seperti
hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena
mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan
kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan
mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan

adalah:

klostridium.

(G6PD)

.
.

Defisiensi glutation reduktase


Hemoglobinopati

Thalassemia

Anemia sickle cell


Hemoglobinopati lain
Defekmembran(membranopati): sferositosisherediter

Anemiahemolisis imun, misalnya: idiopatik, keganasan,


obat-obatan, kelainan autoimun, infeksi, transfusi
Mikroan giopati, misalnya: Trombotik Trombositopenia

Pada bagian ini yang dibahas hanya anemia hemolisis


non imun yang bukan disebabkan oleh thalasemia dan

hemoglobinopati lain.

tr57_

1158

Patof

HEMAIIOI.OGI

isiologi

Hemolisis dapat terjadi inffavaskular dan ekstravaskular. Hal

ini tergantung pada patologi yang mendasari

suatu
penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi eritrosit
terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma
mekanik, fiksasi komplemen dan aktivasi sel permukaan atau

infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi


membran sel eritrosit. Hemolisis intravaskularjarang terjadi.

Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis


ekstravaskular. Pada hemolisis ekstravaskular destruksi
sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena
sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak

meningkatkan katabolisme heme dan pembentukan


bilirubin tidak terkonjugasi. Hemoglobin bebas hasil
hemolisis terikat dengan haptoglobin. Hemoglobinhaptoglobin ini segera dibersihkan oleh hati hingga kadar
haptoglobin menjadi rendah sampai tidak terdeteksi. Pada
hemolisis intravaskular kadar hemoglobin bebas dapat
melebihi kadar haptoglobin sehingga hemoglobin bebas
difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorbsi oleh tubulus
proksimal dan mengalami metabolisme. Hasil metabolisme
di ginjal ini menghasilkan ikatan antara besi heme dengan
simpanan protein (feritin dan hemosiderin). Selanjutnya

hemosiderin dikeluarkan ke urin dan terdeteksi sebagai

dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga

hemosiderinuria. Pada hemolisis intravaskular yang masif,

difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.

ambang kapasitas absorpsi hemoglobin oleh tubulus


proksimal terlewati, sehingga hemoglobin dikeluarkan ke
urin dalam bentuk hemoglobinuria.

Manifestasi Klinis
Penegakkan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien mungkin
mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien
mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan,
meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan
terpajan toksin serla riwayat keluarga merupakan infotmasi
penting yang harus ditanyakan saat anamnesis.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan kulit dan mukosa
kuning. Splenomegali didapati pada beberapa anemia
hemolitik. Pada anemia berat dapat ditemukan takikardia
dan aliran murnur pada katup jantung.
Selain hal-hal umum yang dapat ditemukan pada
anemia hemolisis di atas, perlu dicari saat anamnesis dan

pemeriksaan fisik hal-hal yang bersifat khusus untuk


anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus
tungkai pada anemia sickle cell.

Pemeriksaan Laboratorium
Retikulositosis merupakan indikator terjadinya hemolisis.
Retikulositosis mencerminkan adanya hiperplasia eritroid
di sumsum tulang tetapi biopsi sumsum tulang tidak selalu
diperlukan. Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari

setelah penurunan hemoglobin. Diagnosis banding


retikulositosis adalah perdarahan aktif, mielotisis dan
perbaikan supresi eritropoeisis.
Anemia pada hemolisis bisanya normositik, meskipun
retikulositosis meningkatkan ukuran mean corpuscular
volume. Morfologi eritrosit dapat menunjukkan adanya
hemolisis dan penyebabnya. Misalnya sferosit pada
sferositosis herediter, anemia hemolitik autoimun; sel
target pada thalasemia, hemoglobinopati, penyakit hati;
schistosit pada mikroangiopati, prostesis intravaskular dan
lain'lain.

Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain,


peningkatan laktat dehidrogenase (LD) terutam a LDH 2,
dan SGOT dapat menjadi bukti adatya percepatan
destruksi eritrosit.
Baik hemolisis intravaskular maupun ekstravaskular,

ENZIMOPAT!
Pada sel eritrosit terjadi metabolisme glukosa untuk
menghasilkan energi (ATP). AIP digunakan untuk kerja
pompa ionik dalam rangka memperlahankan milieu ionik

yang cocok bagi eritrosit. Sebagian kecil energi hasil


metabolisme tersebut digunakan juga untuk penyediaan
besi hemoglobin dalam bentuk ferro. Pembentukan

AIP

ini berlangsung melalui jalur Embden Meyerhof

yang

melibatkan sejumlah enzim seperti glukosa fosfat isomerase

dan piruvat kinase. Selain digunakan untuk membentuk


energi, sebagian kecil glukosa mengalami metabolisme
dalam eritrosit melalui jalur heksosa monofosfat dengan
bantuan enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)

untuk menghasilkan glutation yang penting untuk


melindungi hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidan.
Defisiensi enzim piruvat kinase, glukosa fofat isomerase
dan glukosa 6 fosfat dehidrogenase dapat mempermudah

dan mempercepat hemolisis. Berturut-turut prevalensi


tersering kejadian defisiensi enzim tersebut adalah G6PD,
piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase.

Defek Jalur Heksosa Monofosfat


Metabolisme glukosa melalui jalur ini meningkatbeberapa
kali ketika eritrosit terpajan dengan obat-obatan atau toksin

yang membentuk radikal oksigen. Dengan ini terjadi


regenerasi glutation tereduksi, perlindungan gugus
sulfhidril hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidasi.
Jikajalur ini terganggu karena faktor herediter, maka kadar
glutation tereduksi yang adekuat tidak dapat dipertahankan

sehingga gugus sulfhidril hemoblobin teroksidasi,


terpresipitasi dalam eritrosit dan membentuk Heinz
bodies. Terganggunya jalur

ini dapat disebabkan oleh

defisiensi G6PD dan glutation reduktase. Namun demikian,

kelainan pada glutation reduktase belum terbukti


berhubungan bermakna dengan hemolisis.

1159

ANEMIA HEMOLITIK NON AUTOIMUN

Defisiensi G6PD
Etiologi dan epidemiologi. Defisiensi enzim ini paLing sering
mengakibatkan hemolisis. Enzim ini dikode oleh gen yang
terletak di kromosom X sehingga defisiensi G6PD lebih
sering mengenai laki-laki. Pada perempuan biasanya
carrier dan asimptomatik. Di seluruh dunia, terdapat lebih
dari 400 varian G6PD. Berbagai varian ini terjadi karena
adanya perubahan subtitusi basa berupa peggantian asam

amino. Banyaknya varian

ini menimbulkan variasi

manifestasi klinik lebar, mulai dari hanya anemia hemolitik


nonsferositik tanpa stres oksidan, anemia hemolitik yang
hanya terjadi ketika distimulasi dengan stres oksidan ringan,

sampai pada abnormalitas yang tidak terdeteksi secara

klinis. G6PD normal disebut tipe B. Diantara varian G6PD


yang bermakna secara klinik adalah tipe A-. Tipe ini terutama
ditemukan pada orang keturunan Afrika. Tipe Mediteranian

relatif sering ditemukan diantara orang Mediteranian asli,


dan lebih berat dari varian A- karena dapat mengakibatkan
anemia hemolitik nonsferositik tanpa adanya stres oksidatif
yang jelas.

Manifestasi klinis. Aktivitas G6PD yang normal menurun


-507o pada waktu umur eritrosit mencapai 120 hari. Pada
Tipe A- penurunan ini terjadi sedikit lebih cepat dan lebih
cepat lagi pada varian Mediteranian. Meskipun umur

Diagnosis. Diagnosis defisiensi G6PD dipikirkan jika ada


episode hemolisis akut pada laki-laki keturunanAfrika atau
Mediteranian. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang
kemungkinan terpajan dengan zat-zat oksidan, misalnya
obat atau zatyalg telah disebutkan di atas. Pemeriksaan
aktivitas enzim mungkin false negatif jika eritrosit tua
defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu pemeriksaan
aktivitas enzim perlu diulang dua sampai tiga bulan
kemudian ketika ada sel-sel yang tua.

Terapi. Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-,


hemolisis terjadr self- limited sehingga tidak perlu terapi
khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari dan
hindari obat-obatan ata.u zat yan g mempresipitasi hemolisis
serta memperlahankan aliran ginjal yang adekuat karena
adanya hemoglobinuria saat hemolisis ak-ut. Pada hemolisis
berat, yang bisa terjadi pada varian Mediteranian, mungkin
diperlukan transfusi darah.
Yang terpenting adalah pencegahan episode hemolisis

dengan cara mengobati infeksi dengan segera dan


memperhatikan risiko penggunaan obat-obatan, zat
oksidan dan fava beans. Khusus untuk orang Afrika atau
Mediteranian sebaiknya sebelum diberikan zat oksidan
harus dilakukan skrining untuk mengetahui ada tidaknya
defisiensiG6PD.

eritrosit pada tipe A- lebih pendek namun tidak


menimbulkan anemia kecuali bila terpajan dengan infeksi
virus dan bakteri di samping obat-obatan atau toksin yang
dapat berperan sebagai oksidan yang mengakibatkan
hemolisis. Obat-obatan atau zat y algdapat mempresipitasi
hemolisis pada pasien dengan defisiensi G6PD adalah
asetanilid, fuzolidon (furokson), isobutil nitrit, metilen blue,

asam nalidiksat, naftalen, niridazol, nitrofurantoin,


fenazopiridin (piridium), primakuin, pamakuin, dapson,
sulfasetamid, sulfametoksazol, sulfapiridin, tiazolsulfon,
toluidin blue, trinitrotoluen, urat oksidase, vitamin K,
doksorubisin. Asidosis metabolik juga dapat mempresipitasi
hemolisis pada pasien defisiensi G6PD.

Hemolisis akut terjadi beberapa jam setelah terpajan


dengan oksidan, diikuti hemoglobinuria dan kolaps
pembuluh darah perifer pada kasus yang berat. Hemolisis
biasanya self-limited karena yang mengalami destruksi
hanya populasi eritrosit yang tua saja. Pada tipe A- massa
eritrosit menurun hatya25-30Vo. Ketika hemolisis akut
hematokrit turun cepat diiringi oleh peningkatan hemoglobin dan bilirubin tak terkonyugasi dan penurunan haptoglobin. Hemoglobin mengalami oksidasi dan membentuk

Heinz bodies yang tampak pada pewarnaan supravital


dengan violet kristal. Heinz bodies tampak pada hari
pertama atau sampai ketika badan inklusi ini siap
dikeluarkan oleh limpa sehingga membenttk"bite ce\Is".
Mungkin juga ditemukan beberapa sferosit. Sebagian kecil
pasien defisiensi G6 PD ada yang sangat sensitif dengan

fava beans (buncis) dan dapat mengakibatkan krisis


hemolisis fulminan setelah terpaian.

Defek Jalur Embden Meyerhof


Etiologi dan epidemiologi. Enzim yang dapat terganggu
pada

jalur ini dan mengakibatkan anemia hemolisis adalah

piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan fosfogliserat


kinase. Yang terbanyak adalah defisiensi piruvat kinase
(957o). Sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase
hanya sekitar 47o. Defek enzim glikolisis ini bisanya
diturunkan secara autosomal resesif kecuali fosfogliserat
kinase yang diturunkan terkait seks.
Kelainan ini mengakibatkan eritrosit kekurangan AIP
dan ion kalium keluar sel. Sel eritrosit menjadi kaku dan
lebih cepat disekuestrasi oleh sistem fagosit mononuklir.
Defisiensi piruvat kinase hanya mengenai sel eritrosit,
sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase dan
fosfogliserat kinase juga mengenai sel leukosit meskipun
tidak mempengaruhi fungsi leukosit.

Manifestasi klinis. Beratnya anemia bervariasi dan


gejalanya relatif ringan karena terjadi disosiasi kurva hemoglobin ke kanan. Hemolisis berat terjadi pada masa awal
kanak-kanak dengan anemia, ikterus dan splenomegali. Pada
perempuan dengan defsisiensi piruvat kinase dapat sangat
pucat ketika hamil sehingga sering didiagnosis pertama

kali saat itu. Anemia pada pasien ini berupa anemia


normositik (makrositik ringan) normokrom dengan
retikulositosis. Pada defisiensi piruvat kinase dapat
ditemukan eritrosit bizar di antaranya sel prickle terutama
setelah splenektomi.

Diagnosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan

1160

HEMATOLOGI

enzimatik khusus dengan menggunakan konsentrasi


substrat yang sesuai untuk mendeteksi varian-varian
berafinitas rendah terhadap substrat.

Terapi. Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi


kecuali pasien dengan hemolisis berat harus diberikan asam
folat 1 mg/hari. Transfusi darah diperlukan ketika krisis
hipoplastik.
Splenektomi bermanfaat pada pasien dengan defisiensi

piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase. Dengan


splenektomi retikulosit di sirkulasi meningkat.

HEMOLISIS MIKROANGIOPATIK
Pada hemolisis mikroangiopatik terjadi kerusakan membran

sel eritrosit secara mekanik dalam sirkulasi darah karena


adanya fibrin atau mikrotombi trombosit yang tertimbun
di arteriol. Sel eritrosit terperangkap dalam jala-jala fibrin
dan mengakibatkan terfragmentasinya sel eritrosit.

Hemolisis mikroangiopatik dapat terjadi pada


abnormalitas dinding pembuluh darah, misalnya pada
hipertensi maligna, eklampsia, rejeksi allograft ginjal, kanker
diseminata, hemangioma ata.u disseminated intravas cular

coagulation (DIC), dan mikroangiopati trombotik:


Trombotic Thrombocytopenia Purpura (TTP) dan
Hemolytic Uremic Syndrome (HUS).

Mikroangiopati Tromboti k
Mikroangipati trombotik adalah sumbatan mikrovaskular
yang terjadi karena agregasi trombosit sistemik atau

intra rrral, disertai adanya trombositopenia, dan trauma


mek,nik sel eritrosit. Yang termasuk kelompok kelainan ini
adalah: Thrombotic Trombositopenia Purpura (TTP) dan
Hemolytic Uremic Syndrome (HUS).
Th rom boti c Trom bocytopen i a P u rp u ra (TTP)
Kelainan ini ditandai dengan agregasi trombosit pada

arteriol berbagai organ yang

mengakibatkan

trombositopenia dan memicu kerusakan sel eritrosit yang


mengalami fragmentasi (schistocytes atau sel helmet).
Agregasi trombosit dapat mengakibatkan oklusi baik parsial
atau total sehingga terjadi disfungsi organ yang biasanya

terjadi pada sistem saraf atau ginjal. Oklusi ini


menyebabkan jaringan iskemia atau nekrotik sehingga
meningkatkan kadar laktat dehidrogenase. Adapun eritrosit
yang mengalami fragmentasi terjadi karena adanya aliran
darah melalui area turbulen dari mikrosirkulasi mengalami
oklusi parsial karena agregasi trombosit. TTP dapat terjadi
pada semua usia terutama dewasa muda dan lebih sering
perempuan.

Patogenesis. Pada TTP trombus tombosit/agregasi


trombosit mengandung banyak faktor von Willebrand
sedangkan pada DIC tombus trombosit mengandung
banyak fibrin tetapi tidak mengandung faktor von

Tipe

Presentasi klinis

Sebab

Trombus
tombosit
sistemik

Kegagalan
degradasi faktor
von Wilebrand
multimer besar
yang tidak biasa

Thrombotic
Trombocytopenia
Purpura

Trombus

Pajanan dengan
toksin Shiga

Klasik, kanak-kanak
atau Hemolytic Uremic
Syndrome yang
berhubungan dengan E.

Defek faktor H

plasma

Hemolytic Uremic
Synd rome (H US) familial
(atau rekuren)

Transplantasi atau
obat (mytomicin,
cyclosporin,
tacrolimus,
quinine)

Hemolytic Uremic
Sydrome atau
Thrombotic
Trombocytopenia
Purpura

trombosil
fibrin
predominan
di ginjal

Trombus
renal atau
sistemik

Coli

Wilebrand. Situasi ini karena agregasi trombosit pada TTP


diperantarai oleh faktor von Wilebrand multimer besar yang

tidak biasa, yang lebih mudah.berikatan dengan Iba.


Adanya faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak
biasa ini karena adanya defek atau defisiensi enzim
metaloprotease, ADAMTS 13, yang bertugas memecah
multimer faktor von Wilebrand. Defek atau dehsiensi enzim
ini dapat terjadi karena mutasi gen atau adanya antibodi
yang menghambat enzim tersebut. Sehingga ditemukan dua
tipe TTP yaitu familial dan didapat. Pada kedua tipe ini
aktivitas ADAMTS 13 kurang dari 5 persen normal.

Manifestasi klinik. Manifestasi klinik klasik TTP ada lima,


yang sering disebut dengan pentad TTP yaitu anemia
hemolitik dengan fragmetasi eritrosit, trombosi topenia.
kelainan neurologik fokal atau difus, penurunan fungsi ginjal
dan demam. Secara praktis triad TTP: trombositopenia, skis-

tositosis, dan peningkatan LDH cukup untuk menduga


adanya TTP.
Gejala dan tanda TTP bervariasi tergantung pada jumlah
dan lokasi lesi arteriol. Anemia pada TTP bisa sangat ringan
sampai sangat berat dan derajat trombositopenia biasanya
paralel dengan derajat anemia. Gejala neurologi biasanya
tampakjikajumlah trombosit (<20.000-30.000). Demam tidak

selalu ada. Onset TTP akut tetapi bisa berlangsung dalam


hitungan bulan. Proteinuria dan peningkatan urea nitrogen
darah (BUN) mungkin ditemukan dan terus meningkat jika
berkembang menjadi gagal ginjal.
Gej ala neurologis berkembang pada >90 Eo p asier, y ar,g
penyakitnya berakhir dengan kematian. Awalnya terjadi
perubahan mental seperli bingung, delinum, perubahan
kesadaran. Pasien dapat mengalami kejang, hemiparesis,

afasia, dan kelainan lapang pandang mata. Gejala


neurologis ini berfluktuasi dan berakhir dengan koma.
Keterlibatan pembuluh darah jantung bisa mengakibatkan
kematian mendadak.

Beratnya kelainan dapat diperkirakan dengan derajat

tt6t

AI{EMIA HEMOLITIK NON AUTOIMUN

anemia, trombositopenia, dan kadar serum LDH.

Masa protrombin, masa trornboplastin parsial, dan


konsentrasi fibrinogen serta kadar fibrin degradation
product (FDP) biasanya normal atau hanya abnormal
ringan. Bila pemeriksaan koagulasi menunjukkan konsumsi
faktor pembekuan yang berlebihan maka diagnosis TTP
diragukan. Pada 20Vo pasien didapatkan Anti nuclear

antibody (ANA) yang positif.

titernya tinggi terapi plasma tukar mungkin tidak


memperbaiki keadaan. Pada kondisi ini dapat diberikan
vincristine, siklofosfamid, atau dilakukan splenektomi.
Koma tidak merupakan kontraindikasi terapi karena
perbaikan status neurologi pasien merupakan parameter
respons terapl.
Transfusi trombosit tidak boleh diberikan karena dapat
mempresipitasi kejadian trombosis kecuali terbukti adanya

ancaman perdarahan intrakranial. Aspirin dapat


memprovokasi perdarahan pada pasien dengan

Klasif ikasi
Ada dua tipe TTP: 1). Familial. Muncul pada masa bayi

trombositopenia berat.

atau kanak-kanak dan kambuh dengan interval teratur tiga

minggu (dirujuk sebagai thrombotic trombositopenia


kronik kambuh); 2). Idiopatik didapat. Muncul pada orang
dewasa dan anak-anak yang lebih tua dan biasanya
merupakan episode akut tunggal. Hanya 17-367o yang
kambuh dengan interval tidak teratur. Biasanya terjadi
dalam beberapa rninggu setelah terapi awal trombosis arteri

pada pasien trombosis arteri yang mendapat tiklopidin,


inhibitor adenosis disfosfat (ADP) dan sebagian kecil yang
pasien yang menerima klopidogrel. Kelainan ini juga bisa
terjadi pada waktu kehamilan terutama trimester akhir atau
periode postpaftum.

Hemolytic Uremic Syndrome (HUS)


Etiologi, epidemiologi dan patogenesis. HUS terjadi pada
9-307o anak-antk. Di Buenos Aires Argentina, dan Calgary,
Canada, infeksi enterohemoragik E. Coli endemik dan HUS
menjadi sebab umum gagal ginjal akut pada anak-anak.

Biasanya diawali dengan diare berdarah yang

disebabkan oleh Eschericia Coli 0157:H7 yang


menghasilkan toksin Shiga 7 dan2 dan Shigela dysentriae

yang menghasilkan toksin Shiga, yang sering


mengkotaminasi daging, susu, dan keju yang tidak dimasak
dengan matang. Diare berdarah biasanya terjadi satu

normal, demam. kelainan neurologi dan gangguan fungsi

minggu sebelumHUS.
Toksin shiga masuk ke dalam sirkulasi intestinal dan
berjalan di dalam plasma dan permukaan trombosit atau
monosit. Toksin berikatan dengan molekul endotel kapiler
glomerular, sel mesangial, dan sel epitel glomerular dan tu-

ginjal, yang merupakan kelainan patognomonik untuk TTP.

bular, yang kemudian merusak endotel sel melalui

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya anemia
hemolitik dengan fragmentasi eritrosit, tes koagulasi

Meski tidak selalu dibutuhkan untuk diagnosis, biopsis

kulit dan otot, gusi, kelenjar getah bening, atau sumsum


tulang, menunjukkan kelainan arleriol yang khas.

Terapi. Pada TTP familial, episode TTP dapat dicegah


dengan pembeian fr e s h fro zen plasma y ang mengandung
sedikit trombosit, plasma mengandung sedikit kriopresipitat
(cryosupernatant) atau plasma yang dicampur dengan
pelarut dan detergen yang berisi metaloprotease aktif yang
diberikan tiap tiga mrnggu. Tidak dibutuhkan plasmaferesis.
Pada TTP idiopatik didapat perlu dilakukan plasma

exchage (plasma tukar) yaitu kombinasi plasmaferesis

dengan infus FFP atau cryosupernatant, setiap hari.


Plasmaferesis berlujuan untuk mengeluarkan faktor von

Wilebrand multimer besar yang tidak biasa dan


autoantibodi terhadap ADMTS 13). Jika respon baik
(trombosit meningkat dan LDH menurun) frekuensi plasma

tukar dapat dikurangi tetapi kadang-kadang diteruskan


untuk beberapa minggu atau bulan. Lebih dari 90Vo pasien
dapat bertahan hidup dengan pemberian segera terapi ini.

ADAMTS

tidak biasa.

HUS bisa familial tapi jarang (s-rcqa). Meski jarang,

Diagnosis Banding. Idiopathic trombocytopenic purpura


(ITP) atau Evan's Syndrome. Pada kedua kelainan ini
ditemukan juga fragmentasi eritrosit tetapi bukan eritrosit
sferositik. Pada TTP tes Coombs negatif

Pada keadaan dimana autoantibodi

pembentukan faktor von Wilebrand multimer besar yang

13

mortalitas HUS familial lebih nngg. (54Vo) datpada HUS pada


urak-Nrak(5Vo). Sebagian besmpasien HUS familial mengalami
defisiensi atau defek faktor komplemen H yang bertugas
mencegah kerusakan sel melalui jalur altematif komplemen.
Defek faktor H ini terjadi karena adanya mutasi pada gen
faktor H yang dapat diturunkan secara resesif dan dominan.

Herediter resesif bermanifestasi HUS pada dewasa muda

sedangkan herediter dominan bermanifestasi HUS


dipresipitasi oleh infeksi atau kehamilan.
Di samping dua tipe di atas, ditemukan juga HUS yang
terjadi pada pasien yang diterapi dengan obat antikanker
mitomycin C, bisanya dalam kombinasi dengan obat lain
dan pasien yang menerima kemoterapi dosis tinggi dengan
transplantasi sumsum tulang autologus.

Manifestasi klinik. Kelainan ini hampir sama dengan TTP,


bercirikan lesi arteriol dan temuan laboratoriun yang sama.
Lesi arteriol HUS hanya terjadi di ginjal sehingga jarang

menimbulkan kelainan neurologi. Anemia hemolitik,


trombositopenia purpura, dan gagal ginjal akut oligurik.
Kebanyakan pasien mengalami hemoglobinuria atau anuria.

Pemeriksaan darah tepi dan tes koagulasi tidak dapat

tt62

HEMIIiIOI.OGI

diikuti

dibedakan dengan TTP.

permukaan secara progresif

Terapi. Pada HUS ringan pada anak-anak dengan

mikrosferosit. Akibat kelainan tersebut terj adi peningkatan


fragilitas osmotik eritrosit menyebabkan bentuk eritrosit

oligoanuria <24 jam, biasanya pemberian cairan dan


elektrolit cukup. Pada dewasa sering teri:di gagal ginjal
akut yang lebih berat sehingga membutuhkan perawatan
seperti penyakit gagal ginjal terminal, dialisis. Terapi lain
adalah plasmaferesis dan transfusi. Pemberian FFP yang
mengandung faktor H tidak mencegah kekambuhan maupun
progresivitas penyakit ginj al. Antimotilitas dan antibiotik
dapat meningkatkan HUS. Efikasi glukokorlikoid, dekstran
dan heparin belum jelas.

pembentukan

yang bulat dan hilangnya permukaan membran. Te4ebaknya


sel eritrosit dalam limpa

Manifestasi ktinis dan laboratoris. Gejala klinis mayor


sferositosis herediter adalah anemia, splenomegali dan
ikterus. Ikterus dapat terjadi secara berkala sehingga luput
dari perhatian orang tua saat anak masih kecil. Akibat
peningkatan produksi pigmen empedu karena destruksi
eritrosit, sering terbentuk batu empedu berpigmen, bahkan
pada masa kanak-kanak.

Koagulasi lntravaskular Diseminata (KlD)


Lebih jarang menimbulkan anemia karena derajat
hemolisinya lebih sedikit dibandingkan dengan TTP dan
HUS. KID terjadi karena aktivasi sistem koagulasi yang
tidak sesuai yang dipicu deposisi fibrin pada dinding

pembuluh darah kecil yang dapat menyebabkan


fragmentasi eritrosit pada seperempat pasien KID' Terapi
sesuai terapi KID dan sebab yang mendasarinya.

Hiperplasia sel eritroid sumsum tulang sebagai


kompensasi destruksi sel eritrosit terjadi melalui perluasan
sumsum merah ke bagian tengah tulang panjang. Tidak

jarang terjadi eritropoiesis ekstra meduler di


paravertebral, yang secara kebetulan terlihat pada foto
thoraks.

Kompensasi sumsum tulang terkadang mengalami


gangguan akibat keadaan hipoplasia eritroid yang dipicu
adanya inf'eksi terutama oleh Panovirus.

Splenomegali merupakan hal yang umum terjadi.


Kecepatan hemolisis meningkat perlahan selama

Kelainan Dinding Pembuluh Darah Lain

Trombositopenia berat dapat ditemukan pada beberapa


pasien. Terapi penyakit dasarnya dapat menghentikan

terjadinya infeksi sistemik, merangsang pembesaran limpa'


Pada pemeriksaan mikroskopik, didapatkan sel eritrosit
yang kecil berbentuk bulat dengan bagian sentral yang
pucat. Hitung MCV biasanya normal/sedikit menurun.
MCHC meningkat sampai 350-400 g/dl. Untuk mengetahui
secara kuantitatif sferoidisitas dilakukan pengukuran fra-

hemolisis.

gilitas osmotik eritrosit dengan menggunakan cairan

Hipertensi maligna, eklampsia, rejeksi alograf ginjal, kanker


diseminata atau hemangioma dapat menyebabkan hemolisis

traumatik. Derajat hemolisisnya ringan tetapi banyak

ditemukan fragmentasi eritrosit

di darah

tepi.

hipoosmotik.

Katup Prostesis
Pada I\Vo pasien dengan katup prostesis aorta terjadi
framentasi sel eritrosit. Meski sedikit hal ini bisa terjadi
juga pada prostesis katup mitral. Pemendekan waktu hidup
eritrosit terjadi juga pada beberapa pasien dengan steno-

sis aorta kalsifikasi berat dan hampir semua lesi


intrakardiak. Pasien yang menjalani bypass aortofemoral
juga diamati mengalami hemolisis traumatik

Sferositosis Herediter
Sferositosis herediter merupakan kelompok kelainan sel
darah merah dengan gambaran eritrosit bulat seperti donat
dengan fragilitas osmotik yang meningkat. Sferositosis
herediter merupakan kelainan autosom dominan dengan
insiden 1 : 1 000 sampai 1 :4500 penduduk. Pada lebih kurang
20Vo pasien penyakit ini merupakan kelainan autosom
resesif yang diturunkan dan mutasi genetik spontan.

Etiologi dan patogenesis. Kelainan utama pada sferositosis


herediter adalah terdapatnya defek pada protein pembentuk
membran eritrosit, akrbat defisiers\ spectrin, ankryn dan
atau protein pita 3 atau protein 4.2.Hal ini menyebabkan

defek vertikal dan kehilangan membran lemak dan luas

Diagnosis dan terapi. Sferositosis herediter harus


dibedakan dengan sel sferosit pada anemia hemolitik
autoimun dengan pemeriksaan uji Coombs.
Sferositosis juga terjadi pada reaksi hemolisis akibat

splenomegali pada pasien sirosis hepatis, infeksi


clostridium,bisa ular. Kelainan ini juga dapat terjadi pada
anemia hemolitik yang lain seperti pada pasien defisiensi
enzimG6PD.

Pengobatan. Splenektomi dianjurkan pada pasien dengan


anemia hemolitk sedang dan berat. Meskipun pasca
splenektomi, anemia tetap terjadi, namun tidak berat. Pada
anemia hemolitik yang berat, perlu diberikan preparat asam
folat 1 mgftrari sebagai profilaksis.

Elipsitosis Herediter
Ditandai oleh eritrosit dengan bentuk oval atau elips. Insiden
Elipsitosis herediter ini diperkirakan 1:1000 sampai 1:4500
penduduk. Insiden sebenamya tidak diketahui karena derajat
keparahan secara klinis bervariasi kadang tanpa gejala.

Etiologi dan patogenesis. Prinsip kelainan pada elipsitosis


herediter adalah kelemahan secara mekanis yang berakibat
meningkatnya fragilitas osmotik membran eritrosit. Hal ini

1163

AI\EMIA HEMOLXTIK NON AUTOIMUN

disebakan adanya gangguan sintesis protein spectrin o,


dan p, protein 4. 1 dan glicophoryn C pembentuk membran
eritrosit. Sebagian besar kelainan ini diturunkan secara

produksi sel darah merah di sumsum tulang selama keadaan


hemoglobinuria. Sel darah merah cuci dianjurkan untuk
mencegah peningkatan hemolisis. Pemberian hormon an-

autosomal dominan.

drogen kadang dapat meningkatkan Hb. Pemberian


preparat glukokortikoid (prednison 60 mg/hari) dapat

Gejala klinis dan laboratoris. Gejala klinis bervariasi, dari


tanpa gejala sampai anemia berat. Hemolisis yang terjadi
dipicu adanya infeksi, hipersplenisme, defisiensi vit B12

menurunkan kecepatan hemolisis.

atau adanya KID.

Hipersplenisme

Pada pemeriksaan laboratorik didapatkan gambaran eritrosit

Limpa normal berbagi fungsi dengan jaringan lain dalam


hal pembentukan, penyimpanan dan penghancuran sel
darah serta produksi antibodi. Namun limpa memiliki

bentuk elips menyerupai puntung rokok. Dapat pula dijumpai


eritrosit bentuk oval, spherosit, stomasit dan fragmen.

Pengobatan. Pengobatan jarang dibutuhkan pasien. Pada


beberapa kasus yangjarang diperlukan pemberian ffanfusi
sel darah merah. Pada kasus yang berat, splenektomi
merupakan pengobatan paliatif mencegah kerusakan dan
destruksi eritrosit yang berlebihan. Pasien dengan hemolisis
kronik perlu diberikan asam folat sebagai profilaksis.

Paroxysmal Nocturnal Haemoglobinuria (PNH)


PNH ditandai oleh penurunan jumlah sel darah merah
(anemia) serta terdapatnya darah di dalam urin
(hemoglobinuria) dan plasma (hemoglobinemia), yang
terjadi setelah tidur. Pasien PNH berisiko tinggi mengalami
kejadian trombosis mayor, terbanyak trombosis pada aorta

abdominalis. Kebanyakan pasien rneninggal akibat


trombosis ini.

Etiologi dan patogenesis. Penyebab kelainan ini adalah


defisiensi ensim PIG-A (p ho sphat idy Lino s it o I g ly c an c la s s
A) yang diperlukan untuk sintesis protein pengikat sel. Protein yang merupakan bagian terluar sel melekat pada

kemampuan unik untuk melakukan penyaringan terhadap


sel darah serta menyingkirkan sel yang abnormal maupun
benda asing.
Limpa memiliki 2 fungsi dasar, yaitu:
. Fungsi penyaring dan surveilan terhadap komponen
darah di pulpa merah (oleh makrofag)

Fungsi sintesis antibodi di pulpa putih

Hipersplenisme merupakan proses penghancuran sel


darah yang berlebihan oleh limpa. Hal ini terjadi ketika
ukuran limpa mengalami peningkatan baik sel maupun

jaringan atau desakan pembuluh darah. Keadaan ini


meningkatkan peran fungsi penyaring, sehingga sel darah
normal pun akan mengalami perlambatan serta proses
penghancuran sementara. Walaupun proses penghancuran
granulosit dan trombosit menyebabkan neutropenia dan
trombositopenia, namun ke dua jenis sel tersebut dapat
beradaptasi dengan perlambatan proses penyimpanan di
limpa. Berbeda dengan sel darah merah yang terperangkap
akan mengalami penghancuran menyebabkan terjadinya
anemiahemolitik.

membran sel dengan bantuan protein glikosilfosfa-

Dameshek berpendapat bahwa hipersplenisme

tidilinositol (GPI) dan PIG-A dibutuhkan untuk sintesis protein tersebut. Bila terdapat gangguan pembentukannya
protein permukaan yang melindungi sel dari kornplemen
hilang, sehingga megrudahkan penghancuran sel darah.
Persentase sel darah merah yang mengalami kerusakan
menentukan beratnya penyakit.

umumnya dihubungkan dengan keadaan splenomegali,


menyebabkan terjadinya sitopenia yang berakibat

Manifestasi klinis dan laboratoris. Tiga manifestasi yang


sering terjadi adalah anemia hemolitik, trornbosis vena dan

gangguan hematopoiesis. Hemoglobinuria dan


hemosiderinuria berkala terjadi pada kebanyakan
pasien.Granulositopenia dan trombositopenia sering

terjadi, menandakan adanya gangguan hematopoiesis.


Gambaran sumsum tulang normoselular.

Diagnosis dan terapi. PNH perlu dicurigai pada pasien

dengan anemia hemolitik yang tidak diketahui

terjadinya kompensasi hipeplasi sumsum tulang.


Kebanyakan kelainan ini harus dikoreksi dengan
splenektomi.

lnfeksi Mikroorganisme
Mikroorganisme memiliki mekanisme yang bermacammacam saat menginfeksi eritrosit menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik. Ada yang secara langsung menyerang
eritrosit seperti pada malaria, babesiosis dan bartonellosis.

Melalui pengeluaran toksin hemolisis oleh Clostridium


perfringens, pembentukan antibodi atau otoantibodi
terhadap eritrosit. Dapat pula dengan deposit antigen
mikroba atau reaksi kompleks imun pada eritrosit.

penyebabnya, terutama bila disertai leukopenia dan atau

trombositopenia. Serta terdapatnya tanda hemolisis


intravaskular (hemoglobinemia, hemoglobinuria dan
peningkatan LDH).
Transfusi sel darah merah merupakan terapi terbaik,
tidak hanya meningkatkan kadar Hb, tetapi juga menekan

Malaria
Pada infeksi malaria, derajat anemia yang terjadi tidak
sesuai dengan rasio jumlah se1 yang terinfeksi, namun
penyebabnya masih belum jelas. Fragilitas osmotik pada
sel yang tidak terinfeksi maupun yang terinfeksi mengalami

tt64

HEM/TffOLOGI

peningkatan. Penghancuran eritrosit pada infeksi malaria

Patogenesis. Hampir 5O-107o kolesterol terdapat pada

disebabkan lisisnya eritrosit akibat infeksi langsung,

permukaan membran, sehingga menurunkan kadar air serta

peningkatan proses penghancuran eritrosit yang


mengandung parasit dan proses otoimun. Namun tidak
satupun mekanisme di atas yang dapat menjelaskan
terjadinya anemia berat pada malaria.

menyebabkan perubahan bentuk sel. Akibat bentuknya


yang padat ini menyebabkan sel merah tidak dapat melewati
proses penyaringan di limpa, terlebih lagi dengan adanya
splenomegali kongestif akibat sirosis.

Proses penghancuran sel darah merah sebagian besar

Manifestasi klinis. Anemia yang terjadi cukup berat.

berlangsung di limpa. Splenopmegali merupakan gejala


yang sering dijumpai pada infeksi malaria kronik.

Splenomegali didapatkan pada semua pasien sirosis

Diagnosis dan terapi. Diagnosis malaria ditegakkan dengan

dengan sel spur.Sel darah merah irreguler dengan tambahan


taji di sekitarnya serta sejumlah kecil sel darah merah yang

menemukan parasit pada pulasan darah tebal atau


didapatkannya sekuens parasit malaria pada analisis DNA.

terfragmentasi dengan bentuk yang aneh sering dijumpai


pada preparat.

Terapi anemia pada infeksi malaria pada dasamya dengan


mengeradikasi parasit penyebab. Transfusi darah segera,
sangat dianjurkan pada pasien dewasa dengan Hb <7 g/dl.
Preparat asam folat sering diberikan pada pasien. Pemberian
besi sebaiknya ditunda sampai terbukti adanya defisiensi besi.

Diagnosis dan terapi. Pasien dengan anemia sel spur

Bartonellosis

sesaat. Obat penurun lemak juga tidak memberikan hasil

mengalami reaksi hemolisis yang berat. Gambaran sel darah


merah yang khas berupa sel darah merah bertajilakantosit
yang memiliki panjang yang tidak beraturan dapat dijumpai
pada pulasan darah.

Transfusi darah hanya memberikan keuntungan


Merupakan infeksi yang disebabkan oleh Bartonella

bacilformis yang melekat pada permukaan sel eritrosit.


Eritrosit yang terinfeksi mengalami indentasi, invaginasi
serta terbentuknya saluran. Eritrosit yang terinfeksi,
dengan cepat dihancurkan oleh hati dan limpa. Anemia
hemolitik akut terjadi pada saat demam "Oroya" di mana
dengan cepat jumlah eritrosit mengalami penurunan

yang memuaskan. Splenektomi dilaporkan dapat


mencegah perlambatan waktu transit sel darah merah di
limpa dan penghancuran dini. Namun splenektomi sangat
berisiko tinggi pada pasien sirosis hati dengan hipertensi
portal serta terdapat gangguan pembekuan darah.

sampai 750.000iul.

REFERENSI

Diagnosis dan terapi. Diagnosis ditegakkan dengan


menemukan B bacilformis pada sel eritrosit. Dengan

Beutler E. Hemolytic anemia due to infection with microoganism.


In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U,
editors. Williams hematology. 6'h edition Nerv York: Mc Grar.i'
Hill; 2001 p. 633-5.
Bunn F, Rosse W Hemolytic anemias and acute blood loss In:
Kasper DL, Braunwald E. Faucj AS, Hause SL, Longo DL,
Jameson J, editors. Harrison's principles of internal medjcine
16'h edition. New York: Mc Graw Hill; 2005. p 601-16.
Dhaliwal G Cornett PA, Tierne LM. Hemolytic anemia. Anr Fam
Physician. 69:2599-606.
Erslev AJ. Hypersplenism and hyposplenism. In: Beutler E, Lichtman
MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U, edltors. Williams
hematology. 6h edition New York: Mc Graw Hill; 2001 p. 683-

pewarnaan Giemsa didapatkan bentuk batang berwarna


merah jingga.
Pengobatan dengan penisilin, streptomisin, kloramfenikol
dan tetrasiklin memberikan respons sangat baik.

Babesiosis
Babesia merupakan protozoa intra eritrosit, yang ditularkan
melalui gigitan kutu rambut, yang dapat menginfeksi hewan
ternak maupun hewan liar. Pada manusia penyakit ini tidak

hanya ditularkan melalui gigitan kutu, tetapi juga lewat


,ransfusi darah.

Diagnosis dan Terapi. Parasit ini dapat terlihat melalui

pulasan darah tebal dengan pewarnaan Giemsa. Uji


serologi dengan antibodi terhadap Babesia serta uji PCR

dapat membantu penegakkan diagnosis. Pengobatan


dengan klindamisin dan kuinin memberikan hasil yang
memuaskan. Transfusi tukar juga memberikan perbaikan

5.

Gallagher PG, Forget BG Hereditary spherocytosis, elliptocytosis


and related disorders. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS,

Kipps TJ, Seligsohn U, editors. Williams hematoJogy


edition. New York: Mc Graw Hill;2001. p.503-11.

6'h

Greenberg PL, Gordeuk V, Issaragrisil S, Siritanaratkul N, Fucharoen


S, et al. Major hematologic diseases in the developing world-

new aspects of diagnosis and management of thalassemia.


malarial anemia, and acute leukemia. Hematology (Am Soc

:talg tyata.

Hematol Educ Program) 2001 479:98.


Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Haemolytic anaemias In:

A,nemia Sel Spur

Hoffbrand AV, Petit JE. Moss PAH, editors. Essential


hematology London: Blackwell Science; 2001. p.51-10.
Moake JL. Thrombotic microangiopathies. N Engl J Med. 347:589-

Anemia sel spur merupakan jenis anemia hemolitik dengan


,rcntuk eritrosit yang aneh, terjadi pada5To pasien dengan
penyakit hepatoseluler, terutama sirosis "Laennec" tahap
lanjut.

600.

Tsai HM. Advances in pathogenesis, diagnosis, and treatment


thrombotic trombositopenia purpura J Am Soc Nephrol
2003:14:1072-81

t84
PURPURA TROMBOSITOPENIA IMUN
Ibnu Purwanto

dibedakan tipe akut bila kejadiannya kurang atau sama


dengan 6 bulan (umumnya terjadi pada anak-anak) dan
kronik bila lebih dari 6 bulan (umumnya terjadi pada orang

PENDAHULUAN
Purpura Trombositopenia Imun (PTI) yang dahulu dikenal
sebagai Idiopathic thrombocytopenia purpura (ITP) dan

dewasa).

kemudian selanjutnya disebut juga sebagai Immune


thrombocytopenic purpura merupakan suatu kelainan
didapat yang berupa gangguan autoimun yang
mengakibatkan trombositopenia oleh karena adanya
penghancuran trombosit secara dini dalam sistem
retikuloendotel akibat adanya autoantibodi terhadap
trombosit yang biasanya berasal dari Immunoglubolin

Diperkirakan insidensi PTI teqadi pada 100 kasus per 1


juta penduduk per tahun, dan kira-kira setengahnya terjadi
pada anak-anak.Purpura trombositopenia imun terjadi bila
trombosit mengalami destruksi secara prematur sebagai

hasil dari deposisi autoantibodi atau kompleks imun dalam


membran sistemretikuloendotel limpadan umumnya di hati.

G.

Kata trombositopenia menunjukkan bahwa terdapat angka


trombosit yang rendah, sedandkan kata purpura berasal
dari suatu deskripsi akan kulit yang berwama lebam karena

DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI

Purpura Trombositopenia Imun (PTI) adalah suatu

pada kulit ini


disebebkan oleh merembesnya darah dibawah kulit.

symptom penyakit

ini, warna ungu

Adanya trombositopenia pada PTI

ini

gangguan autoimun yang ditandai dengan trombositopenia


yang menetap (angka trombosit darah perifer kurang dari
150.000/mL) akibat autoantibodi yang mengikat antigen

akan

mengakibatkan gangguan pada sistem hemostasis karena


trombosit bersama dengan sistem vaskular faktor koagulasi
darah terlibat secara bersamaan dalam mempertahankan
hemostasis normal. Manifestasi klinis PTI sangat bervariasi
mulai dari manifestasi perdarahan ringan, sedang sampai
dapat mengakibatkan kejadian-kejadian yang fatal. Kadang
juga asimptomatik. Oleh karena merupakan suatu penyakit

trombosit menyebabkan destruksi prematur trombosit


dalam sistem retikuloendotel terutama di limpa.
Insidensi PTI pada anak antara 4,0-5,3 per 100.000,
PTI akut umumnya terj adi pada anak-anak us ia arftata 2 6 tahun. I - 28 7o anak-anak dengan PTI akut berkembang
menjadi kronik l5-20%o. Purpura Trombositopenia Ir4un
(PTI) pada anak berkembang menjadi bentuk PTI kronik
pada beberapa kasus menyerupai PTI dewasa yang khas.
Insidensi PTI kronis pada anak diperkirakan 0,46 per

autoimun maka kortikosteroid merupakan pilihan


konvensional dalam pengobatan PTI. Pengobatan akan
sangat ditentukan oleh keberhasilan mengatasi penyakit

yang mendasari PTI sehingga tidak mengakibatkan

100.000 anak per tahun.


Insidensi PTI kronis dewasa adalah 58

keterlambatan penanganan akibat perdarahan fatal, atau


pun penanganan-penanganan pasien yang gagal atau
relaps. Di dalam makalah ini akan disajikan pegangan
mengenai diagnosis klinis dan laboratorium, epidemiologi,
patofisiologi, menilai dan menentukan respon terhadap
pengobatan dan penangan kasus-kasus refrakter.
Berdasarkan etiologi, PTI dibagi menjadi 2 yairu primer
(idiopatik) dan sekunder. Berdasarkan onset penyakit

66 kasus baru

per satu juta populasi peflahun (5,8-6,6 per 100.000) di


Amerika dan serupa yang ditemukan di Inggris. Purpura
Trombositopenia Imun (PTI) kronik pada umumnya
terdapat pada orang dewasa dengan median rata-rata usia
40 - 45 tahun. Ratio antara perempuan dan laki-laki adalah
1 : 1 pada penderita PTI akut sedangkan pada PTI kronik

adalah2-3:1.

116

tt66

HEIVIATIOLOGI

Penderita PTI refrakter didefinisikan sebagai suatu PTI

akan terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan

yang gagal diterapi dengan kortikosteroid dosis standar


dan splenektomi yang selanjutnya mendapat terapi karena
angka trombosjt dibawah normal atau ada perdarahan.
Penderita PTI refrakter ditemukan kira-kira25 -30 persen
dari jurnlah penderita PTI. Kelompok ini mempunyai respon
jelek terhadap pemberian terapi dengan morbiditas yang
cukup bermakna dan morlalitas kira-kta 16 7o .

produksi trombosit. Pada sebagaian kecil yang lain,


produksi trombosit tetap terganggu, sebagian akibat
destruksi trombosit yang diselimuti autoantibodi oleh
makrofa g didal am sumsum tttlang ( int r ant e du I I a n' l, ata'.t

karena hambatan pembentukan megakariosit


(ntegakaryocytopoiesis), kadar trombopoetin tidak
meningkat, menunjukkan adanya masa megakariosit
normal. Untuk sebagian kasus PTI yang ringan, hanya
trombosit yang diserang, dan megakariosit mampu untuk
mengkompensasi parsial dengan meningkatkan produksi
trombosit. Penderita PTI dengan tipe ini dapat dikatakan
menderita PTI kronik tetapi stabil dengan jumlah trombosit
yang rendah pada tingkat yang aman. Pada kasus yang
berat, auto antibodi dapat langsung menyerang antigen
yang terdapat pada trombosit dan juga pada megakariosit.
Pada tipe ini produksi trombosit terhenti dan penderita
harus rnenjalani pengobatan untuk rrenghindari risiko
perdarahan internal/ organ-organ dalam.
Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal

PATOFiSIOLOGI
Sindroma PTI disebabkan oleh autoantibodi trombosit

spesifik yang berikatan dengan trombosit autolog


kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh
sistem fagosit mononuklear rnelalui reseptor Fc makrofag.
Pada tahun 1982 Van Leeuwen pertama mengidentiiikasi
membran trombosit glikoprotein IIb/IIIa (CD41) sebagai

antigen yang dominan dengan mendemostrasikan bahwa


autoantibodi eluate dari trombosit pasien PTI berikatan
dengan trombosit normal.
Diperkirakan bahwa PTI diperantarai oleh suatu

dari kegagalan antibodi PTI untuk berikatan dengan


trombosit yang secara genetik kekurangan kompleks

kej adian trans ient


trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang
menderita PTI, dan perkiraan ini didukung oleh kejadian
transient trombositopeni pada orang sehat yang menerima
transfusi plasma kaya IgG, dari seorang penderita PTI.
Trombosit yang diselimuti oleh autoanttbodi IgG akan
mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati

glikoprotein

autoantibodi, mengingat

IIb/IIIa Kemudian belhasjl diidentifikasi

antibodi yang bereaksi den-san glikoprotein Ib/IX. Ia.rIIa.


IV danV dan determinan trombosit yang 1ain. Juga dijumpai
antibodi yang bereaksi terhadap berbagai antigen )'ang
berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen
yang cliperkirakan dipicu oleh antibodi, akan menimbulkan
paclran pembentukan neoantigen, yang berakibat produksi
antibodi yang cukup untuk menimbulkan trornbositopeni

setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan

(Gambarl).

oleh makrotag jaringan. Pada sebagian besar penderita,

Makrofag terakUfas

Klonlse B

Korlseij

Gambar 1. Patogenesis penyebaran epitop pada purpura trombositopenia


idiopatik (PTl) (Sumber; Cines dan Blanchette, 2002\

1t67

PURPURA TROMBOSIIOPENIA IMUN

Secara alamiah, antibodi terhadap kompleks

dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami proses

glikoprotein IIb/IIIa memperlihatkan restriksi penggunaan


rantai ringan, sedangkan antibodi yang berasal dai displai
phage mentnjukkan penggunaan gen V,r. Pelacakan pada
daerah yang berikatan dengan antigen dari antibodiantibodi ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal
dari klon sel B yang mengalami seleksi afinitas yang
diperantarai antigen dan melalui mutasi somatik. Penderita
PTI dewasa sering menunjukkan peningkatan jumlah HLADR + T cells, peningkatan jumlah reseptor interleukin 2
dan peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi
prekursor sel T helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasienpasien ini, sel T akan merangsang sintesis antibodi setelah
terpapar fragmen glikoprotein IIb/IIIa tetapi bukan karena
telpapar oleh protein alami. Penurunan epitop kriptik ini
secara in vivo dan alasan aktivasi sel T yang bertahan
lama tidak diketahui dengan pasti.
Dari gambar 1 dapat menperjelas bahwa, faktor yang

internalisasi dan degradasi (2). Sel penyaji antigen tidak

hanya merusak glikoprotein IIb/IIIa, tetapi juga


memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein trombosit
yang lain (3). Sel penyaji antigen yang teraktivasi (4)
mengekspresikan peptida baru pada permukaan sel dengan

bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi


antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang berfungsi
memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif T cell clone
(T-cell clone-l) dan spesifitas tambahan (T-cell clone-2)
(5). Reseptor sel imunoglobulin sel B yang mengenali
antigen trombosit (B-cell clone-2) dengan demikian akan
menginduksi proliferasi dan sintesis antiglikoprotein I b/

IX antibodi dan juga

meningkatkan produksi anti-

glikoprotein IIb/IIIa antibodi oleh B-cell clone

1.

Metode yang saat ini digunakan untuk

memicu produksi autoantibodi tidak diketahui.

penatalaksanaan PTI diarahkan secara langsung pada


berbagai aspek berbeda dari lingkaran produksi antibodi
dan sensitisasi, klirens dan produksi trombosit (Gambar

Kebanyakan penderita mempunyai antibodi terhadap

2).

glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat penyakit


terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein IIb/
IIIa dikenali oleh autoantibodi, sedangkan antibodi yang
mengenali glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada tahap

ini (1). Trombosit yang diselimuti autoantibodi

akan
berikatan dengan sel penyaji antigen (makrofag atau sel

Dari Gambar 2, dijelaskan bahwa pada umumnya obat

yang digunakan sebagai terapi awal PTI menghambat


terjadinya klirens antibodi yang menyelimuti trombosit oleh

ekspresi reseptor Fcg pada makrofag jaringan (1).


Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme
ini namun mungkin pula mengganggu interaksi sel-T dan

t5Efti6;i]
tu 7-

Sumsum tulang

Antibodv

(?)
Staphylococoal
protein A(?)

Gambar 2. Pendekatan terapi purpura trombositopenia purpura berdasarkan mekanisme kerja dari
splenektomi, beberapa obat dan plasmafaresis (Cines dan Blanchette, 2002)

1168

HEMAIOI,.OGI

sel-B yang terlibat dalam sintesis antibodi pada beberapa

penderita. Kortikostel'oid dapat pula meningkatkan


produksi trombosit dengan cara menghalangi kemampuan
makrofag dalam sumsum tulang untuk menghancurkan
trombosit, sedangkan trombopoetin berperan merangsang
progenitor megakariosit (2). Beberapa imunosupresan non
spesifik seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pada
tingkat sel-T. (3). Antibodi monoklonal terhadap CD 154

yang saat ini menjadi target uji klinik, merupakan


kostimul asi molekul yang diperlukan untuk
mengoptimalkan sel-T mak-otag dan interaksi sel-T dan
sel-B yang terlibat daiam produksi antibodi dan pertukaran

klas (4). Imunoglobulin iv mengandwg antiidiotypic


antibody yang dapat menghambat produksi antibodi.
Antibodi monoklonal yang mengenali ekspresi CD20 pada
sel-sel B juga masih dalam penelitian (5). Plasrnaferesis
dapat mengeluarkan antibodi sementata dari plasma (6).
Transfusi Dari gambar 2, dapatuntuk menggambarkan

bagaimana pendekatan pengobatan dapat dilakukan


sebagai terapi awal PTI dalam menghambat terjadinya
klirens antibodi yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi
reseptor Fcg pada makrofag jaringan (1). Splenektomi
sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme ini namun
mungkin pula mengganggu interaksi sel-T dan seL-B yang
terlibat dalam sintesis antibodi pada beberapa penderita'

Kortikosteroid dapat pula meningkatkan produksi


trombosit dengan cara menghaiangi kemampuan makrofag
dalam sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit,
sedangkan trombopoetin berperan merangsang pl'ogenitor megakariosit (2). Beberapa imunosupresan non spesifik
seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pada tingkat
sel-T. (3). Antibodi monoklonal terhadap CD 154 yang saat
ini menjadi target uji klinik, merupakan kostimulasi molekul

yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel-T makrofag


dan interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam produksi

antibodi dan pertukaran klas (4). Imunoglobulin iv


mengandung antiidiotypic antibody yang dapat
n-renghambat produksi antibodi.

HLA-DRBI*1501 telah dihubungkan dengan respon


yang tidak menguntungkan terhadap splenektomi.
Meskipun demikian, banyak penelitian telah gagal
urenunjukkan hubungan yang konsisten antara PTI dan
kompleks HLA yang spesifik.
dan

Antibodi-anti Trombosit
Autoantibodi yang berhubungan dengan trombositopenia
ditemukan pada 75 Ea pasiel PTI. Autoantibodi IgG
antitrombosit ditemukan pada +50 - 857o penderita.
Antibodi antitrombosit IgA serum ditemukan sesering IgG
dan hampir 50 7o kasus, kedua serotipe imunoglobulin
tersebut ditemukaan pada pasien yang sama. Antibodi
IgM juga ditemukan pada sejumlah kecil pasien tetapi tidak
pernah sebagai autoantibodi tunggal.
Peningkatan jumlah IgG telah tampak di permukaan
trombosit, dan kecepatan destruksi trombosit pada PTI
adalah proporsional terhadap kadar yang menyerupai
trombosit yang berhubungan dengan imunoglobulin.
Autoantibodi dengan mudah ditemukan dalam plasma
atan dalam eluate trombosit pada pasien dengan
penyakit yang aktif, tetapijarang ditemukan pada pasien

yang mengalami rernisi. Hilangnya antibodi-antibodi


berkaitan dengan kembalinya jumlah trombosit yang
normal.

Masa Hidup Trombosit


Masa hidup trombosit nonnal adalah sekitar 7 hari, tetapi
memendek pada PTI menjadi berkisar dari 2 - 3 hari sainpai
bebelapa menit. Pasien yang trclnbositopertir ringart
sampai sedang mempunyai masa hidup terukur yang lebih
lama dibandingkan dengan pasien dengan trombositopenia
berat.

GAMBABAN KLINIS

Antibodi monoklonal yang

mengenali ekspresi CD20 pada sel-sel B juga masih dalam


penelitian (5). Plasmaferesis dapat mengeluarkan antibodi
sernentara dari plasma (6). Transfusi trombosit diperlukan
pada kondisi darurat untuk terapi perdalahan. Et'ek dari

stafilokokkus protein A pada susunan antibodi masih


dalam penelitian (7).

Genetik
Intmune thrombocytopenic purpura telah didiagnosis

PTI Akut
PTI akut lebih sering dijumpai pada anak, jarang pada umur
dewasa, onset penyakit biasanya mendadzrk. riwayat
infeksi mengawali terj adi ny a perdar-ahan berulang- sering
dijumpai eksantem pacla auak-anak (rubeola cian rubella)
dan penyakit saluran napas yang disebabkan oleh l'irus
merupakan 907o dari kasus pediatrik trombositopcnirr
imunologik. Virus yang paling banyak diidentitikasi adalah
varisella zooster dan ebstein barr. Manif'estasi perdaral'ran

pada kembar monozigot dan pada beberapa keluarga, dan

PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan

telah dikatahui adanya kecenderuangan menghasilkan

intrakranial terjadi kurang dari

autoantibodi pada anggota keluarga yang sama. Adanya


peningkatan prevalensi HLA-DRW2 dan DRB*0410 pada
beberapa populasi etnik telah diketahui. Alel HLA-DR4
cian DRB*0410 telah dihubungkan dengan respon yang
rnenguntungkan dan merugikan terhadap kortikosteroid,

7o

pasien. Pada PTI dewasa,

bentuk akut jarang terjadi,

11amun dapat mengalami


penyakit
lebih fulminan. PTI
perdarahan dan perjalanan
akut pada anak biasanya selJ'limiting, remisi spontan
90 qo

pendeita ,607o sembuh dalarn 4-6 rmnggu


dan lebih dari 907o sembuh daiam 3-6 bulan.

terjadi pada

PURPURA TROMBOSTTOPENIA

tt69

IMUN

PTI Kronik
Onset PTI kronik biasanya tidak menentu. riwayat

oleh flow sitometri berdasarkan messenger RNA yang


rnenerangkan bahwa perdarahan pada PTI tidak sejelas

perdarahan sering dari ringan sampai sedang, infeksi dan

gambaran pada kegagalan sumsum tulang pada hitung


trombosit yang serupa. Salah satu diagnosis penting

pembesaran lien jarang terjadi, dan memilik perjalanan ldinis

yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung


beberapa hari sampai beberapa minggu, mungkin
intermitten atau bahkan terus menerus. Remisi spontan
jarang terjadi dan tampaknya remisi tidak lengkap.
Manifestasi perdarahan PTI berupa ekimosis, peteki,
purpura. Pada umumnya berat dan frekwensi perdarahan
berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum
hubungan antara jumlah trombosit dan gejala antara lain
bila pasien dengan AT > 50.000 /mL maka biasanya
asimptomatik, AT 30.000 - 5 0.000 /mL terdapat I uka memar/
hematom, AT 10.000 - 30.000 /mL terdapat perdarahan
spontan, menoragi dan perdarahan memanjang bila ada

luka, AT < 10.000 /mL terjadi perdarahan mukosa


(epistaksis, perdarahan gastrointestinal dan genitourinaria)
dan risiko perdarahan sistem saraf pusat.
Perdarahan gusi dan epistaksis sering terjadi, ini dapai
berasal dari lesi peteki pada mukosa nasal, juga dapat

ditemukan pada tenggorokan dan mulut. Traktus


genitourinaria merupakan tempat perdarahan yang paling
sering, menoragi dapat merupakan gejala satu-satunya
dari PTI dan mungkin tampak pertama kali pada pubertas.
Hematuria ju-ea merupakan gejala yang sering. Perdarahan
gastrointestinal bis anya berrnanifestasi mel ena dan lebih
jarang lagi dengun hemetemesis.
Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi yang

adalah fungsi sumsum tulang. Pada sumsum tulang


dijumpai banyak megakariosit dan agranuler atau tidak
mengandung trombosit.
Secara praktis pemeriksaan sumsllm tulang dilakukan
pada pasien lebih dari 40 tahun, pasien dengan gambaran
tidak khas (misalnya dengan gambaran sitopenia) atatl
pasien yang tidak berespon baik dengan terapi. Meskipun

tidak dianjurkan, banyak ahli pediatri hematologi


merekomendasikan dilakukan pemeriksaan sumsum tulang
sebelum mulai terapi kortikosteroid untuk menyingkirkan
kasus leukemia akut.
Pengukuran trombosit dihubungkan dengan antibodi'

secara langsung uji untuk mengukur trombosit yang


berikatan dengan antibodi yakni dengan MonoclonnlAntigen-Capture A.ssav sensitivitas 45-66o/c,
spesifisitasny a 7 8 - 92Vo dan diperkirakan berni lai positif
80 - 83 7o. Uji negatif tidak menyrngkirkan diagnosis deteksi
yang tanpa ikatan antibodi plasma tidak digunakan' Uji ini
tidak membedakan bentuk primer maupun sekunder PTI .

DIAGNOSIS BANDING

paling serius pada PTI. Hal ini mengenai hampir l%

Diagnosis banding PTI antara lain: anemia aplastik,


I eukemia akut, Di s s ami nat e d int r av as cular c o a g ulatkm
(DIC), T hromb otic thrombocytop enic purpura-hemol)ttic

penderita dengan trombositopenia berat. Perdarahan


biasanya di subarachnoid, sering multipel dan ukuran

syndrome (APS), Myelodysplastic svndrome,

bervariasi dari peteki sampai ekstravasasi darah yang I uas

hiperspl enism e, alc o ho li c liv e r

DIAGNOSIS

kronik),
pseudotrombositopenia karena ethylenediamine
tetraacetc;te (EDTA), obat-obatan. Untuk menentukan

Lamanya perdalahan dapat membantu untuk membedakan


PTI akut dan kronik, serta tidak terdapatnya gejala sistemik

dapirt membantu dokter untuk menyingkirkan bentuk


sekunder dan diagnosis lain. Penting untuk anamnesjs

uremic syndrome (TTP-HUS),

ntiphospholipid antibody
cli

s e

as

e, bentuk sekunder

PTI (SLE, HIV, leukemia limfositik

diagnosis banding PTI tersebut perlu meninjau kembali


patofisiologi klasifikasi trombositopenia pada tahel 1 .

TERAPI

pemakaian obat-obatan yang dapat menyebabkan


trombositopenia dan pemeriksaan fisik hanya didapatkan
perdarahan karena trombosit yang rendah (peteki. purpure.
perdarahan konjungtiva dan perdarahan selaput lendir
yang lain). Purpura Thrombocytopenic Imrnune dewasa
terj adi umr-rmnya pada usia I 8 - 40 tahun dan 2-3 kali lebi h
sering mengenai',vanita dari pada pria.
Splenomegali ringan (hanya ruang traube yangterisi),
tidak ada limfadenopati . Selain trombositopenia hitung
darah yang lain normal. Pemeriksaan darah tepi diperlukan
untuk menyingkirkan pseudoffombositopenia dan kelainan
hematologi yang lain. Megatrombosit sering terlihat pada
pemeriksaan darah tepi, trombosit muda ini bisa dideteksi

Terapi PTI lebih ditujukan untuk menjaga jumlah trombosit

dalam kisaran aman sehingga mencegah terjadinya


perdarahan mayor. Terapi umum meliputi hindari aktivitas
fisik berlebihan untuk mencegah trauma terutama trauma

kepala, hindari pemakaian obat-obatan

yang

mempengaruhi fungsi trombosit. Terapi khusus yakni terapi


farmakologis.

Terapi Awal FTI (Standar)


Prednison. Terapi awal PTI dengan prednisolon

atau

prednison dosis 1,0 - 1,5 mg/kgBBftrari selama 2 minggu.


Respons terapi prednison terjadi dalam 2 minggu dan pada

tt70

a)

HEMANOI,.OGI

Trombositopenia artifaktual
Trombosit bergerombol disebabkan oleh
a nti coa g u I a nt-d e pe n de nt i m m u nog I o b u I i n
(Pseudotrom bositopen ia )
Trombosit satelit
Giant trombosit
Penurunan produksi trombosit

.
.

b)

c)

.
.
.
o

Hipoplasiamegakariosit
Trombopoesis yang tidak efektif
Gangguan kontrol trombopoetik

Trombositopeniaherediter

Peningkatan destruksi trombosit


Proses imunologis
Autoimun
ldiopatik Sekunder : lnfeksi, kehamilan, gangguan
vaskuler kollagen, gangguan limfoproliferatif.
Alloimun
Trombositopenia neonatus
Purpura pasca-transfusi
Proses Non lmunologis
Trombosis mikroangiopati
D i s se m i n ate d i ntrav a scu I a r coa g u ati o n (DIC)
T h ro m boti c th ro m bocyto pe n i c pu rp u ra (ff P)
H e m olyti c-u re mlc syndrome ( H U S)
Kerusakan trombosit oleh karena abnormalitas
permukaan vaskular
lnfeksi
Transfusi darah masif
Lain-lain
Abnormalitas distribusi trombosit atau pooling
Gangguan pada limpa (neoplastik, kongestif,
infiltratif, infeksi yang tidak diketahui sebabnya)
Hipotermia
Dilusi trombosit dengan transfusi masif

umumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik


kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan, kemudian
tapering. Kriteria respons awal adalah peningkatan AI
> 30.000/pL, AT >50.000/pL setelah 10 hari terapi awal,
terhentinya perdarahan. Tidak berespon bila peningkatan
AT < 30.000/pL,.AT < 50.000/pL setelah terapi 10 hari.
Respon menetap bila AT menetap > 50.000/ptl setelah 6
bdan follow zp. Pasien yang simptomatik persisten dan
trombositopenia berat (AI < 10.000/pL) setelah mendapat
terapi prednison perlu dipertimbangkan untuk splenektomi.

Imunoglobulin intravena. Imunoglobulin intravena (IgIV)


dosis 1 g/kg/hari selama 2 - 3 hari berlurut-turut digunakan
bila terjadi perdarahan intemal, saatAI < 5.000/pLmeskrpun
telah mendapat terapi korlikosteroid dalam beberapa hari
atau adanya pulpura yang perogresif. Hampir 80% penderita
berespon baik dengan cepat meningkatkan AI namun perlu
pertimbangan biaya. Gagal ginjal dan insufisiensi paru
dapat terjadi serta syok anafilaktik pada penderita yang
mempunyai defisiensj IgA kongenital.
Mekanisme kerja IgIV pada PTI masih belum banyak

diketahui, namun meliputi blokade

fc reseptor, antiidiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan


autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan
lmunosupresl.

Splenektomi. Splenektomi untuk terapi PTI telah digunakan


sejak tahun 1916 dan digunakan sebagai pilihan terapi
setelah steroid sejak tahun 1950-an. Splenektomi pada PTI
dewasa dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua yang
gagal berespon dengan terapi kortikosteroid atau yang
perlu terapi trombosit terus menerus. Efek splenektomi pada
kasus yang berhasil adalah menghilangkan tempat-tempat
antibodj yang tefiempel trombosit yang bersifat merusak
dan menghilangkan produksi antibodi anti trombin. Indikasi
splenektomi sebagai berikut:

a. Bila AT < 50.000/pL

setelah 4 minggu (satu studi

menyatakan bahwa semua pasien yang mengalami remisi


komplit mempunyai AI > 50.000/pL dalam 4 minggu).
b. Angka Trombosit tidak menjadi normal setelah 6 8
minggu (karena problem efek samping).
c. Angka Trombosit normal tetapi menurun bila dosis
diturunkan (.tapering ffi .
Respon po.r/ splenektomi didefinisikan sebagai: Tak
ada respons bila gagal mempertahankan AT >50.000/pL
beberapa waktu setelah splenektomi, Relaps bila AI turun
< 50.000 /pL. Angka 50.000 dipilih karena diatas batas ini,
penderita tidak diben terapi . Respons splenektomi ben ariasi
antara50Tc sampai dengan 807c.

Penanganan Relaps pertama


Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang
relaps atau yang tidak berespon dengan kortikostroid,

immunoglobulin iv dan immunoglobulin anti-D.


Dari gambar 4 dijelaskan bahwa lebih banyak spesialis
menggunakan AI < 30.000/pL sebagai ambang batas
untuk memulai terapi pada PTI daripada AI > 30.000/pL.

Trdak ada konsensus yang menetapkan lama terapi


kortikosteroid. Penggunaan immunoglobulin anti-D
sebagai terapi awal masih dalam penelitian dan hanya
cocok untuk penderita Rh-positif. Apakah penggunaan
IgIV atau imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal
tergantung pada beratnya trombositopenia dan luasnya
perdarahan mukokutaneus. Untuk memutuskan apakah
terapi penderita yang mempunyai AT 30.000/pL sampai
50.000/pL bergantung pada ada tidaknya faktor risiko
perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya risiko tinggi

untuk trauma. Pada

AI

>50.000/pL perlu diberi IgIV

sebelum pembedahan atau setelah trauma pada beberapa


pasien. Pada penderita PTI kronik dan AI < 30.000/pL IgIV
atau metilprednisolon dapat membantu meningkatkan AI
dengan segera sebelum splenektomi. Daftarmedikasi untuk
terapi PTI kronik pada pasien yang mempunyai AI < 30.000/
pL dapat dipergunakan secara individual, namun danazoT
atau dapson sering dikombinasi dengan prednison dosis
rendah dibutuhkan untuk mencapai suatu AI hemostasis.
IgIV dan anti-D imunoglobulinumumnya sebagai cadangan

untuk PTI berat yang tidak respon dengan terapi oral.


Untuk memutuskan apakah perlu dilakukan splenektomi,
kemudian terapi medis diteruskan atau dosis diturunkan

trTl

PURPURA TROMBOSITOPENIA IMUN

dan akhirnya terapi dihentikan pada penderita PTi kronik


dengan AT 30.000/mL atau lebih, bergantung pada
intensitas terapi yang diperlukan, toleransi efek samping.
risiko yang berhubungan dengan pembedahan dan pilihan
penderita.

ini dan
refrakter
terapinya serta memiliki morlalitas sekitar 1 67o. PTI
kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria sebagai berikut:
a. PTI menetap lebih dari 3 bulan
b. Penderita gagal berespon dengan splenektomi.

morbiditas yang signifikan terhadap penyakit

c.

Terapi PTI Kronik Refrakter


Pasien refrakter (+ 25% - 307o pada PTI) didefinisikan

AT<30.000/pL.

Pendekatan Terapi Konvensional Lini Kedua


Untuk penderita yang dengan terapi standar kortikosteroid
tidak membaik, ada beberapa pilihan terapi yang dapat
digunakan sebagai berikut: (i) Steroid dosis tinggi; (ii) IVIg
dosis tinggi: (iii) Anti-D Intravena; (iv) Alkaloid vinka; (v)

sebagai kegagalan terapi kortikosteroid dosis standar dan


splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut karena
AI yang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok

ini memiliki respon terapi yang rendah, mempunyai

Diagram

Trombosit

Trombosit <30.000 /mms

Perdarahan

30.0 00 -50.0 00/m mr

Prednison (1-1 5 mg/kg/hari)


lmunoglobulin Anti-D (75 sg/kg)

Transfusi trombosit
lmunoglobulin intravena
(1g/kg/hari atau 2-3 hari)
M etilpred n isolon
(1g/hari atau 3 hari)

Trombosit >50.000/mm3

Prednison atau
tidak diterapi

Tidak diterapi

Purpura

trombositopenia
imun kronis
Trombosit <30 000/mm3

Trombosit
30 000-50 000/mm3
I

Pradnison atau
tidak diterapi

Perdaraha

Tidak ada
perdarahan akt

aktif

i ;-- Prednison
danazol (10-1 5 mg/kg/hari)

JT

+
lmunoglobulin intravena
n
isolon
Metilpred
Splenektomi

leraPt
medis

-l-

dapson (75-'1 00 mg/hari)


lmunoglobulin anti-D intravena;
lmunoglobulin intravena

lmun refraktor kronis


Purpura trombositopenia

Trombosit >30 000/mm3


Tidak diterapi

Tidak diterapi

Penghambat klirens trombosit


Prednison
lmunoglobulin lntravena
Alkaloid vinka
Danazol

Terapi medis

Obat-obat imunosupresif
Azatioprin
Siklofosfamid
Sikloporin

obat-obat percobaan
Antibodi penyerang CD 20

Antibodi penyerang CD 145


Transplantasi sumsum tulang
Trombopoietrn

Gambar 3. Pengelolaan PTI awitan dewasa (Sumber: Cines DB, Blancheite VS, 2002)

tt72

HEMAiTOI.OGI

(vi) Obat imunosupresif; azathioprin,


siklofosfamid, (vii) kemoterapi kombinasi; dan (viii)

Danazol;

Dapsone. Luasnya variasi terapi untuk terapi

lini

kedua

menggambarkan relatif kurangnya efikasi dan terapi


bersifat individual.
. Steroid Dosis tinggi.
Terapi penderita PTI refrakter selain prednisolone dapat

berespon dengan terapi lainnya. Terapi dengan


azathioprin (2 mg/kg maksimal 150 mg/hari) atau

Deksametason 40 mglhari selama 4 hari, diulang setiap


28 hari untuk 6 siklus. Dari 10 penderita dalam penelitian
kecil ini semua memberi respons yang baik (dengan AI

siklofosfamid sebagai obat tunggal dapat


diperlimbangkan dan responnya bertahan sampai 257o.
Pada penderita yang berat, simptomatik, PTI kronik

> 100.000/pL) bertahan sekurang-kurangnya dalam

refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya.

dengan

Pemakaian siklofoslamid, vinkristin dan prednisolon


sebagai kombinasi telah efektifdugunakan sepeni pada
limfoma . Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200 mg/iv/
bulan selama 3 bulan. Azathioprin 50- 100 mg p.o, bila 3
bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respon
sampai 3 bulan turunkan sampai dosis terkecil .
Dapsone
Dapson dosis 75 mg p.o.per hari, respon terjadi dalam
2 bulan. Pasien-pasien harus diperiksa G6PD, karena
pasien dengan kadar G6PD yang rendah mempunyai
risiko hemolisis yang serius.

deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya.

Metilprednisolon
Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan
sebagai terapi lini kedua dan ketiga pada PTI refrakter.
Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI

anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi


prednison dosis konvensional.

Dari penelitian Weil pada penderita PTI berat


menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mg/kg
iv kemudian dosis diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mg/
kg sekali sehari dibandingkan dengan penderita PTI
klinis ringan yang telah mendapat terapi prednison dosis

konvesional. Penderita yang mendapat terapi


metilprednisolon dosis tinggi mempunyai respon lebih
cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan mempunyai angka respon
(80% vs 537o). Respon steroid intravena bersifat

sementara pada semua pasien dan memerlukan steroid


oral untuk menjaga agar AI tetap adekwat.

IgIV dosis tinggi


Imunoglobulin intravena dosis tinggi 1mg/kg/hari
selama 2 hari berturut-turut, sering dikombinasi dengan
kortikosteroid, akan meningkatkan AI dengan cepat.
Efek samping, terutama sakit kepala, namun jika berhasil
maka dapat diberikan secara intermiten atau disubtitusi
dengan anti-D intravena.

Anti-Dintravena

Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan


19-90Vo pada orang dewasa. Dosis anti-D 50

Pendekatan Penderita yang Gagal Terapi


Standar dan Terapi Lini Kedua
Sekitar 25Vo PTI refrakter dewasa gagal berespon dengan
terapi lini perlama atau kedua dan memberi masalah besar.
Beberapa diantaranya mengalami perdarahan aktif namun
lebih banyak yang berpotensi untuk perdarahan serta
masalah penanganannya.
Pada umumnya PTI refrakter kronis bisa mentoleransi
tlombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai kualitas
hidup normal atau mendekati normal. Bagi mereka yang
gagal dengan terapi lini pertama dan kedua hanya memilih
terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-a, ii) anti-CD20,
(iii) Campath- 1 H, (iv) mycophenolate mofetil, (v) protein A
columns, dan (vi) terapi lainnya.

AI

- 75 pg/kg

perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel

diteruskan sampai dosis maksimai sekurang-kurangnya


1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mg/hari setiap 4
bulan.
Immunosupresif dan kemoterapi kombinasi
Immunosupresif diperlukan pada penderita yang gagal

digunakan deksametason oral dosis tinggi.

bulan. Pasien yang tidak berespon

diperiksa setiap bulan. Bila respon terjadi, dosis

REKOMENDASI TERAPI PTI YANG GAGALTERAPI


LINIPERTAMA DAN KEDUA

darah merah rhesus D-positif yang secara khusus


dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi bersaing
dengan autoantibodi yang menyelimuti trombosit
melalui Fc reseptor blockade.

Campath-lH dan riturimab adalah obat yang mungkin


bermanfaat pada pasien tidak berespon dengan terapi lain

Alkaloid vinka

dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT (misalnya

Semua terapi golongan alkaloid vinkajarang digunakan,

perdarahan

meskipun mungkin bernilai ketika terapi lainnya gagal


dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT dengan
cepat, misalnya Vinknstin I mg atar 2 mg iv, Mnblastin
5- 10 mg, setiap minggu selama 4-6 minggu
Danazol
Dosis danazol 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6
bulan karena respon sering lambat. Fungsi liver harus

pada beberapa pasien PTI refrakter tetapi studi lebih besar

akti|. Mycophenolate mofetil tampak efektif

diperlukan untuk mengkonfirmasikan efikasi dan


keamanannya. Dalam hal risiko: rasio manfaat. terapi
dengan interferon-cx, protein A columns, plasmapheresis
dan liposomal doxorubicin tidaklah direkomendasikan.
Rituximab adalah suatu antibodi monoklonal anti-CD
20 yang mendeplesi CD20+ sel B secara sementara yang

1173

PURPURA TROMBOSITOPENIA IMUN

selama ini dipergunakan sebagai pengobtan limfoma Non-

Hodgkin, telah dipergunakan untuk pengobatan PTI pada

beberapa penelitian pendahuluan dengan respon


berlansung 1 2 bulan sej ak di hiyung dari onset pengobatan
awal diberikan. Relaps jarang terjadi setelah 2,5 tahun dan
sekitar 507o pasien diperkirakan akan terus berespon tanpa
tambahan terapi untuk 5 tahun selanjutnya. Penelitian di
Italia menggunakan dosis pemberian rituximab dosis tinggi
375 mgrlm2iapminggu selama4 minggu didapatkan angka
respon secara keseluruhan adalah 527o. Penelitian di
London, Inggris menggunakan rituximab dosis rendah 100
mg per minggu selama 4 minggu menunjukkan rituximab
dosis rendah dapat menghasilkan respon yang signifikan
dan bertahan lama sehubungan dengan deplesi sel B.

PELUANG PEMAKAIAN AGEN TEBKINI


Beberapa agen terapi baru menjadi peluang untuk
pengobatan PTI. Beberapa penelitian terkini memberi
perhatian akan peluang terhadap studi yang tentang efikasi
dari agen stimulai trombopoiesis. Yang pefiama melalui

Agen trombopoietin (TPO) dan yang kedua melalui


inhibitor spesifik terhadap Phagocyte-mediated
Comsumption of Platelet.

Cines DB, Blanchette VS Immune Thrombocytopenic Purpura. N


Engl J Med. 2002;316 (13): 995-1006
Emilin G, Morcellj M, Luppi M, Longo G Marasca R, Gandini G
Ferr:rra L. Long-Lerm Salvage Therapy with Cyclosporin A in

Refractory Idiopathic Thrombocytopenic Purpura. Blood


2002;99(:l): t 482--5
George JN, Rizvi MA Clinical Manifestations and Diagnosis of
Idiopathic Thrombocitopenic Purpura I-II in: Up ToDate, Rose
B D. editor. Up ToDate, Wellesley. MA, 2004

George, JN. Treatment and prognosis of ldiopathic

Thrombocitopenic Purpura in: Up ToDate, Rose B D (Ed). Up


ToDate, Wellesley, MA, editors. 2004
Handin RI. Platelet Disorder and Vascular Wall in: KJ. Isselbacher,
E. Braunwald, JD Wilson, JB. Martin, AS. Fauci, DL. Kasper
editors llurison's Principles ol hrternal Medicine, 15'h ed. 2001.
Levine SP Thrombocylopenia Caused by Imlnunologic Platelet
Destruction in GR. Lee, J Foerster, J Lukens, F Paraskevas,
JP.Greer, GM Rodgers editors. Wntrobe's Clinical Hematology 10' edition. Baltimore, Philadelphia, London.: William &
Wilkins a Waverly Company; 1999. p. 1583-611.
McMillan R Therapy for Adults with Refractory Chronic Immune
Thrombocytopenic Purpura. Ann Int Med 1997; 1261,301-314
Provan D, Newland A Fifty Years of Idiopathic Thrombocytopenic
Purpura (PTI): Management of Refractory in Adults British J
Hemato[ 2OO2: 118: 933-94.1.
Provan D, Norfolk D. Bolton-Maggs P, Newland PA, Lilleyman JP,
Greer PI, May A, Murphy M, Ouwehand W, Watson"S. Guidelines for the Investigation and Management of PTI in Adults.
Children and in Pregnancy British J Hematol. 2003; 120 574596

Provan, D., Butler,

PROGNOSIS

Respon terapi dapat mencapai 50Vo-107o dengan


kortikosteroid . Pasien PTI dewasa hanya sebagian kecil
dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian pada
PTI biasanya disebabkan oleh perdarahan intra kranial
yang berakibat fatal berkisar 2,2 7o :untu,ktrsia lebih dari 40
tahun dan sampai 41 ,8 Vo untuk usia lebih dari 60 tahun.

REFERENSI
Braendstrup P, Bjerrrunr OW, Nielsen OJ, Jensen BA, Clausen Nl
Hansen PB, Andersen l, Schmidt K, Andersen TM, Peterslund
NA, Birgens HS, Plesner T, Pedersen BB, and Hasselbalch HC.

Rituximab Chimeric Anti - CD20 monoclonal Antibody


treatment for Adult refractory Idiopathic thrombocytopenic
purpura. Am J ol Hematol 2005 ;78 :275-280
Cheng \ S.M. Raymond, MB. Wong Initlal Treatment Idiopathic
Thromocytopenic Purpura wlth High Dose Dexamethason N
Ensl J Med 2003: 349: 831-6.

T,, Activity

Rituximab for the Treatment

and safety profile

ol

Low-dose

of

Autoimmune Cytopenia rn
Adults Haematologica. 2001 92(12): 1695-98
Psaila, B., Podolanczuk, AJ., Bussel, J., 2007 Recent Advances in

the Treatment of immune Thrombocytopenic

Purpura

ww medscape com
Schwarlz J, Leber MD, Gillis S, Giunta A, Eldor A, Bussel JB. Long

Term Follow-Up after Splenectomy Performed for Immune


Thrombocytopenic Purpura (PTI). Am J Hematol. 2003; 12:
94-98

A, Stipa E, Amadori S Riturimab Chimeric AntiCD20 Monoclonal Antibody Treatment tbr Adult with Chronic
Idiopathic Thrombocytopenia Purpura. Blood. 2001 ;98:952-

Stasi R, Pagano

9 5'7

Vcsell, g, Buchanan GR. Cohen A, Raskop G, George J. Self-reported


diagnostic and management strategies in childhood idiopathic

thrombocytopenic purpura: Result of a survey of practicing,


pediatric hematology/oncology specislists.J Pediatric Hematol
Oncol 2000: 22: 55-61.

185
PAROXYSMAL NOCTURNAL
HEMOGLOBINURIA (PNH)
Made Putra Sedana

PENDAHULUAN

sering terjadi di Asia Tenggara. PNH adalah penyakit yang

jarang, dengan pemeriksaan yang tepat angka kejadian


Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) adalah suatu
kelainan kronis didapat (acquired) yang ditandai terjadinya

hemolisis intravaskuler dan hemoglobinuria yang

PNH hampir sama denganAnemiaAplastik. PNH biasanya


terjadi pada usia muda tetapi juga bisa terjadi pada anakanak dan orang tua.

umumnya terjadi pada saatpasien tidur dimalam hari.. yang


disebabkan oleh kelainan seluler karena mutasi somatic
pada totipotet H ematop o etic s tem c e ll y angmenyebabkan

dengan " Median Survival " 8 - l0 tahun, umumnya sebagai


penyebab kematian adalah terjadinya trombosis vena yang

Perjalanan PNH umumnya terjadi pada usia lanjut,

kerusakan intrinsic pada membrane sel darah merah

disertai dengan infeksi sekunder oleh karena Neutropenia


berat dan perdarahan oleh karena trombositopenia.

sehingga lebih rentan terhadap aksi lisis dari komplemen,


hal ini dapat pula menimblkan trombositopenia, lekopenia
dan kegawatan akibat trombosis vena.
Gambaran kelainan ini pertama kali dipublikasikan oleh

Strubbing pada tahun 1882, sedangkan karateristik


klinisnya pertama kali dijelaskan oleh Marchiavafa dan
Nazari pada tahun I 9 1 1 serta Micheli ditahun 193 1 , kar-ena

itulah kelainan PNH sering juga disebut MarchiavafaMicheli syndrome. Meskipun PNH umumnya terjadi pada
dekade keempat dan kelima , tetapi dapat pula terjadi pada
anak-anak dan orang tua.

Secara umum gambaran klinis PNH meliputi gejala

anemia, hemoglobinuria, tanda-tanda perdarahan, serta


keluhan gastrointestinal. Penegakan diagnosis dapat

PATOGENESIS
Patogenesis terjadinya PNH adalah akibat gangguan
mutasi somatic pada totipotent haematopoetic stdm cell.
Mutasi somatic ini kemudian menyebabkan terjadinya
defesiensi berbagai jenis protein yang diperlukan bagi
pembentukan g ly c o sy lp ho sp hati dy lino s it o I anc ho re d
(GPI anchored), yakni antara lain leucocyte alkaline
phosphatase, acethylcholineesterase, decay accelerating
factor (DAF,CD55), membrane inhibitor of reactive lysis

(MIRL,CD59), FcgammaRlllb , c8 binding protein,


lymphocyte function associated antigen 3, CD14, dan
urokinase receotor Akibat defesiensi ini, GPI anchored

ditentukan melalui pemeriksaan darah, urine, sumsum tuJang

dan sitogenetik.

yaitu suatu struktur kompleks yang berfungsi mengatur


protein permukaan sel haematopoetik sefla mengatur kadar
complement-mediated lysls. Juga mengalami defesiensi
absolute atau relative. Hal ini kemudian memberikan efek
langsung terhadap proses hemolisis normal lewat dua cara.
Pertama, bahwa kekurangan satu atau lebih protein GPI

EPIDEMIOLOGI

Penderita dengan kelainan PNH pertama kali


dipublikasikan oleh Strubing pada tahun 1882, tetapi
gambaran klinis yang khas penderita PNH pertama kali
dijelaskan oleh Marchiavafa dan Micheli di Italia. Insiden
PNH sangat bervariasi pada berbagai populasi dan lebih

anchored akan menimbulkan kegagalan dalam


menginhibisi alternative pathway dari proses hemolisis
fisiologik dan akibatnya terjadilah pengaktifan comple-

tl74

tt75

PAROXYSMAL NOCTURNAL HEMOGLOBINURIA (PNH)

Leukosit Alkalin Fosfatase rendah.


Sucrose Waters Test dan Acid Hams Test: Positif.
Pada pemeriksaan Urine didapatkan : Hemoglobinuria,

me nt - me di ate d hemo b, tic S ebagai akibatny a, sel eri tros it


PNH ekan mengikat lebih banyak C3 aktif dari pada eritrosit
normal dan banyaknya jumlah ikatan C3 ini selanjutnya
berpengaruh terhadap sensitivitas lysis eritrosit. Semakin
.

Hemosiderinuria. Karena itu warna urine paling


berwarna gelap (seperti the) pada pagi hari waktu

besar proporsi eritrosit yang sensitive terhadap


complement-mediated lysis semakin berat derajat dari

bangun tidur dan makin siang wama urine makin terang,


seperti tampak pada gan'rbar berikut:

hemolisisnya. Kedua : terjadinya defisiensi dari protein-

protein anchored akan menyebabkan terganggunya


struktur dan kadar protein permukaan hemopoetik serta

terjadinya kerusakan membrane sel hemopoetik, yang


menyebabkan eritrosit PNH lebih peka terhadap proses
Lysis dari komplemen.
Berdasar sensitivitasnya terhadap komplemen, secara
invitro PNH dibagi menjadi 3 type yaitu : PNH I,II,[. PNH

I : adalah sel eritrosit PNH yang memilki


normal terhadap komplemen. PNH

turut memiliki sensitivitas

II dan III

-,1 kali serta

sensitivitas

.l:fu1+s
+$-ld*4ir di#*..*

befturut25 kali dari

secara

15

!!4*

:+if $ j'*+t-! !lliFs :$*&s

sensitivitas normal.

Mutasi somatic yang terjadi pada PNH tidak hanya


terbatas pada eritrosit, tetapi dapat juga mencakup
trombosit, leukosit dan sel-sel pluripoten hematopoesis.
Karena itulah, kelainan ini dapat bermanifestasi pula
sebagai kelainan displasia sumsum tulang seperti : anernia
aplastik, sindroma mielodisplastik dan leukemia akut.

i
1

Gambar 1. Urin tampung pada penderita dengan PNH

TANDA DAN GEJALA KLINIS

DIAGNOSIS

.
.

.
.

"
.
.
.
.
"

Anemia . ikterus, splenomegali.


Hemoglobinuria, terutama pagi hari. Sebagian besar
kasus hemoglobinuria tidak tampak dengan jelas,
walaupun teriadi hemolisis kronis.

Adanyaanemiahemolitikkronik.

Kekurangan zat besi sebagai akibat keluarnya zat besi


melalui urine.
Perdarahan akibat terjadinya trombositopenia.

Trombosis vena ditempat-tempat yang tidak biasa :


vena hepatica, sindroma Budd-Chiari. vena serebral,
vena lienalis, vena subklrtis , vena mesenterika

.
.

Tepi : gambaran anemia hemolitik,


gambaran
anemia defesiensi besi, dapat
disefiai
sering
juga menyerupai anemia aplasrik.
Aspirasi Sumsum Tulang : hiperplasi eritropoesis atau
hypoplasi.
Flowsitometri : pemeriksaan CD 59 pada eritrosit; CD
55 atau CD 59 pada granulosit.
Sucrose waters Test dan Acid Hams Test : positif.
Manifestasi trombosis
Pada Urine : hemoglobinuria; hemosiderinuria.

Kehamilan pada pasien PNH dapat dihubungkan


dengan aborsi dan trombosis vena.
Manifestasi pada ginjal : hypostenuria , kelainan fungsi
tubulus, gagal ginjal akut dan kronik.

LABORATORIUM

.
.

.
.
.

Gejala : anen-ia, hemoglobinuria.


Hapr.rsan Darah

Cambaran anemia hemolitik.


Hapusan darah tepi : sesuai dengan gambaran anemia
hemolitik, sering disertai gambaran anemia defesiensi

DIAGNOSIS BANDING

.
.
.
.
.

Anemia Hemolitik Lun.


Anemia Def'esiensi besi
Anemia aplastik

Black v,ater fever.


Paroxysmal cold hemoglobinuria.

besi, dapat pula menyerupai anemia aplastik.

PENGOBATAN

Retikulositosis
Aspirasi sumsum tulang : hyperplasia eritropoesis atau
hypoplasia.

. Bila

anemia transfusi darah dengan Washed

Ery-throcyte.

tt76
.
.
.
.
.
.
.
.

HEMANOLOGI

Asamfolat 1 mg/hari
Bila ada defesiensi besi diberi sulfas ferosus
Prednison 20

Leukemia Limfositik Kronik: Leukemia Mielositik


3

1 tab.

60 mgftrari, tetapi tidak untuk pemberian

jangka panjang..
Hormon androgen : Fluoxymesteron : 5 - 30 mg/hari;
Oxymetholon 10 - 50 mg/trari diberikan selama 6 - 8
minggu, bila tidak ada respon obat dihentikan.

Kronik; Polisitemia Vera dan Eritroleukemia.

Prognosis buruk bila: Usia diatas 55 tahun saat


diagnosis ditegakan; adanya trombosis; perubahan
menjadi : pansitopenia, sindroma mielodisplasia atau
leukemia akut

Antikoagulan : tidak terbukti bermanfaat untuk


mencegah terj adinya trombosi s.
Streptokinase; urokinase : bila ada trombosis.

REFERENSI

Transplantasi sumsum tulang merupakan indikasi

Hilln'ren P, Young NS, Schubert J et al (2006). The Complement


Inhibitor Eculizumab in Paroxysrnal Nocturnal Hemoglobinuria. N.Engl.J Mcd. 355:1233
Lichtmzrn MA, Bentlir E, Kipps TJ. Williams WJ (2003) Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuna In : Williams N'[anual ol ]{erlatology, 6 th edition. Eds : Lichtman MA. Bentlir E, Kipps TJ.
Williams WJ Mc Graw Hill, Toronto. p 233.
Luzatto L (1996). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. Tn
Hematology 1996 Education ProgrrLmme of the 26 th Congress of International Society of Haemulology. Ed : Mc Arthur

defenitifkemudian dilanjutkan dengan imunosupresan.


Perkembangan pengobatan PNH dengan obat antibody
monoklonan yaitu Eculizumab yang langsung mengikat
komplemen C5. Dengan memblokade kaskade C5,
antibodi ini dapat mengontrol teiadinya hemolisis pada
PNH yang tergantung komplemen. Pada penelitian

International "Multicenter Placebo Controlled Trial"


pada 87 pendrita yang sudah ketergantungan dengan
transfuse diberikan Eculizumab dengan dosis 600 mg
IV tiap minggu selama 4 minggu, I minggu kemudian
900 mg IV selanjutnya 900 mg IV tiap minggu sampai,

minggu ke 26.

Untuk penderita dengan PNH-AA syndrome dapat

diberikan pengobatan imunosupresif

dengan
Antilimfosit Globulin (ALG atauAIG) dan Cyclosporin.

JR, Sinagapore August, 2-5-26


Parker CJ, Lee GR (1999). Parox-vsmal Nocturnal Hemoglobinuria,
In : Winrrobes Clinical Hematolog-v, 10 th cdition Eds : Lee
GR. Foerster J. Rodger Gl4 Lipprncott William & Wilkins.
Philadelphia. p 1261
Parker C. Omine M. Richards S et al (2005) Diagnosis and Management of Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. Blood 106
:

699

Rosse W, Bunn HF (2008). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria

In : Harrisons Principle of Internal Medicine, 17 th edition

PROGNOSIS

.
.
.

Eds : Fauci AS, BraunwaldE,Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,


Jameson JL, Loscalzo J N{c Graw Hill Publishing Co, Ne\\'}brk,

p
Penderita PNH rata-rata hidup 10 - 50 tahun.
Kematian biasanya disebabkan oleh karena komplikasi:
trombosis; pansitopenia.
Penderita PNH dapat mengalami perubahan menjadi:
Leukemia akut; Sindroma Mielodisplasia; Mielofibrosis;

660

Socie C. Mary JY. de Cramont A, Rio B. Lepporier M. Rose C.


Heudier. Rochant H. Cahn JY, Gluckman E. Paroxysmal Nocturnal Haerroglobinuria : Long-term follow-up an Prognostic
Factors. Lancet, 3ul8 : 573

186
KELAINAN HEMATOLOGI PADA
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
Zubaii Djoerban

hiposelularitas menyelurrh (47,6Vo), peningkatan

PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik

(sy

s te

proliferasi retlklJin (7 6,24o) dengan mielofibrosis pada satu


pasien, dan nekrosis (I9E;). Plasmasitosis tampak.pada
26,1% pasren dan cadangan besi menurun atau tidak ada

ic lup u s e ry, the ntat o s Lts,

SLE) dapat mempengaruhi banyak organ di tubuh dan


menunjukkan manifestasi klinis dan imunologis dengan

pada13,3Vo pasien.

spektrum yang luas. Kelainan hematologi seringkali


ditemukan pada SLE,. Anemia dan trombositopenia,

ANEMIA

kelainan hematolo-ui yang sering terjadi pada perjalanan


penyakit pasien SLE, biasanya bukan merupakan kondisi
yang fatal, namun pada beberapa pasien dapat terjadi

Prevalensi

gangguan yang berat sehingga membutuhkan manajemen


yang agresif. Leukopeniajuga sering terjadi, hampir selalu
merupakan limfopenia, bukan granulositopenia, kondisi ini
jarang menjadi predisposisi terjadinya infeksi dan biasanya

Sebagian besar pasien menderita anemia pada suatu waktu


di sepanjang perjalanan penyakitnya. Prevalensinya cukup

tinggi, sekitar 5l-987o pasien pernah menunjukkan kadar


hemoglobin kurang dari 12 g/dl. Pada umumnya, yang
terjadi adalah anemia derajat sedang, tetapi beberapa

tidak membutuhkan terapi. Trombosis merupakan salah


satu penyebab kematian pada pasien SLE,.
Kriteria Diagnosis SLE dari ACR pada I 971 menyatakan
bahwa leukopenia, trombositopenia, dan anemia hemolitik
merupakan kriteria individual untuk SLE. Sementara pada

pasien menunjukkan anemia berat.

Etiologi

revisi tahun 1982 dinyatakan bahwa kelainan hematologi


dikelompokkan menjadi satu kelompok yang terdiri dari: 1)
anemia hemolitik autoimun, 2) leukopenia (<4000/pl pada
dua kali atau lebih pemeriksaan), 3) limfopenia (<1500/pl

pada dua

kali atau lebih pemeriksaan) dan

Anemia pada pasien SLE dapat merupakan penyakit imun


atau non-imun. Anemia yang merupakan penyakit nonimun adalah anemia pada penyakit kronik, anemia defisiensi
besi, anemia sideroblastik, anemia pada penyakit ginjal,
anemia diinduksi obat, dan anemia sekunder terhadap
penyakit lain (misalnya anemia sel sabit). Anemia yang
diperantarai imun pada pasien SLE adalah anemia hemolitik
autoimun, anemia hemolitik diinduksi obat, anemia
aplastik, pure red cell aplasia, dan anemia pernisiosa.
Voulgarelis dkk. melaporkan pada dari 132 pasien SLE,
31 ,lVo menderita anemia pada penyakit kronlk,35,67o atemia defisiensibesi, I4,4Vo anemia hemolitik autoimun dan
12,9 Vo karera penyebab lain.
Salah satu penyebab anemia pada penyakit kronik dan

4)

trombositopenia (<100.000/p1 tanpa pemberian obat). Pada

Carolina Lupus Study, dari 265 pasien SLE yang


didiagnosis antara 1995 sampai 1999, frekuensi kelainan
hernatologi pada diagnosis awal adalah ll%o anemia
hemolitik, 187o leukopenia,2lVo limfopenia, dan llVo
trombositopenia.
Sumsum tulang menjadi target pada pasien SLE dengan

sitopenia. Sebuah penelitian pada pasien-pasien SLE


dengan sitopenia, yang tidak menggunakan obat
imunosupresif, melaporkan gambaran sumsum tulang

tt7

t178
anemia karena sebab lainnya adalah berkurangnya
produksi eritropoietin dan resistensi eritropoietin pada sel
eritroid. Resistensi terhadap eritropoietin dapat terjadi
karena adanya autoantibodi terhadap eritropoietin (antiEpo). Voulgarelis melaporkan bahwa anti-Epo ditemukan
pada2lVo pasien SLE dengan anemia dan berhubungan
bermakna dengan aktivitas penyakit. Respons

peningkatan eritropoietin juga akibat penurunan


hemoglobin juga tidak adekuat pada 47 ,27o pasien anemia
hemolitik autoimun dan 42,4Vo pasien anemia penyakit

konik.

HEMAIIOI.OGI

dan anemia sel sabit telah dilaporkan, dan pada beberapa


pasien SLE terlambat dikenali akibat manifestasi klinisnya
yang serupa tersebut. Diduga bahwa abnormalitas pada
jalur alternatif dari komplemen pada hemoglobinopati sel

sabit dapat menjadi predisposisi untuk menjadi kelainan


kompl eks imun, termasuk SLE. Namun tidrk ada buki bahwa

SLE lebih sering ditemukan pada pasien dengan


hemoglobinopati sel sabit.

Anemia yang Diperantarai lmun


Anemia hemolitik autoimun. Anemia hemolitik autoimun

(AHA) merupakan penyebab anemia

pada 5-79Vo pasien

Anemia yang Tidak Diperantarai lmun

SLE. Beberapa sindrom klinik terjadi, masing-masing

Anemia pada penyakit kronik merupakan jenis anemia

kapasitas pengikatan besi total tidak berubah atau sedikit


rendah. Dijumpai pula penurunan saturasi besi pada
transferin. Pemeriksaan sumsum tulang memberikan hasil

diperanterai oleh autoantibodi (IgG atau IgM) yang berbeda


yang menyerang sel darah merah. Akibatnya, sel darah
merah lebih cepat dirusak sehingga jumlah berkurang di
sirkulasi. Anemia hemolitik autoimun biasanya berkembang
secara bertahap pada sebagian besar pasien, namun
terkadang dapatjuga berkembang cepat sehingga terjadi
krisis hemolitik yang progresif.

yang normal dengan cadangan besi yang adekuat.


Anemia berkei-nbang dengan lambat jika tidak ada

dengan adanya antibodi antikardiolipin, atau dapat menjadi

komplikasi dengan faktor lain, seperti perdarahan. Hitung


retikulosit rendah bila dibandingkan dengan derajat

bagian dari sindroma antifosfolipid, yang mana


dihubungkan dengan adanya antibodi antifosfolipid,

anemlanya.

trombosis, trombositopenia, dan keguguran berulang.

Mekanisme anemia pada penyakit kronik masih sulit


dimengerti. Hasil pada beberapa penelitian patogenesis
artritis rematoid mengindikasikan bahwa banyak faktor
yang terlibat seperti gangguan pelepasan besi oleh sistem

Voulgarelis juga melaporkan adanya antibodi anti-dsDNA


pada hampir semua pasien dengan AHA. Adanya AHA

yang paling sering ditemukan pada pasien SLE. Gambaran


apus darah tepi menunjukkan sel-sel yang normositik atau

normokrom. Konsentrasi besi serum menurun dan

fagositik mononuklear, besi terikat dengan protein


pengikat, penurunan respons eritropoietin, dan efek
supresif interl euki n terhadap eritropoiesis.
Pengobatan anemia ini pada pasien SLE ditujukan pada
proses penyakitnya, tidak dianjurkan pemberian terapi besi
atau intervensi spesifik lainnya.

Anemia Defisiensi Besi biasanya ditemukan pada pasien


SLE yang mendapat obat anti-inflamasi non steroid
(OAINS) atau mengalami menorrhagia. Ditemukan
penurunan penggunaan besi. Radioaktivitas pada banyak

organ berbeda dari normal, dengan peningkatan kadar


radioaktivitas pada limpa dan hati. Peningkatan jumlah besi
yang diabsorpsi tidak digunakan untuk sintesis hemoglobin melainkan untuk disimpan. Di lain pihak, ttunoverbesi
plasma meningkat pada sebagian besar pasien. Usia eritrosit
lebih pendek tanpa adanya hemolisis. Jadi, anemia pada
penyakit kronik pada pasien SLE dapat menyebabkan

terjadinya aktivitas sumsum tulang yang rendah,


pemendekan umur eritrosit, dan mungkin uptake besi yang
buruk.

Anemia Sel Sabit dan SLE menunjukkan manifestasi klnik


yang serupa seperti artralgia, nyeri dada, efusi pleura,
kardiomegali, nefropati, strok, dan kejang. Pasien dengan
hemoglobinopati sel sabit juga menunjukkan peningkatan
prevalensi autoantibodi. termasukANA. Ko-eksistensi SLE

Anemia hemolitik autoimun dapat dihubungkan

juga diperkirakan dapat mengidentifikasi subkelompok


khusus dari pasien SLE karena adanya hubungan
beberapa karakteristik serologik tersebut dengan
manifestasi klinik. Kel1y dkk. melaporkan bahwa terdapat

bukti yang kuat keterlibatan gen rentan SLE, SLEHl, pada


kelompok keluarga Afro-Amerika yang mempunyai paling
tidak satu anggota keluarga dengan SLE dengan anemia
hemolitik.
Kriteria ACR tidak mendefinisikan derajat keparahan

anemia hemolitik. Anemia hemolitik yang berat


(didefinisikan sebagai hemoglobin <Sg/dl, tes Coomb
positif, retikulositosis, dan penurunan hemoglobin 3 g/dl
sejak pemeriksaan terakhir) mempunyai hubungan yang
bermakna dengan keterlibatan organ sistemik lainnya yaitu
ginjal dan susunan saraf pusat.

Klasif ikasi

AHA dapat diklasjfikasikan menjadi dua tipe utama


menurut antibodi yang terlibat dalam destruksi eritrosit dan
suhu optimal dari reaktivitas antibodi pada permukaan
eritrosit. AHA tipe hangat diperantarai oleh antiboi IgG di
mana reaksi dapat berlangsung optimal pada suhu 37"C.

AHA aglutinin dingin diperantarai oleh antibodikomplemen IgM yang terikat optimal pada antigen eritrosit
pada suhu 4"C.

AHA tipe hangat, Tipe ini merupakan jenis yang paling

tt79

KELAINAIY HEMATOLOGI PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

banyak terjadi pada pasien SLE. Sel darah merah yang


dilapisi oleh antibody IgG hangat pindah ke sirkulasi,

Secara umum, splenektomi kurang efektif untukAHA


tipe hangat dibandingkan trombositopenia autoimun.

terutama oleh sekuestrasi pada limpa. Sel darah merah yang


dilapisi antibodi kemudian mengalami perubahan membran,

T[ansfusi. Sebaiknya transfusi darah dihindari, tidak hanya


karena risiko penularan penyakit infeksi, tetapijuga karena
pengamatan menunjukkan adanya isoantibodi melawan sel

sehingga terbentuk sferosit. Penelitian yang memeriksa


struktur limpa pada pasien SLE dengan AHA menemukan
bahwa eritrosit dilapisi dengan IgG dan komplemen yang
kemudian difagositosis secara lengkap oleh makrofag limpa,

dan sebagian kecil oleh sel-sel endotelial sinus.


Kebalikannya, di hati, lagositosis eritrosit tersensitisasi oleh

sel Kupfer hanya terjadi sesekali. Sehingga dapat


disimpulkan bahwa limpa adalah lokasi utama destruksi
efltros1t.

Gejala klinis pada AHA sangat bervariasi. Gejala


disebabkan karena anemianya seperti kelelahan. pusing.
dan demam.Bukti adanya hemolisis, termasuk kuning dan.
urin seperti teh dapat ditemukan. AHA pada pasien SLE
berkembang secara bertahap pada sebagian besar pasien.
tetapi terkadang dapat muncul sebagai krisis hemolitik

progresif yang cepat.

Kombinasi AHA hangat dan dingin, Suatu penelitian


melaporkan bahwa 77o pasien AHA yang mendapat
transfusi mempunyai antibodi anti eritrosit IgG hangat dan
IgM dingin, kedua antibodi tersebut berkontribusi terhadap
terjadinya hemolisis. Sekitar 207o pasien dari kelompok
tersebut menderita SLE.

Pengobatan
Terapi medikamentosa. Kortikosteroid sistemik, 1 - 1,5 mg/
kg prednison setiap hari, cukup efektif. Steroid diberikan
secara parenteral pada pasien dengan penyakit akut dan
kemudian diganti menjadi obat oral setelah keadaannya
stabil dan membaik. Dosis tersebut diberikan selama 4-6
minggu dan secara berlahap diturunkan.
Pada pasien yang responsif dengan steroid, respons
klinis akan terjadi dalam waktu satu minggu. Stabilisasi
hematokrit terjadi dalam 30-90 hari seteiah terapi dimulai.
Pasien dengan anemia hemolitik berat dan progresif
cepat dapat diberikan metilprenisolon 1 g IV selama 3 hari
berturut-turut, diikuti dengan dosis steroid konvensional.
Hitung retikulosit dapat digunakan sebagai indikator
respons terapi dan untuk mendeteksi relaps saat dosis
steroid diturunkan. Hitung retikulosit yang menurun
drastis dihubungkan dengan relaps proses hemolitik.
Pengobatan lainnya yang telah dilakukan adalah
pemberian azatioprin 2-2,5 mg/kg dikombinasikan dengan
prednison 10-20 mg/hari pada pasien-pasien yang gagal
dengan pernberian prednison.

Splenektomi. Splenektomi dilakukan pada pasien dengan

AHA tipe hangat idiopatik yang membutuhkan dosis

darah merah pada pasein SLE. Pasien yang mendapat


transfusi berulang dapat membentuk isoaglutinin terhadap
beberapa antigen eritrosit yang berbeda.
Sangat sedikit indikasi untuk melakukan transfusi pada
pasien SLE, di antaranya aalah perdarahan masif akut,
dengan kadar hemoglobin turun sampai kurang dari 6 gl
dl, atau disertai dengan penyakit jantung atau iskemia
serebrovaskular yang berat. Respons pasien SLE dengan
anemia hemolitik autoimun terhadap kortikosteroid secara
umum sangat baik, sehingga transfusi darah biasanya tidak
diperlukan. Antibodi antjeritrosit di sirkulasi dapat
membuat uji cocok silang darah menjadi sulit.

TROMBOSITOPENIA DAN KELAINAN


TROMBOSIT LAINNYA

Frekuensi dan Masalah


Trombositopenia, didefinisikan sebagai kadar trombosit
di bawah 150.000/mm3, cukup sering ditemui pada pasien
SLE. Sebuah studi multisenter di Eropa melaporkan
trombositopenia terjadi pada l3Vo pasien SLE, sementara
angka di Asia menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi
yaitu sekitar 30%.
Adanya trombositopenia dapat dijadikan indikator
untuk memperkirakan prognosis pasien SLE. Sebuah studi

kohort pada 408 pasien dengan waktu pemantauan


median selama I I tahun menyatakan bahwa adanya
trombositopenia berhubungan dengan peningkatan risiko
morlalitas yang terkait SLE, sebanyak 2,36 kali.
Penelitian pada 38 keluarga yang memiliki sekurang-

kurangnya

2 orang anggota keluarga

dengan SLE

melaporkan bahwa trombositopenia berhubungan dengan


bentuk SLE familial yang berat dengan gangguan pada
gen 1q22-23 dan 1lpl3 yang berkontribusi terhadap
gambaran fenotip yang berat dan mortalitas yang tinggi.

Etiologi
Penyebab trombositopenia pada SLE dapat dibagi menjadi

tiga, yaitu 1) kegagalan produksi yang disebabkan oleh


pengobatan atau penyakitnya sendiri, 2) distribusi
abnormal, sepefii pooling di limpa, atau 3) destruksi besarbesaran seperti pada sindrom antifosfolipid, anemia
hemolitik mikroangiopatik atau trombositopenia yang
diperantarai antibodi.

pemeliharaan prednison yang tinggi (20 mg/hari atau lebih),

pasien dengan relaps yang sering, atau mereka yang


menunjukkan efek samping yang serius dengan terapi
steroid.

Purpura Trombositopenik lmun


Purpura Trombositopenik Imun (.Immune Thrombocy-

1180

topenic Purpura,ITP) mempunyai hubungan yang khusus


dengan SLE. Kedua penyakit ini umumnya mengenai
perempuan muda, selain itu sebagian pasien ITP yang
awalnya diduga merupakan penyakit idiopatik ternyata di
kemudian hari menampakkan gambaran klasik SLE. Lebih
jauh lagi, purpura trombositopenik, secara klinik dibedakan
dari ITP, dapat terjadi sepanjang perjalanan penyakit SLE.

Manifestasi klinis, manif-estasi klinis trombositopenia pada


pasien SLE secara umum serupa dengan yang terlihat pada
pasien ITP atau trombositopenia akibat penyebab lain, dan
tergantung pada jumlah hitung trombosit. Saat hitung
trombosit di bawah 50.000/mm3, perdarahan spontan atau
purpura dapat terjadi. Faktor lain yang mempengaruhi
perdarahan spontan tersebut selain hitung trombosit adalah
defek trombosit secara kualitatif dan usia trombosit.
Perdarahan biasanya muncul sebagai petekie dan/atau
ekimosis, terutama pada tungkai bawah, dengan adanya
peningkatan tekanan kapiler. Perdarahan hidung, menorrhagia, epistaksis, dan perdarahan gusi dapat pula terjadi.
Perdarahan spontan pada otak merupakan komplikasi yang
ditakuti dan dapat berakibat fatal.

Pengobatan, umumnya dianjurkan terapi dengan


kortikosteroid sistemik, yaitu prednison 1- 1 ,5 mg/kg/hari.
Terapi kortikosteroid ini ekuivalen dengan "splenektomi
medikal" karena mencegah sekuestrasi trombosit berlapis
antibodi pada limpa. Sebagian besar pasien menunjukkan
perbaikan dalam l-8 minggu.

Metilprednisolon IV dosis tinggi juga digunakan untuk

HEM/Iff]OI.OGI

pasien SLE, namun merupakan komplikasi yang


mengancam jiwa. Kelainan ini ditandai dengan demam,
disfungsi ginjal, anemia hemolitik mikroangiopatik,
trombositopenia, dan kelainan neurologis.
Pengobatannya dalah dengan kortikosteroid dan infus
plasma, dengan atau tanpa plasmaferesis.

Kelainan Sel Darah Putih


Leukopenia terjadi pada sekrtar l8-507o pasien SLE selama
perjalanan penyakit. Neutrofil dan/atau limfosit di sirkulasi

dapat menurun akibat beberapa sebab. Pengobatan


dengan kortikosteroid maupun imunosupresif dapat
menekan jumlah limfosit absolut akibat sekuestrasi limfosit
di limpa dan sumsum tulang.
Limfopenia sering terjadi pada pasien SLE dengan
penyakit yang aktif dan mempunyai arti patologis yang
bermakna. Limfopenia dapat terjadi tanpa leukopenia.

Penyebabnya mungkin karena adanya antibodi


limfositotoksik dan apoptosis limfosit.
Seperti leukopenia, limfopenia dapat disebabkan oleh
faktor selain SLE sendiri. Pengobatan dengan kortikosteroid
dan obat sitotoksik, infeksi, dan perawatan di rumah sakit
dapat berkontribusi terhadap penurunan hitung limfosit,
yang mana mungkin bukan merupakan cetminan aktivitas

penyakit.
Limfopenia dapat berkembang pada stadium akut pada
84Vo pasiet dan dihubungkan dengan peningkatan sedime nt at

on r at e . S aat diagnosis, lim fopenia ditemukan pada

dibanding terapi steroid konvensional belum terbukti.


Pemberian yang berulang akan mengurangi respons

757o pasien, namun pada pemantauan selanjutnya.


beberapa pasien kemudian juga mengalami limfopenia
sehingga secara kumulatif 93Vo pasien mengalami

trombosit.

limfopenia.

trombositopenia yang berat, namun kelebihannya

Berbeda dengan ITP idiopatik, splenektomi pada pasien

SLE dengan trombositopenia yang resisten steroid tidak


dianjurkan karena peningkatan risiko infeksi yang berat
setelah splenektomi dan terlihat adanya manfaat efikasi
pada pemberian obat-obat yang lain. Danazol dilaporkan
efektif pada beberapa pasien dengan trombositopenia
yang refrakter terhadap steroid, obat sitotoksik, dan/atau
splenektomi. Danazol diberikan dengan dosis rata-rata 200
mg, tiga atau empat kali sehari.
Siklofosfamid IV intermiten juga efektif pada pasien
SLE yang refrakter terhadap steroid atau splenektomi atau

membutuhkan peningkatan dosis steroid yang tinggi.


Obat lain yang dilaporkan efektif adalah azatioprin,
siklosporin, dapson, dan vinkristin. Gamma globulin IV
juga efektif, namun efeknya tidak dapat bertahan lama.
Seperli pada ITP idiopatik, gamma globulin paling berguna
untuk pengobatan perdarahan yang mengancam jiwa atau
untuk mempersiapkan pasien menjalani operasi gawat-

Limfopenia absolut berkorelasi dengan aktivitas


penyakit. Pasien dengan hitung limfosit absolut kurang
dari 1500 sel/mm3 pada saat diagnosis menunjukkan
frekuensi demam, poliarlritis, dan keterlibatan susunan
saraf pusat yang lebih tinggi, sementara prevalensi
trombositopenia dan/atau anemia hemolitik lebih rendah.

Trombosis
Trombosis merupakan salah satu penyebab kematian pada
SLE selain akibatpenyakit SLE aktif, infeksi, dan keganasan.

Sebuah studi kohort di Eropa pada 1000 pasien SLE


melaporkan b ahwa 12 dari 45 pasien pada 5 tahun perlama
dan 6 dari 23 pasien pada 5 tahun berikutnya meninggal
akibat trombosis. Yang dapat menjadi catatan adalah bahwa
trombosis merupakan penyebab kematian utama pada
pasien SLE setelah 5 tahun.

darurat.

Lupus Eritematosus Sistemik dan Sindrom


Antifosfolipid

Purpura Trombositopenik Trombotik

Sindrom antibodi antifosfolipid didefinisikan sebagai


penyakit trombofilia autoimun yang ditandai adanya

Kelainan ini merupakan kelainan yangjarang terjadi pada

1181

KELAINAT{ HEMATOLOGI PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

antibodi antifosfolipid yang menetap serta kejadian


berulang dari trombosis vena/arteri, keguguran, atau
trombositopenia. Trombosis pada pasien SLE hampir
selalu dihubungkan dengan sindrom antibodi
antifosfolipid. Kejadian trombotik yang sering terjadi

peningkatan sintesis tromboksan. Terikatnya antibodi atau


kompleks imun dari sirkulasi juga dapat menjadi awal
terbentuknya mikrotrombus, aktivasi komplemen lokal, dan
kemudian kerusakan endotel.

adalah strok, oklusi arteri koronaria, dan emboli pulmoner.

Kemungkinan adanya sindrom antifosfolipid pada


pasien SLE harus ditelusuri pada pasien perempuan muda
(kurang dari 40 tahun) yang mengalami strok, perempuan
hamil dengan keguguran berulang atau adanya riwayat

trombosis vena dalam. Pemeriksaan laboratorium


ditemukan antibodi antikardiolipin IgG dan/atau IgM
positif, atau antikoagulan lupus positif, biasanya disertai
dengan pemanjangan masa protrombin atau masa
protrombin teraktivasi.
Antibodi antifosfolipid, seperli antibodi antikardiolipin
(anticardiolipin antibody, ACA) dan antikoagulan lupus
(lupus anticoagulant, LA), seringkali ditemukan pada SLE.
Falc6o dkk. melaporkan antibodi antifosfolipid ditemukan
pada507o dari T0pasien SLE di manaLAdanACAmasingmasing ditemukan pada707o dan 44,3Vo pasien. Fraksi IgG
dari plasma yang mengandung ACA dan LA pada pasien

SLE dapat meningkatkan aktivasi trombosit yang dipicu


oleh ADP, sementara IgG yang tidak mengandung ACA
dan LA tidak menunjukkan efek tersebut. Oleh karena itu
ACA dan LA diduga dapat bekerjasama untuk aktivasi
platelet dan berperan dalam trombosis arlerial pada pasien
SIE.

Antibodi antikardiolipin dan antikoagulan lupus


berikatan dengan fosfolipid membran dengan perantaraan

(B2GPI),
protrombin, protein C, protein S, atau annexin V. Nojima
melaporkan antibodi antifosfolipid dependen B2GPI,

protein plasma seperti o,2 glikoprotein

protrombin, aprotein C, protein S, annexin V ditemukan


pada masing 307o , 567o , 2l%o, 28Vo , dan 307o pasien SLE
dan berhubungan dengan trombosis arteri dan/atau vena,
trombositopenia, dan keguguran. Antibodi anti-B2GPI dan
antiprotrombin merupakan faktor risiko bermakna untuk
trombosis arterial, antibodi anti-protein S untuk trombosis
vena, dan anti-annexin V untuk keguguran.

Mikroangiopati Trombotik
Mikroangiopatik trombotik adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan kondisi -kondisi dimana terjadi
trombosis mikrovaskular terlokalisasi atau difus. Sindrom
ini paling sering ditemukan padapasien dengan lupus aktif,
dimana perusakan jaringan dan aktivasi komplemen
sedang terjadi.

Etiologi mikroangiopati trombotik sangat sedikit


diketahui tetapi sepertinya trombosit, faktor humoral
(antibodi dan komplemen) dan endotelium mikrovaskular
memegang peranan penting pada patogenesisnya. Cedera
pada pembuluh darah kecil merangsang adhesi trombosit
pada endotelium dan agregasi, menurunnya PGIl dan

REFERENSI
Al-Shahi R, Mason JC, Rao R, et al. Systemic lupus erythematosus,
thrombocytopenia, microangiopathic haemolytic anaemia and
anti CD25 antibodies. Br J Rheumatol. 1997:'36:194-8
Castelino DJ, McNair P, Kay TW. Lymphocytopenia in a hospital
population what does it signify? Aust NZ I Med 1997:.27:1104.
Cervera R, Khamashta MA, Font J, et al Morbidity and mortality
in systemlc lupus erythematosus during a lO-year period a comparison ol early and late manifestations in a Cohort of 1,000
patients. Medicine. 2003;82(5):299-308
Cooper GS, Parks CG, Treadwell EL, et al. Differences by race, sec,
and age in the clinical and immunologic features of recently
diagnosed systemic lupus erythematosus patients in the southeastern United States. Lupus. 2002;11:161-1.
Falcio CA. Alves IC, Chahade WH, Duarte ALBP, Lucena-Silva N
Echocardiographic abnormalities and antiphospholipid antibodies
in patients with systemic lupus erythematosus. Arq Bras Cardiol.
2OO2:19:285-91
Georgescu L, Vakkalanka RK, Elkon KB, Crow MK. Interleukin-1O
promotes activation-induced cell death of SLE lymphocytes
mediated by Fas ligand J Clin Invest. 1997;100:2622-33.
Hahn BH. Systemic lupus erythematosus. In: Kasper DL, Fauci AS,
Lango DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors.
Harrison's principles of internal medicine. l6'h editjon. New

York: McGraw Hill; 2005 p 1960-7.


Kao AH, Manzi S, Ramsey-Goldman R. Review of ACR hematologic
criteria in systemic lupus erythematosus Lupus. 2004;13:8658.

Kelly JA, Thompson K, Kilpatrick J, et al. Evidence for a susceptibility gene (SLEHI) on chromosome 11q14 for systemic lupus
erythematosus (SLE) families with hemolytic anemia Proc Natl
A Sci. 2002;99(l&):1 1766-71.
Kokori SJ, Ioannidis J, Voulgarelis M, Tzioufas AG, Moutsopoulos
HM. Autoimmune hemolytic anemia in patients with systemic
lupus erythematosus. Am J Med. 2000;108:198-204
Nojima J, Suehisa E, Kuratsune H, Machii T, Koike T, Kitani T, et

al. PIatelet actjvation induced by combined effects of


anticardiolipin and lupus anticoagulant IgG antibodies in patients with systemic lupus erythematosus-possible association

with thrombotic and thrombocytopenic complications. Thromb


Haemost. 1999;8 1 :436-41.
Nojima J, Kuratsune H, Suehisa E, et al. Association between the
prevalence of antibodies to A2-Glycoprotein I, prothrombin,
protein C, protein S, and annexin V in patients wirh systemic
lupus erythematosus and thrombotic and thrombocytopenic
complication. Clin Chem. 2001 ; 17(6):1008-15.
Pereira RM, Velloso ER, Menezes

Gualandro S, Vassalo J, Yoshinari

NH. Bone marrow findings in systemic lupus erythemalosus


patients with peripheral cytopenias. Clin Rheumatol.
1998 ; l7(3):21

9-22. Abstrak.

FP. Hemic and lymphatic abnormalities in SLE. In:


Wallace DJ, Hahn BH, editors Dubois' lupus erythematosus. 4'h
ed. Pensylvania: Lea & Febiger; 1993. p. 418-30.

Quismorio

Jr

tt82

HEMIIiIOI.OGI

Scofield RH, Bruner GR, Kelly JA, et al. Thrombocytopenia

identifies a severe familial phenotype of systemic lupus


ertythematosus and reveals genetic linkages at

lq22 and

llpl3.

BIood. 2003; l0 I :992-7.


Sultan SM, Begum S, Isenberg DA. Prevalence, pattems of disease
and outcome in patients with systemic lupus erythematosus
who develop severe haematological problems. Rheumatology.

2003;42:230-4.
Voulgarelis M, Kokori SIG, Ioannidis JPA, Tzioufas AG Kyriaki D,
Moutsopoulos HM. Anaemia in systemic lupus erythematosus:
aetiological profile and the role of erythropoietin. Ann Rheum
Dis. 2000;59:217 -22.
Ward MM, Pyun E, Studenski S. Mortality risk associated with
specific clinical manifestations of systemic lupus erythematosus. Arch Intern Med. 1996;156:1337-44.
Winfield JB. Anti-lymphocyte antibodies is systemic lupus
eryhematosus. Clin Rheum Dis. 1985;11:523. Abstrak.

t87
HIPERSPLENISME
BudiMuljono

PENDAHULUAN

PENYEBAB PEMBESARAN LIMP

Istilah kata hipersplenisme lebih difokuskan pada keadaan


kerja limpa yang berlebihan dan dapat menyebabkan
penyakit. Jadi suatu keadaan pembesaran limpa dapat
akibat/bersama-sama dari suatu penyakit atau dapat
menyebabkan penyakit sistemik.
Keadaan limpa yang dapat menyebabkan penyakit

Proses lnflamasi
Akut/sub akut: tifoid, sepsis, abses limpa, infeksi
mononukleosis, endokarditis bakterial subakut

Kronik: tuberkulosis, sifilis, Felty's syndrome, rheumatoid arthritis, malaria, leishmaniasis, trypanosomiasis,
(Amazonian sple nome gali dan Americ an splenome g ali e s,

dicetuskan sejak 1 866 oleh Gretsel dan 1 880 Banti dan pada

histoplasmosis), skistosomiasis, ekinokokkosis, sarkoid


Boeck's, be ryllium dise as e.

tahun 1907 oleh Chuffard, kata hipersplenisme mulai


diperkenalkan.

CongestivelBendungan Splenomegal

.
.

DEFINISI

Hipersplenisme adalah suatu keadaan di mana:


a). Anemia, lekopenia, trombositopenia atau
kombinasinya; b). Normal atau hiperselular sumsum
tulang; c). Pembesaran limpa; d). Klinis membaik bila

.
.
.

dilakukan pengangkatan limpa.

i:

Sirosis hati
Trombosis.stenosis atau cavemous transformasi vena

porta

Trombosis yang dapat terjadi penghambatam vena


splenika

Tidak diketahui penyebabnya


Kegagalan jantung

Hiperplasia Splenomegali

.
.

PATOFISIOLOGI

Hipersplenisme dapat primer atau sekunder.


Primer hipersplenisme tidak diketahu penyebabnya,
sedangkan sekunder hipersplenisme dapat disebabkan

Anemiahemolitikmumi
Anemia kronik dengan ada/tidak ada kerusakan darah:
- Anemiapernisiosa, anemiamikositik
- Talasemia, hemoglobin C disease.

Anemia mieloftisis mielosklerosis, mielosis,


megakariositis aleukemik, metaplasia mieloid

Penyakit hemolitik sejak bayi


Lupus eritomatosus sistemik

penyakit infeksi atau parasit, penyakit-penyakit

agnogenik

Gaucher, leukemia, limfosarkoma. Begitu banyak dan


luas fungsi dari limpa, diantaranya pembersihan bakteri,

.
.
.
.
.

antigen, antibodi, penggantian darah dan lain-lain.


Sehingga adanya pembesaran limpa dapat menyebabkan
kerja limpa berlambah atau sebaliknya. Beberapa penyakit
dapat disertai pembesaran limpa dan akan menyebabkan
kenaikan kerja limpa.

118

Trombositopeniapurpura

Limfatik hipersplenisme yang jinak: penyakit Grave's


Polisitemia vera

Splenikneutropenia,/panhematopeniaprimer
Kriptogenetik,splenomegalitropikal

1184

lnfiltratif Splenomegali
. Penyakit Gaucher's
. PenyakitNiemann-pick's
. Amiloidosis
. Diabetiklipemia
. Gargoilisme
Kista dan Neoplasma

.
.
.
.
.
.
.
.

Kista limfa (epitel, endotel atau parasit, hemangioma)


Kista palsu (perdarahan, serosa, inflamasi)
Hamarloma

[rukemia
PenyakitHodgkin's
Bukan penyakit Hodgkin's
Histokistosis X
Metastasis keganasan

GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang sering dijumpai adalah rasa sakit di perut
karena pembesaran limpa dan peregangan kapsul limpa,
infark ataupun inflamasi dari kapsul limpa.

Pada anemia hemolitik, pembesaran limpa dapat


mendadak sakit dan disertai infeksi sehingga dapat terjadi
secara tiba-tiba penghancuran eritrosit yang berat.
Gejala klinis lainnya tergantung dari penyakit yang
mendasari pembesaran limpa (hipersplenisme sekunder).
Demikian juga hasil pemeriksaan laboratorium selain
anemia, leukopenia, trombositopenia, atau kombinasinya
dan ditambah gejala-gejala dari penyakit sekundernya

HEMIIiTOI-OGI

PENGOBATAN
Pada pasien hipersplenisme primer, splenektomi adalah
yang terutama sedangkan pada hipersplenisme sekunder

sangat tergantung dengan penyakit penyebabnya.


Tindakan splenektomi dilakukan bila pemeriksaan sumsum
tulang normal atau hiperselular. Banyak keadaan penyakit

yang disertai pembesaran limpa yang masif seperti


leukemia mielositik kronik, limfoma, leukemia haircell,
mielofibrosis dan metaplasia mieloid, polisitemia vera,
penyakit gautcher's, leukemia limfositik kronik, dl1.
Selain karena trauma, tumor limpa dan penyakit limpa
primer. Tindakan splenektomi biasanya dilakukan pada
pasien anemia karena kelainan bentuk eritrosit, kelainan
hemoglobin dan pada keadaan trombositopeni sehingga

penghancuran eritrosit dan trombosit terhambat/


berkurang. Sehingga splenektomi dapat dilakukan sebagai
pilihan terakhir pengobatan penyakit-penyakit hipertensi
ponal. leukemia dan lim[oma.

RISIKO
Pengangkatan limpa dapar menyebabkan terjadinya infeksi

bakteri atau sepsis terutama 1 sampai 3 tahun setelah


operasi. Setelah pengangkatan limpa terjadi kenaikan cepat

jumlah trombosit yang disertai jumlah eritrosit.

REFERENSI
L Kasper, Eugene Braunwald, et al. Harison's principles of
internal medicine. 16'h edition. 2005 p 343-8.
G Richard LEE, Thomas C Bithell, et al. Wintrobe's clinical hematoiogy. 9th edition 1993. p. 1704-19.

Dennis

188
DASAR.DASAR TRANSFUSI DARAH
ZubairiDjoerban

RISIKO TRANSFUSI

PENDAHULUAN
Imunohematologi adalah bidang ilmu yang merupakan

Sebuah penelitian melaporkan bahwa reaksi transfusi yang

interseksi arrlara hematologi dan imunologi.

tidak diharapkan ditemukan pada 6,6Vo resipien, di mana


sebagian besar (557o) berupa demam. Gejala lain,adalah
menggigil tanpa demam sebanyak l4Vo, reaksi alergi
(terutama urtikaria) 207o , hepatitis serum positif 6 7o, rcaksi
hemolitik 4Vo, dan overload sirkulasi 17o.

Imunohematologi dapat dibagi menjadi dua, yang terkait


dan tidak terkait dengan genetik. Imunohematologi yang
terkait dengan genetik antara lain serologi transfusi,
penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, graft versus host
disea.se, imunomodulasi dan petanda genetik darah.

Imunohematologi yang tidak terkait dengan genetik

Demam

antara lain adalah autoimunitas, anemia hemolitik akrbat

Peningkatan suhu dapat disebabkan oleh antibodi


leukosit, antibodi trombosit, atau senyawa pirogen.
Untuk menghindarinya dapat dilakukan uji cocok silang

obat, dan anemia hemolitik yang diinduksi neuraminidase.

Istilah imunohematologi dapat diartikan sebagai


penerapan prinsip-prinsip imunologi untuk mempelajari

antara leukosit donor dengan serum resipien pada pasien

yang mendapat transfusi leukosit. Cara lain adalah


dengan memberikan produk darah yang mengandung

kelainan-kelainan hematologi. Namun, saat ini


imunohematologi lebih difokuskan pada ilmu mengenai
antigen dan antibodi pada sel darah merah yang
berhubungan dengan transfusi darah dan beberapa

sedikit leukosit, leukosit yang harus dibuang pada produk


ini minimal 907o dari jumlah leukosit. Transfusi juga dapat

dilakukan dengan memasang mikrofiltrasi yang

komplikasi kehamilan.
Aplikasi ilmu ini biasanya dikenal sebagai Transfusion

mempunyai ukuran pori 40 mm. Dengan filterberukuran


tersebut jumlah leukosit dapat berkurang sampai 60Va.
Pemberian prednison 50 mg atau lebih sehari atau 50 mg
korlison oral setiap 6 jam selama 48 jam sebelum transfusi
atau aspirin 1 g saat mulai menggigil atau l jam sebelum

Medicine (Ilmu Kedokteran Transfusi) atau Blood Banklng (penyimpanan darah). Transfusi darah/produk darah
yang aman dan konservasi darah adalah fokus utama dari
Ilmu Kedokteran Transfusi. Konservasi darah adalah
teknik atau usaha untuk mengurangi kebutuhan transfusi
darah. Secara luas, imunohematologi juga mencakup

transfusi, dilaporkan dapat mencegah demam akibat


transfusi.

imunologi transplantasi jaringan atau organ. Untuk

Reaksi Alergi

memahami kedokteran transfusi secara komprehensif


maka diperlukan pengetahuan mengenai imunologi,
serologi, dan genetik. Inovasi-inovasi terbaru mengenai
enzim, DNA rekombinan, dan teknik biomedis lainnya

Renjatan anafilaktik terj adi

pada20.000 transfusi. Reaksi

alergi ringan yang menyerupai urtikaria timbul pada3Vo


transfusi. Reaksi anafilaktik yang berat terjadi akibat
interaksi antara IgA pada darah donor dengan anti-IgA
' spesifik pada plasma resipien.

menyebabkan meluasnya batasan pengertian


imunogenetik.

118

1186

HEMATIOI.OGI

Reaksi Hemolitik

dan

Reaksi ini terjadi karena destruksi sel darah merah setelah


transfusi akibat darah yang inkompatibel. Reaksi hemolitik
juga dapat terjadi akibat transfusi eritrosit yang rusak akibat
paparan dekstrose 57o, injeksi air ke dalam sirkulasi,

kontaminasi tersebut berhubungan langsung dengan

transfusi darah yang lisis, transfusi darah dengan

transfusi menggunakan konsentrat trombosit yang berasal


dari beberapa donor dibandingkan dengan trombosit yang

pemanasan berlebihan, transfusi darah beku, transfusi


dengan darah yang terinfeksi, transfusi darah dengan
tekanan tinggi.
Jika seseorang ditransfusi dengan darah atau janin
memiliki struktur antigen eritrosit yang berbeda dengan
donor atau ibunya, maka dapat terbentuk antibodi pada
tubuh resipien darah atau janin tersebut. Reaksi antara
antigen eritrosit dan antibodi plasma, baik yang spesifik

maupun nospesifik, menyebabkan antibodi merusak


eritrosit. Destruksi eritrosit yang cepat akan melepaskan
hemoglobin bebas ke dalam plasma sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal, toksemia, dan kematian.
Meskipun saat ini pemahaman mengenai antigen sel
darah merah dan implikasi klinisnya telah sangat maju.

namun reaksi hemolitik akibat transfusi masih dijumpai


pada setiap 250 ribu - I juta transfusi. Sekitar separuh
kematian akibat reaksi hemolitik tersebut disebabkan oleh
inkompatibilitas ABO akibat kelalaian administratif. Sekitar
1 dari 1000 pasien secara klinis menunjukkan manifestasi

reaksi transfusi lambat dan 1 dari 260.000 pasien


menunjukkan reaksi hemolitik yang nyata karena
mempunyai antibodi terhadap antigen eritrosit minor yang
tidak dideteksi oleh tes antibodi rutin sebelum transfusi.
Reaksi ini akan lebih mudah terjadi pada populasi yang
mempunyai risiko seperti penyakit anemia sel bulan sabit
(sickle cell disease).

I per 65.000 unit

sel darah merah. Risiko terjadinya

lamanya penyimpanan.

Risiko sepsis yang berhubungan dengan transfusi


trombosit adalah 1 per 12.000, angka ini lebih besar pada

didapatkan dengan aferesis dari donor tunggal. Bakteri

yang mengkontaminasi trombosit yang

dapat

menyebabkan kematian adalah Staphylococcus aureus,


Klebsiella pneumoniae, Serratia marcescens, dan
Staphylococcus epidermidis.

Cedera Paru Akut


Risiko transfusi yang lain adalah cedera paru akut yang
berhubungan dengan transfusi (transfusion- related acute
lung injury, TRALD. Kondisi ini adalah suatu diagnosis
klinik berupa manifestasi hipoksemia akut dan edema
pulmoner bilateral yang terjadi dalam 6 jam setelah transfusi.
Manifestasi klinis yang ditemui adalah dispnea, takipnea,
demam, takikardi, hipo-/hiperlensi, dan leukopenia akut
sementara. Angka kejadiannya dlaporkan sekitar 1 dari
1.200 sampai 25.000 transfusi; Finlay dkk memperkirakan

bahwa angka sebenarnya lebih tinggi, namun tidak


dilaporkan sebagai TRALI. Beberapa mekanisme
diperkirakan menjadi penyebab terjadinya kondisi ini. Salah
satunya adalah reaksi antara neutrofil resipien dengan

antibodi donor yang mempunyai HLA atau antigen


neutrofil spesifik; akibatnya terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler pada sirkulasi mikro di paru.

INDIKASITRANSFUSI

Penularan Penyakit
Selain masalah reaksi antigen-antibodi, maka transfusi yang
aman juga harus memperhatikan kemungkinan penularan

penyakit yang dapat menular melalui darah, seperti HIV,


hepatitis B, hepatitis C, dan virus lainnya. Bakteri juga
dapat mengkontaminasi eritrosit dan trombosit sehingga
dapat menyebabkan infeksi dan terjadinya sepsis setelah
transfusi.
Penularan HIV melalui transfusi darah pertama kali

Oleh karena transfusi mempunyai risiko yang cukup besar,


maka pertimbangan risiko dan manfaat benar-benar harus
dilakukan dengan cermat sebelum memutuskan pemberian
transfusi. Secara umum, dari beberapa panduan yang telah
dipublikasikan, tidak direkomendasikan untuk melakukan
transfusi profilaksis dan ambang batas untuk melakukan
transfusi adalah kadar hemoglobin di bawah 7,0 atau 8,0g/
d1, kecuali untuk pasien dengan penyakit kritis. Walaupun

dilaporkan pada tahun 1982. Kebijaksanaan untuk

sebuah studi pada 838 pasien dengan penyakit kritis

menyaring orang dengan perilaku risiko tinggi HIV untuk


tidak mendonorkan darahnya serla kemudian dilakukannya

melaporkan bahwa tidak ada perbedaan laju mortalitas-30


hari pada kelompok yang ditransfusi dengan batasan kadar

tes penyaring untuk semua sampel darah donor,

hemoglobin di bawah 10,0 g/dl dan 7 ,0 g/dl, namun


penelitian lebih lanjut dengan jumlah pasien lebih besar

diharapkan dapat menurunkan risiko terjadinya penularan


HIV melalui transfusi darah.

Kontaminasi
Kontaminasi bakteri pada eritrosit paling sering disebabkan

oleh Yersinia enterocolitica. Angka kontaminasi oleh


Y.enterocolitlca di Amerika Serikat dan Selandia Baru
masing-masing adalah I per 1 juta unit sel darah merah

masih diperlukan.

Kadar hemoglobin 8,0 g/dl adalah ambang batas


transfusi untuk pasien yang dioperasi yang tidak memiliki
faktor risiko iskemia, sementara untuk pasien dengan risiko
iskemia, ambang batasnya dapat dinaikkan sampai 10,0 g/
dl. Namun, transfusi profilaksis tetap tidak dianjurkan.
Pemberian transfusi untuk menambah kapasitas

tt87

DASIAR-DASAR TRANSFU SI DARAH

pengiriman oksigen, seperti yang kerap dilakukan di unit


perawatan intensif, tidak dianjurkan. Sebuah studi pada

pasien sepsis melaporkan bahwa transfusi tidak

Golongan Darah

Antigen

Antibodi

Anti-B
Anti-A
Tidak ada
Anti-A, anti-8, anti-A,B

menyebabkan perubahan kapasitas pengiriman oksigen 6


jam setelah transfusi.

AB

AdanB

Tidak ada

ANTIGEN DAN ANTIBODI ERITROSIT

Antigen eritrosit adalah protein atau lipoprotein yang


terinkorporasi pada lapisan lipid pada membran eritrosit.
Pembentukan antigen tersebut dikode oleh gen-gen
tertentu yang terdapat pada lokus spesifik pada DNA.
Oleh karena itu, maka seseorang yang lahir dengan anti-

Anti

Rh"(D)

Positif
Negatif
Positif

Kontrol Rh
Negatif
Negatif
Positif

gen eritrosit tertentu akan memilikinya seumur

Tipe Rh
D+
D- (d)
Harus diulang atau
diperiksa dengan Rh"(D)

typing (Saline tube test)

hidup.

Antibodi terbentuk sebagai respons adanya antigen.


Antibodi dapat terbentuk sebagai reaksi imunitas tubuh
terhadap adanya antigen asing atau secara natural
memang ada karena stimulasi dari antigen endogen yang
normal, seperti anti-A dan anti-B.

GOLONGAN DARAH
Sejak ditemukannya sistem ABO oleh Landsteiner pada
1900, sampai dengan tahun 1999, menurut International
Society of Blood Transfusion (ISBT) terdapat 25 sistem
golongan darah dan lebih dari 250 antigen golongan darah

yang telah diidentifikasi. Sistem golongan darah terdiri


dari satu atau lebih antigen yang ditentukan baik oleh gen
tunggal atau sebuah cluster dari dua atau lebih gen
homolog yang berkaitan erat dimana benar-benar tidak
terjadi rekombinasi di antara gen-gen tersebut. Simbol
untuk keduapuluh lima sistem golongan darah tersebut
adalah ABO, MNS, R RH, LU (Lutheran), KEL (Ke11), LE
(Lewis), FY (Dutry), JK (Kidd), DI (Diego), YT (Cafiwrigh$,
XG SC (Scianna), DO @ombrock), CO (Colton), LV/, CIVRG
H, XK, GE, CROM, KN, IN, OK, dAN RAPH.
Antigen yang tidak/belum termasuk ke dalam sistem
golongan darah dimasukkan menjadi koleksi atau seri
golongan darah. Koleksi Golongan Darah adalah suatu
set dari antigen yang secara genetis, biokimia, atau
serologis berhubungan tetapi tidak memenuhi syarat
untuk status sistem, biasanya karena antigen tersebut
tidak menunjukkan ciri-ciri genetis yang benar-benar
berbeda dari semua sistem golongan darah yang ada.
Antigen yang tidak termasuk ke dalam sistem atau koleksi
golongan darah, digolongkan menjadi Seri Golongan

Darah.

DONASI DARAH

Seleksi Donor Darah


Donor darah harus memenuhi beberapa kriteria untuk dapat
mendonorkan darahnya, yaitu keadaan umum baik, usia
17-65 tahun, berat badan 50 kg atau lebih, tidak demam
(temperature oral < 37,5"C), frekuensi dan irama denyut
nadi normal, tekanan darah 50-100/90-180 mmHg, dantidak
ada lesi kulit yang berat.
Persyaratan lain adalah menjadi donor terakhir minimal

8 minggu yang lalu, tidak hamil, tidak menderita


tuberkulosis aktif, tidak menderita asma bronkial
simptomatik, pasca pembedahan (6 bulan setelah operasi
besar, luka operasi telah sembuh pada operasi kecil, minimal 3 hari setelah ekstraksi gigi atau pembedahan mulut),

tidak ada riwayat kejang, tidak ada riwayat perdarahan


abnormal, tidak menderita penyakit infeksi yang menular
melalui darah.

Imunisasi dan vaksinasi. Calon donor yang baru

saja

mendapat imunisasi atau vaksinasi dapat diterima sebagai


donorjika tidak ada gejala setelah tindakan tersebut. Jika

yang didapat adalah vaksin dengan virus hidup yang


dilemahkan, maka calon donor yang tidak menunjukkan
gejala apapun dapat diterima dengan batasan waktu
sebagai berikut: 1). cacar air: dua minggu setelah timbul
reaksi imun atau setelah lesi bekas suntikan mereda, 2).
campak, gondong, demamkuning, polio (oral): duaminggu
setelah imunisasi terakhir, 3). campak Jerman: dua bulan
setelah imunisasi terakh i r.

Malaria. Calon donor yang baru bepergian ke daerah


endemis dapat diterima menjadi donor 6 bulan'setelah

Sistem golongan darah yang diperiksa dalam

kembali dan terbukti tidak menunjukkan gejala dan tidak

pelaksanaan transfusi darah secara rutin adalah sistem

minum obat antimalaria. Calon donor yang pemah menderita

ABO dan Rhesus yang cara penggolonggannya


praktis dapat dilihat pada Tabel I dan2.

malaria dapat diterima setelah 3 tahun penyakitnya

secara

asimptomatik atau obat dihentikan.

1188

HEMIIiIOI.OGI

Pengambilan dan Pengumpulan Darah


Informasi untuk donor. Semua calon donor harus

transfusi darah homolog serta penularan hepatitis dan HIV

mendapat informed consent beserla penjelasan mengenai


risiko transfusi. Donor harus dijelaskan bahwa darah akan
diuji terhadap penyakit infeksi sepefti hepatitis, sifilis, dan

transfusi autologus tetap memiliki beberapa kelemahan,


yaitu 1). tidak menghilangkan risiko kontaminasi bakteri

HIV

administratif yang menyebabkan inkompatibilitas ABO,


3). biayanya lebih tinggi dibandingkan transfusi alogenik,
4). umumnya ada sisa darah yang tidak digunakan dan

Reaksi selama dan sesudah donasi. Reaksi pada donor


jarang terjadi. Reaksi yang dapat terjadi adalah sinkop, rasa
lemas, frekuensi nafas meningkat, pusing, pucat, dan mual.

Reaksi yang jarang terjadi adalah kejang, kehilangan


kesadaran, atau berkemih/defekasi involunter. Masalah
pada jantung, bahkan serangan jantung, dapat terjadi,
walaupun sangatjarang

(l

dari l0juta donor).

Uji terhadap darah donor. Pengujian yang dilakukanpada


darah donor meliputi a)penetapan golongan darah

berdasarkan

ABO, b)penetapan golongan

darah

berdasarkan Rhesus, c)uji terhadap antibodi yang tidak


diharapkan, dilakukan pada darah dari donor yang pernah
mendapat transfusi atau hamil, dan d)uji terhadap penyakit
infeksi, yaitu HBsAg, anti HCY tes serologi untuk sifilis,

dapat dihilangkan. Walaupun memiliki keuntungan,

ata:u

overload volume, 2). tidak mengurangi risiko kesalahan

kemudian dibuang, 5). menyebabkan anemia perioperatif


dan meningkatkan kemungkinan diperlukannya transfusi.
Indikasi transfusi autologus adalah: 1). pasien yang
menunjukkan reaksi transfusi dengan pemberian semua
darah yang homolog, 2). pasien dengan golongan darah
yang sangat jarang atau memiliki antibodi yang tidak
diharapkan, 3). pasien yang menolak transfusi dari donor
lain karena alasan kepercayaan.

Darah dapat dikumpulkan dengan prosedur


konvensional atau melalui pengumpulan darah yang keluar
saat operasi atau trauma. Secara umum, darah yang dapat
diambil tidak lebih dari 450 ml atau 12 persen dari estimasi

dan tes antibodi HIV.

volume darah dan kadar Hb 1lg/dl atau lebih. Donasi


dilakukan dengan frekuensi minimal 4 harr sekaii.

Teknik Pengambilan Darah

jam sebelum operasi besar tanpa penggantian parsial pro-

Hemaferesis. Hemaferesis adalah istilah umum yang


merujuk kepada pengambilan whole blood dari seorang
donor atau pasien, pemisahan menjadi komponenkomponen darah, penyimpanan komponen yang
diinginkan dan pengembalian elemen yang tersisa ke

tein plasma menggunakan fraksi protein plasma dan albu-

Flebotomi predeposit sebaiknya tidak dilakukan dalaml2

donor atau pasien.

Plasmaferesis. Plasmaferesis adalah prosedur di mana

min.

Berdasarkan penelitian, sebanyak 8 unit whole blood

dapat diambil dari seseorang dalam 20 hari tanpa


manifestasi klinis apapun jika diberikan suplementasi besi
oral kepada donor.
Darah yang 'diselamatkan' selama operasi atau setelah

sejumlah unit darah dari donor diambil untuk mendapatkan


plasmanya, diikuti dengan penginfusan kembali sel-sel
darah merah donor. Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan
plasma ataufre,shfrozen plasma. Plasma yang didapatkan

trauma dikumpulkan dari dalam tubuh dengan alat dan


dimasukkan kembali ke pasien segera setelah filtrasi. Jika
tidak ditranfusikan segera, unit darah dikumpulkan dan
diproses secara steril menggunakan alat untuk koleksi

juga dapat difraksinasi menjadi produk seperti albumin

darah intraoperatif yang dicuci dengan 0,9%NaCl,


selanjutnya dapat disimpan sampai dengan 6 jam pada
suhu kamar, atau sampai dengan 24 jampadal-6"C.

serum dan gama globulin. Plasmaferesis biasanya dilakukan

menggunakan multibag system, namun dapat juga


menggunakan separasi darah sentrifugal.

Sitaferesis. Sejumlah besar trombosit atau leukosit dapat


dikoleksi dari donor tunggal menggunakan sentrifugasi
aliran intermiten atau kontinyu.

Plateleferesis/trombaferesis. Plateleferesis adalah


prosedur dimana trombosit dipisahkan secara sentrifugal
dan whole blood.

Uji Cocok-Silang
Uji cocok-siTang (crossmatch) atalu uji kompatibilitas
adalah prosedur yang paling penting dan paling sering
dilakukan di laboratorium transfusi darah. Uji cocok silang
secara umum terdiri dari serangkaian prosedur yang
dilakukan sebelum transfusi untuk memastikan seleksi

Leukaferesis/granulositaferesis. Prosedur ini mengambil

darah yang tepat untuk seorang pasien dan untuk

granulosit dan kemudian mengembalikan darah sisanya ke


donor.

mendeteksi antibodi ireguler dalam serum resipien yang

Tiansfusi autologus. Transfusi autologus adalah transfusi

sel darah merah donor setelah transfusi.


Terdapat 2 jenis uji cocok-silang, mayor yaitu menguji
reaksi antara sel darah merah donor dengan serum resipien,
dan minor yaitu menguji reaksi antara serum donor dengan
sel darah merah resipien.

darah atau produk darah yang berasal dari darah resipien


sendiri. Prosedurini mulai sering dilakukan setelah diketahui
adanya risiko penularan penyakit, terutama infeksi HIY
melalui transfusi darah. Dengan teknik ini, risiko bahaya

akan mengurangi atau mempengaruhi ketahanan hidup dari

1189

DASAR-DASAR TRANSFUSI DARAH

Uji cocok-silang mayor dilakukan pada tes prafransfusi,


menggunakan metode yang akan menunjukkan antibodi
aglutinasi, sensitisasi, dan hemolisis, juga tes antiglobu-

lin. Uji cocok-silang minor tidak dilakukan pratransfusi


karena uji ini dilakukan sebagai tes rutin pada darah donor
setelah pengumpulan darah. Kombinasi beberapa prosedur
dapat dilakukan untuk melakukan uji cocok-silang. Teknik
salin, albumin , enzim, antiglobulin direk dan indirek.

Secara umum, uji cocok silang harus mendeteksi


sebagian besar antibodi resipien yang dapat mereaksi
dengan sel darah merah donor. Namun, uji cocok-silang
tidak menjamin sel darah donor tetap hidup atau mencegah

imunisasi resipien, tidak mendeteksi kesalahan


penggolongan ABO., Rh-typing, atau semua antibodi
ireguler pada resipien serum.

REFERENSI
Ammann AJ, Cowan MJ, Wara DW, et al. Acquired immunodeficiency in an infant: possible transmission by means of blood
products. Lancet. 1983;1:956-8.

Bryant NJ. An introduction to immunohematology. 3'd edition.


Philadelphia: WB Saunders; 1994.
Fatal Bacterial Infections Associated with Platelet Transfusions.
MMWR. 2005 ;5 4('7 ) :1 68 -7 0.
Finlay HE, Cassorla L, Feiner J, Troy P. Designing and testing
computer-based screening system

for transfusion-related

acute

lung injury. Am J CIin Pathol. 2005;124(4):601-9.


Goodnough LT, Brecher ME, Kanter MH, AuBuchon JP. Transfusion medicine, first of two parts - Blood transfusion. N Engl J
Med. 1999;340(6):438-47
Goodnough LT, Brecher ME, Kanter MH, AuBuchon JP. Transfusion medicine, second of two parts - Blood transfusion. N Engl
.

J Med. 1999;340(7):525-33.
Heather Efl Cassorla L, Feiner J, Toy P.
Kdrmtjczi GR Mayr WR. Milestones in immunohematology. Transp

Immunol. 2005:'14:.155-7.
Possible transfusion-associated acquired immune dehciency syndrome
(AIDS)- California. MMWR Morb Mortal Wkly Rep.
1982:31:652-4.

189
DARAH DAN KOMPONEN:
KOMPOSISI, INDII(ASI DAN CARA PEMBERI.AN
Harlinda Haroen

PENDAHULUAN

DEFINISI

Penggunaan darah untuk tranfusi hendaklah selalu


dilakukan secara rasional dan efisien yaitu dengan

Komponen Darah ialah bagian darah yang dipisahkan

memberikan hanya komponen darah/derivat plasma yang


dibutuhkan saja. Pemikiran ini didasarkan bahwa darah
terdiri dari bermacam-macam elemen selular dan juga
bermacam macam protein plasma dengan fungsi yang

sentrifugasi.

dengan cara fisik/mekanik misalnya de!gan cara

Fraksi Plasma adalah derivat plasma yang diperoleh


dengan cara kimia/fraksinasi dengan menggunakan
sejumlah besar plasma yang diproduksi di pabrik.

berbeda-beda yang tentunya dapat dipisahkan. juga

Produk Darah ialah istilah umum yang mencakup kedua

biasanya pasien hanya memerlukan komponen tertentu


saja sehingga komponen komponen darah lainnya dapat
diberikan pada pasien lain yang membutuhkan.
Tranfusi darah pada hakekatnya adalah pemberian
darah atau komponen darah dari satu individu (donor) ke

istilah komponen darah dan derivat plasma.

MACAM MACAM KOMPONEN DARAH

individu lainnya (resipien), dimana dapat menjadi

Selular

penyelamat nyawa, tapi dapat pula berbahaya dengan


berbagai komplikasi yang dapat terjadi sehingga tranfusi
darah hendaklah dilakukan dengan indikasi yangjelas dan
tepat sehingga diperoleh manfaat yang jauh lebih besar
daripada risiko yang mungkin terjadi.
Dari satu unit darah lengkap donor dengan proses
sentrifugasi dengan kecepatan tinggi dapat dipisahkan
menjadi sel darah merahpekat (SDMP),trombosit, plasma
segar beku =freshfrozen plasma (FFP), kriopresipitat dan
lain lain, sedangkan dari plasma dengan proses fraksinasi
akan didapat beberapa derivatnya antara lain albumin,
imunoglobulin dan faktor-faktor koagulasi pekat misalnya
faktor VIII pekat dan faktor IX pekat.

.
.

Darah Unth (whole bboA


Sel darah merah pekat Qtacked red blood cell)'.

.
.

Sel darah merah pekat dengan sedikit lekosit


(packed red blood cell leukocytes reduceS
Sel darah merah pekat cuci (packed red blood cell
washed'y
Sel darah merah pekat beku (packed red blood cell

frozen,packed red blood cell deglyceroli1ed).


Trombosit konsentrat (concentrate platelets ):
- Trombosit dengan sedikit lekosit(platelets concentrate leukocytes reduced).
Granulosit feresis (granulocytes pheresis)

Dengan makin majunya teknologi aferesis saat ini, maka

pelayanan tranfusi darah dapat lebih tepat memenuhi


kebutuhan komponen darah melalui penggunaan mesin
multikomponen dengan menggunakan donor tunggal. Hal

Non Selular

.
.
.

ini dilakukan untuk meminimalisasi risiko transmisi


penyakit yang disebabkan oleh tranfusi darah.

Plasma segar beku (freshfrozen plasma)


Plasma donor tunggal (single donor plasma)

Kriopresipitat faktor anti hemofilia (cryoprecipitate


AHF)

1190

DARAH DAN KOMPTONEN: KOMP'OSISI, INDII(AIiI DAN CARA PEMBERIAN

MACAM MACAM DERIFAT PLASMA

.
.
.
.
.

ttgt

dengan kecepatan tetesan tergantung keadaan klinis


pasien, namun setiap unitnya sebaiknya diberikan dalam

Albumin
Imunoglobulin

4jam

VIII dan Faktor IX pekat


Rh Imunoglobulin

SEL DARAH MERAH PEKAT (PACKED RED BLOOD

Plasma ekspander sintetik

cELL)

Faktor

DARAH LENGKAP (WHOLE BLOOD)


Darah lengkap ini berisi sel darah merah, lekosit, trombosit
dan plasma. Satu unit kantong darah lengkap berisi 450
mL darah dan 63 mL antikoagulan. Di Indonesia satu
kantong darah lengkap berisi 250 mL darah dengan 31 mL
antikoagulan, adajuga yang satu unit kantong berisi 350
mL darah den gan 49 mL antikoagulan. Suhu simpan antara

1"-6" Celcius. Lama simpan dari darah lengkap ini


tergantung dari antikoagulan yang dipakai pada kantong
darah; pada pemakaian sitrat fosfat dekstrose (CPD) lama
simpan adalah 2l hari, sedangkan dengan CPD adenin
(CPDA): 35 hari. Menurut masa simpan invitro ada 2
macam darah lengkap yaitu darah segar dan darah baru.
Darah segar yaitu darah yang disimpan sampai 48 jam,
sedang darah baru yaitu darah yang disimpan sampai

Sel darah merah pekat berisi eritrosit, trombosit, lekosit


dan sedikit plasma. Sel darah merah ini didapat dengan
memisahkan sebagian besar plasma dari darah lengkap,
sehingga diperoleh sel darah merah dengan nilai hematokrit
60-10 7o. Volume diperkirakan 150-300 mL tergantung
besamya kantung darah yang dipakai, dengan massa sel
darah merah 100-200 mL. Sel darah merah ini disimpan pada
suhu 1o-6o Celcius. Bila menggunakan antikoagulan CPDA
maka masa simpan dari sel darah merah ini 35 hari dengan
nilai hematokrit 70-80 Vo, sedangkan bila menggunakan
antikoagulan CPD masa simpan dari sel darah

merahini2l

hari. Komponen sel darah merah yang disimpan dalam


larutan tambahan (buffer, dekstrosa, adenin, manitol)
memiliki nilai hematokrit 52-60 7o datmasa simpan 42 hari.
Sediaan ini bukan merupakan sumber trombosit dan
granulosit, namun memiliki kemampuan oksigenasisdperti
darah lengkap.

dengan 5 hari. Pada darah segar trombosit, faktor


pembekuan labil (V V[I) masih cukup untuk terjadinya
pembekuan sedangkan darah baru kadar 2,3 difosfogliserat
(2,3 DPG) suatu molekul yang mempermudah pelepasan
oksigen dari hemoglobin mulai menurun.

lndikasi
Sel darah merah pekat ini digunakan untuk meningkatkan

jumlah sel darah merah pada pasien yang menunjukkan


gejala anemia,yang hanya memerlukan massa sel darah
merah pembawa oksigen saja misalnya pada pasien

lndikasi

dengan gagal ginjal atau anemia karena keganasan.

Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah sel


darah merah dan volum plasma dalam waktu yang
bersamaan, misalnya pada perdarahan aktif dengan
kehilangan darah lebih dari 25-307o volum darah total.

Pemberian unit

Namun demikian, pemberian darah lengkap pada keadaan


tersebut hendaklah tidak menjadi pilihan utama, karena
pemulihan segera volum darah pasierr jauh lebih penting

dari pada penggantian sel darah merah, sedangkan


menyiapkan darah untuk tranfusi memerlukan waktu.

Kontraindikasi
Darah lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien
dengan anemia kronik yang normovolemik atau yang
bertujuan meningkatkan sel darah merah.

ini disesuaikan dengan kondisi klinis


pasien bukan pada nilai Hb atau hematrokit.
Keuntungannya adalah perbaikan oksigenasi dan jumlah
eritrosit tanpa menambah beban volume seperti pasien
anemia dengan gagal jantung.

Kontraindikasi
Dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam
jumlah banyak dalam waktu singkat.

Dosis dan Cara Pemberian


Pada orang dewasa, 1 unit sel darah merah pekat akan
meningkatkan Hb sekitar 1 g/dl atau hematokrit3-4?o.

Dosis tergantung keadaan klinis pasien. Pada orang

ini harus melalui filter darah


standar (170 tt). Hematokrit yang tinggi dapat
menyebabkan terjadinya hiperviskositas dan
menyebabkan kecepatan tranfusi menurun sehingga

dewasa, 1 unit darah lengkap akan meningkatkan Hb


sekitar 1 g/dl atau hematoktit3-47o. Pada anak-anak darah
lengkap 8 ml/kg akan meningkatkan Hb sekitar 1 g/dl.
Pemberian darah lengkap sebaiknya melalui filter darah

untuk mengatasinya maka diberikan salin normal 50100 ml sebagai pencampur sediaan sel darah merah
dalam CPD atau CPDA-l tetapi harus hati hati karena
dapat terjadi kelebihan beban.

Dosis dan Cara Pemberian

Pemberian sel darah

rtg2
SEL DABAH MERAH PEKAT DENGAN SEDIKIT
LEUKOSIT (PACKED BED BLOOD CELL

HEMANOI.OGI

lndikasi
Pada orang dewasa komponen

ini dipakai untuk mencegah

LEUCOCYTES REDUCEDI

reaksi alergi yang berat atau alergi yang berulang, dapat

Setiap unit sel darah merah pekat mengandung 1-3 x 10e

intrauteri.

lekosit. Americqn Association of Blooil Bank Standard


for Tranfusion Services menetapkan bahwa sel darah
merah yang disebut dengan sedikit lekositjika kandungan
leukositnya kurang dari 5 x 106 leukosit/unit. Sel darah ini
dapat diperoleh dengan cara pemutaran, pencucian sel

pula digunakan pada tranfusi neonatal atau tranfusi

Perhatian
Hati hati terhadap kontaminasi bakteri akibat cara
pembuatannya secara terbuka, masih dapat menularkan
hepatitis dan infeksi bakteri lainnya. Karena masih

degliserolisasi sel darah merah yang disimpan beku.

mengandung sejumlah kecil leukosit yang viable,


komponen ini tidak menjamin pencegahan terjadinya

Karena pada pembuatannya ada sel darah merah yang

GVHD

darah merah dengan garam fisiologis, dengan filtrasi atau

atau

infeksi CMV pasca tranfusi'

hilang, maka kandungan sel darah merah kurang


dibandingkan dengan sel darah merah pekat biasa.
Suhu simpan 10-60 Celcius, sedang masa simpan
tergantung pada cara pembuatannya Bila pemisahan
leukosit dilakukan dengan memakai kantong ganda (sistem
tertutup) masa simpannya sama dengan darah lengkap
asalnya, tapi bila dengan pencucian/filtrasi (sistem terbuka)
produk ini harus dipakai secepatnya (dalam 24 jam).

Dosis dan Cara Pemberian


Sebaiknya semuaproses tranfusi melalui filter darah tanpa
kecuali.

SEL DARAH MERAH PEKAT BEKU YANG DICUCI

(PACKED RED BLOOD CELL FROZEN,PACKED


RED BLOOD CELL DEGLYCEROLTZED)

lndikasi
Produk ini dipakai untuk meningkatkan jumlah sel darah
merah pada pasien yang sering mendapat/tergantung pada

tranfusi darah dan pada mereka yang sering mendapat


reaksi tranfusi panas yang berulang dan reaksi alergi yang
disebabkan oleh protein plasma atau antibodi lekosit.

Perhatian
Komponen sel darah ini tidak dapat mencegah terjadinya
graft versus host disease (GVHD ), sehingga komponen
darah yang dapat diandalkan untuk mencegah hal itu ialah
bila komponen darah tersebut diradiasi.

Sel darah merah beku ini dibuat dengan penambahan


gliserol suatu sediaan krioprotektif terhadap darah yang
usianya kurang dari 6 hari. Darah ini kemudian dibekukan
pada suhu minus 650atau minus 2000 Celcius (tergantung

sediaan gliserol) dan dapat disimpan selama I0 tahun'


Karena pada proses penyimpanan beku, pencairan dan

pencuciannya ada sel darah merah yang hilang maka


kandungan sel darah merah minim al80Vo dari jumlah sel
darah merah pekat asal, demikian pula hematokrit kurang

lebih 70-80%. Proses pencucian dapat menggunakan


larutan glukosa dan salin. Suhu simpan 10-60 Celcius

dan tidak boleh digunakan lebih dari 24 iam

karena proses pencucian biasanya memakai sistem

Dosis dan Cara Pemberian

terbuka.

Pemberian komponen sel darah ini paling baik di


berikan dengan menggunakan filter darah generasi

lndikasi

ketiga.

Dapat dipakai untuk menyimpan darah langka.

SEL DARAH MERAH PEKAT CUCI (PACKED BED

BLOOD CELLWASHED)
Sel darah merah yang dicuci dengan normal salin
memiliki hematokrit 7O-80 7o dengan volum 180 mL.
Pencucian dengan salin membuang hampir seluruh

Perhatian
Risiko terjadinya kontaminasi bakteri dapat terjadi
karena sistem terbuka yang dipakai di mana dapat
menularkan hepatitis namun tidak untuk Citomegalo
virus (CMV)

Dosis dan Cara Pemberian

plasma (98 Eo), menurunkan konsentrasi leukosit, dan


trombosit serta debris. Karena pembuatannya biasanya
dilakukan dengan sistem terbuka maka komponen ini
hanya dapat disimpan dalam24 jam dalam suhu 1-60

Pemberian komponen darah ini melalui filter darah dan


sediaan ini memiliki massa eritrosit yang rendah karena

Celcius.

pembuatan.

banyak sel darah yang hilang selama proses

1L93

DARAH DAIY KOMPTONEN: KOMPOSISI, INDII(ASI DAN CARA PEMBERJAN

TROM BOSIT PE KAT ( CO NCENTRATE P LATELETq

dan antigen lainnya serta dapat terjadi refrakter yang


ditandai dengan tidak adanya peningkatan trombosit.

Berisi trombosit, beberapa lekosit dan sel darah merah


serta plasma. Trombosit pekat ini dapat diperoleh dengan
cara pemutaran (sentrifugasi) darah lengkap segar atau

Pemberian terlalu cepat dapat menyebabkan kelebihan


beban, serta penularan penyakrt dapat terjadi seperti halnya

dengan cara tromboferesis. Satu kantong trombosit pekat


yang berasal dari 450 mL darah lengkap dari seorang donor

berisi kira kira 5,5 x 1010 trombosit dengan volum sekitar


50 mL. Satu kantong trombosit pekat yang diperoleh
dengan cara tromboferesis seorang donor darah berisi
sekitar 3 x l0rr trombosit, setara dengan 6 kantong

trombosit yang berasal dari donor darah biasa.


Tergantung dari jenis mesin yang dipakai, volumberkisar
antara 150-400 mL. Produk ini memungkinkan tranfusi

trombosit yang cocok pada pasien dengan antibodi


terhadap trombosit.
Trombosit pekat ini dapat disimpan pada suhu 200-244
Celcius dengan kantong darah biasa yang diletakkan pada
rotator/agitator yang selalu berputar/bergoyang, trombosit
dapat disimpan selama 3 hari, sedangkan dengan kantong

tranfusi komponen lain.

Dosis dan Cara Pemberian


Dosis yang biasanya digunakan pada perdarahan yang
disebabkan karena trombositopenia adalah 1 unit/10 kg
BB, biasanya diperlukan 5-7 unit pada orang dewasa. Satu
kantong trombosit pekat yang berasal dari 450 ml darah
lengkap diperkirakan dapat menaikkan jumlah trombosit
sebanyak 9000-

CCI = ( Post tx plt ct ) - ( Pre tx plt ct ) x BSA


( Plt transfused x 1011 )

trombosit dapat disimpan selama 5 hari. Produk ini daya

viability

pasca

tranfusinya lebih baik. Pada suhu 10-60Celcius trombosit

dapat disimpan selama 3 hari. Produk ini fungsi


hemostatiknya lebih baik namun viability pasca

ini

tranfusinya kurang.

lndikasi
Trombosit pekat ini diindikasikan pada kasus perdarahan

karena trombositopenia (trombosit <50.000/uL) atau


trombositopati kongenital/didapat. Juga diindikasikan
pada mereka selama operasi atau prosedur invasif dengan
trombosit <50.000/uL. Profilaksis diberikan pada semua

kasus dengan trombosit 5-10.000 uL yang berhubungan


dengan hipoplasi sumsum tulang akibat kemoterapi, invasi

tumor atau aplasia primer sumsum tulang. Produk ini


ditranfusikan intravena dengan memakai saringan/filter
darah standar. Sebaiknya diberikan trombosit pekat yang
sama golongan ABO nya dengan pasien.

.
.
.

Post tx: pascatransfusi


Pre tx: pratransfusi
BSA: body surface area (htas permukaan tubuh).

Keberhasilan tranfusi trombosit dapat dipantau dengan


menghitung jumlah trombosit (CCI ) 1 jam pasca tranfusi
dimana CCI >7,5-10 x l}efi' atau CCI >4,5 x 10e/L yang
diperiksa 1 8-24 jam pasca transfusi.

TROMBOSTT DENGAN SEDIKIT LEUKOSIT


LETS LEU KOCYTES REDUCEDI

Kontraindikasi dan Perhatian


dengan destruksi trombosit yang cepat seperti: ITP, TTP
dan KID dan tranfusi biasanya dilakukan hanya pada

adanya perdarahan yang aktif. Pasien dengan


trombositopenia yang disebabkan oleh sepsis atau
hipersplenisme biasanya refrakter terhadap tranfusi
trombosit.

Menggigil, panas dan reaksi alergi dapat terjadi pada


tranfusi trombosit. Antipiretik yang dipilih sebaiknya
bukan golongan aspirin karena dapat menghambat
agregasi dan fungsi trombosit. Tranfusi berulang dari
trombosit dapat menyebabkan aloimunisasi terhadap HLA

(PtArE-

Trombosit berisi leukosit sekitar 0.5-1 x 10s/unit trombosit,


sedangkan trombosit dengan sedikit leukosit mengandung

leukosit hanya 8.3 x 105/unit.

lndikasi
Trombosit jenis

Tranfusi trombosit biasanya tidak efektif pada pasien

.000/ul / m2luas permukaan tubuh; pada

memakairumus:

darah khusus dengan cara penyimpanan yang sama

hemostatiknya kurang, sedangkan

11

dewasa dengan berat badan 70 kg diperkirakan dapat


menaikkan 5000- 10.000/ul. Penghitungan peningkatan
jumlah trombosit yang dikoreksi (Corrected Count
Increment = CCI) dapat dapat dihitung lebih akurat dengan

ini dipergunakan untuk

pencegahan

terjadinya alloimunisasi HLA terutama padapasien yang


harus menerima kemoterapi jangka panjang.

Kontraindikasi dan Perhatian


Meskipun sediaan ini dapat meniadakan reaksi febris pada
pasien yang mengalami aloimunisasi terhadap HLA antigen, penggunaannya tidak dapat mempercepat terjadinya
pemulihan jumlah trombosit. Untuk mendapatkan hasil
yang baik sebaiknya dilakukan uji cocok serasi. Terjadinya
reaksi tranfusi pada sediaan ini dihubungkan dengan
lamanya penyimpanan akibat dilepaskannya sitokin sitokin
seperti IL-I,IL-6,IL-8 dan TNF alfa yang dilepaskan
leukosit selama penyimpanan.

ttg4

HEMANOIOGI

Dosis dan Cara Pemberian


Penggunaannya dengan menggunakan filter/saringan
khusus trombosit dengan sedikit lekosit.

GRANULOSIT FERESTS (GBANULOCYTES


PHEBESTS)

Diperoleh dengan cara sitaferesis dari donor tunggal,


berisi granulosit, limfosit, trombosit beberapa sel darah
merah dan sedikit plasma. Setiap unit mengandung
sekitar 1.0 x 1010 granulosit, sejumlah limfosit, trombosit,

25-50 ml sel darah merah, dan mungkin sedikit


hidroksietil starch ( HES ),dengan volum 200-300 ml.
Suhu simpan dari sediaan ini20-24"C dan harus segera

dari donor, disimpan pada suhu simpan minus 18'C atau


lebih rendah dengan masa simpan I tahun. Volume sekitar
200-250m1.

lndikasi
Plasma segar beku dipakai untuk pasien dengan gangguan
proses pembekuan bila tidak tersedia faktor pembekuan
pekat atau kriopresipitat, misalnya pada defisiensi faktor
pembekuan multipel antara lain: penyakit hati, KID, TTP,
dan dilusi koagulopati akibat transfusi rnasif.

Kontraindikasi dan Perhatian


Plasma sebaiknya tidak digunakan untuk mempertahankan

ekspansi volum karena risiko penularan penyakit yang

ditransfusikan.

tinggi. Albumin, fraksi protein plasma, koloid, atau


kristaloid yang tidak menularkan penyakit merupakan

lndikasi

produk yang lebih aman untuk mempertahankan volum

Komponen

ini dipakai untuk

meningkatkan jumlah

darah.

granulosit pada pasien sepsis dengan leukopenia yang

tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian


antibiotik,dan pada pemeriksaan sumsum tulang
menunjukkan hipoplasi.

Kontraindikasi dan Perhatian


Terapi antibiotik yang tepat atau penggunaan faktor

pertumbuhan hematopoietik mungkin lebih efektif


dibandingkan dengan tranfusi granulosit. Efek samping
yang mungkin terjadi seperti urtikaria, menggigil, demam,
tidak merupakan indikasi untuk menghentikan transfusi ,

namun kecepatan tranfusi harus diperlambat. Untuk

Dosis dan Cara Pemberian


Produk ini diberikan dalam 6jam setelah pencairan, dengan

memakai saringan/filter standar. Plasma harus cocok


golongan ABO-nya dengan sel darah merah pasien dan
tidak perlu uji silang. Jika plasma diberikan sebagai
pengganti faktor koagulasi dosisnya adalah 10-20 ml/kg
(4-6 unit untuk orang dewasa) dapat meningkatkan faktor
koagulasi 20-307o, dapat pula meningkatkan faktorYllf 2Vo

(1unit/kg).

Efek samping yang terjadi dapat berupa menggigil,


demam dan hipervolemia.

memperkecil kemungkinan terjadinya efek samping dapat

diberikan antihistamin dan steroid sebelum transfusi.


Risiko penularan terhadap CMV dapat terjadi demikian
pula untuk dapat terjadinya GVHD.

KRIOPRESIPITAT FAKTOB ANTI HEMOFILIK


(c RY O P B E C t P |TAT E D AHFI
Kriopresipitat AHF adalah konsentrat plasma protein

Dosis dan Cara Pemberian


nya dengan darah pasien. Belum ada kesepakatan

tertentu, dibuat dengan mencairkan plasma segar beku


pada suhu 4" C selama 12-14 jam atau pada circulating
waterbath4"C selama 75 menit dan kemudian memisahkan
komponen yang masih berpresipitasi pada suhu tersebut

mengenai dosis dan lamanya transfusi leukosit ini, namun

dengan cara pemutaran. Komponen yang masih

paling sedikit 4 hari pemberian transfusi ini baru

berpresipitasi tersebut adalah kriopresipitat. Suhu simpan


adalah minus 18'C atau lebih rendah dengan lama simpan
1 tahun dengan volum sekitar 10-15 ml.
Kriopresipitat ini berisi faktor VIII 80- 120 unit, 150-250
mg fibrinogen, sekitar 40-707o faktor Von Willebrand, 20-

Transfusi diberikan menggunakan saringan darah


standar, dan harus cocok serasi sistem golongan ABO-

memperlihatkan hasil.

PLASMA SEGAR BEKU (FRESH FROZEN


PLASMA = FFP)

307o

faktorXIII.

Plasma digunakan untuk mengganti kekurangan faktor

lndikasi

koagulasi. Plasma segar beku ini berisi plasma, semua faktor


pembekuan stabil danlabil, komplemen dan protein plasma.

Kriopresipitat digunakan pada pasien dengan kekurangan

Plasma ini dipisahkan dari darah lengkap yang kemudian


dibekukan dalam waktu 8 jam setelah pengambilan darah

VIII (Hemofilia A) bila F VIII pekat tidak tersedia,


kekurangan F XIII, kekurangan fibrinogen dan untukpasien
penyakit Von Willebrand.
F

r.195

DARATI DAN KOMFONEN: KOMPOSISI. INDII(ASI DAN CARA PEMBERIAN

Kontraindikasi dan Perhatian


Kriopresipitat tidak diberikan pada pasien yang tidak
defisiensi faktor-faktor tersebut di atas.

Dosis dan Cara Pemberian


Sebelum dipakai, kriopresipitat harus dicairkan terlebih

dahulu dengan menempatkannya dalam waterbath


bersuhu 30-31'C. Komponen ini harus diberikan pada
pasien dalam waktu 6 jam setelah pencairan atat 4 jam
setelah pooling. Plasma yang diberikan hendaknya

Kontraindikasi dan Perhatian


Dosis tinggi pemberian konsentrat F

VIII

dengan

kemurnian menengah dapat meningkatkan fibrinogen


secara bermakna. Direct antiglobulin tes (DAT) atau
hemolisis dapat terjadi karena adanya anti A atau anti B.
Reaksi yang tidak diharapkan meliputi malaise, panas, mual,
dan menggigil. Pada kemurnian yang tinggi, konsentrat F

VIII lebih jarang menimbulkan efek samping.

Dosis dan Cara Pemberian


VIII koagulan digunakan dengan

sama golongan ABO nya dengan sel darah merah pasien,

Banyaknya aktivitas F

uji silang tidak perlu dilakukan, dan diberikan

mempergunakan International Units (IU). Satu IU adalah


jumlah aktivitas F VIII koagulan dalam I mL plasma normal. Dosis permulaan untuk mencapai kadar 30-l00Vo
dihitung dengan rumus:

dengan

saringan/filter standar. Dosis untuk hipofibrinogenemia


adalah 10 kantong pada orang dewasa dengan berat
badan 70 kg, sedang dosis pada anak anak adalah 1
kantong/10 kg dapat meningkatkan fibrinogen 60-100
mg/dl. Pada pasien Hemofilia A 1 kantong kriopresipitat
yang mengandung 100 unit F VIII, 1 kantong/6 kg dapat
meningkatkan F VIII 357o.Efek samping yang mungkin
terjadi adalah reaksi alergi dan demam.

Plasma Volume (PV mL) = 40 mukg x BB (kg)

F Vlll yang diinginkan (unit) =


100

KONSENTRAT FAKTOR
coNcENTRATq

Vlll (FACTOR Vttt


Cara lain adalah: tiap unit F VIIVkgBB akan meningkatkan

27o(0.02tu/nn)
dapat dibuat dari plasma manusia
atau diproduksi melalui teknologi rekombinan. Konsentrat
faktor VIII ini dibuat dengan proses fraksinasi dari plasma

Pemberiannya dapat melalui infus dengan


menggunakan saringan/filter darah standar atau dengan
jarum suntik dengan filter yang telah tersedia bersama

yang dikumpulkan dan dibekukan segera setelah

sediaannya.

Konsentrat faktor

VIII

pengambilan darah. Semua produk dibuat steril, stabil,


mumi dan beku kering.
Berbagai proses dipakai untuk mendapatkan F VIII
yang bebas dari virus dan menurunkan risiko penularan
infeksi misalnya dengan proses pasteurisasi atau memakai
cairan pelarut tri(n-butil) fosfat.
Sediaan ini memiliki volume yang sedikit. Produk yang
tersedia dapat diklasifikasikan atas sediaan konsentrat F
VtrI dengan kemumian menengah, kemumian tinggi atau
bebas imunoafinitas. Konsentrat F VIII dengan kemurnian
menengah memiliki l-l}Vo dari total protein terdiri dari fibrinogen dan beberapa protein lainnya. Produk yang paling mumi dibuat melalui kromatografi imunoahnitas dengan

menggunakan antibodi monoklonal. Kemurniannya


mencapai lebih dari 90% sebelum ditambah albumin yang
dipakai sebagai stabilisator. Faktor VIII yang dibuat dari
kultur sel mamalia melalui rekombinan DNA juga sudah
tersedia secara luas.

lndikasi
VIII diindikasikan untuk pengobatan atau
pencegahan perdarahan pada Hemofilia A dengan
defisiensi F VIII sedang sampai berat atau pasien dengan
Konsentrat F

inhibitor F VIII titer rendah yang kadarnya tidak lebih dari


-5- I 0 Bethesda units/ml.

KONSENTRAT FAKTOR lX (FACTOR tX


coNcENTRATEq
Dua konsentrat F IX sekarang tersedia sebagai hasil
rekombinan. Sediaan ini steril, stabil dan kering beku
sebagai hasil dari fraksinasi plasma yang dikumpulkan.
Kompleks F IX merupakan sediaan yang mengandung
selain F IX juga sejumlah F II,

V[,

X dan beberapa protein.


Selama pembuatan konsentrat ini beberapa aktivasi dari
faktor koagulasi dapat terjadi. Isi dari F VII dalam beberapa
produk agak bervariasi. Jumlah masing masing faktor yang
terkandung dalam sediaan ini biasanya tertera pada label
botol tapi paling banyak mengandung 1-5 IU F IX/mg protein. Hal sebaliknya dengan kompleks F IX, F IX koagulasi
merupakan sediaan murni yang mengandung sedikit F II,

F VII dan F X. Sediaan ini dibuat dengan metode


kromatografi atau antibodi monoklonal sehingga
mengurangi terjadinya trombogenik. Kira kira 20-307o dart
produk ini adalah F IX dimana sediaan ini mengandung 50
dan 200 IU F DUmg protein. Konsentrat F D( dibuat dengan

heat treated solvent/ detergent treated dengan teknik


rekombinan untuk menurunkan risiko hepatitis, HIV dan
infeksi virus lainnya.

1t96

HEM'TIOT.OGI

lndikasi

Indikasi

Konsentrat F IX ini digunakan untuk mengobati pasien


dengan defisiensi F IX yang dikenal sebagai hemofilia B.
Pasien dengan inhibitor dapat diobati dengan kompleks
konsentrat F IX, yang mengandung bypass aktivitas
inhibitor F VIII.

Albumin digunakan untuk meningkatkan volume sirkulasi,/


resusitasi misalnya pada pasien luka bakar, pasien pada
keadaan hipovolemia dan hipoproteinemia misalnya pasien

dengan syok, pada sindrom nefrotik. atau untuk


meningkatkan protein plasma.

Kontraindikasi dan Perhatian

Kontraindikasi dan Perhatian

Kompleks F IX sebaiknya diberikan dengan hati hati pada


pasien yang mempunyai penyakit hati. Terdapat laporan
terjadinya trombosis dan DIC pada adanya defisiensi anti
trombin khususnya pada pasien dengan penyakit hati.
Etiologi komplikasi ini mungkin berhubungan dengan

Larutan albumin 25 Vo tidakboleh diberikan pada pasien


dengan dehidrasi dan hanya dapat diencerkan dengan
salin normal dan dekstrosa 57o.

penurunan bersihan hati, mengakibatkan akumulasi faktor


koagulasi tersebut. Konsentrat F IX koagulasi tampaknya
lebih kurang trombogenik dibandingkan dengan kompleks
F D(. Efek samping dari kompleks F D( bila diberikan secara
cepat adalah menggigil, demam, nyeri kepala,nausea dan
flushing.Pemberian cepat dari F IX koagulasi adalah reaksi

Albumin dan fraksi protein plasma tidak memerlukan filter


dalam pemberiannya. Pengobatan hipotensi dengan albumin hendaklah disesuaikan dengan hemodinamik pasien.
Dosis 500 mL (10-20 ml/kg pada anak anak) diberikan

Yasomotor.

Dosis dan Cara Pemberian


I unit F IX setara dengan 1 ml plasma manusia.

Dosis
yang diberikan tergantung gejala klinis dan kebutuhan

pasien. Sejumlah konsentrat F IX diinfuskan dengan


rumus seperti menghitung penggunaan dosis F VIII,
namun secara in vivo hanya sekitar 50 Vo yang dipakai
karena distribusi ke ekstravaskular. Jadi setiap unit F
IX yang diinfuskan per kg BB akan meningkatkan 17o F

Dosis dan Cara Pemberian

secara cepat untuk mengatasi syok. Pada pasien luka bakar


dosis albumin atau fraksi plasma protein diberikan dalam
dosis tertentu untuik mempertahankan kadar protein plasma
5 .2 gl il, atailebih tinggi . Albumin tidak dapat memperbaiki
hipoalbuminemia kronik dan tidak digunakan untukjangka
panjang.

TMUNOGLOBU LrN (IMMU N E GLOBU

LtN

Imunoglobulin biasanya dibuat melalui proses fraksinasi


dengan etanol dingin dari plasma yang dikumpulkan. Berisi

imunoglobulin G (IgG) dengan sedikit IgA dan IgM.


Terdapat dua sediaan yakni intramuskular (IMIG) dan

D(.

intravena (fVIG). Pada sediaan inffamuskular (IM), produk

ALBUMIN DAN FRAKSI PROTEIN PLASMA

ini

(ALBUMIN AND PT.ASMA PROTEIN FRACTIOM

pemberiannya diperlukan wakttr 4-7 hari untuk mencapai


kadar puncak dalam plasma, dosis maksimum yang dapat
diberikan dibatasi oleh massa otot dan pada pemberiannya
menyebabkan nyeri . Sediaan IM saat ini diberikan hanya

Albumin merupakan derivat plasma yang diperoleh dari


darah lengkap atau plasmaferesis, terdiri dai967o albumin
dan 47o globulin dan beberapa protein lain yang dibuat
dengan proses fraksinasi alkohol dingin. Derivat ini
kemudian dipanaskan 60o C selama 10 jam sehingga bebas

virus.

mempunyai beberapa kelemahan yaitu pada

untuk profilaksis. Sediaan ini merupakan larutan steril


dengan konsentrasi protein kurang lebih 16.5 g/dl.

Sediaan intravena gammaglobulin (MG)

meminimalisasi kelemahan dari pemberian intramuskular.

Fraksi protein plasma adalah produk yang sama dengan

Produk IVIG cepat mencapai puncak plasma begitu

albumin hanya dalam pemurniannya lebih kurang

diinfuskan. Waktu paruh dari IMIG dan IVIG bervariasi

dibandingkan dengan albumin dalam proses fraksinasi.


Fraksi protein plasma ini mengandungS3Vo albumin dan
177o globulin.
Albumin yang tersedia adalah larutan 257o dan 57o,
sementara fraksi protein plasma yang tersedia adalah
larutan 5Vo.Tiap sediaan mengandung natrium 145 mmol/

antara I 8-32 hari.

(145 mEq/L). Larutan albumin 5%, osmotik dan

onkotiknya sama dengan plasma sedangkan larutan albumin257o osmotik dan onkotiknya lima kali lebih besar dari
plasma. Albumin memiliki waktu paruh 16 jam dan dapat
disimpan lebih dari 5 tahun pada suhu 2-10" C.

lndikasi
Preparat Imunoglobulin dapat digunakan untuk profilaksis

antibodi secara pasif pada orang yang rentan terhadap


penyakit-penyakit tertentu dan sebagai terapi pengganti
pada orang dengan imunodefisiensi primer (misalnya
Sindrom WiskottAldrich). IVIG dapat digunakan sebagai

imunomodulator pada pasien-pasien dengan kelainan


autoimun misalnya ITP akut dan ITP kronik pada anak

anak dan dewasa. Dapat pula digunakan untuk

Lt97

DARAH DAN KOMPONEN: KOMP'OSISI, INDIKASiI DAN CARAPEMBERIAN

trombositopenia pada HIV, purpura pasca transfusi dan


sindrom Guillan Barre .Juga untuk pengobatan infeksi serta
profilaksis GVHD pada pasien penerima cangkok sumsum
tulang.

penuh

IM RhIG dapat diberikan. Dosis penuh juga

dianj urkan setelah dilakukan amniosentesis.


Pasca persalinan, semua perempuan dengan (Rh) D negatif
yang melahirkan bayi dengan D positif diberi 300 ug RhIG

Kontraindikasi dan Perhatian

secara IM atau 120 ug secara IV. Pemberian hendaknya


dilakukan dal am 7 2 jam setelah melahirkan.

Orang dengan riwayat defisiensi Ig A (dengan anti Ig A)


atau terjadinya'reaksi anafilaksis berat terhadap plasma
sebaiknya jangan diberikan sediaan ini. Sediaan IM jangan

REFERENSI

diberikan secara IV karena mengandung agregat


immuglobulin yang dapat mengaktifkan komplemen sefia
sistim kinin yang dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
Reaksi yang tidak diinginkan lainnya dari pemberian
imunoglobulin adalah nyeri kepala, menggigil, kepala terasa
ringan, demam, nyeri punggung, terasa panas dan mual.

Dosis dan Cara Pemberian


Tergantung indikasi, karakter pasien serla sediaan yang
digunakan (IM,IV).
. ITP dan penyakit autoimun lainnya: IV 400mg/kg/hr
selama 2-5 hari atau 0.8-1.0 g/kgftrr selamaT-2hai.

.
.
.
.

Defisiensiimunoglobulinkongenital:

IM:0.7mllkg/bulan
IV:200-800mg/kg/bulan.

Profilaksis hepatitis A: IM 0.02-0.04 mllkg.


Hepatitis B: 0.06 ml/kg IM diulang satu bulan
Varicella zooster: I vial (2.5 mL)/10 kg (maks 5 vial) IM
dibenkan dalam7 2 lampasca paparan.
Virus citomegalo:
- Profilaksis: 100-150mg/kg

Pengobatan infeksi: 200 mg&g

(IV)

RH IMMUNEGLOBULIN

American Association of Blood Banks. Blood component therapy:


a physician's handbook 6'h edition Bethesda; 1999
Boshkov LK. Platelet trurfusion. In: Goodnight SH, Hathaway WE,
editors. Disorders of hemostasis and tlrombosis: a clinical guide.
2"dedition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p.489 94.
Friedman ,KD, Menitove, JE. Preparation and clinical use of plasma
and plasma fractions. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS,
et al, editors. Williams hematology. 6'h edition. New York: Mc
Craw Hill; 2001. p. 1917.
Goodnight SH, Hathaway WE Plasma. Disorders of hemostasis and

thrombosis: a clinical guide 2"dedition. New York: The Mc


Graw Hill Co; 2001 p. zl95-500.
Goodnight SH, Hathaway WE. Cryoprecipitate. Disorders of
hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2"d edition. New
York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. 501 4.
Goodnight SH, Hathaway WE. Coagulation factor concentrates.
Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2'd
edition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p.505-16.
Goodnight SH, Hathaway WE. Intravenous immunoglobulin. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2"dedition.
New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p.523-1
.

Kruskall MS, Mandell BF. General principles of the use of


intravenous immune globulin. In: Up To Date, Rose BD,
Wellesley MA, editors. 2004
Kruskall. Use of intravenous immune globulin in hematologic disorders. ln: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004.
Ljungman P. Risk of CMV transmission by blood product to
immunocompromised patiens and means for reducrion Br J

Haematol. 2004:125

RhIG dibuat dari plasma yang dikumpulkan dan


mengandung IgG anti D. Terdapat 2 sediaan yaitu intra
muskular (IM) dan intravena (IV). Sediaan IV dosis 120 ug
dan 300 ug telah disetujui oleh FDA untuk supresi imun
terhadap antigen D dan untuk pengobatan ITP.
Sediaan IM yang tersedia adalah dosis 300 ug dan 50
ug. Dosis 300 ug RhIG baik fV maupun IM akan melindungi
efek imun lebih dari 15 m1 darah dengan D positif. Semua
sediaan ini aman dari transmisi penyakit infeksi dan virus
dan dipakai untuk mencegah terjadinya penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh antigen Rh (D).

lndikasi dan Dosis


Sebelum persalinan, untuk perempian dengan (Rh) D
negatif, 50 ug IM RhIG dapat melindungi terjadinya aborsi
atau terminasi kehamilan ektopik yang terjadi dalam 12
minggu kehamilan. Setelah 12 minggu kehamilan, dosis

: 101

Mollison PL, Engelfriet CP, Conlreras M. The tranfusion of


platelets, leukocytes, haemopoietic cells and plasma
component. In: Mollison PL, Engelfriet CP, Contreras M, editors. Blood tranfusion in clinical medicine. 10'h edition. USA:
Blackwell Science; 1991. p. 459-86.
Murphy S What so bad about old platelets? Transfusion 2002;433.

Pamphilon D Viral inactivation of fresh frozen plasma. Br


Haematol. 2000; 109:680

Secord A, Goldfinger D MD. Clinical and laboratory aspects of platelet

tranfusion therapy. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA,


editors. 2004.
Seftel, Growe GH, Petraszko T, et al. Universal prestorage
leukoreduction in Canada decreased platelet alloimmunization
and refractoriness. Blood. 2004:103:333.
Silvergleid Al. Tranfusion of plasma components. In: UpToDate,
Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004.
Silvergleid AJ. Preparation of blood component. In: UpToDate.
Rose BD, Wellesley MA, editors 2004.
Wallas

CH Use of red blood cells. In: UpToDate,

MA, editors.

2004.

Rose BD, Wellesley

190
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN
KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH
M. Tamtoro Harmono

PENDAHULUAN

pada eritrosit, leukosit, trombosit dan protein plasma. Bila

resipien mendapat transfusi yang mengandung antigen

Sejak diterimanya transfusi sebagai cara pengobatan,

tersebut maka akan terjadi pembentukan antibodi sehingga


kelak bila mendapat tranfusi dapat terjadi reaksi mediasi

pengertian bahwa darah mengalir di dalam sistem sirkulasi

dan ruang intravaskular dapat diisi cairan dari luar


tubuh,perkembanganya lambat. Trasfusi itu sendiri

imunologi,misalnya reaksi hemolitik karena ketidakcocokan


eritrosit, panas atau reaksi pulmonal yang disebabkan oleh
antigen leukosit atau trombosit, alergi atau reaksi anafrlaksis
yang disebabkan antibodi yang bereaksi dengan antigen
terlarut di dalam bahan transfusi, biasanya protein plasma.

dikerjakan pertama kali pada tahun 1667. Kemudian selama


perang dunia pertama dan sesudahnya, barulah transfusi
sebagai alat pengobatan berkembang pesat.
Pengertian adanya perbedaan genetik antar individu,
yang diungkapkan oleh Landsteiner merupakan hal yang
penting. Pengembangan antikoagulan,pengawetan dan

Komplikasi dapat di golongkan menurut:

teknik pengerjaan yang steril, memungkinkan

Komplikasilmunologi

pengumpulan dan penyimpanan darah untuk diberikan


dikemudian hari. Perkembangan teknik terus berkembang
kususnya dibidang penggunaan komponen dan fraksi
darah donor,perbaikan cara skrining donor,pengembangan
inaktivasi kuman patogen, perkembangan mecing (matching) imunologi produk darah donor dengan resipien
(penerima darah), pengembangan produk rekombinan,
jadilah transfusi medis (transfusion medicine) menjadi
suatu spesialisasi di bidang hematologi.Adanya epidemi
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan
penularan infeksi oleh bahan infeksius lain menyebabkan
terjadinya revolusi kemajuan di bidang transfusi medis.

.
.
.
.
.
.
.

Aloimunisasi: antigen eritrosit, antigen HLA


Antigen trombosit
Antigen netrofil

Protein plasma
Reaksi transfusi hemolitik : segera, terlunda (delaye$
Reaksi febris transfusi
Kerusakan paru akut karena transfusi
Reaksi transfusi alergi
Purpura pasca transfusi
Pengaruh imunosupresi
Penyakit graft versus host

Komplikasi Non Imunologi


. Kelebihan (overloafi volum
. Transfusi masif: metabolik, hipotermi, pengenceran,

KOMPLIKASITRANSFUSI

.
.

Potensi komplikasi transfusi darah itu banyak,tapi pada saat

ini masalah komplikasi hanya terdapat pada pasien yang

mikroembolisasi paru

Lainnya: plasticizer,hemosiderosis transfusi


Infeksi: Hepatitis A,B,C ,delta dan lainya; Human
immunodeficiency virus-7| -2; Human T lymphotropic

sejumlah darah yang banyak. Reaksi imunologi ini

virus-Il-II; Virus sitomegalo; Virus Epstein Barr;


Kontaminasi bakteri; Sifilis; Parasit malaria,

disebabkan oleh rangsangan aloantigen asing yang terdapat

babesiosis, tripanosoma; organisme lain

perlu berulang-ulang mendapat transfusi atau memerlukan

1198

PENCEGAHAN DAI\ PENAI\GANAN KOMPLIKASII TRANSFUSI DARAH

KOMPLIKASI IMUNOLOGI

Aloimunisasi kepada Antigen Transfusi


Aloantibodi bereaksi terhadap antigen eritrosit, sedikit saja

resipien dengan multitranfusi berkembang menjadi


aloantibodi eritrosit. Umumnya terdapat pada mereka yang
telah menerima sekitar 10 kali transfusi, biasanya antibodi
terhadap sistem Rh, Kell (K), lalu Duffy (Fy),dan Kid (Jk).

Aloantibodi bereaksi terhadap antigen leukosit,


terdapat pada resipien yang ditrasnfusi 2 leukosit dan
trombosit, umumnya mereka ini wanita multipara dengan

multi transfusi.
Aloantibodi terhadap protein plasma, misalnya reaksi
anafilaksis disebabkan karena adanya anti-IgA antibodi.

Reaksi Transfusi Hemolitik


Berkembangnya antibodi yang dapat bereaksi dengan

antigen eritrosit menyebabkan perusakan eritrosit,


biasanya eritrosit donor. Klinis dapat berat,mengancam
kehidupan atau ringan saja. Hemolisis segera terjadi di
dalam sirkulasi, yang lambat terjadi di sistem retikulo
endotelial. Umumnya terjadi karena kesalahan pencatatan
dan 'ABO mismatching'.
Dapat juga hemolisis terjadi pada darah resipien, bila
plasma yang ditransfusikan mengandung antibodi.
Reaksi transfusi hemolitik segera. Gejala dan keluhan
transfusi hemolitik segera, terjadi segera sesudah darah
yang tidak cocok dilakukan. Klinis kebanyakan berupa
timbulnya panas, dapat dengan menggigil. Dapat juga
dengan cemas, nyeri dada atau punggung, sesak napas,
takikardia dan hipotensi. Keadaan mengancam kehidupan

pada adanya gagal ginjal akut, syok, dan koagulasi


intravaskular. Reaksi hemolisis segera ini terjadi pada:
600.000 transfusi eritrosit, kematian menhgkathingga 447o
bila darah transfusi meningkat mencapai 1 L.
Patogenesis kelainan ini dimulai dengan interaksi

ar'tara antibodi dan membran sel eritrosit yang


mengembang menjadi terbentuknya kompleks imun,
aktivasi kaskade komplemen, mekanisme koagulasi lewat
sitokin dan faktor XII. Mediator vasomotor disini yaitu
histamin, serotonin dan sitokin. Renjatan terjadi karena
pelepasan bahan vasoaktif. Gagal ginjal dipikirkan karena

iskemia disebabkan oleh kombinasi hipotensi,


vasokonstriksi dan koagulasi intravaskular.
Penanganan, transfusi harus segera dihentikan begitu
dicurigai adanya reaksi hemolisis. Contoh darah pasca
transfusi dan sisa darah dalam kantung dikirim ke bank
darah (PMI) untuk diteliti penyebab terjadinya reaksi
hemolisis. Beratnya reaksi berhubungan dengan volume
eritrosit yang dimasukkan, walau hanya 30 cc darah yang
tidak cocok mungkin mematikan. Semua reaksi yang berat
memerlukan lebih dari 200cc darah donor. Hidrasi harus
dimulai segera untuk mencegah gagal ginjal. Diberikan

199

infus garam fisiologis untuk memelihara tekanan darah dan


meningkatkan air kencing agar mencapai 10Occ/jam.
Manitol atau furosemid dapat digunakan untuk memelihara

terbentuknya kencing.

Bila terjadi oliguri karena gagal ginjal cairan

harus

dibatasi. Obat vasoaktif seperti dopamin mungkin efektif


mengatasi hipotensi dan gangguan perfusi ginjal. Sekali

terbentuk gagal ginjal pengobatan suportif termasuk


pembatasan cairan, memelihara kesetimbangan elektrolit
dan dialisis diperlukan. Koagulopati mungkin memerlukan
penanganan khusus. Pemberian heparin awal disarankan

dengan dosis moderat, bila tidak ada kontraindikasi


khusus, tapi penggunaannya masih kontroversial. Pada
reaksi transfusi hemolitik intravaskular yang berat mungkin

diperlukan' exchange transfusion'.


Pemeriksaan pada reaksi transfusi segera. Langkahlangkah berikut harus dilakukan: Identitas pasien harus
ditegaskan, semua catatan tentang pasien dan label darah
donor harus diperiksa untuk menentukan adanya kesalahan
pencatatan. Darah pasien harus diambil lagi, dikirim ke bank
darah. Darah pasca transfusi harus dilihat adanya hemolisis.
Harus diperinci kemungkinan adanya aloantibodi. Tes direk
antiglobulin harus dilakukan pada saat reaksi hemolisis

terjadi. Bila tes positif darah pretransfusi jug?'harus


diperiksa untuk melihat pasien mungkin mempunyai direk

antiglobulin. Pemeriksaarr 'typing ' eritrosit harus


dilanjutkan. Bila sistem ABO dan Rh pasca transfusi tidak
cocok dengan pratransfusi maka ada kesalahan identifikasi
pasien atau ryping. Pasien dengan reaksi transfusi hemolitik
mayor harus dinilai untuk kemungkinan adarrya koagulasi
intravaskular dan fungsi ginjal harus dimonitor. Urin hemosiderin atau hemoglobin bebas di dalam urin harus juga

diperiksa, adanya urin berwama anggur khas pada hemolisis


intravaskular.
Pencegahan. Semua reaksi transfusi hemolitik segera
dapat dicegah. Hampir semua sebabnya karena kesalahan
manusia, misalnya kesalahan memberi label pada contoh
darah pasien. Prosedur memastikan identifikasi pasien,

contoh darah atau komponen transfusi harus benar


penempatannya.

Reaksi transfusi hemolitik tertunda. Biasanya lebih


ringan dari yang segera dan terjadinya perusakan eritrosit
terutama ekstravaskular. Terjadi pada 2-10 hari sesudah
transfusi,antibodi eritrosit pratransfusi tidak ditemukan. Tes
direk antiglobulin sering positif tapi reaksinya hanya
sementara, tes dapat kembali negatif bila eritrosit yang tak
cocok disingkirkan dari sirkulasi.
Reaksi ini umumnya bersifat sekunder, terjadi sesudah

kemasukan antigen eritrosit, respons terbentuknya


antibodi lambat, puncak reaksi tercapainya juga lambat.
Pada reaksi transfusi hemolitik lambat ini, perusakan
eritrosit donor terjadi ekstravaskular, di mana eritrosit
yang terbungkus IgG dihilangkan di sistem retikulo
endotelial.

t200

Pemeriksaan yang harus dilakukan disini,bila pasien


dicurigai kemungkinan terjadinya hemolitik lambat, darah
segar diambil untuk pemeriksaan antibodi direk. Bila positif,
dokter harus memberi tahu dan memberi karlu identitas
yang menunjukkan adanya antibodi.
Penanganan. Umumnya tidak ada terapi khusus. tapi
pasien yang dengan reaksi berat diusahakan dilakukan
hidrasi.

Febris Non Reaksi Transfusi Hemolitik


Terjadi pada 0,5-37o pasien yang diberikan transfusi,
umumnya pada yang sudah dengan multipel transfusi.
Gambaran khas berupa menggigil lalu diikuti panas, terjadi
umumnya dalam waktu beberapa jam sesudah transfusi.

Pening,mual muntah dapat terjadi. Kadang reaksinya dapat


berat, termasuk dengan keluhan pulmonal, tapi umumnya
realisi ini ringan Reaksi ini disebabkan oleh aloimunisasi
terhadap antigen leukosit dan trombosit. Sebab lain yaitu
transfusi sitokin, yang berkembang di dalam trombosit asal
darah segar (whole blood) yang disirnpan pada suhu kamar.
Kemungkinan adanya kontaminasi bakteri pada reaksi ini
harus diperlimbangkan.
Pendekatan menangani febris ini harus berdasar atas
pengertian pada hal yang mendasarinya.Bila terjadi reaksi
panas ini maka transfusi harus dihentikan. Kemungkinan
adanya reaksi hemolitik harus dipertimbangkan. Darah

donor dan contoh serum pasien harus dikirim ke bank


darah. Dapat diberikan antipiretik dan hidrokortison.
Pencegahan. sebaiknya diberikan darah dengan
penguran gan jumlah leukosit.

HEMIIiIOI.OGI

Reaksi Transfusi Alergi


Reaksi alergi pada donor sering terjadi dengan angka
kejadian sekitar 1-37o, mungkin lebih tinggi lagi karena tak
dilaporkan. Gambaran berupa urtikaria, 'skin rashes' ,'
spasme bronkus, angio edema sampai renjatan anafilaksis.
Untunglah kejadian renjatan anafilaksis transfusi yang
berat sangat rendah, karena reaksi ini dapat mengancam
kehidupan. Semua reaksi alergi ini dipikirkan diperantarai
oleh IgE resipien terhadap protein atau bahan terlarut di
dalam plasma donor, interaksi antara antigen dengan IgE
merangsang dikeluarkanya antihistamin dari sel mast dan

basofil.

Untuk pasien yang dengan riwayat alergi berulang,


dapat diberi antihistamin sebagai pencegahan. Bila dengan

antihistamin alergi tak terkontrol sebaiknya plasma


dikurangi atau diberi eritrosit yang sudah dicuci.Pada
reaksi anafilaksis berat,adanya antibodi terhadap IgA donor hendaknya diperhitungkan. Reaksi ini dicegah dengan
eritrosit yang dicuci.

Purpura Pasca Transfusi

Ini

merupakan pengembangan trombositopeni yang

mengancam kehidupan, terjadi pada hari ke 5-10 sesudah


transfusi. Ini disebabkan oleh berkembangnya aloantibodi

yang ditujukan kepada antigen khusus trombosit.


Kebanyakan pasien didahului oleh kehamilan atau
transfusi. Terapi kortikosteroid mungkin bermanfaat.

lmunomodulasi yang Berhubungan dengan


Transfusi
Transfusi darah alogenik tidak hanya berarti memberikan

Kerusakan Paru Akut karena Transfusi


Umumnya berupa 'respiratory distress' berat yang tibatiba, disebabkan oleh sindrom edema pulmonal non
kardiogenik, mirip 'adult respiratory distress sl,rtclrome' .
Menggigil, panas, nyeri dada, hipotensi dan sianosis,

sebagaimana umumnya edema paru, mungkin ada.


Radiologis nampak edema paru. Reaksi dapat terjadi
dalam beberapa jam selama transfusi. Pada awalnya
mungkin berat, umumnya akan mereda dalam 48-95 jam
dengan bantuan pernapasan, tanpa gejala sisa. Reaksi
ini lebihjarang daripadafebris, dengan angkakejadian 1
dalam 5000 tanfusi. Ini disebabkan transfusi antibodi di
dalam plasma donor, yang bereaksi dengan granulosit

resipien. Diduga aglutinasi granulosit dan aktivasi


komplemen terjadi dalam jaringan vaskular paru,
menyebabkan endotel kapiler rusak sehingga terjadi
kebocoran cairan kedalam alveoli.
Penanganan dengan tindakan mengatasi edema paru

dan hipoksia, termasuk bantuan pernapasan bila


diperlukan. Dosis tinggi kortikosteroid mungkin

menguntungkan, karena menghambat agregasi


granulosit. Umumnya donor berasal dari perempuan
multipara.

eritrosit,tapi juga sejumlah efektor sel imun, produk sitokin,


dan berbagai bahan, yang dapat dikenali sistem kekebalan

resipien sebagai antigen asing. Substansi yang


rnemodulasi sistem kekebalan host oleh bahan yang
ditranslhsikan, meningkatkan kemun gkinan sindrom klinis
yang umumnya dikenali dengan transfusion-related
itnmunomodulation.
Keuntungan dari imunomodulasi transfusi ada juga
misal pada cangkok ginjal,hasilnya lebih baik bila sebelum
operasi dilakukan transfusi lebih dulu, tapi bagaimana
prosesnya tidak diketahui. Tapi umumnya dikatakan
imunomodulasi transfusi ini banyak merugikan, misalnya
kambuh kankernya atau infeksinya sesudah transfusi.

Penyakit Donor Cangkok Versus Host


Semua sel darah mengandung 'immunocompetent T
lymphocyte' , bila ditransfusikan ke resipien yang non
imunokompeten,maka sel limtbsit T ini akan memperbanyak
diri, dan menyebabkan reaksi penolakan donor transplan
(reaksi penolakan). Reaksi penolakan biasanya berupa

diikuti'rash' kulit berupa eritema, makulopapula


mulai dari sentral ke tepi (tubuh ke anggauta). Gangguan
faal hati, nausea, diare berdarah. Leukopeni diikuti

panas,

r20t

PENCEGAHAN DAII PENANGANAT{ KOMPLII(ASiI TRANSFUSI DARAH

pansitopeni karena kegagalan sumsum tulang. Umumnya


terjadi reaksi penolakan pada 2-3 minggu semenjak adanya
keluhan yang pertama. Diagnosis berdasar gambaran

Plasticizer. Bila kantong plastik dibuat dari PVC yang


mengandung 'phthalate' , bahan ini lipofilik maka dapat
iarut kedalam cairan darah tergantung kepada suhu dan

ini

klinis, ditegakkan dengan biopsi kulit. Pengobatan

waktu penyimpanan. Bahan

dilakukan dengan pemberian kortrikosteroid, globulin anti


timosit, siklosporin dan' growthfacror', tapi hasilnya tidak
memuaskan.

keracunan, maka kantong plastik diganti dengan bahan


lain.
Hemosiderosis transfusi, terjadi karena transfusi yang
berul ang ulang, misalnya anemia kronik karena kegagalan
sumsum tulang. Tiap kantong darah mengandung besi

KOMPLIKASI NON IMUNOLOGI

sekrtar 0,25g.

Kelebihan Cairan
Transfusi eritrosit atau plasma dapat menyebabkan
kelebihan cairan di dalam sirkulasi.
Pada anemia berat terjadi ekspansi volume sehingga
volum cairan normal,maka pada anemia dengan gagal

jantung, transfusi harus hati-hati karena dapat


menyebabkan edema paru yang berakibat fatal. Pada
orang tua transfusi diberikan dengan ritme 2 ml darah/kg
berat badan/jam.

KOMPLIKASI INFEKSI PADA TRANSFUSI


DARAH

Sekilas Tentang Skrining Darah Donor untuk


Penyakit lnfeksi
Di tahun 1960, hepatitis karena transfusi mencapai30To
pada pasien dengan multipel transfusi. Setelah dilakukan
tes HbsAg bagi donor maka kejadian hepatitis B sangat
menurun, tapi hepatitis C tidak. Kemudian diawal tahun
1980 terdapat tantangan baru sehubungan dengan

Transfusi Masif
Pengaruh metabolik, komposisi darah yang disimpan lain
dengan darah di dalam sirkulasi, bila sejumlah besar darah

simpanan diberikan dengan cepat maka

memungkinkan

ion

menyebabkan risiko pada pasien dengan gagal ginjal, syok

dengan asidosis, atau pada hemolisis. Adanya sitrat


sebagai antikoagulan dapat menyebabkan hipokalsemia.

Hipotermia. Hipotermia terjadi bila sejumlah besar darah


yang dingin diinfuskan. Anak dan orang tua sensitif akan
hal ini. Pada pasien berat, denga transfusi masif ini dapat
mengalami asidosis, hipoksemia, hipotermia, hipokalsemi,
dan hipo atau hiperkalemia dapat terjadi, dengan risiko
aritmiajantung.
Pengaruh pengenceran. Transfusi dengan sejumlah besar

produk darah menyebabkan pengenceran trombosit dan


faktor koagulasi yang labil. Sejumlah pasien dengan

munculnya penyakitAIDS, untuk ini dilakukan peme.riksaan


antibodi HBc dan sel T donor untuk menurunkan risiko
tertular AIDS lewat transfusi.

Selanjutnya kemajuan pemeriksaan donor untuk


mencegah penularan AIDS dan hepatitis C dicapai pada
tahun 1992 diAS, seterusnya komplikasi infeksi ini sangat
menurun, Penyakit infeksi yang diperiksa untuk donor (di
AS) ialah:
Hepatitis B HbsAg,IgM dan IgG untuk HBc antigen
Hepatitis C IgG untuk hepatitis C peptid
Asam nukleat virus hepatitis C

HIY

-lr2

IgMdanIgGanIiHIY-ll-2
Asam nukleat IIN-I/-2

HTLV-Y-tr IgGantiHTLV-V-tr

Sipilis

IgM dan IgG

pada treponema antigen, atau

reaktivitas serologi non treponemal (rapid

sepsis, renjatan dan koagulasi intravaskular dapat memberat

plasma reagin).

dengan pengaruh transfusi ini.

Mikroagregat dan mikroembolisasi paru. Selama


penyimpanan eritrosit, terbentuk agregat y algterdiri dari

Hepatitis karena Transfusi


Sebelum pemeriksaan serologi dapat menentukan sebab

trombosit, leukosit dan fibrin. Semua produk darah disaring


dengan saringan berlubang 170 um, tapi alat ini tidak dapat

hepatitis pada transfusi, semua hepatitis

menghilangkan mikroagregat, lalu disaring dengan


saringan yang lubangnya 40 um. Seorang dengan

30Vo dari hepatitis tadi merupakan Hepatitis B,


Selanjutnya dapat disingkirkan hepatitis virus A, CMV
(cyto megalo virus), dan EBV (Epstein Barr virus)
sebagai penyebab hepatitis pada transt'usi. Pada tahun

transfusi sejumlah besar darah simpanan lalu mengalami


sindrom disfungsi pulmonal dengan hipoksia, dipikirkan
karena tersebarnya obstruksi mikrovaskular karena
mikroagregat,

ini

disebut

serum hepatitis. Setelah tes HbsAg ditemukan,diketahui

1988, ditemukan penyebab hepatitis NANB (non A non

jika wadah yang dipakai sebagai tempat darah

B) ialah virus hepatitis C. Sesudah tahun 1992, tes


virus hepatitis C yang diperbaiki tersedia, sehingga
kemudian hepatitis karena transfusi yang semua

berupa gelas (botol), tapi setelah yang dipakai plastik maka

marker tes serologi-nya negatif, disebut hepatitis non

ini terhindarkan.

ABC.

Lain-lain. Dapat saja komplikasi berupa emboli


terutama

udara,

t202

HEM/TffOLOGI

Virus Hepatits B
Virus ini merupakan DNA virus,dengan bungkus
lipoprotein, padanya terdapat HbsAg, dan 'inner cor'l

positip untuk petanda virus (VHA<VHB<VCM dan EBV).


Pada tahun 1988 genom dari VHC dikloning, penelitian
menggunakan peptidarekombinan dari kloning genom tadi

inti. Inti ini berisi DNA, DNA polimerase, protein kinase,


dan di ekspresikan dengan antigenik determinan sebagai

diketahui sebagian besar hepatitis NANB memang


disebabkan virus ini, VHC. Sekarang diketahui virus ini
merupakan bungkus lipid RNA virus, termasuk famili
Flaviviridae. Setengah kasus hepatitis C di AS karena

'hepatitis B core' (HBc) antigen. Virus utuh dapat


diperlihatkan dengan mikroskop elektron sebagai benda
dengan bungkus dobel berukuran 42 nm. Bungkus virus,
HbsAg, di dalam serum dapat diidentifikasi dengan metode
serologi. Di dalam sirkulasi, HbsAg ini dapat utuh sebagai
virion atau tidak lengkap sebagai partikel 'sphere' dan
tubulus. Hepatitis B ini ditularkan oleh orang yang sakit

jarum suntik (pecandu), setengahnya lagi tidak diketahui.


Transmisi secara seksual diduga berperan, tapi dalam

jangka panjang sedikit saja penularan lewat hubungan


seksual. Begitu juga penularan perinatal sangat rendah.
Separuh dari pasien tertular karena suntikan, setengahnya

hepatitis B akut atau yang mengidap HbsAg, lewat

lagi tidak diketahui cara penularanya. Enam Efiih-ll%o

parenteral, hubungan seksual, atau pada perinatal dari ibu


yang infeksius kepada bayinya. Masa inkubasi antara 1-6
bulan. Hanya sekitar 25-407o pasien hepatitis B dengan
jindis, infeksi fulminan (berat) dengan resiko kematian
menimpa sekirar 0,2-0,57oSemua pasien mengalami hepatitis

pasien asimptomatik, sepuluh-duapuluh persen

sub

klinis sementara,yang hanya diketahui dengan

pemeriksaan laboratorium. Sering dinyatakan infeksi pada


dewasa sekitar 5-107o menjadi karier kronik,kini diduga
yang menjadi kronik lebih rendah lagi, yaitu 77o.Dari l7o
in\,sekitar 257o dapat berkembang menj adi hepatitis kronik,
setelah bertahun-tahun dapat sembuh atau menjadi sirosis

hepatis yang fatal ataupun menjadi karsinoma


hepatoselular. Setelah l2 minggu dari awal serangan,
umumnya HbsAg menghilang, anti HBs muncul. Pasien
yang menjadi kronik biasanya dengan HbsAg yang tinggi
dan anti HBc positip, tapi anti HBs tidak.Hepatitis Be antigen (HbeAg) berhubungan dengan 'core subcomponen',
merupakan protein yang larut tapi tak berhubungan

dengan struktur yang dapat dilihat, keberadaanya

keluhannya nonspesifik, yang hanya terdapat pada 20307o kasus. Pasien imunokompromiais dapat berkembang
menjadi berat, hepatitis fulminan jarang. Hanya 767o-257o
pasien virus hilang, sisanya menjadi infeksi kronik, dalam
20-30 tahun sekitar 10-207o menjadi sirosis hepatis, 5%
menjadi karsinoma hepatoselular. Pengobatan dengan interferon dan ribavirin menekan virus pada beberapa pasien,
tapi hanya minoritas saja yang dengan terus tanpa virus
(sustained response).
Skriningdonor. Antr IIBc dan SGOT(AST) harus dilakukan
untuk menurunkan transmisi hepatitis NANB.Ditahun 1990
tes anti HCV mulai tersedia, namun kurang sensitif, pada
tahun 1992 dibuat generasi kedua dengan peptide yang
mewakili 'core' dan regioNS3 sehingga sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi, seterusnya dikembangkan antibodi
tes versi 3, namun dipandang kurang bermanfaat. Setelah
ditemukanya anti HCV maka tes AST untuk donor tak
diperlukan lagi.

berhubungan dengan kadar virus yang tinggi, mempunyai

arti adanya infeksi sekarang atau masih berlangsung


infeksinya dan bersifat infeksius. HbeAg ini menghilang
dari serum mendalui HbsAg, lalu diikuti munculnya anti
Hbe. Semua orang dengan HbsAg harus dianggap
infeksius, walau dengan bervariasi tingkatannya. tapi
adanya HbeAg positip berarti dengan tingkat infeksius
yang tlnggr.

Skrining donor untuk hepatitis B. Dengan ditemukannya


HbsAg dan tes sera yang dikembangkan, maka penurunan
angka kejadian penularan lewat transfusi sangat dramatis.
Sisa infeksius disebabkan oleh menghilangya HbsAg, tapi

membentuk antiHBc, bukanya anti HNs, kini dengan

Virus Hepatitis

D
Virus ini mempunyai struktur hibrid,terdin dari antigen HBs
tertutup sedikit genom RNA yang tidak komplit sehingga
tak dapat berlahan hidup tanpa bantuan fungsi virus B.
Hanya terdapat bila bersama hepatitis B.
Darah transfusi yang mengandung VHD menyebabkan

seorang karier HbsAg yang benigna menjadi hepatitis


fulminan atau penyakit hati berat yang progresif. Karena
VHD hanya dapat ditularkan bila ada VHB, maka adanya
seromarker VHB harus disingkirkan.

Virus Hepatitis A

ditemukanya reaksi rantai polimerase Qtolymerase chain


reaction) yang sangat peka, pasien demikian ditemukan
IIBV DNA di dalam serumnya. Kasus demikian di AS diduga

Dalam praktek transfusi,transmisi hepatitis A ini tidak


meyakinkan. Darah dapat mengandung VHA bila diambil

terdapat pada lper 50000 kasus.

pada saat viremia fase asimtomatik.

Virus Hepatitis

Virus Hepatitis

C
Virus ini diduga menyebabkan9}To kasus hepatitis NANB.
Sebelum ditemukan sebabnya hepatitis NANB didasarkan

Menular secar a'

pada kenaikan serum transaminase tanpa reaksi yang

transfusi.

w at e r b o rne', menyebar seperti VHA,tidak


bersifat kronik, maka tidak berisiko ditularkan lewat

t203

PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KOMPLIKASiI TRANSFUSI DARAH

Pada orang dewasa normal gambaran klinis dapat mulai

Hepatitis Non-A-B
Sepuluh persen Hepatitis NANB tidak termasuk hepatitis
C, dengan penelitian virus tersebut,virus G SEN dan TT.
Transmisi lewat transfusi relatif sering, tapi bagaimanapun
kini tak terbukti virus ini menyebabkan hepatitis.

Virus Human lmmunodeficiency Tipe 1 Dan

HIV merupakan retrovirus, dengan RNA dibungkus lipid,

dan 'reverse transkipstase', bagian imunitas ada


dibungkus darr protein core. Penularan lewat parenteral
(transfusi), seksual dan perinatal, dari ibu ke anak. Sesudah

2-3 minggu terpajan virus, pasien menderita seperti


influenza akut atau penyakit mirip mononukleosis.
Penyakit memasuki masa laten tapi virus terus berkembang
biak. Fase asimtomatik ini mencapai l0 tahun, lalu CD4 T

cell menjadi tertekan, pasien berkembang menjadi


imunodefisien berat sehingga mendapat infeksi oportunis
yang berat, neoplasma atau keduanya dan meninggal.

Pengobatan dengan

'highly active anti retroviral

therapy', secara dramatis menurunkan morbiditas dan


mortalitas di AS.

Virus Human T Lymphotropic I Dan li


V HTL L merupakan retrovirus manusia yang

pertama

ditemukan di tahun 1978 pada lifoma sel T orang dewasa,


V HTL II merupakan retrovirus, ditemukan pada tahun 1982
pada pasien dengan lekemi 'hairy sel'. Kedua virus ini
menginfeksi limfosit, berlangsung selama hidup. Virus HTL
I dihubungkan dengan lekemia sel T dewasa atau limfoma

dan kelainan nerologi HTLV I associated myelopathy


(HAM) atat tropical spastic paraparesis (TSP).
Infeksi V HTL I endemik di Jepang, Karia, Brazil,
Melanesia dan Afrika. Menular lewat hubungan seks,
menyusui, dan pemakaian jarum bersama. Pada transfusi
penularan lewat koponen sel dara, tapi tidak dari kompnen
plasma yang didinginkan, Limfoma sel T dewasa muncul
pada usia 40-60, menggambarkan adanya masa infeksi laten

yang lama sebelum serangan klinisnya muncul. Pada


keadaan transfusi, HAM atau TSP dapat muncul dalam
waktu beberapa bulan atau tahun pasca transfusi.

Skrining donor. Tes donor,dengan memeriksa antibodi


pada V HTL I,tersedia ditahun 1988, ditahun 1997 FDA
menginginkan tes untuk antibodi pada V HTL II. Kemudian
yang dites hanya IgG dengan periodejendela agak lama,
5 t hari, perkiraan infeksi lewat transfusi sebesar I per 428

dari tanpa keluhan sampai sindrom

seperti

mononuleosis.Pada pasien dengan imunodefisiensi reaksi


primer atau reaktivasi berupa trombositopeni, anemia
hemolitik, penmonitis, kolitis, hepatitis, meningoensefalitis
dan meninggal. Obat antivirus yang efektif telah tersedia.

Kasus pertama infeksi virus Sitomegalo dilaporkan

yahun 1960, pada pasien operasi jantung terbuka yang,


memerlukan banyak darah segar. Gambaran berupa adanya

sindrom panas dengan rash, limadenopati dan


splenomegali, yang dihubungkan dengan limfositosis atipik
8-12 minggu sesudah pembedahan. Keadaan ini kemudian
dehnitif disebabkan oleh virus Sitomegalo.
Sekarang ini insidens tertular virus Sitomegalo sangat
secara serologis

rendah dengan mengunakan komponen darah yang


disimpan pada pasien dengan status imunologi normal.
Sitomegalo ini hanya ditularkan lewat komponen selular

darah, penularan dapat sangat ditekan dengan cara


mengurangi sejumlah besar leukosit.

Virus Esptein-barr
Sembilan puluh persen darah donor mempunyai antibodi
terhadap v irus Ep s t e in - B a r r, kar er'a infeksi berhub un gan
dengan leukosit maka nampaknya akan aman dengan
menggunakan darah yang leukositnya dikurangi.

Parvovirus B

19

Virus ini merupakan virus DNAkecil tanpa bungkus,sangat

kebal terhadap pengolahan fisik untuk menonaktifkan.


Infeksi seringpadaanakumur 15 tahun. Sekitar50To anak
telah punya antibodi.Virus menyebarterutama lewat traktus

respiratorius. Penyakit dengan gambaran berupa eritema


infeksiosum dan poliartropati. Pada orang normal virus
B I 9 ini menyebabkan penghentian akut produksi eritrosit
yang sembuh dengan sendirinya dalam 4-8 hari. Pada
pasien yang dengan destruksi eritrosit, hal ini dapat
menyebabkan krisis aplastik akut. Pada pasien dengan
imunodefisien, dapat menimbulkan anemia kronik yang
mungkin reversibel dengan pemberian imunoglobulin dari
luar. DNA Bl9 kebanyakan terdeteksi di dalam, pooled
plasma producr', dimana B 19 ini resisten terhadap proses
inaktivasi virus, misalnya dengan pemberian larutan
deterjen dan pemanasan; untuk menghindari ini dipakai
cara menghilangkan plasma yang mengandung banyak

titerDNAB

19.

000unit.

lnfeksi yang Disebarkan Artropoda

Virus Sitomegalo
Virus ini merupakan virus DNA dari keluarga virus herpes.
dipikirkan menyebar lewat sekret mulut,dan kontak seksual.
Dapat juga menular transplasenta, lewat darah transfusi
dan organ donor. Sesudah dengan gejala infeksi dapat

bersifat laten, kemudian dapat mengalami reaktivasi.

Malaria merupakan penyakit infeksi giobal namun di AS


penularan secara transfusi jarang. Donor yang melewati
daerah endemi, setahun tahun tidak boleh menjadi donor,
3 tahun bila pernah tingal di daerah endemik.
Babesiosis, infeksi disebabkan protozoa, menginfeksi
eritrosit, disebarkan oleh kutu, keluhan mulai dari tak ada

t204

keluhan sampai yang ringan seperti influenza atau malaria,


dengan anemia hemolitik, diobati dengan kinin atau
klindamisin. Infeksi ini jarang yang fatal.
Penyakit Lyme, disebabkan oleh Borrelia burgdorferi,
tak ada catatan tentang penyakit ini pada penularan karena

HEMIIiTOI.OGI

Kontaminasi Bakteri
Kontaminasi merupakan penyebab mayor fatalitas pada

transfusi. Sumber kontaminasi ini, kantong, donor


bakteremia asimtomatik, pembersihan kulit tidak adekuat,
Transfusi trombosit yang disimpan pada suhu kamar lebih

transfusi.

sering menimbulkan febris dibanding eritrosit yang

Tripanosoma cruzi, protozoa yang menyebabkan


penyakit Chaga,ditularkan oleh kutu busuk. Infeksi akut
umumnya hilang sendiri tapi dapat juga menyebabkan

didinginkan.

transfusi eritrosit antara lain yersinia, pseudomonas,

miokarditis, meningoensefalitis dan dapat fatal pada pasien


dengan imunokompromais.
Virus ll'esrMle, merupakan flavivirus, disebarkan oleh

termasuk stafilokokus, streptokokus, klebsila, dan


salmonela. Keluhan dapat berupa seperti febris non

gigitan nyamuk, umumnya menyebabkan panas,yang berat


dapat dengan meningitis, ensefalitis atau paralisis flusid,
yang berat mungkin fatal. Virus ini dapat ditularkan lewat

transfusi.

Penularan Encefalopati Spongioform


Penyakit Creutzfeld t-Jakob dan variannya. Penyakit
infeksi ini progresif dan fatal,menyerang saraf
pusat,disebabkan oleh agen yang disebut prion. Di
Inggris.diketahui spongiform atau prion ini menyerang sapi
sehingga disebut mad cow disease', dipikirkan orang
yang terpapar oleh bahan dari sapi ini dapat terlular.

Organisme yang sering menimbulkan kontaminasi pada


enterobakter. dan seratia. Pada trombosit lebih bervariasi

hemolitik sampai sepsis akut dengan panas, hipotensi dan


kematian. Keluhan yang berat dihubungkan dengan mikro
organisme dengan endotoksin. Pengobatan sama seperti
pada sepsis karena organisme lain yang sesuai

REFERENSI

al Transfusion medicine. In: Greer JP, et al, editor


Wintrobe's clincal hematology 11'h edition. Vol l. Lippincot
Wiliams & Wilkins: 2001 p. 831-82,
WHO. Adverse effects of transfusion, in the clinicals use of blood in
Ga1el SA, et

medicine, obstetric, paediatrics, surgery and anaesthesia, trauma


and burn. Malta Geneva; 2001. p 126-52.

191
AFERESIS DONOR DAN TERAPEUTIK
Ronald A. Hukom

PENDAHULUAN

mulai dipakainya interleukin dan lymphocyte activated


killer dalam pengobatan kanker.

Aferesis dalam bidang Hematologi-Onkologi merupakan


suatu tindakan pengambilan/pengumpulan komponen
darah tertentu melalui penyandapan darah, dengan

mengembalikan komponen darah lainnya ke tubuh

Jenis tindakan pada aferesis dapat berupa cytaferesis


(eritrositaferesis, lekaferesis, trombaferesis), plasmaferesis,
dan prosedur transplantasi sel asal darah perifer (PBSCT).
Tujuan utama tindakan aferesis adalah mengeluarkan

seseorang menggunakan alat separasi sel. Tujuan tindakan

hanya sebagian komponen darah, bisa berupa sel atau

aferesis ini adalah untuk mengambil sebagian komponen


darah untuk diberikan pada orang lain (aferesis donor),
atau mengurangi jumlah komponen darah yang berlebihan
di dalam tubuh (aferesis terapeutik).

plasma saja. Alat yang digunakan memiliki plastik


disposable sebagai saluran yang dilalui darah dan memakai
antikoagulan yang mengandung sitrat atau kombinasi sitrat
dan heparin, tanpa menimbulkan efek sistemik. Sebagian
besar alat yang digunakan dapat dioperasikan pada aliran
darah 30 - 80 ml/menit dengan melalui akses vena perifer
atau kateter vena sentral multi-lumen.
Di RS Kanker Dharmais, dalam periode 1997 - 2004
tercatat lebih dari 2100 tindakan aferesis (sekitar 300 kali
setiap tahun), di mana lebih dai9)Vo prosedur aferesis ini
merupakan aferesis donor (trombaferesis).

Tindakan mengambil, mencuci, dan mengembalikan


darah telah dilakukan sejak tahun 1902 di Perancis pada
pasien uremia. Kata aferesis sendiri berasal dari bahasa
Yunani, apo dan hareisis, dengan arti keseluruhan adalah
'suatu proses mengambil dari sesuatu'. Hemaferesis terminologi yang sekarang lebih sering digunakan - berarli

pengambilan komponen tertentu dari darah dengan


menggunakan alat cell separator. Plasmaferesis untuk
keperluan terapeutik digunakan pefiama kali pada tahun
1952, sebagai usaha mengatasi hiperviskositas pada
penderita mieloma multipel.

AFERESIS PADA PROSEDUR TRANSPLANTASI


SEL ASAL DARAH TEPI

Walaupun mula - mula digunakan untuk tujuan terapi,


dalam perkembangannya sekarang aferesis lebih penting

Transplantasi sumsum iltJang (bone marow transplan-

tation, BMT) dan transplantasi sel asal darah tepi


Qteripheral blood stem cell transplantation, PBSCT)

lagi untuk memperoleh komponen darah bagi transfusi


(Aferesis Donor). Cell separator digunakan mula - mula
untuk memperoleh granulosit dan trombosit dari donor
tunggal bagi pengobatan suportifpada pasien kanker yang
dalam keadaan imunosupresi. Dengan perkembangan
terakhir teknologi aferesis, pelayanan transfusi darah dapat
lebih tepat memenuhi kebutuhan komponen darah (sel
darah merah, trombosit, dan plasma) melalui penggunaan
mesin aferesis donor multikomponen yang ada. Pada
lekoferesis, sel yang dapat diambil saat ini termasuk
lymphocyte killer cells, macrophage-monocyte cells, dan
myeloid stem cells. Hal ini berlangsung sejalan dengan

merupakan prosedur pemulihan sel asal (stem cells) dalam


tubuh pasien yang hancur sesudah kemoterapi dan latat
radioterapi dosis tinggi. Sebagian besar sel asal
hemopoietik ditemukan di sumsum tulang, tapi ada pula
yang bisa ditemukan di darah tepi (PBSC), maupun dari

tali pusat (umbilical cord) bayi yang baru lahir.


Transplantasi (BMT atau PBSCT) sekarang sudah banyak

digunakan dalam terapi kanker, di mana tindakan ini


memungkinkan pasien menerima radioterapi danlatau
kemoterapi dengan dosis sangat tinggi, sehingga bisa

t20

I206

HEI}TATIOI.OGI

didapatkan angka keberhasilan terapi yang lebih tinggi.


Beberapa contoh indikasi transplantasi adalah pada

berbagai jenis kanker darah (leukemia, sindrom


mielodisplastik, limfoma non Hodgkin, penyakit Hodgkin,
mieloma multiple), beberapa kanker solid (misalnya
neuroblastoma dan kanker payudara), maupun kelainan

terutama menyangkut sumber dari sel asal yang


digunakan. Berbagai masalah ini terutama menyangkut
sel asal yang diperoleh dari embrio (embryonic stem
cells, ESC). Sel asal yang didapat dari sumber lain,
misalnya dari sumsum tulang, darah tepi, darah tali
pusat, plasenta, dan cairan amnion, ternyatajuga dapat

hematologi lain (misalnya anemia aplastik, anemia Fanconi,

digunakan untuk penyembuhan organ tubuh secara

irnunodefisiensi congenital).

alami. Penggunaan sel asal sistem hemopoietik (hematopoietic stem cells, HSC) sudah banyak dipelajari pada
berbagai kasus yang bukan keganasan atau kelainan
darah, misalnya pada kelainan kardiovaskuler (kasus

Transplantasi dapat dilakukan secara autologus


(pasien menerima sel asal mereka sendiri yang diambil dan

disimpan sebelum terapi dosis tingginya), syngeneic


(pasien menerima se1 asal dari saudara kembar identik),
atau allogenik (pasien menerima sel asal dari saudara
kandung, orang tua, maupun dari orang lain). Pada
beberapa tipe leukemia, penggunaan transplantasi
allogenik dapat menimbulkan efek g raft -v e rs us -tumor
(GVT) yang menguntungkan, di mana sel darah putih
donor mengidentifikasi sel kanker yang mungkin tersisa
di tubuh pasien sebagai benda asing dan
menghancurkannya.

infark jantung akut, penyakit arteri koroner, penyakit


pembuluh darah tepi) dan berbagai penyakit autoimun.
Studi terapi sel asal inijuga telah dilakukan pada kasus

strok, trauma otak dan tulang belakang, diabetes,


maupun penyakit Parkinson.
Penggunaan sel asal darah tepi (peripheral blood stem
cells, PBSC) untuk berbagai penyakit di atas, dan cara yang
dipakai untuk mobilisasi PBSC (misalnya pemakaian G-CSF
untuk 3 hari) menjadi tanggung jawab dokter ahli yang

Mesin aferesis digunakan pada PBCST untuk

bersangkutan. Setelah mendapat pemberitahuan, Unit

mengambil sel asal dari darah tepi (prosedur lekaferesis).


Pada donor misalnya, dapat diberikan growthfactors (5

Aferesis akan menjadwalkan prosedur tindakan,

sebelum lekaferesis dilakukan, dengan tujuan memperoleh

memastikan bahwa pasien sudah mengerli semua hal yang


berkaitan dengan tindakan pengambilan sel asal (aferesis)
dan bersedia menjalani pemeriksaan mikrobiologi / virologi

jumlah sel asal yang lebih banyak di darah tepi (mobilisasi

(HBsAg, anti HCY anti

PBSC). Pada pasien yang menjalani transplantasi


autologus, mobilisasi PBSC dapat dilakukan dengan

diperlukan. Biasanya ada pertemuan rutin (seminggu sekali)

mcg/kg rhG-CSF per hari subkutan) selama 4-5 hari

pemberian kemoterapi bersama growth factors, di mana


rhG-CSF diberikan mulai hari 5 pasca kemoterapi sampai

mulai pengambilan PBSC (lzarvesting). Lekaferesis


dilakukan pada hari 10 - 1 5 pasca kemoterapi, saat jumlah
lekosit sudah minimal 2 jutalml. Prosedur lekaferesis
diulang hari berikutnya sampai maksimal 5-6 kali, untuk
memperoleh jumlah CD34 total minimal 2 jrftakg. Semua
sampel darah yang diperoleh dari prosedur lekaferesis,

HIV syphilis, HTLV)

yang

antara dokter koordinator transplantasi, petugas Unit


Aferesis, dokter ahli pemilik pasien yang akan menjalani
terapi se1 asal, dan dokter laboratorium yang terkait.
Pemeriksaan darah lengkap dan tingkat sel CD34 perlu
dilakukan dengan ketat menjelang waktu pengambilan sel

asal yang ditentukan. Biasanya juga telah dilakukan


pemeriksaan vena yang akan dipakai, yang harus cukup

besaruntukjarum 16G.

diproses dalam waktu 1 jam setelah diambil untuk


penghitungan jumlah lekosit total dan analisis CD34
(dengan

flow

AFERESISTERAPEUTIK

cytomet ry).

Berbeda dari pengambilan sumsum tulang dalam


prosedur BMT yang harus dilakukan di kamar operasi steril,
pengambilan sel asal darah tepi (PBSCT) dengan mesin
aferesis tidak memerlukan anestesi umum dan dapat

Aferesis terapeutik adalah pengambilan bahan patologik


atau abnormal dari sirkulasi darah pasien dengan memakai
mesin aferesis. Tindakan dapat berupa plasmaferesis,
leukaferesis, eritroferesis, trombaferesis, dan

dilakukan di ruang rawat biasa, dengan efek samping yang


terjadi biasanya minimal, misalnya pusing, menggigil, dan

immunoadsorption (pengambilan IgG darr plasma-

kesemutan.

Indikasi aferesis terapeutik selain kelainan hematologi


dan onkologi adalah berbagai kelainan neurologi, misalnya
acut e inflammat o ry de my elinatin g p o ly ne urop athy dan
myasthenia gravis, kelainan metabolik, beberapa penyakit

TERAPI SEL ASAL (STEM CELLS THERAPN


Kemungkinan pengobatan berbagai penyakit degeneratif
menggunakan sel asal (stem cells) merupakan salah satu
perkembangan dalam ilmu kedokteran yang saat ini
mendapat perhatian besar. Kemajuan cara pengobatan ini
juga diikuti berbagai masalah moral, etik, dan politis,

circulating immune complexe s).

autoimun dan rematologi. Satu contoh terakhir


LDL (low-density
lipoprotein) apheresis yang digunakan pada pasien

penggunaan mesin aferesis adalah

dengan kolesterol LDL tinggi yang persisten, atau kelainan

LDL genetik yang refrakter terhadap obat. Aferesis LDL


dilakukan dua kali sebulan dan rnulai dikembangkan di

t207

AFERESIS DONOR DAN TERAPEUTIK

Jepang sekitar 30 tahun lalu, dan diakui FDA di Amerika


Serikat pada tahun I 996.

Leukosit

Trombosil

Sickle cell dlsease


Komplikasi akut
Pencegahan rekurensl strok
Nyeri berat + sering
Malaria dengan hiperparasitemia
Leukemia + hiperlekositosis
Transplantasi sel asal (PBSC)
Reumatoid artritis
(dalam keadaan tertentu)
Trombositemia simtomatik

Saat ini sebagian besar sitaferesis terapeutik ditujukan


untuk keadaan trombositosis atau lekositosis berat pada
lekemia akut / kronik dengan resiko pendarahan, ffombosis,

atau lekostasis paru dan otak. Beberapa belas lahw

ABO/Rhesus tidak cocok, atau reaksi silang cocok serasi


(cross matching) memberi hasil positif; darah donor terbukti
mengandung HbsAg/anti HCV/HIV/VDRL/malaria, berat
badan kurang, usia anak-anak atau usia tua, menderita
penyakit s erius ( antun gl p ant/ ginjal dan lainnya).
Kontraindikasi prosedur aferesis terapeutik untuk
seorang pasien adalah bila ada gangguan hemodinamik
yang nyata, atau bila keadaan umum sudah tidak baik lagi.
Pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler yang
harus menjalani prosedur aferesis, perhitungan cairan
pengganti yang cermat dan volume cairan extra-corporeal

yang tepat terbukti dapat mencegah gangguan


hemodinamik.
Bila plasma dipakai sebagai cairan pengganti, reaksi
alergi sering terjadi walaupun hanya ringan dan sementara,
tetapi karena resiko penularan hepatitis dan HIY umumnya
lebih baik digunakan albumin 5 7o in saline sebagai cairan
pengganti dari pada plasma.

terakhir ini lekoferesis dikaitkan pula dengan pengambilan

stem cells bagi imunoterapi eksperimental atau


transplantasi sel asal (PBSCT).

MESIN AFERESIS
Pengambilan komponen darah dengan mesin aferesis saat
ini makin luas dilakukan, dengan mesin aferesis yang

Paraprotein

Metabolit toksis
lmunologis

Sindrom hiperviskositas
Kriog lobu linemia
Penyakit cold agglutinin
H iperkolesterolemia fa mil ial
Sindrom Goodpasture
Miastenia Gravis
Sindrom Guillain - Barre
Pemfigus
nhibitor faktor koagulasi
Purpura trombositopenia imun
I

Vaskulitas
Defisiensi faktor
koagulasi

S.L E
Glomerulonefritis mesangiokapiler
Purpura trombositopenia tromboiik

jenisnya makin banyak tersedia. Di Amerika Serikat,


trombaferesis biasa dikerjakan dengan Fenwal CS3000,
FenwalAmicus, COBE (Gambro) Spectra, Gambro Trima
Version 4, dar, Haemonetics LN9000. Granulosit dapat
diambil misalnya dengan Fenwal CS3000, COBE (Gambro)
Spectra, Haemonetics LN9000, dan Fresenius AS 104.

Sistem aferesis Spectra merupakan salah satu alat


mutakhir untuk separasi dan pengambilan komponen darah
dari donor atau pasien. Dari donor, produk darah diambil

untuk ditransfusikan pada pasien, sementara untuk


prosedur terapeutik pada pasien digunakan untuk
penukaran atau deplesi komponen darah. Selain itu sistem

Spectra

KOMPLIKASI AFERESIS
Dalam pengawasan yang baik, prosedur aferesis adalah

tindakan yang aman. Komplikasi yang dapat terjadi


berhubungan dengan vascular access, perubahan

homodinamik, problem mekanik berkaitan dengan


instrumentasi, deplesi komponen sel dan plasma, reaksi
terhadap cairan pengganti (termasuk antikoagulan), reaksi
alergi, dan infeksi.
Efek samping yang paling sering terjadi pada prosedur

aferesis adalah hipokalsemia, dengan gejala yang timbul


berupa kesemutan bibir dan jari tangan, dada rasa tertekan,

dan pandangan gelap. Bila timbul gejala hipokalsemia,


maka perlu diberikan suntikan kalsium sampai gej ala hilang.
Kontraindikasi seseorang untuk menjadi donor aferesis

antara lain adalah bila calon donor memiliki nilai Hb/Ht,


lekosit, trombosit, albumin di bawah normal; golongan

ini

dapat juga digunakan dalam pengambilan

granulosit dan sel mononukleus, termasuk untuk prosedur


pengambilan sel asal darah perifer (PBSC).
Sistem aferesis Spectra ini terdiri dari alat disposable
(preconnected separation channel and blood tubing) dan

mesin aferesis. termasuk suatu alat Return Flow


Controller. Di RS Kanker Dharmais, alat ini banyak
digunakan pada prosedur tromboferesis dari donor
tunggal untuk ditransfusikan pada pasien kanker dengan
trombositopenia yang memerlukan transfusi multipel.

REFERENSI
Burgstaler EA: Blood Component Collection by Apheresis. World
Apheresis Association 10d Congress, 2004, U.S.A

Burt RK, Loh Y, Pearce W, et al: Clinical Applications of


Blood-Derived and Manow-Derived Stem Cells for Nonmalignant Diseases. JAMA 2008, 299(8): 925-936.

1208

HEMIfiOIJOGI

COBE Spectra Apheresis System. Operator's Manual, 1993.


Huaetis DW, Bove JR, and Case J : Practical Blood Transfusion.
Little, Brown and Company - Boston/Toronto, 4 Th ed.,1988.
Kang HJ, Lee Hl Na SH, et al: Differential Effect of Intracoronary
Infusion of Mobilized Peripheral Blood Stem Cells by Granulocyte Colony-Stimulating Factor on Left Ventricular Function
and Remodeling in Patients With Acute Myocardial Infarction
Versus Old Myocardial Infarction. Circulation 2O06, 714 ll45-

Il5

1.

M, et al: Concunent Comparison of


the Cobe Spectra and Fenwal CS3000 for the collection of
Peripheral Blood Mononuclear Cells for Autologous Peripheral
Stem Cell Transplantation. J Clin Apheresis 1991,6:'17-80.
Reksodiputro AH, Djoerban Z, Hukom RA: Beberapa Permasalahan
Utama pada Transplantasi Sumsum Tulang. Buku Naskah
Lengkap Kongres Ahli Penyakit Dalam (KOPAPDI) 1990,
Padley D, Strauss RG, Wieland

Jogjakarta.

r92
LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIS
Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman

PENDAHULUAN
Leukemia granulositik kronik (LGK) merupakan leukemia
yang peftama ditemukan serta diketahui patogenesisnya.
Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan
kromosom yang selalu sama pada pasien LGK, yaifi22qatau hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22,
yang saat ini kita kenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph).
Selanjutnya, di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa
kromosom Ph terbentuk akibat adanya translokasi resiprokal
antara lengan panjang kromosom 9 dan22,lazimnya ditulis
t(9;22)(q34;q11), seperti tampak pada Gambar 1. Dengan
kemajuan di bidang biologi molekular, pada tahun 1980

-*-*-:4c:-Gambar 1. Kromosom Philadelphia Sumber: Laboratorium


Sitogenetika Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen llmu
Penyakit Dalam FKUI/RSCM

diketahui bahwa pada kromosom 22 yang mengalami


pemendekan tadi, temyata didapatkan adanya gabungan

dan biasanya lebih progresif. Di Jepang kejadiannya


meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan
Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor atom

antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9$0,

yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster


region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22

Chernobil meledak.

(22qll'5. (Gambar 2) Gabungan kedua gen ini sering ditulis


sebagai BCR-ABL, diduga kuat sebagai penyebab utama
terjadinya kelainan proliferasi pada LGK.
Secara klasifikasi, dahulu LGK termasuk golongan

TANDA DAN GEJALA KLINIK

penyakit mieloproliferatif, yang ditandai oleh proliferasi


dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga
pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat
tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit
(bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit sampai
granulosit.

Dalam perjalanan penyakitnya, LGK dibagi menjadi 3 fase,


yakni: fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas. Pada
umumnya saat pefiama diagnosis ditegakkan, pasien masih

dalam fase kronis, bahkan sering kali dragnosis LGK


ditemukan secara kebetulan, misalnya saat persiapan para
operasi, dimana ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala-

gejala infeksi.
Pada fase kronis, pasien sering mengeluh pembesaran

INSIDENSI

limpa, atau merasa cepat kenyang akibat desakan limpa


terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti diremas di

Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai20To dari


semua leukemia pada dewasa, kedua terbanyak setelah
leukemia limfositik kronik. Pada umumnya menyerang usia
40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda

perut kanan atas akibat. Keluhan lain sering tidak spesifik,


misalnya: rasa cepat lelah, lemah badan, demam yang tidak
terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan
terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan

120

t2t0

HEMAiNO!.OGI

tersebut merupakan gambaran hipermetabolisme akibat

proliferasi sel-sel leukemia. Apabila dibuat urutan


berdasarkan keluhan yang diutarakan oleh pasien, maka
seperti terlihat pada Tabel 1.

Keluhan

tahun 1980 diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan


pembentukan gen hibrid BCR-ABL pada kromosom 22 dan
gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9, seperti tampak
pada

Gambar 2.

Frekuensi (%)

Splenomegali
Lemah badan
Penurunan berat badan
Hepatomegali
Keringat malam
Cepat kenyang
Perdarahan/pu rpura
Nyeri perut (infark limpa)
Demam

95
80
60
50

45
40

Translokas

35
30

BCR

10

Setelah 2-3 tahwr, beberapa pasien penyakitnya


menjadi progresif atau mengalami akselerasi. Bila saat
diagnosa ditegakkan, pasien berada pada fase kronis, maka

kelangsungan hidup berkisar antara I sampai 1,5 tahun.


Ciri khas fase akselerasi adalah: leukositosis yang sulit
dikontrol oleh obat-obat mielosupresif, mieloblas di perifer

Gambar 2. Translokasi kromosom


and Antman. N Engl J Med 2002

dan 22. Dikutip dari Savage

yang tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali

Gen hibridBCR-ABL yang berada dalam kromosom Ph


ini selanjutnya mensintesis protein 210 kD yang berperan
dalam leukemogenesis, sedang peranan gen resiprokal
ABL-BCR tidak diketahui (Silver, 1990; Diamond, 1995;

membesar, keluhan anemia bertambah berat, timbul petekie,

Melo, I 996; Verfaillie, 1998).

mencapai l5-307o, promielosit >307o, dan trombosit


< 100.000/mm3. Secara

klinis, fase ini dapat diduga bila hmpa

ekimosis. Bila disertai demam, biasanya ada infeksi.

PATOGENESIS
Seperti telah disinggung di atas, gen BCR-ABL pada
kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan
sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon
ini, selain proliferasinya berlebihan juga dapat bertahan
hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen BCR-

ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua


mekanisme di atas adalah terbentuknya klon-klon

Saat

ini diketahui

q13 (Heim dan Mitelman, 1987), dengan sendirinya


protein yang dihasilkanjuga berbeda berat molekulnya.

Gen-gen yang
Terlibat

Karyotipik

abnormal yang akhirnya mendesak sistem hematopoiesis


lainnya.
Pemahanan mekanisne kerja gen BCR-ABL mutlak
diketahui, mengingat besarnya peranan gen ini pada
diagnostik, perjalanan penyakit, prognostik, serta implikasi
terapeutiknya. OIeh karena itu perlu diketahui sitogenetik
dan kejadian di tingkat molekular.

terdapat beberapa varian dari

kromosom Ph, seperli tampak pada Tabel 2. Varian-varian


ini dapat terbentuk karena translokasi kromosom 22 atal
kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Varian lain juga
dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR tidak selalu
di daerah ql1, akan tetapi dapatjuga di daerah ql2 ata.u

t(9:22)G3a;q12)
t(9;22)(q34;q 1 3)
t(9;22)(q34;q 1 1 )
t(8;22)(p11;q11)
t(4;22)(q12;q11)
t(9;1 2)(q34;p

Del(a)(q 12)

3)

BCR.JAK
BCR.PDGFRB

BCR.FGFRl
BCR-FGFR1
BCR-PDGFRA
ABL-TEL
FIP1L1PDGFRA

lstilah Klinik
LGK
LGK
LGK
LGK
LGK
LGK
LGK

atipik
atipik
BCR-ABL negatif
BCR-ABL negatif
atipik
atipik
hipereosinofilia

Sitogenetik
Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang
dibutuhkan sejak terbentuknya Ph sampai menjadi LGK
dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum
diketahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima
dan Nagasaki, diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi,
sebagian ahli berpendapat akibat mutasi spontan. Sejak

BCR-ABL pada kromosom Ph (22q)


selalu terdapat pada semua pasien LGK, tetapi gen BCRABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70Vo pasien LGK.
Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih
Jadi sebenamya gen

rawan terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, hal


ini terbukti pada6o-807o pasien Ph+ yang mengalami fase

1,2r1

LEUKEMI,A GRANULOSITIK KRONIS

krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan


isokromosom lengan panjang kromosom 11 i(17)q. Dengan
kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain

yang berperan dalam patofisiologi LGK atau terjadi


abnormalitan dari gen supresor tumor, sepefii gen p53,
p16 dan gen Rb.

Biologi Molekular pada Patogenesis LGK


Pada kebanyakan pasien LGK, patahan pada gen BCR
ditemukan di daerah 5,S-kb atau di daerah e13-e14 pada

ekson 2 yang dikenal sebagai major break cluster region (M-bcr), kemudian gen BCR-ABL-nya akan
mensintesis protein dengan berat molekul 210 kD,
selanjutnya ditulis p2lQecn'rel. Patahan lainnya
ditemukan di daerah 54,4-kb atau el yang dikenal sebagai

minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL-nya akan


mensintesa pl90 (Melo, 1996). Saglio dkk pada tahun
1

990 menemukan satu lagi variasi patahan ini pada 3' gen

Gambar 3. Fusi Gen BCR-ABL Gen ABL (p145ABL) yang normal


dikontrol oleh Exon 1a, 1b dan Exon a2. Apabila terjadi fusi dengan
gen BCR, maka terjadi otofosforilasi sehingga terjadi aktivasi dari
gen ABL pada gugus SHI dengan tidak terkendali. Dikutip dari
Goldman and Melo. N Engl J Med 2003

BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan terbentuk


p230. Daerah patahan ini kemudian dikenal sebagai micro bcr (yt-bcr) (Melo, 1996). Melo (1991) menemukan
bahwa 3 variasi letak patahan pada gen BCR ini yaitu
mayor (M-bcr), minor (m-bcr), dan mikro Q-bcr) ternyata

berhubungan dengan gambaran

klinik penyakitnya.

Pasien LGK yang patahan pada gen BCRnya diM-bcr


berhubungan dengan trombositopenia, patahan di m-Dcr

berhubungan dengan rnonosirosis l ang prominen.


sedang patahan dr p-bcr berhubungan dengan netrofilia
dan/atau trombositosis,
Pada gambar 2 tampak bahwa p21OBCR ABL mempunyai
potensi leukemogenesis dengan cara sebagai berikut: gen
BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang
mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua
gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilasi yang
akan mengaktivasi beberapa protein di dalam sitoplasma
sel melalui domain SRC-homologi I (SHl), sehingga terjadi
deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat
aderen sel-sel terhadap stroma sumsum tulang, dan

Gambar 4. Proses Aktivasi Sinyal Transduksi oleh Fusi Gen


BCR-ABL. Dikutip dari Goldman and Melo. N Engl J Med 2003.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

berkurangnya respon apoptosis.

Selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi


di dalam sitoplasma sehingga
terjadilah transduksi sinyal yang bersifat onkogenik,
dengan berbagai protein

seperti tampak pada Gambar 3. Sinyal ini akan


menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses
transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan
pada proses proliferasi sel dan juga proses
apoptosi s.

Diagnosis Banding

Hematologi rutin. Pada fase kronis, kadar Hb umumnya


normal atau sedikit menurun, lekosit antara 20-60.000/mm3.
Persentasi eosinofil dan atau basofil meningkat. Trombosit
bias anya meningkat antara 5 00-600.000/mm3. Walaupun
sangat jarang, pada beberapa kasus dapat normal atau
trombositopenia.

Apus Darah Tepi


:

LGK fase kronik: leukemia mielomonositik kronik,

..

trombositosis esensial. leukemia netrofilik kronik


LGK fase krisis blas: leukemia mieloblastik akut. sindrom
mielodisplasia

Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering


ditemukan adanya polikromasi eritroblas asidofil atau
polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan
maturasi seri granulosit, persentasi sel mielosit dan
metamielosit meningkat, demrkian juga persentasi eosinohl
dan atau basofil.

t2t2

HEMIIIIOI.OGI

Apus Sumsum Tulang

l2mghai. Harus dihentikan bila lekosit antara 1020.000/mm3, dan baru dimulai kembali setelah lekosit

Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari


sel-sel leukemia, sehingga rasio mieloid: eritroid meningkat.
Megakariosit juga tampak lebih banyak. Dengan pewamaan

>50.000/rnm3.

Tidak boleh diberikan pada wanita hamil.


Interaksi obat: asetaminofen, siklofosfamid, dan
itrakonazol akan meningkatkan efek busulfan,

retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami


fibrosis.

sedangkan fenitoin akan menurunkan efeknya.

Bila lekosit sangat tinggi, sebaiknya pemberian

Karyotipik

busulfan diserlai dengan alopurinol dan hidrasi yang


baik.

Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding


technique), saat ini teknik ini sudah mulai ditinggalkan

Dapat menyebabkan fibrosis paru dan supresi

dan peranannya digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen

Insitu Hybridization) yang lebih akurat. Beberapa aberasi


kromosom yang sering ditemukan pada LGK, antara lain:
+8, +9, +19,+21,i(17).

sumsum tulang yang berkepanjangan

Imatinib mesylate

(.GLeevec

= Glyvec)

Tergolong antibodi monoklonal yang dirancang


khusus untuk menghambat aktivitas tirosin kinase
dari fusi gen BCR-ABL.

Pemeriksaan laboratorium lain. Sering ditemukan


hiperurikemia.

Diabsorbsi secara baik oleh mukosa lambung pada


pemberian per oral

PENGOBATAN

Untuk fase kronik, dosis 400mg/hari setelah

Tujuan terapi pada LGK adalah mencapai remisi lengkap,


baik remisi hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi

hari bila tidak mencapai respons hematologik

makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600mg/


setelah 3 bulan pemberian, atau pernah mencapai
respon yang baik tetapi terj adi perburukan secara
hematologik, yakni Hb menjadi rendah dan/atau

biomolekular. Untuk mencapai remisi hematologis


digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu
tercapai remisi hematologis, dilanjutkan dengan terapi
interferon dan atau cangkok sumsum tulang. Indikasi
cangkok sumsum tulang: 1. Usia tidak lebih dari 60 tahun,
2. Ada donor yang cocok, 3. Termasuk golongan risiko
rendah menurut perhitungan Sokal.

lekosit meningkat dengan/tanpa perubahan


jumlah trombosit.
Dosis harus diturunkan apabila terjadi netropeni
berat (<500/mm3) atau trombositopenia berat
(<50.000/mm3) atau peningkatan sGOT/sGPT dan

bilirubin.
Untuk fase akselerasi atau fase krisis blas, dapat

Obat-obat yang digunakan pada LGK adalah:

..

Hydroxyurea(Hydrea)
- Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi
hematologik pada LGK.

sangat Jarang

klorambusil.
Efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari
sampai 1 minggu setelah pengobatan dihentikan.
Tidak seperti busulfan yang dapat menyebabkan
anemia aplastik dan fibrosis paru.
Dosis 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis
tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit
> 300.000/mm3, dosis boleh ditinggikan sampai
maksimal 2.5 grunlhafl.
Penggunaannya dihentikan dulu bila lekosit <8.000/
rnm3 atau trombosit <100.000/mm3

Tidak boleh diberikan pada wanita hamjl

Interaksi obat dapat terjadi bila digunakan


Selama menggunakan hydroxyurea harus
dipantau Hb, lekosit, trombosit, fungsi ginjal,

Busulfan (Myleran)

Interaksi obat: ketokonazol, simvastatin dan fenitoin


akan meningkatkan efek imatinib mesilat.

Selain remisi hematologik, obat

Termasuk golongan alkil yang sangat kuat.


Dosis 4-8mg/hari per oral, dapat dinaikkan sampai

ini

dapat

menghasilkan remisi sitogenetik yang ditandai


dengan hilangnya./berkurangnya kromosom Ph dan

juga remisi biologis yang ditandai

dengan

berkurangnya ekspresi gen BCR-ABL atau protein

yang dihasilkannya.

..

Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b


- Berbeda dengan imatinib mesilat, interferon tidak

bersanaan dengan 5-FU, menyebabkan

fungsi hati.

..

Dapat timbul reaksi hipersensitivitas, walaupun

Lebih efektif dibandingkan busulfan, melfalan, dan

neurotoksisitas.

diberikan langsung SO0mg/hari (400mg b.i.d).

dapat menghasilkan remisi biologis walaupun dapat


mencapai remisi sitogeneti k
Dosis 5 juta Iu/m'?lhari subkutan sampai tercapai
remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi.

Berdasarkan data penelitian di Indonesia, dosis


yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/m2lhari. Saat
ini sudah tersedia sediaan pegilasi interferon,
sehingga penyuntikan cukup sekali seminggu, tidak
perlu tiap hari.

r2t3

LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIS

Diperlukan premedikasi dengan analgetik dan


antipiretik sebelum pemberian interferon untuk

REFERENSI

mencergah/mengurangi efek samping interferon

Chronic Myeloid Leukemia Trialists' Collaborative Group.


Interferon alfa versus chemotherapy for chronic myeloid
leukemia: a meta-analysis of seven randomized trials: Chronic
Myeloid Leukemia Trialists' Collaborative Group. J Natl
Cancer Inst. 1997 ;89(21):1616-20.
Druker BJ, Talpaz M, Resta DJ, et al. Efficacy and safety of a
specific inhibitor of the BCR-ABL tyrosine kinase in chronic
myeloid leukemia. N Engl J Med. 2001;344(14):1031-7.
Druker BJ, Sawyers CL, Kantarjian H, et al. Activity of a specific
inhibitor of the BCR-ABL tyrosine kinase in the blast crisis of

berupa flue -like syndrome.

Interaksi obat: teofilin, simetidin, vinblastin dan


zidovudin dapat meningkatkan efek toksik interferon.

Hati-hati apabila diberikan pada usia lanjut,

gangguan faal hati dan ginjal yang berat, pasien


epilepsi.
Cangkok sumsum tulang

Merupakan terapi definitif untuk LGK. Data


menunjukkan bahwa cangkok sumsum tulang (CST)
dapat memperpanjang masa remisi sampai >9 tahun,
terutama pada CST alogenik.
Tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Ph
negatif atau BCR-ABL negatif.

chronic myeloid leukemia and acute lymphoblastic leukemia

with the Philadelphia chromosome. N Engl J


200 I ;3 44(l 4)

Giles FJ, Cortes JE, Kantarjian HM, O'Brien SM. Accelerated and

ckonic myelogenous leukemia. Hematol Oncol


Clin North Am. 2004;18(3):153-14.
Goldman JM, Druker BJ. Chronic myeloid leukemih: current
treatment options. B lood. 200 1 ;9 8 (7 ) :2O39 - 44.
blastic phases of

Goldman JM and Melo JV. Chronic myeloid leukemia

PROGNOSIS
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara
3-5 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Saat ini dengan

ditemukannya beberapa obat baru, maka median


kelangsungan hidup pasien dapat diperpanjang secara
signifikan. Sebagai contoh, pada beberapa uji klinis
kombinasi hidrea dan interferon median kelangsungan
hidup mencapai 6-9 tahun. Imatinib mesilat memberi hasil
yang lebii menjanjikan, tetapi median kelangsungan hidup
belum dapat ditentukan karena masih menunggu beberapa
hasil uji klinik yang saat ini masih berlangsung.
Faktor-faktor di bawah ini memperburuk prognosis
pasien LGK, antara lain:
. Pasien: usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala

sistemik seperti penurunan berat badan, demam,

keringatmalam.

Laboratorium: anemia berat, trombositopenia,


trombositosis, basofilia, eosinofilia, kromosom Ph

negatif, BCR-ABL negatif

Terapi: memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk


mencapai remisi, memerlukan terapi dengan dosis tinggi,

waktu remisi yang singkat

Med.

038 - 42.

advances in

biology and new approaches to treatment. N Engl J Med.


2003;349(15): l45l-64.
Italian Cooperative Study Group on Chronic Myeloid Leukemia.
Interferon alfa-2a as compared with conventional chemotherapy
for the treatment of chronic myeloid leukemia. The Italian
Cooperative Study Group on Chronic Myeloid Leukefuia. N
Engl J Med. 1994;330(12):820-5.
Kantarjian H, Sawyers C, Hochhaus A, et al: Hematologic and
cytogenetic responses to imatinib mesylate in chronic
myelogenous leukemia. N Engl J Med 2002;346(9):645-52.
Kantarjian HM, Cortes JE, O'Brien S Imatinib mesylate therapy in

newly diagnosed patients with Philadelphia

chromoso
me-positive chronic myelogenous leukemia: high incidence of
early complete and major cytogenetic responses. Blood.

2003;101(1):97-100.
Kantarjian HM, Talpaz M. Chronic myelogenous leukemia. Hematol
Oncol Clin North Am. 2004;18(3):15-6.
Lee SJ, Anasetti C, Horowitz MM, Antin JH. Initial therapy for
chronic myelogenous leukemia: playing the odds. J Clin Oncol.
1 998; 1 6(9):2897-903.
McGlave PB, Beatty P, Ash R, Hows JM. Therapy for chronic myelog-

enous leukemia with unrelated donor bone marrow


transplantation: results in 102 cases. Blood. i990;75(8):1728-32.
DG and Antman KH. Imatinib mesylate-a new oral targeted
therapy. N Engl J Med. 2002;346(9):683-93.
Sawyers CL, Hochhaus A, Feldman E, et al. Imatinib induces
hematologic and cytogenetic responses in patients with chronic
myelogenous leukemia in myeloid blast crisis: results of a phase
II study. Blood 2002;99(10):3530-9.
Sneed TB, Kantarjian HM, Talpaz M, et al. The significance of
myelosuppression during therapy with imatinib mesylate in
patients with chronic myelogenous leukemia in chronic phase.
Cancer. 2004;100: I 16-21.
Talpaz M, Silver RT, Druker BJ. Imatinib induces durable
hematologic and cytogenetic responses in patients with
accelerated phase chronic myeloid leukemia: results of a phase
2 study. Blood. 2002;99(6):1928-31.
Savage

193
POLISITEMIA VERA
M. Darwin Prenggono

PENDAHULUAN
Suku kata polisitemia (bahasa Yunani) mengandung arti

poly (banyak), cyl (sel), dan hemia (darah) sedang vera


(benar) adalah suatu penyakit kelainan pada sistem
mieloproliferatif di mana terjadi klon abnormal pada
hemopoetik sel induk (hematopoietic stem cells) dengan
peningkatan sensitivitas pada growth factors yarrg
berbeda untuk terjadinya maturasi yang berakibat terjadi

peningkatan banyak sel. Ada dua istilah yang sering


diarlikan sama antara polisitemia dan eritrositosis, pada
polisitemia (banyak sel) menggambarkan peningkatan dari
dari total kuantitas atau volurn (mass) dari sel darah pada
tubuh tanapa memperdulikan jumlah leukosit atau
trombosit.Sedang peningkatan jumlah dan volume saja
dengan pengukuran hitung eritrosis, hemoglobin dan

hematokrit adalah lebih benar disebut eritrositosis.


Eritrositosis menggambarkan peningkatan dari volume sel

darah merah atau mass (polisitemia, juga disebut


eritrsitosis absolute) atau menghasilkan penurunan
volume plasma (disebut polisitemia/eritrositosis relatif atau
spurious). Polisitemia rubra vera atau polisitemia vera nama
sinonim lainnya tercatat sebagai polisitemia splenomegalik,
eritrositosis megalosplenik (Senator), penyakit Vaquez's,

eritrositosis atau polisitemia sekunder di mana eritropoietin


tersebut meningkat secara fisiologis (wajar sebagai
kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat)
biasanya pada keadaan dengan saturasi oksigen arterial
rendah, atau eritropoietin tersebut meningkat secara non
irsiologis (tidak wajar) sebagai sindrom paraneoplastik yang

dijumpai daripada manifestasi neoplasma lain yang


mensekresi eritropoietin. Di dalam sirkulasi darah tepi PV
didapati peninggian nilai hematokrit yang menggambarkan
terjadi peningkatan konsentrasi eritrosit terhadap plasma
mencapai >49Vo padaperempuan (kadar Hb > 16 mg/dl)
dan>52Vo pada pria (kadar Hb >17 mgldL), dan di dapati
peningkatan jumlah eritrosit total (hitung eritrosit >5,5 juta/
mL pada perempuan dan >6 juta/ml pada pria). Kelainan
ini terjadi pada populasi klon sel induk darah (stem cell)
sehingga seringkali terjadi juga produksi yang berlebihan

dari leukosit dan trombosit.


Permasalahan yang ditimbulkan berkaitan dengan
massa eritrosit, basofil dan trombosit yang bertambah,

serta perjalanan alamiah penyakit menuju ke arah


fibrosis sumsum tulang. Fibrosis sumsum tulang yang
ditimbulkan bersifat poliklonal dan bukan neoplastik
jaringan ikat.

sler's, polisitemia mielopat\ (Web er), polisitemia


kiptogenik (R. C. C abot).
Polisitemia vera selanjutnya disingkat PV, merupakan
suatu penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatif yang
melibatkan unsur-unsur hemopoetik dalam sumsum tulang
mulainya diam-diam tetapi progresif, kronik terjadi karena
sebagian populasi eritrosit berasal dari satu klon sel induk
darah yang abnormal. Berbeda dengan keadaan normalnya,
sel induk darah yang abnormal ini tidak membutuhkan
eritropoietin untuk proses pematangannya (eritropoietin

penyakit

EPIDEMIOLOGI
Polisitemia vera biasanya mengenai pasien berumur 40-60
tahun, rasio perbandingan antara pria dan perempuan
antara2:1 dan dilaporkan insiden polisitemia vera adalah

2,3 per 100. 000 populasi dalam setahun. Keseriusan


penyakit polisitemia vera ditegaskan bahwa faktanya
survival median pasien sesudah terdiagnosis tanpa diobati
1,5 - 3 tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari

serum <4 mU/mL), hal ini jelas mernbedakannya dari

10 tahun.

t2t4

tzl5

POLISITEMIAVERA

ETIOLOGI

rasa panas pada tangan atau kaki (29%), gatal (pruritus)

Penyebab terjadinya Polisitemia vera tidak diketahui, tetapi

(437o), juga terdapat perdarahan dari hidung, lambung


(stomach ulcers) (247o) atar sakit tulang (26Vo).

Ada pendekatan penelitian yang didefinisikan adanya


kelainan molekul. Salah satu penelitian sitogenetika
menunjukkan adanya kariotipe abnormal di sel induk
hemopoisis pada pasien dengan polisitemia vera dimana
tergantung dari stadium penyakit, rata-rata 207o pada

pasien polisitemia vera saat terdiagnosis sedang


meningkat 807o setelah diikuti lebih dari l0 tahun. Beberapa
kelainan tersebut sama dengan penyakit mielodisplasia
sindrom yaitu: deletion 20q (8,4Vo), deletion l3q (3Vo),
trisomi 8 (1Eo), trisomi 9 (1Ea), trisomi lq(47o), deletion 5q
atau monosomi 5 (3Eo), deletion 7q atau monosomi 7 (l7o).

GejalaAkhir (later symptoms) dan Komplikasi. Sebagai


penyakit progresif, pasien dengan PV mengalami
perdarahan (hemorrhage) atau trombosis. Trombosis
adalah penyebab kematian terbanyak dari PV. Komplikasi
Iain peningkatan asam urat dalam darah sekitar 10%
berkembang ,menjadi gout dan peningkatan resiko ulkus
pepticum (107o).
Fase Spen om egali (Sp e nt pft ase ). S ekitar 307o gej al a akhir
berkembang menjadi fase splenomegali. Pada tase ini te{adi

kegagalan sumsum tulang dan pasien menjadi anemia


berat, kebutuhan transfusi meningkat, liver dan limpa
membesar.

KLASIFIKASI DAN PENDEKATAN PADA PASIEN


DENGAN ERITROSITOSIS
Klasifikasi eritrositosis tergantung volume sel darah merah
(red cell mass) (eritrositosis relatif atau polisilemia dengan
polisitemia aktual). Polisitemia terbagi dalam polisitemia
primer (polisitemia vera dan polisitemia famili primer) dan
polisitemia yang dipengaruhi oleh produksi eritropoeitin
(polisitemia sekunder).

tosis relatif atau p olisitemi a ( pseudoe rlrositosis)


Hemokonsentrasi
Polisitemia spurious (sindrom Gaisbok)
P olisitem ia (eritrositosis absolut)
Polisitemia primer
Polisitemia vera
Polisitemia familial primer
Pclisitemia sekunder
Sekunder oleh kerena penurunan oksigenisasi pada
jaringan (P hysi ologically app ropriate po lycythemia
alau hy pox ia e ryt rhocytos is)
Hig h-altitude eryt rhro cytos is (M ong e dis eas e)
Penyakit paru (contoh: kor pulmonal kronik,
sindrom Ayerza)
Cyanotb congenitalhearl disease
E ritrosi

.
.
.

Sindromhipoventilasi

Hemoglobin abnormal
Polisitemia familial
Sekunder oleh karena penympangan respon atau
produksi eritropoietin (p hysio logically inapp ropriate
polycythemia)

Polisitemia idiopatik

Tanda dan gejala yang predominan terbagi dalam 3 fase:

Gejala awal (early sympto,ms). Gejala awal dari PV sangat


minimal dan tidak selalu ada kelainan walaupun telah
diketahui melalui tes laboratorium. Gejala awal yang terjadi
biasanya sakit kepala (48Vo), telinga berdenging (43Ea),
mudah lelah(47Vo), gangguan daya ingat , susah bernapas
(26Vo), darah tinggi (727o), gangguan penglihatan (3l%o),

Beberapa hal yang penting berhubungan dengan gejala


yaitu:

Hiperviskositas. Peningkatan jumlah total eritrosit akan


meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan
menyebabkan:
. Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), leblh
jauh lagi akan menimbulkan eritrostasis sebagai akibat
dari penggumpalan eritrosit, dan
. Penurunan laju transport oksigen. Kedua hal tersebut
akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan.

Berbagai gejala dapat timbul karena terganggunya


oksigenasi target organ (iskemia/infark) seper-ti di otak,
penglihatan, pendengaran, jantung, paru, ekstremitas.

Penurunan kecepatan aliran (shear rafe). Penurunan


shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hemosta-

sis primer yaitu agregasi trombosit pada endotel hal


tersebut akan mengakibatkan timbulnya perdarahan,
walaupun jumlah trombosit > 450 ribu/ml. Perdarahan
terjadi pada 10-307o kasus PV manifestasinya dapat berupa
epistaksis, ekimosis, dan perdarahan gastrointestinal.

Trombositosis (hitung trombosit >400.000/mL).


Trombositosis dapat menimbulkan trombosis, pada PV tidak
ada korelasi trombositosis dengan trombosis. Trombosis
vena atau tromboflebitis dengan emboli terjadi pada 30507o kasus PV.

Basofilia (hitung basofil >65/mL). Lima puluh persen kasus

PV datang dengan gatal (pruritus) di seluruh tubuh


terutama setelah mandi airpanas, danl}Vo kasus PV datang

dengan urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh


meningkatnya kadar histamin dalam darah sebagai akibat
dari basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung
terjadi karena peningkatan kadar histamin.
Splenomegali. Splenomegali tercatat pada sekitar 707o
pasien PV. Splenomegali ini terjadi sebagai akibat sekunder
dari hiperaktif hemopoesis ekstra medular.

Hepatomegali. Hepatomegali dijumpai pada kira-kira


sejumlah 40Vo PY. Sebagaimana halnya splenomegali,

t2t6

HEMAIOLOGI

hepatomegali juga merupakan akibat sekunder dari


hiperaktif hemopoesis ekstra medular.

Laju siklus sel yang tinggi. Sebagai konsekuensi logis


dari hiperaktif hemopoesis dan splenomegali adalah

megakariosit, dan mielosit. Sedangkan dari histopatologi


sumsum tulang adanya bentuk morfologi megakariosit
yang patologis/abnormal dan sedikit fibrosis merupakan
petanda patognomonik PV.

sekuestrasi sel darah makin cepat dan banyak dengan


demikian maka produksi asam urat darah akan meningkat,
disisi lain laju filtrasi gromerular menurun karena penurunan
shear rate. Artritis Gout dijumpaipada5-107o kasus PV
Defisiensi vitamin Brr, dan asam folat. Laju siklus sel darah
yang tinggi dapat mengakibatkan defisiensi asam folat dan
vitamin B,r, hal ini dijumpai pada t 307o kasus PV karena
penggunaan/metabolisme untuk pembuatan sel darah,
sedangkan kapasitas protein tidak tersaturasi pengikat vi-

Pemeriksaan Sitogenetika
Pada pasien PV yang belum mendapat pengobatan P,., atau

kemoterapi sitostatika dapat dijumpai karyotip ((lihat


etiologi). Variasi abnormalitas sitogenetika dapat dijumpai
selain tersebut di atas terutama jika telah mendapatkan
pengobatan Pr, atau kemoterapi sitostatika sebelumnya.

tamin B,, (UB,, - Protein binding capacity) dijumpai


meningkat pada>757o kasus. Seperli diketahui defisiensi
kedua vitamin ini memegang peran dalam timbulnya kelainan

Anti

kulit dan mukosa, neuropati, atrofi N.Optikus, serla psikosis.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Rh.(D)

Kontrol Rh

Tipe Rh

Positif

Negatil

D+

Negatif

Negatif

D-(d)

Positif

Positif

Harus diulang atau

diperiksa dengan Rh,(D)


typing (Saline tube festJ

Eritrosit
Untuk menegakkan diagnosis polisitemia vera pada

saat

perjalanan penyakit ini, peninggian massa eritrosit haruslah

didemonstrasikan. Hitung sel jumlah eritrosit dijumpai >6


pada pria dan >5,5 juta/ml pada perempuan, dan
sediaan apus eritrosit biasanya normokrom, normositik

DIAGNOSIS

juta/ml

kecuali jika terdapat defisiensi besi. Poikilositosis dan


anisositosis menunjukkan adanya transisi ke arah metaplasia mieloid di akhir perjalanan penyakit.

Granulosit
Granulosit jumlahnya meningkat terjadi pada2lrkasus PV,
berkisar antara 12-25 ribu/ml tetapi dapat sampai 60 ribu/
mL. Pada dua perliga kasus ini juga terdapat basofilia.

Trombosit
Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribu/
mL, bahkan dapat >1 juta/ml. Sering didapatkan dengan
morfologi trombosit yang abnormal.

Sebagai suatu kelainan mieloproliferatif, PV dapat memberikan


kesulitan dengan gambaran klinis yang hampir sama dengan
berbagai keadaan polisitemia lainnya (polisitemia sekunder).

Karena kompleksnya penyakit ini, International Polycythemio Sturly Group ke dtamenetapkan 2 kriteria pedoman
dalam menegakkan diagnosis polisitemia vera dari 2 kategori

diagnostik, diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika


memenuhi kriteria: a). Dari kategori: A,+Ar+A.,, atau, b). Dari
kategori: A,+Ar+ 2 kategori B.

Kategori A

.
.

8.,, Serum
B ,, serum dapat meningkat hal ini dijumpai pada 357o kasus
dan dapat pula menurun hal ini dijumpai pada + 307o kasus,

Meningkatnya massa sel darah merah, hal ini diukur


dengan krom-radioaktif Cr5r . Pada pria > 36 ml/kg, dan
pada perempuan > 32

ml/kg.

Saturasi oksigen arterial > 92To.Eitrositosis yang terjadi


sekunder terhadap penyakit atau keadaan lainnya juga
disertai massa sel darah merah yang meningkat. Salah

satu pembeda yang digunakan adalah diperiksanya

saturasi oksigen arterial, di mana pada PV tidak

dan kadarUB,rBC meningkatpada>157o kasus PV.

Pemeriksaan Sumsum Tulang

didapatkan penurunan. Kesulitan ditemui apabila pasien


tersebut berada dalam keadaan:
Alkalosis respiratorik, di mana kurva disosiasi pO,

Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali


ada kecurigaan terhadap penyakit mieloproliferatif lainnya

akan bergeser ke kiri, dan

di

mana afinitas oksigen

meningkat sehingga kurva pO, juga akan bergeser

seperti adanya sel blas dalam hitungjenis leukosit. Sitologi

sumsum tulang menunjukkan peningkatan selularitas


normoblastik berupa hiperplasi trilinier dari seri eritrosit,

Hemoglobinopati,

kekiri.
Spenomegali.

t2t7

POLISITEMIAVERA

Kategori

. Trombositosis: trornbosit > 400,000/mL,


. Leukositosis: leukosit > 12.000/mL (tidak ada infeksi).
. I{eutrophil alkaline phosphatase (NAP) score
meningkat lebih dari 100 (tanpa adanya panas atau

infeksi).
Kadar vitamin B,. >900 pg/ml dan atau UB,,BC dalam
serum> 2200 pg/ml.

.
.

Spenomegali pada pemeliksaan radio isotop atau


ultrasonografi
Penurunan serum ertropoietin atau BFU-E growthyang
karakteristrk

Diagnosis polisitemi a vera:

Kategori : Al + A2 dan A3 atau A4 atau


Kategori :A1 +A2 dan 2 kriteriakatagori B.

Dalam beberapa leteratur disebutkan usulan modjfikasi

kriteria diagnostik PV sebagai berikut:

PENATALAKSANAAN

Kategori A

.
.
.
.

Peningkatan massa eritrosit lebih dari 25Vo di atas ratarata angka normal atat Packed Cell VohLme pada lakilaki >0,6 atau pada perempuan 0,56
Tidak ada penyebab polisitemia sekunder
spenomegali yang teraba
Petanda klon abnonral (kariotipe abnormal)

Kategori

.
.

B
e/

.
.
.
.

Trombositosis>400000permm3
Jumlah neutropil >10 x 10

Prinsip Pengobatan

L dan bagi perokok >12,5 x

10ell-

Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal kasLrs (individual) dan mengontrol eritropoesis
dengan flebotomi.
Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/
polisitemia yang belum terkontrol.
Menghindari pengobatan berlebihan (over treatment).
Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan
berefek sterilisasi pada pasien usia muda.
Mengontrol panmielosis dengan dosis tertentu fosfor
radioaktif atau kemoterapi sitostatika pada pasien di
atas 40 tahun bila didapatkan:

Flebotomy untuk
mempertahankan
hematokrit < 0,45

Ya

----)

Terapi mielosupresi dengan " P


(atau busulfan atau gen alkilating lain)
aspirin dosis rendah jika ada riwayat
trombosis

t dak

Adanya riwayat atau


ada trombosis atau
phlebotomy yang seringkali atau
lumlah trombosit > 400 000 atau
splenomegali yang progresif

Tanpa mielosupresi
* pertimbangkan kembali jika
ada komplikasi
*
aspirin sebagai profilaksis

Gambar 1. Manajemen terapi polisitemia vera

Terapi mielosupresi dengan hydroxiurea


(pertimbangkan interferon atau
anagrelid pada pasien muda)
dan aspirin sebagai profilaksis

1218

HEMATOLOGI

Trombositosis persisten di atas 800.000/mL,

dari dosis pertama, dan diberikan sekitar 10-12 minggu

terutama jika disertai gejala trombosis.

setelah dosis pertama.

Leukositosis progresif.
Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan
s it o p e nia problematik.
Gejala sistemik yang tidak terkontrol seperti pruri-

Dengan cara ini panmielosis dapat dikontrol pada


sekitar 807o pasien untukjangka waktu sekitar l-2 bulan
dan mungkin berakhir 2 tahun atau lebih lama lagi.
Sitopenia yang serius setelah pengobatan ini jarang
terjadi. Pasien diperiksa sekitar 2-3 bulan sekali setelah
keadaan stabil.
Trombositosis dan trombositemia yang mengancam
(hiper aggregasi) atau terbukti menimbulkan trombosis
masih dapat terjadi meskipun eritrositosis dan lekositosis
dapat terkontrol.

tus yang sukar dikendalikan, penurunan berat badan


atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.

Media Pengobatan
Flebotomi. Flebotomi dapat merupakan pengobatan
yang adekuat bagi seorang pasien polisitemia selama

bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang


dianjurkan.
Indikasi flebotomi:

.
.

Polisitemia sekunder fisiologis han1,a dilakukan jika Ht


>55% (targetHt<55Vo).
Polisitemia sekunder non fisiologis bergantung pada

Kemoterapi sitostatika. Tujuan pengobatan kemoterapi


sitostatika adalah sitoreduksi. Saat ini lebih dianjurkan
menggunakan Hidroksiures salah satu sitostatika
golongan obat anti metabolik, sedangkan penggunaan

hiperviskositas dan penurunan,shear rate, atau sebagai

golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak


dianjurkan lagi karena efek leukemogenik, dan mielosupresi
yang serius. Walaupun demikian FDA masih membenarkan
(approved) Chlorambucil dan Busulfon digunakan pada

penatalaksanaan terbatas gawat darurat sindrom

PV

paraneoplastik.

Indikasi penggunaan kemoterapi sitostatika:

derajat beratnya gejala yang ditimbulkan akibat

Pada PV tujuan prosedur flebotomi tersebut ialah


mempertahankan hematokrit < 427o pada perempuan, dan
<47Vo padapria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas
dan penurunan shear rate.lndikasi flebotomi terutama pada
semua pasien pada permulaan penyakit, dan pada pasien
yang masih dalam usia subur.

Prosedurflebotomi : a).Pada permulaan, 250-500 cc


darah dapat dikeluarkan dengan blood donor collection
,sl standard setiap 2 hari. Pada pasien dengan dengan

usia >55 tahun atau dengan penyakit vaskular


aterosklerotik yang serius, flebotomi hanya boleh

.
.

.
.
.

mencegah timbulnya bahaya iskemia serebral atau jantung


karena hipovolemik; b). Sekitar 200 mg besi djkeluarkan

pada tiap 500 cc darah (normal total body iron + 5 E).

Defisiensi besi merupakan efek samping pengobatan

(\r).

Pengobatan dengan fosfor

radioaktif

urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan


antihistamin,
splenomegali simptomatik/mengancam rupturalimpa.

Hidroksiurea ('Hydrea 500mg/tablet) dengan dosis

dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk

.
.

pemeliharaan.

Chlorambucil (@Leukeran 5mg/tablet) dengan dosis


induksi 0,1-0,2 mg/kgBB/hari selama 3-6 minggu, dan
dosis pemeliharuan0,4 mg/kgBB tiap2-4 minggu.
Busulfan (@Myleran 2mgltablet) 0,06 mglkgBB/trari atau

1,8 mg/m'?/hari, jika telah tercapai target dapat


dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk
pemeliharaan.

pemberian preparat besi.

ini sangat efektif, mudah, dan relatif murah untuk pasien

sebulan.
trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis,

800-1200 mg/mrftiari atau diberikan sehari 2 kali dengan


dosis I 0- I 5 mg/kgBB/kali, jika telah tercapai target dapat

flebotomi berulang. Gejala defisiensi besi seperti glositis,


keilosis, drsfagia, dan astenia dapat cepat hilang dengan
Fosfor radioaktif

flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan >2 kali

Cara pemberian kemoterapi sitostatika:

dilakukan dengan prinsip isovolemik yaitu mengganti


plasma darah yang dikeluarkan dengan cairan pengganti
plasma (coloid/pLasma expander') setiap kali, untuk

hanya untuk Polisitemia rubra primer (PV),

Pasien dengan pangobatan cara ini harus diperiksa lebih


sering (sekitar dua sampai tiga minggu sekali). Kebanyakan

yang tidak kooperatif atau dengan keadaan sosio-ekonomi


yang tidak nrerrungkinkan untuk berobat secara teratur.
P.,. perlama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3 mCi/m2
secara intravena, apabila diberikan per oral maka dosis

klinisi rnenghentikan pemberian obat jika hematokrit:

dinaikkan 2-57o. Selanjutnya apabila setelah 3-4 minggu

Kemoterapi biologi (sitokin). Tujuan pengobatan dengan

pemberian P,, pertama: 1). Mendapatkan hasil,

produk biologi pada PV terutama adalah untuk mengontrol


trombositemia (hitung trombosi t >800.000/mm r,), produk
biologi yang digunakan adalah Interferon a. Intetferon a
(alntron-A 3 & 5 juta Iu, eRoveron-A 3 & 9 juta Iu) digunakan

re-evaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat

diulang akan tetapi hal ini jarang dibutuhkan. 2). Tidak


mendapatkan hasil sel anj utnya dosi

kedua di nai kk an 25o/o

.
.

lagi jika>527o,
Pada perempuan <427o dan memberikannya lagi jika
Pada pria 5417o danmemberikannya

A9Vo.

t2t9

POLISITEMIAVERA

terutama pada keadaan trombositemia yang tidak dapat di


kontrol, dosis yang dianjurkan 2 j:utal:ulm2/s.c. atau i.m. 3
kali seminggu.
Kebanyakan klinisi mengkombinasikannya dengan
sitostatika Slklofosfamid (@Cytoxan 25mg & 50mg/tablet)
dengan dosis lO0mg/m'zlhari, selama l0-14 hari atau sampai
target telah tercapai (hitung trombosit < 800.000/mm3.1
kemudian dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
1 0Omg/m'z | -2 kali seminggu.

Pencegahan Tromboemboli Peri Operatif


Pencegahan tromboemboli perioperatif dapat dilakukan
dengan:
. Penggunaan alat-alat bantu mekanik seperti kaos kaki

Pengobatan Suportif

.
.
.
.

Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-600 mg/


hari oral pada pasien dengan penyakit yang aktif dengan
memperhatikan fungsi ginj al.
Pruritus dan urtikaria dapat diberikan antihistamin, jika
diperlukan dapat diberikan Psoralen dengan penyinaran
Ultraviolet ran g e A (PUY A)
Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat
reseptor Hr.

Antiaggregasi trombosit Analgrelide turunan dari


Quinazolin disebutkan juga dapat menekan
trombopoesis.

PEMBEDAHAN PADA PASIEN PV

elastik (elastic stocking) alat pulsatting boots.


Heparin dosis rendahjika tidak ada indikasi kontra dapat
diberikan. Untuk dewasa, heparin i.v drip dengan dosis
I 0-20 Iu/kgBB/j am dengan target APTT 40 " -60 " sampai
pasien dapat berjalan atau ambulatorik. Kemudian 501 00 Iu/kgBB/subkutan dapat diberikan setiap 8-12jam
sampai pasien kembali ke aktivitas normal.

PROGNOSIS
Polisitemia adalah penyakit kronis dan keseriusan penyakit

Polisitemia vera ditegaskan bahwa faktanya survival


median pasien sesudah terdiagnosa tanpa diobati 1,5-3
tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari 10 tahun.
Penyebab utama morbiditi dan mortaliti adalah:
Trombosis dilaporkan pada15-607o pasien, tergantung

pada pengendalian penyakit tersebut dan 10-407o

penyebab utama kematian.

Komplikasi perdarahan timbul 15-357o pada pasien

atau garam fisiologis, suatu prosedur yang dapat


digolongkan sebagai tindakan penyelamatan hidup

polisitemia vera dan 6-307o menyebabkan kematian


Terdapat 3-10% pasien polisitemia vera berkembang
menjadi mielofibrosis dan pansitopenia
Polisitemia vera dapat berkembang menjadi leukemia
akut dan sindrom mielodisplasia pada ),,5Vo pasien
dengan pengobatan hanya phlebotomy. Peningkatan
risiko transformasi 13,57o dalam 5 tahun dengan
pengobatan klorambusil dan 7O,2Vo dalam 6-10 tahun
pada pasien dengan pengobatan 32P. Terdapat jrga 5,9Vo
dalam l5 tahun risiko terjadinya transformasi pada

(life-saving).

pasien dengan pengobatan hydroxyurea.

.
Pembeiahan Darurat
Pembedahan segera sedapat-dapatnya ditunda atau
dihindarkan. Dalam keadaan darurat dapat dilakukan
flebotomi agresif dengan prinsip isovolemik dengan
mengganti plasma yang terbuang dengan plasmafusin 47o
atau cairan plasma ekspander lainnya bukan cairan isotonis

Tindakan splenektomi sangat berbahaya untuk


dilakukan pada semua fase polisitemia, dan harus di
hindarkan karena dalam perjalanan penyakitnyajika terjadi
fibrosis sumsum tulang organ inilah yang masih diharapkan
sebagai pengganti hemopoesrsnya.

Pembedahan Berencana
Pembedahan berencana dapat dilakukan setelah pasien
terkontrol dengan baik. Lebih dari 7570 pasiendengan PV

tidak terkontrol atau belum diobati akan mengalami


perdarahan atau komplikasi trombosis pada pembedahan,
kira-kira sepertiga dari jumiah pasien tersebut akan
meninggal.
Angka komplikasi akan menurun jauh jika eritrositosis
sudah di kontrol dengan adekuat sebelum pembedahan.
Makin lama telah terkontrol, makin kecil kemungkinan
terjadinya komplikasi pada pembedahan. Darah yang di

dapat dari flebotomi dapat disimpan untuk transfusi


autologus pada saat pembedahan.

BEFEBENSI
Means

RT Erytrhocytosis. In: Greer

GM, Foeerster

JF,

edition. Vo]ume
1495 505.

2.

JP, Rodgers

Paraskevas F, Lukens JN, et al, editors.

lith

Wintrobe's clinical hematology; 2004. p.


Mossuz P, Girodon F, Donnard M. Diagnostic value of serum
erythropoietin level in patients with absolute erythrocytosis.
Haematologica. 2004;.1

19

4-8.

Person TC, Messinezy M, Westwood N, Green AR, Bench AJ, et al.

A polycythemia vera update: diagnosis, pathology,

and

treatment American Sociaety of Hematology. 2000;51-65.

Radin AI. Polycythemia rubra vera. Current therapy in


hematology-oncology. 5* edition. 1995. p. 236-42.
Spivak JL. Polycythemia vera. Harrison's principles of internal
medicine. 16'h edition. 1997. p. 619-81.
Stuart BJ, Viera AJ. Polycythemia vera. American family physician

2004.

White P. Myeloproliferative and myelodysplastic syndromes:


polycythemia vera. Handbook of cancer chemotherapy. 3'h
edition. In: Skeel RT. editor. Boston: Little. Brown & Co: 1991.

1?4-5

194
TROMBOSITOSIS ESENSIAL
Irza Wahid

PENDAHULUAN
Di Amerika Serikat istilah trombositosis esensial disebut
primary (essential) thrombocythemia, sedangkan di Eropa
disebut thrombocythemia vera. Trombositosis esensial

merupakan anggota dari kelompok gangguan


mieloproliferatif. Schafer AI menggabungkan
trombositosis esensial dengan gangguan mieloproliferatif
lainnya dengan istilah trombositosis klonal. Dalam hal ini
yang digolongkan sebagai trombositosis klonal adalah

trombositosis esensial, polisitemia primer dan


mielofibrosis. Penyakit mieloproliferatif lainnya adalah
leukemia granulositik kronik (BCR/ABL positif), leukemia
eosinofilik kronik, leukemia netrohlik kronik serta penyakit
mieloproliferatif yang tidak tergolongkan.
Trombositosis esensial diperkirakan terdapat pada 400
orang dari 1.000.000 populasi. Hampir semua pasien

trombositosis esensial berusia lebih dari 50 tahun,

trombopoetin bebas di plasma dengan megakariosit. Hal


inilah yang merangsang aktifnya megakariositopoetik
memproduksi trombosit (Gambar 1A).
Pada trombositosis reaktif, penyakit dasarnya akan
merangsang peningkatan sintesis trombopoetin dengan
mediator berbagai sitokin diantaranya interleukin-6 yang
selanjutnya akan meningkatkan aktivitas megakariositopoetik memproduksi trombosit (Gambar 1B).

Pada trombositosis klonal, terdapat gangguan


pengikatan trombopoetin terhadap trombosit dan
megakariosit abnormal, sehingga terdapat peningkatan
kadar trombopoetin bebas di plasma. Walaupun reseptor
trombopoetin (c-Mpl) berkurang, tetapi megakariosit
menjadi hipersensitif terhadap aksi trombopoetin, yang
akhimya menyebabkan peningkatan megakariositopoetik
dan produksi trombosit (Gambar 1 C).
Mutasi somatik tunggal protein tirosin kinase JAK2
terlihat bertanggung jawab terhadap berbagai gambaran

walaupun demikian pernah dilaporkan kasus pada anak


berusia 2 tahun. Kurang dari l0 Vo pasien berusia kurang
dari 10 tahun. Prevalensi trombositosis esensial lebih tinggi

trombositosis klonal termasuk trombositosis esensial. Data

pada perempuan dibandingkan pria. Cortelazzo S dkk pada

Beberapa peristiwa patofisiologi yang terlihat pada


pasien dengan trombositosis esensial, yaitu: 1). Adanya

penelitiannya terhadap I 00 orang pasien dengan


trombositosis esensial memperlihatkan rerata usia pasien
adalah 50 tahun (interval 17-82 tahun) dengan
perbandingan pria dan perempuan 39 7o:61 7o.

terakhir memperlihatkan bahwa JAK2

ini berperan

terhadap berkurangnya c-MPL.

bukti perubahan endovaskular pada pasien dengan


eritromelalgia. Perubahan ini meliputi pembengkakan
vaskular dengan penyempitan lumen yang disebabkan
proliferasi otot polos dengan vakuolisasi, pembengkakan

PATOFISIOLOGI

sitoplasma, deposisi material interselular dan fragmentasi


lamina elastika intema, 2). Perubahan arsitektur dan fungsi
trombosit yang meliputi heterogenitas ukuran, perubahan

Trombopoetin merupakan hormon kunci dalam pengaturan

ultrastruktur, peningkatan jumlah protein spesifik

diferensiasi dan proliferasi megakariosit. Walaupun


demikian beberapa sitokin seperti interleukin-6 dan

trombosit, peningkatan tromboksan dan ekspresi epitop


pada permukaan trombosit, 3). Perubahan genetika
berperan penting dalam regulasi ekspresi trombopoetin,
4). Terdapat hubungan terbalik antara peningkatan jumlah
trombosit dengan faktor von Willebrand multimers.

interleukin- 1 I juga berperan dalam proses ini.


Dalam keadaan normal, pengaturan produksi trombosit
dari megakariosit di sumsum tulang melibatkan pengikatan

t220

r22t

TR {-rrytg6 31'16515 ESENSLAL

4). Peningkatan jumlah trombosit yang menyebabkan


produksi berlebihan prostasiklin (PGI.) 1,ang akan menekan
penglepasan granul trombosit dan agregasi.

GAMBARAN KLINIS
Sepertiga pasien trombositosis esensial mempunyai
gambaran klinis yang silent. Lima puluh persen pasien
trombositosis esensial, minimal mengalami sekali episode

trombosis dalam waktu 9 tahun setelah diagnosis


ditegakkan.
Lesi oklusi vaskular merupakan gambaran klinis utama

pada trombositosis esensial yang gejalanya bervariasi


mulai darl episode iskemia transient pada retina, susunan
sarafpusat, sampai dengan adanya gambaran klinik yang
lengkap. sekunder dari penurunan aliran darah dengan
manifestasi angir-ra pektoris, infark ntiokard akut, strok dan
trombosis vena dalam.
Aspek klinis khusus lesi trombotik pada trombositosis

:"r

esensial adalah eritrornelal gia dan trombosis mikrosirkulasi.


Eritromelalgia hampir dapat disebut sebagai penemuan
patognomonis pada pasien dengan trombositosis esensial.
Keluhan ini biasanya dimr-rlai dengan acroparestheslj atau

sensasi gatal pada kaki yiing bisanya dikuti dengan rasa


nyeri/terbakar sertii kemerahan dan bendungan yan-q
kadang dapat dicetuskan oleh exerci,selpanas.
Trombosis mikrosirkulasi berupa lesi pada arteri dan

Gambar 1. Begulasi normal/abnormal produksi trombosit

Trombosis merupakan manifestasi klinis mayor


trombositosis esensial. Patogenesis terjadinya tt'ombosis
pada trombositosis esensial bersifat multifaktorial.
Mekanisme trombositosis esensial dalam menimbulkan

arteriol menghasilkar gejala berupa episode iskernia yang


tronsiettt dengan tranif'estasi berupa gangguan visus.
clturdicatio intennittent dan infark pada jari. Karena oklusi
hanya terjadi pada mikrovaskular maka denyut nadi sering
masih teraba pada pada palpasi.
Adanya gangren pada jari kaki dengan pulsasi urteri
perifer yang masih baik pada pasien dengan peningkatan
jumlah trombosit merupakan petanda kuat trombositosis
esen

sial.

trombosis masih dieksplorasi secara luas. Karena

Walaupun istilah thrombohemorrhagica umum

trombosis tidak biasa terjadi pada trombositosis reaktif,


maka diduga jumlah trombosit saja tidak mempakan dasar
untuk terjadinya trombosis.
Perubahan arsitektur megakariosit/trombosit dengan
trombosit yang abnormal/membesar ditemukan pada
pasien trombositosis esensial, tetapi beberapa studi gagal
membuktikan hubungan ini dalam menimbulkan trombosis.

digunakan untuk gambaran klinis tlombositosis esensial,


perdarahan lebih jarang muncul dibandingkan dengan
trombosis. Perdarahan yang muncul biasanya ringan
berupa ekimosis superfisial terutama pada ekstremitas,

Interaksi endotel dan trombosit serta peningkatan


platelet J'actor (pf 4)lbeta tromboglobulin menyokong
aktivasi trombosit yang berlebihan pada trombositosis
esensial, merupakan mekanisme penting untuk terjadinya

trombosis.
Walaupun lebih jarang manifestasi hemoragis juga
dapat muncul pada trombositosis esensial. Hemoragis
dapat terjadi melalui beberapa mekanisme: l). Abnormalitas

fungsi trombosit; 2). Trombosis dengan infark yang


mengalami ulserasi; 3). Konsumsi laktor koagulasi;

tetapi dapat juga berupa perdarahan spontan epistaksis,


ginggiva ataupun perdarahan ilngan pada gastrointestinal/genitouri narius.

Splenomegali didapatkan pada l)Vo pasien


trombositosis esensial, sedangkan hipertensi didapatkan
sebanyak 30olo. Trombosis vaskular plasenta dengan infark
berkaitan tingginya insiden abortus pada perempuan
dengan trombositosis esensial. Abortus spontan/berulang
dan letardasi pertumbuhan janin terjadi pada 507c pasien
perempuan dengan trombositosis esensial.
Cortelazzo S dkk pada penelitiannya terhadap 100

orang pasien dengan trombositosis

esensial

memperlihatkan l67c pasien tanpa komplikasi trombosis

t222

HEMIffOIOGI

ataupun hemoragis, 20Vo dengan manifestasi trombosis,


dan hanya 47o dengan manifestasi hemoragis.

Carnpbell PJ dan Green AR mengusulkan kriteria

Walaupun jarang, dalam perjalanan penyakitnya


trombositosis esensial dapat mengalami transformasi

diagnosis untuk trombositosis esensial sebagai berikut:


A1. Hitung trombosit >600 x I 0e/1 minimal dalam waktu 2
bulan

menjadi mielofibrosis dan leukemia mieloblastik akut.

42. Mutasi JAK2

Bl. Tidak
DIAGNOSIS
Peningkatan jumlah trombosit yang menetap merupakan

gambaran diagnosis utama trombositosis esensial.


Walaupun demikian penyebab lain peningkatan jumlah
trombosit harus disingkirkan. Trombositosis yang disertai
dengan splenomegali lebih mengarahkan diagnosis kepada

trombositosis esensial dibandingkan dengan trombosis


reaktif.

Kriteria diagnosis:
. Hitung trombosit >450.000 ul (dikonfirmasi lebih dari

.
.
.
.
.

84. Tidak didapatkan bukti leukemia mielositik kronik


85. Tidak didapatkan bukti mielofibrosis
86. Tidak didapatkan bukti sindrom mielodisplasia

Diagnosis trombositosis esensial dapat ditegakkan


apabilaA-/ + A2 + B3 - 86 (V617F- trombositosis esensial
positif) atau Al + Bl - 86 (V6l7F-trontbositr.tsis esettsictl
negatif )
Keadaan klinis yang berkaitan dengan trombositosis
realrtif:

kali)

Tidak ditemukan penyebab lain peningkatan hitung


trombosit
Tidak ditemukan sindrorr mielodisplasia atau gangguan
mieloprol iferatif lainnya.
Sumsum tulang dengan:

Akut dan transient

.
..

hiperylasiamegakariositik
fibrosis <1/3 bagian

Kriteria tambahan:

.
.

didapatkan penyebab trombositosis reaktif

82. Tidak didapatkan bukti defisiensi besi


83. Tidak didapatkan bukti polesitemia vera

Splenomegali

Menetap (menirjam): epinefiin. berkuat


Menetap (am-beberapa hari):
- Kehilangan darah akut
- Penyembuhan infeksi akut
- Pasca (rebount[1 trombositopenia
- Pasca imunisasi
- Pasca kemoterapi cytoreductive
- Pasca anemia megaloblastik

Invitro'. pembentukan koloni megakariositik spontan

Pasca trombositopenia alkoholrk

Kronik

.
.

Menetap dalam waktu yang lama: kehilangan darah


kronik dengan defisiensi besi, penyakit inf'lamasi klonik.
penyakit inf'eksi kronik, kanker, anemia hemolitik
Menetap dan potensial untuk berlangsung seumlir
hidup
Pasca splenektomi

---ts

DIAGNOSIS BANDING

Pada keadaan ditemukannya peningkatan jumlah


trombosit (>450.000/mm3) terlebih dahulu harus
disingkirkan bahwa hal ini bukanlah disebabkan oleh

Gambar 2. Gambaran Histologi Trombositosis Esensial A


Gambaran darah tepi yang menunjukkan peningkatan jumlah
trombosit termasuk adanya trombosit raksasa B Gambaran sumsum tulang yang menunjukkan peningkatan jumlah megakariosit

suatu keadaan trombositosis reaktif. Pada trombositosis


reaktif sering ditemukan adanya penyakit dasar dan tidak
ditemukan adanya keadaan trombosis/hemoragis serta
splenomegali. Di samping itu fungsi trombosit, gambaran
darah tepi dan gambaran sumsum tulang dalam batas
normal. Selanjutnya harus dibedakan antara
trombositosis esensial dengan gangguan

mieloproliferatif lainnya yakni polisitemia pri mer,


mielofibrosis idiopatik, Ieukemia granulositik kronik.
leukemia easinofilik kronik dan leukemia netrofilik kronik.

t223

TROMBOSITOSIS ESENSI,AL

terbukti dapat dijadikan sebagai terapi alternatif pada


trombositosis esensial. Dosis dimulai dengan 2 mglhai
Trombosis
Klonal
Penyakit dasar
lskemia
Digital/serebrovaskular
Trombosis arteri /vena
besar
Hemoragis
Splenomegali
Gambaran darah tepi
Fungsi trombosit
Gambaran sum-sum
tulang
Jumlah
Morfologi

Sering
Tidak ada

Risiko tjnggi

Tidak ada

Risiko Tinggi

Tidak ada
Tidak ada
Trombosit normal

Ya, sekitar 40 %

Trombosit raksasa
Mungkin abnormal

Trombositosis

Esensial

Leukosit
(x1 o'g/l)

Trombosit
(x1 os/l)

600

2500

Eritrosit berinti

Jarang

Alkali
fosfatase
leukosit

Normal

Sum-sum
tulang

Fibroblast
Splenomegali
(%)

t1t

t)
40o/o

Meningkat
Normal

111

,,

-25

12
450

Bervariasi
450

800

000

Umum

Hiperselular
Cadangan Fe t

Normal - 11

Fibrosis, dry tap

ftf

-11

c)-t

80%

80%- 99%

5%- 200k

50o/o

10

blastik (%)
Tes fungsi
platelet
abnormal

t1-

15o/o

Masa eritrosit 1

Eritropoetin

meminimalkan efek trombohemoragis selama terapi.


Pemakaian interferon alfa dibatasi oleh beratnya efek
samping yang ditimbulkannya. 20Vo pasien tidak dapat

mentoleransi efek samping ini. Pada perempuan


trombositosis esensial denagn risiko tinggi yang

Mielofibrosis
ldiopatik

Biasanya

Hiperselular
Megakariosit

.
.

inotropik positifnya. Efek samping meliputi retensi cairan,


palpitasi dan aritmia. Storen EC dan Tefferi Amelaporkan
pemakaian jangka panjang anagrelid berkaitan dengan
penurunan efek samping yang timbul pada awal terapi.

Normalisasi jumlah trombosit dibutuhkan untuk

Vera

Jarang

Transformasi

Pemeriksaan
khusus

Polisitemia

Normal / J
Bervariasi

mentoleransi anagrelid karena efek vasodilator dan

Normal

Meningkat
Giant, dysplastic
forms with
increased ploydy
associated with
/arges masses of
platelet debris

(terbagi dalam2-4 dosis) dan dapat ditingkatkan 0,5 mg/


hari setiap 7 hari sampai tercapai target jumlah trombosit
dengan dosis maksimal 10 mg/hari. 30% pasien tidak dapat

Tidak ada
Karakteristik

.
.

Hemoglobin

Trombosis
Reaktif

Marrow imaging

PENATALAKSANAAN
Hidroksiurea merupakan terapi pilihan pertama pada
trombositosis esensial dengan risiko tinggi. Hal ini
disebabkan oleh efektifitas serta jarangnya timbul efek
samping. Hidroksiurea tidak hanya efektif dalam

berkeinginan/sedang hamil maka interferon alfa menjadi


pilihan pertama. Hal ini disebabkan oleh efek teratogenik
hidroksiurea dan diketahuinya anagrelid dapat melewati
plasenta sehingga keamanannya menjadi tidak terjamin.
Trombosit dapat dikurangi hingga <600000 /mm3 pada907o
pasien dengan dosis rerata 3000.000 iu setiap hari.

Dalam pemilihan terapi cytoreductive, Spivak dkk


merekomendasikan anagrelide dan interferon alfa pada
pasien muda dan hidroksiurea pada pasien yang lebih tua.
Aspirin sangat efektif sebagai terapi adjungflve, pasien
trombositosis asensial dengan trombosis rekuren. Belum
banyak ditemukan kepustakaan yang membahas
antitrombosit lainnya seperti tiklopidin dan klopidogrel.
Campbell PJ dan Green AR merekomendasikan
penatalaksanaan pasien dengan trombositosis esesnsial
sebagai berikut:

l).

Semua pasien. Pengelolaan terhadap

faktor risiko kardiovaskular lainnya seperti merokok,


hipertensi, hiperkolesterolemia dan obesitas; 2). Pasien

dengan risiko tinggi yakni pasien dengan riwayat


trombosis atau berusia >60 tahun atau hitung trombosit
>1500 X 10efl. Aspirin dosis rendah ditambah hydroxyurea
(anagrelide atau interferon alfa sebagai pilihan kedua);
3). Pasien dengan risiko menengah yakni pasien dengan
usia 40-60 tahun dan tidak didapatkan gambaran risiko
tinggi. Aspirin dosis rendah dan pertimbangkan terapi
cytore ductiv ejika didapatkan faktor risiko kardiovaskular;
4). Pasien dengan risiko rendah yakni pasien dengan usia
< 40 tahun dan tidak didapatkan gambaran risiko tinggi.
Aspirin dosis rendah.

mengurangi jumlah trombosit tetapi juga dalam mengurangi

risiko timbulnya trombosis. Dosis yang digunakan adalah


15 mg/kgbb. Efek samping yang dapat timbul adalah
anemia, netropenia, lebih jarang lagi dapat timbul ulkus
pada kaki/mulut dan lesi pada kulit. Efek leukemogeniknya
masih dalam perdebatan.
Anagrelid suatu derivat quinazolin dapat menghambat
proliferasi dan diferensiasi megakariosit. Anagrelid telah

REFERENSI
Anagrelide Study Group. Anagrelide, a theraphy for thrombocythemic
states: experience in 517 Patients. Am J Med. 1992;92:69-76.

Barbui T, F\nazzy G. When and how to treat essential thrombocythemia. N Engl J Med. 2005;353:85-6.
Campbell PJ, Green AR. Management of polycythemia vera and
essential thrombocythemia. Hematology. 2005:201-9.

1224

HEMAIOLOGI

Caldwell BS. Chronic myeloproliferative disorders, Harmening DM

Clinical hematology and fundamentals of hemostasis. 4'h


edition In: Fratantoro C, Waltner P, Brandt J, editors
Philadelphia: F.A Davis Company; 2002. p.331-5'7.
Cortelazzo S, Finazzi G, Ruggeri M, et al Hydroxyurea for patients
with essential thrombocythemia and high risk of thrombosis. N

Engl J Med. 1995;332:1132-6.

Frenkel EP, Mammen EF. Sticky platelet syndromeand


thrombocythemia. Hematol Oncol Clin N Am 2003;17:63 Harrison CN. Platelets and thrombosis in myeloproliverative
diseases. Hematology. 2005 :409-15.
Kausansky KO. The molecular origins of the chronic myeloprolif90.

Spivak JL, Barosi G, Tognoni G et al. Chronic myeloproliferative


disorders. Hematology. 2005:200-24.
Storen EC, Teffery A. Long-term use of anagrelide in young
patients with essential thrombocythemia Blood. 2001;9'7:8636.

A. Effects of anagrelide on in vivo megakaryocyte


proliferation and maturation in essential thrombocythemia.
Blood. 2002;99 : 1602-9.

Tomer

83

erative disorders:

Messinezy M, Pearson TC. ABC of clinical haematology:


polycythemia, primary (essential) thrombocythemia and
myelofibrosis. BMJ. 1997;314:587.
Schafer AI. Thrombocytosis. N Engl J Med. 2004;350:72II- 9.

it all

makes sense. Blood. 2005;105:4187-

195
MIELOFIBROSIS
SuradiMaryono

PENDAHULUAN

Mielofibrosis merupakan suatu kelainan yang


dihubungkan dengan adanya timbunan substansi kolagen

berlebihan dalam sumsum tulang. Kelainan

ini

secara

definitif merupakan kelainan sel stem hematopoiesis klonal,

dihubungkandengan chronic myeloproliferative


disorders (CMPD), dimana adanya hematopoeisis
ekstramedular merupakan gambaran menyolok.
Penyakit ini termasukjarang didapatkan dalam praktek
sehari-hari, pertama kali dilaporkan oleh Heuck G., pada
tahun I 879 (Sit. Clark dan William 2005), dengan nama lebih

30 macam, termasuk: Mielofibrosis primer, osteomielofibrosis, metaplasia mieloid agnogenik, mielofibrosis


idiopatik dan lebih sering disebut sebagai Mielofibrosis
dengan Metaplasia Mieloid (MMM). MMM perlu
dibedakan dengan beberapa jenis lainnya, dimana
mielofibrosis disini merupakan fenomena sekunder. (
Thbel 1)
Terdapat kelainan bersifat familial yang j arang terdapat,

misalnya primer hyperthrophic osteoarthropathy,


mielofibrosis yang terjadi primer akibat gangguan
perlumbuhan fibroblas sumsum tulang.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

MMM belum diketahui dengan jelas. Tidak


diketemukan adanya faktor pencetus, secara
epidemiologi ada beberapa substansi diperkirakan

Kondisi Neoplastik.
Gangguan mieloproliferatif kronik
Metaplasia mieloid agnogenik
Polisitemia rubra vera
Leukemi mieloid kronik

Kondisi neoplastik lainnya.


Leukemia megakarioblastik akut (M7)
Fibrosis dengan mielodisplasia
Agnogenik transisional
Mielodisplatik metaplasia mieloid
Sindrom mieloproliferatif
Mieoloid akut lain
Leukemia
Leukemia limfoid akut
Leukemia Hairy cell
Mieloma
Karsinoma
Mastositosis sistemik

Kondisi Non Neoplastik.


Penyakit granulomatosa
Penyakit paget
Hipoparatiroidisme
Hiperparatiroidisme
Osteoporosis
Osteodistrofi ginjal
Defisiensi Vitamin D
Gray pletelet syndrome
Lupus eritematosus sistemik
Sklerosis sistemik
Diadaptasi dari Clark dan William (Wintrobe's clinical
hematology, 2005)

Penyebab

sebagai penyebab, misalnya: Toluen, benzen, radiasi


ionisasi. Insidensi tertinggi MMM pada pasien akibat
pemberian material kontras radiografi dengan bahan
dasar torium yaitu, Torotras. Korban akibat bom atom
Hiroshima juga mempunyai risiko MMM 18 kali lebih
besar daripada populasi lainnya, simtom pertama muncul

6 tahun setelah eksposur.

MMM

Tefferi (2003) menemukan insidens

di Amerika utara 0,3-1,5 kasus per 100.000 populasi.

HEMATOPOIESIS KLONAL

MMM
dengan CML (chronic myeloid leukemia), PY

Pada tahun 1951, Dameshak mengelompokkan

1226

HEMATOLOGI

i cy t he mi a v e r a ) dan ET ( E s s ential thr omb o cy the mi a


)
seperti halnya CMPD, karena klinis dan morfologi hampir
sama. Semua memperlihatkan adanya: hiperplasia sumsum

FIBBOSIS SUMSUM TULANG DAN HEMATO.

tulang, hematopoiesis yang tidak tergantung rangsangan


fisiologis, suatu fase adanya kenaikan konsentrasi sel
darah dalam sirkulasi, tendensi fibrosis sumsum tulang
dan suatu tendensi terhadap terminasi leukemia akut.

Mielofibrosis pada MMM merupakan reaksi sekunder


terhadap hemopatia klonal. Sel fibroblas mensekresi

poliklonal. Mereka distimulasi oleh sitokin yang

Semua gambaran CMPD yang muncul, adalah suatu mutasi


somatik sel stem hematopiesis pluripoten.
Beberapa observasi memperj elas adany a hem atopoi e-

dibebaskan dari megakariosit neoplastik dan dari klonal


sel hemopoietik yang dikembangkan lainnya. Perusakan
dan sintesis kolagen terjadi sehingga adanyakonsentrasi

sis klonal neoplastik pada MMM. Separuh pasien yang


terdiagnosis, memperlihatkan abnormalitas sitogenetik
klonal. Petanda lain klonalitas yang diobservasi adalah:
neutrofil sirkulasi, eritrosit, platelet, limfosit dan beberapa
prekusornya dalam sumsum tulang, meliputi distribusi
isoenzim glukose-6-fosfat dehidrogenase, pola inaktivasi
kromosom x pada perempuan, defek sel membran dan

prokolagen (hasil pemecahan kolagen) merupakan

(P o I

mutasi gen N-ras. Konsentrasi sel progenitor dalam sirkulasi


pada MMM, 10-20 kali normal dan CD34+ sel progenitor
dalam sirkulasi meningkat400 kali di atas level normal. Sel
progenitor dari MMM hipersensitif terhadap sitokin dan
dapat terjadi proliferasi secara in vitro tanpa rangsangan

sitokin. Sifat-sifat di atas konsisten dengan semua


gambaran pada CMPD. Progenitor megakariosit pada
pasien

MMM mungkin juga mengalami deferensiasi yang

tidak tergantung trombopoietin (TPO), sebagai rangsangan

POIESIS EKSTRAMEDULABE

kolagen yang akan diakumulasi, sel ini normal dan bersifat

petanda sintesis kolagen baru yang dihubungkan dengan

aktivitas penyakit tersebut. Kolagen ditimbun dalam


ruang ekstraselular dan elemen vaskular dalam sumsum

tulang. Empat dari lima tipe kolagen terdapat disini.


Kolagen tipe 1 dan 3 merupakan komponen fibrosis utama
pada MMM, dan timbunan kolagen meningkat setara

dengan lamanya penyakit. Pada tahap awal MMM


persentase kolagen tertinggi adalah tipe 3, sedangkan

pada tahap akhir kolagen tipe 1 (kolagen polimerik)


tertinggi. Pada MMM sebagian kecil terdapat molekul
matrik yang lebih banyak mengandung heksosamin
daripada normal. Vaskularisasi juga meningkat, luasnya

neovaskularisasi

ini

berhubungan dengan luasnya

penyakit dan mungkin hal ini penting terhadap timbulnya


fibrosis. Transforming growth factor (TGF)-p sebagai
mediator utama terhadap akumulasi kolagen pada MMM.
Sitokin ini disintesa oleh megakariosit dan sel endotel

fisiologis.

Adanya mutagen diperkirakan sebagai faktor pencetus

seperti halnya pada sistem monosit-makrofag. TGF-p


lebih poten dalam mensekresi kolagen daripada grortth
factor derivat platelet atal epidernml growth factor dan
mungkin meregulasi kedua sitokin tersebut. TGF-p juga

yang menghasilkan hemopatia klonal pada MMM.

stimulus yang poten terhadap angiogenesis.

Abnormalitas sitogenetik temyata tidak konsisten seperti

Peningkatan angiogenesis ini sesuai penelitian


Lundberg et al (2000), dengan membandingkan
penyakit mieloproliferatif (PY CML dan mielofibrosis/
MF) dengan pemeriksaan biopsi sumsum tulang normal, disini terjadi peningkatan vaskularisasi secara

PERUBAHAN TINGKAT MOLEKULAR

halnya perubahan gene bcr/abl pada CML, yang

dihadirkan sebagai kandidat gen penting pada


patogenesisnya. Perubahan tingkat molekular terjadinya

MMM belum jelas, sampai sekarang masih dalam


penelitian.
Perbedaan ekspresi panel gen kandidat telah diteliti
antara sel progenitor cytokine-independent dari pasien

MMM dengan progenitor

cytokine-dependent

(diperkirakan normal). Immunophilin FKBP5 1 berekspresi


berlebihan pada semua pasien yang diteliti dan fungsi ini
terutama pada cytokine- independence. Faktor transkripsi
GATA-1 aktif pada diferensiasi megakariosit normal. Pada

penelitian tikus terdapat kegagalan ekspresi GATA-l


menghasilkan sindrom yang menyerupai MMM. Sehingga
peru-bahan langsung pada GATA-1 penting untuk
terjadinya MMM. Beberapa gen yang berhubungan
dengan pertumbuhan lain telah diteliti, misalnya: Gen
retino-blastoma yang mungkin mengalami delesi atau
perubahan ekspresi dan gen kalsitonin yang mengalami
metilasi. Perkembangan MMM mungkin berhubungan
dengan abnormalitas gen p53 atau gen ras.

bermakna pada CML dan MF, sedikit peningkatan pada

PV dibandingkan dengan normal (Gambar 1c).


Peningkatan vaskularisasi ini akibat adanya neoangiogenesis karena rangsangan faktor angiogenetik yang
dipicu adanya sel ganas. Faktor angiogenetik tersebut

adalah: basic Fibroblast growth factor (bFGF) dar,


vascuLar endothial cell growth factor (VEGF), yang
akan memicu sel endotel untuk migrasi, proliferasi dan
membentuk jaringan pembuluh darah pada tempat

tersebut.
Kenaikan kadar TGF-B dapat dideteksi dengan naiknya

sirkulasi platelet dan megakariosit yang merupakan


fragmen MMM. Beberapa

rowth.facto r lain diperkirakan

juga merangsang fibroblas pada MMM, antara lain:


Platelet derived growth factor yang terdapat pada
megakariosit MMM, epidermal growth factor, endothelial cell growth factor, interleukin-1 , basic fibroblast

t227

MIELOFIBROSIS

growth factor dan kalmodulin. Beberapa mekanisme


bebasnya kenaikan kadar sitokin ke dalam lingkungan
sumsum tulang antara lain: Sekresi sederhana dari granulao,megakariosit, megakariosit displastik yang rusak dalam
sumsum tulang dan rusaknya megakariosit sitoplasma oleh

leukositPMN.
Tikus percobaan yang diberi TPO konsentrasi tinggi,
akan terjadi sindrom yang menyerupai MMM. Tikus yang

diinjeksi secara cepat dengan polietilen-glikolconjugated TPO untuk mempercepat hiperplasia


megakariosit, trombositosis, fibrosis sumsum tulang dan
hematopoiesis ekstramedulare. Walaupun begitu peranan
TPO pada MMM belum jelas, walaupun kadar TPO pada
MMM meningkat tetapi tidak berkorelasi dengan masa
megakariosit. Kenaikan kadar TPO ini diperkirakan karena
mekanisme klirens yang berubah. Lebih lanjut ternyata
TPO menghambat proliferasi sel stem hemopoietik pada

Sangat sering ditemukan (>50% kasus)


S

plenomegali

Hepato megali

Fatique
Anemia
Le ukosito sis

Trombositosis

Sering ditemukan (10-50% kasus)


Asimtomatik
Penuru nan berat badan
Keringat malam
Perdarahan
Nyeri splenik
Le ukosito penia

Trombositopenia

Kurang sering ditemukan (<10% kasus)


Edema periler
Hipertensi portal
Lim fad enop ati

MMM.

Distribusi hematopoiesis ekstramedular pada MMM


fetus melibatkan liver dan limpa. Model mielofibrosis
dengan merusak pembuluh darah, pada pemeriksaan
ultrastruktur memperlihatkan hematopoiesis yang
meningkat diluar sumsum yang memadat, dan mulai
melepaskan prekusor hematopoiesis. Ruangan
ekstramedular ditumbuhi pindahan sel hematopoiesis.
Lepasnya prekursor sumsum serupa dengankerusakan

Gout

uning

.Diad aptasi

ari

Cl

ark a nd W illiams (Win tro b's, 20 05)

TANDA
Splenomegali yang cukup besar merupakan penemuan fisik
yang utama (Tabel 2). Hepatomegali diketemukan separuh

sinusoid hasil hematopoiesis ekstramedular pada

pasien, 2-67o terdapat hiperlensi portal, mungkin diikuti

metastasis kanker dan mungkin merupakan mekanisme

komplikasi: asites, varises esofagus, perdarahan

umum.

gastrointestinal dan ensefalopatia hepatik. Juga ditemukan


petekie, ekhimosis dan limpadenopati. Beberapa pasien
memperlihatkan adanya detmatosis neutrofilik serupa pada

GAMBARAN KLINIS UNTUK DIAGNOSIS

sweet-syndrome

dan mengalami

hematopoiesis

ekstramedular dermal, osteosklerosis yang sebagian diikuti

MMM menyerang golongan umur menengah dan tua,

periostetis dengan nyeri tulang dan ketulian. Bila

rerata umur 60 tahun, pria dan perempuan mempunyai


kemungkinan sama. MMM kurang sering mengenai umur
muda dan jarang pada anak. Anak lelaki 2 kali daripada
perempuan. Pada beberapa kasus dilaporkan adanya faktor

permukaan serosa terlibat dalam hematopoiesis mungkin


akan terdapat efusi pleura dan perikard atau asites. Kadang
diikuti komplikasi neuroplogis berupa: tekanan intrakranial
meninggi, delirium, koma, perdarahan subdural, kerusakan
motorik, sensorik dan paralasis.

familial.

GEJALA
Pada 257o kasus MMM berpenampilan asimptomatis,
diagnosis disugesti dengan adanya pemeriksaan darah

yang abnormal atau secara insidensil terdapat


splenomegali. (Tabel 2)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Darah
Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan sel eritrosit
bentuk tear drop yang dihubungkan adanya eritrosit
berinti dalam sirkulasi, leukosit neutrofil imatur dan plate-

Gejala klinis pada umumnya: kelelahan otot dan

let besar abnormal (Gambar 1a,1b). Retikulosit

penurunan berat badan (1-39Vo), sindrom hipermetabolik

meningkat; eritrosit polikromasi, fragmentasi dan sel target juga sering diketemukan. Abnormalitas morfologi ini
diakibatkan adanya perubahan hematopoiesis, bebasnya
sel lebih awal dari sumsum tulang dan hematopoiesis
ekstramedular. Bagaimana perubahan ini terjadi masih
belumielas.

(demam, keringat malam terdapat 5-20Vo pasien),


perdarahan dan memar, kadang terdapat masa dalam perut,

Gout dan kolik renal terdapat 4-6Vo, tophi jarang


didapatkan, diare dengan sebab tak jelas dan nyeri
substemal kadang diketemukan.

t228

HEMATOLOGI

Anemia dengan Hb kurang

l0 grldl, ditemukan

60%

kasus, yang dapat terjadi akibat hemodilusi akibat volume

plasma yang meningkat, gangguan produksi sumsum


tulang dan hemolisis.

Hapusan darah tepi pasien mielofibrosis: aniso-

poikilosrtosis. oval dari eritrosit, reaksi leukomoid


(samping granulosit terdapat satu metamielosit, satu

promielosit dan satu normoblas). (SLrrrber: Atlas


hematologi, Heckner & Freud, 1999)

Hasil, A: Terdapat mikrovaskular lurus, sedikit


bercabang dan jarang berkelok. B: Mikrovaskular lurus.

sedikit bercabang, tidak berkelok. C: Terdapat


mikrovaskular pendek, banyak bercabang dan berkelol<.
D: Terdapat mikrovaskular banyak bercabang dan sedikit
berkelok. (Sumber: Lunberg et al.,2000)

Sedangkan penyebab hemolisis diperkirakan:


hipersplenisme, autoantibodi eritrosit, hemoglobin H

Gambar 1a. Teardrop poikilocytes dan sel darah merah berinti


dari darah pasien mielofibrosis (pembesaran 400x) (Sumber: Clark

dan william, Wlntrob s 2005)

yang didapat dan adanya sensitivitas membran


kornplemen yang serupa PNH (Parr.r-rlsmal noctrLLnal
hemoglobin uria).

Morfologi anemia tidak khas pada umumnya


normositik normokromik, makrositik bila defisiensi
asam folat dan mikrositik hipokromik bila deflsiensi Fe
atau perdarahan gastrointestina[. Jumlah leukosit
meningkat pada 500/o kasus, diikuti eosinofilia dan
basofilia, sedangkan jumlah limfbsit normal. Beberapa
mieloblas ditemukan dalam sirkulasi perifer dan
mungkin tidak dipikirkan adanya konversi ke arah
leukemia akut, tetapi konsentrasi mieloblas >l%
memberikan prognosis jelek. Juga ditemukan neutrofil
hipersegmen, kenaikan enzim neutrofil, trombosit
meningkat pada awal MMM, pada progresil'iras
penyakit dapat terjadi trombositopenia.
Platelet biasanya berrLl<uran besar, dalam sirkulasi
ditemukan megakariosit yang utuh ataupun nTengalami

lragmentasi. Fungsi platelet sering tidak norrnal,

Gambar 1b. Hapusan darah tepi pasien mielofibrosis:


aniso-poikilositosis. oval dari eritrosit, reaksi leukemoid (samping
granulosit terdapat satu metamielosit, satu promielosit dan satu
normoblast) (Sumber:Atlas hematologi, Heckner & Freud,1999)

gangguan waktu perdarahan dan retraksi jendalan dan


penurunan: kadar platelet factor 3, platelet adhesiveness
dan aktivitas lipogenesis. Perubahar.r pada faktor
pembekuan yang terlarut dapat terjadi pada penyakit

tersebut. Koagulasi intravaskular diseminatai


D s e mi n ctt e d I ntr ay a s cu ar C o a gu a t o n (KlD I D I C' )
i

s'

subklinik dapat ditemui pada 159'r, pasien MMM bentul<


lanjut dan defisiensi thktor V yang didapat dapat terjadi
pada pasien tersebut di atas. Kadar asam urat darr enzitn

laktat dehidrogenase hampir selalu meningkat,


menggambarkan adanva massa yaltg berlebihan dari sel
hematopoietil< atau adanya hematopoiesis yang tidak
efektifatau keduanya. juga dapat terladi kenaikan kadar
cnzim alkalinetbsfastase serum yang merupal<an
keterlibatan tulang, terjadi penurunan kadar albunrin.
kolesterol dan lipoprotein. Dapat terjadi kenaikan kadar
vitamin Bl2 pada pasien dengan leukositosis. yang
tnerupakan refl eksi dengan peningkatan masa
neutrofil.

Gambar 1c Pemeriksaan mikroskopis laser confokal hasil biopsi


sumsum tulang normal

(A) PV (B),

MF (C) dan CML (D)

1229

MIELOFIBROSIS

SUMSUM TULANG
Aspirasi pada sumsum tulang mungkin tidak berhasil
(drytap) dan memerlukan biopsi sumsum tulang untuk
menegakkan diagnosis MMM. Suatu konsensus telah
dibuat oleh ltalian Society

o.f

Hemcttology.

Data morfbtogi dan klinis digabungkan untuk


rnendiagnosis banding MMM dari penyakit CMPD
lainnya, dan dari sindroma mielodisplasia dengan fibrosis
sumsum tulang. Kriteria tersebut adalah: fibrosis sumsum
tulang dan kelainan morfologi hiperplasia sumsum tulang
dan hematopoiesis ekstramedular. Ketiga elemen tersebut
di atas harus terdapat untuk diagnosis MMM. (Tabel 3)
Gambar 2a. Reticulin stain dari spesimen biopsi sumsum tulang

menampilkan peningkatan kolagen (diperbesar 400x)


(Sumber:Clark dan William, Wintrob's 2005)

Kriteria Mayor
Fibrosis sumsum tulang difus
Hilangnya t9:22 kromosom atau bcr/abl rearrangement pada
sel darah perifer
Splenomegali.

Kriteria Minor
Anisopoikilositosis dengan tear dropred cells
Sel darah merah berinti dalam sirkulasi
Clustred marrow megakaryoblast dan anomalous
megakariocytes
Metaplasia mieloid
*Catatan . Ketiga kriteria mayor ditambah dua kriteria minor
manapun atau dua kriteria mayor pertama ditambah empat
kriteria minor manapun harus didapatkan, untuk diagnosis

.l'"

'

i.

-+:

MMM

.Diadaptasi dari Clark and Williams (Wintrob's, 2005)

Fibrosis harus terjadi pada semua kasus MMM, dan


biasanya pada pasien lanjut.
Pada stadium aival 1-rbrosis minimal dan hiperplasia
sLlulsum tnlang rnungkin lebih jelas. Keadaan tersebut
disebut fase selular MMM. Bilarr,ana fibrosis sunlsum
tulang tidak terbukti pasien yang dicurigai MMM, perlu
diambil material dari tempat lain, karena penyebaran tidak
rrerata.

Fibrosis mungkin perlu digradiasi menurut sistem yang


telah dipublikasi dan bukti adanya osteosklerosis (Gambar

2a,2b).
Bila fibrosis masif, selularitas keseluruhan akan turun,
tetapi adanya hiperplasia megakariosit tetap ada. Sinusoid sumsum tulang akan meluas, disini akan terjadi

Gambar 2b. Ada fungsi sumsum tulang: Fibrosis sumsum tulang


total, kegagalan hematopiesis (Sumber: Heckner & Freud, Atlas
hematologi,l 999)

Granulosit dapat hipo atau hiperlobulated sehingga


rnemperlihatl<an anomali Pelger-Huet didapat atau adanya
nuclear-c,vtoplas mic asynchrony. Prekusor eritroid
normal atau meningkat, yang dapat diperiksa dengan
scanning isotop sumsum tulang dengan koloid sulfur
untuk sel retikuloendotelial dan dengan koloid besi untuk
sel eritroid yang menunjukkan adanya ekspansi sumsum
tulang sampai pada tulang panjang uormal inaktif.

hematopoiesis intravaskular (Gambar 3).

Kenaikan jumlah sel mast dapat diobservasi pada


pasien menjadi fibrosis pada saat biopsi. Pada sediaan
apus sumsum, sepintas tidak terlihat kelainan, tetapi sering

ABNORMALITAS KROMOSOM

didapatkan hiperplasia neutrofilik dan megakariosit.

Separuh pasien MMM terdapat abnormalitas klonal


kariotipe. Hanya sedikit pasien memperlihatkan

Adanya mikromegakariosit dan makrom e gakariosit dapat


ditemukan, sehingga menimbulkan nuclear-cytr,tplasmic
asynchrony.

abnormalitas pada metafase, yang membuktikan pada

pasien MMM menyisakan sel

hematopoiesis

1230

HEMATOLOGI

PEMERIKSAAN PATOLOGI

MMM adalah adanya fibrosis


sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedulare.
Gambaran khas pada

Fibrosis sumsum tulang diikuti adanya osteosklerosis 30707o kasus, terutama mengenai kerangka aksial dan bagian

proksimal tulang panjang. Korteks tulang mengalami


penebalan dan pola normal trabekula menghilang.
Hematopiesis terutama terjadi di lien dengan adanya
splenomegali, liver dan beberapa organ Iain juga dapat
terlibat, misalnya: limfonodi, ginjal, adrenal, periosteum,
usus, pleura, paru, jaringan lemak, kulit, mammae, dura,
ovarium dan thimus. Gugusan hematopoiesis mungkin
mengandung beberapa campuran turunan prek-usor mieloid

infiltrat mikroskopis atau


tumor makroskopis. Proporsi eritroid lebih tinggi pada sisi
ekstramedular daripada dalam sumsum tulang dan
hematopoiesis ekstramedular, ada tendensi adanya indeks
mitosis rendah, sel imatur dan megaloblastik yang tinggi
daripada hematopiesis medular. Kerusakan organ target
dapat terjadi akibat tekanan fisis sekitarjaringan normal,
tetapi architektur normal tetap dapat dipertahankan.
dan kemungkinan terlihat sebagai

Gambar 3. Potongan biopsi sumsum tulang dari 2 pasien


metaplasia mieloid agnogenik menampilkan fase prolileratif
sumsum tulang dengan hiperplasia yang melibatkan semua
fibrosis cell lines dan relatif sedikit (Pembesaran 200x)
(A) Fibrosis intens dengan pembentukan Iulang batu, dilated
sinusoids, dan residual megakaryocytes (hematoksilin dan eosin,

pembesaran 100x) (B) (Sumber: Clark dan William, Wintrob's


2005).

HIDUP
Pada

MMM rata-rata

dapat bertahan hidup 3-7 tahun dan

kurang 20 7o dapat hidup lebih 10 tahun. Prognosis ini

normal. Sering ditemukan delesi pada segmen kromosom


yang dihubungkan dengan gene retinoblastoma, del
l3(q13q21) dan del 20q. Kromosom yang sering terganggu
adalah: 1,5,7,8,9,13,20 dan 21. Bentuk trisomi dan
monosomi, delesi partial dan translokasi juga sering
ditemukan. Fibroblas tidek berperan terhadap abnormalitas
kromosom pada MMM.

KERUSAKAN SISTEM IMUN


Secara klinis abnormalitas sistem imun sering terjadi pada
MMM, hal iui kontras dengan CMPD lainnya. Sel limfosit
T dan B langsung terpengaruh oleh defek sel stem pada
MMM dan defek fungsional sel B dan T mungkin dapat

diperlihatkan. Variasi abnormalitas sistem imun humoral


telah ditemukan. Menurunnya kadar C3 dapat terjadi dan
menyebabkan naiknya kemungkinan infeksi bakterial.
Autoantibodi patologis dapat ditemukan antara lain:
autoantobodi antieritrosit, antibodi antiplatelet, antibodi
antinuklir, antiimunoglobulin dan antibodi antifosfolilpid.
Pada MMM sumsum tulang difiltrasi limfoid. Gamopati
monoklonal dapat timbul l)a/o pasien MMM, pada
beberapa kasus kejadian simultan
plasma pernah dilaporkan.

PERKEMBANGAN ALAMI DAN KEMAMPUAN

MMM

dan diskrasia sel

diperkirakan diperkirakan sesuai dengan waktu


pertengahan timbulnya krisis blastik pada CML dan
kemungkinan lebih jelek dari kemampuan hidup pada ET

dan PV. Pasien dengan bukti penyakit lebih banyak


memberikan suivival lebih pendek. Prognosis lebih baik
bila: Tidak terdapat simptom konstitusi, Hb >10 grldl,
platelet > 100 x 10e/L dan tidak adahepatomegali. Pasien
lebih muda mempunyai kemampuan swvival lebih baik,
seperti halnya rendahnya konsentrasi mieloblas dalam
sirkulasi. Adanya abnormalitas sitogenetik termasuk single
clone dengantranslokasi kromosom 1, 5q-, trisomy 8, l3qatau 20q-, mungkin dengan prognosis lebih baik, tetapi
secara keseluruhan pasien dengan kromosom abnormal
mempunyai prognosis lebih jelek daripada kariotipe normal. Demikian juga pasien dengan peningkatan volume

plasma atau peningkatan kadar reseptor IL-2 terlalut


mempunyai surulval lebih jelek.
Reilly, Snowden dan Spearing et al (1997) membuat
beberapa skor prognosis meliputi: usia, kadar Hb, simptom
konstitusi dan kariotipe. Pasien dikelompokan berdasar
grup risiko dengan kemungkinan hidup terpendek 16 bulan

dan terpanjang 180 bulan. Dengan berjalannya waktu


simptom dan sitopenia menjadi memberat walaupun secara
spontan terjadi perbaikan. Beberapa masalah yang timbul

misalnya: penurunan berat badan, edema ekstremitas


bawah, infeksi terutama pnemonia. Hampir semua pasien

1231

MIELOFIBROSIS

terjadi splenomegali yang semakin memberat sehingga

related donor. Pada seri Seatle, 8 dari 19 pasien donor

timbul rasa sakit dan nyeri tulang.


Sebagian pasien terjadi hipertensi portal dengan
varises esofagus, akibat dari: Kenaikan aliran darah
splenoportal, trombosis vena hepatika, trombosis vena
portal, hemokromatosis pasca transfusi dan hematopoiesis intrasinusoidal.
Perdarahan dapat akibat: trombositopenia, defek
platelet, Disseminated intravascular coagulation (DIC)
atau defisiensi faktor pembekuan.
Kematian pasien MMM, bervariasi antara lain: infeksi,
perdarahan, gagal jantung, cerebrovascular accidents,
gagal ginjal, gagal hati dan trombosis. Konversi ke arah
leukemia dilaporkan 5-20Vo kasus. Perubahan ke arah
leukemia tidakjelas, beberapa kasus tanpa eksposur terapi

HLA-matched tetapi unrelated,2 dari 19 donor adalah


one-antigen mismatches. Suryival keseluruhan dalam 5
tahun sebanyak 50Vo. Adanya kariotipe abnormal, anemia dan umur tua diikuti outcome yang jelek. MMM
dengan umur > 45 tahun kemampuan hidup 5 tahun

sitostatika, kejadian kearah leukemia limfositik akut serupa


dengan leukemia mieloid akut.

sebanyak l4Vo. Semakinmenjadi jelas, bahwa pada pasien

lebih muda dengan 2faktor risiko, dengan prediksi sarvival rendah, tanpa pengobatan kuratif, dipertimbangkan
dilakukan HSCT secepatnya setelah diagnosis tegak.

Untuk pasien lebih tua dengan HSCT mungkin


memberikan outcome yang rendah dan faktor risiko jelek
tidak ditemukan, maka sebaiknya ditunda dahulu sampai
faktor risiko muncul, walaupun data tentang hal ini belum
banyak dilaporkan.

Terapi Androgen dan Kortikosteroid


Hormon androgen dapat diberikan pada anemia akibat

PENATALAKSANAAN

MMM mungkin

dapat disembuhkan dengam hematopoietic


stem cells Transplantation (HSCT), tetapi HSCT biasanya
berhasil untuk pasien muda dan merupakan risiko kematian

yang bermakna. Tidak ada bentuk terapi lain untuk


survival atau mencegah progresi

memperpanj ang
mielofibrosis.

Terapi suportif diarahkan langsung terhadap


komplikasi yang terjadi. Beberapa pasien asimptomatis
dan memerlukan observasi. Allopurinol diberikan untuk
mempertahankan urat darah tetap normal, untuk
menghambat: nefropatia urat, renal kalkuli dan gout.
Anemia dan trombositopenia dapat timbul, dan akan
berkembang terus sampai timbul gejala. Bila beberapa

terapi gagal memperbaiki hematopoiesis, transfusi


diperlukan untuk mempertahankan hitung darah.
Suplemen asam folat diperlukan karena seringnya kejadian

hemolisis.

ALLOGENEIC HEMATOPOIETIC STEM CELL

MMM. Dengan respon rate 29-577a. Perbaikan spontan


mungkin dapat terjadi pada MMM, sehingga respon
terhadap terapi perlu dianalisa secara cernat. Perempuan
dengan splenomegali minimal dan pasien dengan kariotipe
normal memberikan prognosis lebih baik. Sebelumlerapi
dengan androgen, pria perlu diskrining kelenjar prostat
baik secara fisis maupun dengan antigen spesifik untuk
prostat, pada perempuan perlu diperhatikan adanya efek
virilisasi. Selama terapi dengan androgen perlu dimonitor
faal hati.
Beberapa skedul dosis telah memberikan hasil cukup
baik, diantaranya androgen sintetik oral: fluoksimesteron,
dosis: 2-3 kali 10 mg sehari. Bila tidak ada perbaikan setelah
3-6 bulan terapi, androgen harus dihentikan. Beberapa

pasien yang tidak berespon terhadap androgen,


kemungkinan memberikan respon preparat lain, karena
daya hidup eritrosit memendek pada MMM, kemungkinan

kortikosteroid adrenal memperbaiki daya hidup eritrosit


dan memperbaiki anemianya. Prednison oral, dengan
dosis: I mg/kg. berat badan sehari, memberikan respon pada
25-507o pasien. Respon paling baik dilaporkan terdapat
pada pasien perempuan. Pasien dengan hemolisis perlu

diberikan suplemen asam folat. Androgen dan


kortikosteroid kadang dapat dikombinasikan. Dosis

T ra n s p I a

ntafion (AHSCT)

Hampir semua pasien CMPD mungkin dapat disembuhkan


dengan HSCT. Terbatasnya pendekatan ini karena faktor

dimulai dengan prednison 30 mg/ hari, dengan kombinasi


fluoksimesteron 10 mg dua kali sehari, bila terdapat respons
setelah satu bulan terapi, dosis prednison diturunkan

off,

umur dan kondisi pasien, dengan menggunakan donor

secara tapering

yang cocok serasi dan morbiditas serta mortalitas yang


dihubungkan dengan prosedur. Adanya fibrosis sumsum
tulang dan splenomegali rupanya bukan hambatan untuk

dilanjutkan.

HSCT.

Kemoterapi jarang memberikan remisi hematologis, dan


tidak memberikan perubahan secara umum pada MMM,
tetapi mungkin sangat memberikan perbaikan pada gejala.

Dilaporkan oleh Guardiole et al (1999) dan Jurado et al.


William (2005 ) kelompok I nt e rnatio nal
cooperative trial dengan 55 pasien, hampir semua umur
muda, umur rerala 42 tahun, dengan HLA-identical
(200 1 ) sit. Clark dan

sedangkan fluoksimestefon

Kemoterapi

Kemoterapi dapat mengurangi hepatomegali dan


splenomegali sefta memperbaiki penurunan berat badan,

1232

demam dan keringat malam sampai 707o pasiery serta


mengurangi leukositosis, trombositosis dan anemia.
Kemoterapi yang pernah digunakan: busulfan, melfalan,
6-tioguanin dan hidroksiurea. Pada MMM pemberian
kemoterapi harus lebih hati-hati karena cenderung terjadi
toksik sumsum tulang daripada CMPD lainnya. Misalnya
pemberian Busulfan 2-4 mg/hai sudah merupakan dosis

maksimum yang dapat diberikan dengan derajat


keselamatan pada MMM. Pasien harus dimonitor secara
frekuen dan kontinyu, terutama bila timbul sitopenia.
Hidroksiurea dapat diberikan dosis teneduksi 500- 1000 mg

selang sehari, dengan penyesuaian dosis tergantung


respons klinis dan hitung darah.

lradiasi
Pasien dengan hipersplenisme mungkin dapat memberikan

respon dengan iradiasi splenik, terutama bila ada


kontraindikasi untuk splenektomi. Hampir semua pasien
mengalami perbaikan keluhan nyeri dan > 507o te4adi
pengurangan ukuran lien. Iradiasi splenik akan memberikan
perbaikan sitopenia, diberikan dengan fraksi kecil dengan

pemantauan ketat. Dosis fraksi 15-100 cGy,2-3 kali per


minggu. Dosis total 700-2400 cGy dapat memberikan hasil
yang nyaman dengan toleransi toksisitas. Hasil sementara
baru dapat dilihat setelah beberapa bulan terakhir. Tumor
hematopoiesis eksffamedular simptomatis juga memberikan
respons terhadap terapi iradiasi, terutama cocok pada nyeri
tulang dari tumor atau periostitis dan pada deposit susunan
saraf pusat.

Splenektomi
Splenektomi dipertimbangkan pada pasien refrakter
terhadap terapi: Sitopenia, hipertensi portal, atau gejala
akibat hipersplenisme. Dengan splenektomi memberikan

perbaikan: simptom hipersplenisme, hipertensi portal,


anemia dan trombositopenia, walaupun perbaikan ini tidak
selalu dapat dipertahankan setelah satu tahun tindakan.

Splenektomi pada MMM harus hati-hati, karena


organomegali yang besar sehingga mungkin terjadi
adhesi, naiknya aliran darah dan status compromised
pasien. Adanya DIC(KID) ringan yang ditandai kenaikan
kadar D-dimer sering ditemukan pada MMM, dengan
nsiko perdarahan yang tidak mudah diperbaiki preoperatif.
Mortalitas operasi akut dapat mencapai 38Vo, pada
stadium awal penyakit, sedangkan mortalitas pada
perawatan rumah sakit yang lebih modern turun <107o
dan257o dalam 3 bulan. Splenektomi kadang menimbulkan

krisis aplastik, karena lien menjadi tempat hematopoeisis


ekstramedular, pada fibrosis sumsum tulang berat.

Pengobatan Lain
Interferon dipefiimbangkan karena dapat menekan aktivitas
TGF-p dan efektivitasnya pada CML. lnterferon-o.mungkin
bermanfaat menghilangkan nyeri tulang, trombositopenia

dan spenektomi, tetapi efektivitas ini menurun dengan


adanyaflulike symptoms berat dan memberatnya anemia.
Vitamin D beserla analognya dapat menekan prolioferasi
magakariosit dan memperbaiki mielofibrosis yang
dihubungkan dengan rickets. Anagrelid dapat menurunkan
trombosit tetapi tidak memperbaiki kelainan klinis lainnya.
Beberapa pasien dapat diberikan eritropoeitin bahkan lebih
baik bila dikombinasikan dengan interferon. Pasien dengan

MMM berat dapat diberikan preparat antiangiogenik


Talidomid, 20Vo kasts terjadi perbaikan dengan
menurunnya simptom konstitusional, ukuran lien dan
perbaikan hitung darah. Efek samping serius dilaporkan

antara lain: leukositosis dan trombositosis berat


hematopoiesis ekstramedular perikardial, dan dapat terjadi
pada dosis awal yang sangat rendah 50 mgihari.
Beberapa peneliti memberikan kombinasi Talidomid 50
mgihari dengan prednison 0,5mg&g/h zn, 95Vo memberikan
respon komplit dalam 3 bulan pengobatan.
Suramin dan imatinib dilaporkan pemah diberikan pada
MMM, dengan hasil yang belum jelas.
Kuretase secara mekanik sejumlah jaringan fibrotik
sumsum tulang iliaka, diperkirakan dapat meningkatkan
hematopoiesis dan memperbaiki anemia, walaupun hal ini
dengan prosedur komplek dan tidak selalu berhasil pada
semua pasien.
HSCT analog setelah pemberian dosis tinggi busulfan, pernah dilakukan pada sejumlah MMM lanjut yang
refrakter terhadap terapi lain, walaupun dengan mortaiitas
cukup tinggi (6 daril2 pasien), hampir semua pasien terjadi
perbaikan simtom hipersplenisme dan separuh pasien
terjadi perbaikan anemia dan trombositopenia.

Diagnosis Banding
Diagnosis MMM berdasarkan triad: fibrosis sumsum
tulang, hematopoiesis ekstramedular dan hematopoiesis

klonal dengan tidak diketemukannya penyakit yang


mendasari. Tidak diketemukan tanda-tanda patognomonik
dan bukti hematopoiesis klonal secara tidak langsung bila
kariotipe abnormal tidak ditemukan. Biopsi sumsum tulang
penting dilakukan untuk menentukan adanya fibrosis dan

membuktikan adanya hematopoiesis klonal dalam bentuk


panhiperplasia sefta untuk menyingkirkan adanya proses
infiltrasi. Untuk diagnosis memakai ltalian concensus
conference (Tabel 3), walaupun mungkin tidak berlaku
untuk fase awal MMM.

Dilaporkan adanya komplikasi splenektomi yang


bermakna: infeksi intraabdominal, trombositosis berat

Mielofibrosis Akut

dengan trombosis dan hepatomegali yang cepat

MMM kadang sukar dibedakan dengan mielofibrosis akut.


Lewis dan Szur(1983. sit Clark dan William, 2005)
melaporkan adanya pasien dengan: Fibrosis sumsum

membesar. Dua terakhir tersebut mungkin memerlukan


siklus kemoterapi pascaoperatif.

L233

MIELOFIBROSIS

tulang. pansitopenia, demam dan secara cepat menjadi


fatal, mereka menamakan sindrom ini dengan : " M ali gnant
myelosclerosls" dan hal ini yang disebut sebagai:
mieloseklerosis akut atau Mielofi-brosis akut. Beberapa
publikasi memasukan pasien dengan fibrosis sebagai

Suatu studi dari Mayo Clinic dari 50.277 apusan darah


terdapat gambaran leukoeritroblastik sebanyak 215 atau
0,4Vo. Dua pertiga kelompok ini mempunyai riwayat
keganasan (1974, Sit: Clark & William, 2005).
Diagnosis mielofibrosis sekunder berdasarkan adanya

komplikasi leukemia akut, MMM dalam transisi ke

penyakit yang mendasari. Mielofibrosis sekunder

leukemia akut dan fibrosis dengan komplikasi sindrom


mielodisplasia. Bahkan beberapa pasien dengan sindrom
ini, secara cepat berkembang menjadi bentuk aleukemik
dari leukemia megakarioblastik akut (French-American-

postpolycythemicPY dan komplikasi jarang dari Systemic


lupus erythematosus danickets. Bila mielofibrosis karena

British, M7). Mielofibrosis akut harus dibedakan dengan

biasanya mudah dideteksi. TBC dan infeksi jamur biasanya

MMM, karena bentuk ini diterapi

sudah diobati sebelum muncul mielofibrosis sekunder


.Hampir semua mielofibrosis sekunder merupakan metastasis keganasan. Pemeriksaan hidroksiprolin urin suatu

sebagai leukemia akut,

tidak terdapat splenomegali dan dalam sumsum tulang


terdapat peningkatan megakarioblas.

Kelainan Mieloproliferatif Kronik Lain


MMM juga perlu dibedakan dengan CML, ET dan PV
(Polisitemia vera). Bila fibrosis sumsum tulang sebagai
gambaran utama maka diagnosis menjadi sulit. PV yang
berakhir dengan MMM like syndrome, adalah 15-20Vo
pasien. Mielofibrosis pada PV, lebih sering terjadi setelah

beberapa tahun parjalanan penyakit. Karena pasien


dengan postpolisitemik PV, menjadi simptomatik akibat

merupakan gambaran reguler dari kondisi teftentu termasuk

infeksi biasanya bentuk kronis, menyebar luas dan

metabolit dari kolagen dapat membedakan antara


mielofibrosis sekunder dengan MMM. Pada MMM
ekskresi normal, meningkat pada keganasan dan
mielofibrosis sekunder.

Pengobatan mielofibrosis sekunder terutama


pengobatan penyakit primer yang mendasarinya. Perbaikan

pengobatan fibrosis, dilaporkan setelah pengobatan


berhasil pada PV, penyakit Hodgkin, metastasis prostat
dan karsinoma marnmae.

ekspansi masa sel darah merah dan menjadi awal perhatian,

serta diagnosis biasanya dibuat sebelum timbul fibrosis


sumsum tulang. Pasien dengan PV, pertama diketemukan
adanya mielofibrosis fase postpolisitemik perj alanannya
lebih progresif daripada pasien MMM. Mielofibrosis juga

dapat terjadi pada CML, tetapi untuk deferensial


diagnosis dengan MMM berdasarkan pada analisa
genetik.
Pemeriksaan kariotipe atau dengan pemeriksaan probe
hibridizasion fluorescen insitu untuk perubahan ger, bcr/
abl, dapatmelengkapi sumsum tulang dan gambaran darah
tepi. Lebih kurang 95Vo pasien CML yang tipik, terdapat
kromosom abnormal ,t9:22Philladelphia (Phl) dan hampir
semua memperlihatkan bukti adanya kerusakan gen bcr/

abl. Beberapa kasus kadang ditemukan bersamaan


translokasi 9:22 dengan atau tanpa dideteksi adanyabcr/
abl.PadaCML pembesaran lien sebanding dengan jumlah
leukosit. Bila lien membesar, tetapi jumlah leukosit kurang
dari 1 00 x 1 0e per L, mungkin kearah MMM daripada CML.
Pada ET dengan fibrosis sumsum tulang, kondisi ini dapat
meyerupai stadium awal MMM, dan untuk menentukan
diagnosis memerlukan pengamatan lebih jauh.

Mielof ibrosis Sekunder


Mielofibrosis mungkin dapat terj adi akibat reaksi terhadap :
Keganasan, infeksi dan beberapa penyakit lain (tabel 1).
Hal ini dapat dihubungkan dengan perubahan darah tepi
dan hematopiesis dengan penampilan seperti MMM.

REFERENSI
Bianco Paulo, et al. Bome marrow stromal stem cells: nature, biology and potential applications. Stem Cells. 2001;19:3:180-92.
Clark DA, William WL. Myelofibrosis. Wintrobe's clinical hematology. 11th edition. In: Richard Lee, Foerster, Lukens, Paraskevas,
Greer and Rodgers, editors. Baltimore Maryland: William &
Vilkins; 2005. p. 2273-83.
Heckner dan Freund. Atlas hematologi. Praktikum hematologi dengan
mikroskop. In: Alih bahasa Wanandi SI, Suwono WJ, editors.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 1999. p.82-4.
Lunberg LG et al. Bone marrow in polycythemia vera, chronic
myelocytic leukemia and myelofibrosis has an increased
vascularity. Amer J pathol. 2000;157:15-19.
Mesa AR, et a1. A phase 2 ttial of combination low-dose thalidomide
and prednison for the treatment of myelofibrosis with myeloid
metaplasia. Blood. 2003;101:7 :1534-51.

Papaiakovon VE, et al. Thalidomide in cancer medicine. Annals

Oncology. 2004;15:

I 15 1-60.

Spirak JL. Polycythemia vera and other myeloproliferative


diseases.

In: Kasper DL, Fauci AS, Braunwald E, Longo DL, et

al, editors. Harrison's principles of internal medicine. 16'h


Edition. New York: Mc Graw-hill; 2005, p. 626-31.
Tefferi A. The forgotten myeloproliferative disorder: myeloid
metaplasia. The Oncologist, 2003;8:3:223-31.
Vannocchi AM, et al. Development of myelofibrosis in mice
genetically impaired for GATA-I expression (GATA-I low mice).
Blood. 2002: 100t1 123-3.
Wieczorek AJ, et al. Autocrine/paracrine mechanisms in human
hematopoiesis. Stem Cells. 2001 19 2:99-101.

196
LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT
Johan Kurnianda

PENDAHULUAN

LMA, meskipun

Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit


yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan
gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid.
Bila tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian
secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan
sesudah diagnosis. Sebelum tahun l960an pengobatan
LMA terutama bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun

ETIOLOGI
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak
diketahui. Meskipun demikian ada beberapa faktor yang
diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi
faktor predisposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene,
suatu senyawa kimia yang banyak digunakan pada industri
penyamakan kulit di negara sedang berkembang, diketahui

LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih


baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok
sumsum tulang dan terapi suportif yang lebih baik seperti
anti biotik generasi baru dan transfusi komponen darah
untuk mengatasi efek samping pengobatan. Selain itu sejak

merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu radiasi

ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Ini


diketahui dari penelitian tentang tingginya insidensi kasus
leukemia, termasuk LMA, pada orang-orang yang selamat
dari serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada
tahun 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi

sekitar 2 dekade tahun yang lalujuga telah dikembangkan

leukemi

a dengan

cara

immunophenotypiitg dan analisis sitogenetik yang

tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah


pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun
sesudah pengeboman. Faktor lain yang diketahui
merupakan predisposisi untuk LMA adalah trisomi
kromosom 2l yang dijumpai pada penyakit herediter

menghasilkan diagnosis yang lebih akurat.

INSIDENSI
Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan
32Vo dari seluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering
ditemukan pada dewasa (85Vo) dari pada anak (157o).
Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa anakanak hingga masa dewasa muda. Sesudah usia 30 tahun,
insidensi LMA meningkat secara eksponensial sejalan
dengan meningkatnya usia. Insidens LMA pada orang
yang berusia 30 tahun adalah 0,87o, pada orang yang
berusia 50 tahun 2,7Vo, sedang pada orang yang berusia
di atas 65 tahun adalah sebesar 13,1Vo. Secaraumum tidak
didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi

LMA

den-ean ras Kaukasia.

yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara


cepat dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat
disembuhkan dari penyakitnya. Kemajuan pengobatan

teknik diagnostik

pernah dilaporkan adanya insidens

tipe M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali lebih besar pada ras
Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat dibandingkan

sindrom Down. Pasien sindrom Down dengan trisomi


2l mempunyai risiko 10 hingga 18 kali lebih

kromosom

tinggi untuk menderita leukemia, khususnyaLMA tipe M7.


Selain itu pasien beberapa sindrom genetik seperti sindrom
Bloom dan anemia Fanconi juga diketahui mempunyai

risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi


normal untuk menderita LMA.
Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah
pengobatan dengan kemoterapi sitotoksik pada pasien
tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka
panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma

1234

1235

LEUKEMIA MIELOBI.A.STIK AKUT

multipel, kanker payudara, kanker ovarium dan kanker


testis. Jenis kemoterapi yang paling sering memicu
timbulnya LMA adalah golongan alkt,lating ogent dan
topoisomerase lI inhibitor. LMA akibat terapi mempunyai
prognosis yang lebih buruk dibandingkant LMA de novo
sehingga di dalam klasifikasi leukemia versrWorltl Health
Organization (WHO) dikelompokkan tersendiri (Tabel 1).

sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering


terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah peri

rektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa


secara teliti pada pasien LMA dengan demam.
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi
(lebih dari 100 ribu/mm3), sering terjadi leukostasis, yaitu

sitopenia (anemia, lekopenia dan trombositopenia).

teriadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran


pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis
sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala
yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak
nafas, nyeri dada dan priapismus. Angka leukosit yang
sangat tinggi juga sering menimbulkan gangguan
metabolisme berupa hiperurisemia dan hipoglikemia.
Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit yang
berproliferasi secara cepat dalam jumlah yang besar.
Hipoglikemia terjadi karena konsumsi guJa in vitro dari
sampel darah yang akan diperiksa, sehingga akan dijumpai
hipoglikemia yang asimptomatik karena hipoglikemia
tersebut hanya terjadi in yitro tetapi tidak in vivo pada
tubuh pasien.

Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah


dan pada kasus yang lebih berat sesak nafas, adanya

Infiltrasi sel-sel blasr akan menyebabkan tanda/gejala


yang bervariasi tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi

PATOGENESIS

LMA adalah adanya blokade maturitas


yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid
terhenti pada sel-sel mrda (bla.st) dengan akibat terjadi
Patogenesis utama

akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi blost dt


dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan

hematopoesis normal dan pada gilirannya akan


mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tllang (.bone
marrow Jailure sy-ndrome) yang ditandai dengan adanya

trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda

sel-sel biast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis

perdarahan, sedang adanya leukopenia akan menyebabkan


pasien rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi opoltunis

yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa


rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel b/asl di jaringan lunak

dari flora bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia.

akan menyebabkan nodul di

Selain itu sel-sel blast yang terbentuk juga punya


kemampuan untuk migrasi keluar sLlmsum tulang cian
berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang,
jaringan lunak dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.

bawahkulit (kloroma). Infiltrasi


sel-sel b/asr di dalam tulang akan menimbulkan nyeri

tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan.


Pembengkakan gusi sering dijumpai sebagai manifestasi
infiltrasi sel-sel Dlast ke dalam gusi. Meskipun jarang, pada
LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah

menings dan untuk penegakan diagnosis diperlukan


pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil

TANDA DAN GEJALA


Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien
LMA tidak selalu dijumpai leukositosis. Ler-rkositosis
terjadi pada sekitar 507o kasus LMA, sedang 157o pasien
mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35olo
pasien mengalami netropenia. Meskipun demikian, sel-sel
blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan
ditemukan pada85Vo kasus LMA. Oleh karena itu sangat
penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di
darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari
kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita

LMA.
Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah,

perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom


kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan di
atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura
atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah

atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina.


Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada
kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling

melalui prosedur pungsi lumbal.

D!AGNOSIS
Secara klasik diagnosis

LMA ditegakkan

berdasarkan

pemeriksaan fisik, morfologi sel dan pengecatan sitokimia.


Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun
yang lalu berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru:

immunophenotyping dananalisis sitogenetik. Berdasarkan

pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia,


gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris
pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri
dari 8 subtipe (M0 sampai dengan M7, Tabel 2). Klasifikasi
ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (FrenchAmerican
British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi
diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting
untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SBB) dan
mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia
tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA
tipe Ml, M2, M3, M4 dan M6.

t236

HEMATOLOGI

teknik pengecatan modern yang dikembangkan

sitogenetik: t(15;11), inv (16), t (16;16) atau del (l6q) dan


t (8;21) yang tidak disertai de1(9q) ataukelainan karyo-

berdasarkan reaksi antigen dan antibodi. Diketahui bahwa

type yang kompleks mempunyai prognosis yang baik

Pemeriksaan penentuan imunofenotip adalah suatu

permukaan membran sel-sel darah mengekspresikan


antigen yang berbeda-beda tergantung dari jenis dan
tingkat diferensiasi sel-sel darah tersebut. Sebagai contoh
sel limfosit mengekspresikan antigen yang berbeda
dengan sel granulosit maupun sel trombosit dan eritrosit.
Demikian pula limfosit B mempunyai ekspresi antigen yang

berbeda dengan limfosit T. Selain

itu sel-sel b/ast

mengekspresikan antigen yang berbeda dengan sel-sel


leukosit yang lebih matur seperti promielosit dan mielosit.
Bila antigen yang terdapat di permukaan membran sel
tersebut dapat diidentifikasi dengan antibodi yang
spesifik, maka akan dapat dilakukan identifikasijenis sel
dan tingkat maturitasnya yang lebih akurat. Identifikasi
sel dengan teknik immunophenotyping biasanya diberi
label CD (cluster ofdifferentiation). Saat ini terdapat lebih
dari 200 CD yang menjadi penanda berbagai jenis dan
tingkat maturitas sel-sel darah. Selain berfungsi sebagai

(favourable); pasien dengan kelainan sitogenetik +8, -Y

+6,del(l2p) atatkaryotype yang normal mempunyai prognosis yang sedang (intermediate), sedangkan pasien
dengan kelainan sitogenetik-5 atau del (5q),-7 atau del (7q),
inv (3q), del (9q), t (9;22) dan karyotype yarrg kompleks

mempunyai prognosis yang buruk (unfavourable). Profil


kelainan sitogenetik pada pasien LMA juga mempunyai
implikasi terhadap terapi sebab dewasaini, meskipun masih
kontroversial, telah dikembangkan strategi terapi pada
pasien LMA berdasarkan profil sitogenetik pasien (lihat
terapi).
Berdasarkan profil kelainan sitogetik pasien, WHO
mengajukan usulan perubahan klasifikasi LMA, yang telah
diadopsi di banyak negara (Tabet 1). Pada Tabel 2 dapat

dilihat kesepadanan diagnosis LMA berdasarkan


klasifikasi FAB dan analisis sitogenetik.

alat diagnosis, teknik immunophenotyping juga


mempunyai nilai prognostik dan terapi. Sebagai contoh,
pasien LMA yang mengekspresikan CD7 mempunyai

prognosis yang jelek sedang pasien LMA yang


mengekspresikan CD2 mempunyai prognosis yang lebih
baik. Saat inijuga sedang dikembangkan terapi antibodi

yang secara spesifik mempunyai target terapi CD33,


gemtuzumab osagamicin, yang diindikasikan bagi pasien
usia lanjut yang mengekspresikan CD33.
Analisis sitogenetik pada keganasan hematologi telah
dimulai sejak awal 1960 dan berkembang lebih pesat sejak
awal l980an. Terdapat 2 kelainan dasar sitogenetik pada

LMA

LMA: kelainan yang menyebabkan hilang atau


bertambahnya materi kromosom dan kelainan
menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa
menyebabkan hilang a[au bertambahnya materi kromosom.
Kelainan pertama dapat berupa kehilangan sebagian dari

materi kromosom (delesi/del) atau hilangnya satu materi


kromosom secara utuh (monosomi). Penambahan materi
kromosom juga dapat bersifat sebagian (duplikasi/d) atau
bertambahnya satu atau lebih materi kromosom secara utuh

(trisomi, tetrasomi). Kelainan kedua berupa perubahan


kromosom seimbang dalam bentuk perubahan resiprokal
antara dua atau lebih kromosom (translokasi/t) atau
perubahan pada berbagai bagian dalam satu kromosom
(inversiiinv).
Kelainan sitogenetik t (8,21), t (15,17), inv (16)/t dan
translokasi 11q23 merupakan kelainan sitogenetik yang
dijumpai pada2lVo-28Ea pasiet LMA dewasa. Kelainan
sitogenetik lain yang dijumpai dalam jumlah cukup
signifikan pada pasien LMA adalah trisomi, delesi dan
kelainan karyotype yang kompleks (mempunyai kelainan
sitogenetik 3 atau lebih). Kelainan sitogenetik pada pasien
LMA mempunyai nilai prognostik. Pasien dengan kelainan

LMA dengan translokasi sitogenetik rekuren


LMA den gan t(8;21)(q22;q2), AML 1 (CB Fa)rETO
A PL d en gan t(1 5

;1

7)( q22 ;q

1 1

2)

an vari an-varian nya,

PMLTRARA
LMA dengan eosinofil sumsum tulang abnormal dengan
inv (1 6)(p1 3q22) atau t( 1 6; 1 6Xp1 3;q1 1 ), CBFPI MHY1 1
LMA dengan abnormalihs 11q23 (MLL)
LMA dengan multilineage dysplasia
dengan sindrom mpl odi splasia
tanpa sindrom myelodisplasia
LMA dan sindroma myelodisplastik yang berkaitan
dengan terapi akibat obat alkilasi akibat
ep ipodof iloto ks n (beb erapa me rupakan kela ina n
limfoid) tipe lain
LMA yang tidak terspesifikasi
LMA diferensiasi minimal
LMA tanpa maturasi
LMA dengan maturasi
LMA dengan diferensiasi monositik
Leukemia monositik akut
Leukemia eritroid akut
Leukemia megakariositik akut
Leukemia basof ilik akut
Panmielosis akut den gan mi elof ibrosis

TERAPI
Bila memungkinkan terapi LMA direncanakan untuk tujuan
kuratif. Penderita yang mempunyai peluang besar untuk
mencapai tujuan kuratif adalah mereka yang berusia < 60
tahun, tanpa komorbitas yang berat serta mempunyai profil

sitogetik yang favorable (llhat bawah). Untuk


mendapatkan hasil pengobatan yang maksimal, sangat
penting untuk melakukan skrining awal dengan teliti
sebelum pengobatan dimulai. Skrining awal ini, terutama
ditujukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya infeksi,

1237

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT

Subtipe
FAB

Mo

Nama Umum
(% kasus)

Hasil Pengecatan
Myeloper Sudan Esterase

Oksidase Black non-spesifik

Translokasi dan
penyusunan kembali

(1%)

inv(3q26) dan t(3;3)

M2

Leukemia mieloblastik dengan


maturasi (25-30%)

t(B:21) (40%) t(6;e) (1%)

M3

Leukemia promielositik akut (5-

t(15;17) (98%) t(1 1 ;17)


(1o/")t(5,17) (1'/")

10o/.)

M4

Leukemia mielomonositik akut


(20o/")

11q23 (20%)
inv(3q26) &

M4Eo

Leukemiamielomonositik

inv(1 6),t(16,1 6)

(80%)

M5

dengan eosinofil abnormal


(5-10%)
Leukemia monositik akut

M6
M7

Eritroleukemia
(3-5%)
Leukemia megakariositik Akut
(3-12%)

EV1

AMLl-ETO,
DEK-CAN

t(3;3) (3%),

(2-9o/o)

terlibat

(% kasus)

Leukemia mieloblastik akut dg


diferensiasi minimal (3%)
Leukemia mieloblastik akut tanpa
maturasi
(15-20%)

M1

Gen yang

PML-RARn
PLZFRARg,
NPM
RARcr
MLL,

DEC-KAN
EV1.I

cBFBMYHl 1

11q23 (20%)
t(8,16) (2%)

MLL,

t(1 ,22) (5'/")

tdk diketahui

. sel positif terhadap cr-naftilasetal dan glikoprotein trombosit llb/llla atau antigen yang berkaitan dengan faktor Vlll
dan negatif terhadap naftilbutirat (Sumber: Referensi no. 13)

gangguan fungsi jantung (regimen terapi standar LMA


mengandung preparat golongan antrasiklin yang bersifat

kardiotoksik) dan adanya koagulopati yang sering


ditemukan pada penderita LMA. Selain itu, penderita yang
mempunyai angka leukosit pra-terapi yang sangat tinggi

(>100.000imm3), mungkin memerlukan tindakan


leukoparesis emergensi untuk menghindari leukostasis dan
sindrom tumor lisis akibat terapi induksi. Sangat penting
untuk mengingatkan agar terapi LMA sebaiknya dilakukan
di rumah sakit yang mempunyai tim leukemia yang bersifat
multi-disiplin, sarana laboratorium mikrobiologi yang
memadai, akses untuk transfusi darah yang lengkap serta
ruang steril/semi-steril untuk pelaksanaan pengobatan.
Tanpa prasarana tersebut angka kematian saat pengobatan
akan sangat tinggi.
Untuk mencapai hasil pengobatan yang kuratif harus
dilakukan eradikasi sel-sel klonal leukemik dan memulihkan
hematopoesis normal di dalam sumsum tulang. Survival

jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang


mencapai remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu
diturunkan karena alasan adanya sitopenia, karena dosis
yang diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek samping
berat berupa supresi sumsum tulang, tanpa punya efek
yang cukup untuk mengeradikasi sel-sel leukemik maupun
untuk mengembalikan fungsi sumsum tulang.
Eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, memerlukan

strategi pengobatan yang baik. Umumnya regimen


kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari dua fase: fase
induksi dan fase konsolidasi. Kemoterapi fase induksi
adalah regimen kemoterapi yang intensif yang bertujuan
untuk mengeradikasi sel-sel leukemik secara maksimal
sehingga tercapai remisi komplit. Istilah rernisi komplit
digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah
tepi kembali normal serta pulihnya populasi sel di sumsum
tulang termasuk tercapainya jumlah sel-sel D/asr <5Vo.Petlu
ditekankan di sini, meskipun terjadi remisi komplit tidak
berarti bahwa sel-sel klonal leukemik telah tereradikasi
seluruhnya, karena sel-sel leukemik akan terdeteksi secara
klinik bila jumlahnya lebih dari 109 log sel. Jadi pada kasus
remisi komplit, masih tersisa sejumlah signifikan sel-sel
leukemik di dalam tubuh pasien tetapi tidak dapat dideteksi.

Bila dibiarkan, sel-sel ini berpotensi menyebabkan


kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh karena
itu, meskipun pasien telah mencapai remisi komplit perlu
ditindak lanjuti dengan program pengobatan selanjutnya

yaitu kemoterapi konsolidasi. Kemoterapi konsolidasi


biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan
menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama
atau lebih besar dari dosis yang digunakan pada fase
induksi.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, tujuan utama
pengobatan LMA adalah untuk mengeradikasi sel-sel

1238

HEMATOLOGI

leukemik di dalam sumsum tulang. Tindakan ini juga akan


mengeradikasi sisa-sisa sel hematopoeisis normal yang
ada di dalam sumsum tulang, sehingga pasien LMA akan
mengalami periode aplasia pasca terapi induksi. Pada saat

pasien usia tua.

tersebut pasien sangat rentan terhadap infeksi dan


perdarahan. Pada kasus yang berat kedua komplikasi ini

Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi


intensif dan/atau HSCT untuk mencapai remisi komplit

dapat berakibat fatal. Oleh karena itu terapi suportifberupa


penggunaan antibiotika dan transfusi kotlponen darah
(khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat penting
untuk menunjang keberhasilan terapi LMA.
Terapi pada LMA dibedakan menjadi 2 yaitu terapi

kedua atau hanya diberikan perawatan suportif.

untuk LMA pada umumnya dan terapi khusus untuk


leukemia promielosi

ti

k akut (LPA).

Terapi LMA pada Umumnya (Tabel 3)


Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan
regimen sitarabin dan daunorubisin dengan protokol
sitarabin 100 mg/m2 diberikan secara infus kontinyu selama
7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2lhari iv selama 3 hari.
Sekitar 30-40Vo pasien mengalami remisi komplit dengan
terapi sitarabin dan daunorubisin yang diberikan sebagai
obat tunggal, sedang bila diberikan sebagai kombinasi
remisi komplit dicapai oleh lebih dari 607o pasien. Bila

terdapat residual disease pada hari ke-28 perlu


dipertimbangkan adanya gagal terapi primer dan perlu
dimulai terapi alternatif dengan regimen lain.

remisi ditentukan berdasarkan usia dan laktor prognostik,


terutama profil sitogenetik. Sebagian besar pasien usia
muda memberikan respons yang lebih baik dibanding

Pencapaian remisi komplit kedua tidak begitu dipengaruhi


karakter sitogenetik, namun lebih dipengaruhi oleh durasi
remisi komplit pertama, usia, dan ada tidaknya komorbiditas
aktif. Durasi median remisi komplit kedua umumnya kurang
dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease-fre suryival
kurang dari l0 bulan. Survival meningkat bila sebelumnya
pasien telah menjalani HSCT alogenik, namun donor untuk
prosedur tersebut umumnya terbatas.

Terapi Leukemia Promielositik Akut


Insidensi LPA sebesar l0-157o pasien LMA. Penyakit ini
ditandai dengan kelainan sitogenetik berupa t ( 1 5; 1 7) yang
dijumpai pada sekitar 907o kasus. Kelainan sitogenetik t
(15;17) akanmenyebabkan fusigen PML dan RAR, menjadi

gen PML-RAR. Fusi gen PML-RAR mengakibatkan


blokade maturitas pada seri promielosit sehingga terjadi
LPA. Kini dikembangkan suatu obat yang disebtt all-trans
retinoic acid (AIRA) yang menjadikan fusi gen PMLRAR sebagai target aksi kerjanya. Pengobatan LPAdengan
ATRA menghasilkan angka kesembuhan lebih daril)Vo.

LPA merupakan predisposisi untuk terjadinya


Sitogenetik

Awal

Kemoterapi
lnduksi

Terapi Post Remisi


Donor

HLA

Tidak ada donor

ses uat

Favorable

Standar 7+3

lntermediate StandarT+3

Unfavorable StandarT+3

HDACx
3-4 siklus, atau
2-3 siklus
diikuti HSCT
otolog
HSCT alogenik
Sesegera
mungkin atau
HDACx 2-4
siklus
HSCT alogenik
Sesegera
mungkin

HDACX
3-4 siklus, atau

2-3 siklus
diikuti HSCT
otolog
HDACx
2-4 siklus
+ HSCT otolog

HDACx
2-4 siklus
HSCT otolog

Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung


pemakaian antrasiklin merupakan kontra indikasi terutama
bila terdapat riwayat miokerd infark dan fraksi ejeksi kurang
dari 50Vo. Pilihan terapi pada kondisi ini ad,alah High futse
cytarabine (ara-C)/HDAC. Regimen terapi yang dipakai
pada HDAC adalah sitarabin2-3 glm2 infus iv selama 1-2
jam tiap 12 jam selama l2 dosis atau sitarabin 2-3 g/m2
selama 2jam setiap 12jampadahari 1,3, dan 5.

Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa


kemoterapi konsolidasi, transplantasi sel stem
hematopoetik (hematopoetic stem cell transplantionl
HSCT) otolog, atau HSCT alogenik. Jenis terapi padapasca

koagulopati yang dalam hal ini diakibatkan oleh kombinasi


antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan
manifestasi koagulopati harus segera mendapat terapi
induksi (ATRA). Pada pasien yang mengalami perdarahan
yang tidak terkendali (setelah terapi transfusi) dapat
diberikan e -aminocap roic ac id (EACA) dan tranexamide

acid.
Terapi induksi LPA terdiri atas kombinasi ATRA plus

kemoterapi berbasis antrasiklin. Antrasiklin dapat


menginduksi remisi pada 60-907o pasien bila digunakan
sebagai obat tunggal. Sel leukemik pasien LPA sensitif
terhadap antrasiklin karena rendahnya ekspresi Pgp dan
petanda resistensi lainnya pada sel-sel LPA dibanding
dengan subtipe LMA lainnya.

AIRA

adalah suatu derivatif

vitamin Ayang mampu menginduksi remisi klinis dengan


mengaktifkan maturasi sel tanpa menyebabkan hipoplasia
sumsum tulang. Sebagai obat tunggal AIRA menginduksi
remisi pada 72-817o pasien. Umumnya ATRA mulai
diberikan dalam 2-3 hari pertama pada pasien dengan
perdarahan berat untuk mengatasi koagulopati pada LPA
sebelum mulai dengan terapi berbasis antrasiklin. Cara ini
akan menyebabkan angka lekosit menjadi tidak terlalu tinggi
lagi. Selain itu cara ini menurunkan insidens sindrom asam

retinoid (retinoic acid syndromeiRAS).


Terapi induksi menggunakan ATRA 45 mg/m2lhari per
oral yang terbagi dalam 2 dosis setiap hari sampai remisi

t239

LEUKEMIA MIELOBI.ASTIK AKUT

komplit plus derivat antrasiklin, daunorubisin 50-60 mg/


m2lhai selama 3 hari atau idarubisin 12 mg/m2ftrari selama

strategi pengobatan dengan sasaran yang spesifik

induksi dilanjutkan dengan terapi konsolidasi

(targeted therapy). Obat-obat ini didisain untuk mentarget


protein-protein tertentu yang mempunyai peran pada

dengan kemoterapi berbasis antrasiklin dan terapi

proses leukomogenesis. Oleh karena sifatnya yang

pemeliharaan dengan menggunakan AIRA.


RAS dapat terjadi pada 10-15Vo pasien dan umumnya
terjadi 7 -14 hari setelah terapi AIRA. RAS jarang terjadi
selama penyembuhan akibat aplasia setelah kemoterapi
dan selama terapi pemeliharaan. RAS adalah suatu sindrom
kebocoran kapiler dengan manifestasi demam, distres
respirasi, dan munculnya infiltrat pada paru. Dapat juga
terjadi peningkatan berat badan, efusi pleura atau efusi
perikard, dan gagal ginjal. Lekositosis berat merupakan
faktorprognostik walaupun RAS sering juga terjadi pada
lekopenia. Bila angka lekosit lebih dari 5.000-10.000/uL,
AIRA dan kemoterapi diberikan bersama-sama pada saat
awal terapi. Bila saat monoterapi ATRA terjadi lekositosis

spesifik, obat-obat ini umumnya mempunyai profil efek


samping yang lebih ringan dibandingkan kemoterapi.
sehingga diharapkan dapat digunakan secara aman pada
pasien LMA yang tidak mampu menghadapi terapi yang
agresif, seperti pasien LMA usia geriatrik. Salah satu obat
yang sedang dikembangkan saat ini adalah anti-FLT3,
suatu protein trans membran yang berfungsi sebagai
enzym tirosine kinase dan diekspresikan pada lebih dari
907o kasus LMA. Pada pasien LMA, sekitar 307o protein

4 hari. Terapi

lebih dari I 0.000/uL induksi kemoterapi harus

segera

dimulai. Tanpa melihat angka lekosit dan kemungkinan


sepsis netropenia, bila terdapat sesak dan infiltrat paru,
dengan atau tanpa demam, terapi deksametason harus
segera diberikan (10 mg

iv

kali sehari). TerapiAIRAdapat

dihentikan sampai RAS menunjukkan perbaikan.

Sekitar 207o-30Vo pasien LPA yang mecapai remisi


komplit dengan terapi berbasis AIRA akan mengalami
relaps dan umumnya kelompok pasien ini juga resisten
terhadap terapi ATRA yang berikutnya. Arsenik, suatu
racun yang sudah digunakan sebagai obat pada
pengobatan tradisional Cina sejak beberapa abad yang
lalu, saat ini diketahui mempunyai efek pengobatan yang
positif pada pasien ATRA yang relaps atau resisten
terhadap terapi AIRA. Salah satu komponen arsen yang
sering digunakan di dalam klinik untuk terapi LPA yang
relaps atau resisten terhadap ATRA adalah arsenic
trioxide (ATO). Sebagai terapi LPA, ATO mempunyai
mekanisme kerja: memacu degradasi fusi protein PMLRAR (khususnya protein PML, menginduksi apoptosis.
memacu diferensiasi sel - sel leukemik serta menghambat
apaoptosis. AIO umumnya diberikan dengan dosis 0,15
mg per KG BB melalui infus 3 jam hingga tercapai remisi
komplit dengan maksimal pemberian 50 hari. Pada pasien
LPA relaps, terapi AIO menghasilkan respon sebesar 707a

FLT3 mengalami mutasi dan mutasi tersebut menyebabkan


proliferasi yang tidak terkendali. Selain itu diketahui pasien
LMA dengan ekspresi LFT3 mutan mempunyai prognosis
yang lebihjelek. Pada penelitian pendahuluan terapi antiFLI3 menghasilkan respons sebesar l87o-257o dengan efek
samping yang ringan. Beberapa targered the rapy lain yang

dikembangkan adalah : obat yang mentarget mutasi

protein RAS yang ditemukan pada sekitar

107o-15%o

penderita LMA, obat yang mentarget nutasi protein


c-KIT yang sering ditemuakn pada penderita LMA dengan
kelainan sitogenetik invl6 dan obat yang mentarget selpunca (.stem-cells) LMA. Penggunaan targeted therapy
pada klinik praktis masih menunggu hasil penelitianpenelitian dengan desain yang lebih baik dan berskala
besar.

REFERENSI
Abraham J, Monahan

BP The acute leukemias In: Abraham

Allegra CJ, editors. Handbook of clinical

J,

oncology

Philadelphia: Lippincot Williams&Wilkins; 2001. p. 271-85.


Appelbaum FR. lmpact of age on the biology of acute leukemia.
Educational book of the 41st Annual A.SCO Meeting. 2005. p.

528-32.
Arber DA. Steirl AS, Carter NH, et al. Prognostic impact of acute

myeloid leukemia classification. Am J Clin

Pathol.

2003;1 19(5):672-80.

DA, Van Puten WLJ, Huijgens PC, et al. Prognostic index


of adult patients with acute myeloid leukemia in first relapse. J

Breems

MASA DEPAN MANAJEMEN LMA

Cli n Oncol. 2005;23 :) 969-7 8.


Brunning RD, Matutes E, Harris NL, et al. Acute myeloid leukemia:
introduction. ln: Jaffe ES, Hanis NL, Stein H & Vardiman JW,
editors. WHO classification of tumours: pathology and genetics
tumours of haematopoietic and Iymphoid tissues. Lyon: IARC

Di masa depan perkembangan ilmu di bidang biologi

Burnett AK & Knapper S Targeting treatment in AML

molekular akan sangat berpengaruh pada penatalaksanaan


LMA. Informasi biologi molekular akan sangat berguna
untuk menentukan prognosis dan strategi terapi yang lebih
baik pada pasien LMA. Sebagai contoh, ekspresi protein
yang berperan pada proses angiogenesis kini diketahui
merupakan faktor prognostik yang independen pada
pasien LMA. Selain itu saat ini sedang dikembangkan

Hematology, 2007
Douer D & Tallman MS. Arsenic trioxide: new clinical experience
with an old medication in hematologic malignancies. J Clin
Oncol. 2005:23 :2396-4 10.
Evens MA and Tallman MS Acute leukemias. In: Skeel RT, editors.
Handbook of cancer chemotherapy. 6th editions. Philadelphia;
Lippincot Williams & Wilkins; 2003. p. 411-59.
Farag SS, Rupelt AS, Mrozek K, et al. Outcome of induction and

hinggal00Vo.

Press;

2001

76-80

L240

HEMr'$OI.OGI

post remission therapy in younger adults with acute myeloid


leukemia with normal karyotype: a cancer and leukemia group
B study. J Clin Oncol. 2005;23:482-93.

Fey M and Dreyling M Acute myeloblastic leukemia in adult


patients: ESMO Clinical recommendations for diagnosis,
treatment and follow-up. Ann Oncol, 2009,20 (Supplement 4):

iv100-iv10l.

prognostic factor for overall survival. J Clin Oncol.


2005:,23:1109-17

I , Martin G et al., Tumor lysis syndrome in


patients with acute myeloid leukemia: identification of risk
factors and developmentof a predictive model. Hematologica,

Montesinos P, Lprenzo

2008, 93 : 67 - 74.
Raffaux E, Rousselot P, Poupon J, et al. Combined treatment with

Grant BW. Acute myelogenous and lymphocytic leukemias. In: Wood

arsenic trioxide and all-trans-retinoic acid in patients with

ME, Philips GK, editors Hematology/oncology secrets. 3rd

relapse acute promyelocytic leukemia. J Clin Oncol.

edition. Philadelphia: Hanley & Belfus; 2003.

114-8.

2003'.21:2326-34.

& Rowe JM. Diagnosis. In: Wiernik


PH, editor Atlas of clinical oncology: adult leukemias. HamiltonLondon: BC Decker Inc.; 2001. p. 63-87.
Stone RM. Targeted therapy in AML. www.medscape.com. 2005.

Horwitz M. Epidemioiogy and genetic of acute and chronic

Sarkodee-Adoo C, Rapoport AP

leukemia. In: Wiernik PH, editor Atlas of clinical oncology:


adult leukemias. Hamilton-London: BC Decker Inc.; 2001. p
1-18.
Loges S, Heil G Bruweleit M, et al. Analysis of concerted expression

Zhen-yi Wang. Treatmet of acute leukemia by inducing

of angiogenic growth factors in acute myeloid leukemia:


expression

of angiopoietin-2

represents an independent

differentiation and apoptosis. Hematology. 2003.

t97
SINDROM DISMIELOPOETIK
AmiAshariati

PENDAHULUAN
Sindrom djsmielopoetik (SDM) atau myelodysplastic syndrome (MDS) primer dalah suatu sindrom yang di tandai
oleh displasi dari sistem hemopoetik (dysmyelopoesis,
dy s e rt h o r o p oes is, dan dy s thr omb o p o e s i s ), b alk tunggal

trombositopenia dan infeksi atau panas yang dikaitkan


dengan leukopenia./ neutropeni juga dapat menjadi keluhan
pasien walaupun sedikit kurang sering. Pada sebagian kecil
dan sangat jarang dari pasien terjadi splenomegali atau

hepatomegali.

maupun campuran, disertai dengan gangguan maturasi dan

diferensiasi. Yang sebabnya belum diketahui. Jika

DIAGNOSIS

penyebabnya diketahui disebut SDM sekunder, misalnya

defisiensi vitamin 812 atau defisiensi asam folat,

Diagnosis SDM dipertimbangkan untuk setiap pasien

pengobatan sitostatik, dan sebagainya.


SDM pada umumnya terjadi pada usia lanjut dengan
rerata umur 60-75 tahun; laki-laki sedikit lebih sering

dewasa yang disertai gejala-gejala sebagai berikut:

daripada perempuan dan penyebabn;ua sampai masih tidak

2.

1. Anemi dan/perdarahan-perdarahan dan/febris yang

diketahui.

SDM primer ini meliputi penyakit-penyakit yang


sebelumnya disebut sebagai preleukemia, smouldering
leukemia, oligoblastic leukemia, hemopoetic dysplasia
sindrom mielodisplastlk, primary acquired sideroblastic
anemia. Manifestasi klinisnya disebabkan karena adanya
sitopeni, baik tunggal maupun kombinasi, yaitu keluhankeluhan anemi yang membangkang, perdarahan karena
trombopeni, dan adanya granulositopeni dengan segala
akibatnya.
Klasifikasi dan kriteria-kriteria SDM ini telah diajukan
oleh Bennet dan Vincent.

MANIFESTASI KLINIS
SDM sering ditemukan pada pasien usia lanjut antara umur
60-75 tahun, dan pada sebagian kasus pada umur <50 tahun
; laki-laki sedikit lebih sering daripada perempuan. Keluhan
dan gejala secara umum lebih dikaitkan dengan adanya
sitopenia. Umumnya datang dengan keluhan cepat lelah,

lesu yang disebabkan anemia. Perdarahan karena

tidakjelas sebabnya dan refrakter terhadap pengobatan.


Pemeriksaan darah tepi menunjukkan adanya sitopeni
dari satu atau lebih dari sistem darah
- Adanya sel-sel muda"/blas dalam jumlah sedikit
(<307o) dengan/tanpa monositosis di darah tepi.

Sumsung tulang dapat hipo, normo, atau

hiperselular dengan disertai displasi sistem


hemopoesis (anomali Pelger-Huet, perubahan

megaloblastik, peningkatan ringan sel-sel blas dan


sebagainya).
Namun gambaran itu tidak dapat dimasukkan dalam

diagnosis yang jelas dan penyakit-penyakit lain


seperti ITP, lekemi, anemi aplastik. Dan lain-lain.
Diagnosis SDM ditetapkan bila ada butir 1 ditambah
paling sedikit tiga dari butir 2.
Sebenarnya untuk diagnosis SDM perlu dibantu
dengan pemeriksaan pembiakan sel-sel sumsum tulang dan

pemeriksaan sitogenetik. Sitogenetik sumsum tulang dapat


memberikan informasi prognosis dan adanya abnormalitas
kromosom yang merupakan kunci untuk membedakan
SDM primer dan sekunder. Kromosom abnormal sumsum
tulang ditemukan pada 3O-50Vo pasien SDM de novo.
Berbagai kelainan sitogenetik pada SDM termasuk delesi,
trisome, monosomi dan anomali struktur (Tabel 1).

t241

1242

HEMAIOI-OGI

Penggolongan SDM menurut knteria FAB ( 1, 1 3) adalah


Re;fractory Anemia (R \), Refractory Anemia with Ringed
Sideroblcist (RARS), Refactory Anemia with Excessive

TATALAKSANA
Beberapa regimen terapi telah digunakan pada pasien SDM,

B/asr (RAEB), RAEB in Tranformation to Leukimia

tetapi sebagian besar tidak efektif di dalam mengubah

(RAEB|,

perjalanan penyakitnya. Karena itu pengobatan pasien SDM

dan Chronic Myelomonocytic Leukemia

(CMML)

(Tabel2).

bergantung pada usia, berat ringannya penyakit dan

Penggolongan lain yang diusulkan WHO untuk


SDM adalah Refractrory anemia (RA), Refractory
anemia with ringed sideroblasts (RARS), Refractory

progresivitas penyakitnya. Pasien dengan klasifikasi RA dan


RAEB pada umumnya bersrfal indolent sehingga tidak perlu
pengobatan spesifik, cukup suportif saja.

cytopenia with multilineage dysplasia (RCMD),

Cangkok sumsum tulang (BM Transplantation)


Cangkok sumsum tulang alogenik merupakan pengobatan
utama pada SDM terutama dengan usia <30 tahun, dan
merupakan terapi kuratif, tetapi masih merupakan pilihan
<5Vo dari pasien.

Refractory anemiawith excess blasl (RAEB-type 1 = 597o blats in blood or marrow andRAEB- type 2 = 1079Vo blats in blood or marrow),5q- syndrome, therapyr e I at e d my e lo dy sp I a s t ic sy ndrome, darr My e I o dy sp I as ti c
syndrome unclassffied.
SDM seharusnya dibedakan dengan myeloproliferative disorder yang lain dan beberapa variasi dari SDM
sekunder termasuk defisiensi nutrisi, proses infeksi, efek
obat dan toxic exposures.

Kemoterapi
SDM tidak dianjurkan untuk diberikan
kemoterapi, umumnya diberikan pada tipe RAEB, RAEBT, CMML. Sejak tahun 1968 pengobatan ARA-C dosis
rendah yang diberikan pada pasien SDM dapat memberikan
respons rate antra 50-7 5Vo dan respons ini tetap bertahan
Pada fase awal dari

2-14 bilan setelah pengobatan. Dosis ARA-C yang


direkomendasi adalah 20 mglm2lhat't secara drip atau 10
mglm2 secara subkutan setiap 72 jam selama 21 hari.
Delesi 5q
Monosomi 7
Trisomi 8
Kehilangan kromosom Y

GM-CSFatauG.CSF
Pada pasien SDM yang mengalami pansitopeni dapat
diberikan GM-CSF atau G-CSF untuk merangsang
diferensiasi dai hematopoetic progenitor cells. GM-CSF
diberikan dengan dosis 30-500 mcg/m2lhari atau G-CSF

Delesi20q
3q rearangements

Berbagai abnormalitas kromosom 11


Berbagai abnormalitas kromosom 17p
Defek kromosom kompleks lain

0- 1 600 mc g/m2 (0. I -0. 3 mcglkgB B/hari/subkutan selama

1-l4han.

Sumber: Fenaux P, Morel P, Lai JL (1996). Cytogenetic of


myelodysplastic syndromes. Semin Hematol; 33:1 27-1 38

LainJain

Piridoksin, androgen, danazol, asam retinoat dapat


digunakan untuk pengobatan pasien SDM. Piridoksin
dosis 200 mgihari selama 2 bulan kadang-kadang dapat
memberikan respons pada tipe RASB walaupun sangat
kecil. Danazol 600 mglhailoral selama 3 bulan dapat

RA

RASB

RAEB

RAEBT

CMML

Leukosit
8/ast (%)
Trombosil

N atau

N atau

<1

<1

N atau

N atau

<5

+++
Eritrosit
<15
Sideroblas (%)
Granulopoesis 0 +
<5
Blast (%)

+++
>15

0+

Trombopoesis

<5-30

<5
N atau

Sumsum Tulang

+++

<15

0+

+++

<5

5-20

0+

+++

+++
<15
+++
20-30
+++

*The descriptions of the


syndromes are f om Bennett et al.
30 FAB de-notes F ench-American-British

Keterangan :
: Refractory Anemia
RASB : Refractory Anemia with Rrnged Slderob/asts
RAEB : Refractory Anemia with Excesslve 8/asts
RAEBT : RAEB in transformation to Leukemia
CMML : Chronic Myelomonocytic Leukemia

RA

meningkatkan trombosit terutama pada SDM tipe


trombopeni.

Darah Tepi
Hb

++
<15
++++

5-20

l3-cis retinoic acid dengan dosis 1.0 mg/kgBBAari/


oral dapat memberikan response rate 2l-33Vo setelah 3
minggu pengobatan.

PROGNOSIS

+++

Pada sebagian besar SDM mempunyai perjalanan klinis


menjadi kronis dan secara beftahap terjadi kerusakan pada
sitopeni. Survival sangat bervariasi dari beberapa minggu
sampai beberapa tahun. Kematian dapat terjadi pada30Vo

pasien yang progresif menjadi AML (Acute Myelocytic


Leukemia) atat bone marrow failure (Thbel 3). Indikator
prognosis baik dan buruk dari SDM (Tabel4 dan 5).

1243

SINDROM DISIMIELOHOETIK

Klasifikasi WHO

Klasifikasi FAB

Prediksi
Survival

Karakteristik

blasts

Refractory anemia with


excess blasts-2 (RAEB-2)

10-'19% marrow
< 5% peripheraFblood blasts
2/3 cylopenia

10 bulan

Myelodysplastic syndrome,
unclassified (MDS-U)

1/3 cylopenia
abnormal white or
megakaryocyte cells
< 5% marrow blasts

Not listed

MDS associated with isolated


del(5q)

anemia

deleted chromosome

8 bulan

Refractory anemia with


excess blasts in
transformation (RAEB-D

Acute myeloid leukemia


(AML) with multi-lineage
dysplasia following a
myelodysplastic syndrome

5q
blasts

20-30% marrow
> 5% peripheral-blood blasts

6 bulan

Chronic
myelomonocylic
leukemia (CMML)

Myelodysplastic/
myeloproliferative diseases
(l\,lDS/MPD)

absence of
chromosome
< 200/o fildfto\N and pedpheral-blood blasts
dysplasia of one cell line

Philadelphia

18 bulan

Refractory
anemra

Refractory anemia

< 5% marrow blasts


no peripheral-blood blasts
anemra

5 lahun,

Refractory anemia with


ringed sideroblasts
(RARS)

Refractory anemia with


ringed sideroblasts

< 5% marrow blasts


no peripheraFblood blasts
anemra
> 1 5% marrow red-cell
precursors with ringed
sideroblasts

5 tahun,

Refarctory cytopenia with


multilineage dysplasia
(RCMD)

213 or 313 cytopenia

2 tahun,

Refarctory cytopenia with


multilineage dysplasia and
ringed sideroblasts

213

ot 313 cytopenia
dysplasia of two cell types
< 5% manow blasts
> 15% marrow red-cell
precursors with ringed
sideroblasts

2 tahun,

Refractory anemia with


excess blasts-1 (RAEB-1

5-9% marrow blasts


< 5% peripheral-blood blasts
2/3 cytopenia

1 tahun,

Refarctory cytopenia
with excess blasts
(RAEB)

9 tahun'

9 bulan

9 bulan

dysplasia of two cell types


< 5% marrow blasts

bulan

8 bulan

6 bulan

GOOD
FAB Type
(% of patients)
RA (28)
RARS (24)
RAEB (23)

RAEB-T (s)

cMML (16)

.
Leukemrc
Evorution

Median

(%) &:Til:i

Survival
Range

(Months)
1 B-64
14-76+

12

50

51

44

11

7-16

11

2.5-11
9-60+

60
14

Source: Cancer Genet Cytogenet. 1998; 32:

'1-9

Younger age
Normal or moderately reduced neutrophil and platelet counts
Low blasts counts in the bone marrow and no blasts in the
blood
No Auer rods
Ringed sideroblasts
Normal karyotypes or mixed karyotypes withouts complex
chromosome abnormalities
ln vitro bone marrow culture reveals nonleukemic growth
pattern
POOR
Advanced age
Severe neutropenia (<0.5x1 03/mm3) or thrombocytopenia
(<50x'103/mm3)
High blasts count in BM or blasts in peripheral blood
Auer rods
Absence of ringed sideroblasts

t244

HEMATOI.OGI

REFERENSI

J (1998). Allogeneic bone marrow


for myelodysplastic syndromes:outcomes

Appelbaum FR,Anderson

transplantation

analysis according to IPSS score.Leukemia

; l2:Suppl 1:S25-

s29.

Bennet Jm, Catovsky D, Daniel MT, Flandrin G, GaltonDAG,


Bralnick HR, Sultan C (1982). Proposals for the classification

of myelodysplastic syndrom, Brit J Haematol. 51:189-99.


Greenberg P, Cox C, LeBeau MM, et al. (1997). International
scoring system for evaluating prognosis in myelodysplastic
syndromes. Blood; 89: 20'79-2088.
Hellstrom-Lindberg E,Ahlg en T,Beguin Y,et al. (1998).Treatment
of anemia in myelodysplastic syndromes with g anulocyte
colony-stimulating factor plus erythropoietin:esults f om a
andomized phase II study and long-term follow-up of 71
patients.Blood; 92:68 75.
Hellstrom E,Roberl KH,Gahrton Get aI. (1988). Therapeutic effects
of low-dose cytosine arabinoside,alpha-interferon, 1 alphahydroxyvitaminD3 and etinoic acid in acute leukemia and
myelodysplastic syndromes.Eur J Haematol ; 40:449-59.
HofmannWK, Ottmann OG, Ganser A, Hoelzer D (1996).
Myelodysplastic syndromes:clinical features.Semin Hematol;
33:177 -85.
Khouri IF,Keating M,Ktirbling M,et a1. (1998). Transplantlite:induction of graft-versus-malignancy using fl udarabine-based
nonablative chemotherapy and allogeneic blood progenitorcell transplantation as treatment for lymphoid malignancies. J
Clin Oncol.; 16:2817 -24.
Kjeldsberg CR, Elenitoba-Johnson KSJ, et

al

(2000). Myelodysplastic

Syndromes in: Practical Diagnosis of Hematologic Disorders.


3'd edition. Editor: Kjeldsberg CR. ASCP Press (American
Society of Clinical Pathologists) Chicago, Illinois. Pp 369-430.
Koeffler HP,Heitjan D,Mertelsmann R,et a1. (1998). Randomized
study of 13-cis etinoic acid v placebo in the myelodysplastic
disorders.Bloodl 7 1 :703-8.
Mark LH , and David WG (1999). Myelodysplasia. New England
Journal of Medicine, May 21 , Vol. 340 No. 2 I : 1649- 1660.
Michaux JL, Martiat P(1993). Chronic myelomonocytic leukemia

(CMML)-a myelodysplastic or
syndrome?Leuk Lymphoma; 9:35-41.

myeloproliferative

Molldrem JJ, Caples M, Mavoudis D, Plante M, Young NS, Barett


AJ. (1997). Antithymocyte globulin for patients with
myelodysplastic syndrome. Br J Haematol ; 99: 699-105.
Morel P,Declercq C,Hebbar M,Bauters F,Fenaux P (1996) P ognostic
factors in myelodysplastic syndromes:critical analysis of the
impact of age and gender and failure to identify a very-low-risk
g oup using standard mortality atio techniques.Br J Haematol :

94 ll6-9.
Nevill TJ,Fung

HC,Shepherd JD,et al. (1998). Cytogenetic


abnormalities in primary myelodysplastic syndrome are highly
predictive of outcome after allogeneic bone marow
transplantation. Blood ; 92: I 9l 0-7.
Neg in RS,Haeuber DH,Nagler A,et al. (1990). Maintenance
treatment of patients with myelodysplastic syndromes using
ecombinant human granulocyte colony-stimulating factor.
Blood:76:36-,13.
Oscier DG (1999). The Myelodysplastic syndromes in:
Postgraduate Hematology 4'h edition. Editors : HofTbrand AY
lewis SM. Tuddenham EGD. Reed Educ.and Professional Publ.

Ltd, Italy; pp 445-461.


Parker JE,Pagliuca A.Mijovic A,et al. (1997) Fludarabine,cytarabine,

G-CSF and idarubicin (FLAG-IDA)for the treatment of


poor-risk myelodysplastic syndromes and acute myeloid
leukaemia.Br J Haematol: 99:939-44.
AP Sindroma mielodisplastik (SMD) (1985) Medika 9:826.

Pradono

Saarni MJ,Linman JW (1971). Preleukemia: The hematoiogic


syndrome preceeding acute leukemia. Am J Clin Pathol 55:28390.
Saitoh K,Miura I,Takahashi N,Miura AB (1998) Fluorescence in
situ hybridization of progenitor cells obtained by fluorescenceactivated cell sorthing for the detection of cells affected by

chromosome abnormality trisomy

8 in patients

wi th

myelodysplastic syndromes. Blood; 92:2886-92.


Soebandiri. Santoso Nugrahi, Boediwarsono (1986). Perjalanan
Penyakit dan Kemampuan Hidup (survival ) dari Pasien Sindrom
Dismielopoetik Primer di Seksi Hematology Lab I Penyakit
Dalam FK Unair / RS Dr Sutomo Surabaya. Konas PHTDI Y
Semarang 14-16 Oktober

198
DASAR-DASAR BIOLOGIS
LIMFOPROLIFERATIF
Amaylia Oehadian, Trinugroho Heri Fadjari

PENDAHULUAN
SAGEs
Mature

Kelainan limfoproliferatif yaitu leukemia limfoid dan


limfoma maligna merupakan keganasan sel limfoid yang

OF

NORMAL BCELL DIFFESENA

,j[i:1]il

/a\

NON

D,trerenrarinqB

strretory

.6)6)K)
.---:O
@

terjLrdi pada tahap diferensiasi yang berbeda. Pada tahap


perkembangan sel pre-B dan pre-T pada sumsum tulang.
ke-uanasan yang terjadi adalah limfoblastik lekemi sel

prekursor B dan T vang bermanif-estasi di sumsum tulang.


Sebaliknya, pada limfoma maligna terjadi perubahan
keganasan dari sel limfoid yang terdapat terutama pada
jaringan limfoid. Meskipun leukemia dan limfoma keduanya
melibatkan organ retikuloendotelial, mereka berbeda secala
klinis dan biologis. Pengetahuan biologik tentang kelaintrn
limfoprolif'eratif menj adi dasar pemahaman patogenesi s.
diagnosis dan terapi.

Resung B cell anrqens: CD:


2T 22, 24 slgM slgD

lra/]8

Non - Hodgkin's Lymphomas


B

CELL

MALIGNANCIES

Gambar 1. Keganasan sel limfosit B dan tahap perkembangan


sel

PERKEMBANGAN LEUKEMIA DAN LIMFOMA


BERDASARKAN DIFERENSIASI SEL

sel T adalah CD2 dan CD7. Pada Gambar 2 dapat dilihat


hr-rbungan antara keganasan sel T dan tahapan

perkembangan sel T.

Leukemia dan Limforna Sel

B
Delapan pulLrh fers,'rr lirrl.r,ruu limfoblastik dan 907c limlbma
non-Hodgkrrr s berasal dari sel B. Hal ini didasarkan pada
didapatkannya ekspresi antigen B-lineoge-restrictecl dan
ilonal rearrangemen.ts gen imunoglobulin rantai berat dan
ringan. Keganasan-keganasan ini berhubungan dengan
subpopulasi sel pre-B dan sel B matur dan secara klinis
dibedakan menjadi indolen dan agresif. Pada Garnbar 1
dapat dilihat keganasan sel limtbsit B dan hubungannya
dengan tahap perkembangan sel.

Leukemia dan Limfoma Sel Natural Killer


(NK)
Neoplasma sel NK merupakan neoplasma yang jarang
ditemukan. Sel NK berasal dari sel induk pluripoten dan
berhubungan dengan sel limfosit T yang berkembang
secara terpisah pada tahap tertentu. Sel NK dibedakan
dengan sel T secara imunologis. Sel NK tidak mempunyai
TCR (T cell receptor) gene rearuangement, protein TCR,
CD3 dan biasanya tidak mempunyai CD5. Sel NK biasanya

Leukemia dan Limfoma Sel T

1y'K-a ssociated antigen (CD16,CD56,


CD57).']Klasifikasi neoplasma sel NK dapat dilihat pada

Antigen sel T yang terbanyak diekspresi sebagai petanda

Tabel 1.

rnempunyai ekspresi

124

t246

HEMAIOI,.OGI

IMUNOGLOBULTN (rG) DAN T CELL RECEPTOR


TCELL

TCELL DIFFERENTI ATION

CD:

2.

2.3.

418. 5,

Sebagian besar keganasan limfoid berasal darj sel B atau


T yang telah mengalami clonal immunoglobulin atau TCR
rearrangement yarrg fisiologis. Karena itu, identifikasi

[.4anority of T- ALL
fi,4ajority of T- ALL

clonal Ig/TCR rearrangement (lymphoid clonality)


digunakan untuk membantu diagnosis dan pemantauan

Manority of T- ALL
Rare T-ALL

6, 7; TCR

l\.4ajority

Gene Bearuangement

ol

T-CII,CTCL
Sezary Cell,NHL

B di sumsum tulang dimulai dengan


pembentukan gen-gen rntuk variable region antibodi
Perkembangan sel

CD:234567:TCR
l\y'inority

rantai ringan dan berat pada progenitor sel B melalui proses

of

T-CLL NHI]

yang disebut V(D)J (Variable-Diversity-loining)


recombination. Pada proses ini, DNA yang terletak di

7; TCR

antara bagian gen mengalami delesi. Gen-genpadavariable

Gambar 2. Diferensiasi dan keganasan sel T

lmatur
Myeloid/NK cell precursor
acute leukemia

Matur
Leukemia :
lndolent : Large granular
lymphocyte (LGL) leukemia
Agresif : NK-cell leukemia
Nasal/nasal type Nl(T cell
lymphoma

.
.

Blastic NK-cell lymphoma

terapi.

Perkembangan Sel B dan lmmunoglobulin

PERIPHERAL

CD:2,3,4,5,6,

(TCB) REARBANGEMENT

Manority of
T CellALL
7.38.71

oo

CD:

MALIGNANCIES

region immwoglobulin rantai ringan (k atau l) terbentuk


dari elemen V dan J, sedangkan pada imunoglobulin rantai
berat, variable regbn terbentuk dari elemen V D dan J.
Proses rekombinasi ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Terdapat bermacam-macam segmen V D dan J pada gernt

llne sehingga setiap sel B memiliki gen tertentu untuk


variable region yang berbeda satu sama lain dan
mengkode antibodi yang berbeda. Gene rearrangement
ini juga membuat setiap sel B mempunyai petanda klonal
tersendiri yang penting dalam analisis limfoma sel B.

Nasal dan Nasal Type NK-cell Neoplasma, Merupakan


neoplasma sel NK yang paling sering ditemukan dengan
karakteristik adanya pola pertumbuhan angiosentrik/

angiodestruktif dengan nekrosis zorral. Tumor ini


mempunyai predileksi pada kavitas nasal dan sinus

Light chain (K)

53

paranasal. Sering disebut }uga lethal midline granuloma


atau polimorfik retikulosis. Na sal type limfoma memptny ai

gambaran histologis yang sama, tetapi berasal dari


ekstranodal seperti kulit, traktus gastrointestinal, testis,
ginjal, traktus respiratori bagian atas dan mata,/orbita.

,/var

VJC

\,/
\ ,/

ab e

Rearrangement

5'3
Heavy cha

VDJCU

s',

3',

53

/('t""arransement

Hodgkin's Disease
Reed-Sternberg (RS) sel merupakan karakteristik penyakit
Hodgkin's. Sel RS dibedakan dengan sel limfoma nonHodgkin secara imunologis dengan tidak ditemukannya T
atarr B-cell associated antigens. Sel RS mempunyai
ekspresi:

CD15

Merupakan antigen golongan darah Lewis

yang

berfungsi sebagai reseptor adhesi.

cD30(Ki-1)
Sel RS dapat mempunyai monoklonal atau poliklonal
globulin g ene rearuan g emenrs. Pada beberapa

immuno

kasus ditemukan juga


rearrangements.

T cell receptor

b-chain

Gambar 3. V(D)J Becombination pada Perkembangan Sel B

SelB naive yang mengenali antigen melalui membranebound anibodi, terdapat pada senter germinal organ limfoid
sekunder: kelenjar limfe, limpa dan MALT (mucosttas s o c iat e d ly mpho id ti s s ue). Genomik DNA sel B kemudian
mengalami 3 tipe modifikasi yaitu (Gambar 4):
Receptor editing. Proses pergantian rantai polypeptide
antibodi dengan rantai yang lain, biasanya terjadi pada
imunoglobulin rantai ringan.
Class switching. Beberapa sel B pada senter germinal
mengalami pergantian dari ekspresi IgM dan IgD menjadi

1247

LIMFOPROLIFER/I(IIF

Rearrangement pada Sel B Normal. Setiap sel B normal


mempunyai 2 gen IgG rearrangemenr: Vr-N-Dr-N-J, dan
V,_-N-J,_ yang berbeda untuk setiap sel. Masing-masing sel
B berbeda satu sama lain berdasarkan rearrangement gen

IgG, IgAatau IgE. Proses ini menimbulkan perubahan fungsi


efektor antibodi tanpa perubahan V(D)J region.

Hipermutasi Somatik.

Proses mutasi (terutama perubahan

delesi dan duplikasi) terj adi dengan


frekuensi tinggi pada gen variable-region. Proses mutasi
ini menyebabkan berkembangnya sel B mutan pada senter
s

in g I e - nuc le o

tide,

fuga

IgH yang berbeda. Keadaan diversitas ini disebut


poliklonalitas

Rearrangement pada Sel B Limfoma. Sel B limfoma


mempunyai sekuens VH-N-DH-N-J, dan V'-N-J, yang
identik. Hal ini menunjukkan bahwa sel limfoma berasal

germinal yang menghasilkan antibodi dengan peningkatan


afinitas terhadap antigen tertentu. Sel B mutan yang tidak

mempunyai kemampuan berikatan dengan antigen atau


tidak menghasilkan antibodi tertentu akan mengalami
apoptosls.

dari sel B yang sama sehingga disebut monoklonalitas


Perkembangan sel B, immunoglobulin gene
rearrangemenl dan hubungannya dengan limfoma dapat
dilihat pada tabel2 dan gambar 5.

Class switch ng

Somatic hypermutatlon

Gambar 4. Proses Modifikasi Molekular Gen yang Mengkode Antibodi

No mutations ln variable region

genes

Somatic mutations in variable-region genes

lvlantle

Germinal

zone
B-ce

)saleclo'

sAlecl'o'

CD5+

I
I
I

cell

atio'

czni"
CenreU

lass
lass
switcnrng

Bcell
BLell /
Geminal-

gene
recombinatio-n

Variable-region

center
B

/ /.+

./

--+

cell *--4

Follicular lymphomas

diffuse large-cell lymphomas,


monocytoid B-cell lymphomas,
MALT lymphomas,B-cell chronic
lymphocytic leukemias,hair-cel

Gambar 5. Limfoma sel B dan perkembangan sel B

1248

HEMANOI-OGI

Gen

Sel B

Protein lg

imunoglobulin

Sel induk
Sel pro-B

Germ line
Germ line

Sel pre-B

IgH rearrangement, yt-chain


(sitoplasma)

Sel B imatur

lgLllg{ rearrangement, lgM

(membran)

B-cell

CD34
CD19,CD79a,
BSAP,CD34,CD1O. TdT
CD19, CD45R, CD79A,
BSAP, CD34, CD1O, TdT

lgG

lglV

(membrane)

lgHlL rearrangement, lgM, lgD

Mature-naiVe

B-CLL, MCL

mutasi
somatik

lg (minimal atau
tidak ada)

CD19, CD2O,
CD45R,CD79a, BSAP,
CD1O, BCL6

BF, FL, LPHL,


DLBCL, cHL

ISM

CD19, CD2O, CD45R,


CD79A, BSAP
CD38, Vs38c, IVUM-1,

IVZL, B-CLL

lgHl

Sel B memori

lgHlL rearrangement

mutasi

Sel plasma

lgHlL rearrangement

mutasisomatik lgG>lgA>lgD

arrange ments, c/ass

mulai

somatik

CD19, CD2O, CD45R,


CD79a, CD10, BSAP
CD19, CD2O, CD45R,
CD79a, BSAP, CD5

Germinal
center (CB,
UU)

re

B-LBL/ALL

lgM/lgD

(membran)

switch

Limfoma

Plasmasitoma/
mieloma

CD1 38

Keterangan

CB:
UU:
lg:
B-LBL
B-CLL
I\4CL
BL:
FL:

centroblast

LPHL

Iy m

centrocytes

DLBCL

Diffuse large cell B -cell lymphoma

imunoglobulin
:

B-cel I lym phobl astic lym


ch

ronic lym phocyti c

Ie

homa

uke mi a

mantle cell lymphoma


Burkitt lymphoma

ph ocyte-predom

in a

t H odg k i n Iy m ph o m a

cHL

classic Hodgkin lymphoma

MZL

marginal zone B-cell lymphoma

BSAP

B cell specific activator protein

MUIV-,1

Multiple myeloma oncogene

TdT

Terminal deoxynucleotidyl

follicle center lymphoma

Perkembangan Sel T dan T-cell Receptor

(rcR)

T-cell receptor merupakan molekul transmembran, terdiri


dari alb alau, gld heterodimer. Setiap a,b,g dan d chain
terdiri dari variable domain dan constant domain. Proses
rearangement segmen V, D , J dan C juga terjadi pada TCR
seperti pada IgH rearrangement. Pre-T cell mempunyai

imatur TCR yang terdiri dari b chain dan pre-Ta chain

gen yang dalam keadaan normal mengatur sintesis


imunoglobulin rantai ringan dan berat berpindah posisi
pada gen-gen yang mengatur aktivasi dan proliferasi sel.
Diduga, gen-gen yang mengalami transformasi ini
(onkogen) diatur oleh elemen regulatori yang dalam
keadaan normal mengatur proliferasi dan diferensiasi sel.

Beberapa translokasi kromosom pada limfoma non


Hodgkin dapat dilihat pada Tabel3 dan Gambar 6.

yang akan berkembang menjadi a chain dan membentuk


matur TCR pada sel T.

PATOGENESIS LIMFOMA DAN LEUKEMIA


CLUSLL
Beberapa gen berperan dalam patogenesis limfoma dan
leukemia. Abnormalitas sitogenetik telah ditemukan pada
beberapa tipe limfoma dan leukemia. Translokasi kromosom
merupakan genetic hallmark keganasan limfoid. Proses
ini diduga berhubungan dengan antigen receptor gene
rearrangement (gen Ig pada sel B dan gen TCR pada sel
T). Gambaran umum translokasi gen ini adalah berubahnya
letak protoonkogen pada daerah proksimal rekombinasi
kromosom. Hal ini menyebabkan berubahnya pola ekspresi
gen sebagai aklbatjuxtaposition regulatory sequens da:t'
kromosom (deregulasi protoonkogen). Sekuens DNA dari
beberapa translokasi kromosom menunjukkan bahwa gen-

@
i11i3)

MALT

3-/rrrE
FL-

-'- - -:.-'-

)DLBCL

-'ir
FIilmAION

Gambar 6. Translokasi gen pada limfoma

1249

DASAR-DASAR BIOLOGIS LIMFOPROLIFERATIF

Tipe histologis

Translokasi

%
kasus

Mekanisme
aktivasi

Protoonkogen

Fungsi protoonkogen

proto-onkogen

Limfoplasmasitik

t(9;1 4Xp1 3;q32)

50

PAX-s

Deregulasi
transkripsional

Faktor transkripsi
regulasi proliferasi dan
diferensiasi sei B

Folikular

t(14i18)(q32iq21)

90

BCL-2

Deregulasi
transkripsional

Regulasi negatif
apoptosis

70

BCL-1 /cyclin

Deregulasi
transkripsional

Regulator siklus sel


Anti apoptosis

t(1 ;18Xp1

;q21)
t(18:22)(q21 iq1 1)
Mantle cell

t(1 1;14Xq13;q32)

D1

MALT

t(1

Diffuse large

de(3)(q27)

1 ;18\(q21 ;q21\
t(;1a)@22;q32)

50

API2/IVLT
BCL-10

Protein fusi
deregulasi
transkripsional

35

BCL-6

Deregulasi
transkripsional

jarang

B-cell

Represor

transkripsional pada
pembentukan senter
germinal

Burkitt

Anaplastic large

t(8; 1 4Xq24;q32)

80

t(2;8)(p11,q24)

t(8,22\G24,q11)

15
5

t(2;5)(p23;q35)

60

NPIV/ALK

Deregulasi
transkripsional

Faktor transkripsi
regulasi proliferasi sel

Protein fusi

ALK merupakan tirosin

T-cell

kinase

Keterangan:

PAX-5
BCL-2
BCL-1

APl2lMLT

'.

Paired homeobox family-S

:B-cellleukemiallymphoma-2
:B-cellleukemia/lymphoma-1
'.

BCL-6
NPM/ALK

: Nucleophosmin/ anaplastic lymphoma kinase

Apoptosis inhibitor kinase

Translokasi kromosom pada leukemia akut pre-B.

:B-cellleukemiallymphoma-6

BCL-10'.9-cellleukemiallymphoma-10

t(9;22) BCR-ABL (Break chain region-Abelson)


rearrangement yarlg menghasilkan tirosin kinase
abnormal (p190 atau p210 BCR-ABL) didapatkan pada
30 % kasus.
Translokasi kromosom 1 1q23 ( gen MLL, HRX, ALL- 1)
(... . . ) didapatkan pada 5Vo kasus. Translokasi ini
menghasilkan abnormal DNA binding protein yang
selanjutnya menimbulkan transkripsi gen abnormal.
Pada sekitar 50 % kasus leukemia akut sel T. ditemukan

translokasi yang melibatkan gen reseptor antigen sel T


(l4qll,7q34') yang menimbulkan ekpresi abnormal faktorfaktor transkripsi tefientu.

limfoma sering ditemukan pada masa anak-anak karena


pada usia ini didapatkan banyak sel prekursor B.
Mieloma sel plasma sering ditemukan pada usia dewasa
tua karena pada usia ini didapatkan banyak sel plasma
yang telah mengalami paparan antigen setelah melewati
senter germinal.
Perjalanan penyakit: tumor yang berhubungan dengan
sel normal yang aktif berproliferasi seperti limfoblas
dan sentroblas cenderung berkembang dengan cepat
dan agresif. Tumor yang berasal dari sel-sel pada
keadaan istirahat seperti CLLiSLL cenderung bersifat

indolen
Letak tumor: tumor yang berasal dari sel prekursor akan

berkembang menjadi leukemia akut; sel pada senter

IMPLIKAS! KLINIS PENGETAHUAN DASAR


BIOLOGIS

germinal akan berkembang menjadi tumor pada folikel


limfoid di seluruh tubuh; sel pada MALT akan
berkembang pada daerah ekstranodal.

Dasar biologis keganasan limfoproliferatif meliputi

Patogenesis

pengetahuan tentang diferensiasi limfosit dan molekular


genetik. Pengetahuan tentang hal tersebut mempunyai
implikasi yang berhubungan dengan beberapa aspek klinis

Proses genetik yang terjadi selama diferensiasi sel

antara lain:

translokasi atau mutasi gen imunoglobulin yang

melibatkan rearrangemen / dan mutasi gen imunoglobulin.


Selama proses ini, dapat terjadi kelainan-kelainan genetik
mengakibatkan perkembangan neoplasma. Sebagian besar

Gambaran Klinis

siapa yang terkena penyakit: pasien dengan populasi

sel normal yang banyak mempunyai kemungkinan


mengalami transformasi neoplasma. Limfoblastik

translokasi kromosom pada neoplasma limfoid


memindahkan protoonkogen ke daerah promoter gen
reseptor antigen (gen imunogloblulin atau gen reseptor
sel T).

1250

Klasifikasi dan Diagnosis

HEMATIOI.OGI

REFERENSI

Kombinasi morfologi, imunofenotipe, rearrangement dan

mutasi gen serta gambaran klinis digunakan untuk


klasifikasi dan diagnosis keganasan limfoproliferatif.

Pengobatan
Pengetahuan dasar biologis neoplasma limfoid digunakan
untuk penelitian terapi. Tumor dengan proliferasi yang
cepat pada umumnya berespon dengan obat-obat yang
mengganggu sintesis DNA. Abnormalitas genetik dapat

menjadi target terapi seperti antisense oligonucleotida


terhadap gen anti-apoptosis seperti BCL2, obat dengan
target protein tusi seperti NPM/ALK atau API2IMIJII atat
obat penghambat protein pengatur siklus sel seperti siklin

Dl.

Delves PJ, Roitt IM. Advanced in immunology: the immune


system. N Engl J Med 2000; 343: 37-49.
LM. Malignancies of lymphoid cells. In : Pauci
AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper
DL, et al. editors. Harrison's principles of internal medicine.
14'h ed. New York: McGraw-Hill; 1998. p. 695-8.
Gaidano G Dalla-Fevera R. Lymphomas. In: De Vita Jr Vl Hellman
S, Rosenberg SA, editors. Cancer principles and practice of oncology. 6'h ed. Philadeiphia: LippincorRaven; 2001. p.221535.

Freedman AS, Nadler

Greer JP, Kinney MC, Loughran Jr TP. T cell and NK celi


lymphoproliferative disorders. Hematology 20Ol : 259 -81.
Harris NL, Stein H, Coupland SE, Hummel M, Favera RD, Pasqualucci

L, et al. New approach to lymphoma diagnosis. Hematoiogy


20Ol:194-220.

Deteksi Minimal Residual Disease (MRD)


Dengan tehnik PCR untuk mendeteksi Ig ,TCR gene
rearrangement atau translokasi kromosom lainnya, dapat
dideteksi 1 sel tumor di antara 1 05- 1 06 sel normal . PCR dapat
digunakan untuk mendeteksi sel limfoma pada darah atau

sumsum tulang. Pemeriksaan ini dapat menilai remisi


komplit secara lebih akurat dan sebagai pertimbangan
apakah terapi harus diteruskan, dihentikan atau diganti
dengan yang lebih intensif.

Macintyre E, Willerford D, Morris SW. Non-Hodgkin's lymphoma:


molecular features of B cell lymphoma. Hematology 2000:
I 80-94.
Kuppers R, Klein U, Hansmann ML, Rajewsky K. Cellular origin of
hurnan B-cell lymphomas N Engl J Med 1999;341:1520-9.

199
LIMFOMA NON-HODGKIN (LNH)
A. Harryanto Reksodiputro, Cosphiadi Irawan

PENDAHULUAN

KELEN..!AR LIMFE

;imfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan


primer limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit
T dan kadang (amatjarang) berasal dari sel NK ("natural
killer") yang berada dalam sistem limfe; yang sangat
heterogen. baik tipe histologis, gejala. perjalanan klinis,
respon terhadap pengobatan, maupun prognosis. Pada
LNH sebuah sel limfbsit berproliferasi secara tak terkendali

Untuk dapat memahami penggolongan histologis LNH,

yang mengakibatkan terbentuknya tumor. Seluruh sel

LNH

marilah kita bahas secara singkat perihal arsitektur kelenjar


limfe, yaitu organisasi struktur, asal dan migrasi ljmfosit,
serta tranformasi limfosit. Sistem limfe adalah jaringan
tubuli tubuli yang amat tipis yang bercabang-cabang seperti
pembuluh darah. PembLrluh limfe berisi cairan bening yang
berisi sel limfosit dan merupakan sarana yang mengalirkan
sel limfosit keseluruh tubuh.

berasal dari satu sel limfosit. sehingga semua sel dalam


tumor pasien LNH sel B memiliki imunoglobulin yang sama
pada permukaan selnya.

Pada tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan


terdapat 54.900 kasus baru, dan 26.1 00 orang meninggal
karena LNH. Di Amerika Serikat, 57o kasus LNH baru
terjadi pada pria. dan 4Vc pada wanita per tahunnya.
Pada tahun 1997, LNH dilaporkan sebagai penyebab
kematian akibat kanker utama pada pria usia 20-39 tahun.

Insidensi LNH di Amerika Serikat menurut lVational


Cancer Institute tahun 1996 adalah 15.5 per 100.000.
LNH secara umum lebih sering terjadi pada pria.
Insidensi LNH meningkat seiring dengan bertambahnya
usia dan mencapai puncak pada kelompok usia 80-84
tahun. Saat ini angka pasien LNH di Amerika semakin
meningkat dengan pertambahan 5-l\Vc pertahunnya
,menjadikannya urutan ke Iima tersering dengan angka
kejadian 12-15 per 100.000 penduduk. Di Perancis
penyakit ini merupakan keganasan ketujuh tersering.
Di Indonesia sendiri LNH bersama sama dengan penyakit
Hodgkin dan leukemia menduduki urutan ke enam
tersering .Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya
mengapa angka kejadian LNH terus meningkat. Adanya
hubungan yang erat antara penyakit AIDS dan LNH
kiranya memperkuat dugaan adanya hubungan antara

LNH dengan infeksi.

Gambar 1. Struktur kelenjar getah bening. Folikel-folikel dihuni


padat oleh sel- Sel B yang membentuk pusat germinal Sel B juga
menghuni daerah medula sedangkan daerah parakorteks terutama

mengandung sel T. Modifikasi dari Fudenberg HH Stities DE,


Caldwell JL, Wells JV Basic and Clinical lmmunology. Los Altos
California : Lange Publications, 1979;82.

Gambar I memperlihatkan bagan struktur kelenjar


limfe, yang terbagi dalam tiga bagian utama yaitu: korteks,
para korteks dan medulla. Di dalam korleks didapati folikelfolikel yang berbentuk sferis, yang terisi penuh limfosit B.
Di tengah folikel-folikel ini dapat ditemukan daerah yang
berwarna agak pucat yang dinamakan pusat germinal
("centrum germinativum") yarg di dalamnya dapat
ditemukan sel blast, sel besar dan makrofag; yang memberi

t252

HEMAIOI,.OGI

menjadi bersitoplasma banyak/luas pada sel plasma.

gambaran seperti "langit berbintang". Daerah parakorteks


I sedang daerah medulla pada dasarnya
dihuni oleh sel B.

berisi limfosit

perubahan ini terjadi pada sel limfosit B disekitar atau di


dalam " c e nt rum g e mt in ctt ivarn" ; sedangkan limfb s it T' aktif
berukuran lebih besar dibanding limfosit T ''tua''. (Gambar

2)
Perubahan sel limfosit normal menjadi sei lin.rfoma
merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu
sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada
dalam proses transformasi menjadi imunoblas (ter;adi
akibat adanya rangsangan imunogen). Hal yang perlu
diketahui adalah proses ini terjadi di dalam kelenjar -uetah
bening, dimana sel limfosit tua berada dilluar "centrmtr
germinativutr" sedar.rgkan imunoblast berada di bagiart

PATOGENESIS TBANFORMASI DAN MIGRASI


LIMFOSIT
Berbeda dengan sel hematopoeitik yang lain, limfosit kecil
(matang/tua) bukanlah merupakan sel tahap akhir dari
perkembangannya, akan tetapi mereka dapat merupakan
permulaan limfbpoiesis baru yang timbul sebagai reaksi
terhadap rangsangan antigen yang tepat. Hal ini dibuktikan

oleh Nowell pada tahun 1960 dan peneliti lain yang


memperlihatkan sel limfosit kecil (matang) mamptt
mengadakan perubahan morfologi (transtbrmasi) dan
berproliferasi sebagai reaksi terhadap ran-qsangan lektin
tabati (plant Lectin)
Seperti sel darah lainnya, sel limfosit dalam kelenjar

paling sentral dari "centrunt geminatlulm" Beberapa


perubahan yang terjadi pada limfbsit tua antara lain: I
Ukurannya mak-in besar; 2). Kromatin inti menjadi

limfe juga berasal dari sel-sel induk multipotensial di dalam


sumsum tulang. Sel induk multipotensial pada tahap awal

yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetair

lebih"haius"; 3). Nukleolinya terlihat; .1). Protern


permukaan sel mengalami perubahan (reseptor ?).
Hal mendasal lain yang perlu diingat adalah bahwa sel

bertransformasi menjadi sel progenitor limfosit yang


kemudian berdiferensiasi melalui dua jalur. Sebagian
mengalami "pematangan" dalam kelenjar thymus untuk
menjadi sel limfosit T, dan sebagian lagi menuju kelenjar
limfe atau tetap berada dalam sumsum tulang dan

mempertahankan sifat "dasar"nya. Misalnya sel kttnker


dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat mudah masnk
aliran darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah.
sedangkan sel kanker dari imunoblas anrat jarang masuk
ke dalam aliran darah, namun dengan tingkat niitosis 1'ang
tmggr.

berdiferensiasi menjadi sel limfosit B.


Apabila ada rangsangan oleh antigen yang "sesuai"
maka limfosit T maupun B akan befiransformasi menjadi

ETIOLOGI DAN FAKTOR BISIKO

bentuk aktif dan berproliferasi. Limfosit T aktif


Etiologi sebagian besar LNH tidak

diketahLri . Namun
terdapat beberapa f'aktor risiko terjadinya LNH. antara lain:
ImunoDefisiensiz 25Vo kelainan herediter langka 1'an-v
berhubungan dengan terjadinya LNH antara lain adalah:
severe combinecl immunode.ficiency, hypo gcLmntrt

menjalankan fungsi respon imunitas seluler, sedangkan


limfositB aktif menjadi imunoblas yang kemudian menjadi

sel plasma yang membentuk imunoglobulin. Terjadi


perubahan morfologi yang mencolok pada perubahan ini,
dimana sitoplasma yang sedikit / kecil pada lirnfosit B "tua"

lnti
Ti dak Me ekuk

Besar

KeciJ

Daerah
Besar

follkular

im!noblas

5el retikulum

interdigitatik

Gambar 2. Transformasi limfosit B dan T menurut konsep Lukes. Modifikasi dari Lukes RJ
Boerhave Committee for Postgraduate Medical Edcuation lnternational Course on Malignant
Lymphomas, Noorwijkerhout, 1979, V-2

LIMF1OMA NON.HODGKIN

1253

GNH)

munoblas

o
5el
I

1.

Rappaport

2
3
4
5.
6
7

Lukes
Lennert
Gerard Marchant
Bennet
Dorfman
WHO
Formulasi Praktis

Nama Klasifikasi

Tahun

Penulis
'

'1966

dan

Modified Rappaport

1976

B.

1974
1974
1974
1974
1974
1976
1982

Lukes-Collins
Lennert
Kiel

BNLCDorfman

WHO..
Formulasi Praktis /

Working Formulation /
WF

I
Gambar 3. Transformasilimfosit B dan T menurut konsep Lenneft
E= Sheep E receptor, EAC= complement receptor, S-lg= 5u63.t

lmmunoglobulin, C-lg= lntacytoplasmic lmmunoglobulin,

REAL revised
1O WHO / REAL

-.

993

1997

REAL
WHO / REAL

British National Lymphoma Classification


World Health Organization

Ag=Antigenic stimulation. Modifikasi dari Lennert K, Stein H, Mohri


N, Katserling E, Muller-Hermelink HK.Malignant Lymphomas other

than Hogkin's disease. Berlin Springer-Verlag, 1978: 99

globulinemia, common variable immunodeficiency,


Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-telang iectasia.
Limfoma yang berhubungan dengan kelainan-kelainan
tersebut seringkali dihubungkan pula dengan Epstein-Barr
virus (EBV) dan jenisnyaberagam, mulai dari hiperplasia
poliklonal sel B hingga limfoma monoklonal.

B-cell neoplasms

Precursor B-cell neoplasm: precursor B-acute


lymphoblastic leukemia/lymphoblastic lymphoma (BALL, LBL)
Peripheral B-cell neoplasms
B-cell chronic lymphocytic leukemia/small
lymphocytic lymphoma
B, B-cell prolymphocytic leukemia
Lymphoplasmacytic lymphoma/immunocytoma
D Mantle cell lymphoma
E. Follicular lymphoma
F
Extranodal marginal zone B-cell lymphoma or MALT
type
Nodal marginal zone B-cell lymphoma (+monocytoid
B-cells)
Splenic marginal zone lymphoma (+villous
lymphocytes)
Hairy cell leukemia
Plasmacytoma/plasma cell myeloma
K. Diffuse large B-cell lymPhoma
Burkitt's lymphoma

ll

Agen Infeksius: EBV DNA ditemukan pada957o iimfoma


Burkit endemik, dan lebih jarang ditemukan pada limfoma
Burkit sporadik. Karena tidak pada semua kasus limfoma
Burkrt ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV
terhadap terjadinya limfoma Burkit belum diketahui. Sebuah
hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan faktor
lingkungan dapat meningkatkan jumlah prekursor yang

G
H
I
J.
L

terinfeksi EBV dan meningkatkan risiko terjadinya


kerusakan genetik. EBV juga dihubungkan dengan
lymphoprolift rativ
iated lymphomas.

po sttransplant

AI DS

as

oc

disorders ( PTLD s ) dan

Paparan Lingkungan dan Pekerjaan: Beberapa pekerjaan


yang sering dihubungkan dengan risiko tinggi adalah

peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini


disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut organik.

Diet dan Paparan Lainnya: risiko LNH meningkat pada


orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani,
merokok, dan yang terkena paparan ultraviolet.

KLASIFIKASI LIMFOMA NON HODGKIN


Penggolongan histologis LNH merupakan masalah yang

rumit dan sukar, yang kerap mengunakan istilah-istilah


yang dimaksudkan untuk tujuan yang berbeda beda
sehingga tidak memungkinkan diadakannya perbandingan
yang bermakna antara hasil hasil berbagai pusat penelitian.
Perkembangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

T-cell and putative NK-cell neoplasms

Precursor T-cell neoplasm: precursor T-acute


lymphoblastic leukemia/lymphoblastic lymphoma

ll

Peripheral T-cell and NK-cell neoplasms


A. T-cell chronic lymphocytic leukemia/prolymphocytic
leukemia
B T-cell granular lymphocytic leukemia
Mycosis fungoides/Sezary syndrome
D. Peripheral T-cell lymphoma, not otherwise
characterized
E. Hepatosplenic gamma/delta lymphoma
F Subcutaneus panniculitis-like T-cell lymphoma
G, Angiommunoblastic T-cell lymphoma
H. Extranodal TJNK-cell lymphoma, nasal type
Enteropathytype intestinal T -cell lymphoma
'1+)
J Adult T-cell lymphoma/leukemia (HTLV
primary
systemic
cell
lymphoma,
large
K. Anaplastic
type
L. Anaplastic large cell lymphoma, primary cutaneous
type
M Aggressive NK-cell leukemia

(r-ALL, LBL)

1254

HEMIIilOI.OGI

Perkembangan terakhir klasifikasi yang banyak dipakai


dan diterima dibanyak pusat kesehatan adalah formulasi
praktis ("Working Formulation"/lVF) dan REAL / WHO.

WF menjabarkan karakteristik klinis dengan deskriptif


histopatologis, namun belum menginformasikan jenis sel
limfosit B atau I maupun berbagai patologis klinis yang
baru. WF membagi LNH atas derajat keganasan rendah,
menengah dan tinggi yang mencerminkan sifat agresifitas
mereka. Klasifikasi WHO/REAL beranjak dari karakter
imunofenotip (sel B, sel T dan sel NK) dan analisa
"lineage" sel limfoma. Klasifikasi terakhir ini diharapkan
menjadi patokan baku dan cara berkomunikasi di antara
ahli hematologi-onkologi medik.
Hal yang perlu dicatat ridalah 257o pasien LNH
menunjukkan gambaran sel limfoma yang berrnacam macam

pada satu lokasi yang sama; maka dalam hal ini


pengobatannya harus berdasarkan gambaran histologis
yang paling dominan. Oleh karena itu diagnosis klasifikasi
LNH harus selalu berdasarkan biopsi KGB dan bukan
evaluasi sitologi atau biopsi sumsum tulang semata.

PENDEKATAN DIAGNOSTIK

Anamnesis
Umum:

Pembesaran kelenjar getah bening dan malaise umum


I

l-+

, I
-

geiala
sistemik

tanpa sebab
Keringatmalam

Keluhan anemia

Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring)


Penggunaan obat (Diphantoine)
Khusus:
a

Penyakit autoimun (SLE, Sjogren, Reuma)


Kelainan darah

Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis,


tuberkulosis lues, penyakit cakar kucing)

Low grade lymphomas

A.
B

C.

Small lymphocytic,
consistent with CLL
plasmacytoid

Follicular,predominantly
small cleaved cell
Follicular, mixed small
cleaved and large cell

lntermediate-grade
lymphomas

D.
E.
F.

G.

Follicular, large cell


Diffuse, small cleaved cel
Diffuse, mixed small and
large cell
Diffuse large cell

High-grade lymphomas

H.
I
J.

Large cell, immunoblastic


Lymphoblastic
Small, non-cleaved cell
Burkitt's, Non-Burkitt's

B-cell neoplasma (REAL)


Small lymphocytic CLUPLL
Lymphoplasmacytoid-immunocytoma
Plasmacytoma/myeloma
Hairy cell leukemia

Marginal zone lymphoma

.
.
.

T-cell neoplasma (REAL)

WF

A
A,F
Other
Other

CLUPLL
LGL

T-cell

ATUL (chronic and smouldering types


Mycosisfungoides/Sezarysyndrome

WF
A,E
A,E
A,E

A,B,C,E,F

SPlenic
Extranodal/MALT
Nodal

Follicle center, follicular

.
.
.

Grade I
Grade ll
Grade lll
Follicle center, diffuse small cell

Diffuse large B-cell, including


T-cell rich
lmmunoblastic
Mediastinal

E,F

AB,EF

Mantle cell lymphoma

o
.
o

Precursor B-cell (lymphoblastic)


Burkitt's lymphoma
Burkitt's-like (High grade B-cell lymphoma)

Peripheral T-cell lymphoma


HTLV-1)
Unspecified

(+I

.
.
.
o

Angioimmunoblastic
Angiocentric

E,F,G,H,J
E,F,G,H
E,F,G,H
E,G,H

lntestinal

G,H
G,H
I

J
J

Anaplastic large cell lymphoma


Precursor T-cell (Lymphoblatsic)

Referensi : Rosenberg SA, Berard CW, Brown BW et al. National Cancer lnstitute Sponsored study of Classification of Non-Hodgkin's
Lymphomas. Cancer 1982;a9(10):2112-35. Harris NL, Jaffe ES, Stein H et al. Revised European-American Classification of Lymphoid
neoplasms:a proposal from the lnternational Lymphoma study group, Blood 1994;84(5):1361-92. Shipp MA, Mauch PM, Harris NL. Non
Hodgkin's Lymphoma . ln DeVita W Jr, Hellman S, Rosenberg SA, editors. Cancer : Principles and Practice of Oncology, 51h edition.
Philadhelphia : Lippincott-Raven, 1 997.pp 21 65-220.

t255

LIMFOMA NON.HODGKIN (LNH)

Pemeriksaan Fisik

.
.
.

Pembesaran KGB

Cairan tubuh lain: cairan pleura, asites, cairan


serebrospinal jika dilakukan punksi,/aspirasi diperiksa

Kelainan/pembesaran organ
Performace status: ECOG atauWHO/Kamofsky

Pemeriksaan Diagnostik

a.

gastroskopi atau foto saluran cema atas dengan kontras.

f.

Laboratorium
. Rutin
Hematologi:
- Darah perifer lengkap (DPL)
- Gambaran darah tepi (GDT)
Urinanalisis:
- Urin lengkap

Kimiaklinik:

SGOT, SGPT, LDH, protein total, albumin, asam

g.

sitologi dengan cara cytospin, di samping pemeriksaan


rutin lainnya.
Immunophenotyping: Parafin panel: CD 20, CD 3.

STADIUM PENYAKIT
Penetapan stadium penyakit harus selalu dilakukan
sebelum pengobatan dan setiap lokasi jangkitan harus
didata dengan cermat, digambar secara skematik dan didata

tidak hanya jumlah namun juga ukurannya. Hal ini sangat


penting dalam menilai hasil pengobatan.

urat

Alkali fosfatase

GammaGT

Gula darah puasa dan 2jam pp

Stadium

Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P


Khusus
Cholinesterase(CIIE)
LDIYfraksi
Serum Protein Elektroforesis (SPE)

Imuno Elektroforese (IEP)


Tes Coombs

B, Mikroglobulin

b. Biopsi

Biopsi KGB dilakukan hanya I kelenjaryang paling


representatif, superhsial, dan perifer. Jika terdapat
kelenj ar perifer/superf,rsial yang representatif, maka

Keterangan
Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) hanya
1 regio
I E: jika hanya terkena 1 organ ekstra limfatik
tidak difus / batas tegas
Pembesaran 2 regio KGB atau lebih, tetapi masih
satu sisi diafragma
ll 2: pembesaran 2 regio KGB dalam 1 sisi
diafragma
ll 3: pembesaran 3 regio KGB dalam 1 sisi
diafragma
ll E: pembesaran '1 regio atau lebih KGB dalam
organ ekstra limfatik tidak
sisi diafragma dan
difus / batas tegas

ilt
IV

Pembesaran KGB di 2 sisi diafragma


Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih
tetapi secara difus

tidak perlu biopsi intra abdominal atau intratorakal.


Spesimen kelenj ar diperiksa:

Rutin

Catatan: 1. Untuk kesepakatan kode S: Spleen (ika terkena limfa)

Histopatologi: REAL-WHO dan Working

H: Hepar (jika terkena hati) P: Pulmo (ika terkena paru/pleura) C:


Cerebral (ika terkena susunan syaraf pusat) O: Os (jika terkena
tulang) l: lntestinal (ika terkena saluran cerna) 2.Yang dimaksud
dengan organ limfatik adalah: KGB, timus, limpa, plagues payer,
appendix 3. Cervical dan supraclavicula disisi yang sama adalah
1 lokalisasi 4. Aksila dan infraclavicula disisi yang sama adalah 1

Formulation

Khusus
Imunoglobulin permukaan
Histo/sitokimia
. Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi
dan sitologi.'FNAB dilakukan atas indikasi tertentu.
. Tidak diperlukan penentuan stadium laparatomi.
Aspirasi sumsum tulang (BMP)dan biopsi sumsum
tulang dari 2 sisi spina iliaca dengan hasil spesimen

lokalisasi 5. Mediastinum dan hilus adalah 1 lokalisasi

6.

Pertumbuhan jaringan paru sekitar hilus atau paket KGB Mediastinal adalah ekstra nodal tetapi bukan stadium lV 7 . Bulky Mass
adalah massa tumor dengan diameter terpanjang lebih atau sama
dengan 10 cm dan ratio mediastinum: thoraks > 0,35. Setiap
pembesaran KGB dicatat ukurannya. Stadium A bila tidak ditemui
gejala sistemik dan B bila ditemui 1 atau lebih gejala sistemik.

sepanjang 2 cm.
d. Radiologi

Rutin:
- Toraks foto PAdan lateral
- CT scan seluruh abdomen (atas dan bawah)

LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik:

Khusus:

Indolent Lymphoma dan Agresif Lymphoma. LNH Indolen

FAKTOR PROGNOSTIK

CT scan toraks

memiliki prognosis yang relatif baik, dengan median

USGAbdomen
Limfografr,limfosintigrafr

survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan


pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah

Konsultasi THT: Bila cincin Waldeyer terkena, dilakukan

noduler atau folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki

1256

HEMAIIOI.OGI

perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat

disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi


kombinasi intensif. Risiko kambuh lebih tinggi padapasien

dengan gambaran histologis "divergen" baik pada


kelompok Indolen maupun Agresif.
International Prognostik Index (IP\ digunakan untuk
memprediksi outcome pasien dengan LNH Agresif Difus
yang mendapatkan kemoterapi regimen kombinasi yang
mengandung Antrasiklin, namun dapat pula digunakan
pada hampir semua subtipe LNH. Terdapat 5 faktor yang
mempengaruhi prognosis, yaitu usia, serum LDH, status
performans, stadium anatomis, dan jumlah lokasi ekstra
nodal. Tiap faktor memiliki efek yang sama terhadap out-

dengan terapi radiasi 3). Extended (regional) irradiasi,


untuk mencapai nodal yang bersebelahan. 4). Kemoterapi
saja atau "Wait and see" jika terapi radiasi tidak dapat
dilakukan. 5). Sub total/total iradiasi lymphoid (arang).
Radioterapi luas tak meningkatkan angka kesembuhan dan
dapat menurunkan toleransi terhadap kemoterapi lanjutan

nantlnya

Indolen, Stage II/IIVIV, Pengelolaan optimal pada LNH


indolen stadium lanjut masih kontroversial dan masih
melalui berbagai penelitian klinis. Standar pilihan terapi:
. Tanpa terapilWait and see'. pasien asimptomatik

come, sehingga abnormalitas dijumlahkan untuk


mendapatkan indeks prognostik. Skor yang didapat antara
0-5. Pada pasien usia <60 " (age adjusted IPI), indeks yang
digunakan lebih sederhana yaitu hanya meliputi faktor
stadium anatomis, serum LDH, dan sta1uls"performance",
tanpa status ekstra nodal.

Umur

tunggal atau kombinasi. Merupakan anti CD20 antibodi


monoklonal kimera yang telah disetujui untuk terapi
LNH indolen yang relaps atau refrakter. Obat ini bekerja
dengan cara aktivasi antibodi-dependent sitotoksik T-

< 60 tahun = 0
> 60 tahun =

sel, mungkin melalui aktivasi komplemen dan

'1

STAGE
ARBOR

TUMOR
ANN

I atau

ll

=0

memperantarai sinyal intraseluler:

LDH serum

lll atau lV =
Normal = 0

ECOG

Tak ada gejala

= 0--

Ada gejala

= 1--

Meningkat =

'1

=0

PERFORIVANCE

STATUS

Bedridden <

112

day

Bedridden >1l2daY

= 2------

=3

Chronically bedridden =

=1

>ltempat=1

Skor Total
Key scores
Low risk=01
lntermediate --

high intermediate= 3
high risk = 4,5

TERAPI

LNH lndolen
Indolen, Stadium I dan Stadium II, Kontrol penyakitjangka
panjang atau perbaikan masa bebas penyakit ("disease free
survival ") secara bermakna dapat dicapai pada sejumlah
pasien LNH indolen stadium I atau stadium II dengan
menggunakan dosis radiasi 2500-4000 cGy pada lokasi yang
terlibat atau pada lapangan yang lebih luas yang mencakup
lokasi nodal yang berdekatan. (termasuk sistem KGB terkait

dengan ekstra nodal yang terlibat)

Standar pilihan terapi: 1). Iradiasi 2). Kemoterapi

Untuk LNH indolen, dihasilkan ORR 50% dengan


lama respons bertahan sekitar 1 tahun. Pada large
cell lymphoma, dihasilkan respons sekitar 307o.
Kombinasi kemoterapi dengan rituximab bersifat
sinergis.
Dosis baku rituximab 37 5 mglm2lV setiap minggu
selama 4 sampai 8 minggu dan dosis maksimum yang

bisa ditoleransi belum ditenrukan. Terapi ulang

4--

<ltempat=0

Keterlibatan
ekstranodal

dilakukan penundaan terapi dengan observasi. Pasien


stadium lanjut dapat diobservasi dan dilaporkan tidak
mempengaruhi harapan hidup. Remisi spontan dapat
terjadi. Terapi diberikan bila ada gejala sistemik,
perkembangan tumor yang cepat dan komplikasi akibat
perkembangan tumor.(misal: obstruksi atau effusi )
Rituximab (anti CD 20 monoclonal antibodi; Rituxan,
Mab Thera) sebagai "first line therapy" , diberikan

memberikan respons 40%.


Efek samping berupa demam @an menggigil biasa
dijumpai terutama pada infus pefiama. Efek samping
yang fatal (seperti anafilaksis, ARDS dan sindrom
lisis tumor) pernah juga dilaporkan terutama pada
pasien dengan sel limfoma dalam sirkulasi atau CLL

Purine nucleoside analogs (Fludarabin atau 2klorodoksiadenosin; kladribin) memberikan respons

Allqlating Agent Oral (dengan atau tanpa steroid)

sampai 507o padapasien yang telah diobati/kambuh.

Siklofosfamid

Klorambusil
Kemoterapi Kombinasi. Terutama untuk memberikan

hasil yang cepat. Biasanya digunakan kombinasi


klorambusil atau siklofosfamid plus kortrkosteroid, dan
fludarabin plus mitoksantron. Kemoterapi tunggal atau
kombinasi menghasilkan respons cukup baik (60-80%).
Terapi diteruskan sampai mencapai hasil maksimum.
Terapi " mainte nanc e" tak meningkatkan harapan hidup,
bahkan dapat memperlemah respons terapi berikut dan
memperting gi efek leukemo genik

1257

LIMF1OMA NON-HODGKIN (LNH)

protokol pengobatan LNH derajat keganasan menengah


atau tinggi. Kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi sel
induk untuk kasus ini harus dipertimbangkan.

Beberapa protokol kombinasi antara lain:

- CVP : Siklofosfamid + Vinkristin + Prednison


- C(M)OPP : Siklofosfamid + Vinkristin + Prokarbazin
.

+ Prednison
CHOP : Siklofosfamid + Doksorubisin + Vinkristin
+ Prednison
FND : Fludarabin+Mitoksantron + Deksametason

Primary Cutaneous B-Cell Lymphoma (CBCL).


Didefinisikan sebagai limfoma tanpa penyebaran
ekstrakutan pada waktu didiagnosa dan selama paling

lain :13rI-anti CD20


(tositumomab, Bexxar@) dan eoY-anti CD20

sedikit 6 bulan berikutnya. Penyebaran ke kaki memberikan


prognosis yang lebih jelek. CBCL yang terlokalisir diobati
dengan radioterapi, juga untuk yang multifokal. Kemoterapi
dicadangkan untuk kasus dengan lesi anatomik "non-contiguous" atau penyebaran ekstrakutan.

(Ibritumomabtiuxetan,Zevalin@), digunakan pada

Terapi eksperimental. Beberapa antibodi monoklonal

pasien relaps dengan/tanpa keterlibatan sumsum tulang

dengan target antigen CD23, CD19, CD20 ,CD22 atau untuk

Antibodi Monoklonal Radioaktif. Angka respons


berkisar antara5O-807o pada kasus yang pemah diterapi.

Sediaan yang tersedia antara

.
.

minimal (< 25%o). Suatu penelitian acak yang

beberapa antigen yang lebih umum sifatnya sepefli CD5,

membandingkan tiuxetan vs rituximab menunjukan


tingkat respon pengobatan (807o vs 557o) dan remisi
lengkap (307o v s 1 5 7o) untuk keuntungan radio imunokonjugasi.
Kemoterapi Intensif den ganltanpa "total-body imadiation" dllktl/i dengan transplantasi sumsum lulJangl" stem
cell perifer autologous atau allogenic"/ PBSCT (masih
dalam evaluasi klinis).
Kemoterapi dibandingkan dengan kemoterapi diikuti
anti-idiotype vaccine (penelitian fase III)
IFN-u. Penggunaan IFN-alpha pada limfoma folikular
sampai sekarang belum jelas. Hasil beberapa penelitian

CD25,CD80,CDz10.

.
.
.
.
.
.

menunjukkan efek potensiasi angka respons,


perpanjangan waktu remisi dan kemungkinan

Imunotoksin
Vaksin idiotipe
Antisense oligonukleotida

Inhibitorselektif
Transplantasi sumsumtulang autologus atau dukungan
terapi sel induk perifer, setelah kemoterapi dosrs tinggi
sedang diteliti secara mendalam.

Transplantasi sumsum tulang alogenik atau


transplantasi sel induk. Dianjurkan pada pasien usia
muda yang refrakter dengan donor yang masih ada
ikatan keluarga dan digunakan sebagai cadangan

pengaruhnya pada harapan hidup.

Radioterapi paliatif. Diberikan pada kasus tumor


besar (bullcy) atau untuk mengurangi obstruksi dan

terakhir.

Indolen, rekuren. Standar Pilihan terapi:

.
.
.
.

nyeri.

Konversi histologis. LNH indolen yang bertransformasi


menjadi agresif memiliki prognosis jelek dan dapat
melibatkan sistem saraf pusat (terutama: meningeal).
Biasanya memberikan respons terapi yang baik dengan

Number of risk Factor

Alemtuzumab (Campath -1H), antibodi terhadap CD52


untuk terapi CLL, prolimfositik leukemia dan beberapa
jenis limfoma sel T.

Terapiradiasipaliatif
Kemoterapi

Rituximab (anti CD 2)-monoclonal antibodies)


Transplantasi sumsum tulang (masih dalam tahap
evaluasi klinis)

Comolete
Resotnse
Patrents Raie(%)

Perce-ntage
or

5-Y

free

Disease- 5-Y
survival survival
f/.)
$l

All Patients (adverse risk factors, age >60y;


performance status > 2 LDH greater than
normal; Ann Arbor Stage lll or lV; > 2
extranodal sites)
0.1 Low
Low intermediate
High intermediate

35
27
22

87
67

70
50

51

55

4.5

16

44

49
40

43
26

22

92
78
57

86
66

83

32
32
14

46

2
3

High

Patients < 60 y old (adverse risk factors:


Ann Arbor stage lll or lV, LDH greater than
normal, performance status >2
Low
'1 Low intermediate
High intermediate

2
3

High

53
58

73

69
46
32

12s8

HEMIIiTOI.OGI

LNH Agresif

R dan Djumhana melaporkan di Indonesia angka angka ini

LNIJ Intermediate/High Grade Terlokalisin Non bullty

lebih rendah, belum diketahui faktor pasti penyebabnya.


Penelitian secara acak terhadap protokol CHOP (generasi
peftama) dibandingkan dengan beberapa protokol generasi
II / m seperti: m-BACOD, MACOP-B, dan PToMACECYtaBOM oleh"The Inter Group Study" melaporkan tidak
ada perbedaan bermakna dari sudut angka harapan hidup
dan masa bebas penyakit. Harapan hidup aktuarial berkisar
anlara4)Vo sampai45Vo. Dengan demikian protokol CHOP
tetap merupakan protokol baku terapi awal LNH agresif.
Selain itu, hasil GELA study (Coiffrer et al) menunjukkan

IA dan IIA, dengan keterlibatan ekstranodal (E),


dapat diterapi dengan regimen yang mengandung
doxorubicin (CHOP/CHVmP/BV) minimal 3 siklus,
stadium

dilanjutkan dengan IFRT (ekuivalen dengan 3000 cGy dalam


10 fraksi). Kombinasi kemoterapi dan radioterapi pada

stadium awal memberikan hasil yang lebih baik


dibandingkan kemoterapi saja.

$adium I-tr

(B

ullq),fr

danlY.diterapi dengan CHOP siklus

CHVmP/BV 8 siklus (dalam penelirian). Untuk


daerah "bullq" IFRT dapat diberikan guna meningkatkan
lokalkontrol. Mc Kelvey melaporkan denganregimen CHOP
5A7o sarnpaiT lTo pasienmencapai remisilengkap danT 57o
diantaranya bertahan hidup lebih dari tiga tahun. Harryanto
lengkap_atau

Response Category

Physical Examinations

bahwa pasien usia tua dengan LNH agresif dengan


penambahan rituximab pada setiap siklus CHOP
meningkatkan oyerall surviyal dengan pengamatan 3
tahun dari 497o menjadi

62%o

blla dibandingkan dengan

CHOP saja. Selain itu, regimen yang sama dapat

Lymph node

Lymph Node Masses

Bone Marrow

CR

Normal

Normal

Normal

Normal

Cru

Normal
Normal
Normal
Normal
Decrease in Liver/Spleen
Enlarging liver/Spleen, newsites

Normal

Normal
>75% decrease
Normal
> 50% decrease
> 50% decrease
New or increased

lndeterminate
Normal or indeterminate
Positive
lrrelevant
lrrelevant
Reappearence

PR

Relapse/Progression

Normal

Normal
> 50% decrease
> 50% decrease
New or increased

Terapi dalam Trial


LNH limfoplasmasiter
makroglobulinemra
LNH ektranodal
Sel B zone Marginaljenis MALT

W & S, chloorambucil,
fludarabine atau CVP
Lambung I dan HP +
Lambung I dan HP -

PiR
P/R
P/R

t-tv

LNH sel , zona marginal nodal

Eradikasi HP
RT, chloorambucil, CVP
W & S, RT, (chirurgie);
chloorambucil, CVP
Chloorambucil, CVP,
fludarabine

P/R

LNH sel B zona marginal pada limpa


LNH follicular derajat 1-2

Splenectomi, chloorambucil
tiil

> 15

t/il

> 18

>65

P
R

of

refractair

R-CHOP = CHOP + rituximab


'hanya bila CD 20 +
t. bila residif/ refrakter pada berbagai pengobatan
S dalam waktu dekat
!T setelah 1 atau 2 protokol yang tanpa antrasiklin
W & S Wait and see

P/R

IF-RT
W & S, chloorambucil, CVP,

>18

LNH folikular derajat 3

EORTC 20971SIF-RT
+/- low dose TBI

RT

HOVON 48*
(bila CR/PR setelah 8x
CVP oral / bila tidak
90y - ibritumomab
tiuxetan (Zevalin)
HOVON 47:
chloorambucil vs2x2
Gy lF-RT
EORTC 20981/ HOVON
39.fl : R-CHOP vs
CHOP, +l rituximab
"maintenance"
Lihat LNH difus

W & S, chloorambucil, CVP,


fludarabine

W & S, chloorambucil, CVP,


fludarabine, RT
CVP, chloorambucil,
fludarabine, RT, CHOP; p m
non-myeloablative allo SCT-.

I.IMFIOMA NON-HODGKIN

1259

(IJ{II)

menengah dan tinggi

sumsum tulang atau dosis pemeliharaan dengan INF-ct


setelah tercapai remisi dan sitoreduksi dengan kemoterapi
yang mengandung kombinasi antrasiklin

LNH infermediate/high grade yang refrakter/


relaps:

Terapi induksi I : (R-Hyper VCAD)


Rituximab 375 mg/m2IV hari I dan 8
Sikiofosfamid 300mg/m2IV setiap 12 jam hari I-3

menghasilkan "disease control" (cure) sekitar 30-4O7o


pada pasien stadium lanjut LNH derajat keganasan

Vinkristin 2mg IV hari ke 4 dan 11


Doksorubisin 25 mglm2,infus selama 24 jam hari ke 4

pasien refrakter yang gagal mencapu complete respons

diberikan terapi salvage dengan RT jika area yang


terkena tidak ekstensif. Terapi pilihan bila mungkin
adalah kemoterapi salvage diikuti dengan transplantasi

.
.

dan 5
Deksametason 40 mg fV atau PO, hari I-4 dan hari ke 11-

stem cell autologus/PBSCT


Kemoterapi salvage terdiri dari high-dose sitosin arabi-

t4
Granulosit

nose, kortikosteroid dan cisplatin dengan atau tanpa


etoposide. Pilihan lain ICE, MINE, dan yang lain seperti
CEPP/B, EVA, miniBEAM, VAPEC B dan intus EPOCH.
Kemoterapi dosis tinggi dengan RT diikuti PBSCT

IV

Allogenic BMT

MCL(Mantle Celllymphoma) agresif. Hyper CVAD alternating dengan metotreksat dosis tinggi plus sitarabin
dosis tinggi. Rituximab ditambahkan untuk regimen ini.
Pasien <65 tahun dipertimbangkan dilakukan transplantasi

Stadium

..
umur

lony

metotreksat)
Sitarabin 3000mg/m2 iv selama 1 jam setiap 12jam total

4 dosis dimulai hari ke 2 (dosis dikurangi menjadi


1000mg/m2 perdosis untuk pasien >60 tahun dengan
serum kreatinin lebih dari 1,5mg/dl)

Premier/

Terapi dalam frial

Residif

<66

ilt/rv

<66

il-tv

>65

il-tv

18 - 65

,*a11YrP73V+RT
HOVON 26:
LDH > 1.5 x ULN) CHOP vs |-CHOP
HOVON 26:

LNH sel B besar

HOVON 46. :
(aa-lPl*. > Ll) CHOP - 14 +lrituximab
HOVON 44.
DHAP-VlM-DHAP +/- rituximab,
diikuti SCT auto
:

il-lv
il-tv

B x CHVmP/BV

<66
>66

x CHVmP/BV

HOVON 44, lanpa rituximab


p.m. non-myeloablatieve allo
SCT
DHAP, (CHOP), RT; P.m. nonmyeloablatieve allo SCT

6xCHVmp/BV+tF_RT

t- lv

LNH mantel sel

8 x CHVmP/BV

(LDH<15xULN)

>65
Mediastinal

t o r (G-C S F), 5 pglkg


dimulaiharike 6 sampai neutropil

timul atin g fac

Terapi Induksi 2: (dimulai setelah pulih dari siklus 1)


Rituximab 375mg/m2 iv infus hari 1
Metotreksat 200 mg/m'ziv bolus hari 1, diikuti 800mg/
m2 infus IV selam 24 jam; berikan larutan IV alkalin
Leukovorin, 50mg PO diberikan 24 jam setelah infus
metotreksat selesai diikuti l5mgPO setiap 6 jam total 8
dosis (dosis disesuaikan berdasarkan kadar serum

P/R

LNH sel B sel


besar difus

-s

>4500/pL

autologus atau alogenik setelah dua atau empat siklus


kemoterapi. Siklus regimen ini diulang setiap 2l hai.
Protokol Leiden khususnya untuk stadium III dan IY
mengikuti " European Intergroup Trial" membandingkan
mieloablatif radiokemoterapi diikuti dengan transplantasi

wHo

Co

atau SC setiap hari,

P
R

Lihat LNH sel B besar difus + IF-RT


Lihat LNH sel B besar difus

HOVON 45-$:
3 x R-CHOP, HD-Ara-C + auto SCT
HOVON 46-+
(lihat LNH sel B sel besar)

CHVmP/Bf + auto SCT;


p.m. nyeloablatieve Pada usia
muda
8 x CHVmP/BV*

8X

DHAP
'hanya apabila CD 20 +
*. aa-lPl age-adjusted lPl
=

$ dalam waktu dekat dibuka


Y ingat criteria inklusi pada penelitian P35
ULN = upper limit of normal
R-CHOP = CHOP + rituximab

1260

HEMIIiTOI.OGI

Ilmu Penyakit Dalam FKUI RSCM.


Terapi Dalam
Trial

Stadium
LNH limfoblastik
LNH Burkitt

I_ IV
|

- tv

ALL-4
ALL 3-95

ALL.4
ALL 3-95

Childhood NonHodgkin's Lymphoma (PDQ@) National Cancer


Institute

Coiffier B, Herbrecht R, Tilly H, Sebban C, et

a1. Gela Study


Comparing CHOP and R-CHOP in elderly patients with DLCL:3year median foliow-up with an analysis according to comorbidity

factors.Presentation

Limfoblastik limfoma. Terapi sama dengan ALL (misal:


protokol ALL-4 ). Pasien dengan prognosis jelek
dipertimbangkan untuk transplantasi sumsum tulang awal
atau regimen kemoterapi awal yang lebih intensif. Universitas Stanford mengusulkan regimen:

.
.
.
.

Terapi induksi 1 bulan


Profilaksis CNS I bulan
Terapi konsolidasi 3 bulan
Terapi maintenance 7 bulan.

Regimen
. Siklofosfamid 400 mg/m2 PO untuk

.
.
.
.

.
.

3 hari pada minggu


1,4,9,12,15 danlS
Doksorubisin 50mg/m2 iv pada minggt 1,4,9 ,12,15 darr
18

Vinkristin 2 mg IV mingg.tl,2,3,4,5,6,9,12,15,dan l8
Prednison 40 mglm2 setiap hari selama 6 minggu
(tappering offi, dilatjtkan selama 5 hari pada minggu
9, 12,15,dan 18

Profilaksis CNS dengan radioterapi whole-brain (2400


cGy dalam 12 fraksi) dan metotreksat intratekal (12 mg
setiap kali untuk 6 dosis) diberikan antara minggu 4
dan 9.
L-asparaginase 6000 U/m2 (maximum 10.ffi0 U) untuk 5
dosis pada awal peberian profilaksis CNS.

Terapi maintenance terdiri dari metotreksat (30 mglm2


PO setiap minggu) dan 6-merkaptopurin (7 5 mg/m2PO
setiap hari) dari minggu 23 sampai 52.

Difuse Small Cleaved CelllBurkitt's Limfoma.Terapi jenis


ini sama dengan limfoma agresif (sel besar difuse) stadium
lanjut ; mengunakan regimen kombinasi yang agresif. Pasien
dengan limfomajenis ini mempunyai risiko 20-30 Vo selama
perjalanan hidupnya untuk menyebar ke SSP; pemberian
metotreksat intratekal (4- 6 kalD direkomendasikan untuk

semua pasien. Beberapa pusat kesehatan


mempertimbangkan konsolidasi dengan transplantasi
sumsum tulang.

REFERENSI

at the

39'h Annual Meeting of the


jl May-3 June 2003,

American Society of ClinicaL Oncology,

Chicago, USA
Complete Summary of GUIDELINE:The use of chemotherapy and
growth factors in older patients with newly diagnosed, advancedstage, aggressive histology non-Hodgkins' lymphcima. 19982004 National Guideline Clearinghouse
Cntczmar MS, Weaver R, Alkuzweny B, Berlfein J, Grillo-Lopez
AJ. Prolonged Clinical and Molecular Remission in Patienls
With Low-Grade or Follicular Non-Hodgkin's Lymphoma
Treated With Rituximab Plus CHOP Chemotherapy: 9-year
Follow-Up. Journal of Clinical Oncology. VoLume 22 NLtmber
23. December I 2004
Davis TA, Grillo-Lopez A, White CA, et.al. Rituximab Anti-CD20
Monoclonal Antibocy Therapy in Non-Hodgkins's Lymphoma:
Safety and Efficacy of Re-Treatment. Jowrnal oJ Clinical
Oncology, Vol l8 No. 17, 2000:pp 3135-43.

Emmanouillides C, Casciato DA. Hodgkin and non-Hodgkin


lymphoma In Manual of clinical oncology, 5'h Ed Edited by
Casciato DA. Lippincot Williams & Wilkins, 2004 : 435-56
Fisher RI, Mauch PM, Harris LN, Friedberg JW Non Hodgkins
lymphomas.In Cancer priciples & practice of oncology 7'h Ed
Edited by DeVita VT, Hellman S, Rosenberg SA. 2005 : 1957
93t
Fisher RI, Gaynour ER, Dahlberg S et al. Comparison of standart
regimen (CHOP) with three intensive chemotherapy regimen

for advanced NHL. N Engl J Med 1993;328: 1002-6.


Forspointner R, Dreyling M, Repp R, et all. The summary: the
addition of rituximab to a combination of fludarabine.
cyclophosphamide, mitoxantrone (FCM) significantly increases
the response rate and prolongs survival as compared to FCM
alone in patienrs with relapsed and refractory follicular and
mantle cell lymphomas - results from a prospective randomized study of the German Low Grade Lymphoma Study Group

(GLSG). Blood 2004; 104: 3064-7

1.

Ghiemilmini Michele, Schmitz Shu-Fang Hsu, Cogliatti Sergio B.et.al.


Prolonged treatment with rituximab in patients with follicular

lymphoma significantly increases event-free survival and


response duration compared with the standard weekly x 4
schedule. Blood, l1 June 2004.Volume 103, Number 12
Gordon LI. Non-Hodgkin lymphoma. Manual of clinical Hematology, 3'd Ed. Edited by Mazza lJ. Lippincot Williams & wilkins,
2002 : 318-33.
Gutierrez Martin, Wilson WH. Non-Hodgkin lymphoma. In Bethesda
handbook of clinical oncology. Edited by Abraham J, Allegra CJ.
Lippincot williams & wilkins, 2001: 319-31.
Hematologie klapper.Editor Ottolander GJ, Willemze R. Non-

Hodgkin lymphoma (NHL). Hematologie leids universitair


Adult Non-Hodgkin's Lymphoma

Health Professional Version. National Cancer Institute.U.S. National In(PDQ@) Treatment-

stitutes of Healt
Armitage J O, et al, Non Hogkin Lymphomas. Cancer, principai and
practice of oncology. Editor: DeVita Vl Hellman S, Rosenberg
SA. 2001;2256-303.

D. Aspek Selular dan Molekular Limfoma


NonHodgkin.Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen

Atmakusuma

medisch centrum.Leiden,l999 :82-98


http://www.nci.nih.gov/ cancer: Adult Non-Hodgkin lymphoma
2004.
Intemational Non-Hodgkin's Lymphoma Prognostic Factors Project
A predictive model for aggressive non-Hodgkins lymphoma . N
Engl J Med 1993;329 :987-94.
Mclaughlin P, Grillo-Lopez AJ et. Al. Rituximab Chimeric Anti-CD

20 Monoclonal Antibody Therapy for Relapsed Indolent

t26t

LIMFOMA NON-HODGKIN CJ{H)

of Patients Respond to a Four-Dose


Treatment Program. Journal of Clinical Oncology, Vol 16, No
Lymphoma: Half

with IPI=0 and no bulky disease. Oral presentation at ASH


2004.

8,1998:pp2825-33
Mounier N, Brier J, Gisselbrecht C, et.al. Rituximab plus CHOP (RCHOP) overcomes bcl2-associated resistance to chemotherapy

Protokol Limfoma Non Hodgkin.Timja Kanker Darah dan KGB.


Reksodiputro H, Cosphiadi I. Limfoma non-Hodgkin.Buku ajar Ilmu
penyakit dalam .Jilid II.Ed 3.Balai penerbit FKUI,2001: 607-

in elderly patients with diffuse large B-cell lymphoma


(DLBDCL).Blood, I June 2003. Volume l0l, number ll.

Rituximab plus chemotherapy: expanding first-line treatment

National Comprehensive Cancer Network, Clinical Practice


Guidelines in Oncology-v.1.2004.
Non-Hodgkin's Lymphoma Version1.2004. National Comprehensive Cancer Nenvork

Pathology and genetis tumours of haematopoeitic and lymphoid


tissues. WHO classification of tumours, Edited by Jaffe ES,
Haris NL, Steir H, Vardiman JW. 2001
Pettengell Ruth, Linch David. Position paper on the therapeutic
use of rituximab in CD20-positive diffuse large B-cell non-

Hodgkin's lymphoma. British Journal of Haematology,


2003.12 I .44-48
M, et al. Frist Analysis of the completed MabThera@

Pfreundschuh

International (MInT) Trial in young patients with low risk


diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL): Addition of rituximab
to a CHOPlike regimen significantly improves outcome of all
patients with the identification of a very favorable subgroup

20
.

options in indolent non-Hodgkin's lymphoma. Highlight from


Ash 2003. Roche Pharmaceuticals
Rituximab for Aggressive Non-Hodgkin's Lymphoma. National
Institute ;for Clinical Excellence. Technology Appraisal 65.
September 2003

Robinson AS and Goldstone A. Clinical Use of Rituximab in


Haematological Malignancies. Britisth Journal of Cancer (2003)
89, 1389-1394
Stein RS, John PG. Non Hodgkin lymphoma. In Hand book of
cancer chemotherapy, 6'h Ed. Editor Skeel RT. Lippincot
williams & wilkins, 2003: 503-23
The Use of Chemotherapy and Growth Factors in Older Patients
with Newly Diagnosed, Advance-Stage, Aggressive Histology
Non-Hodgkin's Lymphoma. Patience Guideline Report #6-7,
June 25, 2003. Program in Evidence-Based Care - A Cancer
Care Ontario Program.

200
PENYAKIT HODGKIN
Rachmat Sumantri

PENDAHULUAN

sumsum tulang. Keluarga dari pasien Hodgkin (adik-kakak)

juga mempunyai risiko untuk terjadi penyakit Hodgkin.


Penyakit Hodgkin termasuk dalam keganasan limforetikular

yaitu limfoma malignum,yang terbagi dalam limfoma


malignum Hodgkin dan limfoma lalignum non Hodgkin.
Kedua penyakit tersebut dibedakan secara histopatologis,
di mana pada limfoma Hodgkin ditemukan sel Reed-

Terdapat pembesaran kelenjar getah bening yang tidak

Sternberg.

nyeri.

Penyakit ini dilaporkan pertama kali oleh Thomas


Hodgkin pada tahun 1832,kemudian gambaran
histopatologis dilaporkan oleh Langerhans tahun
1

S72,disusul oleh laporan terpisah dari Sternberg dan Reed

yang menggambarkan suatu sel raksasa yang kemudian


diberi nama Sel Reed-Sternberg.
Analisis PCR menunjukkan bahwa sel Reed Sternberg
berasal dari folikel sel B yang mengalami gangguan sffuktur
pada imunoglobulin,sel ini juga mengandung suatu faktor
transkripsi inti sel (NFkB),kedua hal tersebut menyebabkan
gangguan apoptosis.

EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Di Amerika Serikat krdapat 7500 kasus baru Penyakit


Hodgkin setiap tahunnya,rasio kekerapan antara laki-laki
dan perempuan adalah 1,3-I,4 berbanding 1. Terdapat
distribusi umur bimodal,yaitu pada usia 15-34 tahun dan

RIWAYATPENYAKIT

Gejala sistemikyaitu demam (tipe Pel-Ebstein),berkeringat

malam hari,penurunan berat badan, lemah badan Can pruritus terutama pada jenis Nodular Sklerosis.Selain itu
terdapat nyeri di daerah abdomen akibat splenomegali atau

pembesaran kelenjar yang masif, nyeri tulang akibat


destruksi lokal atau infiltrasi sumsum tulang

GEJALA KLINIS

.
.
.
.

Limfadenopati dengan konsistensi rubbery dan tidak


nyeri
Demam,tipePel-Ebstein
Hepatosplenomegali

Neuropati

Tanda-tanda obstruksi seperti edema ekstrimitas,


sindrom vena cava, kompresi medulla spinalis, disfungsi

hollow viscera.

usia di atas 55 tahun.

Faktor risiko untuk penyakit ini adalah infeksi


virus;infeksi virus onkogenik diduga berperan dalam

PEMER!KSAAN PENUNJANG

menimbulkan lesi genetik,virus memperkenalkan gen asing

ke dalam sel target. Virus-virus tersebut adalah virus

Laboratorium

Epstein-Barr, Sitomegalovirus, HIV dan Human Herpes


Virus-6 (HHV-6). Faktorrisiko lain adalah defisiensi imun,
misalnya pada pasien transplantasi organ dengan
pemberian obat imunosupresif atau pada pasien cangkok

Pemeriksaan darah: anemi, eosinofilia, peningkatan laju


endap darah, padaflow cytometry dapat terdeteksi limfosit
abnormal atau limfositosis dalam sirkulasi.
Pada pemeriksaan faal hati terdapat gangguan faal hati

1262

1263

PEITYAKITHODGKIN

yang tidak sejalan dengan keterlibatan limfoma pada hati.


Peningkatan alkali fosfatase dan adanya ikterus kolestatik
dapat merupakan gejala paraneoplastik tanpa keterlibatan
hati. Dapat terjadi obstruksi biliaris ekstrahepatik karena
pembesaran kelenjar getah bening porta hepatis.
Pemeriksaan faal ginjal: peningkatan kreatinin dan

ureum dapat diakibatkan obstruksi ureter. Adanya


nefropati urat dan hiperkalsemi dapat memperberat fungsi
ginjal. Sindroma nefrotik sebagai fenomena paraneoplastik

dapat terjadi pada limfoma Hodgkin. Hiperurikemi


merupakan manifestasi peningkatan turn-over akibat
limfoma. Hiperkalsemi dapat disebabkan sekunder karena
produksi limfotoksin (osteoclast activating factor) oleh
jaringan limfoma.Kadar LDH darah yang meningkat dapat
menggambarkan massa tumor dan turn-over. Poliklonal
hipergamaglobulinemi sering didapatkan pada limfoma
Hodgkin dan Non Hodgkin.

Biopsi sumsum tulang

keterlibatan 1 organ eksfranodal

@)

atau keduanya (ItrSE).

III,

Dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening


splenik, hilar,seliak atau por1al.

III,

Dengan keterlibatan kelenjar getah bening paraaorta,


iliaka dan mesenterika.

Stadium IV Keterlibatan difus/diseminata padal atau lebih


organ ekstranodal atau jaringan dengan atau tanpa
keterlibatan kelenjar getah bemng.
Keterangan yang dicantumkan pada setiap stadium:

A
B
X
E
6
B

Tanpagejala
Demam (suhu >38"C), keringatmalam, penurunanberat
badan >10 7o dalamwaktu 6 bulan sebelumnya)
Bullq disectse (pembesaran mediastium >113, adanya
massa kelenjar dengan diameter maksimal I 0 cm)
Keterlibatan 1 organ ekstranodal yang contiguous atau
proksimal terhadap regio kelenjar getak bening

Clinical stage
P atho lo g ic

(misalnya ditentukan pada laparotomi)

ta g e

Dilakukan pada stadium lanjut untuk keperluan staging,


keterlibatan sumsum tulang pada limfoma Hodgkin sulit
didiagnosis dengan aspirasi sumsum tulang.
Limfoma non Hodgkin

Karakteristik

Radiologis
Pemeriksaan foto torak untuk melihat limfodenopati hilar
dan mediastinal, efusi pleura atau lesi parenkim paru.
Obstruksi aliran limfotik mediastinal dapat menyebabkan

l=i.mr?Y.a

Intemediatl

llocrgx,n

Low -oracte

Nodal

Ekstranodal
(10%)

Ekstranodal

Distribusi nodal

Sentripetal

Sentrifugal

Sentrifugal

Penyebaran

Contiguous

Tempat asal

efusi chylous (seperti susu).


USG abdomen kurang sensitif dalam mendiagnosis
adanya limfodenopati. PemeriksaatCT Scan torak untuk
mendeteksi abnormalitas parenkim paru dan mediastinal

n,gn graoe
(35%)

(aksial)

Noncontiguous

Noncontiguous

nodal

Keterlibatan
susunan saraf
pusat
Keterlibatan
hepar
Keterlibatan
sumsum tulang
Keterlibatan
sumsum tulang
mempengaruhi

sedangkan CT Scan abdomen memberi jawaban


limfodenopati retro peritoneal, mesenterik, portal,
hepatosplenomegali atau lesi di ginjal.

PENTAHAPAN (STAGT JG)

Jarang

(.1

ok)

Jarang

Jarang

(.

1%)

Sering

Jarang
(<10%)
Jarang

(> s0 %)

Jarang
(< 1o%)

Sering (>50 %)

Jarang
(< 20 ok\

Ya

Tidak

ya

buruknya
prognosrs

Penentuan staging sangat penting untuk terapi dan menilai


prognosis. Staging dilakukan menurut Cotswolds (1990)

Sembuh dengan
kemoterapi

yang merupakan modifikasi dari klasifikasi Ann Arbor


(1971).

Stadium I keterlibatan satu regio kelenjar getah bening atau


struktur jaringan limfoid (limpa, timus, cincin Waldeyer)
atau keterlibatan 1 organ ekstralimfatik.
Stadium II Keterlibatan >2 regio kelenjar getah bening pada
sisi diafragma yang sama (kelenjar hilus bila terkena pada
kedua sisi termasuk stadium II); keterlibatan lokal 1 organ
ekstranodal atau 1 tempat dan kelenjar getah bening pada
sisi diafragma yang sama (IIE). Jumlah regio anatomik yang

terlibat ditulis dengan angka (contoh :IIr).


Stadium III Keterlibatan regio kelenjar getah bening pada
kedua sisi diafragma (III), dapat disertai lien (IIIs), atau

KLASIFIKASI LIMFOMA HODGKIN


Biopsi kelenjar secara eksisi biasanya memberi hasil
gambaran histopatologis lebih jelas dari biopsi cucukjarum

(Fine Needle Biopsy);

Klasifikasi Rye:

'
.
.
.

Lymphocyte Predominant

Nodular sclerosis
Mixed cellularity
Lymphocyte depletion

1264

Jackson and
Parker

HEMANOLOGI

Lukes and Butler

WHO classification

REAL classification

Rye Conference

Paragranuloma

Lymphocytic or
histiocytic, nodular
Lymphocytic or
histiocytic, diffuse

Lymphocytepredominant

Nodular lymphocyte-predominant
classic HD
Lymphocyte -rich classic HD

Lymphocyte
predominant,nodular HD
Lymphocyte-rich classic HD

Granuloma

Nodular sclerosis
Mixed cellurarity

Nodular sclerosis
Mixed cellularity

Nodular sclerosis
Mixed cellularity

Nodular sclerosis
Mixed cellularity

Sarcoma

Diffuse fibrosis
Reticular

Lymphocyte-depleted

Lymphocyte-depleted

Lymphocyte -depleted
Unclassifiable classic HD

KlasifikasiWHO:

imunotoksin anti CD 25, bispesifik monoklonal antibodi

. Nodular lymphocyte

predominance Hodgkin
Lymphoma (Nodular LPHL):Saat ini dikenal sebagai

CD 16/CD 30 bispesifik antibodi dan

radio

immunoconjugates.

indolent B-cell Non Hodgkin Lymphoma dan bukan


true Hodgkin Disease. Tipe ini mempunyai sel limfosit

dan histiosit, CD 20 positif tetapi tidak memberikan

PENYAKIT HODGKIN DAN KEHAMILAN

gambaran sel Reed-Stenberg.


Classic Hodgkin Limphoma: Lymphocyte rich, Nodular sclerosis, Mixed cellurarity, Lymphocyte depleted.

Penyakit Hodgkin dapat dijumpai pada kehamilan,


beberapa hal penting yang perlu diketahui:
. Tidak ada transmisi penyakit Hodgkin ke bayi

Bila memerlukan radiasi sebaiknya ditunda sampai

melahirkan kecl.lal:. pada" Bullcy Disease" dan dibenkan


dengan pelindung.
Bila diperlukan radiasi pada semester pertama dapat
dipertimbangkan abortus terapeutik. Malformasi fetus
terjadi pada 157o kasus bila kemoterapi diberikan pada

TERAPI
Pengobatan limfoma Hodgkin adalah radioterapi ditambah
kemoterapi, tergantung dari staging (Clinical s/age = CS)
dan faktor risiko.

Radioterapi meliputi Extended Field Radiotherapy


(EFRT), Inyolved Field Radiotherapy (IFRT) dan
radioterapi (RT) pada Limfoma Residual ata:u Bulky

semester pertama, tidak terjadi pada semester

berikutnya.

Hindarkan kemoterapi dalam 3 minggu sebelum


melahirkan untuk menghindari netropeni pada bayi.

Disease.

Faktor risiko untuk terapi menurut German Hodgkin's


Lymphoma Study Group (GHSG) meliputi:
. Massa mediastinal yang besar
. Ekstranodal
. Peningkatan laju endap darah, > 50 untuk tanpa gejala
atau > 30 untuk dengan gejala (B)
. Tiga atau lebih regio yang terkena

Menurut EORTC/GEL A (European Organization

for

Research and Treatment of Carcinoma/Groupe d'Etude


des Lymphomes de I'Adulte) faktor risiko yaitu:
. Massa mediastinal yang besar
. Usia 50 tahun atau lebih
. Peningkatan laju endap darah

4 regio atau lebih

Dalam guideline yang dikeluarkan oleh National


Comprehensive Cancer Network (2004) kemoterapi yang
direkomendasikan adalah ABVD dan Stanford V sebagai
kemoterapi terpilih.
Terapi lain Penyakit Hodgkin yang masih diteliti adalah:
Imunoterapi dengan antibodi monoklonal anti CD 20,

Kelompok

Stadium

dini CS l-llA /B tanpa


(favorable) faktor risiko

Stadium

dini

69

lanjut

CS llB +RF;CS

Stadium
(unfavorable)
Stadium

1-11

PriS + RF

ilttuB
CS IV A/B

Rekomendasi
EFRT (30-36 Gy) atau
4-6 siklus kemoterapi
+ IFRT 20-36 cy
4-6 siklus kemoterapi
+ IFRT 20-36 Gy
6-8 siklus kemoterapi
+ RT 20-36 cy
pada limfoma residual
dan bulky disease

PROGNOSIS
Ada tujuh faktor risiko independen untuk memprediksi
masa bebas progresi penyakit FFP. (Freedom From
Progression), yaitu : 1). Jenis Kelamin, 2). Usia >45 tahun;
3). StadiumIV;4). Hb <10 grVo;5). Leukosit> 15000/mm3;
6). Limfosit <600/mm3 atau <8 % leukosit; 7). Serum

albumin<4

grVo

t265

PEhTYAKITHODGKIN

Dosis

Regimen

(mg/m2)

MOPP
- Mechloretamine
- Oncovin
- Procarbazine
- Prednisone
COPP
- Cyclophosphamide
- Oncovin
- Procarbazine
- Prednisone

PemDerlan

Jadwal (hari)

Siklus
(hari)
21

1,8
1,8

1,4
100

40

PO
PO

1-14
1-14

PO
PO

'l,8
'l,8
1-14
1-14

28

650
1,4
100

40

zo

ABVD
- Adriamycin
- Bleomycin
- Vinblastine
- Dacarbazine

25

,15

'I,15

10
6

1,15
1,15

375

12 minggu

Stanford V
- Mechlorethamine
- Adriamycin
- Vinblastine
- Vincristine
- Bleomycin
- Etoposide
- Prednisone
- G-CSF

ZJ
6
1,4

IV

60x2
40

Pasien tanpa faktor risiko FFP = 847c, dengan satu faktor


risiko FFP = 71Vo, dengandua faktor risiko FFP = 61Vc,tiga

faktor risiko FFP = 607c. empat faktor risiko FFP = 517c.


lima faktor risiko atau lebih FFP = 127c.

PO
Q'

minggu 1,5,9
minggu 1,3,5,9,11
minggu 1,3,5,9,11
minggu 2,4,6,8,10,12
minggu 2,4,6,8,10,12
minggu 3,7,1 1
minggu 1-9, tappering
minggu 10 - 12

REFEBENSI
Hodgkin's Disease ; National Comprehensive Cancer Network, Clinical Practice Guidelines in Oncology, Version 1, 2004
Diehl V Mauch PY Harris NL : Hodgkin's Disease in Vincent T
Devita Jr Eds Cancer, Princlples and Practice of Oncology'
Lippincot Williams & Wilkins, 6'h Ed., 2001, pp 2339-81
.

Terapi

Relaps
Relaps setelah
radioterapi
Nodal relaps CS
tanpa gejala B,
tanpa radioterapi
sebelumnya
Progresif primer
Relaps dini
Relaps lanjut

l-

Kemoterapi
ll

Radioterapi salvage

High dose chemotherapy (HDCT)


diikuti oleh transplantasi sel asal
"Autologous Stem Cell
T ranspla ntation" (ASCT)

Stein RS and Morgan DS : Hodgkin's Disease in Wintrobe's


Clinical Hematology, Lippincott Williams & Wilkins, 11'h Ed,
2004, pp 252t-s4.
Iman Supandiman, Rachmat Sumantri, Heri Fadjari, Pandji Irani
Fianza, Amaylia Oehadian : Pedoman Diagnosis dan Terapi
Hematolog - Onkologi Medik, Bandung, 2003.

201
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT
Panjilrani Fianza

DEFINISI

di atas 60 tahun; 4). Obat kemoterapi; 5).


Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan
LLA L3; 6). Pasien dengan sindroma Down dan Wiskottpada usia

Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal


dari sel-sel prekursor limfoid. Lebih dari 807o kasus, selsel ganas berasal dari limfosit B, dan sisanya merupakan
leukemia sel T. Leukemia ini merupakan bentuk leukemia
yang paling banyak pada anak-anak. Walaupun demikian,
2O7o dari kasus LLA adalah dewasa. Jika tidak diobati,
leukemia ini bersifat fatal.

Aldrich mempunyai risiko yang meningkat untuk menjadi


LLA.

PATOGENESIS MOLEKULAR
Kelainan sitogenetik yang paling sering ditemukan pada
LLAdewasaadalaht(9;22)IBCR-ABL(20-307o)dant(4;ll)/

ALLl-AF4 (67o). Kedua kelainan sitogenetik ini

EPIDEMIOLOGI

L,erhubungan dengan prognosis yang buruk. Fusi gen


BCR-ABL merupakan hasil dari translokasi kromosom 9
dar 22 lt(9;22)(q34;q11)l yang dapat dideteksi hanya
dengan pulse-field gel electrophoresis atau reverse-

Insidensi LLA adalah 1/60.000 orang per tahun, dengan


757o pasien berusia kurang dari 15 tahun. Insidensi
puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak ditemukan
pada pria daripada perempuan. Saudara kandung dari
pasien LLA mempunyai risiko empat kali lebih besar untuk
berkembang menjadi LLA, sedangkan kembar monozigot
dari pasien LLA mempunyai ri sko 207o untuk berkembang

transcriptase poltmerase chain reaction. ABL adalah


nonreceptor tyrosine protein kinase yang secara enzimatik
mentransfer molekul fosfat ke substrat protein, sehingga
terjadi aktivasijalur transduksi sinyal yang penting dalam
regulasi proliferasi dan pertumbuhan sel.

menjadiLLA.

Kelainan yang lain yaitlu -7 , +8, dan karyotipe


hipodiploid berhubungan dengan prognosis yang
ETIOLOGI

buruk; sedangkan t(10;14) dan karyotipe hiperdiploid


tinggi berhubungan dengan prognosis yang baik.

Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak


diketahui. Faktor keturunan dan sindroma predisposisi

Mekanisme umum lain dari pembentukan kanker adalah


hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor yang
mempunyai peranan penting dalam mengontrol progresi
siklus sel, misalnya p16(INK4A) dan p15(INK4B).
Kejadian yang sering adalah delesi, mikrodelesi, dan
penyusunan kembali gen (gene rearrangement) yang
melibatkan pl 6(INK4A) dan p16(INK4B). Kelainan
ekspresi dari gen supresor tumor Rb dan p53 ternyata
lebih sering terjadi. Kelainan yang melibatkan dua atau
lebih gen-gen ini ditemukan pada sepertiga pasien LLA

genetik lebih berhubungan dengan LLA yang terjadi pada


anak-anak. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis
yang berhubungan dengan LLA adalah : 1). Radiasi ionik.

Orang-orang yang selamat dari ledakan bom atom di


Hiroshima dan Nagasaki mempunyai risiko relatif
keseluruhan 9,1 untuk berkembang menjadi LLA:-2).
Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan

aplasia sumsum tulang, kerusakan kromosom, dan


leukemia; 3). Merokok sedikit meningkatkan risiko

LLA

dewasa.

t266

t267

LEUKEMIA LIMFOBI.ASiTIK AKUT

Klasifikasi Morfologi the French-AmericanBritish (FAB):


. Ll: Sel blas berukuran kecil seragam dengan sedikit

KLASIFIKASI

Klasifikasi lmunologi

.
'

Precursor B-Acute LymphobLastic Leukaemia (ALL))Va'. common ALL (50Vo), null ALL, pre - B ALL
T-ALL(25Vo)

"
.

B-ALL(5a/o)

Definisi subtipe imunologi ini berdasarkan atas ada atau


tidak adanya berbagai antigen permukaan sel. Subtipe
imunologi yang paling sering ditemukan adalah common
ALL. Null cell ALLberusal dari sel yang sangat primitif dan
lebih banyak pada dewasa. B-ALLm:erupakan penyakit yang
jarang, dengan mofologi L3 yang sering berperilaku sebagai
limfoma agresif (varian Burkitt).

sitoplasma dan nukleoli yang tidak jelas


L2: Sel blas berukuran besar heterogen dengan nukleoli
yang jelas dan rasio inti-sitoplasma yang rendah
L3'. Sel blas dengan sitoplasma bervakuola dan basofilik
Kebanyakan LLA pada dewasa mempunyai morfologi

L2, sedangkan tipe L1 paling sering ditemukan pada anak.'


Sekitar 95% dari semua tipe LLA kecuali sel B mempunyai
ekspresi yang meningkat dari terminal deoxynucleotidyl
transferase (TdT), suatu enzim nuklear yang terlibat dalam
pengaturan kembali gen reseptor sel T dan imunoglobulin.

Peningkatan ini sangat berguna dalam diagnosis. Jika


konsentrasi enzim ini tidak meningkat, diagnosis LLA
dicurigai.

GAMBARAN KLINIS
Presentasi klinis LLA sangat bervariasi. Pada umumnya
gejala klinis menggambarkan kegagalan sumsum tulang

atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia.


Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsum tulang

menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah


perifer dan gejala klinis dapat berhubungan dengan
anemia, infeksi, dan perdarahan. Demam atau infeksi
yang jelas dapat ditemukan pada separuh pasien LLA,
sedangkan gejala perdarahan pada sepertiga pasien
yang baru didiagnosis LLA. Perdarahan yang berat

(a)

jarang terjadi.
Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan:
. Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada

.
.

Anoreksia
Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang

.
.

oleh sel-sel leukemia)


Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme)
Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis,

atau sepsis" Penyebab yang paling sering adalah


stafilokokus, streptokokus, dan bakteri gram negatif

(b)

.
.
.
.
.
.

.
Gambar 1" Morfologi sel blas LLA (a) Tipe
Tipe L3

L1

; (b) Tipe L2; (c)

usus. serta berbagai spesies jamur.


Perdarahan kulit (petechiae, atraumatic ecchymosis),
perdarahan gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna,
perdarahan otak
Hepatomegali
Splenomegali

Limfadenopati
Massa di mediastinum (sering pada LLA sel T)
Leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah
(gejala tekanan tinggi intrakranial), perubahan dalam
status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf
dan VII, kelainan neurologik fokal

VI

Keterlibatan organ lain: testis, retina, kulit, pleura,


perikardium, tonsil

1268

HEI\TAIIOLOGI

GAMBARAN LABORATOBIUM
Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk
konfirmasi diagnostik LLA, klasifikasi prognostik dan
perencanaan terapi yang tepat, yaitu :

Hitung Darah Lengkap (Complete Blood


Countl dan Apus Darah Tepi
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada
saat diagnosis. Hiperleukositosis (> 1 00.000/mm3) terj adi
pada kira-kira 1 5 7o pasien dan dapat melebihi 200. 000/mm3.

Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia.


Proporsi sel blas pada hitung leukosit bervariasi dari 0
sampai lO)Vo. Kfu a-V,tra sepertiga pasien mempunyai hitung
trombosit kurang dari 25.000/mm3.

Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang


Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan klasifikasi, sehingga semua pasien LLA harus
menjalani prosedur ini. Spesimen yang didapat harus
diperiksa untuk analisis histologi, sitogenetik dan

immunophenotyping. Apus sumsum tulang tampak


hiperselular dengan limfoblas yang sangat banyak, lebih

dai9lVo

sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang


seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi
sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dat', jaingan biopsi penting untuk evaluasi gambaran

sitologi.

Untuk

se1

T: CDLa,CD2,CD3, CD4, CD5, CD7 ,CDS dan

TdT

Untuk sel B: kappa atau lambda, CD19, CD20, danCD22

Pada sekitar l5-547o LLA dewasa didapatkan ekspresi


antigen mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi
adalah CD13, CD15, dan CD33.
Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid
dapat ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini
jarang, dan perjalanan penyakitnya buruk.

Sitogenetik
Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa
kelainan sitogenetik berhubungan dengan subtipe LLA
tertentu, dan dapat memberikan informasi pro gn ostik ( tabel
1 ). Translokasi t( 8 ; I 4), t(2 ; 8), dan t( 8 ;22'1 hany a ditemukan
pada LLA sel B, dan kelainan kromosom ini menyebabkan
disregulasi dan ekspresi yang berlebihan dari gen c-myc
pada kromosom 8. Beberapa kelainan sitogenetik dapat

ditemukan pada
P hi I a d e lp h i a, t(9

LLA

atau

;22) (q3 4 ;q

LMA, misalnya kromosom

11)

yan g khas

untuk leukemi

mielositik kronik dapat juga ditemukan pada <5Vc LI|/A


dewasa dan 207o-3OVo

LLA

dewasa.

Biologi Molekular
Teknik molekular dikerjakan bila analisis sitogenetik rutin
gagal, dan untuk mendeteksit(l2t2l) yang tidak terdeteksi
dengan sitogenetik standar. Teknik ini juga harus dilakukan
untuk medeteksi gen BCR-ABL yang mempunyai prognosis buruk.

Sitokimia
Gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau
sumsum tulang kadang-kadang tidak dapat membedakan
LLA dari leukemi mieloblastik akut (LMA). Pada LLA,
pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan
memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase adalah
enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari
prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas

LMA. Sitokimia juga berguna untuk

Pemeriksaan Lainnya
Parameter koagulasi biasanya normal dan koagulasi
intravaskular diseminatajarang terjadi. Kelainan metabolik
seperti hiperurikemia dapar terjadi terutama pada pasien
dengan sel-sel leukemia yang cepat membelahdan tumor

burden yang tinggi. Pungsi lumbal dilakukan pada saat


diagnosis untuk memeriksa cairan serebrospinal. Perlu atau

membedakan

precursor B dan B-ALL dari T-ALL. Pewarnaan fosfatase


asam akan positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan
sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan
periodic acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh

limfoblas dapat dideteksi dengan

pewarnaan

Hiperdiploidi tinggi (lebih dari 50


Hiperdiploidi

(47-50)

imunoperoksidase atau flow cytometry).

Hipodiploidi (kurang dari

cytometry)
Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi
LLA. Reagen yang dipakai untuk diagnosis dan identifikasi
subtipe imunologi adalah antibodi terhadap:

. Untuk sel prekursor B: CD10 (common


ant

n),CD 19, CD7

chain, danTdT

9 A, CD22,

cyt op

kromosom)

eait
Sedang

Pseudodiploidi(46denganperubahanstruktur/numerik Sedang

lmunofenotip (dengan sitometri arus/Flow

ig e

Prognosis

Kelainan
Perubahan numerik

I as

mi

m -h

ALL
e

avy

46)

Kelainan struktur
Kromosom Philadelphia
t (12;211-t (1;19)
t (4;1 1 )...
t (8;14)

'

Buruk
Gen yang terlibat

t(9i22\* BCR-ABL
TEL-A|VL1
E2A-PBX1
MLL-AF4
IVYC

Buruk
Baik
BaiK

Buruk
Baik

Harus dibedakan dari krisis blas limfoid dari leukemia mieloid kronik

''. Terjadi pada 30% kasus LLA anak.

Terdapat pada LLA sel B dengan morfologi L3

1269

LEUKEMIA LIMfICBI.ASTIK AKUT

tidaknya tindakan ini dilakukan pada pasien dengan


banyaknya sel blas yang bersirkulasi masih kontroversi.
Definisi keterlibatan susunan sarafpusat (SSP) adalah bila
ditemukan lebih dari 5 leukosit/ml cairan serebrospinal
dengan morfologi sel blas pada spesimen sel yang
disentrifugasi.

imunofenotip, analisis molekular BCR-ABL

DIAGNOSIS BANDING

.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pendekatan diagnosis

.
.
.

.
.

LLA dewasa

Aspirasi dan biopsi sumsum tulang :


- Pewarnaan sitokimia, analisis sitogenetik, analisis

Limfositosis, limfadenopati dan hepatosplenomegali


yang berhubungan dengan infeksi virus dan limfoma
Anemia aplastik

Anamnesis
Pemeriksaan fisik

TERAPI

Pemeriksaan laboratorium :
- Hitung darah lengkap, apus darah tepi, pemeriksaan
koagulasi, kadar fibrinogen, kimia darah, golongan
darah ABO dan Rh, penentuan HLA
Foto toraks atau computed tomography
Pungsi lumbal

Kelompok

Tahun

(pasien)

Umur*

lnduksi

28

V,P,A,D,C,
AC, M,MP

Keberhasilan terapi LLA terdiri dari kontrol sumsum tulang


dan penyakit sistemiknya, juga terapi atau pencegahan
SSP. Hal ini dapat tercapai dengan kombinasi pemberian

kemoterapi dan terapi pencegahan SSP (kemoterapi


intratekal dan/atau sistemik dosis tinggi, dan pada

Konsolidasi

Pemeliharaan

CR

Studi dengan > 500 pasien


GMALL

02184

1993

562

XA
MRC/ECOG

'1993
.1997
1999

GMALI. 05/93

2001

1163

35

V,P,A,D,C,
AC,M,MP

2002

794

28

V,P,A,D,C,
lHDAC,Mil

FGTALL
MRC-UKALL

GTMEMA

0288

Total (% =
mean)

581

618

33
>

i.

920

V,P,D/R,C[
AD,AC]
V,P,A,D
V,P,D,A,C,
AC,MP

DX,AD,AC,C,T
G,VM
AD,AC,A

MP,M

75%

39% pd 7th

IVP,M,V,C,P,AD

76Yo

30% pd

MP,M,V,P
MP,M,V,P

82Yo

28% Pd 5th

MP,M

83%

,AC

[AC,VP,D,TG]
HDM,A
lAC,VP,V,DX,D,
C,TG] t SCT
V,DX,AD,AC,C,
TG,VM,AC,HD
M,A,C
lHDAC,Mrl
V,HDM,HDAC,
DX,VM

MP,M,V,[AC,Mi,
VM,HDAC,HDM
,DX]

weight.d

4638

oth

89o/o

82%

29%

pd

gth

82% 31o/o

Studi terbaru dengan > 100 pasien


Pethema ALL-93

998

'108

2a

V,P,D,A,C

CALGB

998

198

35

Sweden

1999

120

44

HDAC,

V,P,D,A,C

MDACC
Lombardia

2000
2001

204
121

39

C,D,V,BX
V,AD,DX,C

35

r,v,A,P,[c]

Netherlands

2001

193

33

Standar

HDM,
V,D,P,A,C,VM,A

MP,M

AC]
MP,M,V,P

C,MP,AC,V,A,M,
AD,DX,TG,P
AD,HDAC,V,BX,
C,D,VP SCT
HDM,HDAC,C,P
I,V,C,VM,HDAC,
HDM,DX t SCT
HDAC, VP 16 +
allo/auto SCT

86% 41%pd4th

lv,P,Mi,A,c,vM,

Tidak
dilaporkan
MP,M,V,P
MP,M

85%

36% pd 3th

85%

36% pd 3th

91o/o

38% pd 5th
49% pd 3th

84%

B2o/o 35% pd Sth

86% 38%
944
Total (% = weighted
mean\
* median umur atau rentang
Singkatan: CR complete remission; LFS, leukemia free survival: V, vinkristin; P, prednison; A, asparaginase; D, daunorubisin; C,
cyclophosphamide;
AC, cytarabine;M, methotrexate;MP, mercaptopurine; DX, deksametason; AD, adriamisin; TG, tioguanin; VM, fentposlde; R,
rubidazone', VP, etoposlde; HDAC, high dose AC; HDM, hlgh dose M; SCT, sfem cell transplantation; Mi, mitoxantrone; BX,
betametasoni l, idarubisin

1270

HEMIIiTOI.OGI

beberapa kasus dengan radiasi kranial). Lama rata-rata


terapi LLA bervariasi antara 1,5-3 tahun dengan tujuan
untuk eradikasi populasi sel leukemia.
Terapi LLAdibagi menjadi :
. Induksi remisi

.
.
.

Intensifikasi atau konsolidasi


Profilaksis susunan sarafpusat (SSP)
Pemeliharaan jangka panjang

Sebelum terapi dimulai harus diperhatikan hal-hal berikut dari


paslen:

Metabolik
Hiperurisemia, hiperfosfatemi,a dan hipokalsemia sekunder
dapat terjadi pada pasien dengan jumlah sel leukemia yang
sangat banyak. Hal ini memerlukan hidrasi intravena,

dan pemberian faktor perlumbuhan (granulocyte colonystimulating factor/GSCF). GSCF tidak memperbaiki CR tapi
mempersingkat lama neutropenia 5-6 hari dan menurunkan

insidens infeksi. Penambahan L-asparginase tidak


memperbaiki frekuensi dan durasi CR.

Terapi lntensifikasi atau Konsolidasi


Setelah tercapai remisi komplit, segera dilakukan terapi
(e ar ly int e n s ifi c at i o n) yang bertuj uan untuk
mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps
danjuga timbulnya sel yang resisten obat. Terapi inijuga
dilakukan 6 bulan kemudian (.late intensification). Sfidi

intensifikasi

Cancer and Leukemia Group B menunjukkan durasi remisi


dan kelangsungan hidup yang lebih baik pada pasien LLA

alkalinisasi urin, dan pemberian alupurinol untuk

yang mencapai remisi dan mendapat 2 kali terapi


intensifikasi (early dan late intensification) daripada

mencegah akumulasi asam urat.

pasien yang tidak mendapat terapi intensifikasi. Berbagai

lnfeksi

tergantung protokol yang dipakai.

dosis mielosupresi dari obat yang berbeda diberikan


Selain mielosupresi, terapi

LLA dapat menekan imunitas

seluler sehingga ada yang memberikan pencegahan

Profilaksis SSP

terhadap infeksi virus herpes dan Pneumonytis carinii.

Profilaksis SSP sangat penting dalam terapi LLA. Sekitar


50Vo-l 5Vo pasien LLA yang tidak mendapat terapi
profilaksis ini akan mengalami relaps pada SSP. Profilaksis
SSP dapat terdiri dari kombinasi kemoterapi intratekal,

Hematologik
Batas untuk pemberian transfusi sel darah merah
tergantung dari keadaan fisiologik pasien. Transfusi sel
darah merah harus dihindari pada pasien dengan
hiperleukositosis karena dapat meningkatkan secara
mendadak viskositas darah dan mempresipitasi
leukostasis.
Pada keadaan hiperleukositosis (leukosit > 1 00.000/mm)
dilakukan leukoferesis atau pemberian prednison selama
7 hari atau vinkristin sebelum terapi induksi remisi dimulai.

Terapi lnduksi Remisi

radiasi kranial dan pemberian sistemik obat yang


mempunyai bioavaliabilitas SSP yang tinggi seperti
metotreksat dosis tinggi dan sitarabin dosis tinggi.
Pemberian ketiga kombinasi terapi ini ternyata tidak
memberikan hasil yang superior, sedangkan kemoterapi
intratekal saja atau kemoterapi sistemik dosis tinggi saja
tidak memberikan proteksi SSP yang baik. Kemoterapi
intratekal dengan radiasi kranial (antara 1800-2400 cGy)
memberikan angka relaps SSP yang sama dengan
kemoterapi intratekal + kemoterapi sistemik dosis tinggi
tanpa radiasi kranial yaitu antara )Vo-llTo.

Tujuan dari terapi induksi remisi adalah mencapai remisi

komplit hematologik (hematologic complete remission/


CR), yaitu eradikasi sel leukemia yang dapat dideteksi secara
morfologi dalam darah dan sumsum tulang dan kembalinya

hematopoiesis normal. Tulang punggung terapi induksi


remisi adalah prednison dan vinkristin. Terapi ini biasanya
terdiri dari prednison, vinkristin, dan antrasiklin (pada

umumnya daunorubisin) dan juga L-asparginase.


Tambahan obat seperti siklofosfamid, sitarabin dosis

Pemeliharaan Jangka Paniang


ini terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari

Terapi

metotreksat seminggu sekali selama 2-3 tahun. Pada

anak terapi

ini

dan

LLA

memperpanjang disease-free suryival,

sedangkan pada dewasa angka relaps tetap tinggi.


Tabel 2 memperlihatkan hasil terapi LLA dewasa dari
berbagai studi.

konvensional atau tinggi, merkaptopurin dapat diberikan


pada beberapa regimen.

Transplantasi Sumsum Tulang

Terapi dengan prednison dan vinkristin menghasilkan


CR pada sekitar 507o pasien LLA de novo. Penambahan
antrasiklin memperbaiki CR menjadi 70-85%. Daunorubisin

Padapasien LLA yang mempunyai risiko tinggi untukrelaps

biasanya diberikan seminggu sekali, tapi beberapa

yartu:

penelitian memberikan dosis intensifikas i (30-60mg/rfr 2-3


hari). Dosis intensifikasi berhubungan dengan mortalitas
yang tinggi, sehingga diperlukan terapi suportif intensif

dilakukan transplantasi sumsum tulang alogenik pada


remisi komplit yang pefiama. Risiko tinggi untuk relaps

.
.
.

Kromosom Philadelphia
Perubahan susunan gen

Hiperleukositosis

MLL

L27t

LEUKEMIA LIMFIOBI.ASiTIK AKUT

Gagal mencapai remisi komplit dalam waktu 4 minggu

Pasien LLA dewasa yang mengalami relaps setelah


mencapai remisi komplit harus menjalani transplantasi
sumsum tulang alogenik begitu remisi kedua tercapai.

.
.

Terapi untuk B-ALL


Kebanyakan B-ALL tidak dapat diterapi dengan regimen

LLA konvensional. Karena kecepatan proliferasi sel-sel


leukemia-nya tinggi, maka diberikan terapi
hyperfractionation dari siklofosfamid dosis tinggi dan
metotreksat dosis tinggi. Saat ini tidak ada terapi yang
efektif untuk B-ALL yang refrakter atau relaps.

frozen plasma.
Dosis pemeliharaan:

.
.
.

Pilihan Terapi dan Pengelolaan Baru untuk


LLA Dewasa:

.
.

Inhibitor tirosin kinase STI571, inhibitor farnesil

transferase
Terapi antibodi: supresi target sel blas leukemia sesuai
dengan ekspresi antigennya

CD19:antiCD19
CD20:Rituximab

dan strafikasi risiko_(MRD= sel blas leukemia


residual yang tidak dapat dideteksi dengan
pemeriksaan mikroskopis sumsum tulang. MRD

diperiksa dengan metode Polymerase Chain

pemeliharaan disesuaikan dengan target leukosit 30003500/mm3, jika leukosit meninggi, dosis metotreksat

dinaikkan.
Pencegahan infiltrasi ke SSP
Dilakukan pada keadaan remisi lengkap.

.
.
.

Reaction)

Analisis microarray: Analisis profil ekspresi gen dan


seleksi gen yang diekspresikan secara berbeda:
- Identifikasi faktor prognostik dan gen target untuk
terapi baru.

BEBERAPA PROTOKOL YANG DIPAKAI UNTUK


TERAPI LLA DEWASA ADALAH:

Protokol OPAL (modified)


Induksi remisi :
. Vinkristin 1,5 mg/m2 IV, hari I (max. 2 mg).
. Daunorubisin 30 mg/m2ry hari I,2, 14,27,28.
. Prednison 40 mg/m2 PO, hari 1-28 lalu tappering off2
mlnggu.
. L-asparaginase 10.000 U/m2 IV diberikan pada saat
mendekati remisi komplit selama 4 hari sebelum radiasi
kranial.

Radiasi kranial 2400 rud dalam dosis terbagi (200 radl


kali)

Metotreksat intratekal 10 mg/m2, 2 kali seminggu


sebanyak 5 dosis.

CD52: Campath

Transplantasi sumsum tulang non-mieloablasi:


Penggunaan efek graft -v ersus-leukemia ) ekstensi
indikasi transplantasi sumsum tulang untuk pasien tua
Evaluasi minimal residual disease (MRD): evaluasi
jndividual terhadap respon terapi:
- Penilaian elemen terapi yaitu induksi, terapi baru,

6MP70-90mg/m'zPOtiaphari.
Metotreksat 15 mg/m2 PO tiap minggu.
Pemeliharaan diteruskan sampai 3 tahun, lalu periksa
apus sumsum tulang, cairan spinal, biopsi testis. Bila

terdapat remisi, obat-obatan distop. Dosis

Terapi molekular: inhibisi direk aberasi molekular yang


terlibat dalam patogenesis

Biasanya diperlukan 4 dosis vinkristin (tiap minggu)


dan 5 dosis daunorubisin.
Pemberian metotreksat intratekal sesuai dengan
protokol biasa. Aspirasi sumsum tulang dilakukan
sekitar minggu ke 5 jika trombosit >100.000/mm3 dan
neutrofil > 1000/mm3 untuk konfirmasi respons komplit.
Selama pemberian asparaginase harus dipenksa kadar
fibrinogen. Bila fibrinogen < I 00 mgl dL bet'rkan fre s h

Modifikasi Dosis:

.
.

Mnkristin 1 mgbilabilirubh>2mg%o
Doksorubisin: dosis diturunkan 25To,bilabilirubin 2-3
mgVo , 50Vob11a

.
.

bilirubin 3 -4 mg%o , 7 5Vo bila bilirubin >4

mg%o

Metotreksat: dosis diturunkan: 25Tobllakreatinin 1,5-2


mg%, 5 07o blla W e atinin >2 mgTo
HIDAC 1 gram/m?: bila:
- Usia >60 tahun
- Kreatinin >2mg7o
- Kadarmetotreksat >20 mmoL/L

PROGNOSIS
Kebanyakan pasien LLA dewasa dapat mencapai remisi

tapi tidak sembuh dengan kemoterapi saja, dan hanya


307o yang bertahan hidup lama. Kebanyakan pasien
yang sembuh dengan kemoterapi adalah usia 15-20
tahun dengan faktor prognostik baik lainnya. Harapan
sembuh untuk pasien LLA dewasa lainnya tergantung
dari terapi yang lebih intensif dengan transplantasi
sumsum tulang. Overall disease-free survival rate
untuk LLA dewasa kira-kira 30%. Pasien usia >60 tahun
mempunyai disease-free survival rate llVo setelah
remisi komplit.

Faktor prognostik
TabelT.

LLA

dewasa dapat dilihat pada

t272

HEMISIOI.OGI

Obat
A. Kemoterapi dosis intensif
Hyper - CVAD (siklus 1, 3, 5, 7)
Siklofosfamid

Mesna

300 mg/m'z lV 3 jam tiap 12


jam (6 dosis)
300 mg/m'z lV kontinu sampai
6 jam setelah dosis
siklofosfamid terakhir
2mg lV
50 mg/m2 lV

Vinkristin
Doksorubisin
Deksametason

4-11
4

1-4,11-14

40 mg / hari

MetotreksaVsitosin arabinoside dosis tinggi (MTX / HIDAC) (siklus 2, 4, 6,


200 mg/m'z lV 2 jam
Metotreksat
800 mg/m' lV 24 jam
'15 mg setiap 6 jam (B dosis)
Lekovorin
mulai 24 jam setelah selesai
metotreksat
3 gram/m2 lV 2 jam, tiap
Ara-C
jam (4 dosis)
50 mg lV, 2kali lhari

2.

-3
1-3
'1

12

Metilprednisolon

B)
1

2,3

1-3

3. Profilaksis SSP

Metotreksat
Ara-C

12 mg intratekal (lT)

100m9

Tinggi 16 lT
Rendah 4 fi
Tidak diketahui I lT

Penderita dengan risiko

Profilaksis antibiotik
Siprofloksasin atau
Levofloksasin
Flukonazol
Asiklovir atau
Valasiklovir

500 mg/hari PO
500 mg/hari PO

200 mg/hari PO

2x200mglhari

PO

500 mg/hari PO

B. Terapi Pemeliharaan

Kromosom Philadelphia

(+)

transplantasi sumsum tulang alogenik


atau

IFN +

ara-C selama2tahun

tanpa terapi pemeliharaan


Mature B - cell ALL
terapi POMP selama 2 tahun
Sub tipe lain
1. POMP (Oral 6 merkaptopurine (6 MP), vinkristin, metotreksat, prednison)

6MP

3x50mg PO/hari

Metotreksat
Vinkristin
Prednison

200mg/hari

20 mglm' PO / minggu
2 mg lV / bulan

5x/bulan

(bersama vinkristin)

Profilaksis antibiotik (selama 6 bulan pertama)

Trimetoprim-sulfametoksazol 2xlhari
Asiklovir

atau

Valasiklovir

200 mg PO
500 mg PO

Pada akhir minggu


3 hari / minggu
3 hari / minggu

1273

LEUKEMIA LIMFIOBI.ASITIK AKUT

Dosis

Obat
lnduksi

1lv
6lv
6
5lv
1tv

Vinkristin
Siklofosfamid
Prednison

Daunorubisin atau
Zorubisin
Metotreksat

12

1,8

1-21

tv/Po

1-3
1-3

I,8,

mg lT

Salvage (hari ke 28)


Amsacrine
Sitosin arabinosid

,8, 15,22

15,22

120 mg/m2 lV

1-3

500mg/m2 (12jam) lV

'1

-3

Konsolidasi (3 siklus tiap 4 minggu)

Daunorubisin atau
Zorubisin
Sitosin arabincsid
Asparaginase

60 mg/m'.lV
'120 mg/m' lV

1
1

60 mg/m'z S-C / lM
1000 lU / m' lV / lM

B-12

Konsolidasi sebelum transplantasi sumsum tulang alogenik (1 siklus)


60 mg/m'? lV
Siklofosfamid
'I
Vinkristin
,5 mg/m'z lV
60 mg/m2 lV atau Po
Prednison

n Terapi A (siklus '1. 3. 5 dan


isin

atau

1-5

1-8

60 mq/m' PO
'1,5 mg/m2 lV
60 mg/m'z lV
120 mglm2 lv
60 mq/m' PO
15 mg/m2 Po
1000 6 / m'z lV

at
Doktinomisin
Terapi

7)

1,8
15
15

28-54
35,42,49,56
64

(siklus 2, 4, 6, 8)

Prednison

1-8

Vinkristin

1,8
15

Siklofosfamid
Karmustin

'15

28-54

6MP

35,42,49,56

Metotreksat

64

1000 6 / m'z lV

Daktinomisin

Karakteristik pasien

Faktor

prognostik

Usia (tahun)
Praterapi

Siklofosfamid
Prednison
Blok A

lV ^

Vinkristin

2mg

l\4etotreksat

1500 mq/m' i^fus24


800 mg/m2 infus 1
100 mg/m2 infus 1
150 mg/m' infus 1

lfosfamid
VMr6 (Ien,poslde)
Sitosin arabinosde

jam
jam
jam
jam,

'1, diikuti lekovorin


1

4
4

tiap 12 jam

Deksametason

Metotreksat
Ara-C

Deksametason

Blok

B (setelah istirahat

n'l
Metotreksat

Ara-C

Deksametason

- 5'
-5
-5

10 mg/m'z PO
15 mg lT
40 mg lT
4 mg lT

1-5

16 hari)
2

1
2
2

15

mg

lus24iam

1, diikuti

15 menit)

4,5

1-5

-5

Profilaksis SSP : radiasi kranial24 Gy setelah terapi Blok B


Terapi pada CNS involvement: radiasi kranial dan neuroaksis
Metotreksat, Ara - C, deksametason lT

Jumlah lekosit (x106/ml)


< 30.000
> 30.000 (> 100.000 untuk sel T)
lmmunophenotype
T-cell ALL
Mature B-cell ALL, early T-cell ALL
Sitogenetika
Kelai nan 12p; t(1 0;1 4)G2a;q1 1 )
Normal; hiperdiploid
t(9;22), t(4 ;1 1), t( 1 ; 1 9), hipodiploid, -7,+8

1-5

lT

40 mg lT
4 mg lT

<30
>30

1-5
1-5

200 mg/m2 lV
60 mg/m'z PO

lekovorin

Respons terapi
Remisi komplit dalam 4 minggu
Minimal residual dlsease persisten

Baik

Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Sedang
Buruk
Baik
Buruk

1274

HEMATIOI.OGI

Obat

Dosis

Fase I : lnduksi (4 minggu)


Siklofosfamid .
Daunorubisin *
Vinkristin
Prednison "
L - asparaginase (E - coli)

lV
lV
1,2,3
mg lV
1, B, 15,22
tV
1 - 21
6000tu/m'zsc/tM 5,8, 11, 15, 18,

1200 mg/m'z
45 mg/m'
2
60 mg/m2 PO /

22
Fase ll A:lntensifikasi dini (4 minggu, ulang lagi 1 kali untukfase ll B)
Metotreksat
15 mg
1000 mg/m'z lV
6
60 mg/m'z PO
-14
75 mg/m'z SC
-4,8-11
2 mg lV
15,22
L - asparaginase (E 6000 lU /m'z SC / lM
15, 18,22,25

intratekal
Siklofosfamid
MP
Sitarabin
Vinkristin
coli)
lll : Profilaksis SSP
Radiasi
Metotreksat

Fase

dan pemeliharaan (12 minggu)

kranial
intratekal

MP
Metotreksat
Fase lV : lntensifikasi lanjut (B
6

1-12
1 - 8, 15 -22,29
1-70

2400 cGy
15 mg

60 mg/m'z PO
20 mg/m'z PO

36, 43, 50, 57, 64

minggu)

Doksorubisin
Vinkristin
Deksametason
Siklofosfamid
6 - Tioguanin
Sitarabin

1,8,15

30 mg/m'z lV
2 mg lV

1, 8, 15

1-14

10 mg/m2 PO
10OO mg/m'? lV

29

60 mg/m2 PO
75 mg/m' SC

29-42
29-32,36-39

Fase V : Pemeliharaan jangka panjang (sampai 24 bulan setelah diagnosis)


'l
Vinkristin
2mg lV
,tiap4minggu
Prednison
60 mg/m2 PO

1-5,tiap4

mrnggu

6MP

:':

1-28

60 mg/m'z Po
20 mg/m'z Po

Metotreksat

,8, 15,22

untuk penderita > 60 tahun


800 mg/m2, hari 1
30 mg/m', hari 1,2,3
60 mg/m2, hari 1
G - CSF 5 pg/kg SC / hari diberikan pada hari ke 4
sampai netrofil > 1000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak > 24 jam.
Keterangan

Siklofosfamid
Daunorubisin

Prednison

REFERENSI
Baxter Oncology. Selected schedules of therapy for malignant
tumours Part 1: Haematologic Malignancies, lO'h ed; 2001.
Cao TM, Coutre SE. Acute lymphoblastic leukemia in adults. In:
Greer JP Foerster J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader

B, editors. Wintrobe's Clinical Hematology. 11th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wi,lkins; 2004. p 2071-96.
Charrin C. Cytogenetic abnormalities in adult acute lymphoblastic
leukemia: correlations with hematologic findings and outcome.

A collaborative study of the Groupe Francais de Cytogenetique


Hematologigue. Blood. 1996;87 :3135-42.
In: Schmaier AH. Petruzzelli LM, editors.
Hematology for the medical student. Philadelphia: Lippincott
Wiliams & Wilkins; 2003. p. 173-84.
Freedman AS, Nadler LM. Malignancies of lymphoid cells. In: Fauci
AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al, editors. Harrison's Principles of Intemal Medicine. 14th edition. New York: Mc GrawHill; 1998. p. 695-712.
Erba HP Acute leukemia.

-7

Garcia-Manero G, Kantarjian HM. The Hyper-CVAD regimen in


adult acute lymphocytic leukemia. In: Kantarjian HM, Hoelzer
D, Larson RA, editors. Hematology/oncology clinics of North

America. Advances in the treatment of adult

acute

lymphocytic leukemia, Part I. Philadelphia: W.B. Saunders


Company. 2000. p. 1381-96.
Hallbook H, Simonsson B, Bjorklolm M, et al. High dose ara-c as
upfront therapy for adult patients with acute lymphoblastic
leukemia (ALL). B1ood. 79991,94:1327 a.
Hoelzer D, Gokbuge N, Ottmann O, et a1. Acute lymphoblastic
leukemia. Hematology. 2002: 162-92.
Howard MR, Hamilton PJ. Haematology: An illustrated colour text.
Second edition. Edinburgh: Churchill Livingstone; 2002.
Larson RA, Dodge RK, Linker CA, et al. A randomized controlled

trial of filgrastim during remission induction consolidation


chemotherapy for adults with acute lymphoblastic leukemia:
CALGB study 9111. Blood. 1998;92:1556-64.
Larson RA, Dodge RK, Burns CP, et al. A five-drug remission
induction regimen with intensive consolidation for adults with

t275

LEUIGMIA LIMF1OBIASTIK AKUT

acute lymphoblastic leukemia: cancer and leukemia group B


study 8811. Blood. 1995;85:2025-37.
Larson RA. Recent Clinical trials in acute lymphocytic leukemia by
the cancer and leukemia Group B. In: Kantarjian HM, Hoelzer
D, Larson RA, editors. Hematology/oncology clinics of North
America. Advances in the treatment of adult acute lymphocytic leukemia, Part I. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
2000. p. 1367-79.
Mandelli F, Annino L, Rotoli B. The GIMEMA ALL 0183 trial:
analysis of l0-year follow-up. GIMEMA Cooperative Group,
Italy. Br J Haemotol. 7996;92: 665-12.
Supandiman I, Sumantri R, Fadjari H, Irani P, Oehadian A. Pedoman
diagnosis dan terapi hematologi onkologi medik. Bandung: Q-

Communication;2003.

Treatment statement for Health professionals. Adult acute lymphoblastic leukemia. Available from:URL:http ://www.meb. unibonn.de/cancer. gov/CDR0000062864.html
Thiebaut A, Vernant JP, Degos L, et al. Adult acute lymphocytic
leukemia study testing chemotherapy and autologous and allogeneic transplantation: A follow-up report of the French Protocol LALA 87. In: Kantarjian HM, Hoelzer D, Larson RA,
editors. Hematology/oncology clinics of North America. Advances in the treatment of adult acute lymphocytic leukemia,
Part I. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 2000. p. 135366.

Wetzler M, Dodge RK, Mrozek K, et al. Prospective karyotype

in adult acute lymphoblastic leukemia: The cancer and


leukemia group B experience. Blood. 1999;93: 3983-93.
analysis

202
LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK
Linda W.A. Rotty

DEFINISI

menunjukkan keterlibatan gen bcl-1 dan bcl-2 pada5-15Vo


pasien sedangkan gen bcl-3 hanya kadang-kadang terlibat.

Leukemia limfositik kronik (LLK) adalah suatu keganasan

Protoonkogen lcr dan c-fgr, yang mengkode protein


kinase tirosin diekspresikan pada limfosit yang terkena
LLK tetapi tidak pada sel B mumi yang normal. Saat ini

hematologik yang ditandai oleh proliferasi klonal dan


penumpukan limfosit B neoplastik dalam darah, sumsum
tulang, limfonodi, limpa, hati dan organ-organ lain. LLK

LLK didapatkan delesi homozigot dari regio genom


telomerik gen retinoblastoma tipe-1 dl3s25. Hal ini
pasien

ini masuk dalam kelainan limfoproliferatif. Tanda-tandanya


meliputi limfositosis, limfadenopati dan splenomegali.
Kebanyakan LLK (95Eo) adalah neoplasma sel B, sisanya

menunjukkan bahwa gen supresor tumor baru terlibat dalam

LLK

neoplasma sel T.

Sel B darah tepi normal adalah subpopulasi limfosit B


CD5+ matur (sama dengan Sel B-1a) yang terdapat pada
zona mantel limfonodi dan dalam jumlah kecil di darah. Sel

B LLK mengekspresikan imunoglobulin membran

EPIDEMIOLOGI
Usia rerata pasien saat diagnosis 65 tahun, hanya l}-l5Vo
kurang dari 50 tahun. Angka kejadian di negara Barat3l
100.000. Pada populasi geriatri, insidens di atas usia 70
tahun sekitar 50/ I 00. 000. Risiko terj adinya LLK meningkat
seiring usia. Perbandingan risiko relatif pada pria tua adalah
2,8: I perempuan tua. Kebanyakan pasien memiliki ras
Kaukasia dan berpendapatan menbngah.
Perjalanan penyakit bervariasi. Kondisi penyakit sel B
dapat diramal kelangsungan hidupnya antara lebih dari 10
tahun sampai kurang dari 19 bulan, dan 9 tahun untuk
seluruh populasi pasien LLK. Beberapa pasien dengan

LLK mempunyai

masa hidup normal dan yang lain

meninggal dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis.


Beberapa tahun terakhir kemajuan penting dicapai dalam
pemahaman biologi, perjalanan alami dan pengobatan.

PENYEBAB

permukaan yang umumnya rendah kadarnya, kebanyakan


IgM, IgD dibandingkan sel B darah tepi normal, dan single
light chain (kappa dan lambda). Juga mengekspresi antigen sel T CD5, antigen HLA-DR dan antigen sel B (CD19
dan CD20) mempunyai reseptor untuk sel darah merah
tikus, dan menghasilkan autoantibodi polireaktif. Ekspresi
gen VH dan VL terbatas pada sel-sel tersebut. Berdasarkan
karakteristik tersebut, LLK kemungkinan merupakan akibat
dari suatu proses bertahap, dimulai dengan ekspansi
poliklonal yang ditimbulkan oleh antigen terhadap limfosit
B CD5+ yang di bawah pengaruh agen mutasi pada

akhimya ditransformasi menjadi proliferasi monoklonal.


Limfosit B CD5+ neoplastik menumpuk akibat hambatan
apoptosis (kematian sel terprogram). Meskipun genbcl-2

jarang mengalami translokasi, tetapi terus menerus


diekspresikan secara berlebihan, yang mengakibatkan
bertambah panjangnya kelangsungan hidup sel LLK.
Selain itu sitokin terlibat dalam pengaturan pertumbuhan
dan diferensiasi sel-sel tersebut. Pada LLK, TNF alfa dan
IL-10 berperan sebagai growthfactor. Dalam perjalanan

masih belum diketahui. Kemungkinan yang


berperan adalah abnormalitas kromosom, onkogen dan

penyakit ekspresi berlebihan CD38, onko gen c-myc, delesi


gen RB-1, dan mutasi gen supresor tumor p53 juga terjadi.

retrovirus (RNA tumour virus) Penelitian awal

Sekitar 507o pasien LLK mempunyai abnormalitas

Penyebab

LLK

t276

1277

LEUKEMIA LIMF1OSITIK KRONIK

sitogenik, khususnya trisomi 12, kelainan kromosom 13


pada lajur q14 ( lokasi gen supresor RB-1), 14q+, delesi
kromosom 6 dan delesi kromosom 1 1. Hal ini baik dideteksi
melalui fluoresensi in situ, hibridisasi dibandingkan analisis

limfosit). Infiltrasi limfosit ke sumsum tulang bervariasi

sitogenik konvensional. Belum jelas makna kelainan

infiltrasi limfosit ke sumsum tulang belum berarti pasti LLK.


LLK dapat didiagnosis jika ditemukan peningkatan
absolut limfosit di dalam darah (>5000/uL) dan morfologi
serta imunofenotipnya menunjukkan gambaran khas.

tersebut pada tingkat molekular.


Kelainan kariotipik bertambah pada LLK stadium lanjut

dan menunjukkan abnormalitas yang didapat. Evolusi


kariotipik umumnya berhubungan dengan perjalanan
penyakit, terjadi pada 15-40% pasien LLK.

DIAGNOSIS

Manifestasi Klinis
Pada awal diagnosis, kebanyakan pasien LLK tidak
menunjukkan gejala (asimptomatik). Pada pasien dengan
gejala, paling sering ditemukan limfadenopati generalisata,
penurunan berat badan dan kelelahan. Gejala lain meliputi
hilangnya nafsu makan dan penurunan kemampuan
latihan/olahraga. Demam, keringat malam dan infeksi jarang

terjadi pada awalnya, tetapi semakin menyolok sejalan


dengan perjalanan penyakitnya. Akibat penumpukan sel
B neoplastik, pasien yang asimptomatik pada saat

dalam 4 gambaran yaitu interstisial(337o), nodular (10%),


campuran interstisial dan nodular (25Vo) serta infiltrasi
difus (25Vo). Meskipun telah didapatkan limfositosis dan

Klasifikasi France-America-British fAB) membagi tiga tipe


morfologi berdasarkan perbandingan limfosit atipikal di
dalam darah, yaitu:
. LLK tipikal terdiri dari lebih 907o limfosit kecil

.
.

LLK tipe prolimfositik

LLK atipikal

20-307o pasien tidak menunjukkan kelainan fisik. Kelainan

fisik yang sering dijumpai adalah limfadenopati. Sekitar


50Vo pasien mengalami limfadenopati datlatal
hepatosplenomegali. Pembesaran limfonodi dapat
terlokalisir atau merata dan bervariasi dalam ukuran.
Splenomegali dan/atau hepatomegali ditemukan pada 2550% kasus. Infiltrasi pada kulit, kelopak mata, jantung,
pleura, paru dan saluran cerna umumnya jarang dan timbul
pada akhir perjalanan penyakit. Sejalan dengan perjalanan

prolimfositikll-54%o)

yang heterogen tetapi proporsi prolimfosit kurang dari


IjVo.

Kriteria ini tidak selalu menetap. Pada kasus LLK


atipikal, gangguan limfoproliferatif lainnya harus
dipertimbangkan dulu sebelum membuat diagnosis LLK
atipikal; oleh karena itu analisis imunofenotip sel B
neoplastik, data sitogenetik dan molekular dapat
bermanfaat.

diagnosis pada akhirnya akan mengalami limfadenopati,


splenomegali dan hepatomegali.

Pemeriksaan Fisis

(sel

yang ditandai dengan morfologi sel limfosit

Risiko
rendah
Jenis kelamin
Stadium Klinik

Wanita

Pria

Binet A

Binet B / C
RAt il, ilt, tv

RAt O,
Morfologi limfosit
Gambaran dari infiltrasi
sumsum tulang
Waktu penggandaan
limfosit
Penanda serum
Ekspresi CD 38
Abnormalitas gen

Risiko Tinggi

Tipikal
Non diffuse

> 12 bulan
Normal
< 20

Atipikal
Diffuse
< 12 bulan
Meningkat
> 20 -30%
Delesi 1 1q23
Loss/ mutation

- 30o/o

Tidak ada

53

Status gen lgVH

Mutasi

Mutasi (-)

penyakit, limfadenopati masif dapat menimbulkan


obstruksi lumen termasuk ikterus obstruktif, disfagia
uropati obstruktif, edema ekstremitas bawah, dan obstruksi

usus parsial. Timbulnya efusi pleura atau asires

STADIUM

berhubungan dengan prognosis yang buruk.

KRITERIA DIAGNOSIS

Stadium

Gejala klinis dan

laboratorium

Median

survival
(bulan)

Tanda patognomonik LLK adalah peningkatan jumlah


lekosit dengan limfositosis kecil sekitar 95Vo. IJntuk
menegakkan diagnosis sebaiknya dilakukan pemeriksaan

gambaran darah tepi secarahati-hati dan cermat. Gambaran

il

darah tepi tampak limfositosis dengan gambaran limfosit


kecil matur dan smudge cell yang dominan; imunofenotip
khas limfosit (CD5+, CD19+, CD20+, CD23+,FMC7-/+, DAN
CD22-l+); dan infiltrasi limfosit ke sumsum tulan g (>30Vo

IV

Limfositosis darah tepi dan

sumsum

> 150

tulang
I

ilt

Limfositosis + Pembesaran Limfonodi


Limfositosis + Splenomegali /
Hepatomegali
Limfositosis + anemia (Hb < 11 gr/dl)
Limfositosis + trombositopenia
(trombosit < 1 00.000/uL)

101

>71
19
19

1278

Stadium

HEMIIilOI.OGI

Gejala klinis dan

laboratorium

Median

survival
(bulan)

Limfositosis darah tepi dan sumsum

>7

tulang +
< 3 daerah limfoid yang membesar
Limfositosis darah tepi dan sumsum
tulang +
> 3 daerah limfoid yang mebesar
Stadium B + anemia (Hb < 11 g/dl pd
pria dan < 10 gr/dl pada perempuan
atau trombositopenia (<1 00.000/uL)

<5
<2

Catatan: 5 area limfoid : KGB servikal, aksila, inguinal, hati,


limpa

limfositosis perifer dan LDH secara cepat. Pasien-pasien


ini mempunyai kelangsungan hidup rata-rata 6 bulan. Pasien
dengan transformasi ke arah leukemia prolimfositik

manunjukkan anemia progresif, trombositopenia,


limfadenopati, prolimfosit pada darah tepi (>557o),
w astin g

syndrome dan meningkatnya

resistensi terhadap terapi. Transformasi LLK yang lain


meliputi LLA, leukemia sel plasma, mieloma multipel dan
limfomaHodgkin.

Komplikasi Akibat Penyakit Autoimun meliputi tes anti


globulin direct yar,g positif (Coomb's test), anemia
hemolitik, trombositopenia, neutropenia dan aplasia sel

Leukemiaprolimfositik (Selprolimfosit>54%o)

Hairy cell leukemia


Limfomalimfositikkecil
Mantle cell lymphoma

darah merah murni (aplasia pure red cell) atal


agranulositosis. Tes antiglobulir dire ct positif lttngga 207o
LLK selama pe{alanan penyakitnya. Hemolisis klinis
dijumpai pada 50% kasus. Trombositopenia autoimun terjadi

Leukemialimfoplasmasitik

pasien

makroglobulinemiaWaldenstrom
mieloma sel plasma
Leukemia sel T kronik

pada2Vo pasien

.
.
.
.

limfadenopati dan hepatosplenomegali yang progresif,


demam, nyeri abdomen, penurunan berat badan, anemia
dan trombositopenia progresif, dengan peningkatan

hepatosplenomegali,

DIAGNOSIS BANDING

.
.
.
.
.

Thansformasi Meniadi Keganasan Limfoid yangAgresif.


Terjadi sekitar l0-757o. Yang tersering adalah sindroma
Richter (57o) dan leukemia prolimfositik. Pasien dengan
sindroma Richter (limfoma sel besar) sering didapatkan

LLK.

Keganasan sekunder. [,okasi tersering meliputr kulit (mela-

l-eukemial-Gl-

noma dan karsinoma), paru dan saluran cerna. Hal ini


dianggap sebagai konsekuensi terapi imunosupresi yang
poten. Gangguan atau keganasan hematologi lainnyajuga
dilaporkan mempunyai hubungan dengan LLK.

Leukemia sel T dewasa

Limfoma sel T kutan/kulit

KOMPLIKASI
Pasien dengan

LLK dapat menunjukkan

berbagai

komplikasi akibat progresivitas penyakitnya.

Infeksi, Merupakan komplikasi daq penyebab utama


kematian. S. pneumoniae, S. aureus dan H. influenzae
merupakan organisme yang sering dijumpai pada pasien
LLK yang tidak diberikan terapi imunosupresi. Telah terjadi
perubahan spektrum penyakit dan bakteri penyebab pada
pasien-pasien yang diberikan preparat imunosupresan.
Yaitu meliputi baik bakteri gram negatif maupun bakteri

oportunistik seperti Candida, Mycobacterium


tuberculosis, Listeria, P. carinii, Cytomegalovirus,
Aspergillus dan virus herpes. Pasien LLK yang berusia
lebih dari 65 tahun dan/atau dengan stadium lanjut
mempunyai risiko lebih tinggi terhadap infeksi dan biasanya
membutuhkan terapi suportif untuk profilaksis.

Hipogamaglobulinemia dijumpai lebih dai 66Vo pasten pada


akhir penyakit ini. Semua kelas imunoglobulin (IgG IgA
dan IgM) biasanyamemrrun, meskipunjuga dijumpai hanya
satu atau dua imunoglobulin saja yang turun. Penurunan

gamaglobulin dan neutrofil yang sangat bermakna


menyebabkan kerentanan pasien terhadap infeksi bakteri.

PENATALAKSANAN
Diagnosis LLK tidak menandakan perlunya pengobatan.
Saat ini tidak terdapat terapi kuratif untuk LLK. Tujuan
terapi pada kebanyakan pasien LLK adalah meredakan
gejala dan memperpanjang kelangsungan hidup. Tetapi
pada pasien lebih muda dengan faktor risiko buruk,
pendekatan eksperimental dengan tujuan penyembuhan
yang dipilih.

Indikasi terapi adalah:

.
.
.
.
.

Kegagalan sumsum tulang yang progresif yang


ditandai dengan memburuknya anemia dan atau
trombositopenia.
Limfadenopati yang progresif (>10 cm)
Splenomegali masif (>6 cm) atau nyeri pada limpa
Limfositosis progresif (dalam 2 bulan meningkat 507o)
Gejala sistemik yaitu penurunan berat badan >ljVo
dalam 6 bulan, suhu badan >380C selama >2 minggu,

fati gue, keringat malam


Sitopenia autoimun

Kemungkinan terapi terkini menurut faktor prognostik


dan variabel lainnya sebagai berikut:

LEUKEMTA LIMFOSTTIK

t279

KROMK

LLK STADIUM DINIYANG STABIL

KEMOTERAPI KOMBINASI

ini tidak diperlukan terapi kecuali timbul gejala


atau penyakitnya berlanjut. Hal ini didasarkan pada:
Pasien

Kemoterapi kombinasi yang diberikan adalah kemoterapi


yang biasanya diberikan pada pasien limfoma non Hodgkin
atau mieloma multipel . Diindikasikan pada pasien LLK

sama.

yang gagal terhadap terapi tunggal klorambusil atau


siklofosfamid dengan atau tanpa prednison.

Pada pasien

.
.

LLK stadium dini yang stabil bertahan hidup


sebagai mana subyek normal dengan usia yang

Pengobatan pada pasien dengan stadium dini (Binet


stadiumA atau Rai stadium 0) dengan klorambusil, baik

kontinu maupun intermiten memperlambat rasio


progresivitas penyakit tetapi tidak memperbaiki
kelangsungan hidup. Selain itu dalam satu penelitian
terapi kontinu dengan klorambusil berhubungan

Kemoterapi yang direkomendasikan adalah:


. Siklofosfamid, vinkristin dan prednison (COP)
Dosis:
- Siklofosfamid30Omg/rrPperoralhari 1-5 atau750mg/

nf IVhariI.

dengan kelangsungan hidup yang lebih pendek karena

tingginya insidens kanker epitel.

LLK STADIUM LANJUT DENGAN BATAS

Vinkristin

2 mg

lVhari I

Prednison 40 mg/m2 per oral hari 1-5


COP dan doksorubisin
Dosis:
- Doksorubisin 25-50 mg/m'? IV hari I.

TUMOR LUAS DAN GAGAL SUMSUM TULANG

SITOPENIA AKIBAT MEKANISME IMUN ATAU

Kemoterapi Tunggal
Klorambusil. Mula-mula 2-4 mg kemudian dinaikkan 6-8
mg per oral setiap hari atau pemberian intermiten setiap
2-4 minggu dengan dosis 0,4-0,7 mg/kg BB per oral.
Pengobatan diberikan sepanjang terdapat respons,
biasanya tidak lebih dari 8-12 bulan. Angka respons
berkisar 40-70%, tetapi respons komplit jarang terjadi.
penelitian-penelitian terakhir, kombinasi klorambusil
dengan prednison tidak lebih baik dibandingkan dengan
Pada

klorambusil saja. Meskipun pasien diobati dengan


regimen kemoterapi kombinasi memiliki respons lebih

HIPERSPLENISME
Pasien dengan sitopenia akibat respons imun sebaiknya
diobati kortikosteroid dengan dosis 1 mg/kgBB fer hari
dan dit ap p e rin g - off ., Prep arat imunosupres an hany a

diberikan pada pasien yang tidak respons setelah 4-6


minggu terapi, meliputi imunoglobulin dosis tinggi.
siklosporin, splenektomi dan radiasi limpa dengan dosis
rendah. Dua pendekatan terapi terakhir berguna pada
kasus dengan hipersplenisme. Hasil pengobatan terbaik
dilaporkan dengan siklosporin.

tinggi namun angka kelangsungan hidup tidak lebih


panjang.

Siklofosfamid. Pasien yang tidak dapat mentoleransi


klorambusil, dapat diberikan siklofosfamid dengan dosis
per oral 200 mglm2lhari selama 5 hari atau pemberian
intermiten setiap 3-4 minggu dengan dosis 500-750 mglm2
intravena pada hari I. Asupan cairan 2-3 liter per hari. Efek
samping berupa mual, muntah, rambut rontok, supresi
sumsum tulang dan sistitis.
Aturan terapi pemeliharaan LLK tidak pernah diteliti
lebih lanjut. Biasanya, pengelolaan terhenti sekali terjadi
respons, dan dimulai lagi saat penyakit berkembang ke
arah progresivitas. Respons pengobatan kedua biasanya

buruk daripada pengobatan pertama, kemungkinan hal


ini terjadi akibat overekspresi gen mdr dan mutasi
gen p53. Bagi pasien yang tidak berespons terhadap

terapi baku atau relaps setelah diberi terapi,


dianjurkan menggunakan analog purin khususnya
fludarabin.
Bersamaan dengan pemakaian obat ini, juga diberikan
profilaksis asam urat yaitu allopurinol (dosis 300 mg /trari
selama 7 hari setiap siklus) dan bila diperlukan transfusi
PRC.

PENGOBATAN TERHADAP KOMPLIKASI


SISTEMIK

Hipogamaglobulinemia. Pada penelitian acak,


imunoglobulin dosis tinggi (400 mg/kg BB intravena setiap
3 minggu) akan mencegah infeksi tetapi tidakmeningkakan
kelangsungan hidup pasien LLK Pertimbangan biaya
dengan lamanya survival pada pemberian rutin
imunoglobulin menjadi perdebatan para ahli. Pada dosis
yang lebih rendah (250 mgikg BB setiap 4 minggu atau 10
g setiap 3 minggu) mempunyai efektivitas yang setara
dengan dosis tinggi. Kejadian infeksi harus diobati dengan

antibiotika spektrum luas dan klinisi harus memikirkan


kemungkinan terjadinya infeksi oportunistik. Pemberian
vaksinasi mungkin memberikan respons imun suboptimal
mengingat regulasi sistem imun yang terganggu.
Neutropenia yang diperberat dengan kemoterapi sering
dijumpai. Jumlah neutrofil yang rendah dapat disebabkan
karena lamanya dan kombinasi dari terapi pada pasien
dengan penyakit refrakter stadium lanjut. Pemberian
filgrastim atau pegfilgrastim setelah kemoterapi dapat

1280

HEMI$IOI.OGI

mengurangi risiko neutropenia. Sebuah penelitian

respons

menunjukkan berkurangnya frekuensi infeksi paru yang


serius pada pasien LLK risiko tinggi yang mendapat
filgrastim dan terapi berbasis fludarabin bila dibandingkan
kontrol.

pada pengobatan sebelumnya dan yang tidak menerima


pengobatan secara ekstensif. Hasil awal pada penelitian

Anemia adalah ternuan laboratorium yang sering dijumpai

LLK dan bertambah berat sesuai perjalanan penyakit.


Terapi LLK dapat menimbulkan eksaserbasi anemia yang
pada

sudah ada, khususnya pada pasien usia lanjut.


Konsekuensinya adalah kelelahan dan dispneu yang
sangat mengurangi kualitas hidup pasien. Penelitian acak
double blind mennjlkkan bahwa eritropoietin rekombinan
dapat mengatasi anemia yang tidak berespons terhadap
kemoterapi dan gejala yang diakibatkannya.

11 -1 4Vo (respons komplir 0-207o) . Angka kej adian


respons lebih tinggi pada pasien yang memberikan respons

yang sedang berlangsung membandingkan fludarabin


dengan kombinasi siklofosfamid, doksorubisin, vinkristin
dan prednison serta siklofosfamid, doksorubisin dan
prednison menunjukkan respons yang lebih tinggi
dibandingkan fludarabin; meskipun belum diketahui pada
jangka panjangnya.
Efek toksik utama analog purin adalah mielosupresi,
sindroma lisis tumor akut , anemia hemolitik autoimun dan
ITP. Infeksi oportunistik (cytomegalovirus, toxoplasma,

Pneumocystis carinii, legionella dan listeria) terjadi


karena penurunan sel CD4+ yang diakibatkan oleh preparat

ini. Akibatnya pasien yang diterapi dengan analog purin


dan prednison mengalami infeksi oportunistik lebih sering

RADIOTERAPI
Radioterapi pada pasien LLK hanya bersifat paliatif. Dapat
berupa:

Radiasi limpa. 50-90Ea pasiet akan menunjukkan


penurunan ukuran limpa, berkurangnya nyeri perut
serta rasa tidak enak pada perut. Catovsky pada tahun
1991 melaporkan 38Vo pasien mengalami remisi

hematologik yang komplit. Diberikan dosis rendah 0,51 Gy l-3 kalilminggu. Efek samping adalah fatique, mual,
trombositopenia transien dan netropenia.
Radioterapi terapi eksternal untuk lesi-lesi yang besar
(bullq nodalmasses). Dosis 30-40 Gy dalam 2 fraksi.

dibandingkan dengan pemberian analog purin saja, oleh


karena itu prednison sebaiknya tidak diberikan. Meskipun
belum terbukti secara klinis, pemberian antibiotika dapat
dipakai sebagai profilaksis.

PENGOBATAN BARU

Antibodi Monoklonal
Diakuinya antibodi monoklonal anti CD2O chimeric
(rituximab) dan antibodi monoklonal anti CD52 humanized (alenitzrmab) membuka cakrawala baru pengobatan

LLK
Rituximab adalah antibodi anti CD20 chimeric yang
dipelajari secara luas pada limfoma derajat tendah (low

SPLENEKTOMI

grade) dimana dijumpai respon pada5OTo pasien. Respons


terhadap rituximab pada pasien LLK yang diberi dosis sama
dengan pada limfoma bersifat marginal, kemungkinan
karena perbedaan farmakokinetik rituximab pada penyakit
tersebut atau kurangnya ekspresi tatget CD2O pada sel
LLK. Tetapi penambahan antibodi monoklonal untuk

Indikasi:

.
.

Splenomegali masif yang simptomatik


Sitopenia yang refrakter :
Sitopenia autoimun dan hipersplenisme

PENGOBATAN LrNr KE 2 (SECOND LINE TH ERAPY)

menunjang terapi LLK meningkatkan frekuensi pencapaian


CR. Penelitian terbaru kombinasi rituximab dengan terapi

berbasis fludarabin pada

Analog Purin
Analog purin (pentostatin, fludarabin dan

LLK yang sebelumnya tidak

diterapi, menunjukkan hasil yang menggembirakan.


2-

Penelitian oleh MD Andersson Cancer Center pada pasien

klorodeoksiadenosin) merupakan preparat yang baik untuk


LLK. Fludarabin atau analog purin lainnya mungkin akan

LLK yang sebelumnya tidak diterapi, memberikankan


rituximab untuk menunjang dosis fludarabin dan

LlK.Sedangkan pemberian analog purin dalam kombinasi


dengan agen sitotoksik lainnya (siklofosfamid) atau
biolo gic - re spons e modifiers (interferon) sedang diteliti.

siklofosfamid selama 6 siklus. Laporan awal dari 134 pasien


yang mendapat pengobatan komplit, 66Vo metcapairespon
komplit dan secara keseluruhan dijumpai rasio respon 957o.
Beberapa CR (melalui PCR) ditunjukkan oleh penelitian

Mekanisme kerja dari analog purin kompleks. tetapi

1ru.

menggantikan klorambusil sebagai terapi baku

meliputi induksi apoptosis. Pada pasien-pasien tanpa


respons terhadap pengobatan inisial, fludarabin (25 mgl
m2 permukaan tubuh intravena selama 5 hari setiap 4
minggu) merupakan obat pilihan, dengan keberhasilan

Alentuzumab adalah antibodi monoklonal humanize d

yang ditujukan langsung untuk antigen CD52. FDA


menyetujui alentuzumab untuk pengobatan pasien LLK
yang sebelumnya diobati dengan agen alkil dan mengalami

t28t

LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK

penyakit refrakter terhadap fludarabin. Antigen CD52


diekspresikan pada hampir semua sel LLK seperti halnya
limfosit T, B normal, sel NK dan monosit. Pada penelitian

yang menghasilkan pengakuan terhadap alentuzumab


didapatkan rasio respons 337o dan kelangsungsan hidup
rerata 16 bulan pada pasien LLK yang mengalami penyakit
refrakter fludarabin. Di antara pasien yang berespon
terhadap alentuzumab kelangsungan hidup lebih 32 bulan.
Pasien dengan nodul yang besarnya >5 cm dan status
ECOG yang buruk (> 2) mempunyai respon terhadap
alentuzumab yang rendah secara bermakna. Pengobatan
dengan antibodi ini dapat menimbulkan eksaserbasi
neutropenia yang telah ada sebelumnya dan berhubungan
baik dengan infeksi bakterial maupun oportunistik.

Autologous transplantation. Terdapat sejumlah


laporan penelitian tentang autotransplantasi pada LLK.
Sekitar 40 pasien telah dilaporkan, dan semuanya
mempunyai penyakit yang lanjut sebelum transplantasi,
serta semua menerima siklofosfamid dan iradiasi total

tubuh sebagai regimen. Sekitar separuh pasien


transplantasi sumsum tulang disterilkan dengan
antibodi monoklonal terhadap sel B (CD19, CD20, CD10
dan CD5). Namun/ollow uplya terlalu singkat untuk
ditarik suatu kesimpulan.

Meskipun hasilnya menjanjikan, transplantasi


sebaiknya masih dipertimbangkan sebagai terapi
eksperimental. Infeksi oportunistik (toksoplasmosis)
merupakan hal yang perlu diperhatikan. Transplantasi,
sebaiknya dipertimbangkan pada pasien muda dengan
risiko tinggi LLK.

TRAN SP LANTASI

EMATO POI ETIC

PROGENITORS
BIOTERAPI

Allogeneic Transplantqtion. Data pada

seri

alotransplantasi, melibatkan 54 pasien, telah dikumpulkan

oleh European and International Bone Marrow


Transplant Registries. Usia rerata pasien transplantasi 4l
tahun, dengan kisaran 21-57 tahun. Sebelum transplantasi
sebagian besar pasien mendapatkan siklofosfamjd dan

iradiasi total tubuh demikian pula siklosporin dan


metotreksat dipakai sebagai preparat mencegah graftversus host disease. Dari 54 pasien, 38 (1)Vo) mengalami
remisi dan 24 (447a) hidup dengan usia median 2J tahtn

(kisaran 5-80 tahun) setelah transplantasi. Probabilitas


kelangsungan hidup 3 tahun adalah 467o (95Vo CI,32-607o).
Lima pasien (97o) meninggal akibat leukemia progresif, dan
25 (467o) pasien mengalami komplikasi pengobatan. Hasil

akhir didapatkan lebih baik pada pasien dengan penyakit


stabil yang respons terhadap terapi dibandingkan yang
progresif. Relaps kadang terjadi selambat-lambatnya 4
tahun setelah transplantasi.

Kriteria

CR

Gejala
Limfonodi

Tidak ada
Tidak membesar

Hepar / Limpa
Hb

Tidak teraba
> 1'1 gr/dl

Netrofil

> 1,5 x 10s/L

Limfosit
Trombosit

< 4,0 x 1Oe/L


> 100 x 1Os/L

Aspirasi

<30%

Interferon alfa memberikan respons meskipun bukan


respons komplit, pada pasien-pasien dengan penyakit
stadium dini yang tidak menerima terapi sebelumnya.
Merupakan agen yang potensial untuk mencapai respons
terhadap kemoterapi. Efektivitas antibodi monoklonal,
baik sendiri (CAMPATH 1-H) atau dikombinasi dengan
toksin (84-blocked ricin), agen sitotoksik atau
radioisotop (Ir3r) sedang diteliti; respons diperoleh
biasanya parsial atau sementara. Antibodi monoklonal
mungkin bermanfaat pada penyakit residual yang minimal. tr--2,n -4 dann--6 sedang dalam penelitian. IL-z telah
terbukti membatasi aktivitas secara klinis, namun pada

dosis tinggi menimbulkan toksisitas. Penelitian


sebelumnya pada tikus mendukung bahwa antisense
oligonukleotida spesifik pada IL-10 merupakan stimulator poten pertumbuhan limfosit B neoplastik yang dapat
digunakan secara kl inis.

PR
Mengecil/hilang
> 50%
Mengecil > 50%
> 'l'l gridl atau
membaik > 50%
> 1,5 x 1Oe/L atau
meningkat > 50%
Menurun > 50%
> 100 x 10s/L atau
Meningkat > 50%

PD
Membesar > 50%
atau nodus baru
Membesar > 50%

l\,4eningkat > 50%

SUMSUM

tulang
Biopsi sumsum
tulang

Tidak ada infiltrasi


interstisial atau
nodul

Residu lymphoid
nodul

Keterangan: CR= complete respons (remisi lengkap), P R= p a fii a I respons


(remisi parsial), p!=psrslsfent dlsease (penyakit menetap ?)

1282

HEMIIfiOI.OGI

REFERENSI
Bynd J.C, Stilgenbauer S, Flinn IW. Chronic lymphocytic leukemia.
Hematology 2004:163-83.
Chiorazzi N, Kanti R, Ferrarini M. Chronic lymphocytic leukemia.
N Eng J Med 2005;352(8):804-15.
Chronic Lymphocytic Leukemia Trialist's Collaboration Group.
Chemotherapeutic options in CLL : a meta-analysis of the

randomized trials. Journal

of National Cancer Institute

1999;91(10):861-8.
Dyer Martin J.S . Risk stratification in the treatment of chronic
lymphocytic leukemia Business briefing : North American
Pharmacotherapy 2004;2: I -4.

Erlich RB, Ghayee HK, Noga SJ. Chronic lymphocytic leukemia:


Will recent major advances lead to cure ? Oncology
2004:12(12):41-9.
Goldin LR, Ishibe N, Sgaenbati M et al. A genome scan of 18 families
with CLL. British Joumal of Hemarology 200312l:866-73

Guidelines on the diagnosis and management of CLL. British


Journal of Hematology 2004;125:294-317.
Hyde C, Wake B, Bryan S et al. Fludarabine as second-line therapy
for B-CLL : a technology assessment. Health Technology
Assesment 2002;6(2).

Kalil N,

Cheson BD. Chronic lymphocytic -leukemia. The


oncologist 199 4;4:352-69.

London Cancer New Drug Group. APC/DTC Briefing. Alemtuzumab


for the treatment of relaps CLL. March 2004.

for Chronic
Lymphocytic Leukemia. Blood (Reviews) 2004:18;137-48.
Rai KR, Kalra J. Chronic lymphocytic leukemia. In : Brain C,
Carbone PP. Current Therapy in Hematology-Oncology. Fifth
edition. Mosby Co 1995.p.251-4.
Recent advances of Clinical aspects and treatment of CLL.20O4.
Rozman C, Montserrat E. Chronic lymphocytic leukemia. N Eng J
Mavromatis BH, Cheson BD. Novel therapies

Med 1995;333(16): 1052-57.

203
MIELOMA MULTIPEL DAT{
PENYAKIT GAMOPATI LAIN
Mediarty Syahrir

PENDAHULUAN

Penyakit Mieloma multipel adalah keganasan sel B dari

Keganasan sel plasma dikenal sebagai neoplasma


monoklonal yang berkembang dari lini sel B; terdiri dari

globulin monoklonal. Walaupun masih kontroversial


dikatakan bahwa semua kasus Mieloma multipel

Waldemstrom's, amiloidosis primer dan penyakit rantai


berat. Neoplasma monoklonal dikenal dengan banyak

berkembang dari gammopatia monoklonal esensial atau


MGUS. Prognosis sangat bergantung pada kadar serum
b2-mikroglobulin dan C-reaktif protein, serta sel plasma
labelling indeks.

sel plasma neoplastik yang memproduksi protein

mieloma multipel (MM), makroglobulinemia


nama antara

lain adalah gamopatia monoklonal,

immuno-

paraproteinemia, diskrasia sel plasma dan disproteinemia.


Penyakit ini biasanya diserlai produksi imunoglobulin atau

fragmen-fragmennya dengan satu penanda idiotipik, yang


ditentukan oleh regio variabel identik dalam rantai ringan
dan berat. Istilah paraprotein, protein monoklonal atu
komponen M, menunjukkan adanya komponen yang
elektroforetik homogen ini dalam serum dan urin. paraprotein dapat merupakan imunoglobulin lengkap, biasanya
tipe IgG atau IgA, jarang juga tipe IgD arau IgE. Dalam
kira-kira 2OVo kaws oleh sel plasma neoplastik hanya
diproduksi rantai ringan lambda atau kappa. Rantai ringan
ini oleh ginjal cepat disekresi dan karena itu terutama dapat
ditunjukkan dalam urin (Protein Bence Jones). Klasifikasi
penyakit yang disertai adanya paraprotein dalam serum
atau urin terdapat pada tabel 1. Penyebab terbanyak para
protein serum adalah gamopatia monoklonal esensial:
ditemukannya secara kebetulan para protein serum pada
orang yang betapapun sehat . Gamopatia monoklonal
esensial disebut juga gamopatia monoklonal benigna,

ETIOLOGI
Kejadian keganasan sel plasma mungkin merupakan suatu
proses multi langkah. Faktor genetik mungkin berperan
pada orang-orang yang rentan untuk terjadinya perubahan

yang menghasilkan proliferasi sel plasma sebagai


prekursor, membentuk klon yang stabil dari sel plasma yang

memproduksi protein M seperti pada MGUS. Dalam sel


mana terjadi transformasi maligna tepatnya terjadi belum
jelas. Dapat ditunjukkan sel limfosit B yang agak dewasa
yang termasuk klon sel maligna di darah dan sumsum
tulang, yang dapat menjadi dewasa menjadi sel plasma.

Terjadinya onkogen yang paling penting diduga


berlangsung dalam sel pendahulu yang mulai dewasa ini
atau bahkan mungkin dalam sel plasma sendiri.

Suatu kelainan genetik yang spesifik belum


teridentifikasi. Kromosom yang sering terlibat hanya

MGUS (monoclonal gammopathy of undetermined

kromosom 1, 1 3 ( 1 3q-) dan I 4 ( 1 4q+) menimbulkan dugaan


bahwa gen-gen yang terlokalisasi pada kromosom ini telah

significance).
Ekspansi tidak terkontrol atau maligna klon sel yang
memproduksi para protein, seperti mieloma multipel,
berakibat kenaikan konsentrasi paraprotein, terjadinya
tumor-tumor limfoplasmaseluler, destruksi tulang,
insufisiensi sumsum tulang dan lain-lain gejala penyakit.

terganggu regulasinya. Antara lain dijumpai kelainan


dalam gen supresor Rb yang terletak pada 13 q dan cmyc-gen dan bcl-1-gen, yang berhubungan dengan
1 1 ;14). Perubahan-perubahan
di dalam gen ras dan dalam
gen supresor tumor p53 terutama dijumpai dalam stadium

t(

128

t284

HEM'$OI.OGI

lanjut pertumbuhan sel plasma maligna. Laporan-laporan


terakhir menunjukkan bahwa pentingnya stimulasi autokrin
dari klon ganas oleh IL-6 dan proses aktifasi onkogen dari
berbagai stadium penyakit ini. Pertumbuhan dan
diferensiasi sel mieloma mungkin diregulasi oleh berbagai
sitokin, dengan menggunakan sistem pengaturan autokrin

dan parakrin. Terutama IL-6 ternyata merupakan faktor


pertumbuhan penting dan sentral untuk sel mieloma in
vitro dan in vivo. Konversi dari sel monoklonal stabil yang
terkontrol menjadi tidak terkontrol, progresif menjadi tumor ganas MM memerlukan satu atau lebih perubahan

ke dua. Penyakit ini menyebabkan kematian rata-rata


12.000 orang pertahun di Amerika Serikat. Di Inggris
terdapat angka kematian tahunan tala - rata 9 orang
perjuta penduduk. Kejadian MM dua pertiga lebih tinggi
pada laki-laki orang kulit hitam dibandingkan dengan

wanita, dengan kejadian yang lebih tinggi secara


signifikan pada laki-laki pada setiap populasi diAmerika
Serikat. Di Poli Hematologi Bagian Penyakit Dalam RSCM
Jakarta rata-rata berumur 52 tahun, berkisar dari I 5 tahun
sampai :usia 12 tahun, laki-laki lebih sering dari pada

wanita.A

tambahan. Predisposisi genetik, paparan radiasi,


rangsangan antigenik yang kronis dan berbagai kondisi
lingkungan dan pekerjaan mempengaruhi terjadinya MM
ini walau hanya dalam persentasi yang kecil (Tabel 1).

Ras Afrika-Amerika
Laki-laki
Usia tua
Monoclonal Gammopathy of Undetermined
Significance (MGUS)
Rangsangan imun kronik
Paparan radiasi
Paparan dari pekerjaan yang berhubungan dengan
pestisida, industri cat, metal, kayu, kulit, tekstil,
asbestos, bensin dan pelarut
Predisposisi genetik

MIELOMA MULTIPEL

Mieloma multipel ditandai oleh lesi

litik

tulang,

penimbunan sel plasma dalam sumsum tulang, dan adanya

protein monoklonal dalam serum dan urin. Manifestasi


klinis dari MM heterogen oleh karena adanya masa tumor,

Patofisiologi Mieloma MultiPel


Perkembangan sel plasma maligna mungkin merupakan
suatu proses multi langkah, diawali dengan adanya serial

perubahan gen yang mengakibatkan penumpukan se1


plasma maligna, adanya perkembangan perubahan di
lingkungan mikro sumsum tulang, dan adanya kegagalan
sistem imun untuk mengontrol penyakit. Dalam proses multi
langkah ini melibatkan di dalamnya aktivasi onkogen

seluler, hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor, dan


gangguan regulasi gen sitokin.

Keluhan dan gejala pada pasien MM berhubungan


dengan ukuran masa tumor, kinetik pertumbuhan sel
plasma dan efek fisikokimia, imunologik dan humoral
produk yang dibuat dan disekresi oleh sel plasma ini,
seperti antara lain para protein dan faktor pengaktivasi
osteoklastik (o s t e o clas tic ac tiv atin g fac t o r/ O A F). P ada
waktu timbul gejala klinik jumlah total sel plasma ditaksir
10lratau 1012.
Paraprotein dalam sirkulasi dapat memberi berbagai
komplikasi, seperti hipervolemia, hiperviskositas, diatesis
hemoragik dan krioglobulinemia. Karena pengendapan
rantai ringan, dalam bentuk amiloid atau sejenis, dapat
terjadi terutama gangguan fungsi ginjal dan jantung.

produksi immunoglobulin monoklonal, penurunan sekresi

Faktor pengaktif osteoklast (OAF) seperti IL1-8,

immunoglobulin oleh sel plasma normal yang

limfotoksin dan tumor necrosis factor (TNF) bertanggung


jawab atas osteolisis dan osteoporosis yang demikian khas
untuk penyakit ini. Karena kelainan tersebut pada penyakit
ini dapat terjadi fraktur (mikro) yang menyebabkan nyeri
tulang, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria. Konsentrasi
imunoglobulin normal dalam serum yang sering sangat
menurun dan fungsi sumsum tulang yang menurun dan

mengakibatkan terjadinya hipogammaglobulinemia,


gangguan hematopoisis dan penyakit osteolitik pada
tulang, hiperkalsemia dan disfungsi ginjal. Simptom terjadi
akibat dari tekanan masa tumor, pelepasan sitokin secara

langsung dari tumor atau secara tidak langsung dari sel


host (stroma sumsum tulang dan sel-sel tulang) sebagai
respon pada adesi sel-sel tumor, dan terakhir oleh karena
penyakit-penyakit akibat depososisi protein MM (AL
Amiloidosis dan penyakit rantai berat) atau oleh karena
kelainan autoimun (Contoh : koagulopati).

netropenia yang kadang-kadang ada menyebabkan


kenaikan kerentanan terhadap infeksi.

keganasan hematologi tersering yang kedua di Amerika

Gagal ginjal pada MM disebabkan oleh karena


hiperkalsemia, adanya deposit mieloid pada glomerulus,
hiperurisemia, infeksi yang rekuren, infiltrasi sel plasma
pada ginjal, dan kerusakan tubulus ginjal oleh karena
infiltrasi rantai berat yang berlebihan: Sedangkan anemia
disebabkan oleh karena tumor menyebabkan penggantian
sumsum tulang dan inhibisi secara langsung terhadap

Serikat. Umur median penderita rata-rata 65 tahun,


meskipun kadang-kadang MM terjadi pada umur dekade

menurunkan produksi vitamin B 12 dan asam folat.

Epidemiologi Mieloma MultiPel


Mieloma multipel merupakan 77o dai semua keganasan
dan l07o dari tumor hematologik. MM merupakan

proses hematopoisis, perubahan megaloblastik akan

t285

MIELOMA MULIIPEL DAN PEITYAKIT GAMOPATI LAIN

Gambaran Klinis Mieloma Multipel


MM harus difikirkan

(viii) Neuropati : umumnya

pada pasien di atas 40 tahun dengan

disebabkan oleh kompresi pada

medulla spinalais atau saraf kepala. Polineuropati


dapat terjadi oleh karena adanya endapan amiloid

anemia yang sulit diketahui penyebabnya, disfungsi ginjal


atau adanya lesi tulang (hanya < zEa pendeitaMM berusia

pada perineuronal atau perivaskuler (vasa nervorum),

< 40 tahun. Penderita MM biasanya dengan gejala


anemia, nyeri tulang, fraktur patologik, tendensi

tetapi dapat juga karena osteosklerotik myeloma.


Kadang-kadang merupakan bagian dari sindrom

perdarahan, dan atau neuropati perifer. Kelainan ini akibat


dari tekanan masa tumor atau sekresi protein atau sitokin
oleh sel tumor, atau sel-sel dari produk tumor.
Pada perneriksaan fisik biasanya tidak ditemukan

POEM {polineuropati, organomegali, endokrinopati,


monoklonal gammopati dan perubahan kulit)

kelainan spesifik. Kadang-kadang terdapat nyeri lokal


bagian-bagian tulang. Panjang tubuh pederita MM yang
lanjut dapat banyak menurun karena infraksi vertebra.
(i) Nyeri : terutama nyeri tulang tulang karena fraktur
kompresi pada tempat osteopenia atau karena lesi

litik tulang, biasanya tulang punggung. Keadaan ini


disebabkan oleh aktifitas yang berlebihan dari faktor
pengaktif osteoklast (OAF) sepefti IL-18, TNF-p dan
atau LI-6. Faktor-faktor ini juga menghambat aktivitas

osteoblastik kompensatori. Nyeri lokal dapat juga

disebabkan oleh tekanan tumor pada medulla


spinalis dan saraf-saraf yang keluar dari rnedulla
spinalis.

(ii)

Gejala anemia : letargi, kelemahan, dispnea, pucat,

(iii)

Infeksi berulang : ini berkaitan dengan kekurangan

takhikardia, dst.

produksi antibodi, dan pada penyakit lanjut. karena

Diagnosis Mieloma Multipel


Diagnosis MM ditegakkan mulai dari trias diagnostik
klasik ( sel plasma, biasanya > l07o +Mprotein + lesi litik).
Pada 98Vo pasien protein monoklonal ditemukan dalam
serum atau urin atau keduanya. Para protein serum adalah

IgM pada dua-pertiga, IgA pada satu pertiga, dengan


jarang IgM atau IgD atau kasus campuran. Sebab - sebab
paraprotein serum lain dimuat pada Tabel 2. Pada kasus
yang ragu - ragu, penyelidikan "follow up" akan
menunjukkan kenaikan progresif dalam konsentrasi paraprotein pada mieloma yang tidak diobati. Imunoglobin

serum normal (IgG, IgA, dan IgM) ditekan. Urin


mengandung protein Bence-Jones pada dua pertiga kasus.
Ini terdiri atas rantai ringan bebas, baik kappa atau lambda,
dari jenis yang sama dengan paraprotein serum. Akan
tetapi, pada I 5 7o kasus proteinuria Bence-Jones ada tanpa

paraprotein serum.

netropenia

(iv)

Nefropati : Fungsi ginjal terganggu bila kapasitas


absorpsi dari rantai berat haus (lelah) yang akan
menyebabkan nefritis interstisiil dengan rantai berat..

Penyebab kedua nefropati adalah hiperkalsemia


dengan hiperkalsiuria, yang menyebabkan prerenal

azotemia. Hiperkalsemia dapat menyebabkan

(v)

penimbunan di hrbulus renal, yangjuga menyebabkan


nefritis interstisiil. Penyebab lain gagal ginjal pada
MM adalah seringnya menggunakan antiinflamasi
nonsteroid untuk mengatasi nyeri pada MM

Kecenderungan perdarahan abnormal : protein


mieloma mengganggu fungsi trombosit dan faktor
pembekuan : trombositopenia terdapat pada penyakit
lanjut.

(vi)

Kadang

kadang terdapat makroglossia, "carpal

turruel syndrome" dan diare yang disebabkan

(vii)

penyakit amiloid.
"Sindroma hiperviskositas" terjadi pada kurang lebih
lOVo pasien MM di mana viskositas plasma sudah 4
kali viskositas plasma normal yang menyebabkan

Gammopati monoclonal benigna


Mieloma multipel
Makroglobulinem ia
Limfoma malignum atau leukemia limfositik kronis
Penyakit haemaglutinin dingin kronis
Jarang dengan karsinoma

Sumsum tulang memperlihatkan sel plasma meningkat

(> 707o dan biasanya lebih dari 30Vo), seing dengan bentuk

abnormal

- "sel mieloma".

Pengujian imunologis

menunjukkan sel - sel ini bersifat monoklonal serum.

Penelitian tulang rangka (skeletal survey)

memperlihatkan daerah osteolisis atau penipisan tulang


merata (generalized bone rarefaction) (2oo/o). Fraktur
patologis biasa terjadi. Tanpa lesi ditemukan pada 207o

pasien. Biasanya paling sedikit dua atau tiga sifat


diagnostik yang tersebut diatas ditemukan, seperti pada
Thbel3.

kelainan pada sirkulasi sehingga mengakibatkan


disfungsi organ serebral, paru, ginjal, mata dan organ-organ lain, biasanya berupa trombosis dengan
purpura, perdarahan, kelainan penglihatan, gejala SSP

dan neuropati, dan payah jantung. Ini diakibatkan


polimerisasi imunoglobin abnormal dan agak khusus
terjadi bitra ini IgA, IgM atau IgD.

Laboratorium Mieloma Multipel

(,

Biasanya ada anemia normokrom normositik atau


makrositik. Pembentukan " r o ul e aux" menonj ol pada
sebagian besar kasus (gambar 4). Neutropenia dan
trombositopenia ditemukan pada penyakit lanjut. Sel
plasma abnormal nampakdalam filem darah padal5Vo

1286

HEMANOI.OGI

a. Serum

pr otein electroPhoresis

b. Lesi multipel litik pada tengkorak

Gambar 1. Serum protein elektroforese (a) dan lesi multipel lilik (punch out) pada tengkorak
pada Multipel Mieloma (b)

Terdapat fosfatase lindi serum norrnal (kecuali setelah


Mieloma
lVultipel (MM)

Kriteria Mayor

I
ll
lll

Plasmasitoma pada biopsi jaringan


Sel Plasma sumsum tulang >30%
l\4 protein : lgG > 359/dl, lgA
>2ogldl, kappa atau lambda rantai
ringan pada elektroforese urin

Kriteria Minor

Sel Plasma sumsum tulang 10% -

l\,4

l\,4ieloma lndolen

Smoldering
Mieloma

Sel Plasma sumsum tulang <5%


Pasien asimtomatik
lV protein <39/dl
Rontgen [ulang normal
Hb dan kalsium normal
Protein Bence-Jones negatif
p2-mikroglobulin <3mg/L
Kreatinin serum normal
Tidak ada simtom atau gejala penyakit
Tidak ada infeksi rekuren
Serum lgG <79ldl, atau lgA <59/dl
Tidak ada lesi tulang atau < 3 lesi litik
Status Karnofsky > 70%
Hb > 10 mg/dl
Kreatinin serum < 2,0 mg/dl
Labelling index <1%
Seperti pada mieloma indolen +
Sel plasma sumsum tulang 10-30%
Tidak ada lesi tulang

pasien. Perubahan leuko-eritroblastik kadang-kadang

terlihat.

(ii)
(ii)

Laju endapan eritrosit/LED tinggi


Peninggian kalsium serum terjadi pada 457o pasien.

fraktur patologis).
1'1 mmol/L dan kreatinin
Deposit berprotein
kasus.
serum mening gipada20%

Urea darah meninggi di atas

dari proteinuria Bence-Jones, hiperkalsemia, asam


urat, amiloid dan pielonefritis semuanya dapat ikut

protein pada serum dan urin


(kadar lebih kecil dari lll)
C. Lesi litik pada tulang
D Normal residual lgG < 500mg/L,
lgA < 1g/1, atau lgG <69/L
Diagnosis Ml\4 bila terdapat kriteria 1 mayor dan 1
minor atau 3 kriteria minor yang harus meliputi
kriteriaA + B Kombinasi I danAbukan merupakan
diagnosis IVM
Monoclonal
gammopathy of
unndetermined
significance
(MGUS)

(iv)

(v)
(vi)
(vii)

memperberat Payah ginj al.

Albumin serum rendah ditemukan pada penyakit


lanjut.
CRP merupakan petanda adanya IL-6 yaitu faktor
pefiumbuhan dari mieloma multipel.
B-2 mikroglobulin merupakan indikator prognostik
yang akan meningkat pada stadium lanjut dari mieloma
multipel.

(viii) Pada darah perifer ditemukan penurunan CD4 ( T


helper limfosit) dan peningkatan CD8 (T supresor
limfosit).

Faktor Prognostik Mieloma Multipel


Banyak faktor prognostik klinik berkorelasi kuat dengan
masa sel mieloma, yang dapat ditaksir berdasarkan atas
banyaknya paraprotein total yang diproduksi pada pasien
selama 24 jam, dibagi oleh banyaknya paraprotein yang
diproduksi per sel dalam kurun waktu yang sama- Faktor
prognostik yang belpengaruh dalam
adalah : kadar hemoglobin, kalsium,
mikroglobulin, albumin, delesi kromosom 13 atau 13q
dengan pemeriksaan FISH (fluoroscence in situ hybridization), translokasi t(4;14) dan delesi p53 pada sitogenetik
sumsum tulang, CRP, sel plasma labeling indeks dan IL-6
serum. Ca,ra penetapan stadium klinik dari Durie dan Salmon
dikorelasi dengan masa tumor yang ditaksir (Tabel 4)
Ketahanan hidup rata-rata penderita MM bervariasi,
tergantung pada stadiumpenyakit, dari 4 sarupai kira-kira

1287

MIELOMAMULTIPEL DAN PENYAKIT GAMOPAII LAIN

Prognosis

Faktor
Ketahanan
Hidup

Klinis

.
.

Rata-rata

Stadium I (mlssa tumor rendah: <0.6 x

1012 sel

NT 46

bulan

sel mieloma per m2)


kriteria tidak termasuk stadium I dan lll
Stadium lll (massa tumor tinggi : >'1,2 x 10r' sel
lVlieloma per m');
Hb <5,3 mmol /
Kalsium serum >2,6 mmol /
Kelalnan kerangka luas
Kadar paraprotein relatif tinggi :
lgG >70 g/l
lgA >50 g/l
sekresi Bence-Jones 12 g/l

s-T 32

bulan

1012

NY 23

Muda - lebih baik


Rendah - buruk

Laboratorium Rutin

mieloma per m')


Hb >6,2 mmol /
Kalsium serum normal: < 2,6 mmol /
Kerangka normal atau paling banyak 1 sarang
tulang soliter
Kadar paraprotein relatif rendah:
lgG <50 grll
lgA <30 gr/l
sekresi Bence-Jones <4 g/24 jam

Stadium ll (massa tumor intermediet : 0,6 C 1,2

Umur

Status kebugaran

bulan

. Beta2 mikrolobulin
. Serum albumin
. Serum creatinin
. LDH
. CRP
. Hemoglobin
. Trombosit
Pemeriksaan Khusus
. Labeling indeks Sel plasma
o Mor-fologi sel plasma
. Sitogenetik sumsum tulang:
- sitogenetik standar
- FISH analisis
kromosom 13
- Microarraytechniques
Whole body FDG/PET

Tinggi - buruk
Rendah - buruk
Meningkat - buruk
Meningkat - buruk
Meningkat - buruk
Rendah - buruk
Rendah - buruk
Tinggi

- buruk

Plasmablastik - buruk
Bila
Hipodiploidi/delesi 13
:

- buruk
- Delesi '13 - buruk
- Differentialpatterns

Extramedullary - buruk

Scan

Stadium-stadium ini, tergantung faal ginjal, masih dibagi lagi ke


dalam A dan B:
A = kreatinin serum <'180 mol /
B = kreatinin serum >180 mol /

I
I

45 bulan. Juga kadar pr-mikroglobulin menunjukkan korelasi

yang jelas dengan masa tumor yang ditaksir (Tabel 5)

Ketahanan Hidup Rata-rata


p2-M dan CRP < 6,0 mg/l
Bz-M atau CRP > 6,0 mg/l
p2-M dan CRP > 6,0 mg/l

Meskipun MM merupakan penyakit yang "incurable",


pengobatan biasanya dimulai pada saat simptom penyakit
muncul. Sekarang, terutama pada pasien yang muda,
lamanya "disease-free remission" lebih besar dari lima
tahun dapat dicapai dengan menggunakan pendekatan
terapi sebagai berikut :
. Kemoterapi dosis tinggi dikombinasi dengan
transplantasi stem sel perifer autologus
. Agen biologik spesifik termasuk talidomit yang
diberikan dalam bentuk kombinasi dengan
deksametason dosis tinggi dan atau inhibitorproteosom

54 bulan

27 bulan
6 bulan

(bortezomib/Velcade)

Kemoterapi konvensional (contoh : vincristine,


doksorubisin dan deksametason; melphalan dan
prednison)

Pengobatan Mieloma Multipel


Sebaiknya penderita diberi keterangan mengenai
penyakitnya dan terutama ditekankan bahwa penyakitnya
dapat dikontrol dengan baik, walaupun tidak dapat
disembuhkan. Meskipun sel mieloma responsif dengan
radioterapi dan kemoterapi, kondisi respon lengkap tidak
dapat bertahan lama. Kemoterapi baru harus diberikan
jikajelas ada progresi penyakit, jadi kebanyakan pada fase
simtomatik penyakit, tetapi yang efektif mengurangi
keluhan dan memperpanjang ketahanan hidup. Obat
pengalkrl seperti melphalan dan siklofosfamid dalam hal
ini ternyata paling efektif. Kemoterapi dengan melphalan
dan prednison (MP) menunjukkan angka respon yang
trnggr 507o - 607o. Tetapi percobaan acak prospektif dari
MP dan kombinasi berbagai macam kemoterapi gagal
membuktikan bahwa kombinasi kemoterapi meningkatkan
ketahanan hidup.

Beberapa penelitian terapi pemeliharaan dengan


interferon dikonfirmasikan tidak ada manfaatnya; sedang

penelitian terapi pemeliharaan dengan steroid atau


in

terferon-al la rekom bi nan memperpanj

an

g respon terapi

konvensional.
Pada stadium

: terapi tidak dilakukan, karena tidak ada

bukti klinis yang menunjukkan bahwa terapi pada


stadium asimptomatik akan mempelpanj ang survival

(II atau lanjut ) :


Terapi pada MM bersifat individual tergantung pada
faktor komorbiditas, status kebugaran, resiko dan
prognosis
Pasien bukan kandidat transplantasi, umur > 65 tahun
diberikan terapi dengan regimen/ agen konyensional

Pada stadium Lanjut

Yang termasuk terapi konvensional primer yaitu


melphalaniprednison (MP), Vinkristin/doxorubicin/
dexametason (VAD), Dexametason, talidomit/dexametason

(data masih kurang). Terapi pemeliharaan dengan steroid

1288

HEMAT1OLOGI

dan interferon, sedang terapi "salvage" dengan


mengulangi terapi konvensional primer (ika kambuh lebih
dari 6 bulan), siklfosfamid - VAD, etoposide/dexametason/

sitarabin,sisplatin (EDAP), siklofosfamid dosis tinggi.

talidomit dan bortezomib. Kortikosteroid yang memblokade

aktivasi osteoklas dengan regresi tumor langsung

Efek samping berupa trombosis vena dalam (DVT),


rash, netropati, dan bradikardi.
2. Analog talidomit : Revimid/Actimid
Regimen analog talidomit RevDex :
. Linalidomide diberikan 25 mg/liari po hari l-21
. Dexamethason diberikan 40 mg/liari po hari l-4;9-

menimbulkan penurunan kadar paraprotein. Kombinasi-

.
.

kombinasi obat yang biasa dipakai tersimpul dalam tabel 6.

Kandidat transplantasi adalah pasien usia < 65 th


dengan kondisi klinis baik, dimana regimen kemoterapi
yang digunakan untuk pre transplantasi adalah regimen
VAD. Meskipun tidak kuratif transplantasi stem sel

autologus (ASCT) meningkatkal response rate dan


memperpanjang median oyerall suruival rate menjadi 72

.
3.

kuratif. Sedang indolent (smoldering) mieloma tidak


memerlukan terapi primer karena kondisi ini dapat baik
sampai beberapa sampai terjadi progresivitas penyakit.
Terapi mieloma multipel relaps atau refrakter

.
.
.

Regimen yang sudah dipakai dapat digunakan untuk


mencapai remisi kedua.

VAD digunakan pada kasus yang relaps dengan agen

alkil

atau relaps pada saat terapi.

Talidomit dosis tunggal atau dengan dexamethasone


dosis tinggi atau bortezomib.

Progresi penyakit dapat tampak dari kenaikan yang


hebat kadar paraprotein, nyeri yang bertambah, dan
bertambahnya lesi litik tulang pada foto rontgen. Jika
progresi terjadi selama terapi dengan MP maka dpat
digunakan kombinasi obat yang lain. Dalam usaha
meningkatkan waktu remisi dan ketahanan hidup penderita

MM pada tahun-tahun terakhir ini dipertimbangkan

MM baru terdiagnosis mencapai respons obyektif


sebesar

9l7o

dengan Rev/dex

Efek samping : rasa lelah l5Vo;kelemahan otot6Vo,


pneumonitis 67o, rash 6%, dan anxietas 67o.

Bortezomib (Velcade, sebelumnyaPS-341)

bulan" Angka mortalitas sebesar l-2Vo. Tidak ada


perbedaan survival antara ASCT yang dilakukan segera
setelah 4 siklus kemoterapi induksi dan ASCT setelah
pasien relaps setelah kemoterapi pretransplantasi.
Terapi primer pada plasmasitoma soliter dengan radiasi
(45Gy atau lebih) pada palsmasitomanya dan dapat bersifat

l2,hulkell-20
Rev/dexdiulangtiap 28 hari

.
.
.
.
..

Kombinasi bortezomib plus dexamethason; atau


Bortezomib plus doxorubicin; dexamethasone dan
regimen basis bortezomib lainnya yang memberikan

klinik sebesar'7 0-90 7a.


Bortezomib plus dexamethasone memberikan
respons yang lebih tinggi dibandingkan regimen
respon

VAD
Bortezomib diberikan 1 .3 mg/m2 iv hari ke I ,4,8,1 1 di
ulang tiap 2l han
Dexamethasone 20 mg sehari sebelum dan pada hari
terapi bortezomib diberikan.
Terapi diberikan selama maksimum 8 siklus.
Efek samping : trombositopenia30To, neutropenia
I

47o, anemia

Vo, netrr op ati 8 7o dan hipoten si.

4. ArsenicTrioxide(ATO/Trisenox)
Arsenic Troxide menghambat tumor angiogenesis

dari lini selsel maligna hematopoitik, termasuk mielomasehingga akan menginduksi apoptosis
multipel.

5. Genaserse BCI-2 antibocly


Pengobatan Suportif MM
Pembrantasan nyeri yang baik, terapi efektif infeksi dan

kebijaksanaan transfusi yang baik merupakan prinsip

penarganan terapi mreloablatif (dosis tinggi kemoterapi dan


radioterapi tubuh total) dilanjutkan dengan transplantasi
sumsum tulang autologus (sel induk perifer) atau alogenik
(transplantasi sumsum tulang) pada penderita yang relatif
masihmuda.

penting dalam terapi suportif penderita MM. Untuk


mengatasi nyeri di samping anlgetika kadang-kadang

Terapi terbaru (Novel Therapy) dari MM saat ini adalah;

kemungkinan kompresi oleh plasmasitoma ekstradural.

1.

Dalam hal ini diperlukan diagnostik cepat dengan CT-scan


atau MRI. Sehingga terapi cepat dengan radiasi lokal dapat
dilakukan.

Talidomit

Regimen standar yang dipakai saat

ini

adalah

Thalidomide-Dexamethasone :
. Thalidomide 200 mg diberikan selama 4 minggu

.
.
.

Dexamethasone diberikan4}mg m2peroral, hari 14 ; hai 9 - 12; hai ke 17 -20.


Thalidomide - Dexamethasone memberikan respons
yang lebih baik dari dexamethasone saja (637o vs

4I7o;P=Q.Q21

Thalidomide - Dexamethasone ini diulang tiap 4


rrunggu

diperlukan tindakan ortopedik, dan sering juga radioterapi


lokal. Perlu dipertimbangkan bahwa pada nyeri persisten

punggung tanpa tanda osteolisis lokal dipikirkan

Pada sindroma hiperviskositas perlu dilakukan


plasmaferesis, pada hiperkalsemianya diperlukan tindakan

untuk diuresis yang banyak, diuretika, prednison atau


bifosfonat. Radioterapi diperlukan untuk penderitapenderita dengan fraktur patologik (iminens), lesi osteolitik
yang besar dalam tulang pipa yang panjang, plasmasitoma
di luar tulang dan pada jejas melintang sebagai akibat
kompresi medulla spinalis.

t289

MIELOMA MULTIPEL DAN PEI\TYAKIT GAMOPAII LAIN

MP

Melfalan B mg/m2
Prednisone 6b mg/m2

p.o
p.o

Hari ke 1 s/d ke 4
Hari ke 1 s/d ke 4

CP

Siklofosfamid 300 mg/m2


Prednisone 60 mg/m2
id 300 mg/m/
0 mg/m'
60 mg/m2

p.o
p.o

Hari
Hari
Hari
Hari
Hari
Hari
Hari
Hari
Hari

ke I s/d ke 4

Hari
Hari
Hari
Hari
Hari
Hari
Hari

ke

COP S
V
P

p.o
p.o

VMCP
p.o
p.o
p.o

,2

/m

VCAP V

0 mg/m'z
id 400 mg/m2
60 mg/m'

S
P

VBAP

p.o

mg/m2

VAD

HD

p.o

Vinkristin 4,0 mg/hari kontinu


Adriamisin 8 mg/m'zlhari kontinu
Deksametason 40 mg
Pada tiap siklus ganjiljuga

i.v
p.o

Dosis tinggi korlikosteroid


Deksametason 40 mg

po

Pengobatan Keadaan Darurat

(i)

MM

Uremia: rehidrasi, obati sebab yang mendasari

ke s/d ke 4
ke '1 s/d ke
ke 1
ke 1 s/d ke
ke 1
ke s/d ke 4
ke 1 s/d ke
ke 1 s/d ke

4
4

4
4

ke 1
ke 1 s/d ke 4
ke 1
ke 1
ke 1
ke s/d ke 4

Selama 4 hari
Selama 4 hari
Hari ke 1 s/d ke 4
Hari ke 9 s/d ke 12
Hari ke '17 s/d ke 20

Hari ke 1 s/d ke 4
Hari ke 9 s/d ke 12
Hari ke 17 s/d ke 20

Bence Jones muncul dalam urin, atau sampai lesi tulang


luas atau menyebabkan gejala.

(mrsal nya hiperkalsemia, hiperurisemia). Hemodialisis

dipertimbangkan pada beberapa pasien.

(ii)
(iii)

Hiperkalsemia akut: hidrasi, prednisolon, fosfat


(intravena atau oral). Mithramycin atau kalsitonin
dapat juga bermanfaat.
Paraplegia kompresi: laminekomi dekompresi, inadiasi,

kemoterapi.

(iv) Lesi tunggal tulang

yang nyeri : kemoterapi atau

irradiasi

(v)
(vi)

Anemia berat: transfust "packed red cells".


Perdarahan karena interferensi paraprotein terhadap
koagulasi, dan sindroma hiperviskositas dapat diobati
dengan plasmaferesis berulang.

Zat pengalk tlmengurangi nyeri, mengurangi proliferasi


sel plasma dalam sumsum tulang dan dengan demikian
menurunkan kadar paraprotein serum. Pada saat sel plasma

"dibunuh", fungsi sumsum tulang normal membaik.


Melphalan diberikan setiap hari selama 4

- 7 hari

setiap 6

PLASMASITOMA SOLITEB
Plasmasitoma soliter dari tulang atau jaringan lunak
berbeda dengan

MM

terutama oleh prognostiknya yang

lebih baik. Jika tidak didapatkan kenaikan sel plasma


monoklonal di tempat lain di dalam tubuh, tidak ditemukan
adanya lesi tulang lain dan kadar imunoglobulin normal,
maka radioterapi lokal dapat mencukupi. Sesudah
radioterapi maka kadar paraprotein akan menurun. Pada
kira-kira 607o kasus, terjadi MM generalisata pada
penderita dengan plasmasitoma soliter tulang, biasanya
dalam 3 tahun setelah diagnosis.
Plasmasitoma soliter jaringan lunak lebih sering dapat
diterapi kuratif dengan pembedahan ataupun radioterapi
dan dengan ini mempunyai prognosis lebih baik dari pada
plasmasitoma soliter tulang.

9 minggu. Allopurinol juga diberikan untuk mencegah

netiopati urat. Karena tak dapat dihindari resistensi yang


berkembang terhadap terapi zat pengalkil, pengobatan
pasien tanpa gejala dengan penyakit dini tidak dianjurkan'
Penilaian klinis dan laboratorium teratur harus dilakukan
plda perjalanan penyakit. Pengobatan dapat ditunda sampai
bc'rkenrbtngnya tandit ttau ge.iala kegagalan sLtlllsttlll
tLrllrng. sittttl'rLti tcrtlitl'lut kc'naikitrr ttrcit rlltt'lllt iltllLl l)ltrtcill

PENYAKIT WALDESTROM (MAKROGLOBU LIN EMIA)

Penyakit Waldenstrom adalah penyakit indolent


limfoproliferatif dengan produksi IgM monoklonal'
Penyakit ini jarang ditemukan. sering ditemukan pada laki
laki r.rmur pertengahln dan lebih tLta. Umttr fata-rata

pentleritrt dcngrtt pcnl'lkit Wxltlellstronl pada waktu

t290

HEM/I$OIOGI

sel imfoid mtda, "mast cells" dan histiosit. Biopsi

diagnosis kira-kira 60 tahun. Gejala klinis bersifat sebagai


limfoma yang berkembang lambat. Ada proliferasi sel yang

trehn dapat memperlihatkan penyakit yang lebih nodular, yang berarti prognosis lebih baik dari pada infiltrasi

menghasilkan paraprotein IgM monoklonal dan


mempunyai beberapa persamaan dengan limfosit maupun

sel plasma

di

sumsum tulang.NccN Pada perjalanan


klinisnya ditemukan seluler karakteristik berua adanya
CD5-, CD10-, dan CD 20-, dan respon terapi dengan
fludarabin yang sama dengan leukemia limfositik kronik
Istilah makroglobulinemia Waldenstrom sering dibatasi

pada kasus

kasus dimana gambaran klinis dominan

adalah akibat makroglobulinemia dan infiltrat selular difus.

Kasus

(iii)
(iv)

difus.
Laju endap eritrosit ILED tinggi.
Sering limfositosis darah tepi dengan sebagian limfosit
plasmasitoid.

(v)

Histologi limfonodus memperlihatkan arsitektur sinus


yang terlindung, kehilangan pola folikular dengan
infiltrasi selular yang serupa dengan yang ditemukan
dalam sumsum tulang.

kasus dengan massa tumor yang dominan

(menonjol) sering dinamakan sebagai "limfoma malignum


dengan makroglobulinemia". Pada kedua kasus, sel - sel
ganasnya adalah populasi sel B monoklonal.

Pengobatan Penyakit Waldestrom


(i) Sindroma hiperviskositas akut : plasmaferesis

berulang.

Karena IgM terutama intravaskular, ini lebih efektif dari

pada dengan paraprotein IgG atau IgA ketika banyak

Gambaran Klinis Penyakit Waldestrom

(,

(ii)

Permulaan penyakit biasanya perlahan - lahan,


penderita mudah letih dan kehilangan berat badan.
Sindroma Hiperviskositas dapat mengakibatkan

gangguan penglihatan, letargi, kebingungan,


kelemahan otot, gejala sistem saraf, dan payah
jantung bendungan. Paraprotein IgM menambah
kekentalan darah lebih daripada konsentrasi ekuivalen
IgG atau IgA dan peningkatan kecil diatas 30 gil dalam
konsentrasi mengakibatkan peningkatan besar dalam
viskositas. Retina dapat memperlihatkan berbagai jenis
perubahan; bendungan vena, perdarahan, eksudat dan
diskus kabur (blurued disc).
Jika mikroglobulin adalah adalah krioglobulin, gejala
kriopresipitasi, misalny a fen omena Raynaud, dapat
terjadi. Kelainan einjal, lesi tulang atau hiperkalsemia
seperti pada mieloma tidak didapatkan atau jarang
terjadi pada penyakit Waldenstrom

(iii)

Kecendemngan perdarahan dapat diakibatkan dari


interferensi makroglobulin dengan faktor pembekuan
dan fungsi trombosit. Bisa ditemukan perdarahan
retma.

dari protein ini ekstravaskular dan dengan begitu


mengisi kembali kompartemen plasma.
; transfusi untuk anemia, antibiotika

(ii) Terapi penunjang

untuk infeksi. dst.

(ii) Zat pen galkilasi oral (klorambusil, si klofo sfami d atau


melfalan), sendiri atau dalam kombinasi dengan
prednison adalah obat yang paling banyak digunakan;

ini

mengurangi infiltrasi sumsum tulang dan

merendahkan konsentrasi IgM serum. Fludarabine (25


mglm2 perhari selama 5 hari setiap 4 minggu) atau
cladribine (0,1 mglkg perhari selama 7 hari setiap 4
minggu) merupakan kemoterapi tunggal yang sangat
efektif.

Prognosis Penyakit Waldestrom


Perj alan an

penyakit sangat berv ariasi, tetapi kebany akan

progresif lambat. 807o pasien yang berespon dengan


kemoterapi, median survivalnya di atas 3 tahun. Ada kasus-

kasus yang penyakitnya berakhir sebagai limfoma


imunoblastik. leukemia mieloblastik akut dan leukemia
mieloidkronik.

(iv) Anemia normokrom normositer yang disebabkan


pengenceran darah (hemodilusi), berkurangnya umur
sel darah merah, kehilangan darah, dan kegagalan
sumsum tulang pada penyakit lanjut. Formasi rouleux
dan tes Coombs positif lebih sering ditemukan dari
padamieloma.
(v) Limfadenopati sedang dan pembesaran hati dan limpa
sering terlihat.
(vi) Hepatosplenomegali
(vii) Terdapat infeksi yang berulang

Diagnosis Penyakit Waldestrom

(,

(ii)

IgM monoklonal serum biasanya lebih besar dari pada


ts gL.
Sumsum tulang memperlihatkan infiltrasi pleomorliik
oleh limfosit kecil, sel plasma, bentuk "plasmasitoid",

SINDROMA POEM
Sindroma ini terdiri dari polineuropati, organomegali,
endokrinopati, mieloma multipel dan kelainan kulit (Skin
change s). Pasien biasanya dengan progresif polineuropati

sensorimotor yang berat yang dihubungkan dengan lesilesi tulang sklerotik dari mieloma. Tidak seperti pada
mieloma hepatomegali dan limfadenopati terjadi pada dua
pertiga kasus, dan splenomegali pada sepertiga kasus.
Limfadenopati terjadi karena produksi IL-6 yang berlebihan.
Manifestasi endokrin berupa amenore pada wanita dan
impotensi serta ginekomasti pada pria. Hiperprolaktinemia
disebabkan oleh karena hilangnya kontrol inhibisi yang
normal dari hipotalamus. DM tipe 2 terjadi pada seperliga
kasus. Hipotiroidisme dan insuffisiensi adrenal dapat pula

L29t

MIELOMA MULTIPEL DAN PEI\IYAKIT GAMOPAfl LAIN

terjadi. Kelainan kulit dapat berupa : hiperpigmentasi,


hipertrikhosis, penebalan kulit dan jari tabuh. Manifestasi
klinis lain dapat berupa : edema perifer, asites, efusi pleura,
demam dan trombositosis.
Patogenesis dari sindroma ini sampai sekarang belum
diketahui, tetapi ditemukan kadar sitokin inflamasi IL-1,
IL-6, VEGF dan TNF yang tinggi dan rendahnya sitokin
inhibitor TGF-B di sirkulasi. Pengobatan terhadap mieloma
akan memperbaiki semua manifestasi klinik ini.

sedikit meningkat (kurang dari l)Vo). Konsentrasi


imunoglobulin monoclonal dalam serum biasanya kurang
dai20 glL dantetap diam jika diikuti selama 2 atau 3 tahun.
Imunoglobulin serum lainnya tidak ditekan. Setelah
bertahun - tahun "follow-up", proporsi besar pasienpasien ini menderita mieloma jelas (overt t\yeloma).

AMILOIDOSIS.
Amiloid adalah deposit homogen dalam jaringan, berwarna

PENYAKIT RANTAI.BERAT

merah jambu dengan haematoksilin dan eosin dan merah

Penyakit rantai berat adalah keganasan limfoplasmasitik

hijau. Amiloid mempunyai struktur fibrilair dan

yang jarang ditemukan, ditandai oleh proliferasi sel


limfoplasmositik yang mensintesis dan mensekresi rantai

diklasifikasikan sebagai berikut

dengan Congo red, dan memperlihatkan "birefringence"

berat imunoglobulin yang cacat biasanya berupa fragmen


Fc yang utuh dsn delesi pada regio Fd.. Empat dari lima
rantai berat yang mungkin disebutkan pada kelainan ini,
yaitu rantai berat gamma (g), alfa (a), dan mu (m), tetapi
tidak ada laporan mengenai rantai berat delta (d) atau
epsilon.
Penyakit rantai berat gamma (g) terutama terdapat pada
orang tua. Gejala klinis pada penyakit ini berupa kelelahan,

febris, anemia, limfadenopati, hepatomegali atau


splenomegali. Eritema dan edema palatum dapat terjadi
karena keterlibatan jaringan limfatik rantai Waldeyer.
Sumsum tulang dapat normal atau menunjukkan kenaikan
sel limfoplasmasitik. Terapi kuratif tidak mungkin, terapi
biasanya dengan siklofosfamid, vinkristin dan prednison.
Perj alanan penyakit sangat bervariasi.
Penyakit rantai berat alfa (a) berbeda dengan penyakit
sel lasma lain, terutama terdapat pada penderita muda dan
menampakkan diri hampir selalu sebagai suatu penyakit
usus, jarang sebagai kelainan di paru,. Manifestasi klinis

Amiloid yang bersamaan dengan proliferasi


imunosit monoclonal.
Tipe ini terdiri atas rantai ringan dan/atau darah V, N
terminal dari rantai ringan . Ini dinamakan tipe "AL" dan
ditemukan bersamaan dengan mieloma, makroglobulinaemia Waldenstrom, penyakit rantai-berat dan
dalam bentuk "primer". Gambaran klinis disebabkan oleh
terkenanya j antung, makroglossia, neuropati perifer atau
"syndroma Carpal tunner" atau dengan kegagalan ginjal.

Amiloid sistemik reaktif


Tipe ini terdiri atas protein "A" yang mungkin berasal dari
protein fase akut dan dinamakan tipe "AA". Ini ditemukan
bersamaan dengan infeksi kronis (mi salny a tuberkul osi s),

arthritis rematoid dan penyakit neoplastik, termasuk


penyakit Hodgkin. Ini juga biasa bersamaan dengan
"familial Mediteranean fever" . Gambaran klinis
disebabkan terkenanya retikukulo-endotelial dengan

penderita berupa diare, malabsorbsi, terhentinya

pembesaran hati dan limfa; ginjaljuga dapat terkena dengan

perlumbuhan dan nyeri perut. Yang karakteristik adalah


infiltrasi limfoplasmasitik difus yang luas dari mukosausus
dan kelenjar mesenterial. Ada hubungan epidemiologik
dengan infeksi usus oleh parasit, bakteri dan virus. Terapi
antimikrobial dapat memberi remisi. Penderita yang tidak
bereaksi dengan terapi antimikrobial, dapar diberi zat

trombosis vena dan sindroma nefrotik.

pengalkil atau kombinasi vinkristin, doksorubisin,


siklofosfamid dan prednison, dapat mencapai remisi jangka
panjang.

GAMMOPATT MONOKLONAL BENTGNA (BENTGN

MONOCLONAL GAMMOPATHY)
Paraprotein dapat ditemukan dalam serum, khususnya pada

orang lebih tua tanpa bukti pasti mieloma,


makroglobulinemia atau limfoma. Tidak terdapat lesi tulang,

biasanya tanpa proteinuria Bence - Jones, dan proporsi


sel plasma dalam sumsum normal (kurang dari 47o) ata.u

Amiloid setempat (localized amyloidl


Ini biasa terjadi sekeliling, khususnya tumor

sistem
endokrin dan juga terjadi dalam kulit dan tempat lain pada
umur tua.
Amiloidosis sistemik primer yang juga disebut sebagai
AL amiloidosis adalah penyakit yang jarang ditemukan
yang ditandai oleh adanya produksi rantai ringan bebas

oleh sel plasma monoklonal pada sumsum tulang.


Tergantung pada jumlah sel plasma sumsum tulang,
konsentrasi protein M serum dan urin serta ada tidaknya
lesi tulang, penyakit ini dibagi atas AL amiloidosis atau
AL amiloidosis dengan MM. Klinis dapat timbul gejala
makroglosi, kardiomegali, malabsorbsi, hepatomegali,
sindroma carpal-tunner, neuropati perifer, hipotensi
ortostatik, dan purpura. Diagnostik dapat ditentukan
dengan pemeriksaan histologik terarah pada endapan

1292

HEMAIIOI.OGI

amiloid di kulit, ginggiva, rektum atau ginjal (Pengecatan


Congo-merah). Pada amiloidosis primer ada plasmasitosis
terbatas (terkontrol) dalam sumsum tulang dan tidak
terdapat lesi osteolitik (pada foto rontgen).
Kemoterapi tidak dapat mengeradikasi komplit sel
plasma monoklonal, dan ketahan hidup median penyakit
ini 12 - 14 bulan. Pengobatan pilihan pada AL amiloidosis
antara lain MP,m VAD, dosis tinggi moderat dengan
melphalan atau dosis tinggi melphalan dengan dukungan
sel stem (growth factor\.

REFERENSI
Foerster J. Multiple Myeloma. In : Lee GR, Bithell TC, Foerstell J,
Athens JW, Lukens JN eds Wintrobe's Clinical Hematology 9'r'

ed.Philadelphia: Lea & Febiger;1993:2219 2249.


Longo DL, Anderson KC. Plasma Cell Disorders. [n: Braunwald E,
Isselbacher KL, Petersdorf RG et al eds. Harrison's Principles of
Internal Medicine 16'h ed. McGrawHill Book Co. 2001 656 662
Beganovic S, Djulbegovic B. Plasma Cetl Disorders ln: Djulbegovic
Sullivan DM eds. Decision Making In Oncology Evidence -

-B,

Based Management. Churchill Livingstone, Philadelphia

1997:103 - 13
Djoerban Z. Mieloma Multipel. Dalam Waspadji S, Rachman AM,
Isbagio H, Daldiyono, Nelwan RHH, Soeparman et al. Ilmu
Penyalit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI.Jakarta.l990:5585 63.
Durie BG Salmon SE. A Clinical Staging System fbr Multiple Myelom:
Correlation of measured myelom cell mass with presenting

clinical features, response to treatment, and survival.


Cancer. 1975:36:842

54

Holdrinet RSG. Diskrasia Plasma. Dalam Onkologi Terjemahan


Bahasa Indonesia. Panitia Kanker RSUP Dr.Sardjito. Gadjah
Mada University Press. Yo gyakarta. I 999 : 699 -'7'l 3 .
Bergsagel PL. Epidemiology, etiology and molecular pathogenesis

In

:Richardson PG Anderson KC eds Multiple Myeloma.

Remedica Pubiishing 2004:l-24.

NCCN. Multiple Myeloma. Practice Guidelines in Oncologyv.2.2009.


Giles FJ. Multiple Myeloma And Waldenstrom's Macroglobulinemia. In: Brain MC, Carbone PP eds. Current Therapy in Hematology-Oncology. 5'h ed. Mosby-Year Book.Inc. 1992:.274 282.
Oken MM. Myeloma. In : Kirkwood JM. Lotze MT. Yasko JM eds.
Current Cancer Therapeutics @nd eds. Churchill Livingstone
Philadlphia. 1996: 281 - 285.
Lichtman MA. Essential Monoclonal Gammopathy. In : Beutler E,
Coller B, Lichman M Kipps TJ eds. Williams Hematology 6'h
ed McGraw-Hill Co.200l : l2'71 -77
Barlogie B, Shaughnessy J, Munshi N, Epstein J. Plasma Cell My.

eloma. In : Beutler E, Coller B, Lichman M Kipps TJ eds.


Williams Hematology. 6'h ed McGraw-Hill Co.2001: 1279 I

304

Buxbaum JN, Jacobson

DR

The Amyloidoses.

In : Beutler E, Coller

B. Lichman M Kipps TJ eds Williams Hematology. 6'h


ed.McGrau,-Hill Co 2001: 1305

16

Linker CA Multiple Myeloma In: Tierney LM. McPhee SJ.


Papadakis MA eds Current Medical Diagnosis & Treafment.
44th ed. Prentice-Hall International Inc.2005: 491 - 500.
Kyle RA. Multiple Myeloma and Related Monoclonal Gammopathies.
ln'. Mazza JJ ed. Mannual of Clinical Hematology. 2'd ed
McGraw-Hill Book Co. 1987:251

216.

Greipp,PR, San Miguel J, Durie BGM et al:International staging


system for multiple myeloma.J Clin Oncol 23:3412-3420,2005

204
DASAR.DASAR HEMOSTASI S
C. Suhafti

PENDAHULUAN

adventitia.

Pemahaman tentang dasar fisiologi hemostasis sangatlah


penting. Pemahaman yang baik selain akan meningkatkan

pengertian tentang patofisiologi kelainan trombohemoragik, juga membantu dalam membuat inteqpretasi hasil
pemeriksaan laboratorium, yang dapat digunakan sebagai
dasar dalam pendekatan terapi.
Hemostasis berasal dari kata haima (darah) dan stasis

nontrombogenik dan mernbran elastis intema.

Media: terdiri atas otot polos, ukuran otot polos ini


bervariasi tergantung jenis pembuluh darah.(arteri/
vena), dan ukuran pembuluh darah.
Adventisia: terdiri atas membran elastis eksterna dan
jaringan ikat penyokong.
Permeabilitas, fragilitas dan vasokonstriksi merupakan

(berhenti), merupakan proses yang amat komplek.


berlangsung secara terus menerus dalam mencegah

sifat yang dimiliki oleh pembuluh darah. Peningkatan


permeabilitas mengakibatkan keluarnya darah dari

kehilangan darah secara spontan, serta menghentikan

pembuluh darah berupa petekie, purpura, dan ekimosis yan-e

perdarahan akibat kerusakan sistem pembuluh darah. Setiap


kerusakan endotel pembuluh darah merupakan rangsangan
yang poten untuk pembentukan bekuan darah. Proses

besar. Peningkatan fragilitas pembuluh

darah
rr-remungkinkan terjadinya ruptur yang menimbulkan
petekie, purpura (terutamapada kulit dan mukosa), ekimosis
yang besar, serta perdarahan hebat pada jaringan yang

yang terjadi secara lokal berfungsi untuk menutup


kebocoran pembuluh darah, rnembatasi kehilangan darah
yang berlebihan, dan memberi kesempatan untuk perbaikan
pembuluh darah. Terdapat beberapA mekanisme kontrol
dari proses ini antara lain: sifat antikoagulan dari sel endotel
normal, adanya inhibitor faktor koagulan aktif dalam
sirkulasi, dan produksi enzim fibrinolitik untuk melarutkan
bekuan. Terjadinya abnormalitas hemostasis kebanyakan
sebagai akibat defek dari salah satu atau lebih dari tahapan
proses koagulasi.
Komponen penting yang terlibat dalam proses hemo-

lebih dalam. Vasokonstriksi dapat mengakibatkan obstruksi


yang bersifat parsial maupun total, iskemia, dan akhirnya
terbentuk trornbus. Vasokonstriksi ini di bawah kontrol lokal

(suhu, pH, pCO2), neural (saraf simpatis) dan humoral.

Faktor humoral yang mengendalikan vasokonstriksi


terutama substansi yang dilepas oleh trombosit seperti:

epinefrin, norepinefrin, ADP (adenosin difosfat).


kini n, dan tromboksan. Produk degradasi fibrin/fibrinoge n

(FDP, Fibrin/fibrinogen degradation products) y ang


dilepas sewaktu sistem fibrinolisis bekerja pada fibrin dapat

stasis terdiri atas:

.
.
.
.
.

Intima: terdiri atas satu lapis sel endotel yang bersifat

memodulasi vasokonstriksi.

Pembuluh darah

Weibel-Palade merupakan suatu aparatus yang unik


dari sel endotel dan diduga merupakan derivat dari aparatu\
Golgi. Weibel-Palade ini berisi faktor von Willebrand (vW).

Trombosit
Kaskade faktor koagulasi
Inhibitor koagulasi
Fibrinolisis

antigen vW, dan P-selektin. Interleukin-l (IL-l).


endotoksin, trauma mekanik, dan komplemen, dapat
menginduksi pelepasan isi aparatus Weibel-Palade. Sel
endotel secara konstan melepas nitrogen oksida (NO).

PERAN PEMBULUH DARAH

berfungsi untuk relaksasi sel otot polos dan dilatasi


pembuluh darah, guna menjamin patensi pembuluh darah.

Pcmbuluh darah normal terdiri atas intima. media dan

t29

1294

HEMAiNOLOGI

Bila terjadi kerusakan sel endotel, segera disekresi


endotelin-1 atau substansi lain yang dapat menyebabkan
vasokonstriksi. Endotelin- 1 dalam sirkulasi bekerja sebagai
kemoatraktan, menarik leukosit dan trombosit. Endotelin-

1, bersama trombin menginduksi sei endotel untuk


mengekspresi berbagai molekul adhesi, termasuk integrin

dan selektin yang memfasilitasi adesi' Sel endotel juga


mengandung berbagai proteoglikan: heparin suJfat,
kondroitin sulfat, dermatan sulfat, dan trombomodulin'
Proteoglikan ini berinteraksi dengan antitrombin untuk
meningkatkan hambatan terhadap pembentukan protease
senn.

Trombomodulin merupakan proteoglikan yang terikat


pada sel endotel, berfungsi sebagai reseptor trombin.
Peranan trombomodulin men gubah aktivitas prokoagulan
dari trombin sedemikian rupa, sehingga trombomodulin
yang terikat pada trombin kehilangan kemampuan untuk:
(i) mengubah fibrinogen menjadi fibrin, (ii) mengaktifkan

mengalami diferensiasi, selanjutnya bermigrasi, dan


akhirnya membentuk sel endotel baru yang bersifat
nontrombogenik. Bila pembentukan sumbat trombosit
primer terjadi secara berlebihan, akan terbentuk suatu
trombus besar yang dapat menghentikan aliran darah, yang

akhirnya dapat menyebabkan kerusakan organ akibat


iskemia. Peristiwa lain akibat terkelupasnya endotel dapat

menyebabkan terbentuknya plak aterosklerotik. Bila

peristiwa terbentuknya sumbat hemostatik primer


berlangsung secara berulang, terjadi pada tempat yang
sama, dan dalam periode waktu yang lama, otot polos atau
sel lain akan berdiferensiasi dan bermigrasi ke intima. Suatu
senyawa akan dilepas, selanjutnya akan menarik makrofag

yang "memakan" kolesterol maupun materi yang lain,


sehingga terbentuklah plak aterosklerotik.

dan

(paparan kolagen subendotel)

trombosit, dan (iii) mengaktifkan faktor XIII.


Trombomodulin yang terikat pada trombin akan
mengaktifkan protein C menjadi protein C aktif, dan bersama
dengan protein S (kofaktor) akan menghambat faktor Va

Kerusakan Pembuluh Darah

Pengaktifan
koagulasi

Pengaktifan
koagulasi

(sesual)

(berlebihan

VIIIa.

Pengaktifan
koagulasi
(berulang)

I
I
I

Trombus besar

Deposit makrofag
dan lipid

Proses reparasi

Oklusi

normal

pembuluh darah

Pembentukan
ateroma

il

ilt

Sumbat hemostatik
(primer)

Prokoagulan
Kontraksi oleh pengaruh
histamin, kinin, serotonin, dan
tromboksan
Produksi faktor koagulasi:

r
.

Tromboplastin(faktor
jaringan)

F.VlllvW

Aktivator dan inhibitor


protein C
lnhibitor aktivator
plasminogen tiPe 1 (PAl-1)
Subendotel:
Mengaktifkan. dan adhesi
trombosit
Mengaktifkan F Xll, Xl

Antikoagulan

lnhibitor bekuan
darah/lisis
Trombomodulin
Heparan
lnhibitor jalur faktor
jaringan (TFPI)
Aktivator
plasminogen
(t-PA)

o
.
.
.

Gambar 1. Kerusakan pembuluh darah (terkelupasnya sel

endotel) dengan segala konsekuensinya. (dikutip dari Bick RL,


2002)

FUNGSITROMBOSIT

vW, von Willebrand; PAll , plasminogen activator inhibitor type


1; TFPI, tissue factor pathway inhibiton t-PA, tissue
plasminogen activator

Sel endotel bisa terkelupas oleh berbagai rangsangan:


. asidosis

.
.
.

lnhibitor trombosit

.NO
. Prostasiklin
. ADPase

hipoksia
endotoksin
kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi

Bila sel endotel terkelupas, kolagen maupun membrana


basalis subendotel menarik trombosit untuk membentuk

sumbat hemostatik primer, sehingga menghentikan


keluarnya darah dari pembuluh darah. Setelah sumbat
hemostatik primer terbentuk, proses selanjutnya adalah
peristiwa reparasi. Otot polos atau sel lain dari media

Produksi Trombosit
Trombosit diproduksi di sumsum tulang dengan cara
fragmentasi sitoplasma megakariosit. Diameter trombosit
berkisar antar a 2- 4tm, volume 7fl (5 - Efl). Hitung trombosit
antara 150-400x109/1, sedangkan umur trombosit berkisar
7-10 hari. Kira-kira sepertiga dari jumlah trombosit yang
dikeluarkan dari sumsum tulang tertangkap di limpa normal; namun pada kondisi splenomegali masif, jumlah ini
bisa meningkat sampai 90%. Produksi trombosit diatur oleh
hormon trombopoetin yang diproduksi oleh hepar dan
ginjal.

Struktur Trombosit
Secara ultrastruktur, trombosit terdiri atas:

Zona Perifer.Terdiri atas glikokalik, suatu membran ekstra


yang terletak di bagian paling luar; di dalamnya terdapat

t29s

DASAR.DASAR HEMOSTASIS

membran plasma, dan lebih dalam lagi terdapat sistem kanal

terbuka.
Zona sol-gel. Terdiri atas mikrotubulus, mikrofilamen, sistem
tubulus padat (berisi nukleotida adenin dan kalsium). Selain
itu juga terdapat trombostenin, suatu protein penting untuk
fungsi kontraktil.

Zona organela. Terdiri atas granula padat, mitokondria,

granula or, dan organela (lisosom dan retikulum


endoplasmik). Granula padat be,'isi dan melepaskan
nukleotida adenin, serotonin, katekolamin, dan faktor
trombosit. Sedangkan granula cr berisi dan melepaskan
frbrinogen, PDGF (platelet- de riv e d growth factor), enzim
lisosom. Terdapat tujuh faktor trombosit yang telah
diidentifikasi dan diketahui ciri-cirinya. Dua diantaranya
dianggap penting yakni faktor trombosit 3 (membran
fosfolipoprotein trombosit), dan faktor trombosit 4 (faktor

Kolagen subendotel
maupun membrana
basalis
Trombin
Fibrin monomer
FDP, terutama fragmen
X
Endotoksin

Kompleks antigenantibodi dalam sirkulasi


y-globulin yang melapisi
permukaan
Virus
ADP
Katekolamin
Asam lemak bebas

gelombang pertama pada grafik tes agregasi trombosit.


Bila konsentrasi ADP makin meningkat, terjadilah agregasi
trombosit. Selain ADP, juga dilepas serotonin, yang

menyebabkan vasokonstriksi, sehingga memberi


kesempatan untuk menyiapkan pembentukan sumbat

Trombosit bila diaktifkan, akan mengalami kontraksi dan

hemostatik primer, yang terdiri atas trombosit dan fibrin.


Pada kondisi dimana kadar ADP mencapai titik kritis,
tedadilah pengaktifan membran fosfolipid (faktor trombosit

membentuk pseudopodia. Selama proses kontraksi,

3), yang bersifat ireversibel. Membran fosfolipid ini

berbagai senyawa maupun granula terkonsentrasi pada


bagian pusat trombosit, dan bila kontraksi makin kuat,
membran organela robek, selanjutnya isi dikeluarkan lewat

memfasilitasi pembentukan komplek protein koagulasi


yang terjadi secara berurutan.

antiheparin).

ini

Kejadian yang berurutan mulai dari agregasi ffombosit,

kemudian

peningkatan reaksi pelepasan, pengaktifan",faktor

berinteraksi dengan reseptor membran trombosit terdekat,

trombosit 3, merupakan proses yang ireversibel, tampak


sebagai gelombang ke dua dalam grafik tes agregasi
trombosit. Hasil seluruh proses ini akhirnya terbentuk
sumbat hemostatik primer. Granula cx,, selain melepaskan

sistem kanal yang terbuka. Senyawa

yang akan mengakibatkan pengaktifan lebih lanjut,


sehingga makin banyak trombosit yang diaktifkan. Selain

berinteraksi dengan trombosit, beberapa senyawa juga


berinteraksi dengan sel endotel terdekat. Formasi
pseudopodia ini meningkatkan adhesi trombosit (trombosit
melekat pada permukaan bukan trombosit, misalnya pada
kolagen/membran basalis), maupun agregasi (interaksi antar

trombosit).

FDP,

Fibrin/Fibrinogen Degradation Products;

ADP, Adenosin Difosfat


Setelah terjadi adhesi trombosit, selanjutnya akan dilepas
ADP. Proses ini bersifat reversibel, yang terlihat sebagai

lntegrin

.
.

GPla/lla: reseptor kolagen


GPlb/lX-V: reseptorfaktor vW
GPllb/llla: reseptorfibrinogen

.
.

.
.

.
.
.

P-selektin

Protein

Amin biogenik
Serotonin
Histamin
Katekola

Faktor trombosit 3 dan 4


Btromboglobulin
PDGF
Plasminogen
Fibrinogen
Protein plasma (albumin, lgG)
Faktor vW

mrn

Nukleotid adenin
o ADP
ATP
AMP
siklik
Kation: Ca**
Tromboksan A2

.
.

GP, glikoprotein; PDGF, Platelet-derived groMh factor; ADP,


adenosine diphosphate; ATP, adenosine triphosphate; AMP,
adenosine monophosphate

faktor prokoagulan dan produk yang mengaktifkan


trombosit, juga melepas PDGF Qtlatelet-derived growth
factor), yang kemudian terikat dengan reseptor, yang akan
menghambat sekresi trombosit maupun agregasi yang
diinduksi oleh trombin.

Jalur Biokimia dan Fungsi lntraselTrombosit


AMP siklik merupakan modulator kunci fungsi trombosit.
Peranan dari senyawa ini menggabungkan protein yang
tergantung AMP siklik, untuk membentuk aktivitas kinase.

Kinase sendiri berfungsi untuk fosforilasi protein reseptor,


yang akhirnya mengikat kalsium. Apabila kalsium dalam
sel trombosit terikat, trombosit bersifat hipoagregasi dan

hipoadhesi. Epinefrin, trombin, kolagen, dan serotonin


menghambat enzim adenilat siklase, yang bertanggung
j awab untuk konversi AIP menjadi AMP siklik. Hambatan

ini

mengakibatkan penurunan konsentrasi kinase,

penurunan fosforilasi protein reseptor, peningkatan ion


kalsium, yang akhirnya berakibat hiperagregasi trombosit.
Enzim yang bertanggung jawab mengubah AMP siklik
menj adi bentuk inaktif adalah fosfodiesterase. Dipiridamol,
suatu obat antitrombosit, menghambat fosfodiesterase.
Pada kondisi seperti

ini, konsentrasi AMP siklik, kinase,

dan protein reseptor yang telah mengalami fosforilasi


meningkat. Akibatnya kalsium dalam trombosit akan terikat,
trombosit menj adi hipoaktif .

t296

HEMAIOLOGI

vasokonstriktor yang poten.


Pada sel endotel danjaringan subendotel. pro\tasiklin
sintetase mengubah PGH2 menjadi prostasiklin. sr-rLtu rn
hibitor agregasi dan vasodilator yang potcn Aspirin clan
n si
s ulfinpirazon, merupakan anti trombos i t y an-u be rt
-u
menghambat enzim siklooksigenase. Kedua antitrombosit
ini bersifat selektif, dimana l)Vc aktivttas diarahkan ke

Adesi trombosit

Reaksi pelepasan awal

r-r

+_-^

ADP

:"*'''i'*"]----'
Peningkatan reaksi

pelepasan

ADP'

Serotonin/

Aktivitas fosfolipid trombosit

Vasokonstriksi

trombosit, dan hanya sekitar 307c diarahkan ke scl cnclotcl


Hal ini yang memungkinan sel endotel mampu melanjutkan
sintesa prostaglandin, sedangkan trombosit tidak.
Adenilat siklase adalah enzim yang mengr-rbah ATP
menjadi AMP siklik. Tromboksar.r A.2 merupaktrn inhibitor
adenilat siklase yang poten, dan sebaliknya. prostasiklin

merupakan stimulator adenilat siklase yang potcn.

Predisposisi terjadinya trombosis atau perdarahan

tergantung konsentrasi relatif ke dua senyawa tersebut.


Interaksi trombosit dengan pembuluh darah (adhesi),
atau dengan trombosit yang lain (agregasi), serta dengan
protein plasma terjadi pada permukaan membran trombosit
dengan mediator glikoprotein yang terdapat pada membran

trombosit.

Gambar 2. Fungsi trombosit (Bick FlL. 2002)

Glikoprotein IalIIa merupakan salah satu reseptor


adhesi dari trombosit (integrin). Peranan GPIaflIa untuk

adhesi trombosit kurang dominan, terbukti bahwa


kelainan kongenital, dimana tidak didapatkan GPIa/lla,

tidak mengakibatkan timbulnya perdarahan yang

Menghambat

Adenilat siklase

(Epl, Trombin, kolagen,5-HT)

I
I

t
ATP

Prolein tergantung
AN4P siklik

inaktif

i**irf,bin

&ADP

ATP

\-=_l____==l
'r)

Fosforilasi

Protein reseptor
(ca++ katan)

Gambar 3. Reaksi biokimiawi di dalam sel trombosit, Bick RL,


2002

Peranan Prostaglandin

dan Derifat

Prostaglandin
Membran fosfolipid trombosit maupun sel endotel diubah
menjadi asam arakidonat oleh enzim fosfolipase,A2(PLA2)
yang diaktifkan oleh trombin maupun kolagen. Asam
arakidonat diubah menjadi prostaglandin G2(PGG2) dan
prostaglandin H2 (PGH2) oleh enzim siklo-oksigenase.
Pada membran trombosit, tromboksan sintetase mengubah
PGH2 menjadi tromboksan A2, suatu agen agregasi yang
poten. Sef ain itu, tromboksan A2 juga berfungsi sebagai

.
.

berarti.

GPIb/IX-V dan GPIIb/llIa mempunyai peranan yang jauh


lebih penting. GPIb/IX-V merupakan faktor adhesi yang
utama, sedangkan GPIIb/IIIa merupakan mediator
agregasi yung qangat penting.
Pada sindrom Bernard-Soulier. tidak ditemukan GPIb
dan GPIX. GPIb mempunyai beberapa fungsi: (i)
kompleks CPIb/lX berfungsi sebagai reseptor untuk
faktor vW (pada respon terhadap injuri, terjadi adhesi
trombosit pada subendotel melalui ikatan GPIb/IX dan
faktor vW.;; (ii) sebagai reseptor untuk antibodi yang
tergantung kinin dan kinidin, seperti yang terjadi pada
trombositopenia akibat kinin atau kinidin; (iii) befungsi
sebagai bagian dari komplek reseptor-trombin dari
trombosiL.

GPV sangat penting dalam pengaktifan trombosit oleh


trombin.

Komplek GP llb/llla terdapat pada granula a maupun


pada membran trombosit. Keduanya merupakan subunit dari suatu glikoprotein tunggal. GPIIb merupakan
protein yang dalam fungsinya sangat tergantung ion
kalsium. Pada trombastenia Clanzman, GP IIb/IIIa tidak
ada atau dalam keadaan menurun. GP

IIb/IIIa merupakan

reseptor fibrinogen, dan.luga berfungsi sebagai tempat


ikatan antibodi PLAI. Ikatan fibrinogen pada IIb/IIla
diperlukan untuk agregasi trombosit yang optimal yang
diinduksi oleh ADP. GPIIb/IIIa juga terikat pada faktor
vW dan fibronektin.

t297

DASAR-DASAR HEMOSTASIS

Fosfolipid
Trombin
xolagen
1
Fosfotipase A
Iv\.-\Z- --.,-t

lvlembran

FUNGSIPROTEIN PLASMA
Fungsi protein plasma dalam hemostasis meliputi berbagai
sistem:

.
.
.
.
.

Asam arakidonat

protein koagulasi
enzimfibrinolisis

inhibitor
komplemen

kinin

Pembentukan kinin dan pengaktifan komplemen


dianggap tidak penting dalam kelainan trombohemoragik.

Protein Koagulasi
Gambar 4. Prostaglandin dalam fungsi trombosit dan sel endotel
(Bick RL, 2002)

Glikoprotein

tb

Fringsi
Reseptor
untuk
subendoiel
yang tidak
tergantung
F.vW
Reseptor

FvW
lla
ilb

llla

IX

Reseptor vW
dan fibrinogen
Reseptor vW
dan fibrinogen
Reseptor
untuk
trombin
Reseptor
trombin

Karakteristik

Pada sindrom BernardSoulier,


GP lb tidak terdapat
Pada trombastenia
Glanzmann,
GP llb tidak terdapat
Pada trombastenia
Glanzmann,
GP llla tidak terdapat
Pada sindrom BernardSoulier, GPV tidak terdapat
Pada sindrom BernardSoulier, GPIX tidak terdapat

(?)

Proteinkoagulan, lebih sering ditulis dalamhuruf Romawi,


meskipun beberapa diantaranya tidak mempunyai angka
Romawi. Pembentukan fibrin, bisa digambarkan terdiri atas
empat reaksi kunci yakni:
. pembentukan F.IXa (pengaktifan lewat sistem kontak)

.
.
.

pembentukan F.Xa
pembentukan trombin (F.IIa)
pembentukan fibrin

Konsep

ini

koagul

i.

as

sangat membantu dalam memahami sistem

Pembentukan faktor IXa, Pengaktifan lewat kontak dari


jalur intrinsik diawali dengan pengaktifan t'aktor XII (faktor
Hageman). Fosfolipid, kolagen, kolagen subendotel, dan
kalikrein mampu mengubah F.XII menjadi F.XIIa (a:aktif).

F.XIIa, merupakan serin protease, yang kemudian


mengubah F.XI menjadi F.XIa. Reaksi ini akan terjadi cepat
bila terdapat kininogen dengan berat molekul tinggi (highmolecular-weight kininogen), namun bila tidak ada akan

terjadi lambat. F.XIa, bersama ion kalsium mengubah F.IX


menjadi F.IXa. F.IXa merupakan enzim yang berfungsi unhrk
pembentukan F.Xa. Perlu ditambahkan bahwa F.XIIa sendiri
dapat mengubah prekalikrein menjadi kalikrein, sehingga
dapat mengubah lebih banyak F.XII menjadi F.XIIa.

Pembentukan faktor Xa. Pembentukan F.Xa melibatkan


dua jalur utama, intnnsik dan ekstrinsik. Jalur ekstrinsik
Nomor

Nama

Bentuk aktif

faktor

I
ll
lll
V
Vll
VlllC
lX
X
Xl
Xll
Xlll

Fibrinogen
Protrombin
Faktor jaringan
Proaselerin
Prokonvertin
Faktor antihemofili
Faktor Christmas
Faktor Stuart-Prower
Plasma thromboplastin
antecedent
Faktor Hageman
Faktor yang
menstabilkan fibrin

Fitzgerald Kininogenberat

Fletcher

molekul tinggi
Prekalikrein

Fibrin

Protease serin
Reseptor/kofaktor
Kofaktor
Protease serin
Kofaktor
Protease serin
Protease serin
Protease serin
Protease serin
Transg lutam inase

Kofaktor
Protease serin

melibatkan tromboplastin (faktor jaringan, tis sue factor,TF),

F.VII, dan ion kalsium. Faktor jaringan terdiri

atas

protein

yang terikat pada membran lipoprotein, berada dalam kondisi

terproteksi pada membran sel endotel. Bila terjadi injuri,


faktorjaringan dilepas dalam sirkulasi, bersama ion kalsium
membentuk kompleks dengan F.Vtr menjadi TF/F.VIIa. F.VIIa

ini kemudian mengaktifkan FIX maupun FX. Pengaktifan


FX (menjadi F.Xa) mengakibatkan pembentukan trombin
dalam jumlah kecil. Trombin yang terbentuk ini akan
meningkatkan proses koagulasi dengan mengaktifkan
kofaktor V dan VIII. Jalur amplihkasi yang melibatkan faktor

VIII

dan faktor IX dapat dianggap sebagai suatu peranan


yang dominan dalam meningkatkan produksi faktor Xa.
Trombin juga dapat mengaktifkan faktor XI, yang dapat
meningkatkan produksi faktor IXa.

L298

HEMAIOI,.OGI

Peran kofaktor dalam hal ini untuk menjamin bahwa hanya

Sistem kontak
XII, PK, HK

XI

enzim dan substrat yang tepat yang akan masuk dalam


komplek pembentukan. Sebagai contoh, adanya faktor V
memungkinkan F.Xa bereaksi dengan F.II. Pembentukan
F.Xa dan trombin tergantung pada beberapa faktor yang
tergantung vitamin K (faktor II, VII, IX, dan X). Faktorfaktor ini disintesis dalam parenkim sel hepar.

v
.Xlla

^''
f<-

Pembentukan Fibrin. Trombin melepaskan dua peptida


kecil dari fibrinogen, yaitu fibrinopeptid A dan B, dan
terbentuklah fibrin monomer. Fibrin monomer

X ---------------> Xa + V

berpolimerisasi dengan membentuk agregasi " end to end"


dan "-cide to side", yang bersifat larut (soluble fibrin),
yang larut dalam 5M urea atau asam monoklorasetik tr%.

Pembentukan fibrin monomer yang larut disebut


polimerisasi l. Fungsi lain dari trombin yang penting ialah
mengaktilkan faktor XIII menjadi faktor XIIIa. Faktor XIIIa
D-dimer

mengubah fibrin yang larut menjadi tidak larut. Peristiwa


ini disebut polimerisasi II.

Sistem Fibrinolisis
Gambar 5. Kaskade koagulasi Van Gorp ECM, 1999 (dengan
modifikasi). PK, prekalikrein; HK, kininogen berat molekul tinggi;
TF, faktor jaringan; TFPI, inhibitor jalur faktor jaringan; AT, anti
trombin; TAT, komplek trombin-anii trombin; PCa, protein C aktif;
F1+2, fragmen protrombin 1+2; D-dimer, produk pemecahan fibrin; FPA, fibrinopeptid A;

Pembentukan F.Xa lewat jalur intrinsik membutuhkan


lima komponen: substrat (F.X), enzim (F.IXa), kofaktor

(F.VIII:C), permukaan (faktor trombosit 3), ion kalsium.

Faktor jaringan dan inhibitor jalur faktor jaringan

Sistem fibrinolisis berfungsi menghancurkan bekuan fibrin. Plasmin mempunyai afinitas yang sama terhadap fibrin maupun fibrinogen, memecah keduanya menjadi
produk degradasi fibrin/fibrinogen t$b rin/Jib r ino g e n de g radationproducls,FDP). Plasmin juga memecah F.Y V[I.
IX dan XI, hormon adenokortikotropik (ACTH), hormon
pertumbuhan, insulin dan masih banyak lagi protein yang
lain. Dalam sistem fibrinolisis terdapat dua jalur pengaktifan
fisiologik: (i) melibatkan aktivator plasminogen (tissue

plasminogen activator,t-P{);

(ii) melibatkan F.XIIa

(Hageman). F.XIIa mengubah prekalikreir menjadi kalikrein,

(tissue factor pathway inhibilor,TFPI). Pembentukan F.Xa


lewat jalur ekstrinsik melibatkan faktorjaringan, F.VII, ion
kalsium, dan TFPI. Faktor janngan bisa berasal sel endotel,

palsmin.

sistem monosit/makrofag, maupun sel ganas. Faktor


jaringan akan terbentuk bila terjadi suatu injuri atau
rangsangan, misalnya: induksi sitokin (IL-la, TNF a),

farmakologik yang sering digunakan untuk trombolisis,


misalnya streptokinase, urokinase, t-PA, dan acyl-

pengaktifan komplemen, terutama C5a, lipopolisakarida, dan

komplek imun dalam sirkulasi. Faktor jaringan diaktifkan


atau dilepas untuk mengaktifkan F.VII menjadi F.VIIa,
membentuk komplek dengn F.VII bersama ion kalsium.
Komplek TF/F.VIIa mampu mengaktifkan baik F.X maupun
F.IX menjadi F.Xa dan F.IXa. Sebagai tambahan, F.Xa dapat
mengubah kompleks TF/F.VII menjadi kompleks TFTVIIa,
sehingga meningkatkan potensi dalam mengaktifkan F.IX
dan F.X. Proses aktivasi yang dimediasi injuri ini dihambat
oleh TFPI. Terdapat beberapa sel sebagai sumber TFPI: sel
endotel (sumber utama), hepatosit, paru, ginjal, monosit,
dan kandung kencing.

Pembentukan trombin. Dalam reaksi ini dibutuhkan:


substrat (F.II), enzim (F.Xa), kofaktor (F.V), faktor trombosit
3 atau

fosfolipid lain, ion kalsium

Semua faktor ini membentuk kompleks pada permukaan

fosfolipid untuk membentuk trombin, suatu enzim baru.

selanjutnya kalikrein mengubah plasminogen menjadi

Di dalam klinik, terdapat beberapa aktivator


plas mino

g e n- s t re p

tokinas e ac tiv ato

r c omplex (APSAC).

Urokinase secara langsung mengaktifkan plasminogen


menjadi plasmin, tetapi streptokinase membentuk

kompleks streptokinase-plasminogen, selanjutnya


komplek ini kemudian mengubah plasminogen menjadi
plasmin. Sistem fibrinolisis dimodulasi oleh sejumlah
inhibitor: (i) cr2-antiplasmin (u2-AP), yang menghambat
kerja plasmin; (ii) cx2-makroglobulin; (iii) inhibitor aktivator

plasminogen, (plasminogen activator inhibitor type 1,


PAI-1). PAI-1 merupakan modulator yang menghambat tPA dan aktivator plasminogen urokinase.
Fibrinogen terdiri atas beberapa bagian, A-a dan B-b
serta rantai g dengan peptida A dan peptida B. Pada
awalnya fibrin dan fibrinogen dipecah menjadi fragmen X.
Pemecahan berikutnya menghasilkan fragmen Y dan
fragmen D, dan pemecahan terakhir menghasilkan fragmen
D (lain) dan fragmen E. Fragmen X, Y, D, dan E secara
klinik merupakan FDP yang dapat diukur. Adanya FDP

L299

DASAR-DASAR HEMOSTASIS

;kbrxil -----------

raklorxtta

Prekalikrein I

-__________f.

mempunyai peranan penting dalam penyakit


trombohemoragik. Sistem komplemen dapat meningkatkan

permeabilitas pembuluh darah, mengakitratkan hipotensi


dan syok, suatu kejadian yang sering terjadi pada

t'r**-"]

koagulasi intravaskular diseminata (disseminated


intravasculctr coag,ulation,DIC) dan kelainan

F;;-l

trombohemoragik yang lain. Pengaktifan komplemen C8-9

(lnaktif)

l
l

Biodegradasi
(Faktor V, Vll, lX, dll)
I
I

Gambar 6. Fisiologi dari sistem tibrinolisis. Bick BL, 2002. t-PA,

tissue plasminogen activator; PAI-1, plasminogen activaior


inhibitor-1

(fase "attack") dapat mengakibatkan lisis osmotik dari


eritrosit dan trombosit. Kondisi seperti ini dapat
meningkatkan materi prokoagulan, yang akhirnya akan
meningkatkan proses koagulasi. Sebagai contoh, lisis
eritrosit yang diinduksi komplemen, akan melepas membran
fosfolipoprotein maupunADP, dimana keduanya berfungsi
sebagai prokoagulan. Lisis trombosit akan mengakibatkan

pelepasan ADP, yang juga meningkatkan aktivitas


koagulasi.
Sistem komplemen terdiri atas suatu reaksi seri yang

terjadi secara berurutan seperti pada reaksi koagulasi.

rnenunjukkan suatu kondisi klinik yang serius, di mana


terdapat gangguan polimerisasi fibrin monomer dan fungsi
trombosit.

Pengaktifan C1 sampai C5 disebutfase aktivasi; sedangkan


pengaktifan C5 sampai C9 disebut fase "attack" .
F.XIIa dapat mengubah prekalikrein menjadi kalikrein,

yang selanjutnya mengubah plasminogen menjadi


plasmin. Plasmin dapat mengaktifkan C1 atau C3. Aktivasi

Sistem lnhibitor
Sistem koagulasi diatur oleh sejumlah inhibitor. Inhibitor ini
berfungsi membatasi reaksi koagulasi yang berlebihan, agar

pembentukan

fibrin terbatas disekitar daerah

yang

mengalami injuri saja, untuk mencegah terjadinya kondisi


patologi. Beberapa inhibitor penting dalam sistem koagulasi:
antitrombin fII (ATItr), protein C (PC), protein S (PS).
. AIIII merupakan inhibitor koagulasi fisiologik yang
kuat, terdiri atas glikoprotein yang disintesa oleh hepar.
ATIII menghambat aktivitas trombin (IIa), F.Xa, dan
dalam tingkatan yang lebih rendah juga menghambat
IXa, XIa, XIIa, dan kalikrein. Fungsi inhibitor ini menjadi
semakin kuat dengan adanya heparin.
. Protein C merupakan zimogen (praenzim), disintesa di
hepar, tergantung vitamin K. Protein C diaktifkan oleh

trombin bersama dengan ion kalsium

dan

komplemen yang diinduksi oleh plasmin


mengakibatkan kondisi klinik yang serius.

ini

dapat

Hubungan Pengaktifan Kinin dan Koagulasi


Kinin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah,
mengakibatkan dilatasi pembuluh darah, syok, serta
kerusakan organ. Seperti halnya aktivasi komplemen,
pembentukan kinin berpusat pada faktor XII. F.XIIa
mengubah prekalikrein menjadi kalikrein. Kalikrein
mengubah kininogen menjadi kinin. F.XIIa juga diubah
menjadi fragmen F.XIIa oleh plasmin. Fragmen ini juga
mengaktifkan prekalikrein menjadi kalikrein, sehingga makin
meningkatkan pembentukan kinin.

PEMEBIKSAAN PENYARING UNTUK FUNGSI HE-

trombomodulin yang terletak di permukaan sel endotel.


PCa selanjutnya akan menghambat F.Va dan F.VIII:C.

MOSTAS!S

Aktivitas ini memerlukan permukaan fosfolipid, ion

Kelainan hemostasis dengan perdarahan abnormal dapat

kalsium, dan sangat ditingkatkan oleh protein S. PCa


juga bekerja aktif selama terjadi proses fibrinolisis

merupakan:

dengan jalan menghambat inhibitor aktivator

gangguan fungsi trombosit, Kelainan koagulasi


Sejumlah pemeriksaan sederhana dapat dikerjakar untuk
menilai fungsi trombosit, pembuluh darah, serta komponen
koagulasi dalam hemostasis.
Pemeriksaan penyaring ini meliputi:pemeriksaan darah
lengkap (complete blood count, CBC), evaluasi darah
apus, waktu perdarahan, waktu protrombin (prothrombin
time, PT), activated partial thromboplastin time (aPTT),

plasminogen (PAI-l ).
Protein S, juga disintesa di hepar, tergantung vitamin
K. Protein S dalam sirkulasi berfungsi sebagai kofaktor
protein C.

Hubungan Pengaktifan Komplemen dan


Hemostasis
Meskipun pengaktifan sistem komplemen tidak termasuk

bagian integral dari fisiologi hemostasis, namun

Kelainan pembuluh darah, Trombositopenia atau

agregasi trombosit.

Pemeriksaan darah lengkap dan evaluasi darah apus.

1300

HEM'IiIOI.OGI

Trombositopenia sering merupakan penyebab perdarahan

abnormal, oleh karena

itu pada pasien yang diduga

menderita kelainan perdarahan, pertama kali harus dilakukan


pemeriksaan hitung darah lengkap dan pemeriksaan apusan

darah perifer. Selain untuk memastikan adanya


trombositopenia, dari pemeriksaan darah apus dapat
menunjukkan kemungkinan penyebab yang jelas seperti

adrenalin.

Pemeriksaan Fibrinolisis. Peningkatan aktivator plasminogen dalam sirkulasi dapat dideteksi dengan
memendeknya euglobulin clot lysis time.Beberapa tehnik
imunologik digunakan untuk mendeteksi produk degradasi
dari fibrin maupun fibrinogen (D-dimer).

misalnya leukemia.

Pemeriksaan penyaring sistem koagulasi. Pemeriksaan


penyaring meliputi penilaian jalur intrinsik dan ekstrinsik
dari sistem koagulasi dan perubahan dari fibrinogen menjadi

nbrin.
. Waktu protrombin (PT) mengukur faktor

Waktu trombin
(TT)

nonnalized ratio).
aPTT mengukur faktor VItr, D( )il, dan )ilI, selain faktor
V, X, protrombin dan fibrinogen. Nilai normal aPTT
antara 30-40 detik,
Perpanjangan dari PT dan aPTT yang disebabkan karena

defisiensi faktor koagulasi dapat dikoreksi dengan


penambahan plasma normal kedalam plasma yang
diperiksa. Apabila tidak dapat dikoreksi atau hanya
sebagian terkoreksi, dicurigai kemungkinan adanya inhibitor koagulan.
Waktu trombin(thrombintime,TT) cukup sensitif untuk
menilai defisiensi fibrinogen atau adanya hambatan
terhadap trombin. Nilai normal antara 14-16 detik.

Pemeriksaan faktor koagulasi khusus. Termasuk disini


misalnya frbrinogen, faktor vW, dan faktor VItr. Pemeriksaan
bisa secara kuantitatif atau dengan cara membandingkan
efek koreksi dari plasma yang mengandung kekurangan
substrat tertentu yang mempunyai perpanjangan waktu
pembekuan (PT, aPTT), dengan efek koreksi terhadap
plasma normal, yang hasilnya dinyatakan dengan
persentase aktivitas normal.

Waktu perdarahan. Waktu perdarahan berguna untuk


pemeriksaan fungsi trombosit abnormal misalnya pada

defisiensi faktor vW. Pada trombositopenia, waktu


perdarahan juga akan memanjang, namun pada perdarahan
abnormal yang disebabkan kelainan pembuluh darah, waktu

perdarahan biasanya normal. Pemeriksaan dilakukan


dengan cara memberi tekanan pada lengan atas dengan
memasang manset tekanan darah. Setelah itu, dibuat insisi
kecil pada daerah fleksor lengan bawah. Pada keadaan normal, perdarahan akan berhenti dalam waktu 3-Smenit.

Pemeriksaan fungsi trombosit. Tes agregasi trombosit


merupakan pemeriksaan yang mempunyai nilai penting. Tes

ini mengukur penurunan penyerapan sinar pada plasma


kaya trombosit sebagai agregat trombosit. Agregasi primer
berasal dari rangsangan agen eksternal, sedangkan respon

sekunder berasal dari agen yang dilepas dari dalam


trombosit sendiri. Agen agregasi yang sering digunakan
misalnya: ADP, kolagen, ristosetin, asam arakidonat dan

Penyebab kelainan
yang paling sering

perpanlangan

VII, X, V

protrombin dan fibrinogen. Nilai normal 10-14 detik. Nitai


PT sering diekspresikan sebagai INR (international

Abnormalitas yang

Pemeriksaan ditunjukkan
penyaring
dengan
Defisiensi atau
abnormal dari
fibrinogen
Hambatan trombin
oleh heparin atau

Koagulasi
intravaskular
diseminata
Terapi heparin

FDP

Waktu
protrombin
(PT)

Actifated
partial
thromboplastin
trme (aPTT
atau PTTK)

Defisiensi atau
hambatan dari salah
satu atau lebih dari
faktor koagulasi: Vll,
X, ll, fibrinogen
Defisiensi atau
hambatan dari salah
satu faktor
koagulasi: Xll, Xl,
tx, vilt, x, v, ll,
fibrinogen

Penyakit hepar
Terapi warfarin

Hemofllia, Christmas
dlsease

REFEBENSI
Catalano PM. Coagulation physiology and hemorrhagic disorders
In: Besa EC, Catalano PM, Kant JA, Jefferies LC. Hematology

Baltimore, Williams & Wilkins, 1992.p.223-35.


Colman RW, Clowes AW, George JN, Hirsh J, Marder VJ. Overview
iof hemostasis. In:Colman RW, Hirsh J, Marder VJ, Clowes AW,
George JN. Hemostasis and thrombosis. 4'h Ed.Philadelphia.
Lippincott Williams & Wilkins. 2001.p.3-16.
Bick RL, Murano G Physiology of thrombosis. In: Bick RL. Disorders of thrombosis & hemostasis. 3'd Ed Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins, 2O02.p.1-29.


Griffin J. Immunology and Haematology,2d Ed London: Elsevier
Science, 2003.p.1 1 5-29.

Hillman RS, Ault KA. Hematology in clinical practice. 3'd Ed. New
York. McGraw-Hill. 2002.p.301-15.
Hoffbrand AV Pettitt JE, Moss PAH. Hematology. 4d Ed. London.
Blackwell, 2001:236-49.
Martinez J, Garcia-Manero G. Principles of Hemostasis and thrombosis In: Spandorfer J, Konkle B, Merli GJ. Management and
prevention of thrombosis in primary care New York. Oxford
University Press, 2001.p.1-13.
van Gorp ECM, Suharti C, ten Cate H, Dolmans WMY van der

Meer JWM, ten Cate JW,et al. Infectious disease


coagulation disorders. JID i999;180:176-86.
Van Gorp ECM, Minnema MC, Suharti C, Mairuhu

AIA,

and

Brandjes

DPM, ten Cate H, Hack CE, Meijers JCM. Activation of


coagulation factor XI, without detectable contact activation in
dengue hemorrhagic fever. BJ Haematol 2001;113:94-9.

205
PATOGENESIS TROMBOSIS
Karmel L. Tambunan

PENDAHULUAN
Untuk dapat memahami trombosis, pengetahuan mengenai
dasar-dasar hemostasis sangat diperlukan. Dalam keadaan
normal, darah berada dalam sistim pembuluh darah, dan
berbentuk cair. Keadaan ini dimungkinkan oleh faktor

hemostasis yang

menghubungkan trombosit yang berdekatan satu lain dan


kemudian terjadi agregasi trombosit dan membentuk plak
trombosit yang menutup luka,/trauma.Sumbatan bersifat
sementara (temporer). Proses ini kemudian diikuti proses
hemostasis sekunder (Gambar l dan Gambar2).

terdiri dari hemostasis primer.

[L-t--rk;.krtril

I inluri

hemostasis sekunder.dan hemostasis tersier. Hemostasis


primer terdiri dari trombosit dan pembuluh darah. Disebut
hemostasis primer karena yang pertama teriibat dalam
proses penghentian perdarahan bila terjadi luka atau
trauma.Hemostasis primer dimulai dengan v asokonstriksi
pembuluh darah dan pembentukan trombosit plak menutup
luka dan menghentikan perdarahan.
Vasokonstriksi menyebabkan aliran darah menjadi lebih
lambat pada daerah yang luka atau trauma. Keadaan ini

l:--=_

Subendotelium terpapar

akan mempermudah trombosis pada reseptor trombosis


Gp I b menempel pada subendotel pembuluh darah (adhesi)

dengan perantaraan faktor von Willebrand. Trombosit


yang teraktivasi ini menyebabkan reseptor trombosit Gp
IIb/IIIa siap menerima ligan fibrinogen dan fibrinogen

Gambar 1: Hemostasis sepintas

Trombomodulin
Protein C and S

Gambar 2. Hemostasis

1301

-.----'.
Faktor jaringan terpapar

t302

HEI\{IffOI.OGI

Hemostasis sekunder terdiri dari faktor pembekuan dan

Patogenesis Trombosis

anti pembekuan" Hemostasis sekunder dimulai dengan


aktivasi koagulasi melalui jalur ekstrinsik dan intrinsik.Jalur
ekstrinsik yaitu jaringan yang terlepas terikat pada FVII dan
menyebabkan FVII menj adi aktif .F. VIIa. mengaktitkan F.X
menjadi F.xa. dan besama F.V dan PF3 membentuk kompleks

protrombinase Selain mengaktifkan FX, FVIIa juga


mengaktilkan F.IX menjadi F.IXa dalam jalur intrinsik.
Kompleks protrombinase akan mengaktifkan protrombin
menjadi trombin dan trombin akan memecahkan fibrinogen
menj adi fibrin.Fibrin akan menggantikan sumbat trombosit
sampai terjadi penyembuhan luka. Migrasi dan proliferasi
sel terjadi pada jaringan yang rusak untuk penyembuhan
luka. Hemostasis tersier yaitu sistem fibrinolisis akan
diaktifkan dan menyebabkan lisis dari fibrin dan endotel

menjadi utuh. Pada umumnya proses penyembuhan


berlangsung dalam waktu l4 hari,
Kelainan hemostasis menyebabkan perdarahan atau
trombosis (Gambar 3). Pada uraian berikutnya yang akan
dibahas adalah trombosis.
Trombosis yaitu proses pembentukan trombus atau
adanya trombus dalam pembuluh darah atau ruang j antung
.Trombosis dapat terjadi pada arteri dan vena
Trombosis pada arteri disebut trombus putih karena

komposisinya selain fibrin didominasi oleh trombosit.


Berbeda dengan trombus pada vena disebut trombus
merah karena komposisinya selain fibrin didominasi oleh
sel darah merah.

Gambar 4. Patogenesis trombosis

Dimulai

stimulasi

I gt-rh.l I

')

Trombosis

rrombosit Fq.-:me

l-irooflTsill+terjadr

%_-l

Gambar 5. Keseimbangan stimulasi dan proteksi trombosis

Trombosis Arteri
Faktor merangsang atau faktor risiko trombosis, yaitu:

Gangguan
Hemostasis

Endotel pembuluh darah yang tidak utuh. Endotel


pembuluh darah yang utuh akan mencegah trombosit
menempel pada endotel pembuluh darah. Sebaliknya
pembuluh darah yang terganggu atau tidak utuh merupakan

faktor risiko trombosis. Sel endotel akan kehilangan


kemampuan mencegah trombosis bila distimulasi oleh enzim

seperti trombin,hipoksia, shear stres, oksidan, sitokin


seperli interleukin-1 (IL-1), faktor nekrosis tumor (TNF),
Trombosis

Gambar 3. Gangguan hemostasis

PATOGENESIS TROMBOSIS
Patogenesis trombosis arteri dan vena berbeda. Selain dari
faktor aliran darah,faktor risiko dan pembuluh darah sendiri

turut berperanan. Oleh karenanya patogenesis masing


masing akan dibicarakan tersendiri. Misalnya akibat
perbedaan aliran darah, pada pembentukan trombus vena
tidak dibutuhkan faktor von Willebrand sebaliknya pada
trombus arteri.
Trombosis terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan
antara yang merangsang trombosis dan yang mencegah

trombosis.

dan interferon gamma, hormon sintetik seperti desmopresin

asetat, dan endotoksin. Induksi sintesis plasntinogen


aktivator inhibitor-l (PAI-1) akan menghambat aktivator
plasminogen mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin
sehingga fibrinolisis berkurang. Trombomodulin yang
terikat pada permukaan endotel juga akan berkurang oleh

sitokin dan endotoksin yang menyebabkan aktivasi


protein C terganggu. Semuanya ini akan menyebabkan
kecenderungan untuk terjadi trombosis (Gambar 6).
Trombosit yang teraktivasi. Trombosit yang aktif
IIb/IIIa menerima ligan

menyebabkan reseptor Gp

fibrinogen dan fibrinogen akan menghubungkan trombosit


yang berdekatan satu sama lain dan terjadi agregasi
trombosit.

Defisiensi antipembekuan. Terdapat antipembekuan


alamiah di dalam tubuh yaitu Antitrombin III (ATIII),

1303

PATOGENESISTROMBOSIS

Stres
Endotoksin hemodinamik

Endotel yang utuh mensekresi berbagai zatyatgberperan


mengharnbat trombosis. Endotel mensekresi prostasikilin,
nitrit oxide (NO), trombomodulin, enzim adeno sin difu sfat
(ADP), heparan dan tissue plasminogen activator (t-PA)

Bakteri

dan

Sitokin

dan urokinase plasminogen aktivator (u-PA)"


Prostasiklin menyebabkan vasodilatasi dan menghambat
agregasi trombosit. NO juga menyebabkan vasodilatasi
dan menghambat agregasi trombosit. Enzim ADP akan
mengubah ADP menjadi adenosin monofosfat (AMP)

sehingga menghambat aktivasi trombosit.

Trombomodulin bersama trombosit akan mengaktifkan


Protein C menjadi Protein C aktif . Protein C aktif bersama
kofaktor Protein S akan menghambat F.V aktif dan F.VIII
aktif. Heparan bersama AI III akan menghambat faktor

Gambar 6. Faktor yang merusak endotel

Protein C, Protein S dan makroglobulin alfa 2. Defisiensi


antipembekuan akan menyebabkan darah cendrung
mengalami trombosi s yang disebut trombofilia.Bedakan
dengan hemofilia yang cenderung mengalami perdarahan.

Xa dan trombin. t-PA akan mengaktifkan plasminogen


menjadi plasmin dan plasmin akan melisis fibrin. Endotel

juga mensintesis endotelin yang mengatur tonus


pembuluh darah yang menyebabkan vasokonstriksi
(Gambar8).

Klirens faktor pembekuan aktif berkurang. Faktor


pembekuan aktif dibersihkan di dalam tubuh sehingga

Trombosit normal. Trombosit tidak akan menempel pada

jumlahnya berkurang dan proses aktavasi koagulasi akan

sel endotel yang normal:

berkurang.

Anti pembekuan yang cukup. Antikoagulan yang cukup

Sistem fibrinolisis berkurang. Fibrinolisis yang berkurang

akan menghambat proses koagulasi sehingga tidak terjadi


pembentukan fibrin.

akan menyebabkan

fibrin yang dibentuk akan terus

bertambah dan menyebabkan trombosis.


Stagnasi. Aliran darah yang lambat merupakan faktor risiko

trombosis.Mekanisme

ini dapat dilihat pada trombosis

Klirens faktor pembekuah aktif yang adekuat. Klirens


faktor koagulasi aktif akan mengurangi terjadinya
pembentukan fibrin

vena.

Fibrinolisis yang adekuat. Fibrinolisis yang adekuat akan

Umumnya faktor yang mencegah trombosis merupakan


kebalikan dan yang menstimulasi trombosis, antara lain:

menghancurkan fibrin yang sudah ada sehingga tidak terjadi


pembentukan trombus.

Endotel yang Utuh. Sebagaimana sudah disebut

Aliran darah yang baik. Aliran

sebelumnya, endotel yang utuh merupakan faktor yang


mencegah melengketnya trombosit pada subendotel.

bercampurnya antikoagulasi dan faktor koagulasi aktif


sehingga proses koagulasi akan terhambat.

darah yang baik akan mudah

Agonis
reseptor

Reseptor GP

lib/llla tidak aktif

Reseptor

GPllb/llla aktif
Trombosit

beragregasi GP lib/llla
ditempati fibrinogen
yang menjembatani
trombosit yang berdekatan

Gambar 7. Agregasi trombosit

L304

HEMAIOI.OGI

trktGskrlenghambatl
Trombosis

lrauma
Epinefrin
Trombin
ADP

/r

No llPGl2llADt

\\\/*A
a

lnhibits Xa+Trombin

rtein C

I
ATIII

Aktivator

Heparar
a

plasminogen (tPA)
(uPA)

Gambar 8. Endotel dan proteksi trombosis

Faktor lain yang berperanan terhadap trombosis arteri

yaitu: aterotrombosis.
Faktor risiko aterotrombosis dapat digolongkan sebagai:

.
.
.
.

Umum yaitu umur dan obesitas


Genetik, jenis kelamin, danPAI
Gaya hidup, rokok, diet dan kurang olahraga
Inflamasi, CRP dan ligan CD 40, IL-6 meningkat, faktor
protrombotik dan fibrinogen meningkat

Kondisi sistemik, hipertensi, hiperlipidemia, Lpa


meningkat, homosisteinemia, estrogen. diabetes,
trombofilia, sidrom hiperviskositas, sindrom
leukositosis dan polisitemia
Faktor lokal, pola aliran darah, shear stress, diameter
pembuluh darah, struktur dinding arleri dan persentase
stenosrs alten.

Gejala trombosis termasuk trombosis tergantung dari


lokasi dan besarnya trombus.Trombosis pada arteri serebral
akan mengakibatkan Transient ischemic attack (TIA) atal
strok iskemik.Trombosis pada arteri koroner mengakibatkan
angina pektoris atau infark miokard. Trombosis pada arteri
perifer akan menyebabkan klaudikasio intermiten atau
nekrosis/gangren.

Trombosis Vena
Trombus vena biasanya dimulai di vena betis yang
kemudian meluas sampai vena proksimal.Trombus
biasanya dibentuk pada daerah aliran darah yang lambat
atau yang terganggu.Sering dimulai sebagai deposit kecil
pada sinus vena besar di betis pada puncak kantong vena
baik di vena dalam betis maupun di paha atau pada vena
yang langsung terkena trauma. Pembentukan, perluasan
dan pelarutan trombus vena dan emboli paru mencerrninkan
suatu keseimbangan antara yang menstimulasi trombosis
dan yang mencegah trombosis. Virchow lebih dari satu
abad yang lalu telah mengemukakan faktor yang berperan
pada trombosis vena yang terkenal dengan TriadVirchow
yaitu, koagulasi darah, stagnasi dan kerusakan pembuluh
darah.

Aktivasi koagulasi melalui jalur instrinsik dapat terjadi


karena kontak FXII dengan kolagen pada subendotelium
pembuluh darah yang rusak.
Aktivasi melalui jalur intrinsik jaringan yang rusak
masuk aliran darah mengaktifkan F.VII. Baik jalur intrinsik
maupun jalur ekstrinsik akhirnya akan membentuk fibrin.
Pada penyakit kanker F.X dapat langsung diaktifkan oleh
sistein yang dikeluarkan sel kanker.

Beberapa kelainan herediter dan kondisi tertentu


disertai dengan meningkatnya faktor koagulasi dan
menjadi predisposisi trombosis. Kehamilan disertai dengan
meningkatnya F.II, F.VII dan F.X. Golongan darah bukan
O pada sebagian populasi disertai dengan meningkatnya
F.VIII. Mutasi gen protrombin menyebabkan meningkatnya
kadar piotrombin. Mutasi gen protrombininiterjadi l-{Vo

pada populasi kaukasian normal dan ditemukan 4-187o


pasien dengan Tromboemboli Vena. Tetapi hal serupa
jarang ditemukan pada populasi Asia dan Afrika.
Stasis merupakan predisposisi trombosis karena:
. mencegah faktor koagulasi aktif dilarutkan oleh darah
yang tidak aktif,
. mencegah klirens faktor koagulasi aktif
. mencegah bercampumya faktor koagulasi aktif dengan
penghambatnya
Stasis dapat diakibatkan oleh imobilitas, obstruksi vena
dilatasi vena dan meningkatnya viskositas darah. Imobilitas
dapat diakibatkan strok, atau berbaring lama. Obstruksi
dapat karena kompresi dari luar atau sekunder karena
trombosis vena sebelumnya. Viskositas darah meningkat
karena polisitemia, disproteinemia dan fibrinogen yang
meningkat. Vasodilatasi vena terjadi pada pasien vena

varikosa, orang tua terutama kalau berbaring lama,


kehamilan dan estrogen.

Pembuluh Darah Rusak


Trauma pada pasien merupakan faktor risiko tromboemboli

vena. Trauma pada pembuluh darah menyebabkan


kerusakan endotel sebagai respon terhadap trauma dan

1305

PATOGENESISTROMBOSIS

in1'lamasi akan diproduksi sitokin. Sitokin akan


nrenstimulasi sintesis PAI-1 dan menyebabkan sistem
fibrinolisis berkurang. Aktivasi koagulasi dapat terjadi
rnelalui jalur instrinsik yaitu terjadi kontak F.XII dengan
kolagen pada subendotelium, atau melalui jalur ekstrinsik
yaitu tromboplastin masuk dalam darah akibat kerusakan
sel. Aktivasi koagulasi baik melalui jalur instrinsik maupun
melalui ekstrinsik keduanya akan mengaktifkan F.X menjadi
F.X aktifdan selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya

fibrin. Kerusakan endotel vena juga

menyebabkan
trombosit menempel pada subendotelial dan trombosit
beragregasi pada lokasi akumulasi leukosit. Kolagen akan
mengaktifkan F.XII, sedang trombosit mengaktifkan F.XII
dan F.XI.

FAKTOR BISIKO TROMBOSIS


Berdasarkan data-data yang ditemukan faktor risiko
trombosis:
operasi besar, operasi ortopedi, trauma, kehamilan dan

nifas, penyakit jantung, penyakit saraf, kanker dan


kemoterapi pada penyakit kanker, umur, obesitas. jenis
kelamin, varicose vena, riwayat tromboemboli vena,
imobilisasi yang lama, golongan darah, terapi hormon, lainlain.

iskemik dan hampir separuhnya fatal. Pada studi strok akut


di Cina dari 10320 pasien, 0,27o di diagnosis dengan gejala
emboli paru dalam waktu empat minggu sesudah kejadian
strok iskemik dan separuhny a fatal.

Kega nasa n/Ka n ker


Dilaporkan bahwa keganasan merupakan f'aktor risiko
untuk tromboemboli vena (VTE) yang menjalani operasi.
Tetapi temyata pada pasien yang tidak menjalani operasi
ditemukan VTE dan ada hubungannya dengan keganasan
tadi. Pasien dengan keganasan mempunyai risiko 3kali
terjadinya VTE. Hal ini karena sel kanker dapat
mengeluarkan prokoagulan yang mengaktifkan koagulasi.
Kanker sendiri dapat menyebabkan penekanan pembuluh
darah vena. Bahkan pasien kanker yang mendapat
kemoterapi akan meningkatkan terjadinya VTE.

Umur
Umur lanjut disertai dengan peningkatan insiden dari
tromboemboli vena (VTE). Berdasarkan hasil autopsi di
satu rumah sakit ditemukan insidens emboli paru rendah
lebih pada pasien lebih mudah dari 40 tahun. tetapi
kemudian insidens meningkat secara tajam dengan
kenaikan umur.

Operasi
Operasi disertai dengan faktor risiko yang multipel untuk
tromboemboli vena (VTE), prevalens meningkat dengan
meningkatnya umur. Pemakaian profilaksis untuk risiko
VTE, menurunkan angka kejadian VTE pada pasien yang

mengalami operasi. Pada operasi ortopedi rata-rata


trombosis vena dalam (DVT) terjadi pada 50% pasien.

Kehamilan
Kehamilan juga dilaporkan menyebabkan meningkatnya

risiko trombosis karena meningkatnya faktor-faktor


koagulasi, F II, F VII dan F X. karena menurunnya kadar
Protein S dan terhambatnya sistim fibrinolisis.

Survei lain autopsi dilakukan pada orang yang mati


karena terbakar dan luka, ditemukan pada trombosis vena
pada477o pasien yang lebih muda dari 45 tahun, 62Vopada
pasien umur 46-75 tahun dan I 4 7o pada umut di atas lebih

75 tahun. Penelitian pada pasien pascaoperasi di rumah


sakit rlilakukan scanning kaki untuk mendiagnosis DVT
tanpa gejala menunjukkan meningkatnya umur menjadi

faktor risiko yang utama. Umur juga menunjukkan


meningkatnya DVT yang tanpa gejala yang diagnosis
ditegakkan dengan venografi pada pasien sesudah
mengalami hip replucement.

Apabilu dilakukan analisis multivariat sesudah


disesuaikan dengan fhktor risiko yang menyefiai seperti
obesitas, ada atau tidak ada keganasan, lama anestesi, jenis
operasi, dan sebelumnya ada trombosis menunjukkan

Penyakit Jantung
Infark miokard dilaporkan meningkatkan kejadian DVT 20407o selama 10- 14 hari sesudah infark miokard.

Penyakit gagal jantung kongestif pada otopsi


ditemukan insiden emboli paru meningkat. Pada 150 pasien

l0 dari 20 pasien yang


meninggal dan diotopsi 5 diantaranya ditemukan emboli
paru. Gagal jantung kongestif ditemukan menjadi faktor
risiko independen untuk VTE.
dengan gagal jantung kongestif

tetap ada asosiasi dengan umur.

Obesitas
Obesitas dilaporkan juga merupakan faktor risiko terjadinya
trombosis. Obesitas dengan indeks masa tubuh >20,9 kg/

mm2ditemukan menjadi faktor risiko independen (RR 3,0


untuk pulmonari yang bergejala dalam suatu kesehatan
perawatan)

Jenis Kelamin

Penyakit Neurologi
Dari 8 studi strok secara keseluruhan ditemukan 53

mengalami trombosis vena dalam. Pada 2 studi strok


internasional, dari 4859 pasien ditemtkan 0,97o dengan
gejala emboli paru dalam l4 hari dari mulai terjadinya strok

Vo

pasien

Tiga studi melaporkan bahwa jenis kelamin perempuan

1306

dapat menjadi faktor risiko independen yang lemah. Di


Amerika insidens tromboemboli vena bergejala umumnya
diturunkan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada
perempuan. Di Swedia, insidens trombosis vena dalam pada

laki-laki dan perempuan hampir sama. Namun demikian di


inggris, kematian akibat emboli paru 50% lebih tinggi pada
perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Dan insiden
VTE yang bergejala umumnya ditemukan lebih tinggi lakilaki daripada perempuan di Amerika Utara.

Riwayat VTE
Riwayat pernah tromboeboli vena (VTE) menunjukkan
hubungan yang sangat kuat dengan meningkatnya
trombosis vena dalam (DVT) pascaoperasi. Dari 3 studi
dan analisis multvariat ditemukan riwayat positif DVT
merupakan faktor risiko independen.

lmobilisasi
Studi percobaan menunjukkan stasis vena merupakan
faktor penting dalam pembentukan trombus vena .Gibbs
melaporkan dari hasil autopsi 253 pasien ditemukan adanya

hubungan antara lamanya berbaring dan kejadian


trombosis vena . Kejadian trombosis vena pada pasien
yang berbaring kurang dari satu minggu, ditemukan hanya
75Va, sedangkan pada pasien yang berbaring lebih dari
satu minggu kejadian lebih

dzn8}Vo. Sindrom klas ekonomi


pada mereka yang naik pesawat terbang lebih dari 6 jam
juga disebut sebagai faktor risiko trombosis vena.

Gol Darah
Ditemukan hubungan negatif antara golongan darah O
dan VTE. Golongan darah O menunjukkan kejadian DVT
kurang dibandingkan dengan populasi normal, Swedia 3 1 7o
vs 39Vo, Belgia 29Vo vs 46Vo. Golongan darah bukan O
disertai dengan meningkatnya kadar F.VIII dan faktor von

Willebrand, mungkin sebagai faktor penyebab


meningkatnya kej adian VTE.

HEMIIilOI.OGI

REFERENSI
Brandjes DPM, ten Cate JW, et al. Pre-surgical identification of the
patient at risk for developing venous thromboembolism postoperatively. Acta Chir Scand. 1990;556(Supp1):18-21

Clarke-Pearson DL, Delong ER et al. Variables associated with


postoperative deep venous thrombosis: a prospective study of
411 gynecology patients and creation of a prognostic model.
Obstet Gynecol 1987;69:146-50.
Clarke-Pearson DL, Delong ER, et al. Variables associated with
postoperative deep venous thrombosis: a prospective study of
4l I gynecolog patients and creation of prognostic model.
Obstet Gynecol. 1987;69: 146-50.
Colman RW. Clowes AW, George JN. Overview of hemostasis in
hemostasis thrombosis. Lippincott Williams Wilkins. 2001. p.

3-16.

BI, Ekman S, et al. Prevention of deep vein thrombosis


after total hip replacement direct thrombin inhibition with recombinant hirudin, CGP 39393. Lancet. 1996;341;635-9.
Eriksson BI, Wille-Jorgensen P, et al. A comparison of recombinant
hirudin with a low molecular weight heparin to prevent thromboembolic complications after total hip replacement. N Engl J
Eriksson

Med. 1997 ;331 :1329-35.


Flordal PA, Bergqvist D, et al. Clinical relevance of the fibrinogen
uptake test in patients having general abdominal surgery: relation to major thromboembolism and mortality. Thromb Res.
1 995;80:49 1 -7.
Hirsh J, Colman RW, Marder VJ, et al. Overview of thrombosis and
treatment

in

hemostasis thrombosis, Lippincott Williams

Wilkins; 2001. p. 1071-84


Kakkar W, Howe CT, et al. Deep Vein Thrombosis of the leg: Is
there a "high risk" group ? Am J Surg. 1970;120:527-30.
Kearon C, Salzman EW, Hirsh J. Epidemilogy, pathogenesis and
natural history of venous thrombosis Hemostasis Thrombosis.
Lippincott Williams Wilkins; 2001 p. 1153-1171.
Lefkovits, et al. NEJM. i995:332:1553,
Morrel MT, Dunnil MS. The postmortem incidence of pulmonary
embolism in a hospital population Br J Surg. 1968;55:347
Sevitt S, Gallagher N. Venous thrombosis and pulmonary embolism;
a clinico-pathological study in injured and burned patients. Br J
Surg. 1961;48:475-89.
Veth G, Meuwissen OJ et al. Prevention of postoperative deep vein
thrombosis by a combination of subcutaneous heparin with subcutaneous dihydroergotamine or oral sulphinpyrazone. Thromb

Haemost. 1985154:570-3.

Hormon/Kontrasepsi oral
Estrogen yang ada dalam kontrasepsi oral potensial
menyebabkan trombosis karena menurunkan kadar
protein S meningkatkan faktor VII, dan meningkatkan
protein C resisten. Meningkatnyafaktorrisiko VTE dengan

ini berhubungan dengan pasien yang


mempunyai faktor risiko tambahan misalnya faktor V
kontrasepsi oral
Leiden.

Veth G, Meuwissen OJ, et al. Prevention of postoperative deep vein


thrombosis by a combination of subcutaneous dihydroergotamine or oral sulphinpyrazone. Thromb Haemost. 1985;54:5703.
Wille-Jorgensen P, Ott P. Predicting failure of low-dose prophylactic

heparin

in general surgical procedures Surg Gynecol

1990;11 l:126-3O.

Obstet.

206
HEMOFILIA A DAN B
Linda W.A. Rotty

dengan kecenderungan perdarahan otot serta sendi yang

PENDAHULUAN

berlangsung seumur hidup. Pada permulaart abad 20,


Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan
faktor pembekuan darah yang diturunkan (herediter) secara
sex-linked recessive pada kromosom X (Xh). Meskipun
hemofilia merupakan penyakit herediter tetapi sekitar 2030Vo pasier tidak

memiliki riwayat keluarga dengan

gangguan pembekuan darah, sehingga diduga terjadi


mutasi spontan akibat lingkungan endogen ataupun
eksogen.

ini dikenal 2 macam hemofilia


secara sex-linked recessive yaitt:'

Sampai saat
diturunkan

.
.

yang

Hemofilia A (hemofilia klasik), akibat defisiensi atau


disfungsi faktor pembekuan VIII (F VIIIc).
Hemofilia B (Christmas disease) akibat defisiensi atau

hemofilia masih didiagnosis berdasarkan riwayat keluarga


dan gangguan pembekuan darah. Pada tahun 1940-1950
para ahli baru berhasil mengidentifikasi defisiensi F VIII
dan F IX pada hemofilia A dan hemofilia B. Pada tahun
1970 berhasil diisolasi F VIII dari protein pembawanya di
plasma, yaitu faktor von Willebrand (F vW), sehingga
sekarang dapat dibedakan kelainan perdarahan akibat
hemofilia A dengan penyakit von Willebrand.
Memasuki abad 2I, pendekatan diagnostik dengan
teknologi yang maju serta pemberian faktor koagulasi yang
diperlukan mampu membawa pasien hemofilia melakukan
aktivitas seperti orang sehat lainnya tanpa hambatan.

disfungsi F IX (faktor Christmas).


Sedangkan hemofilia C merupakan penyakit perdarahan

akibat kekurangan faktor


autos

omal

re ce

XI

yang diturunkan secara

sive pada kromosom 4q32q35.

Gen F VIII dan F IX terletak pada kromosom X serta


bersifat resesif, maka penyakit ini dibawa oleh perempuan

(karier, XXh) dan bermanifestasi klinis pada laki-laki


(pasienXhY); dapat bermanifestasi klinis pada perempuan
bila kedua kromosomX pada perempuan terdapat kelainan
(xnxn).
Penyakit ini pertama kali dikenal pada keluarga Judah
yaitu sekitar abad kedua sesudah Masehi di Talmud. Pada
awal abad ke-19 sejarah modern hemofilia baru dimulai
dengan dituliskannya silsilah keluarga Kerajaan Inggris
mengenai penyakit ini oleh Otto (tahun 1803). Sejak itu
hemofilia dikenal sebagai kelainan pembekuan darah yang
diturunkan secara X-linked recessive, sekitar setengah
abad sebelum hukum Mendel diperkenalkan. Selanjutnya
Legg pada tahun 1872 berhasil membedakan hemofilia dari

penyakit gangguan pembekuan darah lainnya berdasarkan

gejala klinis; yaitu berupa kelainan yang diturunkan

EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini bermanifestasi klinik pada laki-laki. Angka
kejadian hemofiliaA sekitar 1: 10.000 orang dan hemofilia
B sekitar 1 : 25.000-30.000 orang. Belum ada data mengenai
angka kekerapan di Indonesia, namun diperkirakan sekitar
20.000 kasus dari 200 juta penduduk Indonesia saat ini.

Kasus hemofilia A lebih sering dijumpai dibandingkan


hemofilia B, yaitu berturut-turut mencap ai 80-857o dan 1 0l5Vo tanpa memandang ras, geografi dan keadaan sosial

ekonomi. Mutasi gen secara spontan diperkirakan


mencapai 20-30Vo yang terjadi pada pasien tanpa riwayat
keluarga.

KLASIFIKASI HEMOFILIA
Legg mengklasifikasikan hemofilia berdasarkan kadar atau
aktivitas faktor pembekuan (F VIII atau F D() dalam plasma.
Kadar faktor pembekuan normal sekitar 0,5-1,5 U/dl (50-

1308

HEMATOI.OGI

150Vo); sedangkan pada hemofilia berat bila kadar faktor


pembekuan < lVo, sedang 7-57o, seftaingan 5-307o. (Tabel
1) Pada hemofilia berat dapat terjadi perdarahan spontan
atau akibat trauma ringan (trauma yang tidak berarti). Pada
hemofilia sedang, perdarahan terjadi akibat trauma yang

ketidakmampuannya menahan gerakan berputar dan

cukup kuat; sedangkan hemofilia ringan jarang sekali


terdeteksi kecuali pasien menjalani trauma cukup berat
seperti ekstraksi gigi, sirkumsisi, luka iris dan jatuh
terbentur (sendi lutut, siku dll).

besar, khususnya pada otot betis, otot-otot regio


iliopsoas (sering pada panggul) dan lengan bawah.

Ringan

Sedang
Aktivitas F Vlll/F

< 0,01 (<1)

lx- U/ml(%)

0,01-0,05
(1

> 0,05 (>5)

-5)

Frekuensi
Hemofilia A (%)
Frekuensi
Hemofilia B (%)

70

15

'15

50

30

20

Usia awitan

< 1 tahun

Gejala neonatus

sering PCB

senng
PCB

PCB

kejadian

jarang ICB

Jarang

-2 tahun

> 2 tahun
tak pernah

sekali ICB

ICH

menyudut pada saat gerakan volunter maupun involunter.


sedangkan sendi peluru lebih mampu menahan beban

tersebut karena fungsinya.


Hematoma intramuskular terjadi pada otot-otot fleksor

Hematoma ini sering menyebabkan kehilangan darah yang


nyata, sindrom kompartemen, kompresi saraf dan
kontraktur otot.
Perdarahan intrakranial merupakan penyebab utama
kematian, dapat terjadi spontan atau sesudah trauma.
Perdarahan retroperitoneal dan retrofaringeal yang
membahayakan jalan napas dapat mengancam kehidupan.

Hematuria masif sering ditemukan dan dapat


kolik ginjal tetapi tidak mengancam

menyebabkan

kehidupan.
Perdarahan pascaoperasi sering berlanjut selama
beberapa jam sampai beberapa hari, yang berhubungan
dengan penyembuhan luka yang buruk.

DIAGNOSIS

Perdarahan otot/
sendi

tanpa
trauma

trauma
nngan

trauma
cukup kuat

Perdarahan SSP

risiko tinggi

risiko
sedang

Jarang

Perdarahan post

sering dan
fatal

butuh

pada
operasr

hemofi lia, meskipun terd apat 20-30Vo kasus hemofi lia terjadi

bebat
dapat
terjadi

besar
kadang
terjadi

VIII / F IX. Seorang anak laki-laki diduga menderita


hemofilia jika terdapat riwayat perdarahan berulang
(hemartrosis, hematom) atau riwayat perdarahan

operasr

Perdarahan oral
(trauma, cabut
sisi)

senng

terjadi

Keterangan: PCB = Post circumcisional bleeding;


ICH = lntracranial hemorrhage

GEJALA DAN TANDA KLINIS


Perdarahan merupakan gejala dan tanda klinis khas yang
sering dijumpai pada kasus hemofilia. Perdarahan dapat
timbul secara spontan atau akibat trauma ringan sampai

sedang serta dapat timbul saat bayi mulai belajar


merangkak. Manifestasi klinis tersebut tergantung pada
beratnya hemofilia (aktivitas faktor pembekuan). Tanda
perdarahan yang sering dijumpai yaitu berupa hemartrosis,
hematom subkutan/intramuskular, perdarahan mukosa
mulut, perdarahan intrakranial, epistaksis dan

hematuria. Sering pula dijumpai perdarahan yang


berkelanjutan pascaoperasi kecil (sirkumsisi, ekstraksi
gigi).

Hemartrosis paling sering ditemukan (85%) dengan


lokasi berturut-turut sebagai berikut, sendi lutut, siku,
pergelangan kaki, bahu, pengelangan tangan dan lainnya.

Sendi engsel lebih sering mengalami hemartrosis

dibandingkan dengan sendi peluru, karena

Sampai saat ini riwayat keluarga masih merupakan cara


terbaik untuk melakukan tapisan pertama terhadap kasus
akibat mutasi spontan kromosom X pada gen penyandi F

memanjang setelah trauma atau tindakan tefientu dengan


atau tanpa riwayat keluarga. Anamnesis dan pemeriksaan
fisik sangat penting sebelum memutuskan pemeriksaan
penunjang Iainnya.
Kelainan laboratorium ditemukan pada gangguan uji
hemostasis, seperti pemanjangan masa pembekuan (CT)

dan masa tromboplastin partial teraktivasi (aPTT).


abnormalitas uji tlt ro mb op I as tin g ene ralior, dengan m asa
perdarahan dan masa protrombin (PT) dalam batas normd.
Diagnosis definitif ditegakkan dengan berkurangnya

aktivitas F VIII/F IX, dan jika sarana pemeriksaan


sitogenetik tersedia dapat dilakukan pemeriksaan petanda
gen F VIII/F IX. Aktivitas F VIII / F IX dinyatakan dalam U/
ml dengan arti aktivitas faktor pembekuan dalam I ml
plasma normal adalah 1007o. Nilai normal aktivitas F VIII/F
IX adalah 0,5- 1,5 U/ml atat 50-7507o. Harus diingat adalah
membedakan hemofiliaA dengan penyakit von Willebrand.
dengan melihat rasio F VIIIc: F VIIIag dan aktivitas F vW
(uji ristosetin) rendah. (Tabel 2)
Diagnosis antenatal sebenarnya dapat dilakukan pada
ibu hamil dengan risiko. Pemeriksaan aktivitas F VIII dan
kadar antigen F VIII dalam darah janin pada trimester kedua

1309

HEMOFILIAADANB

Hemofilia

Pewarisan
Lokasi

perdarahan

utama

Hemofilia
B

Penyakit von
Willebrand

X-linked

X-linked

TECESSIVE

recesstve

Autosomal
dominant

Sendi, otot,
pascatraum/
operasi

Sendi, otot,

Mukosa, kulit

post

post

trauma/

trauma operasi

operasr

Jumlah
trombosit

Normal

Normal

Normal

Waktu
perdarahan

Normal

Normal

Memanjang

PPT

Normal

Normal

Normal

aPTT

Memanjang

Memanjang

Memanjang/

F VIII C
F VIII AG

FIX
Tes

Gambar 1. Pohon keluarga hemofilia

Rendah
Normal
Normal
Normal

sehat XY =Laki-laki sehat


XhX = Perempuan karier XhY=Perempuan karier

keterangan: XX = Perempuan

normal
Rendah
Rendah
Normal

Normal
Normal
Rendah
Normal

Terganggu

ristosetin

PENATALAKSANAAN

Keterangan: PPT: p/asma protrombin time, aPTT: activated


paftial tromboplastin time

Terapi Suportif
Pengobatan rasional pada hemofilia adalah menormalkan

dapat membantu menentukan status janin terhadap


kerentanan hemofiliaA. Identifikasi gen F

VIII

dan petanda

gen tersebut lebih baik dan lebih dianjurkan.


Seorang perempuan diduga sebagai pembawa sifat
hemofilia (karier) jika dia memiliki lebih dari satu anak lelaki

pasien hemofilia atau mempunyai seorang atau lebih


saudara laki-laki dan seorang anak lelaki pasien hemofiia
atau ayahnya pasien hemofilia (Gambar 1). Deteksi pada
hemofilia A karier dapat dilakukan dengan menghitung
rasio aktivitas F VIIIc dengan antigen FVIIIvW. Jika nilai
kurang dari I memiliki ketepatan dalam menentukan

kadar faktor anti hemofilia yang kurang. Namun ada


beberapa hal yang harus diperhatikan:

.
.
.

Melakukan pencegahan baik menghindari luka/


benturan.

Merencanakan suatu tindakan operasi serta


mempertahankan kadar aktivitas faktor pembekuan
sekitar 30-507o.

Untuk mengatasi perdarahan akut yang terjadi maka


dilakukan tindakan pertama seperti rest, ice, compressio,

elevation (RICE) pada lokasi perdarahan.

. Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid

sangat

hati-hati pada keadaan

membantu untuk menghilangkan proses inflamasi pada

hamil, memakai kontrasepsi hormonal dan terdapatnya

sinovitis akut yang terjadi setelah serangan akut

penyakit hati karena dapat meningkatkan aktivitas F VIIIc.


Aktivitas F VIII rata-rata pada kaier 507o, tetapi kadangkadang <30Vo dan dapat terjadi perdarahan sesudah trauma
atau pembedahan. Analisis genetika dengan menggunakan
DNA probe, yaitu dengan cilra mencari lokus polimorfik
padakromosom X akan memberikan informasi yang lebih
tepat.

hemarlrosis. Pemberian prednison 0,5-1 mglkg BB/hari


selama 5-7 hari dapat mencegah terjadinya gejala sisa
berupakaku sendi (arlrosis) yang mengganggu aktivitas

hemofilia kari er

sekitar gOEo; namun

DIAGNOSIS BANDING

hemofilia.

Analgetika. Pemakaian analgetika diindikasikan pada


pasien hemartrosis dengan nyeri hebat, dan sebaiknya
dipilih analgetika yang tidak mengganggu agregasi
trombosit (harus dihindari pemakaian aspirin dan

. Hemofilia A dan B dengan defisiensi faktor XI dan XII.


. Hemofilia A dengan penyakit von Willebrand

antikoagulan).

Rehabilitasi medik. Sebaiknya dilakukan sedini


mungkin secara komprehensif dan holistik dalam
sebuah tim, karena ketelambatan pengelolaan akan

yang

menyebabkan kecacatan dan ketidakmampuan baik

dan V

fisik, okupasi maupun psikososial dan edukasi.

kongenital.
Hemofilia B dengan penyakit hati, pemakaian warfarin,
defisiensi vitamin K. sangat jarang inhibitor F IX yang

Rehabilitasi medik artritis hemofilia meliputi : latihan

didapat.

rekreusi serta edukasi.

(khususnya varian Normandy), inhibitor F

didapat dan kombinasi defisiensi F

harian serta menurunkan kualitas hidup pasien

VIII

VIII

pasif/aktif, terapi dingin dan panas (hati-hati),


penggunaan ortosis, terapi psikososial dan terapi

1310

HEMISIOI.OGI

Terapi Pengganti Faktor Pembekuan


Pemberian faktor pembekuan dilakukan 3 kali seminggu
untuk menghindari kecacatan fisik (terutama sendi) sehingga
pasien hemofilia dapat melakukan aktivitas normal. Namun

untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan faktor anti


hemofilia (AHF) yang cukup banyak dengan biaya yang
tinggi.

Terapi pengganti faktor pembekuan pada kasus


hemofilia dilakukan dengan memberikan F VIII atau F IX,
baik rekombinan, konsenfrat maupun komponen darah yang

mengandung cukup banyak faktor-faktor pembekuan


tersebut. Pemberian biasanya dilakukan dalam beberapa hari
sampai luka atau pembengkakan membaik; serta khususnya
selama fisioterapi.

Konsentrat F Vlll/F lX
Hemofilia A berat maupun hemofilia ringan dan sedang
dengan episode perdarahan yang serius membutuhkan
koreksi faktor pembekuan dengan kadar yang tinggi yang
harus diterapi dengan konsentrat F VIII yang telah
dilemahkan virusnya.

Faktor IX tersedia dalam2 bentuk yaitu prothrombin


complex concentrates (PCC) yang berisi F II, V[, IX dan
X, dan purified F IX concentrates yang berisi sejumlah F

IX tanpa faktor yang lain. PCC dapat menyebabkan


trombosis paradoksikal dan koagulasi intravena tersebar

yang disebabkan oleh sejumlah konsentrat faktor


pembekuan lain. Risiko ini dapat meningkat pada
pemberian F IX berulang, sehinggapurifiedkonsentrat F
IX lebih diinginkan.
Waktu paruh F VIII adalah 8-12 jam sedangkan F [X 24
jam dan volum distribusi dari F IX kira-kira 2 kali dari F

utr.
Kebutuhan F

1.

VIII / F IX dihitung berdasarkan rumus:

Volume plasma (VP) = 40 mVkgBB x BB (kg)


F VIII / F IX yang diinginkan (U) =

Penuntun penggunaan pengganti faktor pembekuan


pada perdarahan hemofilia tergantung kasus per kasus.
(Thbel3)

Kriopresipitat AHF
KriopresipitatAHF adalah salah

satu komponen darah non

selular yang merupakan konsentrat plasma tertentu yang


mengandung F VIII, fibrinogen, faktor von Willebrand.
Dapat diberikan apabila konsentrat F VIII tidak ditemukan.
Satu kantong kriopresipitat berisi 80-100 U F VIII. Satu

kantong kriopresipitat yang mengandung 100 U F

VIII

dapat meningkatkan F VIII 357o. Efek samping dapat te{adi


reaksi alergi dan demam.

1-deamino 8-D Arginin Vasopresin (DDAVP)


atau Desmopresin
Hormon sintetik anti diuretik (DDAVP) merangsang
peningkatan kadar aktivitas F VIII di dalam plasma sampai
kali, namun bersifat sementara. Sampai saat ini mekanisme
kerja DDAVP belum diketahui seluruhnya, tetapi dianjurkan
untuk diberikan pada hemofilia A ringan dan sedang dan

juga pada karier perempuan yang simtomatik. Pemberian


dapat secara intravena dengan dosis 0,3mg/kg BB dalam
30-50 NaCl 0,97o selama 15-20 menit dengan lama kerja 8
jam. Efekpuncakpadapemberian ini dicapai dalam waktu
30-60 menit. Pada tahun 1994 telah dikeluarkan konsentrat

DDAVP dalam bentuk semprot intranasal. Dosis yang


dianjurkan untuk pasien dengan BB <50 kg 150 mg (sekali
semprot), dan 300 mg untuk pasien dengan BB >50 kg
(dua kali semprot), dengan efek puncak terjadi setelah 6090 menit.

Pemberian DDAVP untuk pencegahan terhadap


kejadian perdarahan sebaiknya dilakukan seriap 12-24 jam.
Efek samping yang dapat terjadi berupa takikardia,Jlushlng, trombosis (sangat jarang) dan hiponatremia. Juga bisa
timbul angina pada pasien dengan PJK.

Antif ibrinolitik
Preparat antifibrinolitik digunakan pada pasien hemofilia
B untuk menstabilisasikan bekuan/fibrin dengan cara
menghambat proses fibrinolisis. Hal ini ternyata sangat
membantu dalam pengelolaan pasien hemofilia dengan

1m

2. F VIII yang diinginkan

(U) =
yang
BB(kg) x kadar
diinginkan (Vo)

l2

IX yang dinginkan (U) =


BB (kg) x kadar yang diinginkan (7o)

perdarahan; terutama pada kasus perdarahan mukosa

mulut akibat ekstraksi gigi karena saliva banyak


mengandung enzim fibrinolitlk. Epsilon aminocaproic acid
(EACA) dapat diberikan secara oral maupun intravena
dengan dosis awal 2OO mgkg BB, diikuti 100 mg/kg BB

setiap 6 jam (maksimun 5 g setiap pemberian). Asam


Metode penghitungan alternatif lain adalah satu unit

traneksamat diberikan dengan dosis 25 mg/kg BB

FVIII mampu meningkatkan aktivitasnya di dalam plasma

(maksimun 1,5 g) secaraoral, atau 10mg/kgBB (maksimum


1 g) secara intravena setiap 8 jam. Asam traneksamat juga
dapat dilarutkan l07o bagian dengan cairan parenteral,

0,02 U/rnl (2Vo) selana 12 jarn; sedangkan 1 unit F IX dapat


meningkatkan aktivitasnya di dalam plasma sampai 0,01
IJ lm (1 Vo) selama

24jam.

terutama salin normal.

1311

HEMOFILIAADANB

Lokasi

Kadar Aktivitas
Faktor Pembekuan

Hemofilia

Hemofilia

Sendi

40

- 80%

20

Otot

40

20

- 40 U/kgBB/hari

Mukosa mulut

50% dilanjutkan
antifibrinolitik
80 - 100%

Epistaksis

Gastrointestinal

Genitourinaria

SSP

Trauma/operasi

800/0

40 U/kgBB/hari

25 U/kgBB
40

- 50 U/kgBB
-

- 40 U/kgBB selang
sehari
30 - 40 U/kgBB selang
sehari
50 U/kgBB
30

80

Kemudian 30
U/kgBB/hari

40

70

100%, kemudian
dipertahankan 30%

40 - 50 U/kgBB
kemudian 30 - 40
U/kgBB/hari

80
70

100%, kemudian
dipertahankan 30%

40 - 50 U/kgBB
kemudian 30 - 40
U/kgBB/hari

80
70

100o/o, kemudian
dipertahankan 50
100 %

100%, kemudian 50%


sampai luka menutup,
dipertahankan 30%

100 U/kgBB kemudian

- 80 U/kgBB selang
sehari

dipertahankan 30%

Modalitas
Terapi Lain
lstirahaUimobilisasi/fisioter
apl
lstirahat/imobilisasi/fisioter
apl
Antifibrinolitik
Jangan gunakan PCCs
Tampon/ kauterisasi
pleksus
Kisselbach

Antifibrinolitik
(dapat digunakan)

100 U/kgBB kemudian


80 U/kgBB selang
sehari

Prednison 1-2 mglhari


selama 5-7 hari mungkin
berguna

50 U/kgBB kemudian
25 U/kg
BBl12 jam atau per
infus

100 U/kgBB kemudian


50 U/kgBB/hari atau per infus

Antikonvulsan; pungsi
lumbal harus dilindungi F
pembekuan

50 U/kgBB kemudian
50 UlkgBBl12jam atau
per infuse

100 U/kgBB kemudian


50 U/kgBB/hari atau per infus

Rencana pengelolaan pra


dan pasca operasi sangat
menentukan

Terapi Gen
Penelitian terapi gen dengan menggunakan vektor
retrovirus, adenovirus darr adeno-associated virus
memberikan harapan baru bagi pasien hemofilia. Saat ini
sedang intensif dilakukan penelitian invivo dengan
memindahkan vektor adenovirus yang membawa gen
antihemofilia ke dalam sel hati. Gen F VIII relatif lebih sulit
dibandingkan gen F IX, karena ukurannya (9 kb) lebih

100 U/kgBB kemudian


80 U/kgBB selang
sehari

evaluasi klinis terhadap pemeriksaan laboratorium rutin;

atau yang sering (pasien simtomatik) adalah tidak


diperolehnya respons klinis terhadap pemberian faktor
pembekuan maupun kebutuhan faktor pembekuan yang

meningkat dibanding dengan sebelumnya. Telah


dilaporkan dapat terjadi reaksi anafilaksis yang
berhubungan dengan inhibitor faktor pembekuan pada

besar; namun akhir tahun 1998 para ahli berhasil melakukan


pemindahan'plasmid-based factor VIII secara ex vivo ke

hemofiliaB.
Angka kejadian terbentuknya inhibitor terhadap faktor
pembekuan pada hemofilia A sedang dan berat sekitar 20-

fibroblas.

33 Vo, sedangkan pada hemo

PENYULIT PENGOBATAN

lnhibitor Faktor Pembekuan


Penyulit yang berpotensi mengancam kehidupan pasien
hemofilia adalah terbentuknya antibodi poliklonal
terhadap F VIII atau F IX. Antibodi ini akan menghambat
aktivitas faktor pembekuan, sehingga pemberian terapi
pengganti kurang efektif atau bahkan tidak efektif sama
sekali. Mekanisme terbentuknya antibodi ini belum
diketahui secara menyeluruh; kemungkinan sensitisasi

berulang akibat pemberian komponen darah atau


konsentrat faktor pembekuan, namun ternyata inhibitor
ini dapat ditemukan pada anak-anak hemofilia A yang
hanya diberi faktor pembekuan rekombinan atau bahkan

pada mereka yar,1 tidak pernah diterapi. Biasanya


ditemukan secara tidak sengaia (pasien asimtomatik) saat

fllia B hany a I - 4Vo .


Upaya mengatasi penyulit ini adalah dengan pemberian

konsentrat kompleks protrombin aktif meskipun kurang


aman; atau F VIII aktif yang harganya mahal jika terjadi
perdarahan. Hyate C@ yang mengandung F YIII porcine
merupakan pilihan lain untuk pasien hemofilia A dengan
inhibitor F VIII. Plasmaferesis dapat juga dilakukan
terutama dalam mengatasi keadaan kritis pada pasien

dengan antibodi faktor pembekuan. Imunomodulator


seperti siklofosfamid dosis rendah, gama globulin dosis
tinggi atau steroid dapat diberikan meskipun hasilnya
belum dapat diramalkan secara klinis; namun mampu
membuat toleransi terhadap respon imun (immune tolerance).

Penularan Penyakit
Penularan penyakit melalui produk darah cukup tinggi
terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
seperti hepatitis, malaria, HIY HTLV-1, virus Epstein Barr,

t3t2
HHV-6, cytomegalo virus, pawovirus

HEN'ATOLOGI

19, penyakit

Chagas, penyakit Lyme dan penyakit Creutzfeld-Jacob. Hal

tersebut dilatarbelakangi keadaan sosial ekonomi yang


berdampak pada pelayanan, sarana dan fasilitas kesehatan.

Goodnight SH, Hathaway WE. Hemophilia A In : l)i:ottlcts ol


Hemostasis and Thrombosis, A Clinical Guide, 2"' Ed l\1c(irlrr
Hill Co, New York 2001, p. 127-139.
Coodnight SH, Hathaway WE. Hemophilia B ln : Disoriletr iti

A Clinicat Guide. 2"'r Ed N4cCrlrr


Co, New York 2001, p 140-1.15.
Goodnight SH, Hathaway WE. Coagulation factots concerltrales lr
Hemostasis and Thrombosis.

Hill

Reaksi alergi
Hipertensi pulmoner primer

: Disorders of Hemostasis and Thrombosis, A Clinical CLride. l"'


Ed. McGraw-Hill Co, New York 2001, p. 50-5-l-5
Gigna Healthcare Coverage Position. Factor Vlll rherapy 200'1.

1-6

Hedner

KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering ditemukan adalah artropati


hemofilia; yaitu penimbunan darah intra artikular yang
menetap dengan akibat degenerasi kartilago dan tulang
sendi secara progresif. Hal ini menyebabkan penurunan
sampai rusaknya fungsi sendi. Hemartrosis yang tidak
dikelola dengan baik juga dapat menyebabkan sinovitis
kronik akibat proses peradangan jaringan sinovial yang
tidak kunjung henti. Sendi yang sering mengalami
komplikasi adalah sendi lutut, pergelangan kaki dan siku.
Perdarahan yang berkepanjangan akibat tindakan medis
sering ditemukanjika tidak dilakukan terapi pencegahan
dengan memberikan faktor pembekuan darah bagi hemofilia
sedang dan berat sesuai dengan macam tindakan medis
itu sendiri (cabut gigi, sirkumsisi, apendektomi, operasi

intra abdomen/intra torakal). (Tabel 3) Sedangkan


perdarahan akibat trauma seheri-hari yang tersering berupa

hemartrosis, perdarahan intramuskular dan hematom.


Perdarahan intrakranial j arang terj adi, namun jika terjadi
berakibat fatal.

U, Ginsburg D, Lusher JM, High KA.

Congenital

hemorrhagic disorder : new insights into the pathophysiology


and treatment of hemophilia Hematol 2000 61: 241-9
Hilman R, Ault KA Hemophilia and other intrinsics pathway

defects.

In Hematology in Clinical Practice A Guide

Diagnosis and Management. McGraw

Hill, NewYork.

to
1995, pp

447 -88.
tlandin RI. Disorders of coagulation and thrombosis. Tn Braunwald
E, Fauci AS, Kasner DL, et a1 (Eds) Harrison's Principles of
Internal Medicine. 16'r' ed McGraw Hill, New York, 2005, pp
91 1-1

Hemophitia hhtp://www.avigen com/HEMOPHILIA.HTM 2004


Hemophilia A. hhtp://www.icondata.com/health/pedbase/files
HEMOPHIL HTM 2004.
Hoyer LW Hemophilia A N Engl J Med t994: 330 : 38-'17
Kalev I, Kenderova V Reflections on the treatment of hemophilia.
Haemophilia 2002; 8 : 554-1
Linari S, Frusconi S, Passerini I, et al. Characrerization patients
with henrophilia A Haemophilia 2002; 8 : 558-62.
Miller DG, Stamatoyannopoulos G. Therapy for hemophilia. N Engl
J Med 2001; 344: 1782-4.
program in the developing world.
Lancet 2001; 358 ; 2t18- 21
Park F, Ohashi K, Kay MA. Therapeutic levels ol human factor
VIII and IX Blood 2000: 96 : 1113-6
Ratnoff O Historical review. British Journal of hematology

O' Mahony B Hemophilia

2003 122-92.

William WJ. Congenital deficiencies of coagulation factors includ-

REFERENSI
Carol K. Management of hemophilia. N Engl J Med 1996; 331:
877 -80.

Cawlhern KM, Veer C, Lock B et al. Blood coagulation in


hemophilia A and hemophilia C. Blood 1998;91(12):4581-4592.
DiMichele D, Neufeld EJ. Hemophilia a new approach to an old
disease. Hematol Clin North Am 1998; 6 : 1315-44.

ing haemophilia. In : Williams Hematology. Companion Handbook, 5'h Ed. McGraw-Hill International Edition, Toronto 1996,

p. 355-62
White GC, Rosendaal F, Aledort LM. Definitions in hemophilia.
Recommendation of the scientific subcommittee on factor VIII
and factor IX of the International Society on Thrombosis and
Haemostasis. Thromb Haemost 2001; 85 : 56O-72.

207
PENYAKIT VON WILLEBRAND
Sugianto

jiwa terjadi

PENDAHULUAN

pada kurang dari 5 orang per

juta penduduk

di negara-negara barat.
Def

Terdapat 3 varian utama PVW, masing-masing berbeda

inisi

dalam beratnya gejala. PVW juga disebut sebagai

Penyakit von Wi llebrand (PVW) adalah kelainan perdarahan


herediter disebabkan oleh defisiensi faktor von Willebrand

pseudohemofilia atau hemofil

ia v

askul ar.

(FVw).
FVIV membantu trombosit melekatpada dinding pembuluh
darah dan antara sesamanya, yang diperlukan untuk

KLASIFIKASI DAN PATOFISIOLOGI

pembekuan darah yang normal.

PVW disebabkan oleh kelainan kuantitatif dan/atau


kualitatif FVW suatu protein faktor pembekuan yang
diperlukan untuk interaksi antara trombosit-dinding

Faktor von Willebrand

pembuluh darah dan untuk pembawa faktor VIIL Pada


banyak kasus juga terdapat defisiensi faktor VIIL Kelainan
yang nyata pada FVW bertanggung jawab terhadap 3 tipe
utamaPVW.

Faktor von Willebrand (FVW) adalah suatu glikoprotein


multimer heterogen dalam plasma dengan dua fungsi
utama:

.
.

Memudahkan adhesi trombosit pada kondisi stres berat


dengan menghubungkan reseptor membran trombosit
ke subendotel pembuluh darah
Bekerja sebagai pembawa plasma bagi faktor VIII, suatu
protein koagulasi darah yang penting.

Kelainan Kuantitatif FVW


Tipe I dan 3 ditandai dengan kelainan kuantitatif FVW.
Identifikasi kelainan gen adalah sulit pada tipe 1 dan 3
PWV. Tipe 1 merupakan kelainan yang ringan, dan menjadi
kasus terbanyak. Pada PVW tipe l, 40Vo anggota keluarga
kelompok ini membawa alelePYW namun dengan kadar
FVW normal. Tipe 3 adalah bentuk yang terberat. Bentuk
ini jarang terjadi.

PENYAKIT VON WILLEBRAND (PVW)


Kelainan perdarahan kronis yang ditandai dengan agregasi

trombosit maupun pembentukan bekuan tidak terjadi


secara memadai. Kelainan adhesi trombosit mungkin

Kelainan Kualitatif FVW

karena kelainan reseptor trombosit intrinsik atau kelainan/

terdiri dari subtipe 24, 2B, 2M dan 2N, meliputi


pasien dengan kelainan kualitatif FWV. Tipe 2 meliputi
kelainan yang ringan sampai sedang, ditandai dengan
gejala-gejala yang sifatnya sedang. Tipe 2A ditandai
dengan penurunan fungsi FVW yang terkait trombosit dan
termasuk subtipe IIA dan IIC. Tipe 28, ditetapkan dengan
meningkatnya afinitas FWV terhadap GPlb trombosit. Tipe
2N, ditandai oleh kelainan ikatan FVW pada faktor VIII.
T ipe 2, y ang

defisiensi molekul pelekat seperli FVW. PVW ditemukan


melalui slldi pedigree sebuah keluarga secara cermat di

kepulauan Uland. Penyakit

ini

merupakan kelainan

perdarahan herediter yang paling umum. Diturunkan


sebagai satu sifat (trait) dominan autosomal dengan
prevalensi sekitar l/100 sampai 3/100.000 orang. Namun,
PVW berat dengan riwayat perdarahan yang mengancam

131

L3t4

HEMAIOI.OGI

Sangat banyaknya varian PVW mendorong usaha


penyederhanaan klasifikasi kelainan ini (Tabel 1).

Meskipun jarang, PVW yang didapat, terlihat pada


pasien dengan keadaan tertentu (states) penyakit
limfoproliferatif atau imunologi akibat autoantibodi
terhadap FVW.

Gambaran
Defisiensi parsial

Tipe Dahulu

DIAGNOSIS

t-l
t-2

IA
2A

28

2M

Varian FVW yang ditandai dengan


kehilangan multimer BM tinggi
dan penurunan fungsinya yang
tergantung trombosit (plbteletdependent)
FWV dengan kehilangan multimer
BM tinggi disebabkan oleh
peningkatan afinitas terhadap
GPl b trombosit
Varian FVW dengan penurunan
fungsi tergantung trombosit yang
tidak berkaitan dengan kehilangan
multimer BM tinggi
Varian FVW dengan penurunan
afinitas terhadap faktor Vlll
Defisiensi berat FWV

ilA

ilc

ilG
ilH

ilD
ilE
ilF
ilB
I New York
Malmo
IB

Vicenza
IC
ID

Defective Vlll
binding
Normandy
ilt

-Dari Sadler 1994; Friedman & Rodgers 2004

Diagnosis PVW memerlukan:


. kecurigaan terhadap gambaran klinis tingkat tinggi dan

kecakapanpemanfaatanlaboratorium.

Bila pasien dalam keadaan kritis, sulit menetapkan diagnosis yang tepat. Bila PVW dianggap merupakan faktor
penunjang pada perdarahan pasien, lebih dahulu harus
diobati secara empiris dan penelusuran laboratoris yang
rumit ditunda sampai pasien secara klinis stabil dan tidak
mendapat produk darah dan obat selama beberapa minggu.

Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium sangat beragam. Pola
diagnosis paling sering merupakan kombinasi:
pemanjangan BT
penurunan kadar trVW plasma

penurunan secara paralel kadar aktivitas biologi


diperiksa dengan penentuan kadar kofaktor ristosetin
penurunan aktivitas faktor

GAMBARAN KLINIK
Gejala paling sering terjadi meliputi: perdarahan gusi.
hematuri,epistaksis, perdarahan saluran kemih, darah dalam
feses. mudah memar. menoragi.
Pasien PVW simtomatik, seperti pada gangguan fungsi

trombosit lainnya, biasanya tampil dengan perdarahan


mukokutan, terutama epistaksis, mudah memar, menoragi.
dan perdarahan gusi dan gastrointestinal.
Pasien dengan kadar faktor VIII yang sangat rendah
bahkan dapat menunjukkan hemartrosis dan perdarahan
jaringan dalam tubuh. Seringkali gambaran kelainan itu
tidak nyata sampai terdapat faktor pemberat seperti trauma

atau pembedahan. PVW dapat diturunkan sebagai satu


sifat (trait) dominan atau resesif autosomal. Seringkali
terdapat riwayat yang jelas dalam keluarga dengan
perdarahan abnormal dan berat, namun daya tembus
(penetrance) dan ekspresi gen yang mengalami mutasi
sangat bervariasi. Meskipun orangtua dengan autosom
dominan memindahkan gen yang abnormal ke 507o anakanaknya, penyakit dengan gejala yang nyata hanya pada
30-407o keturunannya.
Pasien dengan gen resesif tunggal khas asimtomatik

tetapi dapat menunjukkan kadar aktivitas antigen FVW


abnormal. Keturunan dengan heterozigot ganda, yang
diturunkan dari orangtua yang keduanya membawa gen
cacat (defective), menghasilkan penyakit berat (tipe 3
PV!\O.

VIII

Beragamnya tes laboratorium dikaitkan pada sifat-sifat


kelainan yang heterogen pada PVW maupun kenyataan
bahwa kadarnya dalam plasma dipengaruhi oleh tipe
golongan darah ABO, kelainan sistem saraf pusat, sistem
infl amasi. dan kehami lan.

Evaluasi Penapisan
Untuk PVW harus mencakup pemeriksaan Bf, hitung
trombosit, PT dan APTT.

PVW ringan tipe 1 biasanya hasil pemeriksaan normal.


Bila penyakit lebih berat BT memanjang antara 15-30
menit sedang hitung trombosit normal.
Pasien dengan defisiensi berat FWV atau kelainan faktor
VIII mengikat FVW berakibat pemanjangan APTT,
sekunder akibat menurunnya kadar faktor VIII dalam
plasma.

Untuk menetapkan diagnosis diperlukan pemeriksaan


khusus kadar FVW dan fungsinya.

Evaluasi Lengkap PVW


Diperlukan pemeriksaan aktivitas VIII:C, Ag:FWV, aktivitas
(fungsi) FYW (ristocetin cofactor activity), dan analisis

besarnya (size) multimer FVW menggunakan


elektroforesis gel agarosa.
. Aktivitas faktor VIII diperiksa dari kemampuan dilusi
plasma pasien untuk mengkoreksi pemanjangan APTT
pada plasma yang kekurangan faktor VIIL

1315

PENYAKIT VON WII I FBIU{IYD)

pe Br

'1
AorN
2af
2ba
3A
Pseudo 4

o9,i,t
VorN
.1, Of N

VorN
0
.1,

or N

Akt
Akt
Kofaktor Koagulan
Ristocetin F Vlll
.l,orN
VorN
0
V or N
.1, or N
VorN
0
0
V
VorN

Multimer
N

Abnormal
Abnormal
--Abnormal

PVW

Hemofili

A
Meningkat dengan aspirin

. Ag:FVW dihitung
.

im m un

so rbefl

I atau

dengan assay enzyme-like


m

munoas say,

Aktivitas FVW dihitung dengan mencampur berbagai


konsentrasi ristocetin dengan plasma pasien dan

Dari Lin ker 2002

terhadap proteolisis) dan destruksi yang meningkat


menjelang sekresi selular. Beberapa pasien masih sanggup
mengeluarkan multimer yang lebih besar ke dalam sirkulasi
bila dirangsang dengan DDAVP, yang lain menunjukkan

trombosit normal dalam agregometer. Derajat aktivitas


FVW akan setara atau lebih rendah dibandingkan
derajatAg:FVW.

sedikit atau tanpa respons. Pasien tipe 2A mempunyai


tendensi perdarahan yang sedang.

Bergantung subtipe PVW, analisis multimer FYW


sangat penting untuk diagnosis klasifikasi varian PVW
tipe 2. Klasifikasi PVW penting untuk perencanaan
pengelolaan klinis.

afinitas meningkat terhadap reseptor GPIb/IX trgr-nbosit.


Pemberian (loading) multimer besar FVW pada trombosit
menyebabkan penurunan yang nyata kadar FVW multimer
dengan BM tinggi atau sedang (intermediate) dalam
plasma, yang menyerupai PVW tipe 2A. Pada saat yang
sama, oleh karena melimpahnya FVW pada permukaan
trombosit, penelitian aktivitas FVW (yaitu ristocetin-induced platelet aggregation, RIPA) akan menunjukkan
tendensi peningkatan agregasi trombosit.
Secara klinis, melimpahnya FVW pada permukaan
trombosit, dapat mendorong agregasi trombosit dalam
sirkulasi, pembuangan agregat, dan trombositopenia.
Kehamilan, inf-lamasi, atau pemberian DDVAP, melalui

Penyakit tipe 1-PVW tipe 1 adalah varian paling banyak


hingga mencapai 807o. Beratnya gambaran klinis tipe ini
sangat bervariasi, berhubungan dengan penurunan kadar

FVW dalam plasma dan faktor VIII. Pada pasien yang


bergejala, aktivitas Ag:FVW dan FVW menurun di bawah
507o rilai normal. Pasien dengan golongan darah O pada
umunmya menunjukkan nilai FVW normal rendah dan tidak
boleh langsung didiagnosis sebagai PWV tipe ringan. Oleh
karena FVW merupakan protein pembawa FVIII dalam
sirkulasi, kadar FVIII akan secara bermakna menurun pada

pasien dengan penyakit tipe 1 yang berat, dan


menyebabkan pemanjangan APTT. Analisis multimer FVW
menunj ukkan pola normal.

PVW tipe 2-tipe ini ditandai oleh kelainan kualitatif FVW


plasma. Hal ini dapat berakibat penurunan FVW yang lebih

besar (PVW tipe 2,A. dan

28)

perubahan-perubahan
beragam pada ikatan Ag:FWV dan faktor VIII (tipe 2M dan
atar.r

2N PVW). Menghilangya multimer lebih

besar

menyebabkan penurunan yang tidak proporsional pada

aktivitas FVW (rlsrocetin cofactor activity) bila


dibandingkan dengan Ag:FVW.
Aktivitas faktor VIII jarang menurun pada PVW tipe
24, B, dan M tetapi menjadi berat pada PVW tipe 2N.
Pasien PVW tipe 2 tidak mempunyai FVW multimer
dengan BM tinggi atau sedang (intermediate) dalam
plasma. Kelompok heterogen ini, ditandai oleh paling tidak
2 defek yang nyata: produksi FVW (yang suseptibel

PVW tipe 2 menunjukkan FVW abnormal dengan

peningkatan pengeluaran FVW, dapat memperburuk


trombositopenia. Bukannya cenderung mengalami

agegrasi trombosit, pasien-pasien

ini sebaliknya

mempunyai tendensi berdarah, bukan kelainan/penyakit


trombotik.
PVW Tipe-Ttombosit perlu perhatian khusus sebab tampil

dengan banyak sifat serupa PVW tipe 28. Namun,


peningkatan ikatan multimer FVW pada PVW tipetrombosit disebabkan oleh kerusakan pada reseptor GP1b,
bukan FVW pasien. Hal ini merupakan perbedaan penting
menyangkut terapi. Pasien PVW tipe-trombosit memerlukan
transfusi trombosit sama perlunya dengan pemberian FVW
untuk memperbaiki kelainan perdarahannya.

PVW Tipe 2M' ditandai dengan pola normal multimer FVW


dalam plasma tetapi penurunan yang tidak seimbang pada
aktivitas FVW bila dibandingkan dengan vWF:Ag. Hal ini
menghasilkan produksi molekul FVW abnormal dengan
penurunan afinitas terhadap reseptor GPlb/IX trombosit.

1316

Banyak pasien dengan kelainan tersebut akan memperoleh


respons dari DDAVP, sedangkan yang lain memerlukan

HEMIIiTOI.OGI

Pengelolaan Segera
Fungsi trombosit yang abnormal sering yang pertama

penambahan FVW.

tampak sebagai komplikasi penyakit akut atau

PVW tipe 2N-menunjukkan kerusakan ikatan faktor VIII


terhadap FVW Pengukuran aktivitas dan antigen FVW

pembedahan. Beberapa faktor pemberat dapat menentukan

keduanya normal, seperti juga analisis pola multimer FVW.


Derajat aktivitas faktor VIII menurun, sama seperti pada

diagnosis yang tepat dapat ditunda, namun tindakan harus


disesuaikan dengan sebanyak mungkin faktor pendorong
yang potensial.

pasien dengan hemofilia yang ringan. Penyakit tipe 2N


harus dipikirkan dalam diagnosis banding bila seorang
pasien perempuan datang dengan derajat FVIII atau bila
anggota keluarga pasien yang perempuan terjangkit.

Penyakit tipe 3-PVW tipe 3 ditandai dengan tidak


ditemukannya Ag:FWV dalam sirkulasi dan derajat VIII:C
sangat rendah (3-lOVo normal). Pasien seperti ini
menunjukkan perdarahan berat dengan hemartrosis dan
hematoma muskulus serupa pasien hemofl li A atau B. Namun,

BI sangar memanjang.
Penurunan (inheritance) penyakit tipe 3 masih tidak jelas.
Pasien demikian mungkin merupakan heterozigot ganda atau
tidak seperti hemofilia klasik,

homozigot untuk satu gen abnormal. Pasien biasanya

beratnya tendensi perdarahan. Pada keadaan demikian,

Daftar ini termasuk:


. menghentikan obat yang menghambat fungsi trombosit
. secara empiris memberikan FVW, dan
. transfusi trombosit yang normal, tergantung beratnya
perdarahan.

Meskipun pendekatan ini kurang tepat, namun efektif.


Kelainan fungsi trombosit, baik yang didapat maupun
kongenital, dapat segera diatasi dengan mengontrol
perdarahan klinis yang berat.

Pengelolaan Jangka Paniang

normal, yang menunjukkan suatu pola resesif autosomal.

Kelainan fungsi trombosit harus didasari diagnosis yang


tepat. Pasien dengan kelainan kongenital harus dinasihati

PVW yang Didapat

untuk menghindari obat yang memperberat kelainan fungsi


dan menyebabkan perdarahan.

Autoantibodi terhadap inhibitor protein FVW

PVW yang didapat, berbeda dari PVW kongenital, jarang

terjadi, tampil awalnya lambat, dan tanpa riwayat


perdarahan dalam keluarga. PVW yang didapat berkaitan
dengan sejumlah penyakit kronis termasuk kelaiuan berikut:
. autormun
. gamopati monoklonai

.
.
.
.
.
.

limfoproliferatif
keganasan epidemik
hipotiroidisme
tumorWilm
mieloproliferatif
sebab pemakaian obat, termasuk siprofloksasin.

Autoantibodi tipe IgG, IgM dan IgA telah ditemukan

dan tampaknya ditujukan terhadap berbagai epitope


molekul protein PVW yang menyebabkan beberapa
mekanisme perdarahan berkaitan dengan PVW yang
didapat.
Pasien dengan auto-antibodi terhadap FVW biasanya
menunjukkan perdarahan membran mukosa dan mudah
memar. Gambaran laboratorium dapat menyerupai PVW
dengan pemanjangan BT, penurunan aktivitas FVIII:C,

Ag:FVW dan FVW, meskipun kadarnya dapat berbeda.

TERAPI DAN PERJALANAN KLINIS

Aspirin dan analgesik nonsteroid adalah offencler

primer, pasien-pasien PVW dan trombasteni


menunjukkan pemanjangan bermakna BT dengan
pemberian aspirin dan merupakan risiko lebih besar
terhadap perdarahan klinis.

Pasien demikianjuga harus benar-benar diajari tentang

Harus membawa sefta identifikasi atau memakai gelang

sifat kelainan mereka

peringatan (warning).
Protokol ini dapat bermanfaat sebagai petunjuk untuk
terapi.transfusi yang memadai pada keadaan darurat.
Sebagai prinsip umum, sifat kelainan fungsi akan
menuntun pilihan pengobatan. Misalnya, pasien PVW
dengan jumlah FVW yang tidak normal akan berespon
terhadap obat yang meningkatkan kadar FVW plasma. Pada
situasi demikian, trombosit perlu normal begitu kelainan

FVW diperbaiki. Sebaliknya, pasien dengan defek


kongenital metabolisme trombosit akan memerlukan
transfusi trombosit yang normal. Seperti untuk kelainan

fungsi trombosit yang didapat, kebenaran terletak


somewhere in between. Terdapat bukti klinis bahwa pasien
dengan defek yang didapat sekunder terhadap pemberian
obat, uremia, dan penyakit hati akan merespons terhadap

DDVAP, pemberian FVW, atau keduanya. Data ini


mendukung bahwa peningkatan kadar FVW dapat
sebagian mengkompensasi kelainan bersumber trombosit.

darah, dan menghindari keadaan yang dapat menyebabkan

DDAVP (Desmopresin)
DDAVP adalah analog sintetik hormon antidiuretik,

rudapaksa atau perdarahan.

vasopresin. Pemberian secara intravena, merangsang

Secara umum terapi meliputi pemberian obat, transfusi

t3t7

PEITYAKITVON WII I FRIUIIYD

pengeluaran FVW dari sel endotel agar FVW dan faktor


VIII:C cepat meningkat dalam plasma. Hal ini merangsang

fungsi trombosit, dan pada beberapa tipe PVW


memendekkan BT. Akibatnya terhadap kadar faktor VIII
dipakai untuk menangani pasien dengan hemofili A ringan

yang mengalami pembedahan minor. Kelainan fungsi


trombosit akibat pemberian obat, uremia, dan penyakit hati
juga dapat membaik, mungkin akibat pengeluaran dalam
jumlah sangat besar multimer FVW. Pada pasien uremia,
terapi eritropoietin belum dilaporkan menurunkan secara
bermakna tendensi perdarahan, sehingga menyebabkan
DDVAP kurang populer.
Keberhasilan menangani pasien PVW bergantung pada
tipe penyakitnya. Pasien dengan tipe 1 PVW yang lebih
ringan menunjukkan respons yang sangat baik, dengan
pemendekan BT dan peningkatan kadar FVW dan faktor
VIII:C. Banyak pasien dengan dengan PVW tipe 2A atalu
tipe 2M juga mempunyai respons baik terhadap DDVAP,
tiaeskipun BT tidak menjadi normal dan efeknya bertahan
rt:latif singkat.
Pasien dengan PVW tipe 2N biasanya tidak respons,
nreskipun uji terapi menunjukkan pasien tertentu dapat
ititangani melalui pembedahan minor atau suatu episode
perdarahan dengan DDAVP saja.

Pasien PVW tipe 3 tidak akan respons terhadap


pemberian obat, sebab pasien ini tidak ada persediaan
FVW di endotel. Baik FVW maupun faktor VIII harus
disiapkan untuk memperbaiki kelainan pada kedua pasien
tipe 2N dan tipe 3.
Pemberian DDAVP dikontraindikasikan pada pasien PWV
tipe2B dan tipe-trombosit. Pada kedua kelainan, stimulasi

pengeluaran FVW dapat menyebabkan peningkatan

agregasi trombosit dan memperburuk keadaan


trombositopenia pasien. Pada pasien tipe 28, kelainan
fungsi trombosit dan trombositopenia berhubungan
dengan produksi multimer FVW yang abnormal. Oleh
karena itu, penanganan yang efektif untuk pasien demikian
dengan penambahan FVW dan transfusi trombosit.

Formulasi DDAVP berbentuk sediaan baik intravena


maupun intranasal. DDAVP diberikan intravena dengan
dosis 0,3 mg/kg; harus diencerkan dalam 30-50 mL salin
dan diberikan dalam 10-20 menit untuk meminimalkan efek

samping, terutama takikardia dan hipotensi. Seperti preparat


pendahulunya, DDAVP akan menyebabkan nyeri kepala,
pusing (lightheadedness), nausea, dan muka kemerahan
(facial flushing) pada pasien, terutama bila diberikan secara
cepat. Obat tersebut juga mempunyai efek antidiuretik

ringan yang dapat mengarah intoksikasi bila pasien


mendapat terapi multipel dan cairan parenteral jumlah besar.
Nasal spray yang sangat pekat dapat diberikan sendiri pada

perempuan PVW tipe 1 untuk terapi menoragi. Obat


tersebut dapat efektif untuk mengontrol perdarahan yang
berkaitan dengan ekstraksi gigi atau pembedahan minor
pada pasien PVW dan hemofili A ringan. Dosis 300-pg

intranasal DD AYP (stimate nasal spray), diberikan dengan


aplikasi 100 pL dari larutan 1,5 mg/ml ke lubang hidung,
akan meningkatkan kadar FWV, pada umumnya, 2 sampai 3
kali lipat.
Terapi DDAVP paling efektif untuk perdarahan ringan

selama pembedahan minor. Kerugiannya, efeknya


berlangsung singkat. Perbaikan BT dan kadar FVW
terbatas sampai 12-24 jam. Di samping itu, respons terhadap
dosis ulangan dapat berbeda akibat timbulnya takifilaksis.
Kebanyakan pasien memberikan respons terhadap 2 atau

3 dosis dalam interval 24-jam, tetapi beberapa kasus


membutuhkan 48-72 jamdi antara 2 dosis untuk perbaikan.
Pada situasi demikian, kontrol terhadap tendensi
perdarahan pasien sangatlah penting, misalnya setelah
pembedahan, DDAVPbila diberikan sendiri tidak adekuat,
sehingga dianjurkan pemberian tambahan FVW.

Faktor von Willebrand (FVW)


Penggantian FVW-dapat diperoleh dengan: transfusi

plasma segar atau konsentrat plasma mengandung


komplekstrWV-VlI.

Kriopresipitat

adalah konsentrat yang mudah didapat dan

efektif. Seperti terapi dengan DDVAP, kriopresipitat dapat


segera memperpendek B! yang berkaitan dengan infus
multimer FVW besar. Namun, perbaikan BT dapat

berlangsung relatif singkat. Kadar kriopresipitat dan


multimer Ag:FVW cepat rusak dalam 6-12 jam setelah
dibenkan melalui infus. Pada waktu yang sama, kadar faktor
VIII:C meningkat selama 24 jam berikutnya, di luar proporsi

jumlah yang diberikan. Kenaikan kadar faktor VIII


tampaknya untuk memberikan efek protektif. Perbaikan
tendensi perdarahan pasien berlangsung lebih lama
daripada yang diketahui baik dengan BT atau kadar FVW
saj a.

Dosis kriopresipitat-sangat empiris. Pasien dengan


penyakit tipe I atau tipe 3 yang berat harus ditangani seperti
pasien hemofilia Aberat. Pada kedua keadaan tersebut kadar
FVW dan faktor VIII kurang dari I 07o. Untuk mengawasi
tendensi perdarahan, faktor VIII:C harus dinaikkan menjadi
50-107o untuk pembedahan mayor dan 30-507o untuk
pembedahan minor atau perdarahan yang kurang berat.
Untuk pasien dengan PVW tipe I yang kurang berat,
direkomendasikan kombinasi DDVAP dan sejumlah kecil
kriopresipitat. Berapa banyak FVW harus diberikan dan
berapa lama terapi tergantung padaperjalanan klinis pasien.

Apabila kriopresipitat tidak didapatkan, salah satu


bentuk konsentrat faktor VIIVFVW dapat diberikan.
Namun, konsentrat tersebut harus mengandung ntultimer
FVW besar agar efektif: Sediaan yang kaya FVW termasuk
Humate P dan Alphanafe. Dosis faktor VIII 50 U/kg tiap
12jam biasanya akan cukup. Keuntungan sediaan-sediaan
ini adalah kurang memberikan risiko transmisi virus.
Oleh karena sangat rendahnya kadar Ag:FVW dan
faktor VIII, pasien PVW tipe 3 mempunyai risiko timbulnya

1318

HEM/rlilOLOGI

antibodi tehadap FVW setelah transfusi sediaan plasma


tersebut. Sekali ini terjadi, pasien mempunyai risiko reaksi

REFERENSI

anafilaktoid dan infus FVW berikutnya menjadi kurang

Andrews MM, Mooney KH. Von Willebrand's disease. In: Mc Cance

efektif.

Antihistamin dan steroid dapat mengaburkan reaksi


anafilaktoid. Imunoglobulin intravena dengan dosis I garn/
kg sehari selama 2-3 hari dapat mengurangi kadar antibodi
anti-FVW sementara. Transfusi trombosit dapat dipakai
untuk menangani pasien yang telah menunjukkan adanya

alloantibodi.
Obat lain-yang bermanfaat untuk menangani pasien PVW
termasuk:

Premarine-Efek positif pada fungsi trombosit juga tampak


pada pasien uremi yang dlbei Premarine.
Epsilon aminocaproic acid (EACA), inhibitor fibrinolitik.
EACA telah digunakan pada hemofilia dan pasien PVW
untuk mencegah perdarahan pada pembedahan minor,
terutama ekstraksi gigi. EACA diberikan pada pasien
dewasa dengan dosis 3-4 gram tiap 4-6 1am iv atau po
dimulai saat sebelum prosedur dan dilanjutkan sampai 5-7
hari

KL, Huethe SE, editors.

Pathophysyology. International
edition. 2nd edition. St. Louis Missouri: Mosby Year Book;

t994. p. 926.
Cohen AJ, Kessler CM. Acquired inhibitors. Auto-antibody against
inhibitors of von Willebrand factor protein. In: Bailliere's
clinical hematology, hemophilia, Lee CA (Guest ed), editors.
Tokyo: Bailliere Tindall. 1996;69(2):348.
Friedman KD, Rodgers GM. Von Willebrand's disease. Wintrobe's

ilth edition. In: Greer JP, Foerster J, et al,


editors. London: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. p. 1628.
Gastineau DA. Disorder of platelet adhesion molecule. ln: Mazza Jl.
editor Manual of clinical hematology. 2002. p. 362
clinical hematology.

Handin RI. von Willebrand's disease. Harrison's principles of


internal medicine. 16'h edition. In: Kasper DL, et al, editors.
Toronto: McGraw-Hill; 2005 p 616.
Hillman RS, Ault KA. von Willebrand's disease. Hematology in
clinical practice. 3rd edition. Toronto: McGraw-hill; 2002 p
342.

Linker CA. von Willebrand's disease. Current medical diagnosis aI,ld


,
treatment. 41st edition. In: Tiemey LM Jr, McPhee SJ, Papadak,rs
MA, editors. London: Lange Med Books/McGraw-Hill; 200;l

557.

Estrogen tampaknya meningkatkan produksi FVW oleh sel


endotel. Selama kehamilan normal, pasien PVW dapat
menormalkan kembali kadar Ag:FVW dan fakfor VIII:C,
meskipun BT-nya biasanya letap memanjang

Mazurier C, Meyer D. Molecular basis of von Willebrand's disease.


Bailliere's clinical hematology. In: Haemophilia, Lee CA (Guest
ed), editors Tokyo: Bailliere Tindall. 1996;9(2):229.
Sadler JE A revised classiication of von Willebrand disease. Thromb

IgG Intravena mungkin membantu memperlahankan efek


terapi terhadap tendensi perdarahan pada pasien dengan
MGUS dan PYW yang didapat (acquired)

Sadler JE, et al. Molecular mechanism and classiication


Willebrand disease Thromb Hemost. 1995:,'74:161.

Hemost l,994:7 l:520.

of

von

Von Willebrand's disease. Available online on http:ll


www.mamashealth. com,/default asp: 3/3 1/2005.

Von Willebrand's Disease. Available online on http:l/


www.malvistavet. com/html/body-von willebrand-s-disease.

html: 3/31/2005
Von Willebrand's disease. Available online on http://www nlm.
nih gov/medlineplus/ency/articlel000544 htm: 3/3 1i2005.

208
KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA
Lugyanti Sukrisman

PENDAHULUAN

mekanisme untuk mengatur aliran darah dengan cara

Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) atau Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan suatu
keadaan di mana sistem koagulasi dan/atau fibrinolitik
teraktivasi secara sistematik, menyebabkan koagulasi
intravaskular luas dan melebihi mekanisme antikoagulan

vasokonstriksi atau vasodilatasi, sedangkan membran basal


subendotel mengandung protein-protein yang berasal dari
endotel seperti kolagen, fibronektin, faktor von Willebrand
dan lain-lain, yang merupakan tempat melekatnya trgmbosit
dan leukosit. Trombosit akan membentuk sumbat hemostasis melalui proses: 1). adhesi (adhesion), yaitu melekat

alamiah. KID merupakan kejadian antara yang disebabkan


oleh kelainan yang jelas dengan patofisiologi dan
manifestasi kli ni s yang bervariasi.

pada dinding pembuluh darah;2). agregasi atau saling


melekat di antara trombosit tersebut, yang kemudian menjadi

dilanjutkan dengan proses koagulasi.

Istilah dekompensata atau KID akut/fulminan

Tahap 2 atau sistem koagulasi melibatkan faktor

menggambarkan keadaan di mana kecepatan konsumsi

pembekuan dan kofaktor, yang berinteraksi pada permukaan


fosfolipid membran trombosit atau sel endotel yang rusak
untukmembentukbekuan darah yang stabil. Sistem ini dibagi

faktor koagulan atau trombosit melebihi kemampuan tubuh


untuk mensintesis faktor tersebut.

menjadi jalur ekstrinsik yang melibatkan faktor jaringan


(tissue factor) dan faktor VII, dan jalur intrinsik (surfacecontact factor). Sistem ini diaktifkan jika faktor jaringan.
yang diekspresikan pada sel yang rusak atau teraktivasi
(sel pembuluh darah atau monosit) berkontak dengan faktor
VII aktif (a) yang bersirkulasi, membentuk kompleks yang
selanjutnya akan mengaktifkan faktor X menjadi Xa dan
seterusnya hingga membentuk trombus/fibrin yang stabil
(fibrin ikat silang/cross-l inke d fibrin). Proses ini tergambar
pada Gambar 1.
Setelah fibrin terbentuk, antikoagulan alamiah berperan
untuk mengatur dan membatasi pembentukan sumbat hemostasis atau trombus pada dinding pembuluh darah yang
rusak tersebut. Sistem ini terdiri dari antitrombin (AT)-I[,
protein C dan protein S, serta heparin kofaktor II, alfa-1
antitripsin dan alfa-2 makroglobulin. Antitrombin bekerj a
menghambat atau menginaktivasi trombin, faktor VIIa, XIIa,
XIa, Xa dan IXa. Tanpa adanya heparin, kecepatan

MEKANISME HEMOSTASIS NORMAL


Sistem pembuluh darah membentuk suatu sirkuit yang utuh
yang mempertahankan darah dalam keadaan cair. Jika terdapat

kerusakan pada pembuluh darah, trombosit dan sistem


koagulasi akan menutup kebocoran atau kerusakan tersebut
sampai sel pada dinding pembuluh darah memperbaiki
kebocoran tersebut secara perrnanen. Proses ini meliputi
beberapa tahap/faktor. yairu

1. Interaksi pembuluh darah dengan struktur


penunJangnya.

2.
3.
4.
5.

Trombosit dan interaksinya dengan pembuluh darah


yang mengalami kerusakan.
Pembentukan fibrin oleh sistem koagulasi.
Pengaturan terbentuknya bekuan darah oleh inhibitor/
penghambat faktor pembekuan dan sistem fibrinolisis.
Pembentukan kembali (remodeling) tempat yang luka
setelah perdarahan berhenti.

inaktivasi ini relatif lambat. Heparin mengikat dan


mengubah AI dan meningkatkan kecepatan inaktivasiAL
Sedangkan protein C menghambat faktor Va dan VIIIa,

Tahap 1 dan 2 dikenal sebagai hemostasis primer. Sel

endotel pada dinding pembuluh darah mempunyai

dengan bantuan protein S sebagai kofaktor.

131

t320

HEMAIOI.OGI

lalur Ekstrinsi k
la ur

lntrinsi

Pajanan jaringan subendotel


a tau
akti!asi endotel

,a{,

xr?xllla
Gambar 2. Sistem koagulasi, inhibitor dan fibrinolisis (Dikutip dari Folkman dkk.
jaringan,
C 1 -l N H comple me nt f acto r- 1 este ra se i nh i bito r, PL:f osf oli pid anionik, TF:taktor
pathway inhibitor, IPA'.tissueiype plasminogen activator.
:

Fibrinolisis atau pemecahan fibrin merupakan


mekanisme pertahanan tubuh untuk mempertahankan
patensi pembuluh darah dan menormalkan aliran darah.
Enzim yang berperan dalam sistem ini adalah plasminogen, yang akan diubah menjadi plasmin dan kemudian

fibrin menjadi fibrinogen


(a1at fibrin) degradation product (FDP), sedangkan

akan memecah fibrinogen dan

produk pemecahan fibrin ikat silang adalah D-dimer. Proses

ini dapat dilihatpada Gambar 1.

PATOFISIOLOGI KOAGU LASI INTRAVASKU LAR


DISEMINATA
Seperli telah disebutkan di atas, KID berhubungan dengan
kondisi klinis yang jelas, yang mendasari terjadinya KID

tersebut. Beberapa keadaan berikut ini berhubungan


dengan KID:

.
.
.
.
.
.
.
.

kelainan obstetri: emboli air ketuban, solusio plasenta,


retained fetus syndrome, eklamsia, abortus

.
.
.

fFPl

tissue factor

penyakit hati akut: ikterus obstruktif, gagal hati aktt


kelainanvaskular
penyakit autoimun
Pada solusio plasenta,jaringan atau enzim dari plasenta

dilepaskan ke dalam uterus dan sirkulasi sistemik,


menyebabkan aktivasi sistem koagulasi' Pada hemolisis,
adenosin difosfat (ADP) atau fosfolipoprotein membran
eritrosit mengaktivasi sistem koagulasi. Pada sepsis'
endotoksin mengaktivasi sistem koagulasi, merangsang

penglepasan sitokin tumor necrosis alpha (TNF-o),


interleukin (IL)-1, dan komplemen yang menyebabkan
gangguan/kerusakan endotel. Pada viremia, mekanisme
yang berkaitan dengan KID adalah reaksi antigen-antibodi,
sedangkan hepatitis virus yang berat dan gagal hati akut
dapat menyebabkan KID.
KID juga sering terjadi pada keganasan terutama
tumor padat. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
penekanan oleh tumor tersebut, faktor jaringan (tissue

factor) dan prokoagulan yang dilepaskan oleh

sel

hemolisis intravaskular: reaksi hemolisis transfusi,

tumor tersebut, atau melalui aktivasi sel endotel oleh


s itokin (lL - 7, v a s c ul a r e nd o t he I al g r ow th fac t orlVEGF,

hemolisis minor, transfusi masif

T].IF).

sepsis: Gram negatif (endotoksin) atau positif


(mukopolisakarida)
viremia: HIV, hepatitis, varisela, sitomegalovirus
metastasis kanker

leukemia: leukemia promielositik akut (APL/M3),


mielomonositik (M4)
lukabakar
cedera karena trauma (crush injuries) dan nekrosis
Jarrngan

trauma

Pada luka bakar, jaringan yang nekrotik dan


mikrohemolisis merupakan pencetus KID. Sedangkan pada
pasien dengan luka terbuka pada kepala atau menjalani

kraniotomi dapat terjadi KID yang dicetuskan oleh


fosfolipid dari otak.
Beberapa penyakit autoimun, kardiovaskular (termasuk

pemakaian protesa/katup jantung buatan), pembuluh

darah ginjal dan inflamasi berkaitan dengan KID


kompensata. Hal ini berkaitan dengan gangguan endotel
dan aktivasi faktor pembekuan.

t32t

KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA

GAMBARAN KL!NIS
Manifestasi klinis KID dapat berkaitan dengan peristiwa
KID itu sendiri, dengan penyakit yang mendasari, atau
keduanya. Perdarahan pada kulit seperli petekie, ekimosis,
dari bekas suntikan atau tempat infus atau pada mukosa,
sering ditemukan pada KID akut. Perdarahan ini juga bisa

masif dan membahayakan, misalnya pada traktus


gastrointestinal, paru, susunan saraf pusat atau mata.
Pasien dengan KID kronik umumnya hanya disertai sedikit

pemeriksaan serial merupakan petanda KID yang sensitif,


meskipun tidak spesifik. Terdapat sistem skor yang dibuat

oleh International Society on Thrombosis and


Haemostasis pada tahun 2001, yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis KID. Di Indonesia telah dibuat Konsensus
Nasional tatalaksana KID pada sepsis pada tahun 2001,
yang selain memuat sistem skor tersebut di atas. juga
memuat kriteria minimal untuk mendiagnosis KID pada
sepsls.

perdarahan pada kulit dan mukosa.

Trombosis mikrovaskular dapat menyebabkan


disfungsi organ yang luas. Pada kulit dapat berupa bula
hemoragik, nekrosis akral dan gangren. Trombosis vena
dan arteri besar dapat terjadi, tetapi relatifjarang. Disfungsi
organ akibat mikrotrombosis yang luas ini dapat berupa
iskemia korteks ginjal, hipoksemia hingga perdarahan dan
acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada paru
serta penurunan kesadaran. Disfungsi hati dengan ikterus
dilaporkan terdapat pada 22-517o pasien dengan KID.

DIAGNOSIS LABORATORIUM
Gambaran hasil pemeriksaan laboratorium pada KID sangat

bervariasi dan dapat dipengaruhi oleh penyakit yang


mendasari.'0 Pada pemeriksaan laboratorium dasar,
leukositosis sering ditemukan. Granulositopeniajuga dapat

terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang untuk

mengimbangi kerusakan neutrofil yang cepat.


Trombositopenia sering ditemukan yang dapat disebabkan

oleh: 1). kerusakan trombosit yang meningkat,


2). perlekatan trombosit pada endotel mikrovaskular dan
pembentukan mikroagregrat yang menyumbat kapiler, 3).
produksi sumsum tulang yang kurang dan 4). pooling yang
berlebihan pada limpa. Sedangkan anemia umumnya
disebabkan oleh perdarahan, pemendekan umur eritrosit
pada keadaan sepsis, gangguan hematopoiesis dan
hemodilusi pasca resusitasi cairan. Pada pemeriksaan
mikroskopik dapat ditemukan schistocytes, yang terbentuk
akibat interaksi eritrosit dengan fibrin.
Pemeriksaan hemostasis yang secara rutin dapat
dilakukan adalah : mas a protromb in Qtrothrombin time IPT) ,
masa tromboplastin parsial teraktivasi (acivated partial
thr o mb o pla s t in t ime I aPTT), D-dimer, antitrombin -III,
fibrinogen dan masa trombin, sedangkan pemeriksaan

fragmen protrombinl+2, fibrinopeptida A, fibrinogen


de

gradation product (FDP), platelet factor-4, tes protamin

dan reptilase tidak dilakukan secara rutin dan tidak selalu


dapat dilakukan di laboratorium rumah sakit.

Yang harus diingat adalah pemeriksaan koagulasi se-

rial umumnya lebih menolong daripada satu kali


pemeriksaan dalam mendiagnosis KID. Berkurangnya
jumlah trombosit atau memanjangnya PT dan aPTT dalam

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan utama KID terdiri dai2bagian, yaitu: 1).
segera mengatasi penyakit yang mendasari, dan 2.) tetapi
suportif yang agresif, termasuk mengatasi hipovolemia dan

hipoksemia. Pemahaman mengenai patofisologi dan


perjalanan penyakit yang mendasari atau pencetus KID
sangat diperlukan untuk penatalaksanaan yang logis dan
rasional.
Setelah mengidentifikasi dan mengatasi penyakit yang

mendasari, yang harus ditentukan adalah apakah


diperlukan substitusi faktor pembekuan dan apakah
pemberian heparin harus dipertimbangkan..Karena
penyebab dan manifestasi klinis yang sangat bervariasi,
terapi KID harus dipertimbangkan secara individual
berdasarkan usia, penyebab KID, Iokasi dan beratnya
perdarahan atau trombosis, keadaan hemodinamik saat itu
dan pengobatan penyakit yang mendasari. Jika kadar
fibrinogen, trombosit atau faktor pembekuan rendah dan

pasien mengalami perdarahan atau akan menjalani


prosedur invasif, pemberian faktor pembekuan seperti
kriopresipitat, plasma beku segar atau trombosit konsentrat
mungkin diperlukan. Pendapat yang mengibaratkan terapi
substitusi ini seperti 'menambah minyak ke api', secara
teori memungkinkan, meskipun temyata tidak terbukti baik
secara klinis maupun pada penelitian eksperimental. Jika

pasien memerlukan terapi substitusi denganltatpa


heparin, kadar trombosit dan fibrinogen harus diperiksa
30-60 menit setelah transfusi dan setiap 6 jam. Hal ini
diperlukan untuk menentukan apakah KID masih aktif dan
apakah masih diperlukan terapi substitusi.
Indikasi, dosis dan carapemberian heparin yang tepat
masih merupakan hal yang kontroversial. Jika terdapat
tanda-tanda trombosis seperli nekrosis kulit pada pupura
fulminan, iskemia akral atau kulit, atau tromboemboli vena,
terapi heparin merupakan indikasi. Beberapa kondisi di
mana terapi heparin mungkin diperlukan adalah: kematian
janin intra uterin yang teretensi (retained dead fetus

syndrome), hemangioma raksasa (Kasabach-Merritt


syndrome), aneurisma aorta, tumor padat dan APL.
Sedangkan pada keadaan-keadaan seperti sepsis, solusio

plasenta, emboli air ketuban, abortus septik atau


provokatus dan eklamsia/sindrom HELLP (H emobt s s,
i

t322

HEMATOI.OGI

Elevated Liver EnzTtme and Low Platelet) atau penyakit


hati, heparin secara umum tidak terbukti bermanfaat,

Bick RL. Disseminated intravascular coaguldtion. Cufient concepts

bahkan kadang-kadang dapat berbahaya. Jumlah dan cara

Hematology/oncology clinics of north America Thrombosis


and thrombophllia: diagnosis and managemefi. 2003]7:149/o.
Bick RL. Disseminated intravascular coagulation: a review of

pemberian heparin harus ditentukan berdasarkan


gambaran dan situasi klinis. Sebagai contoh, pasien
dengan emboli air ketuban dengan obstruksi pembuluh
darah paru akut, diberikan heparin 5.000 unit secara bolus
intravena, dilanjutkan dengan infus kontinu 1.000 unit per
jam. Tetapi pada APL dengan hipofibrinogenemia berat,
pemberian heparin bolus dan kontinu dalam jumlah sedang
atau besar dapat menyebabkan perdarahan intra serebral
yang fatal. Pada KID kronik, tidak diperlukan pemberian
heparin bolus dan cukup diberikan dosis 15 unit per kg

berat badan per jam dengan infus kontinu, dengan


penyesuaian dosis selanjutnya sesuai dengan respons
paslen.

Modalitas terapi Iainnya adalah antitrombin (AT)-I[


dan protein C. Pada KID yang disebabkan oleh sepsis,

kadarAl menurun karena konsumsi yang berlebihan dalam


proses koagulasi, sintesis yang menurun dan inaktivasi
oleh enzim elastase yang dilepaskan oleh neutrofil yang
teraktivasi. Berbagai penelitian mengenai pemberian AI

pada pasien

KID yang disebabkan oleh

sepsis

menunjukkan hasil yang bervariasi. Penelitian mengenai


terapi protein C yang teraktivasi (activated protein Cl
APC) menunjukkan berkurangnya mortalitas. Hasil ini juga

didapatkan pada pasien sepsis berat dengan risiko


kematian tinggi. Pemberian obat penghambat fibrinolisis

seperti EACA tidak diperbolehkan karena dapat


menyebabkan deposit fibrin yang luas di mikrosirkulasi
dan disfungsi atau gagal organ karena iskemia. Pemberian
penghambat trombin (direct thrombin inhibitor) terbukti
efektif pada binatang tapi belum terbukti pada manusia,
sedangkan terapi antibodi anti endotoksin tidak terbukti
memperbai ki surv ival pasien.

Aoki N, Marsuda T, Saito H, Takatsuki K, Okajima K, Takamatsu J,


et al. A comparative double-blind randomized trial of activated
protein C and unfractionated heparin in the treatment of
disseminated intravascular coagulation. Int J hematol.
5:5:540-1

treatment

etioiogy, pathophysiology, diagnosis, and management:


guidelines

for Clin Appl Thromb

Hemost. 2002;8(1):l-31.

Cicco MD. The prothrombotic state in cancer: pathogenic


mechanisms Crit rev oncol hematol. 2004:50:3:187-96.
Y Basson B, Brandt JT, et al.
Treatrnent effects of drotrecogin alfa (activated) in patients
with severe sepsis with or without overt disseminated intravascular coagulation. Thromb Haemost 2004;2:11:1921-33.
Dhainaut Jfl Yan SB, Cariou A, Mira JP. Soluble thrombomodulin,
plasma-derived unactivated protein and recombinant human
activated protein C in sepsis. Crit Care Med 2002130:5:S318Dhainaut JF, Yan SB, Joyce DE, Pettlla

24.
Folkman J, Browder T, Palmblad J Angiogenesis research: guidelines for translation to clinical application. Thromb Haemost
200 I :86:21-13
Fourrier F, Jourdain M, Tournoys A. Clinical trial results with antithrombin III in sepsis. Crit Care Med 2000;28:9:538-43
Fourrier F Recombinant human activated prorein C in the treatment of severe sepsis: an evidence-based review. Crit Care Med

200.1:32:l I :S534-.11

Goodnight SH, Hathauay WE Mechanisms of thrombosis and


hemostasis. Disorders

of hemostasis and thrombosis A clinical

guide 2"d edition. New York: The McGrau'-Hill: 2001 p 3-19


Levi M. Disseminated intravascular coagulaton: new concepts, new
controversies. Coagulation: consultative hemostasis. 2002 The

American society

of

hematology. Available from http:i/

I I 33 5. cited
1213t2005.
Levi M, Jonge Ed, Poll Tvd. CaLe HT- Novel approach to the management of disseminated intravascular coagulation Crit Care N,Ied

ww w. asheducationbook..org/cgi/content/full/2002/

2000:28:9:S20-.1

Mammen EF The haematolo_uical manifestations

of

sepsis.

Antimicrob Chemoth 1998;(suppt 4I):Al1-24


Marcus AJ. Platelet and their disorders. In: Ratnoff OD. Forbes CD.
editors. Disorders of hemostasis 3'd edition. Philadelphia:

W.B.Saunders; 1996;9 p. 19-131


Rodrigues JC, Fein AM. Diagnostic approach and clinical
manifestations of severe sepslis. In: Fein AM, Abraham EM,

REFEBENSI

2002:.'7

of etiology, pathophysiology, diagnosis, and

Bick RL. Disseminated intravascular coagulation. Culrent concepts


of etiology, pathophysiology, diaghosis and treatment. In: Bick
RL, guest editor Hematology/oncology clinics of norlh America.
Thrombosis and thrombophilia: diagnosis and management
2003:12:1:1 49-1 6.

Balk RA. Pathogenesis and management of multiple organ


dysfunction or failure in severe sepsis and septic shock. In: Balk
RA, Casey LC, editors Critical care clinics. Septic and septic
shocl<. Philadelphia: W.B. Saunders; 2000 p. 331-52.

Balk RA, Bernard GR, Bone RC, Dantzker DR, et al, editors
Sepsis and multiorgan failure Baltimore: Williams and Wilkins:
1991;23.

269-16

Ratnoff OD. Disseminated intravascular coagulation In: Ratnoff


OD, Forbes CD. editors. Disorders of hemostasis. 3'd edition.
Philadelphia: W.B.Saunders; 1996;9 p 259-95.
Seligsohn U. Dlsseminated intravascular coagulation. In: Beutler E,
Lichtman MA. Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U, editors Wi1liams hematology. 6'h edition New York: McGraw-Hi11; 2001
p. t611-95
Saito H. Normal hemostatic mechanisms. In: RatnofT OD. Forbes
CD, editors. Disorders of hemostasis. 3'd edition. Philadeiphia:
W.B.Saunders; 1996. p. 23-52.
Tambunan KL, Sudoyo AW, Mustafa I, Pudjiadi A, Chen K, Govinda
A, Sukrisman L, editors. Konsensus nasional tatalaksana KID
(DIC) pada sepsis 2001.

209
FIBRINOLISIS PRIMER
Boediwarsono

PENDAHULUAN

menyebabkan perdarahan berat dari lokasijejas vaskular.

Fibrinolisis primer merupakan sindrom fibrinolisis yang

terdapat sejumlah besar aktivator plasminogen dalam darah

berlebihan oleh karena adanya enzim fibrinolitik di dalam


sirkulasi seperli plasmin dan tissue plasminogen activaror (t-PA). Pengobatan dengan trombolitik mewakili contoh
yang umum dan ekstrim dari fibrinolisis primer. Penyebab
lainnya dari fibrinolisis primer sangat jarang. Sedangkan
fibrinolisis sekunder merupakan respons kompensasi dari
koagulasi intravaskular diseminata (KID), yang mungkin

atau pada permukaan fibrin, ketika terdapat kekurangan


penghambat fibrinolytic, atau ketika hati tidak mampu
membersihkan aktivator plasminogen atau plasmiri (Tabel
1). Enzim f,rbrinolitik yang beredar akan memecah trombus

Umumnya, proses fibrinolisis sistemik terjadi jika

yang terdapat dalam pembuluh darah, menghancurkan


fibrinogen dan faktor pembekuan darah lainnya, dan
menghambat fungsi trombosit (Gambar 1).

disebabkan oleh adanya berbagai penyakit lain yang


mendasari.
Contoh

Mekanisme

PATOFISIOLOGI

Ci rcu lati ng pl a sm

Sistem fibrinolitik berfungsi untuk membersihkan fibrin

in

ogen

Keganasan (contoh leukemia


promielositik akut)
Cardiopulmonary bypass

Penurunan kadar inhibitor


activator inhibitor-)

Penyakit hati
Amiloidosis
Penyakit herediter

Penurunan bersihan hati dari


plasmin, plasminogen
activators

Transplantasi hati orthotopic


End-stage liver disease
dengan hipertensi portal

yang tidak diperlukan dari lokasi vaskular atau


ekstravaskular dan ini merupakan pengaturan yang alami.
Setelah jejas vaskular, deposisi fibrin akan merangsang
pelepasan t-PA dari sel endotel yang terkena dan mungkin
juga dari jaringan lainnya yang berdekatan dengan bekuan

(o2-a ntipl a smi n, pl a sm i noge n

yang terbentuk. Aktivator plasminogen akan mengikat


rantai fibrin dan mengkonversi plasminogen menjadi
plasmin, dengan memecah fibrin dan membentuk soluble
fibrin degradation products (sFDP). Di bawah proses

fibrinolisis yang terkendali akan membatasi lokasi bekuan


fibrin yang dipecah. Ini disebabkan adanya netralisasi
plasmin bebas oleh a2-antiplasmin (a2-AP) dan

Pengobatan den gan ob at fi b rin

(PAI-

I).

sp e c

ifi

c thr om b o ly t i c

seperti t-PA, efek fibrinolitik akan terlokasir

pada
plasmin
sejumlah
mengurangi
permukaan fibrin, dengan
bebas dalam sirkulasi. Hal yang penting, obat fibrinspecific thrombolytic ini tidak dapat membedakan trombus
patologis dengan trombus normal dari sumbat hemostatik,
sehingga dapat timbul perdarahan akibat obat ini seperti
yang kita dapatkan akibat dari plasmin bebas di sirkulasi.

penghambatan t-PA oleh plasminogen activator


inhibitor-

Obat trombolitik

activator

Jika enzim hbrinolitik terlepas ke dal am

sirkulasi dalam bentuk aktif, maka mereka akan segera


dihambat oleh d2-AP dan dibersihkan oleh hati sebelum
proses fibrinolitik ini berkembang. Kadang-kadang,
sebagai akibat penyakit ini atau pemberian obat trombolitik,
prose fibrinolisis akan muncul yang cenderung dapat

t32

t324

HEMTfiIOIIOGI

arteri koroner akut, I 1 persen pasien dengan perdarahan,


3 sampai 4 persen dengan perdarahan serius, dan 0,5 persen

dengan perdarahan SSP. Resiko perdarahan meningkat


dengan adanya tindakan invasif yang dilakukan selama

,".

loqe

-cLLvaroro,.-*.

pLAsMr

Ii

.".",0 u,,

...*",

pemberian obat fibrinolitik atau jika pasien sudah memiliki


gangguan hemostatik sebelumnya. Perdarahan juga timbul
setelah pengobatan trombosis vena dalam, emboli paru,
atau penyakit oklusi arteri perifer dengan obat trombolitik.

DerekKoasuas

fo*,*"

Gambar 1. Defek hemostatik pada fibrinolisis Plasmin


menhancurkan circulating clot factors, mengganggu fungsi
thrombosit, dan melisis hemostatic plugs

GEJALA KLINIS
Perdarahan berat akibat fibrinolisis primer mungkin dapat
terjadi, khususnya jika pada pasien dengan operasi atau

I mengambarkan
sedikitnya ada 3 alasan timbulnya perdarahan:

Penyakit Hati
Pasien dengan penyakit hati lanjut akan mengalami
fibrinolisis sistemik. Hal ini disebabkan penLrrunan sintesa
a2-antiplasmin di samping juga bersihan hati dari enzim

fibrinolitik yang menurun pada kondisi ini. Banyak pasien


dengan penyakit hati stadium lanjut mempunyai nilai
laboratorium yang menyokong adanya fibrinolisis (sampai
dengan 40 persen mempunyai pemendekkan masa lisis
euglobulin (MLE)), perdarahan karena fibrinolisis mungkin
terjadi pada saat trauma atau operasi.

tindakan invasif lainnya. Gambar

Enzim fibrinolitik sirkulasi dengan cepat melisis bagian


hemostatic plugs yang berhadapan dengan darah,
sehingga semua defek vaskular, besar atau kecil, akan
mulai berdarah.
Plasmin akan menghancurkan fibrinogen, faktorV, dan

faktor

VIII,

Amiloidosis
Fibrinolisis sistemik kronik mungkin san_eat jarang terjadi
pada pasien dengan penyakit amiloidosis. Adsorpsi
penghambat fibrinolitik seperti a2-antiplasnt ln pada fibril
amiloidosis, serta peningkatan kadar aktivator plasminogen, mungkin bertanggung jawab pada defek hemostatik.

sehingga mengganggu pembentukkan

fibrin.
Gangguan fungsi trombosit terjadi oleh karena adanya
defek agregasi yang diinduksi oleh FDP, dan defek

.adesi akibat gangguan interaksi antara faktor von


Willebrand-glikoprotein Ib yang diinduksi oleh
plasmin.

klinis, fibrinolisis mungkin dicurigai pada pasien


dengan luka (contohnya pada lokasi penyuntikan) yang
Secara

sebelumnya perdarahan berhenti menj adi merembes kembali


(ooz.e). Perdarahan hampir dapat terjadi di semua tempat,

namun khususnya prominen pada tempat trauma atau


operasi. Perdarahan SSP yang bersifat merusak Iebih sering

pada pasien dengan fibrinolisis sistemik berat (contoh


pemberian 150 mg t-PA pada TIMI II trial) daripada pasien
dengan defek pembentukkan fibrin (contoh hemophilia A)
atau disfungsi trombosit (contoh trombositopenia < 5000/
uL).

Pengobatan Trombolitik
Pemberian infus akti vator plasminogen seperli streptokinase, urokinase, atau t-PA akan melisiskan bekuan pada
arteri koronaria atau pembuluh darah lainnya yang buntu.
Sebagai konsekuensi, resiko perdarahan akan meningkat
pada pasien yang menerima pengobatan trombolitik. Pada

TIMI trial (Thrombolysis In Myocardial Infarction),


pemberian t-PA intravena untuk pengobatan sumbatan

Keganasan
Pasien leukemia promielositik akut cenderung
menimbulkan fibrinolisis sistemik dibandingkan koagulasi
intravaskular diseminata. Sel leukemia dapat membuat
aktivator plasminogen (urokinase dan tissue n^pe'), dan

bila masuk ke sirkulasi akan menginduksi keadaan


fibrinolitik. Kultur dari sel leukemia promielositik akut yang
diinduksi oleh asam retinoat menunjukkan diferensiasi sel
ini menjadi bentuk sel mieloid dewasa, menurunkan
aktivitas faktor jaringan sel leukemia, namun perluasan
dari enzim fibrinolitik selular masih tetap ada. Karsinoma
prostat dan keganasan lainnya dapat juga menimbulkan
fibrinolisis sistemik.

Card iopu I m on a ry By pass


Pembedahan kardiovaskular dengan sirkulasi
ekstrakorporeal akan meningkatkan aktivitas fibrinolitik,
khususnya dari pergeseran darah mediastinum. Meskipun
secara in viyo, autotransfusi darah ini tidak merangsang
timbulnya fibrinolisis sistemik berat. Pengobatan pasien
dengan penghambat fibrinolitik pada saat pembedahan
akan mengurangi kehilangan darah yang terjadi.

Tindakan Pembedahan Lainnya


Adanya fibrinolisis lokal pada area prostat merupakan
faktor predisposisi terjadinya perdarahan segera dan

I325

FIBRINOIJSIS PRIMER

tertunda pada pasien yang dilakukan pembedahan urologi.


Di dalam urin danjaringan traktus genitourinarium terdapat
banyak aktivator plasminogen .

Proses

Uji Abnormal

Ci rcu I ati ng pl asm in oge n

Euglobulin lysis time


Aktivitas t-PA
Kompleks plasmin-antiplasmin

activators or plasmin

Kondisi Herediter
Pasien dengan defek herediter cr2-AP maupun PAI- 1 j arang
dilaporkan dengan perdarahan serius.

LABORATORIUM
Pada Tabel 2 terdapat beberapa uji laboratorium yang
mengalami gangguan pada fibrinolisis sistemik. Masa lisis

Proteolisis faktor
pembekuan oleh plasmin

PT

APTT
Fibrinogen
Faktor V dan Vlll

Defek fungsi trombosit

Waktu perdarahan

Lisis fibrin

D-Dimer
TCT

Konsumsi reaktan fibrinolitik

Plasminogen
a2-antiplasmin
Pl asm i n activ ator

euglobulin menggambarkan adanya plasmin yang


bersirkulasi atau aktivator plasminogen, suatu uji standar

i n h ib

itor-

untuk penyaringan kelainan hemostatik yang merefleksikan

adanya defisiensi faktor pembekuan dan disfungsi


trombosit, dan uji FDP yang berguna untuk menilai adanya

proses proteolisis fibrinogen atau fibrin. Masa lisis

PENGELOLAAN

euglobulin dikerjakan dengan membuat bekuan dari plasma

yang bebas penghambat fibrinogen dalam tabung uji.

Meskipun tidak selalu memungkinkan, pengobatan

Kemudian diamati setelah 60 menit untuk menilai kecapatan


lisis bekuan. Karena uji ini cukup sensitif, maka uji positif

penyakit dasar yang bertanggung jawab atas timbulnya


koagulopati merupakan pendekatan yang terb"aik saat
ini. Sebagai contoh, pengobatan leukemia promielositik
akut dengan menghilangkan sel-sel yang membuat
aktivator plasminogen. Jika timbul perdarahan selama

(lisis terjadi <60 menit) tidak menggambarkan bahwa


perdarahan klinis yang terjadi oleh karena fibrinolisis
sistemik. Immunoassctys berguna untuk menilai kompleks
plasmin-antiplasmin (PAP). Selama pengobatan trombolitik,

pengobatan trombolitik, penghentian infus seharusnya

kadar PAP menggambarkan pembuatan plasmin, meskipun


asay ini belum dilakukan di laboratorium klinis secara

dilakukan karena waktu paruh obat trombolitik ini


sangat singkat (5 sampai 30 menit) dan mereka cepat

rutrn.
Kadar o2-AP yang rendah merupakan indikator adanya
fibrinolisis ekstensif. u2-AP memiliki afinitas yang tinggi
dengan plasmin, sehingga adanya plasmin bebas hanya

hilang dari sirkulasi.

terjadi setelah a2-AP habis dikonsumsi. Adanya 2 1tM


plasminogen dalam plasma akan diikat oleh 1 pM o2-AP.
Jadi, jika lebih dari separuh plasminogen akan di konversi
menjadi plasmin, seluruh a2-AP akan dikonsumsi dan
plasmin bebas akan timbul dalam darah.
Konsentrasi fibrinogen yang masih bertahan, berguna
sebagai petunjuk beratnya proses fibrinolisis yang terjadi,
dengan catatan kita telah menyingkirkan penyebab
hipofibrinogenemia yang lainnya. Fibrinolisis sistemik
berat biasanya dikaitkan dengan kadar fibrinogen yang
turun, sebagai contoh kadar fibrinogen yang turun dari
350 menjadi 100 mg/dl atau bahkan lebih rendah lagi
setelah pengobatan trombolitik jangka pendek dengan
streptokinase pada trombosis arteri koroner akut. Satu
pertimbangan yang dilakukan pada pengukuran kadar
fibrinogen pada setting pengobatan dengan trombolitik
aktif adalah tabung koleksi darah seharusnya berisi
penghambat spesifik untuk aktivitas fibrinolitik guna

mencegah fibrinolisis in'

vitro

dan kadang-kadang

dikelirukan dengan kadar fibrinogen yang rendah.

Jika fibrinolisis sistemik yang timbul ringan dan


kronis, maka pengobatan dengan anti-fibrinolitik khusus
tidak diperlukan. Sebagai contoh, pasien dengan
penyakit hati lanjut dan masa lisis euglobulin yang
pendek tanpa perdarahan. Meskipun fibrinolisis yang
terjadi lebih berat dan terdapat perdarahan, penggantian
dengan produk darah guna mengkoreksi defek koagulasi
dan trombosit sering diperlukan. Transfusi plasma beku

segar yang berisi faktor pembekuan dan u2-AP,


kriopresipitat yang berisi fibrinogen dan faktor VIII, dan
transfusi trombosit akan membantu mengkoreksi defek

fungsi trombosit. Pada akhirnya, pengobatan antifibrinolitik dengan epsilon-aminocaproic acid alau
asam traneksamat mungkin dapat menolong pada
beberapa pasien, nafnun hati-hati oleh karena
kemungkinan timbulnya risiko komplikasi trombosis.
Sering sulit untuk membedakan fibrinolisis primer dan
sekunder. Pada fibrinolisis sekunder, sebenarnya proses
fibrinolisis ini bersifat protektif. Pengobatan trombolitik
pada kasus dengan komplikasi perdarahan harus hati-

hati, pertimbangkan beratnya risiko re-trombosis


koroner atau miokard dibandingkan beratnya
perdarahan.

t326
REFERENSI
Bevan DH et al . Cardiac bypass haemostasis : puffing blood through

the mill. Br J HaematoL 1999;104:208


Bovill EG et al . Hemorrhagic events during therapy with recombinant tissue-type rlasminogen activator, heparin, and aspirin for
acute myocardial infarction. Results of the Thrombolysis in

Myocardial Infarction (TIMI) Phase II trial. Ann Intern


Med.1997l, ll5:256
Collen D . The plasminogen (fibrinolytic) system. Thromb Haemost.

1999;82:259
Del Zoppo GJ . Thrombolytic therapy in the treatment of stroke.

Drugs. 1997;54:9O
Handin RI . Disorders of coagulation and thrombosis. In : Harrison's
principles of internal medicine. l6th edition. Vol 1. McGrawHill, New York. 2005.p. 680-7

HEMITIOI.OGI

Nielsen JD et al . Postoperative blood loss after transurethral


prostatectomy is dependent on in situ fibrinolysis. BrJ

Urol.l997; 80:$89
Stump DC et al. Pathologic fibrinolysis as a cause of clinical
bleeding. Semin Thromb Hemost. 1990;16'.260
Tallman MS . The thrombophilic state in acute promyelocytic
leukemia. Semin Thromb Hemost.l999;25:209
Tracy RP, Bovill EG . Fibrinolytic parameters and hemostatic
monitoring: Identify-ing and predicting patients at risk for major
hemorrhagic events. Am J Cardiol.l992;69:52A
Williams EC Plasma 62-antiplasmin activity. Role in the
evaluation and manage-ment of fibrinolytic states and other
bleeding disorders. Arch Intern Med. 1989;149:1169.

2to
GANGGUAN HEMOSTASIS
PADA SIROSIS HATI
Karmel L. Tambunan

PENDAHULUAN
Salah satu komplikasi yang sering dijumpai pada sirosis

hati adalah perdarahan. Komplikasi perdarahan bisa


bervariasi dari yang paling ringan seperti ekimosis sampai

yang paling berat dan mengancam nyawa misalnya


perdarahan saluran cerna bagian atas. Beratnya perdarahan,
erat hubungannya dengan gangguan hemostasis, sedang

gangguan hemostasis biasanya ada hubungannya dengan


gangguan fungsi hati (De Groote, 1984).
Angka kejadi gangguan hemostasis pada sirosis hati
berbeda dari satu pusat klinik ke pusat yang lain tetapi
angka kejadian perdarahan yang memerlukan transfusi pada
pasien sirosis hati adalah 32% (Spector dan Corn, 1967).
Di Indonesia, Reksodiputro menemukan kelainan hemostasis sebanyak 78,517o pada sirosis hati dan 65,55Vo
di antaranya disertai dengan gejala klinis perdarahan.
Sulaiman menemukan manifestasi perdarahan pada sirosis
hati, melena

6,2, hematemesis

0, 6

%, pe r dar ahan glusi 27

Perdarahan berulang ditemukan pada child A 1 kasus


(5,56Vo), pada child B 4kasus (8,l6Ea), pada child C 17
kasus (37,04%).
Dari sini terlihat bahwa insiden perdarahan bbratnya

perdarahan dan perdarahan berulang sangat erat


hubungannya dengan beratnya penyakit menurut
kJasiflkasi Child.
Gangguan hemostasis pada sirosis hati sangat kompleks'
Patogenesis gangguan hemostasis ini dapat digolongkan
dalam beberapa kelompok berikut:
. Gangguan sintesis faktorpembekuan dan antikoagulan
. Defisiensi bersihan hati (hepatic clearance deficiency)

.
.
.

Trombositopenia
Pembentukan faktor pembekuan yang abnormal
Gabungan antara kelainan tersebut di atas

Berbeda dengan negara Barat sirosis hati terbanyak


disebabkan alkohol.

Vo

dan epistaksis 13,2% (Sulaiman, 1990).Tambunan


melaporkan dari 121 sirosis hati 75 kasus (6l,9Vo)mengalwru
perdarahan. Perdarahan saluran cerna bagian atas dijumpai
pada 46 kasus (38.01 Vo), 3 kasus (l 6,67 Vo) p ada c hild A, 1 6
kasts (32,65Vo) pada childB, sisanya 27 kasus (50%) pada

GANGGUAN SINTESIS FAKTOR PEMBEKUAN


Semua faktor pembekuan diproduksi di dalam hati, kecuali

VIII yang diduga diproduksi dalam endotel pembuluh

darah. Berdasarkan sifat, kebutuhan akan vitamin K, faktor

childC. Perdarahan karena ruptur esofagus dijumpai pada


child A 1 kasus (5,57o) child B 5 kasus (10,20Vo) dan child

pembekuan dibagi dalam tiga kelompok yaitu:

C 19 kasus (35,18Vo).
Perdarahan gusi dan atau epistaksis dijumpai pada40
kasus sirosis hati (32,23Vo), pada child A 1 kasus (5,5%),
pada child B 15 kasus (30,617o), pada child C 24 kasus

Bergantung pada Vitamin K


Vitamin K berfungsi sebagai koenzim dalam

(44,tA%o).

Ekimosis dan atau hematoma ditemukan pada child A


I kasus (5,5Vo),childB 8kasus (16,337a),childC 6kasus
(l1,ll%o).

proses

pembentukan F II, F VII, F IX dan F X. Sebagaimana sudah


dijelaskan sebelumnya vitamin K berperan pada tahap akhir
pembentukan faktor pembekuan tersebut yaitu pada tahap
karboksilasi asam gamma glutamat. Tanpa vitamin K, akan
terbentuk faktor pembekuan yang tidak sempurna dan tidak

t327

t328
berfungsi baik. Faktor pembekuan yang tidak sempurna
ini bahkan dapat bersifat seperti antikoagulan. Bila terjadi
defisiensi vitamin K maka faktor pembekuan yang pertama
kurang ialah faktor VII karena paruh umurnya 4-1 jam,
kemudian F IX, lalu F X dan terakhir F II.
Tambunan melaporkan kadar faktor pembekuan yang
tergantung vitamin K pada sirosis hati berbeda bermakna
bila dibandingkan pasien sirosis hati child A child B child
Cdan kelompok normal. Prevalensi defisiensi faktor II
ditemukan l2%o dari 120 pasien birosis hati.Yaitu terdiri
dari defisiensi faktor II pada child A 3 kasus (16,617o),
childB 32 kasus (65,31Ea), child C 52 kasus (99,17Vo).
Defisiensi faktor VII ditemukan 42 kasus (.35Vo) dari 120
kasus dan tidak ditemukan pada child A, sedangkan pada
child B 13 kasus (26,53Ea) sedangkan child C 29 kasus
(54,12Ea). Defisiensi faktor IX ditemukan pada78,37o (94
dari 120 kasus) yaitu pada masing-masing kelompok, pada
childA8 kasus (44,447o),padachildB 39 kasus (19,59Ea)
dan child C 47 kasus (88,69Eo). Defisiensi faktor X,
ditemukan 13,3Eo (88 dari 120kasus) yaitu pada masingmasing kelompok, yaitu child A6 kasus (33,337o), childB
3 6 kasus ('7 3,41 7o), dan p ada c hild C 46kasus (8 6,7 9 7o ).
Vitamin K yang terdapat dalam tubuh berasal dari
makanan, terutama sayuran hijau dan dari hasil sintesis
bakteri usus. Defisiensi vitamin K dapat terjadi oleh karena
kurang tersedia dalam makanan, gangguan absorbsi dan
pada penyakit hati. Pada penyakit hati obstruksi, defisiensi
vitamin K terjadi akibat berkurangnya garam empedu yang
diperlukan untuk absorbsi vitamin K. Pemakaian obat
kolesteramin untuk menghilangkan gatal pada penyakit
hati obstruksi, akan memperberat defisiensi vitamin K
karena kolesteramin mengikat garam empedu. Pasien
sirosis hati yang mendapat antibiotika dalam waktu yang
lama (lebih dari 14 hari) dapat menyebabkan gangguan
sintesis vitamin K oleh usus yang terlihat dari masa
protrombin yang memanjang. Defisiensi faktor pembekuan

yang bergantung vitamin K pada sirosis hati, umumnya

terganggu karena kemampuan sintesis hati yang


berkurang, tetapi gangguan sintesis faktor II, VII, IX dan
X, kadang-kadang diperberat oleh adanya defisiensi vitamin K. Tambunan melaporkan pemberian vitamin K oral
pada sirosis hati pada child C tidak ada manfaat, pada

child A darl child B tidak konklusif dan memerlukan


penelitian lebih lanjut.
Walaupun pemberian vitamin K pada sirosis hati
hasilnya mengecewakan, beberapa peneliti masih
menganjurkan pemberian vitamin K pada sirosis hati.
Robert menganjurkan pemberian vitamin K pada pasien
yang akan menjalani biopsy hati yang disertai dengan masa

protqombin memanjang. Pada penderia sirosis hati yang


disertai ikterus berat dan perdarahan dianjurkan untuk
mencoba memberikan vitamin K 10 mg intravena atau
intramuskular selama 3 hari.
Kadar faktor pembekuan dapat menentukan beratnya

sirosis hati. Perdarahan spontan dan kematian, erat

HEIUIIiIOI.OGI

hubungannya dengan kadar F II yang kurang dari 20Vo.


Dilaporkan kadar F VII menurun baik pada sirosis hati
alkoholik maupun pada sirosis hati yang bukan alkoholik.
Faktor VII merupakan faktor pembekuan yang paling peka
terhadap defisiensi vitamin K. Respons yang gagal
menaikkan F VII atau memendekan masa protrombin
terhadap pemberian vitamin K pada penyakit insufisiensi
hati berat merupakan tanda prognosis buruk. Pada sjrosis
hati dekompensasi, umumnya tidak ada respon kenaikan F
VII terhadap pemberian vitamin K. Untuk menentukan
sirosis hati dekompensasi atau tidak, yang didasarkan atas
respons kenaikan faktor pembekuan terhadap pemberian
vitamin K, pemeriksaan kadar F VII lebih peka daripada
masa protrombin. Pada penyakit hati menahun, F VII juga
merupakan peramal yang baik untuk menentukan pasien
mana yang akan mengalami perdarahan berat (Manucci,
1970).

Faktor IX juga berkurang pada sirosis hati. Bila masa


tromboplastin parsial memanjang diserlai kadar F IX kurang
dari 357o merupakan petanda prognosis buruk (Spector
dan Corn, 1967) dan terlebih lagi bila disertai dengan
respons gagal terhadap vitamin K (Donaldson et al, 1969).
Faktor X, sama seperti F II, F VII dan F IX juga berkurang
pada sirosis hati tetapi kurang sering dievaluasi seperti
faktor yang lain (Spector dan Corn, 1967). J:uga dilaporkan
pada sirosis hati kadar faktor pembekuan dapat berkurang
karena keluar dari plasma darah dan masuk ke dalam
komparlemen ekstravaskular (Straub, 1977).

Kelompok Fibrinogen

V F VIII dan F XIII


dikelompokkan dalam fibrinogen atas dasar BM>300.000

Faktor pembekuan fibrinogen, F

dalton dan untuk pembuatannya tidak memerlukan


vitamin K. Pada sirosis hati yang stabil sering ditemukan
fibrinogen menurun atau masih normal. Penurunan kadar
fibrinogen pada sirosis hati dapat terjadi karena konsumsi
koagulopati, fibrinogenolisis yang berlebihan dan sintesis
yang berkurang. Selain karena kadar fibrinogen berkurang
pada sirosis hati sering juga dibentuk fibrinogen yang
abnormal yang disebut disfibrinogen. Tambunan pada
tahun 1993 melaporkan kadar fibrinogen juga menurun
sesuai dengan tingkat beratnya penyakit merrurut child
hanya kadar fibrinogen pada child A dan B berbeda tidak
bermakna, sedangkan antaru child A dan child C, dan child
B dan child C.berbeda bermakna. Defisiensi fibrinogen
ditemukan 54,177o (65 dari 120 kasus) dan pada masingmasing kelomp okpada childA 2 kasus (ll ,llVo) child B 24
kasus (48,98%), dan child C 39 kasus (7 3,58Vo).

Faktor V sering menurun pada penyakit hati kronis.


Bila kadar F Y 20-50Vo sering terjadi perdarahan spontan
atau perdarahan dengan prognosis yang buruk. Faktor V
juga penting dalam menilai fungsi hati berat pada stadium
akhir. Bila F V persisten kurang dari 507o merupakan
petanda prognosis yang buruk. Defisiensi fibrinogen dan

t329

GANGGUAN HEMOSTASIS PADA SIROSIS HATI

F V, biasanya ditemukan pada penyakit hati berat atau pada

stadium akhir. Tetapi kedua faktor pembekuan inijuga bisa


berkurang apabil a terj adi fibrinolisis primer atau koagulasi
intravaskular diseminata (KID).
Faktor VIIIC dan VIII.vW tidak disintesis dalam hati.

Asalnya tidak diketahui dengan pasti tetapi diduga di


endotel pembuluh darah. Faktor VIIIR.Ag disintesis dalam

yang beredar di dalam darah melebihi daya bersihan hati


maka prokoagulan ini akan mengaktilkan sistim pembekuan
dan menyebabkan pembekuan intravaskular diseminata.
Walaupun masih ada faktor lain yang berperanan dan turut
menentukan terjadinya fibrinolisis dan KID, tetapi bersihan
hati merupakan salah satu faktor yang terpenting.

endotel hati danjaringan lain. Pada sirosis hati yang stabil


F VIIIC sering meningkat walaupun tidak setinggi seperti
pada nekrosis hati akut. Bila pada sirosis hati kadar F VIIIC

FIBRINOLISIS

kurang dari 1007o maka perlu dicurigai ada konsumsi

Hiperfibrinolisis atau fibrinolisis yang berlebihan sudah

koagulopati akut.
Faktor XIII merupakan petunjuk yang baik untuk

lama dikenal pada sirosis hati. Fibrinolisis yang berlebihan


ini ditandai dengan masa lisis euglobulin yang memendek
dan hasil degradasi fibrinogen yang meningkat. Untuk

meramalkan kematian pada sirosis hati dan hepatitis. Pasien


biasanya meninggal bila kadar F XIII kurang dari 35Vo dan
disertai kadar plasminogen kurang dari 197o.

Faktor Pembekuan Kontak


Faktor XI, F XII, prekallikrein dan KBMT bisa berkurang
pada sirosis hati karena gangguan produksi. Prekallikrein
adalah yang pertama terlihat menurun pada sirosis hati.
Faktor kontak tidak memperlihatkan sesuatu nilai ramalan
pada sirosis hati yang stabil. Penurunan kadar F XII
biasanya terjadi bersamaan dengan penurunan kadar albumin darah.

fibrinolisis yang berlebihan dengan


fibrinolisis sekunder yang terjadi pada KID, beberapa
penulis menyebut hiperfibrinolisis dengan istilah
membedakan

fibrinolisis primer atau hanya disebut fibrinolisis saja.


Patogenesis fibrinolisis pada sirosis hati masih
kontroversial. Dikemukakan ada 2 teori penyebab
llbrinolisis (l) kemampuan hati melakukan bersihan
terhadap aktivator plasminogen berkurang, sehingga plasmin meningkat di dalam plasma, dan (2) sintesis alamiah
yaitu antiplasmin a2 berkurang.

Pada pasien sirosis hati, fibrinolisis primer bisa


meningkat dalam sirkulasi plasma dengan manifestasi
perdarahan dari mukosa lambung dan robekan esofagus.

ANTIKOAGULAN
Sebagaimana sudah dikemukakan, selain protein C masih
ada antikoagulan yang lebih kuat yaitu AT III. Berbeda
dengan protein C, sintesis AI III tidakmemerlukan vitamin
K. Peranan AI III dalam penyakit hati penting. Protein C
dan AT III erat hubungannya dengan fungsi sintesis hati

pada sirosis hati dan penyakit hepatitis menahun.


Pemberian AT III pada sirosis hati dapat meningkatkan
kadar fibrinogen karena mengurangi aktivitas intravaskular
koagulasi serla memperbaiki parameter pembekuan. Pada
sirosis hati AI III dapat berkurang disebabkan gangguan
sintesis. Tambunan melaporkan kadarAT III kelompokA,
B dan C dan kelompok normal berbeda bermakna bila
dibandingkan baik kelompok child A dengan kelompok
normal, child A dengan child B, child B child C.

DEFTSIENSI BERSIHAN HATI (HE?AT|C CLEARANCE

DEFtCtENCn
Selain memproduksi faktor pembekuan, hati juga berfungsi

untuk membersihkan zat aktivator maupun prokoagulan


yang beredar di dalam darah. Bila zat aktivator yang beredar
di dalam tubuh melebihi daya bersihan hati, aktivator akan

mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin dan


menyebabkan terjadinya fibrinolisis. Apabila prokoagulan

Fibrinolisis lokal mungkin berperanan penting dalam


memperberat perdarahan pada mukosa lambung yang terus

berlangsung. Tetapi pada sirosis hati stabil juga bisa


ditemukan fibrinolisis tanpa diserlai gej ala perdarahan. Hal

ini mengundang keinginan untuk mengetahui bagaimana


hubungan attara fibrinolisis dengan pasien yang
mengalami perdarahan.

Analisis masa euglobulin sebagai prediktor pada pasien

SH 68 kasus dengan perdarahan dan 40 kasus tanpa


perdarahan tidak terbukti masa lisis euglobulin dapat
digunakan untuk memprediksi perdarahan sedangkan
kadar D-Dimer dapat dipakai sebagai prediktor perdarahan.

KOAGU LASI INTRAVASKU LAR DISEMINATA


Walaupun pada mulanya KID diragukan pada sirosis hati,
namun bukti hasil penelitian selanjutnya menghilangkan
keraguan tersebut.
Masalah ini timbul karena gambaran hemostasis pada
sirosis hati sangat mirip dengan KID. Tetapi dengan
ditemukannya bukti aktivitas trombin dan plasmin yang
merupakan ciri khusus dari KID masalah tersebut dapat

teratasi. Aktivitas trombin terlihat dari meningkatnya


fibrinopeptida A, sedang aktivitas plasmin terlihat dari
kenaikan D-Dimer. Ada beberapa faktor yang berperanan
dalam proses terjadinya KID pada sirosis hati. Tambunan

L330

HEM'IilOI.oGI

melaporkan D-Dimer meningkat pada 59,487o kasus secara


bermakna dan dalam analisis selanjutnya ditemukan bahwa
D-Dimer > 2000, dapat merupakan prediktor perdarahan.

D-Dimer untuk menegakkan diagnosis KID pada sirosis


hati. Karena D-Dimer adalah hasil degradasi dari ikatsilang
fibrin maka D-Dimer hanya positif pada trombosis atau
KID (Can 1989a).

Penurunan Kemampuan Bersihan Hati


Zat toksis yang ada dalam usus melalui vena porta akan
masuk dalam sirkulasi darah. Dalam keadaan normal zat
toksis ini akan dibersihkan oleh hati. Pada sirosis hati
kemampuan untuk membersihkan zat toksis ini kurang,
sehingga zat toksis tersebut akan mengaktifasi proses
pembekuan darah dan terjadi KID.
Pen ing

katan Tromboplastin

Pada sirosis hati sel hati yang mengalami nekosis dapat

berperan sebagai tromboplastin dan mengaktivasi sistem


pembekuan. Pembekuan intravaskular yang terjadi oleh
karena diaktifkan oleh tromboplastin paling jelas terlihat
pada hepatitis fulminan.

TROMBOSITOPENIA
Frekuensi trombositopenia pada sirosis hati cukup tinggi
yaitl3T -77V0. Penyebab trombositopenia pada sirosis hati

bermacam-macam, dapat karena hipersplenisma, KID,


alkohol, Selain karena trombositopenia perdarahan pada
sirosis hati dapat terjadi akibat gangguan fungsi trombosit
yang disebabkan HDF yang meningkat.
Berbeda dengan laporan sirosis hati di negara Barat,
Tambunan melaporkan dari 120 kasus sirosis hati, hanya
13 kasus (lO,83Vo). Perbedaan ini kemungkinan disebabkan
penyebab sirosis hati yang berbeda yaitu di negara barat
adalah karena alkohol sedangkan di Indonesia sirosis hati
disebabkan karena infeksi virus hepatitis.

Stasis Sistem Porta


Pada pasien sirosis hati sering ditemukan hipertensi porta,

Pada hipertensi porta terdapat bendungan yang

PEMBENTU KAN FAKTOR PEMBEKUAN YANG AB.

mengakibatkan hipoksia sel endotel pembuluh darah.


Hipoksia sel endotel pembuluh darah menyebabkan

NORMAL

dilepaskannya aktivator yang merangsang sistem


pembukuan darah.
Uji klinis yang dikemukakan sebagai bukti bahwa KID

ada pada sirosis hati antara lain pemberian heparin


memperlihatkan perbaikan uji laboratorium KID yang

terlihat dari kenaikan fibrinogen dan trombosit.


Fibrinopeptida A yang meningkat pada sirosis hati
berkurang setelah pemberian heparin menunjukkan bahwa
pada sirosis hati terjadi pembentukan trombin intravaskular.
Pemberian heparin dosis rendah pada sirosis hati selama
operasi elektif yang menunjukkan perbaikan fagositosis
dan fungsi katabolik sistem retikulo endotelial, dapat
menerangkan perbaikan hasil laboratorium karena bersihan

Pada sirosis hati dapat terjadi pembentukan fibrinogen


yang tidak normal yang disebut disfibrinogenemia. Fibrinogen yang abnormal ini mengandung asam sialat yang
tinggi. Kadar fibrinogen pada disfibrinogenemia bila diukur
dengan cara pemeriksaan immunologis atau cara presipitasi
hasilnya normal. Tapi pemeriksaan masa trombin akan
memanjang. Ini akibat gangguan polimerasi fibrinogen.
Masa trombin yang memanjang karena disfibrinogenomia
ini dapat dikoreksi dengan memberikan neuromidase
karena mengikat asam sialat.

GABUNGAN ANTARA BEBERAPA KELAINAN

substansi toksis dan fragmen faktor pembekuan.


Meskipun heparin berguna pada pe.natalaksanaan KID,

HEMOSTASIS

tetapi pada nekrosis hati akut masih dipertanyakan, karena


walaupun hasil laboratorium menunjukkan perbarkan tetapi
tidak jelas menurunkan mortalitas.

Pada sirosis hati sering dijumpai gabungan beberapa


kelainan hemostasis seperti defisiensi faktor pembekuan
yang disertai dengan fibrinolisis primer atau pembekuan
intravaskular diseminata. Yang sering menjadi masalah
ialah membedakan antara fibrinolisis primer yang
disertai dengan trombositopenia di satu pihak dengan
defisiensi faktor pembekuan yang disertai dengan

Minna pada tahun 7974 mengemukakan kriteria


laboratorium definitif pada sirosis hati untuk membedakan
anlata gangguan hemostasis disertai KID dan tanpa
disertai KID, yaitu pada SH yang disertai KID ditemukan
fibrinogen rendah kurang dari l25mg%o, masa protrombin
sangat memanjang lebih dari 25 detik, trombosit kurang

dari 50.000/mm3 dan respon positif terhadap pemberian


heparin.
Tetapi banyak peneliti lain kurang menyetujui kriteria

trombositopenia di satu pihak dengan defisiensi faktor


pembekuan yang terjadi karena KID. Masalah ini
sekarang dapat diatasi dengan tersedianya pemeriksaan

D-Dimer yang dapat membedakan antara

tersebut, dengan alasan hemostasis pada sirosis hati

fibrinogenolisis dan fibrinolisis. Hal ini sangat penting


dari segi klinis karena pengobatannya sangat

sangat kompleks mengemukakan pentingnya pemeriksaan

berbeda.

1331

GANGGUAT{ HEMOSTASIS PADA SIROSIS HATI

SIROSIS HATI

Beta blocker. Propanolol mengurangi perdarahan gastrointestinal karena menurunkan tekanan vena porta.

Tindakan yang harus dilakukan pada pasien sirosis hati

Keuntungan lainnya akibat sirkulasi pada vena porta yang


berkurang, menyebabkan aktivitas fibrinolisis mukosa

PENATALAKSANAAN PERDARAHAN PADA

dengan perdarahan ditujukan untuk menghentikan


perdarahan dan mengembalikan volume darah. Untuk
mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan melalui
pendekatan medikamentosa dan bedah.

Iambung juga berkurang.

Terapi sklerosing (skleroterapi). Tujuan terapi sklerosing


adalah menghentikan perdarahan dengan cara menyuntikan
sklerosan pada varises osofagus (Terblance et al, 1981;

Paquet dan Feussner, 1985). Selain menghentikan

Medikamentosa
tansfusi darah atau komponen darah.

Transfusi darah
dan plasma beku segar merupakan pilihan pertama untuk

mengatasi perdarahan pada sirosis hati yang bukan


masalah beclah. Walaupun demikian transfusi darah atau
komponen darah pada sirosis hati tidak selalu memberi
hasil yang diinginkan, Finkber pada tahun 1959, melaporkan
transfusi darah segar dapat menghentikan perdarahan.
Sebaliknya Spector melaporkan transfusi darah segaLr malah
dapat memperberat perdarahan.

Konsentrat kompleks protrombin dan plasma beku


segar dilaporkan mempunyai efektifitas yang tinggi dalam
mengatasi perdarahan pada sirosis hati. Konsentrat AT III
juga dilaporkan bermanfaat mengatasi perdarahan pada

sirosis hati. Tambunan melaporkan transfusi plasma beku


segar dengan dosis rata-rata l5 ml/kgBB dapat rnenaikkan
secara bermakna faktor I[, VII,tX, X.

Heparin. Pemberian heparin pada sirosis hati dengan


perdarahan masih kontroversial. Pertentangan ini timbul
disebabkan oleh hal yang dijelaskan sebelumnya yaitu
adanya keraguan KID pada sirosis hati. Minna pada tahun
1974, melaporkan bahwa ia berhasil mengatasi perdarahan

KID dengan
memberikan heparin 5000-7500 U tiap 4-6 jam. Pengobatan
dengan heparin pada si"iosis hati yang disertai koagulasi
intravaskular derajat rendah menaikkan kadar fibrinogen,
plasminogen dan memperbaiki masa protrombin. Fischer
pada tahun 1973 menganjurkan pemberian heparin pada
sirosis hati dengan perdarahan karena terbukti memperbaiki
faktor pembekuan.
Walaupun pemberian heparin pada sirosis hati dengan
perdarahan terbukti memperbaiki faktor pembekuan, tetapi
banyak yang kurang setuju karena alasan tidak terbukti
menurunkan mortalitas.
Tambunan melaporkan pemberian heparin 10 menit
sebelum transfusi plasma beku segar dibandingkan dengan
tanpa memberikan heparin pada pasien dengan sirosis hati
di sertai asites dan D-Dimer positif , kadar
fibrinogen meningkat secara bermakna pada pasien yang
pada sirosis hati yang disertai dengan

mendapat heparin.

Antifibrinolisis. Epsilon amino caproic acid (EACA),


memperlihatkan beberapa keuntungan, tetapi sekarang
tidak dianjurkan karena risiko terjadinya trombosis tinggi.
Antifibrinolisis lainnya seperti asam traneksamat dapat
diberikan bila ada fibrinolisis.

perdarahan darurat terapi ini j uga dapat dipakai mencegah


perdarahan jangka parijang (Mac Dougal et al, 1982).

Balon tamponade (SB Tube). Balon tamponade


dipergunakan pada perdarahan varises yang masif. Balon
tamponade bekerja dengan cara mekanik yaitu menekan
langsung pembuluh darah varises yang robek (Terblance
et al, 1 98L; Fleig et al 1983),

Operasi
Tujuan operasi adalah untuk menghentikan atau mencegah
perdarahan (Tabak et al 1982). Tindakan bedah dapat
berupa pintas porta sistemik (Spleno renal shunt) atalu
transeksi esofagus.

REFERENS!
Aster RH. 1966. Pooling ofplatelets in the spleen: role in the
pathogenesis of "hypersplenic thrombocytopenia". J Clin lnvest 45:645-57.

Biland L, Duckert F, Prisender S et al. 1978. Quantitative Estimation of Coagulation Factors in Liver Disease, The Diagnostik
and Prognostic Value of Factor XIII, Factor V and Plasminogen. New Eng J Med 305,242-8.
Bloom AL. 1975 Intravascular coagulation and the liver. Br J
Haematol. 30:l -7.
Bloom AL.1975. Intravascular coagulation and the liver. Br J
Haematol. 30: I -7.
Corrigan JJ. 1981. Diagnosis and Therapy of Coagulopathies in
Patients with Liver Disease, Contemp Anesth Pract,

4:l-li

Clark R, Rake MO, Flute PT, et al. 1973. Coagulation Abnormalities in Acute Liver Failure: Pathogenetic and Therapeutic Implications. Scand J Gastro enteroi 8: (Suppl.19):63-70.
Carr JM. 1989b Disseminated Intravascular Coagulation in Cirrhosis. Hepatology 10,103-10.
Cowan DH, Hine JD. 1971. Thrombocytopenia in severe alcoholism. Ann Intern Med 74, 34-43.
Cowan DH. 1980. Effect of alcoholism on hemostasis Semin

Hematol 11:137-47
Consensus Conference. 1985. Fresh Frozen Plasma JAMA.
253:551-3.
Corrigan JJ. 1981. Diagnosis and Therapy of coagulopatjies in patients with liver disease. Contemp Anesth Pract,4:1-11.
Cordova C, Musca A, Violi F, et al. 1982. Improvement of some
blood coagulation factors in cirrhotic patients treated with low
doses of heparin. Scan J Haematol;29:235-40'
Coccheri S, Manucci PM, Palareti G et al. 1982. Significance of
plasma fibrinopeptida A and high molecular weight fibrinogen
in patients with liver cirrhosis. Br J Haematol, 52:503-9.

1332

HEMANOIPGI

Capel P. 1984. Platelet involvement in the hemostatic failure of


liver disease In hemostatic failure in liver disease, Thijs O dan
Fondu P, Editor. Martinus Nijhoff Publisher, Boston;69-80.
Cooney D, Smith A. 1978. The pathophysiology of hipersplenic
thrombocytopenia. Arch Intern Med I2l:332-'7.
Coleman M, Finlayson N, Bettygole RE, et al. 1975. Fibrinogen
survival in cirrhosis: Improvement by "Low Dose" heparin.
Ann Intern Med.:83:79-81.
De Groote J. 1984 Introduction. In Haemostasis Failure in Liver
disease. Fondu P dan Thijs O. Martinus Nijhoff Publisher. 1-4.
Deutsch E. 1965. Blood Coagulation Changes in Liver Disease
Prog Liver Dis. 2:69-93.
Donaldson GWK, DavieSH, Darg A, et a1. 1969. Coagulation
Factors in Chronic Liver Diseases. J Clin Pathol, 22:199-204.

Fletcher AP, Biederman O, Moore D, et al, 1964. Abnormal


Plasminogen-plasmin System Activity (fibrinolisis) in Patients
with Hepatic Cirrhosis : Its cause and consequences. J Clin Inevst,
43:68 1 -95

Francis CW dan Marder VJ. Mechanism of fibrinolysis in


Hematology. Williams et al. MCGraw Hill Publishing
company.1313-21.
Feinstein DI. 1982. Diagnosis and management of disseminated
intravascular coagulation : the Role of heparin therapy. Blood
:60:284-'7.
Fischer M, Gauss P, Korp W, et al 1973. Heparin therapy in the
case od acute liver cinhosis. Scand j Gastroenterol 8 (Suppl 19):
135-8.
Finkbiner RB, McGovem JJ, Goldstein R, et al. 1959. Coagulation
defects in liver disease and response to transfusion during
surgery Am J Med, 26:199-213.
Fleig WE, Stange EF, Reuttenaueur K, et al. 1983. Emergency
endoscopy slerotherapy for bleeding esophageal varices: a

prospective study

in patients not responding to

ballon

tamponade. Gastrointest endosc 29,8-14.


Green G, Dymock IW, Poller L, Thompson JM, et al 1976. Factor
VII as a marker of Hepatocellular Synthetic Function in Liver
Disease. J Clin Pathol . 29:971-5.
Green G, Poller L, Thompson JM, et al. 1977. Association of
abnormal fibrin polymerization with liver disease. Gut;18:90912.
Green G, Poller L, Thompson JM, et al. 1977. Association of
abnormal fibrin polymerization with severe liver disease.
Gut; I 8:909-12.
Grossi C, Rousselot L, Panke W. 1962 Coagulation defects in
patients with cirrhosis of the liver undergoing porta systemic
shunts. Am J Surg, 104:512-26.
Hallen A, Nilsson IM.1964. Coagulation Studies in Liver Disease.

Thromb Diath Haemorrh 11:41.


Herold R, Straub PW.1973. Acute Hepatic Necrosis of Hepatitis and
Mushroom Poisoning. Helv Med Acta 37:5-24
Jacobson RJ, Wagner S, Weinberg R, et al. 1971. Bleeding complications in the fulminant hepatitis. Lancet, 2:1426.
Koller F. 1973. Theory and Experience Behind the Use of
Coagulation Tests in Diagnosis and Prognosis of Liver Disease.
Scand J Gastreoenterol, 8 (Suppl), 19:51-61.
Kupfer HG, Gee W, Ewald AI et al. 1964 Statistical Correlation of

Liver Function Tests with Coagulation Factor Deficiencies in


Laennec's cirrhosis. Thromb Diathes Haematol, 11:317-31.
Karpathin S, Freedman ML. 1978. Hipersplenic thrombocytopenia
differentiated from increased peripheral destruction by
platelet. Ann Intern Med 89:200-3.
Lord JW, Andrus W de W. 1941. Differentiation of Intra Hepatic
and Extra Hepatic Jaundice. Response of the Plasma Prothrom-

bin to Intramuscular Injection of Menadione (3-methyl-1.4


Napthoquinon) as a Diagnostic Aid. Arch Intern Med 68. 199-

2t0.
Laursen B, Mortensen JZ, Frost L et al. 1981. Disseminated
Intravascular Coagulation in Hepatic Failure Treated with
Antithrombin IIL Thromb Res,22:1 0l -1 04.
Lahnborg G, Berghem L, Lagergen H, et al. 1976. Effect of
low-dose heparin on the phagocytic and catabolic function of
the reticuloendothelial system in man during surgery. Ann Chir
Gyn,65:376-81.
Lechner K, Niesser H, Thaler E. 1911 . Coagulation abnormalities
in liver disease. Sem Thromb Hemostas,4:1:40-56.
Langley P, Hughes R, Williams R. 1982. Platelet adhesiveness to
glass beads in liver disease. Acta Haemat. 67:124-7.
Linderbaum J, Hargrove R 1968. Thronrbocytopenia in alcoholic.
Ann Intern Med 68:526-32

al. 1977. Acquired


dysfibrinogenemia in acute and chronic liver disease. Br J
Haematol 35.301-8.
Lebrec D, Poynard T, Hillon P, et al. 1981. Propanolol for
prevention of recurrent gastrointestinal bleedings in patients
with cirrhosis. N Eng J Med, 305l.7311-14.
Lane DA., Scully MF, Thomas DP, et

Manucci PM. 1970 Estimation of Prothrombin in Liver Disease J


Clin Pathol 23:291-5.
Mindrum G. Glueck HI 1959. Plasma Prothrombin Time in Liver
Disease: Its Clinical and Prognosis Significance. Ann Intern
Med 50:1370-84.
Mason fW and Colman RW. 1971. The Role of Hageman Factor in
Disseminated Intravascular Coagulation Induced by Septicemia,
Neoplasia or Liver Disease. Thrombos Diathes Haemorrh,

26:325-37.
Manucci L, Diguardi N, DelNinno E, et al, 1973. Value of Normotest
and antithrombin III in the Assessment of Liver Function. Scand
J Gastroenterol , 8 (Suppl 19):103-7.
Mosser KM, Hajjar GC. 1966 Age and Disease-related alterations in
Fibrinogen-euglobulin (fibrinolytic) Behaviour. Am J Med Sci,

251.:536-44
Minna JD, Robboy SJ, Colman RW. 1974. Liver disease in DIC. In
Disseminated intravascular coagulation in man. Springfield, I1Iinois, Charles C Thomas. 160-6.

Maisonneuve P, Sultan Y. 1977 . Modification of Factor VIII


Complex Properties in Patients with Liver Disease J Clin Pathol,
30:221-1 .
Martinez J, MacDonald KA, Palasoak JE. 1983 The role of sialic
acid in the dysfibrinogenemia assoclated with liver disease:
Distribution of sialic acid on the constitutive chains. Blood

6l:1196-201.
Masure R. 1984. Strategies for rational haemotherapy. In
Haemostatic Failure in Liver Disease., Thijs O dan Fondu P.
Martinus Nijhoff Publisher, Boston;162-168.
MacDougal BRD, Westaby D, Theodossi A, et al. 1982. Increased

long-term survival in variceal hemorrhage using injection


sclerotherapy. Lancet 1,124-'7.

Manucci PM, Franchi F, Dioguardi

N. 1976. Correction of

abnormal coagulation in chronic liver disease by combine use of


fresh frozen plasma and ptothrombin complex concentrates.

Lancet,2:542-5.

Nanji AA, Blank DW. l983.Clinical Status as Reflected in


Biochemical Tests on Patients with Chronic Alcoholic Liver
Disease.

Clin Chem. 29:992-3.

Oka K dan Tanaka K.1979. Local fibrinoysis of esophagus and


stomach u, u .urr" of hemorrhage in liver cirrhosis. Thromb
Res, l4:837-44.

1333

GANGGUAT{ HEMOSTASIS PADA SIROSIS HATI

Palasoak JE, Martinez

1977. Dysfibrinogenemia associated with

liver disease. J Clin Invest. 60:89-95.


Poller L. 1977. Coagulation Abnormalities in Liver Disease. In
Poller, L (ed): Recent Advances in Blood Coagulation 2"d ed
London , Churcill Livingstone.
Penny R, Rozenberg MC, and Firkin BG. 1966, The Splenic platelet
pool. Br J Haematol 21 , I-16.
Pallasoak JE, Martinez

l.

1977. Dysfibrinogenemia associated with

liver disease J Clin Invest. 60:89-95.


Paquet KJ, Feusner H.1985. Endoscopic sclerosis and esophageal
ballon tamponade in acute hemorrhage from esophagogastric
varices. Prospective controlled randomized trial. Hepatology

5,580-3.
Reksodiputro AH, Djoerban Z, Muthalib

A. dkk. 1978. Kelainan

Hemostasis pada Sirosis Hati. Kumpulan Naskah Ilmiah


Simposium Nasional Penyakit Hati Menahun. Pang RTL dkk.
Ediror'.216-82.
Ratnoff OD. 1984. Hemostatic Defect in Liver and Billiary Tract
Disease In Disorders of Hemostasis.Ratnoff OD and Forbes

CD

Grune

&

Stratton,Inc :451-72

Al. 1912. The Liver and Blood


Coagulation. : Physiology and Pathology Gastro Enterol.

Roberts HR and Cederbaum


63:297 -320.

Rock W. 1984. Laboratory assessment of coagulation in liver


disease. Clin Lab Med:4:479-42
Roberts HR, dan Cederbaum AI. 19'72. The Liver and blood
coagulation: Physiology and pathology. Gastro enterol, 63:297320.
Sulaiman A 1990. Virus Hepatitis B, Sirosis Hati dan Karsinoma
Hepatoselular (Kumpulan Naskah Ilmiah dalam rangka tesis)
139-s8.
Sherlock S, Alpert L.1965. Bleeding in Surgery in Relation to Liver
Disease. Proc R Soc Med, 58, 257-9

Straub, PW.1977. Diffuse Intravascular Coagulation in Liver


Disease. Thromb Hemost 4,29-39.
Shearer MJ, McBumey A, Breckenridge AM, et al. 1977. Effect of
Warfarin on the Metabolism Phyloquinone (vitamin K): Dose
relationship in Man. Clin Sci and Mol Med 52.621-30.
Shearer MJ, Allan V, Haroon Y, et a1. 1980. Nutritional Aspect of
Vitamin K in the Human.In Suttie (ed). Vitamin K Metabolism
and Vitamin K Dependent Protein. Univ Park Press. Baltimore.
317.

of Several Coagulation Tests in


Evaluation of the Risk of Bleeding, in Hemostatic Failure in
Liver Disease, Thijs O dan Fondu P Martinus Nijhoff Publisher.

Samama m.1984. The Significance

Boston:8 1 -93.
Soria J, Soria C. 1984. Abnormalities of Fibrin Formation in Severe
Hepatic Diseases, in Hemostatic Failure in Liver Disease, Thijs
O, Fondu P. Martinus Nijhoff Publisher. Boston : 52-68.

Prydz H. 1977. Vitamin-dependent clotting factors. Semin


Thromb Hemostas.4: 1 1-4.
Straub PW. 1977 Diffuse Intravascular Coagulation in Liver
Disease.Thromb Hemos 4, 29-39.

I, Best C. 1989. Protein-C and antithrombin III are the Best


Coagulation Markers for Decreased Liver Synthesis in Liver
Cirrhosis and CAH. Abstract. Thrombosis and Hemostasis. XII'h

Scharer

Congress of the International Society on Thrombosis and


Haemostasis, Tokyo, Japan. 215 (882).
Schipper HG ten Cate JW. 1982. Antithrombin III transfusion in
patients with hepatic cirrhosis. Br J Haematol;52:25-33.

I dan Corn M.196'7. Laboratory Tests of Hemostasis. The


Relationship to Hemonhage in Liver Disease. Arch Intern Med.

Spector

l19:517 -82.
I, Com M , Ticktin HE. 1966. Effect of plasma transfusion
on the prothrombon time and clotting factors in liver disease.
N Eng J Med,275:1032-'7
Sirinek KR, Levine BA. 1988. High-dose vasopressin for acute
variceal; hemorrhage. Arch Surg 123:876-80
Tambunan.1993. Gangguan Hemostasis pada Sirosis Hati dan Saran
Penatalaksanaanya di Indonesia. Disertasi Balai Penerbit FKUI.
Tucker JS, Woolf IL, Boyes BE, et aI. 1973. Coagulation Studies in
Acute Hepatic Failure. Gut, 14:418.
Tytgat G, Collen D, de Vreker RR, Verstraete M. 1968. Investigation on the fibrinolytic system in liver cir-rhosis. Acta Haematol
Spector

40:265-14.
Sherman IA. 1982. DIC in Massive Transfussion. Prog Clin
Biol Res, 108, 171-89.
Thomas DP. 19'72. Abnormalities of platelet aggregation in
patients with alcoholic cirrhosis. Ann NY Acad Sci, 201:24350.
Tabak C, Eugene J, Juler GL, et al. 1982. Upper Sastrointestinal
hemorrhage in cirrhosis: timing and indications for active
intervention. Am J gastroenterol,'17 :947 -8.
Terblanche J, Yakoob HI, Bordas JM, et al. 1981. Acute bleeding
varices. A five -years a prospective evaluation of tamponade
and schlerotherapy. Ann Surg.521 -30.

Thomas DP. 1912. Abnormalities of Platelet Aggregation in


Patients with Alcoholic Cirrhosis. Ann NY Acad Sci, 201:243'
50.

Tytgat GN, Collen D, Verstraete M. 1971. Metabolism of


fibrinogen in cinhosis of the liver, J Clin Invest;50:1690-701.
Verstraete M, Vermylen, J, dan Collen D. 1974. Intravascular
coagulation in liver disease. Ann Rev Med,25:447'55
van Outryve M, Baele G DeWeerdt GA et al. 1973. Anti Haemophilic
Factor A (F VIII) and Serum Fibrin-fibrinogen Degradation
Products in Hepatic Cirrhosis. Scan J Haematol, 11:48-152.
van Vliet ACM, van Vliet HHDM, Dzoljic-Danilovic G et al. Plasma
Prekallikrein and Endotoxemia in Liver Cirrhosis. Thrombosis
Haemostas, 45:65-7.
Verhaeghe R, Van Damme B, Mol1a A, et al. 1972. Dysfibrinogenemia
associated with primary hepatoma. Scand J Haematol, 9:451-8.
Veltkamp JJ, and Kreuning

J. 1973 The Diagnostic

Value of

Coagulation Studies in Chronic Liver Disease. Scan J Gastroenterol,S

(Suppl. 19):93-5.
Walsh WD, Losowosky MD.1971. The Hemostatic Defect of Liver
Disease. Gastro enterol, 60. 108-19.

2tt
GA,NGGUAN HEMOSTASIS
PADA DIABETES MELITUS
Andi Fachruddin Benyamin

PENDAHULUAN
Penyandang Diabetes Melitus (DM) tipe 2 telah terbukti
memiliki risiko untuk mengalami kelainan kardiovaskular

yang jauh lebih tinggi dibanding populasi normal.

Komplikasi vaskular dapat berupa mikrovaskular


(pembuluh darah mata, ginjal dan saraf) dan/atau
makrovaskular (pembuluh darah jantung, otak dan arteri

menghentikan perdarahan pada lesi vaskular. Monolayer


sel endotel yang ruptur membuka struktur sub endotel,
menyebabkan adhesi dan aktivasi trombosit pada lokasi
ruptur, dan secara simultan faktorjaringan yang terpapar
dan menyebabkan aktivasi faktor koagulasi yang dimulai
dengan pembentukan fibrin. Trombus merupakan agregasi

trombosit dan fibrin, menghentikan perdarahan dan


membentuk sikatrik. Proses fibrinolisis, yang terjadi

perifer). Kelainan mikro dan makrovakular ini dapat

secepat pembentukan

meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyandang DM.


Aterosklerosis dapat terjadi lebih cepat pada penyandang
DM. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa jauh
sebelum terdiagnosis DM tipe 2,balk pada fase glukosa
darah puasa terganggu (GDPT) maupun pada toleransi
glukosa terganggu (TGT), sebenarnya telah berlangsung
berbagai bentuk perubahan yang pada gilirannya akan
menyebabkan peningkatan risiko tersebut, Sekitar 80Vo dai,
penyandang DM meninggal akibat komplikasi trombotik.

trombus dan kembali diserap pembuluh darah.Hemostasis


adalah suatu fenomena kekuatan lokal, dengan pengerasan
lokal sendiri, tetapi diatur oleh beberapajalur penghambat
yang membatasi perluasan trombus. Beberapa perubahan

Faktor risiko tradisional, seperti hipertensi, kadar high


density lipoprotein (HDL) yang rendah, meningkat pada
penyandang DM tipe 2 dan toleransi glukosa terganggu

DIABETES

GC,T).

Patogenesis terjadinya kelainan kardiovaskular pada


penderita DM tipe 2 bersifat multifaktorial sebagai akibat
dari berbagai faktor antara lain faktor-faktor metabolik,

oksidasi/gliko-oksidasi, disfungsi sel endotel, inflamasi,


dan gangguan trombosis atau fibrinolisis. Disini hanya
akan dibahas pada gangguan hemostasis yang terjadi pada
penyandang DM tipe 2.

SISTEM HEMOSTASIS
Hemostasis adalah proses fisiologis yang bertujuan untuk

fibrin, menyebabkan destruksi

dalam keseimbangan antara aktivasi dan inhibisi


menyebabkan kelainan pada perdarahan atau trombosis.

GANGGUAN PENGATURAN HEMOSTASIS PADA

Telah lama diketahui bahwa pada penderita diabetes


melitus, terutama DM tipe 2, terdapat keadaan yang disebut
kondisi protrombotik, dimana lebih mudah timbul trombosis
dibanding keadaan fisiologis normal. Kondisi protrombotik

menunjukkan adanya abnormalitas baik pada aktivasi


trombosis maupun fibrinolisis. Salah satu penyebab dari
kedua abnormalitas tersebut adalah resistensi insulin,
hiperglikemia dan inflamasi. Selain itu, pada DM tipe 2
ditemukan bukti adanya perubahan dari berbagai faktor
yang berperan pada faal hemostasis.
. Peningkatan Kadar Fibrinogen, Kadar fibrinogen yang
meningkat akan menyebabkan agregasi trombosit dan
perubahan reologik serta bekuan yang kaya akan
fibrin. Banyak penelitian pada DM tipe 2 melaporkan

t334

1335

GAI{GGUAN HEMOSTASIS PADA DIABETES MELITUS

peningkatan kadar fibrinogen. Pada pasien DM tipe 2


didapatkan penekanan fibrinolisis yang disebabkan

oleh peningkatan kadar Plasminogen Activator


Inhibitor-l (PAI-1). Penurunan aktivitas fibrinolitik
trombosit mengakibatkan penurunan deposit fibrin dan
perubahan pada komponen-komponen dari pembuluh

darah. Kadar PAI-1 meningkat pada pasien-pasien


resistensi insulin yang obes, seperti pada pasien DM
tipe 2 dan pada kisaran normal pada pasien DM tipe 1.
Kadar plasma PAI-1 berhubungan dengan indeks massa
tubuh, Iemak viseral, tekanan darah dan kadar plasma

,
,

insulin, trigliserida, small dense LDL, dan... kolesterol


I{DL.
PeningkatanAktivitasFaktorVll,Terjadi sebagai akibat
adanya hiperlipidemia post-prandial.
Ekspresi Plasminogen Aktivator Inhibitor-1 yang
berlebihan, Adanya perubahan ini telah dibuktikan
terjadi baik pada penderita DM tipe 2, resistensi
insulin, maupun hiperinsulinemia. Hal ini diduga sebagai
akibat efek langsung dari insulin dan pro-insulin.
Sebagaimana telah diketahui, insulin akan merangsang
sintesis PAI-1. Selanjutnya peningkatan

PAI-l dalam

darah akan menyebabkan penghambatan aktivitas


fibrinolisis. Menurunnya kadar PAI-1 pada penderita
t2DM setelah pemberian terapi dengan obat golongan
tiazolidindion memperkuat bukti peranan resistensi
insulin sebagai penyebab.
Peningkatan Agregasi Trombosit, Telah terbukti bahwa
pada penyandang DM tipe 2 diperlukan dosis asam

asetil salisilat yang lebih tinggi untuk mencegah


terjadinya agregasi trombosit dibanding pada non-

diabetes. Masih belum dapat dipastikan apakah faktor


glukosa sendiri atau gangguan metabolik penyerta yang
merupakan penyebabnya.
Penurunan Kadar Urokinase pada PlakAterosklerotik.

Peningkatan PAI-1 baik dalam plasma maupun pada


plak tak hanya berakibat rendahnya migrasi sel otot polos

(smooth muscle cell) vaskttlar, tetapi juga akan

menyebabkan penurunan ekspresi urokinase pada dinding


pembuluh darah serta plak.
P adafibrous c ap y ang tipis,berlangsungnya proteolisis
dibagian bahu dari plak (oleh karena aktivasi sel limposit
T dan makrofag) dapat mempermudah terjadinya ruptur
plak serta sindrom koroner akut seperti angina pektoris
tidak stabil maupun infark miokard akut'

REFERENSI
Eckel RH, Wassef CM, Chait A et al, AHA Conference Proceedings.

VI: Diabetes and Cardiovascular


Disease,Pathogenesis of Atherosclerosis in Diabetes'
Circulation, 2002, 105-109.
Juhan-Vague I, Alessi MC, Vague P. Increased plasma Plasminogen
Activatorlnhibitor-1 levels : a probable link between insulin
resistance and athero- thrombosis. Diabetologia, 1991:34:457
Prevention Conference

462.

Minamikawa J, Yamanouchi M, Inoue D et al. Another potential use


of troglitazone in non-insulin dependent diabetes mellitus. J
Clin Endocrinol Metab, 1998 : 83 :1041-1042.
Schneider DJ, Sobel BE.Diabetes and Thrombosis in Johnstone
MI,Veves A Eds, Diabetes and Cardiovascular Disease, Totowa NJ,
Humana Press, 2001.

Sobel BE, Woodcock-Mitchell J, Schneider DJ et al : Increased


Plasminogen Activator Inhibitor type 1 in Coronary Artery
Atherectomy Specimens From Type 2 Diabetic Compared With
Nondiabetic Patients. A Potential Factor Predisposing to
Thrombosis and Its Persistence, Circulation, 1998 : 9'7:2213'

222t.
Sobel BE

Increased Plasminogen Activator Inhibitor-1 and

Vasculopathy,

A Reconcilable Paradox, Circulation, 1999 :99 :2496-2498.


Sobol AB, Watala C. The role of platelets in diabetes-related
vascularComplication. Diabetes Res Clin Pract. 2000 :50
16.

EFEK ADANYA KEADAAN PROTROMBOTIK PADA

PENYANDANG DIABETES

ELITUS

Keadaan protrombotik yang terjadi pada penyandang DM

tipe 2 berperan dalam dua hal penting yaitu pada


patogenesis terj adinya aterosklerosis yang progresif, serta
timbulnya kejadian koroner akut(acute coronary events).

: i-

212
KONDI SI HIPERKOAGULABILITAS
Hilman Tadjoedin

PENDAHULUAN

olehAnti Trombin III (AT III), Protein C (PC) dan Protein S


(PS). Pada Tabel 2 diperlihatkan beberapa penyebab
hypercoagulable states kongenital.
Hal yang menarik pada keadaan ini adalah pada saat
ditegakkan diagnosis, 507o kelompok ini tidak menunjukkan

Pada tahun 1860, Virchow mengusulkan teori tentang


patogenesis terjadinya trombus yang melibatkan: sel
endotel, aliran darah, dan kondisi hiperkoagulabilitas.
Saat ini risiko terjadinya trombosis diduga dapat

gejala 4danya trombosis.Terdapat kecenderungan


meningkatnya perbedaan antara populasi yang
menunjukkan gejala dengan yang tidak menunjukkan
gejala, pada kelompok umur, tetapi20-307o kelompok ini

diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu: genetik,


lingkungan, dan faktor didapat. Keadaan di atas memicu
berkembangnya teori two hit ata:u multihit sebagai risiko
independen terjadinya trombosis. Pada perkembangan
berikutnya, faktor genetik dan atau didapat diperberat

tetap tidak menunjukkan gejala.

dengan beberapa faktor risiko, yaitu: imobilisasi, inflamasi,


rokok, terapi hormon dan lain sebagainya.
Resistensi protein Cteraktivasi
Defisiensi alfa-makroglobulin
Antibodi
Defisiensi

antikardiolipin
antitrombin
Disfibrinogenemia
Faktor V leiden
Defisiensi/ekses faktor V
Ekses faktor Vll
Ekses faktor Vlll
Ekses faktor Xl
Defisiensi kofaktor ll heparin

DEFINISI
Hypercoagulable states merupakan keadaan kongenitaU
didapat yang telah diketahui atau dicurigai berhubungan
dengan hipereaktivitas sistem koagulasi dan atau
perkembangan ke arah tromboemboli.
Manifestasi klinis kelainan ini adalah: meningkatnya
kejadian trombosis, yang muncul pada usia muda,
trombosis familial, dan trombosis di lokasi yang tidak lazim
(di vena otak).
Menurut penyebab hypercoagulable states, dibagi
menjadi 3 kelompok: kondisi kongenital, hiperkoagulabel
didapat, gabungan

Hiperhomosisteinuemia
Hiperflbrinogenemia
Antikoagulan lupus
Ekses PAI-I
Defisiensi plasminogen
Defisiensi protein C
Defisiensi protein S
Protrombin G2O210A
Defisiensi tPA
Defisiensi TFPI
Defisiensi Trombomodnuli

P Al-1 =plasminogen activator i nhibitor-1 ; TFPI=tissue factor


pathway inhibito,: tPA=trssue plasminogen activator

1
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

HY PEBCOAG U LAB LE STATES KONGENITAL

Bentuk kelainan ini terutama (607o perryebab tersering)


adalah resistensi protein C teraktivasi (APC resistance)l
kelainan genetik padap oint of mutation (faktor V Leiden)
dan berkuran gny a natural anticoagulan, yang diperankan

1336

Resistensi Activated Protein C (APC reslstance)


Defisiensi Anti Trombin lll (AT lll)
Defisiensi Protein C (PC)
Defisiensi Protein S (PS)
Gangguan pada ko-faktor ll heparin
Disfibrinogenemia
Kombinasi gangguan (PC + APC resrstance + PS)
Gangguan pada sistem fibrinolisis
Hiperhomosisteinemia

t337

KONDISI HIPERKOAGULABILITAS

Protein C Teraktivasi
Dengan ditemukannya faktor V Leiden, maka identifikasi
terhadap pasien dengan riwayat keluarga yang memiliki
kecenderungan trombosis menjadi lebih besar. Dahlbiick
dkk melakukan pengamatan terhadap resistensi protein C

pada sekelompok populasi dan menyimpulkan bahwa


pasien dengan trombofilia familial yang berhubungan

dengan gangguan pada

titik mutasi tingkat

genetik

(genetic point of mutation), yattr pada perubahan posisi

tunggal

padaposisi

506, akan menyebabkan aktifnya resistensi faktor V Leiden

terhadap antikoagulan alamiah, yaitu APC (autoantibodi


APC). Selain hal di atas, secara hipotesis, resistensi APC
diakibatkan oleh defisiensi PS dan gangguan faktor VIII
atau V pada tempat pembelahan APC. Ciri khas kelainan

.
.
.

Tipe I: kadar antigen dan aktivitas PC rendah.


Tipe II: kadar antigen PC normal, tetapi berkurang
aktivitasnya.
Tipe III: kadar antigen PC berkurang dan aktivitasnya
rendah.

Defisiensi Protein S (PS)


Protein S merupakan glikoprotein plasma (berat molekul
84000 D) yang juga disintesis di hati dan sel endotel. PS
merupakan kofaktor PC aktif dan membentuk kompleks
dengan ikatan protein C4b. Di dalam plasma PS dapat
bersifat bebas atau berikatan dengan protein C4b, tetapi
hanya bentuk PS bebas saja yang aktif. Hingga saat ini,
klasifikasi gangguan PS belum dapat dipastikan.

ini adalah respons yang buruk terhadap antikoagulan.


Bentuk gangguan ini adalah abnormalitas faktor V (faktor
V Leiden), yang didapat pada15-307o kasus trombosis.

Defisiensi AntiTrombin lll (AT lll)


AI merupakan glikoprotein plasma (berat molekul:58.000
D), yang disintesis di hati dan sel endotel. Fungsi AT

Faktor lXa

(+faktorVllla)

adalah menghambat trombin, faktor Xa, lXa, XIa, XIIa serta


plasmrn dan kalikrein. Fungsi AI menjadi lebih aktif dengan

bantuan heparin atau mukopolisakarida yang mirip


heparin, yang terdapat pada permukaan sel endotel.
Defisiensi AI merupakan kelainan autosom dominan,

bentuk heterozigot dapat menjadi risiko terjadinya


trombosis vena. Padapopulasi umum, prevalensi defisiensi
AI adalah 1: 2000 sampai dengan 1: 5000.

Untuk penggunaan praktis, gangguan pada AT


dikelompokkan menj adi :
. Tipe I delisiensi murni.
. Tipe II abnormalitas AL
. Tipe III, gabungan tipe I dan II.

Manifestasi tersering kejadian trombosis pada bentuk


gangguan koagulasi ini adalah trombosis vena dalam,
emboli paru, trombosis splanknik, di samping tercatat pula

Gambar 1. Jalur antikoagulan fisiologis: AT lll menghambat Trombin


(F lla) dan F Xa, APC mendegradasi ko{aktor Va dan Xa, flssue
factor pathway inhibitor (TFPI) menghambat kompleks F Vlla.

Gangguan pada Heparin Ko-faktor ll


Heparin kofaktor II (HC II) merupakan glikoprotein plasma

dengan berat molekul 65.000

D, yang berfungsi

menghambat aktivitas trombin. Reaksi di atas diperkuat


dengan adanya heparin dan dermatan sulfat.

beberapa angka kejadian trombosis arteri.

Disf ibrinogenemia

Defisiensi Protein C (PC)

Merupakan kelainan kongenital yang jarang didapat,


ditandai dengan gangguan fungsi fibrinogen tingkat

PC merupakan glikoprotein dependen (beratmolekul 63.000

molekular. Kelainan

D), yang disintesis di hati. Setelah diaktivasi oleh kompleks


trombin-trombomodulin di permukaan sel endotel, PC akan

dominan.

menghambat kerja faktor VIIIa dan Va serta menstimulasi

dikaitkan dengan manifestasi trombosis, baik arteri maupun


vena. Melemahnya ikatan dengan t-PA atau plasminogen

proses fibrinolisis. Seperti halnya AT, defisiensi PC


diturunkan secara autosom dominan, sedangkan sifat
heterozigot merupakan risiko timbulnya trombosis. Pada
pasien homozigot, kadar PC yang tidak terdeteksi

didapatkan dari kedua orangtua dengan kondisi

ini diturunkan

secara autosom

Sekitar l5Vo dari 243 kelainan molekul fibrinogen

terhadap fibrin yang abnormal, berkurangnya aktivitas


plasminogen pada fibrin yang abnormal, dan resistensi
terhadap fibrin, diperkirakan merupakan mekanisme yang
bertanggung jawab terhadap gangguan fibrin.

heterozigot.

Berdasarkan temuan laboratorium, gangguan PC

Kombinasi Gangguan

dikelompokkan menj adi :

Telah dilaporkan beberapa kasus kombinasi gangguan atau

1338

HEMr'INOLOGI

kaitannya dengan gangguan pada sistem fibrinolisis.


Walaupun kemungkinan akan ditemukan kejadian

H Y P E R CO AG U LA B L

E STAT ES

DI DA

PAT

Kondisi di atas merupakan penyebab hypercoagulable

trombosis di tempat-tempat yang tidak lazim, terny ata 50Vo


pasien dengan kelainan ini tidak menunjukkan gejala.
Dengan kata lain, kejadian trombosis tidaklah bertambah
berat pada kombinasi gangguan dibandingkan dengan

state didapat:

Pada kesempatan

ini penulis

membatasi

diri

untuk

membahas tentang kehamilan, keganasan, dan sindrom

antifosfolipid.

gangguan tunggal.

Gangguan pada Sistem Fibrinolisis

Kehamilan

Efektivitas sistem fibrinolisis amat tergantung pada


kemampuannya untuk membentuk plasmin.
Meningkatnya aktivitas fibrinolisis akan memicu
terjadinya lisis bekuan, hingga hasil akhirnya adalah
perdarahan. Sebaliknya, kejadian hipofibrinolisis akan
memudahkan terbentuknya fibrin, yang berakhir dengan

Perubahan fisiologis dan anatomis selama kehamilan dapat


memperberat keadaan tromboemboli. Sebagaimana halnya

trombosis.

perempuan hamil, namun dibandingkan dengan

Hingga saat ini, hubungan antara gangguan sistem


fibrinolisis dengan risiko terbentuknya trombosis masih

perempuan yang tidak hamil beberapa jenis pemeriksaan


menjadi amat sangat terbatas pemakaiannya, terutama
yang berkaitan dengan radiasi.
Perempuan tanpa riwayat trombosis, pada saat

perempuan yang tidak hamil, diagnosis tromboemboli

seringkali sukar ditegakkan, sehingga dibutuhkan


pemeriksaan yang akurat.
Beberapa pendekatan diagnostik dapat dilakukan pada

dalam perdebatan.

kehamilan akan memiliki risiko kejadian trombosis;

Hiperhomosisteinemia

walaupun besar risiko masih belum dapat dipastikan. Studi


terakhir menyatakan perempuan hamil dengan defisiensi
AI III. PC atau PS akan memiliki risiko trombosis 8 kali

Merupakan kelainan metabolik yang diakibatkan oleh


beberapa kelainan genetik. Homosistein darah akan

menyebabkan kerusakan jaringan penyambung dan

lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Walaupun

memicu gangguan sistem koagulasi. Mekanisme di atas


diduga akibat pengaruh aktivitas trombomodulin atau
meningkatnya aktivitas F V.

Penerima metil
Fosfatid ileta n ola

m in

Guamidoasetat
ilr I
rD uuPor
dopamin
Penghantar
TYt
tgil4iltdr Dor
saraf
dt (neurotransmitters)
\t tEur uU dr tDr ilr(Er D,, mis
Protein (mielin)
\.
r

rr

\\

DNA

RNA
Fosfatirlilkolinkreatin

Kreatinin

4
/' .,
S-adenosil
n

Bru:,."+ru,:';i:l"i:ffii:?" *61tll
termetilasi
RNAtermetilas

Poliamin
a

\
..-.'.V

Betain

Homosisrei
Homos,ste.
a"rn; {1
(SAM Activation)
PLP
J+
Sistationin

A-Ketobutirat

Gambar 2

ATP

metionin \1
mbat metil rH

penerimavangsudahtermetirasi

DNA

demikian, kejadian risiko trombosis absolut di atas masih


rendah (7 dan169 kehamilan), 2 episode selama trimester
ketiga, 5 episode setelah kelahiran.

protein

serin

--zruc
rHF

-(orc

$'cri'i"
tHF

Metilen

r/+
-r!+
<'
Metrl IHF

6xn.
6rt

r339

KONDISI HIPERKOAGULABILITAS

sel endotel, yang dimanisfestasikan dengan ekspresi

1
2
3
4
5
6
7
8

molekul adhesi, sekresi sitokin dan metabolisme

Kehamilan
Keganasan

Sindromantifosfolipid
Kelainanmieloproliferatif
Pasca pembedahan
Sindrom nefrotik
lnflamasi
Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH)

prostasiklin. Antibodi antifosfolipid yang dikenal sebagai


Br-glikoprotein I berikatan dengan sisa sel endotel.
Teori berikutnya menitikberatkan pada oksidan yang

diakibatkan jejas pada endotel vaskular. Oksidasi


Iipoprotein densitas rendah (LDL), yang merupakan
penyumbang utama kejadian aterosklerosis, diserap oleh
makrofag, yang menyebabkan makrofag teraktivasi dan

Pada studi lainnya, sejumlah 2480 perempuan hamil


dengan mutasi faktorV Leiden, memiliki risiko trombosis 8
kali lebih besar.
Penatalaksanaan antepartum perempuan hamil dengan
trombofilia tanpa riwayat trombosis sebelumnya, hingga

saat ini masih kontroversial sehubungan dengan


rendahnya kejadian trombosis serta kurangnya data
penelitian tentang profilaksis trombosis.

Keganasan
Keganasan atau penggunaan kemoterapi yang digunakan

selanjutnya terjadi kerusakan pada sel endotel.


Autoantibodi untuk mengoksidasi LDL

HYPERCOAGU LABLE STATES GABUNGAN


(KONGENTTAL DAN DIDAPAT)
Didapatkannya gabungan hypercoagulable states pada
pasien yang sama menunjukkan cukup tingginya insidens
kejadian ini. Contoh kasus yang cukup baik adalah
penggunaan kontrasepsi oral pada pasien dengan
defisiensi AT.

sebagai pengobatan keganasan, dapat menyebabkan


kerusakan endotel pembuluh darah. Keganasan dapat
mempengaruhi aliran melalui efek mekanik pada pembuluh
darah sekitar tumor.

Di samping itu,

angiogenesis yang diinduksi oleh


tumor menghasilkan pembuluh darah yang kompleks
den-ean aliran darah yang abnormal. Mikrovaskular di

PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN

sekitar tumor mengalami peningkatan permeabilitas

Pencegahan terhadap kejadian trombosis merupakan hal


yang paling penting. Berbagai faktor dapat menimbulkan
trombosis, padahal medikamentosa yang digunakan untuk
penatalaksanaan kejadian ini hanya terbatas pada beberapa

terhadap protein, antara lain fibrinogen. Kemungkinan hal

langkah pencegahan koagulasi dan tidak dapat

tersebut diakibatkan sel tumor menghasilkan vascular

permeabilitl- factor atal vascLtlctr endothelial growth


factor (YEGF). Selain meningkatkan permeabilitas, VEGF

juga mengatur angiogenesis dan menginduksi ekspresi


faktor jaringan, sehingga terjadi deposisi fibrin
ekstravaskular. Pada keganasan, kondisi
hiperkoagulabilitas disebabkan oleh adanya aktivitas
prokoagulan sel tumor, yaitu fhktor jaringan dan cancer

procoagulanl (CP). Faktor jaringan berfungsi sebagai


reseptor dan ko-faktor F VIl, sedangkan CP adalah
protease sistein yang memecahkan F
tanpa adanya F VIIa.

secara langsung

Sel tumor juga menyediakan permukaan uniuk

mempengaruhi keseluruhan.
Beberapajenis obat yang ditujukan terhadap beberapa
keadaan koagulasi:
. Warfarin: menghambat sintesis faktor koagulasi yang
tergantung vitamin K (anti vitamin K), yaitu : F II, VII,
IX, X, Protein C dan S.
. Aspirin: menghambat agregasi trombosit dengan cara
intervensi sintesis tromboksan.
. Tiklopidin: menghambat agregasi trombosit dengan
cara melekatkan fibrinogen pada membran trombosit.
Obat ini ditujukan untuk pasien dengan risiko strok
serta intoleransi terhadap aspirin.

pembentukan kompleks protrombinase karena F Va dan F


Xa dapat menempel pada permukaan sel tumor. Di samping

itu kemoterapi

menyebabkan penurunan peran

antikoagulan alamiah (PC dan PS).

.
Sindrom Antifosfolipid

Heparin: menghambat aktivasi F X dengan cara


mencegah konversi protrombin menjadi trombin.
Dengan menghambat fib rin- stabilizin g fact o r d,eh
trombin, heparin mencegah pembentukan stable fibrin
clot.
Tissue plasminogen factor (t-PA): mengaktifkan
plasmin yang memecahkan fibrin.

Beberapa hipotesis telah diusulkan untuk menjelaskan

mekanisme selular dan molekular yang mengaitkan


antibodi antifosfolipid dengan kejadian trombosis.
Teori pertama adalah adanya aktivasi sel endotel.

Seperti halnya kelainan/gangguan umumnya, maka

Ikatan antibodi antifbsfolipid mengakibatkan teraktivasinya

penatalaksanaan pada kondisi hiperkoagulabilitas adalah

PENGOBATAN

1340

HEIT'ATIOI.OGI

pengobatan terhadap penyakit dasar, walaupun


prinsip pengobatan adalah:

demikian

Antikoagulan
Heparin, Meningkatkan aktivitas anti trombin

III.

Biasanya unfractionated heparin (UFH) diberikan apabila


LMWH tidak tersedia. Umumnya, dosis UFH untuk pasien
dewasa adalah 25.000-40.000 unit, diberikan secara infus
kontinyu selama 24 jam, dengan diawa.li bolus -5.000 unit
intravena' dengan monitoring terhadap aPTT (target 1'5-2
kali kontrol)'

Menghambat aktivitas F X dengan cara mencegah konversi


protrombin menjadi trombin. Dengan menghambatfibrin- Warfarin, Merupakan antagonis vitamin K, menurunkan
stabilizingfactor,heparit mencegah pembentlkan stable
faktor II, V[, IX, X, serta antikoagulan alamiah protein C
clot.
dan S. Preparat ini diberikan dengan dosis awal 5-10 mg
fibrin

Low molecular weight heparin (LMWH),

misalnya:

oral, yang diikuti secara titrasi, hingga dicapai nilai

enoxaparin atau dalteparin, umumnya diberikan subkutan, (International Normalized Rarlo) INR: 2-3.
tidak memerlukan monitor aPTT, lebih sedikit menimbulkan
antibodi maupun trombositopenia.

ALGOBITHM FOR LABORATOBY INVESTIGATION OF HYPERCOAGULABLE STATE

lndications forLlaboratory Testing

.
.
.
.
.
.
.

Idiopathic/unexplained
Recurrent

Family history of thrombotic tendency


Unusually young age
Unusual site e.g. subclavian or mesenteric vessels
Resistant to conventional anticoagulant therapy
During pregnancy or oral contraceptive therapy

Primary Panel of Test:

.
.
.
.
.
.
.

Activated Protein C (APC) Resistance (screening test for Factor V Leiden)


Protein C*
Protein Sx

Antithrombin* (formerly known as Antithrombin III)


Lupus Anticoagulant (APPT, Mixing Studies,Dilute Russel Vper Venom Time, Hexagonal Phase phosplipid test)
AnticardiolipinAntibody (IgG and IgM)
Serum Homocysteine (Fasting sample)

*Functional assays are used initially for Protein C , Protein S and Antithrombin.

If

Protein C or Protein S values

decreased,immunologic assays are performed (for Protien C antigen or total and freeProtein S antigen respectively).

Ifthe above test are all negative, and there is strong suspicion of a primary hypercoagulable disorder,consider adding
following tests,

.
.
.

as

the

clinically warranted:

Fibrinogen (rule out dysfibrinogenemia)


Plasminogen (rule out hypo- or dysplasminogenemia)
tPa levels (before and after venous occlusion); PAI level-considered investigative

ldeal Time for Testing:


Ideally, at the of time of testing, the patient should be:
Clinically stable-if an acute event has occured, it is advisable to defer testing for several weeks.
Off warfarin and heparin therapy-if this is not possible, keep in mind the follwing:
Heparin may cause a mild acquired decrease in Antithrombin.
Warfarin will produce an acquired decrease in Protein C and Protein S.

.
.

Protein C and Protein S levels cannot be reliably interpreted in patients on warfarin.


In general, if a deficiency of Antithrombin, Protein C, or Protein S is observed,it is recommended that the testing be reppeated
after an interval to confirm deficiency. Family studies may be helpful.

t34t

KONDISI HIPERKOAGULABILITAS

Awal Kejadian Tr ombosis


I

Idiopatik

Faktor risiko

Faktor risiko
scdang berlangsung

Usr'a rnuda

sepmtas

Rekurens

Lokasi tidak biasa


F

l{ positif

Tidak ada investigasi lebihjauh


Warf'arin sclama 3 bulan
Profilaksis prdc risrko Linggi

Pertimbangkan u,arfarin
jangka panjang
Temukan nasihat pakar

INVESTIGASI
Investigasi kclainan protro
di dapat atau diturunkan
Temukan nasihat pal<ar

Kondisi klinis dengan probabilitas


tinggi untuk trombosis vena rekurens
- Idiopatik

- Karsinoma metastasis
- Sindrom antifosfolipid
- Defisiensi inhrhitor koagulasi
- Sindrom nelrotik
- PNH atau kelainan mieloproliferatif

Pemeriksaan untuk hypercoa guable stat


- Hitung sel darah. PT. PTT
- Protein C and S

Antitrombin
Faktor V Leiden (dan/atau APC resisten
Faktor VIII C
Faktor TI 20210A
Homosisteiu puasa
Lupus anticoagulant

- Antibodi Antikardiolipin
I
I

Gambar 3.

Characteristics of Patient

Major transient risk factor


Minor risk factor; no thrombophilia

Risk of Recurrence in the


Year after Discontinuation (%)
3

. Data

3mo
6mo

<10 if rlsk factor avoided


> 10 if risk factor persistent

Until factor resolves

<.10

6 rnof

>'10

lndefinite
lndefinite
lndefinite

ldiopathic event; no thrombophilia or


low-risk thrombophilia
ldiopathic event; high-risk thrombophilia
More than one idiopathic event
Cancer; other
risk factor

Duration of Therapy

>10
>10

are from Hirsh and Hoak, Hyers et al , and Kearon

Examplesofmajortransientriskfactorsaremajorsurgery,amajormedical illness,andlegcasting Examplesof minor

transient risk factors are the use of an oral contraceptive and hormone-replacement therapy Examples of low-risk
thrombophilias are heterozygosity for the factor V Leiden and G20210A prothrombin-gene mutations Examples of highrisk thrombophilia are antithrombin, protein C, and protein S deficiencies; homozygosity for the factor V Leiden or
prothrombin-gene mutation or heterozygosity for both; and the presence of antiphospholipid antibodies
+ Therapy may be prolonged if the patient prefers to prolong it or if the risk of bleeding is low

t342

HEMANOISGI

Risk Factor

Estimated Prevalence
(%)+

Estimated Relative Risk


of Recurrence

Antithrombin deficiency
1
1,5-3
5
Protein C deficiency
1,5-3
'1
5
Protein S deficiency
,5-3
Factor V Leiden mutalion
20
Heterozygous
1-4
2
Homozygous
About 4
<1
NA
Dysfibrinogenemia
2
Factor V Leiden and G202104
2-5
prothrombin-gene mutations
Antiphospholipid antibodies
2-4
1 0-50
1-7
Elevated factor Vlll levels
1 0-50
Elevated factor lX levels
1-5
10-25
Hyperhomocysteinemia
1-3
* Data are from Kearon, Christiansen et al., Baglin et al., Margaglinone et al., and
Kyrle et al Relative risk are for patients with the risk factor in question, as compared
with those without the risk factor
t The definition of deficiency of antithrombin, protein C, or protein S varies; it is
usually defined as a functional or immunologic value that is less than the Srh percentile
of values in the control population
Prevalence and relative risk depend on the definitions of hyperhomocysteinemia and
elevations in levels of factor Vlll and factor lX and on the reference group

Preparat terbaru, Fondaparinux merupakan pentapeptida


yang menghambat faktor Xa. Argatroban dan Lepirudin
menghambat langsung fungsi trombin. Preparat-preparat
di atas ditujukan kepada pasien dengan masalah heparin-

10 menit, dilanjutkan dengan 4400 IU/kg BB/jam,


intravena selama 12 1am.

Umumnya, terapi antifibrinolisis diikuti dengan


antikoagulan heparin.

Pada umumnya, antikoagulan yang digunakan untuk


pasien rawat inap, dimulai dengan heparin dan selanjutnya

ini adalah perdarahan aktif,


cerebrovascular accident baru (kurang dari 3 bulan),
neoplasma intrakranial, aneurisma serta cedera kepala

menggunakan warfarin untuk pemeliharaan (tumpang

baru.

nduced

rom bocy topen ia.

Kontraindikasi terapi

tindih 3 hari dengan heparin). Lama penggunaan


tergantung pada penyakit yang mendasarinya, misalnya
trombosis vena dalam daerah tungkai, diberikan selama 6
minggu sampai 3 bulan; dan seterusnya.

Antif ibrinolisis
Tis sue plasmino g en activ ator (tPA, alteplase), streptokinase dan urokinase menyebabkan lisisnya bekuan dengan
cara mengaktifkan plasmin, yang kemudian mendegradasi

Antiagregasi Trombosit
Preparat yang biasa digunakan aspirin (160-325 mg/hari)

disertai dengan klopidogrel (dosis awal 400 mg,


selanjutnya 75 mgihari); akan menurunkan angka kejadian
trombosis arleri (strok, infark miokard) pada pasien risiko
tmggr.

fibrin. Indikasi tPA adalah trombosis vena dalam, emboli


paru masif, emboli afieri pada ekstremitas, infark miokard

akut. dan unstable angina pectoris.


Dosis yang biasa digunakan:
. t-PA-untuk emboli paru masif (kasus dewasa dengan
berat badan > 65 kg) 10 mg, i.v bolus, selama 1-2 menit,
dilanjutkan dengan 50 mg, i.v selama l jam dan 40 mg,
i.v dua jam berikut (dosis total: 100 mg).
. Streptokinase-untuk emboli paru, trombosis arleri atau
vena dalam: 250.000 ru, iv selama 30 menit, selanjutnya
100.000 IU/jam selama 24 jam (untuk kasus emboli paru);
atau selama 72 jam (untuk kasus trombosis arteri/vena

dalam).

Urokinase-untuk emboli paru 4400 IU/kg BB, i.v selama

Faktor risiko didapat

Trombosis
arteri
merokok
hipertensi
diabetes melitus
hiperlipidemia

kontrasepsi oral
polisitemia
hiperviskositas

Trombosis

Faktor risiko
kongenital

vena
imobilisasi
operasr

keganasan
sindrom nefritik

kontrasepsi oral
gagal jantung
kongestif
sindrom obesitas

defisiensi protein C
defisiensi protein S
defisiensi protein AT lll
resistensi protein C
teraktivasi
(Faktor V Leiden)
Alel protrombin 20210
aktivator plasminogen
polimorfisme inhibitor-1
Peningkatan factor Vll
defek faktor Xll
disfibrinogenemia
homosisteinemia

1343

KONDISI HIPERKOAGULABLMAS

Clinical manifestations

Percentage (%)

Livedo retikularis
Trombosis
vena
afterial
Keterlibatan SSP
Trombositopenia
Aborsi berulang (>2)
Anemia hemolitik
Ulkus tungkai

Hypercoagulabre State

49

Risiko relatif dari VTE tunggal


sepanjang hidup

Faktor V Leiden
Protrombin G202104
Faktor V Leiden dan
protrombin G20210A
(heterozigoLganda)
Defisiensi protein C
Defisiensi protein S
Defisiensi antitrombin
H iperhomosisteinem ia
Lupus anticoagulant
Antibodi antikardiolipin

43
E

44
41

26
ZJ
o

2-10
2-6

200
6 5-3'1-

2-36.
5-402-4
11

aa

* Risiko relatif variabilitasnya tinggi, tergantung, tergantung

Hvpercoawtabte

t;*1ff

Pasien denoan

lromboembolt -Trombofilik
:...
::-"'-j-"'--;
vena I unggal
%l

Factor V Leiden
Prothrombin G20210A
Antithrombin
deficiency
Protein C deficiency
Protein S deficiency
Hiperhomosisteinemia
Antibodi antifosfoliDid

3-7

\ tot

1-3

20
6

0,02

50
18
4-A

0,2-0,4
tidak
diketahui
5-1 0

1-2

3-1 3

10-25

0-7

5-1 5

tidak diketahui
tidak diketahui

pada apakah mereka diturunkan dari studi-studi berbasis


keluarga atau populasi Perbedaan risiko dapat dijelaskan
pada kesulitan lebih besar dalam mendapatkan reliabilitas
perkiraan berbasis populasi karena secara keseluruhan
prevalensi kelainan ini rendah. Mungkin angka kejadian ini
ove re stimated pada studi-studi familial awal..

6-8

N/A=not readily available or


unknown

Presentasi tromboemboli
vena (VTE)
Trombosis vena serebral

Trombosis vena serebral


Pada perempuan pengguna
pil konirasepsi oral
Trombosis vena kava, vena
renal, vena mesenterika, dan
vena hepatik
Tromboflebitis superfisial
migratori

(Trousseau's syndrome)
Tromboflebitis superfisial
rekuren

Nekrosis kulit warfarin


Purpura neonatal fulminal
Kehilangan fetal yang tidak
dapat dijelaskan (tiga atau
lebih abortus trimester
pertama atau kematian pada
trimester kedua atau ketiga
yang tidak dapat dijelaskan
pada fetus normal secara
morfologi)

Risiko
Relatif

Kondisi Hypercoagu lable


Protrombin G2O21 0 A, antibodi
antifosfolipid, defisiensi
antitrombin, trombositemia
esential, PNH
Protrombin G2O210A

Antibodi antifosfolipid, kanker,


defisiensi antitrombin, sindrom
mieloproliferatif, PNH
Kanker (terutama
adenokarsinoma saluran
gastrointestinal)
Faktor V leiden, polisitemia
vera, defisien antikoagulan
alamiah
Defisiensi protein C dan S
Defisiensi protein C dan S
homozigot
Antibodi antifosfolipid

Perempuan nonkarrier
Perempuan nonkarrier pengguna
pil kontrasepsi oral
Faktor V Leiden heterozigositas
Heterozigositas faktor V Leiden
perempuan pengguna pil
kontrasepsi oral

4
7

35

Risiko

Absolut*
0,8/10000
3,2/10000
5.7/1 0000
28 5/'10000

*Perkiraan jumlah kasus VTE per 1 0 000 orang per tahun

Pemeriksaan Skrining
Resistensi protein C teraktivasi
Pemeriksaan mutasi protrombin
G2021 0A dengan PCR
Tingkat aktivitas antitrombin, protein
C, dan protein S
Tingkat aktivitas faktor Vlll
Lupus antikoagulans (aPTT sensitif,
aPfT mixing, dilute Russell viper
venom time)
Antibodi antikardiolipin dengan
ELISA
Kadar homosistein plasma total

Pemeriksaan Konfirmasi
PCR Faktor V Leiden
Pemeriksaan antigenik
untuk antitrombin,
protein C, dan/atau
protein S
Pemeriksaan konfirmasi
untuk /upus
anticoagulants*

* lnclude at least one of the following: platelent neutralization


procedure, hexagonal phase phospholipids, Textarin/Ecarin test,
platelet vesicles, DVV Confirm
PCR=polymerase chain reaction; aPTT=activated partial
thromboplastin time; ELISA=enzyme-linked immunosorbent assay

t344
REFERENSI
Bertina RM. Hypercoagulable States. In : Semin in Hematol
t991 ;34(3):16'7 -7 0.
Bates SM, Ginsberg JS. How we manage venous thromboembolism

during pregnancy Blood 2002;100(10):3470-8.


Cobb ME, Hollensead SC. Molecular Testing for Inherited Thrombotic Disease Available from : http://www.uoflhealthcare.org.
Cattaneo M, Martinelli I, Mannucci PM. Hyperhomocysteinemia as
a risk factor for Deep Vein Thrombosis. NEJM 1996;335:9'74-6.
Chadha P Thrombotic Disorders : Hypercoagulable State. In : Kasper
DL, Braunwald D, Fauci AS, et al. Harrison's Manual of Medicine 16d eds. McGraw-Hill 2005, 217-280.
Deloughery T. Hypercoagulable States - 2004.

HEM/{IOLOGI

Girolami A, Sarlori MT, Patrassi GM et al. Hypercoagulability : An


Updated Review. Available from : http://haem.nus.edu.sg/ishapd/
1996/1996/087 .pdf.
Kyrle P, Minar E,Bialonczyk C et al. The Risk of Recurrent Venous
Thromboembolism in Men and Woman. NEJM 2004;350:255863.
Levine JS, Branch DW, Rauch J. The Antiphospholipid Syndrome.
NEJM 2002;346(10):1 52-63.

Nema SK Thrombosis-The Newer Dimensions. MJAFI


2004l,60:278-9
Solymoss S. Factor V Leiden : Who should be tested ?. CMAJ
1996;155:296-8.
Setiabudy RD, Trombosis pada keganasan. Dalam : Kongres Nasional
dan Temu Ilmiah - Perhimpunan Hematologi dan Transfusi

Darah (PHTDI); 2005.hlm. 40.

2t3
SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID:
ASPEK HEMATOLOGIK DAN
PENATALAKSANA/TN
Shufrie Effendy

enzimPLA2, terutama pada kehamilan dan kematian sel


(apoptosis).
Penghambat PLA2 yang secara patologis terbentuk
diketahui sebagai inhibitor Lupus yang lebih dikenal
sebagai Antikoagulan Llupls (Lup us Antic o agulant, L A\

DEFINISI

Sindroma antibodi antifosfolipid

(antibody

antiphospholipid syndrome, APS) didefinisikan sebagai


penyakit trombofilia autoimun yang ditandai dengan
adanya 1) antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin
dan/atau antikoagulan lupus) yang menetap (persisten)

yang terdiri dair 2 subgrup, yaitu: a).

LA sensitif

tromboplastin yang menghambat kompleks VIIa, III, PL,


dan Ca*, mengakibatkan pemanjangan masa protrombin
(PT), khususnya pada pemeriksaan dengan "diluted PT';

sefia 2) kejadian berulang trombosis vena/arteri,


keguguran, atau trombositopenia.
Sindrom ini pertama kali diusulkan oleh Hughes dan
Harris antara tahun 1983-1986, oleh karena itu sindrom ini
dikenal juga sebagai sindrom Hughes.

b). LA non-sensitif tromboplastin yang menghambat


kompleks VIIIa, IXa, PL, Ca* mengakibatkanpemanjangan
masa tromboplastin teraktifasi parsial (aPTT) dan/atau yang
menghambat kompleks Xa, Va, PL, dan Ca* mengakibatkan
pemanjangan dRWT- 1 pada dRWT-2 normal.
Berbagai jenis aPLA dapat dibangun oleh berbagai
antigen yang terikat pada epitope fosfolipid pada bagian
luar dinding biologis sel yang terpapar. Sebagai contoh,

ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID

Antibodi antifosfolipid (antiphospholipid antibody,


aPLA) didefinisikan sebagai immunoglobulin yang
bereaksi dengan dinding biologis sel bagian luar yang

aPLA dependen protrombin dibangun oleh epitope


fosfolipid pengikat apolipoprotein, pengikat LA atau
protrombin; aPLA dependen B2-GPI dibangun oleh epitope
fosfolipid pengikat Apo-H pengikat B2-GPI; dan aPLA
dependen anneksin V dibangun oleh epitope fosfolipid
pengikat apolipoprotein-pengikat annexin V; sedangkan
aPLA dependen LDL teroksidasi dibangun oleh epitope

komponen utamanya adalah fosfolipid.

Fosfolipid antikoagulan disebut juga sebagai


antifosfolipid (antiphospholipid, aPL), yang secara
struktural hampir menyerupai komplemen. Secara alamiah

(fisiologis), aPL yang dibentuk oleh tubuh adalah B2


glikoprotein I (P2GPI), berfungsi sebagai pengontrol

fosfolipid pengikat apolipoprotein-pengikat LDL


teroksidasi.

aktivitas fosfolipid prokoagulan (PL) yang mengandung


enzim fosfolipase A, Qthospholipase A, PLAr). B2GPI
merupakan enzim yang terikat oleh apolipoprotein-H (ApoH) sebagai perighambat enzim PLA2. Selain dari p2GPI,

Kebanyakan jenis aPLA yang ditemukan dapat bereaksi

langsung terhadap kofaktor plasma protein


(apolipoprotein) yang terikat kardiolipin (difosfatidilgliserol) yang dapat dideteksi secara ELISA atat radioimmunoassay (RIA), disebut sebagai antibodi antikardiolipin
(antic ardioplip in antib o dy, ACA).

secara alamiah tubuh juga membenttk annexin V atau

"placental anticoagulant protein 1" yang disebut juga


sebagai "placental aPL", yang sangat kuat menghambat

t34

1346

FIEIT{AIOI.oGI

EPIDEMIOLOGI

Antibodi antifosfolipid di3umpai sejak usia rnuda,

dapat berkenrbang dalam 20 tahun pada 50-707o pasien


baik dengan lupus eritematosus sistemik maupLrn antibodi
antif'osfolipid. Meskipun demikian, hampir 307o pasien

prevalensi ACA dari LA pada si"rbvek kontrol sehat adalah

luptrs eritematosus sistemik dan dengan antibocii

1-5%. Sebagaimana a,-itoantibodi lainnya, prevalensi

antikardiolipin, sedikit sekali menunjukkan bukti klinis APS


pada pemantauan sekitar 7 tahun.
Studi prospektif telah menunjukkan hubungan antara
antibodi antifosfolipid dan episode perlama dari trombosis
vena dan intark miokard, serta strok berulang. Oleh karena
itu, hal yang menjadi penting adalah identifikasi pasien
dengan antibodi antifosfolipid yang risikonya terhadap
kejadian trornbotik meningkat. Faktor risiko penting adalah
riu,ayat trombosis, adanya antibodi antikoagulan lupus,

antibodi antifosf olipicl ureningkat seiring dengan


bertambahnya Llmur, khususnya dr iintara pasien usia lanjut
dengan penyakit kronis penyerta.
Di antara pasien dengan SLF,, prevalensi ACA positif
sekitar 12-30%.daln sekitar l5-317c dengan antibodi LA

positif. Banyak pasien yang menunjukkan bukti


laboratorium adanya antibodi irntifosfolipid, tidak
mentrnjukkan gejala klinis. L)afe 1,3no ada untuk

suLr1r66

kontrol sehat, tidak cukup untr-rk lnemperhitungkan


persentase rnereka yang nrerni liki autibodi .rntifosfblipid
dan akan menunjr-rkkan gejala trombosis atau komplikasi

kehtrmilan yang sesuai dengan APS. Sebaliknyn, AFS

dan peningkatan kadar antibodi antikardiolipin lgG.


Masing-masing meningkatkar.r risiko trombosis sampai lima
kali lipat. meskipun tidak sernua studi rlelaporkan hasil
yang sama. Namun, kecuali riwayat kejadian trombotik,

faktor risiko yang iain tidak cukup untuk digunakan


sebagai faktor prediktif dilakukannya terapi.
Kepala hidrofilik
Prote n spes fik

cH2-N(CH2)3
APO -Ht

':l

CH2

KRITERIA DIAGNOSTIK

O=P-O
I

o
I

CH2-CI]-CH2

tt
oo
tl
c-o
tt c-o
cH2 CH2
lt
CHZ CH2
lt
CH2 CH
t\
CH2 CH
CH2 CH2
l\
CH2
CH2
t\
CHZ
QH2
t\
CH3
CH3

Ekor hidrofobik

_--

|iru

--

Gambar 1. Antigen fosfolipid pada permukaan dinding sel,


protein spesif ik antigenik, protein kofaktor plasrna. (apolipoprotein),

Diagnosis APS ditegakkan dengan I kriteria klinjs dan


kriteria laboratorium. sesuai dengan konsensus pada
sirnposium intemasional mengenai antibodi antifbsfolipid
di Sapporo pada 1998.
1

KBITERIA KLINIS

Trombosis Pembuluh Darah


Satu atau lebih episode klinis dari trombosis arteri. r'ena
ataLr pembuluh darah kecil padajaringan atau organ yang

dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan pencitraan/


Doppler atau histopatologis (tanpa inflamasi dinding
pembuluh darah)

dan fosfolipid

Morbiditas Kehamilan

Anribocii Antifosiolipid

PIA2

E2cPt

La

Antlbod \
ant 82GPl

Annexin V

Protein kofaktor plasma

@6@

TromboplastinApo-H Tromboplaslin
non-sensitif

Pt rergantung E2-GPlh I anti E2-g koprole


Ps E ant phosphat dil serene

PE

E anti phosphatdi ethanolamine


Pi E anti phosphatidil inosltol
Diphosphatrdil g ycerol E antica.d o ipin

Gambar 2. Antibodi Antifosfolipid (PLA2=fosfolipase A2, P2GPI=


B2 glikoprotein l, LA = 2p{i(esgulan lupus, Apo-H=apolipoprotein
H, aPs=antifosfatidil serin)

Satu atau lebih kematian janin berusia 10 minggu atau


kurang, yang tidak dapat dijelaskan-diketahui dengan

ultrasonografi atau pemeriksaan langsung, atau


Satu atau lebih kelahiran prematur dari neonatus normal berusia 34 minggu atau kurang, akibat eklampsia
atau insufisiensi plasenta berat, atau
Tiga atau lebih aborsi spontan konsekutif sebelum usia
kehamilan l0 minggu yang tidak dapat drjelaskan dimana
kelainan anatomi, genetika, atau hormonal telah
disingkirkan.

Kriteria Laboratorium

IgG AntibodiAntikardiolipin, &ur/atau isotipe IgM pada


titer sedang atau tinggi p'..,t1a2 atau lebih pemeriksaan

1347

SINDROM AI\TIBODI AIITIF1OSF1OLIPID

@Rntie"n@

binding apolipoprotein bind phospholipid

Hiperagregrasi
Trombosit
Antikoagulan fosfolipid

inefektif

Gambar 3. Patogenesis trombosis akibat adanya antibodi antifosfolipid

dengan interval sekurang-kurangnya 6 minggu, diukur


dengan ELISA terstandarisasi untuk antibodi dependen

Antibodi antifosfolipid secara langs ung menginaktivasi

B2GPr.

berlebihan mengakibatkan hiperkoagulasi.


Antibodi antifosfolipid secara langsung berinterferensi

protein C mengakibatkan aktivitas FV dan FVIII

AdanyaAntikoagulan Lupus dalam plasma pada 2 atau


lebih pemenksaan dengan interval sekurang-kurangnya

dengan autoantibodi kompleks heparan-antitrombin,

6 minggu, dideteksi menurut panduan dari

The
International Societln on Thrombosis and Hemostasis

mengaktifkan reseptor

(Scientific Subcommitte on Ltrpus Anticoagttlants/


nt Ant ibo die s ).

mengaktivasi koagulasi.

Fc sel

imunoefektor

mengekspresikan tromboplastin jaringan yang akan

P ho spho I ip i ds - D ep ende

KLASIFIKASIAPS
PATOFISIOLOGI
Asosiasi klinik trombosis dari anti-p2GPl dan anti-anneksin
V berupa trombosis vena dan/atau arteri; antioksidan LDL
berupa trombosis arteri; sedangkan LA (aPL dependen

Pada "The ll'h International Congress on


" di Sydney, 2004, telah

Antiphospholipid Antibodle.r

protrombin) dapat berupa perdarahan atau trombosis,

diusulkan klasifikasi sebagai berikut:


. APS sebagai penyakit tunggal
. APS yangberhubungandenganpenyakitlaintermasuk

tetapi trombosis vena dar/atau arleri lebih sering dijumpai


daripada perdarahan.

SLE

APS katastrofa

TROMBOGENESIS
Trombosis dapat terjadi melalui beberapa mekanisme
berikut ini:
. Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis p2GPI
mengakibatkan ekspresi berlebihan PL-A2

Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis Anneksin


V mengakibatkan ekspresi berlebihan PL-A2

. Antibodi antifosfolipid

merupakan antagonis

trombomodulin, sehingga secara tidak langsung

antibodi antifosfolipid menghambat aktivasi protein C.


Antibodiantifosfolipidsecaralangsungmenginaktivasi
protein S sebagai kofaktor protein C.

penurunan ekspresi

Fosfolipid anionik
Glikoprotein l-p2
Anneksin V

Trofoblas

Trombomodulin

Trombosit) pelepasan PAF & ekspresi

Protein
Protein

Protrombin

berlebihan GPllb/llla
Apoptosis
cPLA2,
PMP, Trombositopenia
Eritrosit
Anemia hemolitik

Faktor Xlc
lL-3 &

Ekspresi lL-3 & G|\4-CSF

Apoptosis
HCG

Endotel

) Apoptosis ) pelepasan EMP


a VCAM-1, ECAM-1, E-selectin,
Faktor Jaringan

C
S

GM-CSF

pelepasan

I )

Leukopenia

EMP -- endothelial micropafticle, PMP = platelet micropafticle,


PAF = platelet activating factors, :PLA2 = cytosol
phospholipase A2

1348

HEM/{I1OLrOGI

Klasifikasi ini memenuhi untuk stratifikasi risiko dan pilihan


terapi.
Sebelumnya, pada "The 8'h International Congress on
Antiphospholipid Antibodies" di Sapporo, 1998, APS
diklasifikasikan menj adi : 1 ). APS Primer, jika tidak ada SLE
atau kelainan autoimun lain. 2). APS Sekunder, jika drjumpai

kemungkinan manifestasi pada organ yang spesifik.


Penyakitinimemiliki spektrumklinis yang luas, mulai dari
yang asimptomatik secara klinis dan indolen sampai yang
perjalanan penyakitnya progresif secara cepat.

penglihatan (sebagian lapang pandang, total)


Kardiorespirasi. Nyeri dada, menjalarke lengan; napas

SLE.

pendek
Gastrointestinal. Nyeri perut, kembung, muntah.
Pembuluh darah perifer. Nyeri atau pembengkakan
tungkai, klaudikasio, ulserasi jari/tungkai, nyeri jari
tanganikaki yang dicetuskan oleh dingin.
Muskuloskeletal. Nyeri tulang, nyeri sendi
Kulit. Purpura dar/atau petekie, ruam livedo retikularis
temporer atau menetap, jari-jad tangan/kaki kehitamhitaman atau terlihat pucat.
Neurologi dan psikiatri. Pingsan, kejang, nyeri kepala
(migrain), parestesi, paralisis, ascending weakness,
tremor, gerakan abnormal, hilangnya memori, masalah
dalam pendidikan (sulit berkonsentrasi, mengerti yang
dibaca dan berhitung).
Endokrin. Rasa lemah, fatigue, artralgia, nyeri abdomen
(gambaran Penyakit Addison)
Urogenital. Hematuri, edema perifer

SPEKTRUM GAMBARAN KLINIS APS

.
.

Asimptomatik pada LA dan/atauACApositif


Simptomatik pada LA dan/atau ACApositif:

Mata. Penglihatan kabur atau ganda, gangguan


penglihatan (melihat kilatan cahaya), kehilangan

Perempuan dengan:

Riwayat infertilitas primer tanpa kelainan

ginekologis dan kesuburan.


Riwayat keguguran.
Riwayattoksemiakehamilan
Adanya trombosis
- Arteri, vena atau pembuluh darah kecil pada

Janngan atau organ.


Sindrom antibodi antifosfolipidkatastrofa.

Sindrom antibodi antifosfolipid katastrofa adalah


kegagalan organ multisistem, sekunder terhadap trombosis/

infark dan menunjukkan gambaran mikroangiopati pada

Riwayat kehamilan. Keguguran berulang, kelahiran

pemeriksaan histologi.

prematur, pertumbuhan janin terhambat


Riwayat keluarga. Risiko APS meningkat pada pasien
yang memiliki anggota keluarga dengan:

MANIFESTASI KLINIS

Aspek klinis pada sindrom antifosfolipid dapat berupa


aspek klinis seluler dan sistem. Aspek klinis selular adalah

toksemia kehamilan, tlomboembolisme neonatorum.

sebagai berikut:

.
.
.

Anemiahemolitik

hormonhCG.

Leukopenia

2). PT memanjang (tromboplastin sensitif-fosfolipid


inefisien), 3). aPTT memanjang (Defisiensi FXIc dan/atau
tromboplastin sensitif-fosfolipid inefisien), dan 4).
hipoprotrombinemia didapat.
Sementara trombosis disebabkan oleh: 1)apoptosis
endotelial, sehingga terjadi pelepasan mikropartikel
endotelial dan material adhesi, 2)trombosit teraktivasi,
sehingga terjadi sticky platelet syndrome, 3)keadaan
hiperkoagulabilitas, dan 4)keadaan trombofilik.

Gejala dan Tanda


Kejadian vasospastik atau vaso-oklusif dapat terjadi pada
setiap sistem organ, maka pada anamnesis sangat penting
untuk mendapatkan riwayat penyakit pasien dan

Infark miokard atau strok pada anggota keluarga

yang berusia kurang dari 50 tahun


Trombosis vena dalam, flebitis atau emboli pulmoner
Migrain, penyakit Raynaud, atau TIA
Riwayat pengobatan. Menggunakan kontrasepsi oral

Apoptosis trofoblastik, sehingga terjadi penurunan

Aspek klinis sistem dapat berupa perdarahan dan


trombosis. Perdarahan disebabkan oleh I ). trombositopenia.

Keguguran berulang, kelahiran prematur,


pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion,
khorea gravidarum, infark plasenta, preeklampsi.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda yang sesuai

dengan organ yang terkena dan dapat melibatkan sistem

organ apapun.

Pembuluh darah perifer


- Palpasi tulang atau sendi : nyeri tekan (infarktulang)
- Nyeri saat sendi digerakkan, tanpa artritis (nekrosis
avaskular)
- Pembengkakan tungkai (trombosis vena dalam)

Penurunan pengisian kapiler, denyut nadi, dan


perfusi (trombosis arteriaUvasospasm)

Gangren (trombosis arteri atau infark)

Paru: Respiratory distress, takipnea (emboli pulmoner,

hipertensi pulmoner)
Ginjal

1349

SINDROM ANTIBODI ANTIF1OSF1OLIPID

.
.

Hematuria (trombosis vena renalis)


Jantung:
- Murmur pada katup aofia atau mitral (endokarditis)
- Nyeri dada, diaforesis (infark miokard)
Gastrointestinal:

Hipertensi (trombosis arteri renalis, lesi pembuluh


darah intrarenal)

Nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan

atas,

.
.

autoimun)

Defisiensisistemkoagulasi:

.
.
-

Oklusi arleri retina


Trombosis vena retina

Protein C
Protein S

Antitrombin

III

Antibodi protein koagulasi, seperti antibodi antifaktor II (protrombin)

Polimorfisme genetik:
- Mutasi Faktor V Leiden

Mata

Mutasi gen protrombin202l1A

Mutasi Methylene tetrahydrofolate reductase


(MTHFR) (mengarah ke hiperhomosisteinemia)

Manifestasi kulit:

Livedo retikularis
Lesi purpura
Tromboflebitissuperflisial

Pemeriksaan Badiologis

Vasospasme (fenomena Raynaud)

Splinter hemonhages (perdarahan di bawah kuku)


periungual atau subungual
Infark perifer (digital pitting)

Ulserasi

Memar (berhubungan dengan trombosito.-nia)


Kelainan sistem saraf pusat atau l :'ei

TIA

(i skemia/intark vasovorum)
Paralisis, hiperrefleksi, rasa lemah (transverse mye/ltls, sindrom Guillain-B arre)

Strok
Parcstesia. polineuritis atru mononeuritis multipleks

Kelainan pergerakan-tremor khoreiform (infark


serebral, serebelum, basal ganglia)
Kelainan yang menyerupai sklerosis multipel
Kehilangan memori jangkapendek

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

.
.

(infark/perdarahan adrenal).

pembuluh darah kecil hati, infark hati)


Nyeri tekan abdomen (trombosis arteri mesenterika)

Endokrin: kelemahanotot,kekakuanprogresifpada
otot-otot pelvis dan paha dengan kontraktur fleksi
yang berhubungan dengan insufisiensi adrenal

LDH, bilirubin, haptoglobin


Tes Coombs direk/indirek
Analisis urin dipstik untuk hemoglobin
Antibodi antiplatelet (untuk mengevaluasi adanya

hubungan dengan purpura trombositopenik

hepatomegali (sindrom Budd-Chiari, trombosis

Pemeriksaan darah perifer lengkap

Pemeriksaanantibodiantifosfolipid
Identifikasi ffombosis intrarenal. arleri renalis atau vena
renalis:

Analisis urin dipstik untuk hemoglobin atau pro-

'

Untuk kejadian trombotik (mis. Trombosis Vena Dalam)


- Ultrasonografi (USG) Doppler
- Venograh
- Ventilation/perfusion scan (untuk emboli pulmoner.)
Untuk kejadian trombotik arterial (mis. oklusi/iskemia
pembuluh darah serebral, jantung, perifer):
- Computerized tomograpizy (CT)
- Magnetic resonance imagint (MP*I)

Arteriografi
USGDoppler
Untuk kelainan jantung:
- Ekokardiografi dua dimensi
- Ekokardiografitransesofageal

Angiografi dengan kateterisasi

Patologi
Biopsi dari organ yang terkena, seperti kulit atau ginjal,
mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis
vaskulopati/mikroangiopati pada APS.
Pemeriksaan histologi pada mikroangiopati trombotik
menunjukkan adanya vaskulopati non-inflamasi tanpa
vaskulitis. Fibrin thrombl dihubungkan dengan obstruksi
dan hiperplasia intima hbrosa dengan rekanalisasi jaringan
penyambung intima. Lesi ginjal, terutama, ditandai dengan
oklusi vaskular yang fibrotik dengan trombosis akut dan
lesi vasooklusif pada pembuluh-pembuluh darah intrarenal.
Juga dapat ditemukan fibrosis interstisial dan atrofi tubuler.

teln

Pemeriksaan urin: adanya sel darah merah


Urin 24 jam untuk pemeriksaan protein dan klirens

DIAGNOSIS BANDING

kreatinin

Identifikasi trombositopenia persisten atau anemia

Sindrom antifosfolipid adalah satu dari beberapa keadaan


protrombotik dimana trombosis terjadi baikpada vena atau

hemolitik:

arteri. Meskipun kondisi lain yang dapat menjadi

13s0

HErUA*DOLOGI

predisposisi terjadinya trombosis arteri dan vena (misal.


trombositopenia diinduksi heparin, homosisteinemia,
kelainan mieloproliferatif, dan hiperviskositas) dapat
dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium rutin, adanya
antibodi antifosfolipid mungkin menjadi satu-satunya
kelainan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid primer.

Penting untuk dicatat bahwa karena waktu


tromboplastin parsial teraktivasi yang normal tidak
menyingkirkan adanya antibodi antikoagulan lupus,
seorang pasien yang menunjukkan kejadian trombotik

pertama kali harus diskrining terhadap antibodi


antikardiolipin dan pemeriksaan lain yang sensitif dengan

antibodi antikoagulan lupus. Diagnosis dapat tidak


diperkirakan pada pasien yang sindrom antifosfolipid-nya
menunjukkan proses yang kronik dan lebih indolen,
mengakibatkan terjadinya iskemia dan hilangnya fungsi
organ yang lambat dan progresif.

Inkompatibilitas ibu dan bayi (ABO, Rh, HLA)


Talasemia

PENGOBATAN
Pengobatan digolongkan dalam 4 kelompok: 1). Profilaksis,
trombosis pembuluh darah k ect'l 2). Pencegahan trombosis

lanjutan pada pembuluh darah sedang dan besar;


3). Pengobatan mikroangiopati trombotik akut, dan
4). Penanganan kehamilan yang berhubungan dengan
antibodi antifosfolipid.
Uraian berikut akan membahas mengenai pengobatan
dua kelompok pertama. Jenis-jenis obat yang digunakan
dalam terapi medikamentosa APS dapat dilihat pada
Thbel2.

Faktor risiko sekunder yang meningkatkan


kecenderungan trombosis harus dicari. Beberapa faktor
dapat mempengaruhi dinding vena dan arteri, termasuk
stasis, cedera vaskular, obat-obatan seperti kontrasepsi
oral, dan faktor risiko tradisional untuk aterosklerosis.
Sangat penting untuk menghilangkan atau mengurangi
faktor-faktor ini, karena kehadiran antibodi antifosfolipid
saja tidak cukup untuk menyebabkan terjadinya trombosis;

Aspirin
Tiklopidin
Dipiridamol

1-2 mglkglhari
250 mg, 2 kali sehari
75-400 mg/hari, 3 atau 4 kali sehari

Heparin

Dosis inisial: 40-170 U/kg lV


lnfus pemeliharaan: 1B U/kg/jam lV
atau:

Dosis inisial: 50 U/kg/jam lV, diikuti dengan


infus 15-25 U/kg/jam, dosis ditingkatkan 5
U/kg/jam q4h prn berdasarkan hasil PTT

"serangan kedua" dikombinasikan dengan dengan


antibodi antifosfolipid diperlukan untuk terjadinya
trombosis. Akhirnya, bahkan pada pasien yang terbukti
menderita sindrom antifosfolipid, menguraikan penyebab
dan efeknya dapat sangat sulit. Sebagai contoh, sindrom
antifosfolipid dikaitkan dengan sindrom nefritis, yang juga

Enoksaparin

ITP (Immune Thrombocytopenic Purpura), Anemia

hemolitik autoimun
Kelainan autoimun sekunder:

SLE, dan penyakit kolagen lainnya (artritis rematoid


dan Behget's)

Warfarin

Pasien asimptomatik tanpa faktor risiko dan riwayat


keluarga dengan trombosis arteri/vena atau keguguran
tidak diberikan terapi yang spesifik.
Pasien asimptomatik dan terdapat anggota keluarga
yang menderita trombosis vena/arteri atau keguguran

penisilin.
Penyakitkanker:

tidak terdapat faktor risiko yang lain.


Sebuah studi potong lintang pada the Physicians'
Health Study meneliti peranan aspirin 325 mg per hari
sebagai obat profilaksis. Aspirin tidak menimbulkan
proteksi terhadap trombosis vena dalam dan emboli paru
pada pria dengan antibodi antikardiolipin. Sebaliknya'
aspririn dapat menimbulkan proteksi terhadap trombosis

Kanker hematologi (mis.leukemia, penyakit


limfoproliferatif dan sel plasma, dll)

ad1

dapat diberikan profilaksis dengan aspirin, Namun


sebagian klinisi tidak menganjurkan pengobatan ini jika

5-15 mg/hari, dosis dinaikkan berdasarkan


INR yang ingin dicapai (2.5-3 5)

- Induksi

obat-obatan (drug induced), oleh


prokainamid, hidralazin, kuinidin, fenotiazin,

Profilaksis (dosis rata-rata): 30 mg subkutan,

setiap 12 jam
Terapi : '1 mg/kg, subkutan setiap 12 jam

merupakan faktor risiko tromboemboli.


Penyakit lain yang berhubungan dengan APS adalah seperli
berikut:

Dosis

Nama

Kanker padat
Penyakitinfeksi:
- Viral (misalnyaCMV, Hepatitis C, HIV HTLV-I, dll)
- Bakterial (misalnya S. hemolyticus, H. pylori, Rickettsia spp, dll.)
- Parasit (misalnya malaria)
Penyakit hati kronis/sirosis hati:
Alkoholik, Hepatitis C

Sindromhemolitik

pada perempuan dengan sindrom antifosfolipid dan


riwayat keguguran. Hidroksiklorokuin dapat memproteksi

pasien lupus eritematosus sistemik dan sindrom


antifosfolipid sekunder terhadap terj adinya trombosis'
Tentunya, faktor-faktor lain yang menjadi predisposisi
trombosis harus disingkirkan.

1351

SINDROM AI\TIBODI ANTIF1OSF1OLIPID

Modifikasi faktor risiko sekunder untuk aterosklerosis


sebaiknya dilakukan, sehubungan dengan peranan cedera

Beberapa hal penting harus diperhatikan. Pertama,


penghentian warfarin tampaknya berhubungan dengan

vaskular dalam pembentukan trombosis yang


berhubungan dengan antibodi antifosfolipid, dan

peningkatan risiko trombosis dan bahkan kematian,


khususnya pada enam bulan pertama setelah terapi
antikoagulan dihentikan. Karena angka rekurensi pada
pasien yang telah mendapat antikoagulan optimal dapat
mencapai 707o, pergobatan dengan warfarin seharusnya
dilakukan jangka panjang, jika tidak seumur hidup. Kedua,
masih belum jelas apakah pasien dengan sindrom
antifosfolipid dapat diobati dengan aman menggunakan

hubungannya dengan antibodi antifosfolipid dan LDL


teroksidasi.

ad2
Peranan antikoagulan dalam menurunkan angka kejadian

trombosis berulang telah ditunjukkan melalui tiga


penelitian retrospektif. Studi pada 19 pasien dengan
sindrom antifosfolipid menunjukkan angka rekurensi pada

8 tahun sebesar 07o pada pasien yang mendapat


antikoagulan oral. Pada pasien yang pengobatan
antikoagulannya dihentikan, angka rekurensinya adalah
507o setelah 2 tahun dan 787o setelah 8 tahun. Dua seri
studi lain yang lebih besar menunjukkan tingkat proteksi
terhadap trombosis vena dan arteri berhubungan langsung
dengan tingkat antikoagulasinya. Pada 70 pasien sindrom

antifosfolipid, pengobatan dengan warfarin intensitas


menengah (untuk mencapai International Normalized
Rario (INR) 2,0-2,9) dan intensitas tinggi (INR 3,0 atau

lebih) mengurangi angka trombosis rekurens secara


bermakna, dimana pengobatan intensitas rendah (INR 1,9
atau kurang) tidak memberikan proteksi yang bermakna.
Hasil yang serupa dilaporkan oleh studi pada 147 pasien
dengan sindrom antifosfolipid. Pada kedua studi tersebut.

aspirin saja tidak efektif dalam menurunkan angka


trombosis rekurens.
PasienAPS primer dengan trombosis vena dapat diobati
dengan terapi inisial yang terdiri dari heparin diikuti dengan

warfarin atau heparin berat molekul rendah (/ow


molecular weight heparin, LMWH). Risiko kekambuhan
tertinggi terjadi dalam 6-1,2 minggu pertama setelah

trombosis, namun biasanya pengobatan diteruskan


setidaknya sampai 6 bulan pada pasien tanpa faktor risiko
lain.
PasienAPS primer dengan trombosis arlerilinfark tanpa
faktor risiko lain dapat diobati dengan aspirin, sementara
pemberian antikoagulan masih kontroversial. Sebagian

menganjurkan pemberian antikoagulan jangka panj ang.


namun Antiphospholipid Antibodies in Stroke Study
(APASS) melaporkan bahwa tidak adaperbedaan bermakna

dalam rekurensi stroke antara kelompok yang diobati


dengan aspirin saja dibandingkan dengan kelompok yang
diobati dengan aspirin dan warfarin.
Pasien APS sekunder dengan trombosis arteri atau

warfarin intensitas menengah atau apakah dibutuhkan


pengobatan intensitas tinggi. Hal ini merupakan hal penting

yang belum terpecahkan, karena warfarin intensitas tinggi

menyebabkan risiko lebih tinggi untuk terjadinya


komplikasi perdarahan. Pada beberapa studi, warfarin
intensitas menengah telah menunjukkan efek penekanan
koagulasi yang sepenuhnya efektif, sebagaimana dinilai
menurut kadar fragmen protrombin dan pencegahan

trombosis rekurens. Akhirnya, pemantauan tingkat


antikoagulasi pada pasien sindrom antifosfolipid dipersulit

oleh kurangnya reagerr terstandarisasi untuk penentuan


INR dan kemungkinan potensial adanya interferensi oleh
antibodi antifosfolipid pada pengukurannya.

PENGOBATAN PADA IBU HAMIL


Perempuan hamil dengan antibodi antifosfolipid positif dan
riwayat dua atau lebih kehilangan kehamilan dini atau satu

atau lebih kehilangan kehamilan akhir, preeklampsi,


pertumbuhan janin terhambat, atau abrupsio, disarankan
pemberian aspirin antepartum ditambah profilaksis hep-

ain (unfractioned heparin UFH,

atau

LMWH)

dosis kecil

atau sedang (Grade 2B).


Perempuan hamil dengan antibodi antifosfolipid positif

tanpa riwayat tromboemboli vena atau kehilangan


kehamilan harus diperlimbangkan mempunyai peningkatan

risiko timbulnya trombosis vena dan, barangkali,


kehilangan kehamilan. Pendekatan yang dapat dilakukan
adalah observasi, pemberian heparin dosis kecil, profilaksis
LMWH, dan/atau aspirin dosis rendah,75-762 mg sehari
(semua Grade 2C).
Pasien dengan APLA dan riwayat trombosis vena, pada
umumnya mendapat antikoagulan oral jangka panjang oleh
karena risiko kambuh yang tinggi. Selama dalam masa

kehamilan, di samping pemberian aspirin dosis mini

hidroksiklorokuin dan pentoksifilin) ditambah antikoagulan


(warfarin atau LMWH). Pasa pasien dengan LA positif
dan memiliki faktor risiko lain (seperti mutasi faktor V

direkomendasikan dosis terapi LMWH atau UFH. Saat


pascapartum, terapi antikoagulan oral jangka panjang
dilanjutkan (Grade 1C).
Perempuan homozygous MTHFR varian termolabil
(C611T), disarankan pemberian suplemen asam folat
sebelum konsepsi atau, jika telah hamil, secepat mungkin,

Leiden, gen protrombin, atau MTHFR) pemberian

dan selama kehamilan (Grade 2C).

vena diindikasikan untuk pemberian terapi antiplatelet

(seringkali merupakan kombinasi antar asipirin.

antikoagulan seumur hidup mungkin diperlukan.

Perempuan dengan suatu trombofilia kongenital dan

1352

HEM/{IOLOGI

keguguran berulang pada trimester kedua atau setelahnya,


preeklampsi berulang atau berat, atau abrupsio, disarankan
pemberian aspirin dosis mini di samping profilaksis UFH
atau LMWH dosis kecil (Grade 2C). Saat pascapartum,
juga disarankan pemberian antikoagulan pada perempuan
ini (Grade 2C).

REFERENSI
D, Delezd M, Oria CV, et al. Antiphospholipid
antibodies and the antiphospholipid syndrome in systemic
lupus erythematosus: a prospective analysis of 500 consecutive
patients Medicine (Baltimore). 1989;68:353-65.
Alarc6n-Segovia D, P6rez-V6zqtez ME, Villa AR, Drenkard C,
Alarc6n-Segovia

J. Preliminary classification criteria for the


antiphospholipid syndrome within systemic lupus erythematosus. Semin Arthritis Rheum 1992: 2l:215-86.
Alarc6n-Segovia D, Sanchez-Guerrero J. Primary antiphospholipid
syndrome. J Rheumatol. 1989;16:482-8.
Cabiedes

Ames PRJ. Antiphospholipid antibodies, thrombosis

and

atherosclerosis in systemlc lupus erythematosus: a unifying


'membrane stress syndrome' hypothesis. Lupus 1994;3:371-7
Arnout J. The pathogenesis of the antiphospholipid syndrome: a

hypothesis based on parallelisms with heparin-induced


thrombocytopenia. Thromb Haemost 199675:536-41.
Arvieux J, Roussel B, Jacob MC, Colomb MG. Measurement of
antiphospholipid antibodies by ELISA using beta 2-glycoprotein I as an antigen. J Immunol Methods. 1991;143:223-9.
Asherson RA, Khamashta MA, Ordi-Ros J, et al. The "primary"
antiphospholipid syndrome: major clinical and serological
features. Medicine. 1989;68:366-74.
Asherson RA. Antiphospholipid antibodies and syndromes. In: Lahita
RG, editor. Systemic iupus erythematosus. 2nd edition New
York: Churchill Livingstone; 1992. p. 587-635.

Bajaj SP, Rapaport SI, Barclay S, Herbst KD. Acquired


hypoprothrombinemia due to non-neutralizing antibodies to
prothrombin: mechanism and management Blood
1985;65:1538-43.

Bemini JC, Buchanan GR, Ashcraft J. Hypoprothrombinemia and


severe hemorrhage associated with a lupus anticoagulant. J
Pediatr. 1993'.123:937 -9.
Bevers EM, Galli M, Barbui T, Comfurius P, Zwaal RFA. Lupus
anticoagulant IgG's (LA) are not directed to phospholipids only,
but to a complex of lipid-bound human prolhrombin. Thromb
Haemost. 1 991',66:629-32.
Brandt JT, Triplett DA, Alving B, Scharrer I. Criteria for the
diagnosis
1

of lupus anticoagulants: an update. Thromb Haemost.

995;74: I I

85

-90.

Cabral AR, Amigo MC, Cabiedes J, Alarc6n-Segovia D. The


antiphospholipid /cofactor syndromes: a primary variant with
antibodies to b2-glycoprotein-I but no antibodies detectable in
standard antiphospholipid assays Am J Med. 1996.101:41281.
Carreras LO. Forastiero RR. Martinuzzo ME. Which are the best
biological biological markers of the antiphospholipid syndrome?
J Autoimmun. 2000;1 5 :763-1 2.
Cervera R, Khamashta MA, Font J, et al. Systemic lupus
erythematosus: clinical and immunologic patterns of disease
expression in a cohort of 1,000 patients. Medicine. 1993'72:71324.

de Groot PG, Derksen RHWM. Specificity and clinical relevance of

lupus anticoagulant. Vessels. 1995l.l:22-6.


Erkan D, Lockshin MD. What is antiphospholipid syndrome? Curr
Rhem Reports. 20041,6:451-7
Esmon NL, Safa O, Smirnov MD, Esmon CT. Antiphospholipid
.

antibodies and the protein

C pathway. J

Autoimmun.

20O0:15:221-5.
Calli M, Comfurius P, Barbui T, Zwaal RFA, Bevers EM. Anticoagulant activity of b2-glycoprotein I is potentiated by a distinct
subgroup of anticardiolipin antibodies. Thromb Haemost
1992t68:29'7 -300
Galli M, Comfurius P, Maassen C, et al. Anticardiolipin antibodies

(ACA) directed not to cardiolipin but to a plasma protein


cofactor. Lancet. 1990;335:1544-7.
Galli M. Should we include anti-prothombin antibodies in the screening for the antiphospholipid syndrome? J Autoimmun
2000;15:l0l-5.
Gruel Y. Antiphospholipid syndrome and heparin-induced thrombocytopenia: update on similarjties and differences J Autoimmun
2000:1 5:265- 8.
Harris EN, Gharavi AE, Boey ML, et al. Anticardiolipin antibodies:
detection by radioimmunoassay and association with thrombosis in systemic lupus erythematosus. Lancet. 1983 2:l2ll-4.
Hift RJ, Bird AR, Sarembock BD Acquired hypoprothrombinaemia
and Iupus anti-coagulanr: response to steroid therapy. Br J
Rheumatol 1991 :30:308-10.
H6rkko S, Miller E, Dudl E. et al Antiphospholipid antibodies are
directed against epitopes of oxidized phospholipids: recognition of cardiolipin by monoclonal antibodies to epitopes of
oxidized low density lipoprotein. J Clin Invest. 1996;98:81525.
Hughes GRV, Hanis EN, Gharavi AE. The anticardioiipin syndrome
J Rheumatol. 1986;13:486-9.
Hughson MD, McCarty GA, Brumback RA. Spectrum of vascular

pathotogy affecting patients

with the

antiphospholipid

syndrome. Hum Pathol. 1995:26:T 16'24


Kandiah DA, Krilis SA Beta2-glycoprotein i Lupus. 1994'.3:207-

12.
Levine JS, Subang R, Koh JS, Rauch J Induction of anti-phospholipid autoantibodies by b2-glycoprotein I bound to apoptotic
thymocytes. J Autoimmun. 7998,ll:413-24
Lie JT. Pathology of the antiphospholipid syndrome. In: Asherson
RA, Cervera R, Piette J-C, Shoenfeld Y, editors. The
antiphospholipid syndrome. Boca Raton, Fla.: CRC Press; 1996

p. 89-104.

Lotz BP, Schutte C-M, Colin PF, Biermann LD.

Sneddon's
complications and
syndrome with anticardiolipin antibodies
treatment. S Afr Med J. 1993183:663-4.
Mclntyre JA, Wagenknecht DR. Anti-phosphatidylethanolamine
(aPE) antibodies: a survey. J Autoimmun.2000;15:185-93.
McNeil HP, Chesterman CN, Krilis SA. Immunology and clinical

importance of antiphospholipid antibodies. Adv Immunol.


1991:49:193-280
McNeil HP, Simpson RJ, Chesterman CN, Krilis SA Anti-phospholipid antibodies are directed against a complex antigen that
includes a lipid-binding inhibitor of coagulation: b2-glycoprotein I (apolipoprotein H). Proc Natl Acad Sci, 87:4120-4.Hunt
JE, McNeil HP, Morgan GJ, Crameri RM, Krilis SA. 1992. A
phospholipids beta 2-glycoprotein I complex is an antigen for
anticardiolipin antibodies occurring in autoimmune disease but
not with infection. Lupus. 1990;1:75-81.
Merkel PA, Chang YC, Pierangeli SS, Convery K, Harris EN, Polisson

13s3

SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID

RP The prevalence and clinical associations of anticardiolipin


antibodies in a large inception cohort of patients with connective tissue diseases" Am J Med. 1996;101:576-83
Meroni PL, Del Papa N, Raschi E, et al. b2-Glycoprotein I as a
'cofactor' for anti-phospholipid reactivity with endothelial cells.
Lupus. 1998;7(Suppl 2):S44-S7.
Meroni PL, Raschi E, Camera M, et al. Endothelial activation by
aPL: a potential pathogenetic mechanism for the clinical manifestations of the syndrome. J Autoimmun. 2000;15:237-40.
Mufloz-Rodriguez FJ, Reverter JC, Font J, et al. Prevalence and

Rand JH, Wu X-X, Andree HAM, et al Pregnancy loss in the


antiphospholipid- antibody syndrome - a possible thrombogenic mechanism. N Engl I Med. 1997;33'7:154-6O.
Roubey RAS. Tissue factor pathway and the antiphospholipid
syndrome. J Autoimmun. 20001,15:217 -20.
Roubey RAS. Immunology of the antiphospholipid antibody
syndrome. Arthritis Rheum. 199639:1 444-54.
Shi W, Chong BH, Chesterman CN. b2-Glycoprotein I is a
requirement for anticardiolipin antibodies binding to activated
platelets: differences with lupus anticoagulants. Blood.

clinical significance of antiprothrombin antibodies in patients


with systemic lupus elythematosus or with primary

1993:.81:7255-62.
Tincani A, Balestrieri G Allegri F, et al. Overview on anticardiolipin
ELISA standardization. I Autoimmun. 2000; 1 5 : I 95 -7.
Vaarala O, Alfthan G Jauhiainen M, Leirisalo-Repo M, Aho K,

antiphospholipid syndrome. Haematologica. 2000;85 632-1.

Ohlson S, Zetterstrand K. Detection of circulating immune


complexes by PEG precipitation combined with ELISA. J
Immunol Methods. 19851,7'7 :87 -93.
Oosting JD. Derksen RHWM, Bobbink IWG, Hackeng TM. Bouma
BN, de Groot PG. Antiphospholipid antibodies directed against
a combination of phospholipids with prothrombin, protein C
or protein S: an explanation for their pathogenic mechanism?

Blood 1993:81 :2618-25.


Permpikul P, Rao L\', Rapapod

SI Functional and binding studies of


the roles of prothrombin and A2-glycoprotein I in the
expression of iupus anticoagulant activity. Blood. 1994:'8}2878-

primary and secondary antiphospholipid syndrome:


European multicenter study

of

114 patients. Am J Med.

1994:96:3-9.

Viard J-P, Amoura Z, Bach J-F. Association of anti-b2 glycoprotein


I antibodies with lupus-type circulating anticoagulant and
thrombosis in systemic lupus erythematosus. Am J Med.
1992;93:781-6.

92.
Pernod G, Arvieux J, Carpentier PH, Mossuz P, Bosson JL, Polack

B. Successful treatnrent of lupus anticoagulant hypoprothrombinemia syndrome using i.ntravenous immunogiobulins. Thromb

Haemost. 1991

Palosuo T. Crossreaction between antibodies to oxidised


low-density lipoprotein and to cardiolipin in systemic lupus
erythematosus. Lancet. i993;341:923-5.
Vianna JL, Khamashta MA, Ordi-Ros J, et al. Comparison of the

:1 8:969 -7 A

Petn M. Epidemiology of the antiphospholipid antibody syndrome


J Autoimmun. 2000:l 5: 14.5-5 I
Piette J-C, Wechsler B. Frances C, Papo T, Codeau P Exclusion
criteria for primary antiphospholipid syndrome. J Rheumatol.
1993:20:1802-4.
Price BE, Rauch J, Shia MA, et al. Anti-phospholipid autoantibodies
bind to apoptotic, but not viable, thymocytes in a b2-glycoproteirr Idependent manner. J Immunol. 1996;157:2201-8.

Williams S, Linardic C, Wilson O, Comp P, Gralnick HR. Acquired


hypoprothrombinemia: effects of danazol treatment. Am J
Hematol. 1996:53:21 2-6.
Wilson WA, Gharavi AE, Koike T, et al. International consensus
statement on preliminary classification criteria for definite
antiphospholipid syndrome: report of an international
workshop. Arthritis Rheum. 79991'42:1309-ll.
Wurm H. b2-Glycoprotein-I (apolipoprotein H) interactions with
phospholipid vesicles. Int J Biochem. 1984;16:511-5.

214
TROMBOSIS VENA DALAM
DAN EMBOLI PARU
Lugyanti Sukrisman

PENDAHULUAN
Gangguan pada
Arteri

Trombosis adalah terbentuknya bekuan darah dalam

pada
Vena

Gangguan

Gangguan pada Darah/


Trombosit
Sindrom anti fosfolipid
Reslstensi protein C
(Faktor V Leiden)
Sticky platelet syndrome
Gangguan protein C
Gangguan protein S
Gangguan antitrombin
Gangguan heparin
kofaktor ll
Gangguan plasminogen

pembuluh darah. Trombus atau bekuan darah ini dapat


terbentuk pada vena, arteri, jantung atau mikrosirkulasi

Aterosklerosis
Merokok

Operasi (umum)
Operasi odopedi

dan menyebabkan komplikasi akibat obstruksi atau

ipertensi
Diabetes melitus
Kolesterol LDL
Hipertrigliserida
Riwayat trombosis
pada keluarga
Gagal jantung kiri

Artroskopi
Trauma
Keganasan
lmobilisasi
Sepsis

emboli. DiAmerika Serikat, trombosis merupakan penyebab


utama kematian dengan angka kematian sekitar 2 juta
penduduk setiap tahun akibat trombosis arteri, vena atau
komplikasinya. Angka kejadian trombosis vena dalam
(deep venous thrombosisIDVT) yang bam berkisar 50 per

Kontrasepsi oral

100.000 penduduk, sedangkan pada usia lebih dari 70 tahun


diperkirakan 200 per 100.000 penduduk.

Trombosis vena dan emboli paru berkaitan dengan


berbagai kondisi medis atau prosedur bedah tertentu.
Risiko tromboemboli pada pasien dengan defisiensi
antitrombin III dapat mencapai 807o,107o pada gagal
jantung kong estif dan 40Vo pada infark miokard akut. Pada
pasien yang menjalani operasi, kejadian DVT berkisar 30%
di Eropa dan l6Vo di Amerika Serikat. Pada pasien yang
menjalani operasi panggul atau lutut, kejadian DVT berkisar
45-107o sedangkan kejadian emboli paru dapat mencapai
20dto;7-37o di antaranya fatal. Pada operasi giuekologi dan
obstetri, risiko DVT berkisar 1-45Vo sedangkan pada
operasi saraf antara 9 -5ATo.TabeTberikut menggambarkan
berbagai faktor yang dapat menyebabkan trombosis.

PATOGENESIS
Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi berada
dalam keadaan cair, tetapi akan membentuk bekuan jika

teraktivasi atau terpapar dengan suatu permukaan.


Virchow mengungkapkan suatu triad yang merupakan

Estrogen
Lipoprotein (a)
Polisitemia
Sindrom
hiperviskositas
Sindrom leukostasis

Gagal jantung
kongestif
Sindrom nefrotik
Obesitas
Varicose vein
Sindrom
pascaflebitis
Kontrasepsi oral

Gangguan plasminogen
activator inhibitor
Gangguan faktor Xll
D

isfib rinog enem ia

Homosisteinemia

Estrogen

dasar terbentuknya trombus, yang dikenal sebagai Triad

Virchow. Triad ini terdiri dari: 1). gangguan pada aliran


darah yang mengakibatkan stasis, 2). gangguan pada
keseimbangan antara prokoaguian dan antikoagulan yang

menyebabkan aktivasi faktor pelnbekuan, dan 3).


gangguan pada dinding pembuluh darah (endotel) yang
menyebabkan prokoagul an.

Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor


trombogenik dan mekanisme protektif terganggu. Faktor
trombogenik meliputi:
. gangguan sel endotel
. terpaparnya subendotel akibat hilangnya sel endotel
. aktivasi trombosit atau interaksinya dengan kolagen
subendotel atau faktor von Willebrand.
. aktivasi koagulasi

t354

1355

TROMBOSIS VENA DALAM DAN EMBOLI PARU

.
.

terganggunya fibrinolisis
stasis

pasien dengan DVT proksimal yang simtomatikadalah94To

Mekanisme protektif terdiri dari:


. faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel

.
.
.
.
.

netralisasi faktor pembekuan yang aktif oleh komponen


sel ehdotel
hambatan faktor pembekuan yang aktif oleh inhibitor
pemecahan faktor pembekuan oleh protease

aktif

dan

trombosit yang beragregasi oleh aliran darah


lisisnya trombus oleh sistem fibrinolisis

Trombus terdiri dari fibrin dan sel-se1 darah. Trombus


arleri, karena aliran yang cepat, terdiri dari trombosit yang
diikat oleh fibrin yang tipis, sedangkan trombus vena
terutama terbentuk di daerah stasis dan terdiri dari eritrosit

dengan

omp r e.s.s ion wltr as o unfi m empunyai sensitivitas 89 7o darr


spesivisitas 91o/o pada DVT proksimal yang simtomatik,
sedangkan pada DVT di daerah betis, hasil negatif palsu

yaqg Lituh

pengenceran faktor pembekuan yang

dibandingkan dengan venografi, sedangkan pada pasien


dengan DVT pada betis dan asimtomatik, ketepatannya
rendah. Ultrasonografi kompresi (Real-Time B- mode

fibrin dalam jumlah yang besar dan sedikit

dapat mencapai 507o. Pemeriksaan duplex scanning


mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk
mendiagnosis DVT proksimal. Venografi atau flebografi
merupakan pemeriksaan standar untuk mendiagnosis

DVI

baik pada betis, paha, maupun sistem ileofemoral.


Kerugiannya adalah pemasangan kateter vena dan risiko
alergi terhadap bahan radiokontras atau yodium. MRI

umumnya digunakan untuk mendiagnosis DVT pada


perempuan hamil atau pada DVT di daerah pelvis, iliaka
dan vena kava di mana duplex scanning pada ekstremitas
bawah menunjukkan hasil negatif.

trombosit.

Emboli Paru
DIAGNOSIS

Trombosis Vena Dalam


Anamnesis dan pemeriksaan fisis merupakan hal yang
sangat penting dalam pendekatan pasien dengan dugaan
trombosis. Keluhan utama pasien dengan DVT adalah kaki
yang bengkak dan nyeri. Riwayat penyakit sebelumnya
merupakan hal penting karena dapat diketahui faktor risiko

dan riwayat trombosis sebelumnya. Adanya riwayat


trombosis dalam keluarga juga merupakan hal penting.
Pada pemeriksaan fisis, tanda-tanda klinis yang klasik
tidak selalu ditemukan. Gambaran klasik DVT adalah edema

tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba


pembuluh darah superfisial, dan tanda Homan yang positif.
Pada pemeriksaan laboratorium hemostasis didapatkan

peningkatan D-dimer dan penurunan antitrombin.


Peningkatan D-dimer merupakan indikator adanya
trombosis yang aktif. Pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak

spesifik dan sebenarnya lebih berperan untuk


menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif.
Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 93 7o, spesi visitas
ll Vo dan nilai prediksi negatif 987o pada DVT proksimal,

Pada emboli paru pasien umumnya mengeluh nyeri dada


mendadak (seperli nyeri pleuritik), sesak napas, hemoptisis.

banyak berkeringat dan gelisah. Keluhan ini dapat


menyerupai nyeri dada pada sindrom koroner akut,
sehingga diperlukan anamnesis dan evaluasi yang lebih
cermat. Gejala klasik emboli paru berupa sesak (dengan
atau tanpa disertai nyeri dada pleuritik atau hemoptisis),
takipnea, takikardia dan banyak berkeringat. Tanda ini
sering tidak spesifik, sehingga harus dipikirkan diagnosis
banding atau kemungkinan lain.
Pemeriksaan foto dada (toraks) tidak spesifik tetapi
dapat membantu mendiagnosis emboli paru, meskipun
dapat dijumpai gambaran normal hingga 407o kasus.
Elektrokardiogram dapat menunjukkan gambaran
normal atau sinus takikardia. Gambaran yang klasik seperli
gelombang S,-T., gelombang T yang terbalik di sandapan
prekordial kanan, deviasi aksis ke kanan dan right bundle
branch blocft (RBBB) Iengkap atau tidak lengkap dapat
dijumpai tetapi tidak memastikan diagnosis. Pemeriksaan
analisis gas darah dapat menunjukkan penurunan tekanan
pO, dan pCO, yang disertai alkalosis, meskipun nilai
analisis gas darah yang normal tidak menyingkirkan adanya

emboli paru.

sedangkan pada DVT daerah betis sensitivitasnyaT0To.

Pemeriksaan Ventilation-Perfusion (V/Q) Lung

Pemeriksaan laboratorium lain umumnya tidak terlalu


bermakna untuk mendiagnosis adanya trombosis, tetapi
dapat membantu menentukan faktor risiko.
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang

Scanning merupakan prosedur baku untuk mendiagnosis


emboli paru. Interpretasi hasil pemeriksaan ini berdasarkan
daerah V/Q yang 'mismatch' , yaitu tidak terdapatnya
gambaran perfusi sedangkan gambaran ventilasi tampak
normal atau tersebar merata. Hasil yang diperoleh dibagi

penting untuk mendiagnosis trombosis. Pada DVT,


pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah venografi/
flebografi, ultrasonografi (USG) doppler (duplex
s c

annin

), US G kompre si, Veno us I mp e danc e P I e thy smo -

graphy (IPG) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).

Ketepatan pemeriksaan ultrasonografi doppler pada

gat mungki n (hi gh p r ob abi 116r), kemungki nan


sedang (interme diate p rob ability'), rendah (low pro babi L'

m enj adi : s an

lD,), sangat rendah (very low probability'; atau normal.


Angiografi pulmonal juga merupakan prosedur standar
untuk mendiagnosis emboli paru. Mengingat prosedur ini

1356

HEMAT1OIOGI

invasif dengan risiko morbiditas0,2To dan mortalitas 1,97o


karena reaksi alergi terhadap bahan kontras, perforasi
jantung dan aritmia, prosedur ini digunakan jika hasil V/Q
scanning menunjukkan kemungkinan sedang atau rendah
dan ultrasonografi ekstrernitas normal sedangkan
kemungkinan klinis sedang atau tinggi. Spiral CT angiograph\ mertpakan prosedur yang tidak invasif dengan
sensitivitas 95,5Vo dan spesifisitas 97,6Vo, kecuali pada
emboli paru subsegmental yang menunjukkan hasil yang
lebih rendah.

PENATALAKSANAAN

Trombosis Vena Dalam


Tujuan penatalaksanaan DVT pada fase akut adalah:

.
.
.
.

Menghentikanbertambahnyatrombus
Membatasi bengkak yang progresif pada tungkai
Melisiskan atau membuang bekuan darah (trombektomi)
dan mencegah disfungsi vena atau sindrom pasca
trombosis Qtost thrombotic syndrome) di kemudian hari
Mencegah emboli

Antikoagulan, Unfractionated heparin (UFH)


merupakan antikoagulan yang sudah lama digunakan untuk

penatalaksanaan DVT pada saat awal. Mekanisme kerja


utama heparin adalah: 1). meningkatkan kerja antitrombin
III sebagai inhibitor faktor pembekuan, dan2). melepaskan

tissue factor pathway

inhibitor (TFPI) dari dinding

pembuluh darah. Terapi ini diberikan dengan bolus 80IU/


kg berat badan (BB) intravena dilanjutkan dengan infus 1 8
IU/kgBB/jam dengan pemantauan nrlai Activated Partial
Thromboplastin Time (APTT) sekitar 6 jam setelah bolus
untuk mencapai target APTT 1,5-2,5 kali nilai kontrol dan
kemudian dipantar sedikitnya setiap hari. Sebelum memulai
terapi heparin, APTT, masa protrombin(prothrombin timel
PT) dan jumlah trombosit harus diperiksa, terutama pada
pasien dengan risiko perdarahan yang tinggi atau dengan
gangguan hati atau ginjal.
Heparin berat molekul rendah (low molecular weight
heparinllMWH) dapat diberikan satu atau dua kali sehari

secara subkutan dan mempunyai efikasi yang baik.


Keuntungan LMWH adalah risiko perdarahan mayor yang
lebih kecil dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium
yang sering dibandingkan dengan UFH, kecuali pada
pasien-pasien tertentu seperti gagal ginjal atau sangat

Lama pemberian antikoagulan masih bervariasi. tetapi

pada urnumnya bergantung pada faktor risiko DVT


tersebut. Pasien yang mengalami DVT harus mendapat

antikoagulan selama 6 minggu hrngga 3 bulan jika


mempunyai faktor risiko yang reversibel, atau sedikitnya
6 bulan jika faktor risikonya tidak diketahui (idiopatik).
Sedangkan pada pasien yang mempunyai faktor risiko
molekular yang diturunkan seperti defisiensi antitrornbin
III, protein C atau S, activated protein C resistdnce atatr
dengan lupus anticoagulantl antibodi antikardiolipin,
antikoagulan oral diberikan lebih lama, bahkan dapat
seumur hidup. Pemberian antikoagulan seumur hidup ini
juga diindikasikan pada pasien yang mengalami lebih dari
dua kali episode trombosis vena atau satu kali trombosis
pada kanker yang aktif.
Terapi trombolitik. Terapi ini berlujuan untuk melisiskan
trombus secara cepat dengan cara mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Terapi ini umumnyahanyaefektif pada

fase awal dan penggunaannya harus benar-benar


dipertimbangkan secara baik karena mempunyai risiko
perdarahan tiga kali lipat dibandingkan dengan terapi
antikoagulan saj a. Pada umumnya terapi ini hanya dilakukan
pada DVT dengan oklusi total, terutama pada iliofemoral.

Trombektomi. Trombektomi, terutama dengan fistula


arteriovena sementara, harus dipertimbangkan pada
trombosis vena iliofemoral akut yang kurang dari 7 hari
dengan harapan hidup lebih dari l0 tahun.

Filter vena kava inferior. Filter ini digunakan

pada

trombosis di atas lutut pada kasus di mana antikoagulan


merupakan kontraindikasi atau gagal mencegah emboli
berulang.

Emboli Paru
Pasien yang kesakitan harus diberikan analgetik tetapi
harus hati-hati jika akan memberikan opiat pada pasien
yang hipotensi. Jika terjadi hipoksemia refrakter meskipun

sudah diberikan oksigen, tindakan intubasi dan ventilasi

mekanik mungkin diperlukan, meskipun dapat


memperburuk hemodinamik karena gangguan aliran darah

balik ke jantung (venous return). Pada pasien yang


mengalami renjatan, pemasangan katetervena senffal perlu

dipeftimbangkan.

Antikoagulan, Seperti halnya DVT, UFH merupakan terapi

gemuk.

Pemberian antikoagulan UFH atau LMWH ini


dilanjutkan dengan antikoagulan oral yang bekerja dengan
menghambat faktor pembekuan yang memerlukan vitamin
K. Antikoagulan oral yang sering digunakan adalah
warfarin atau coumarin/derivatnya. Obat ini diberikan
bersama-sama saat awal terapi heparin dengan pemantauan
(I nt e rnat i o nal N o rmalize d Ratio) INR. Heparin diberikan

selama minimal

antikoagulan oral ini mencapai target INR yaitu 2,0-3,0


selama dua hari berturut-turut.

5 hari dan dapat dihentikan bila

standar dan dapat diberikan secara intravena atau subkutan.


Karena efikasi heparin sangat bergantung pada konsentrasi
yang harus dicapai dalam beberapa jam pasca terapi,
pemberian secara subkutan tidak dapat mencapai respon
yang adekuatkecualijikadosis awal UFH sedikitnya 17.500
IU (atau 250IUlkgBB) setiap 12 jam. Selain UFH, LMWH
dapat diberikan dengan efikasi yang sama, meskipun masih
belum direkomendasikan pada emboli paru masif yang

1357

TROMBOSIS VENA DALAIVI DAN EMBOLI PARU

disetar gangguan hemodinamik. Antikoagulan oral dimulai

akibat emboli paru yang fatal, pencegahan trombosis atau

bersamaan dengan terapi heparin. Kedua obat ini diberikan


selama minimal 5 hari dan heparin dihentikan jika sudah

tromboprofilaksis harus dipertimbangkan pada kasus-

mencapai target INR di atas 2,0 selama dua hari berturut-

kasus yang mempunyai risiko terjadinya tromboemboli


vena. Tabel berikut menggambarkan risiko tromboemboli

turut.

pada pasien yang menjalani operasi

Penghambat langsung trombin (direct thrombin


inhibitor) seperti hirudin atau lepirudin merupakan

tomboprofilaksis.

antikoagulan y-ang digunakan pada pasien yang mengalami

pada tabel

trombositopenia akibat pemakaian heparin (HeparinInduc ed Thrombo cytctpenialHlT). Obat ini bekerja dengan

menghambat trombin secara langsung tanpa melalui


antitrombin IIl. Hasil penelitian ximelagatran, obat
pengharnbat langsung trombin yang terbaru, menunjukkan
bahwa efikasi obat ini tidak lebih rendah dibandingkan
dengan enoksaparin/warfarin dan tidak terdapat perbedaan

tanpa

Untuk mencegah tromboemboli vena, sepefii tercantum

di atas, dapat diberikan Low Dose


Unfractionated Heparin (LDUH), yaitu UFH 5.000 IU
subkutan setiap 8-12 jam yang dimulai l-2 jam sebelum
operasi; ADH yaitu UFH subkutan setiap 8 jam, mulai
sekitar 3.500 IU sk dan disesuaikan + 500 IU dengan target
nilai aPTT normal tinggi, atau LMWH/heparinoid yang
dapat diberi sesuai dengan jenis operasi dan risiko
tromboemboli prosedur tersebut.

yang bermakna pada efek samping perdarahan mayor


ataupun mortalitas dibandingkan dengan terapi standar.

Terapi trombolitik, Terapi ini dicadangkan untuk pasien


dengan gangguan sirkulasi berat seperti hipotensi,
oliguria dan hipoksemia berat. Risiko perdarahan mayor
berkisar I 0%. Risiko perdarahan serebral berkisar 0,5-1,57o,
terutama pada pasien usia lanjut dengan hipertensi yang

tidak terkontrol, pasien yang baru menjalani operasi


kraniotomi atau strok.

PENCEGAHAN

Mengingat sebagian besar tromboemboli vena bersifat


asimtomatik atau tidak diserlai gejala klinis yang khas,
biaya yang tinggi jika terjadi komplikasi dan risiko kematian

Derajat Risiko
Risiko rendah

DVT

Betis
f/.1
2

REFERENSI
Bick RL, Kaplan H. Syndromes of trombosis and hypercoagulability. Congenital and acquired causes of thrombosis. In: Bick RL.
Guest editor The medical clinics of north America. Current
concepts of thrombosis. Prevalent trends for diagnosis and
management 1998;82:3 :409-5 8
Bandoljer. Evidence based thinking about health care. DVTs and all
that, April 2003; 110-2. Disitasi dari http://www.jr2.ox.ac.uk/
bandolier/band110/b1 10-2.html tar,ggal 29 Mei 2005.
Baker WF. Diagnosis of deep venous thrombosis and pulmonary
embolism. In: Bick RL Guest editor. The medical clinics of
north America Current concepts of thrombosis. Prevalent
trends for diagnosis and management 1998;82:3:459-76.
Goodnight SH, Hathaway WE. Mechanisms of hemostasis and
thrombosis In: Disorders of hemostasis and thrombosis. A clinical

DVT
(%l
04

Operasi minor pada pasien usia <40 tahun


tanpa faktor risiko tambahan

Risiko sedang

EP

Proksimal (klinis)

10-20

$l

EP fatal

0,2

0,002

Tidak ada terapi khusus,


mobilisasi agresif

1-2

0,'1-0,4

LDUH l12jam, LMWH,


ES atau IPC

2-4

0,4-1,0

Operasi minor pada pasien dengan faktor risiko


tambahan
Operasi bukan mayor pada pasien 40-60 tahun
tanpa faktor risiko tambahan
Operasi mayor pada pasien <40 tahun tanpa
faktor risiko tambahan

Risiko tinggi

20-40

4-B

Operasi bukan mayor pada pasien >60 tahun


atau dengan faktor risiko tambahan
Operasi mayor pada pasien >40 tahun atau
dengan faktor risiko tambahan

Risiko sangat tinggi


Operasi mayor pada pasien >40 tahun + riwayat
tromboemboli vena, kanker atau
hypercoagulable state molekular, artroplasti
panggul atau lutut, operasi frraktur panggul,
trauma mayor, cedera tulang belakang (sprna/
cord injury)

Pencegahan

f/.1

LDUH/Bjam,LMWH
atau IPC

10-20

4-10

0,2-5

LMWH, antikoagulan
oral,

IPC/ES+ LDUH/LMWH,
atau ADH

1358

guide, 2nd ed. New York: The McGraw-Hill companies 2001:3-

I9
Geerts WH, Heit JA, Clageu CP, Pineo GF, Colwetl CW, Anderson

HEMATOI,OGI

Hyers TM, Agnelli G, Hull RD,Morris TA, Samama M, Tapson Vet

al Antithrombotic therapy forvenous

thromboembolic

disease.Chest. 2001 : I 19: 1765- 193S

FA et al. Prevention of venous thromboembolism. Chest

New drugs, o1d drugs The directthrombin inhibitor melagatran

2001;119:132S-175S.
Hirsh J, Colman RW, Marder VJ, George JN, Clowes AW. Overview
of thrombosis and its treatment. In: Colmar RW. Hirsh J. Marder
VJ, Clowes AW, George JN, eds. Hemostasis and thrombosis

ximelagatran. MJA. 2004;181 :8:432-7


Rickles FR, Levine MN, Dvorak HF Abnormalities of hemostasis in
malignancy. In: Colman RW, Hirsh J, Marder VJ, Clowes AW,
George JN, eds Hemostasis and thrombosis. Basic principle and
clinical practice 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and

Basic principle and clinical practice 4th ed. Philadelphla:


Lippincott Williams and Wilkins 2001 ;65:1071-84.
Health services/technology assessement text What is the leve1 of
risk of venous thrombosis and embolism in various patient
groups? Disitasi dari file://E:DVTincidence.htm tanggal 26 Mei

2005.

Haas SK. Treatment of deepvenous thrombosis and


pulmonaryembolism In: Bick RL. Guest editor. The medical
clinics ofnorth America. Curent conceptsof thrombosis. Prevalent trendsfor diagnosis and managementl 998;82:3:495-510

Wilkins 2001 169: 1 13 1-52.


Riedel M Venous thromboembolic disease. Acutepulmonary
embolism 1: pathophysiology, clinical presentation and
diagnosis. Heart.200

Riedei

;85

:229-40.

Venous thromboembolic disease Acutepulmonary


embolism 2. Treatment. Heart. 2001;85:35160.
Welts PS, Anderson DR, Ginsberg J. Assessment of deep vein
thrombosis or pulmonary embolism by the combined use of
clin.ical model and noninvasive diagnostlc tests. Semin Thromb

Hemost. 2000l.26:6'.643 - 56

215
PEMAI(AIAN DAN PEMANTAUAN
OBAT.OBATAN ANTITROMBOS

Nusirwan Acang

mengobati keadaan ini diperlukan pemberian obat-obat yang

PENDAHULUAN

dapat mencegah terbentuknya dan melarutkan trombus.


Obat-obat antitrombosis yang banyak dipakai saat ini
adalah golongan antikoagulan, antiplatelet, dan troriboli ti k.

Dalam keadaan normal, darah mengalir di dalam lumen


pembuluh darah dan berbentuk cair. Pada keadaan
patologis, dapat terjadi keadaan dimana darah keluar dari
pembuluh darah, yang disebut perdarahan, atau darah
membeku di dalam lumen pembuluh darah, yang disebut
trombosis.
Sejak dikemukakamya teori trombogenesis oleh Rudolf
Virchow pada pertengahan abad ke-i9, pengetahuan

ini, telah banyak diteliti dan di pasarkan


obat-obat antikoagulan, antiplatelet dan trombolitik yang

Pada dekade terakhir

baru.

OBAT-OBATAN ANTITROMBOSIS

mengenai trombosis telah berkembang dengan pesat. Pada


saat sekarang, trombosis merupakan suatu keadaan yang
menimbulkan masalah kesehatan terutama di negara negara

Proses pembekuan darah terjadi melaluijalur yang sangat


kompleks. lVlenurut teori klasik (fotLr factor theory), ploses

pembekuan ini, dimulai dengan aktifnya tromboplastin,


dilanjutkan dengan terbentuknya trombin dari protrombin,
dan hasil akhir dari proses ini adalah terbentuknya fibrin
(bekuan darah; dari fibrinogen.
Tujuan pengobatan trombosis adalah: a).mencegah
perluasan ekstensi trombus, b). mengurangi terjadinya
rekurensi trombus, c). mencegah pembentukan emboli, d).
mencegah terjadinya sindrom post-trombotik

barat, baik dalam hal morbiditas maupun mortalitasnya,


yang terjadi di dalam atau di luar rurnah sakit.
Di Amerika Serikat, trombosis merupakan penyebab
kematian yang utama, di mana setiap tahunnya sekitar 2
juta orang menderita trombosis arteri maupun vena, dan
60.000 kasus di antaranya meninggal karena emboli paru.
Di Swedia dilaporkan, 160 kasus baru trombosis vena
dalam (TVD) diantara 100.000 penduduk.
Di Indonesia. sampai saat ini belum ada data epidemiologi

Obat-obat antitrombosis dapat dibagi atas 3 golongan,

yang lengkap mengenai trombosis, baik yang didasarkan

yaitu:a). antikoagulan, b). antiplatelet agregasi, c).

atas data komunitas maupun data rumah sakit. Data rumah

trombolitil</fi brinolitik

sakit yang ada adalah, laporan dari R.S Jantung Harapan


Kita yang telah merawat 533 kasus trombosis di ICCU selama

tahun 1997, dan laporan dari ICCU RSUPN Cipto

Antikoagulan

Mangunkusumo yang telah merawat sebanyak 137 kasus


trombosis pada tahun yang sama.
Adanya trombosis pada arteri atau vena, akan
mengakibatkan terganggu atau tersumbatnya aliran darah
dari atau ke jaringan organ-organ yang dikenai, dan akan

Antikoagulan adalah golongan obat-obat yang kerjanya


menghambat pembekuan darah.
Menurut cara kerjanya dikenal dua golongan antikoagulan,

yaltu:

menimbulkan kelainan yang serius apabila mengenai organ

vital seperti paru, jantung dan otak.Untuk mengatasi/

t35

Bekerja langsung (direk) padapembekuan darah yaitu,


berfungsi langsung sebagai antitrombin III.
Obat yang termasuk golongan ini adalah heparin.

1360

HEM/TffOLOGI

Bekerja secara tidak langsung (indirek) yaitu. yang

berikut: a). trombosis vena dalam, b).infark miokard,

Dosis dan Lama Pemberian Heparin. Berbagai penelitian


telah banyak dilakukan untuk mendapatkan cara pemberian,
dosis optimal dan lamanya pemberian heparin yang efektif
untuk pengobatan dan pencegahan trombosis.
Studi terakhir mendapatkan bahwa lama pemberian
heparin dapat dikurangi dari 10 hari menjadi 5 hari, apabila
pemberiannya dikombinasikan dengan anti koagulan oral.
Heparin dibagi atas 2 golotgan, yait:o:. (Unfractionated

c).angina pektoris tidak stabil, d).trombosis yang berulang


(rekurens), e).terapi profilaksis trombosis pada tindakan

heparin biasa dan heparin berat molekul rendah.zlMWH)

mempunyai khasiat menghambat pembekuan darah


dengan memutuskan hubungan antara faktor-faktor

pembekuan yang dibentuk


pembekuan II,

V[,IX

di hati, yaitu faktor

danX.

Obat yang tergolong kelompok ini adalah antikoagulan oral.


Indikasi pemberian obat-obat antikoagulan adalah sebagai

heparin-UH), dan (Low moleculer weight heparin/

operasi besar/mayor seperti neurosurgery darr total hip


replacement
Nilai aPTT

Kontra indikasi pemberian obat-obat antikoagulan adalah:

Dosis Heparin

aPTT < 35" (< 1, 2 x kontrol)


aPTT 35-45"('l ,2 - 1,5 x
kontrol)

Tingkatkan infus 4 U/kgBBijam


Tingkatkan infus 2 U/kgBB/jam
Tidak ada perubahan

Relatif: a). ulkus peptikum, b). pasca operasi mayor yang

aPTT 46-70" ('l ,5 - 2,5 x


kontrol)
aPTT 71-90" (2,5 - 3 x
kontrol)

kurang dari 5 hari, c).trauma mayor yang baru terjadi

aPTT>90"(>3xkontrol)

Stop infus, ditunda pemberian


selama 4 jam

Absolut: a). perdarahan aktil b). perdarahan serebrospinal,


c).riwayat hipersensitivitas terhadap heparin, d).riwayat
adanya trombositopenia terinduksi heparin, e). diatesis
haemoragik.

Efek samping pemberian obat-obat antikoagulan adalah:


a). perdarahan, b). trombositopenia, c). rambut rontok,
biasanya reversibel, c). osteoporosis, dalam keadaan berat
bisa sampai fraktur

Untuk mengurangi timbulnya efek samping ini.


diperlukan monitor waktu pembekuan darah dan jumlah
trombosit secara teratur

HEPARIN

Heparin merupakan mukopolisakarida (glukosaminoglikan) yang terdiri dari glukosamin sulfat dan asam
glukuronat. Penelitian mengenai efektifitas heparin dan

anti koagulan oral, telah dimulai sejak tahun 1960.


Kemudian, telah banyak dilakukan penelitian-penelitian

untuk menentukan dosis dan lama pemberian

Kurangi kecepatan infus

Heparin Biasa/Tidak Terfraksionasi (UF)


Cara pemberian.Heparin dapat diberikan secara intra vena

atau subkutan, tidak boleh diberikan intramuskuler.

Dosis pemberian. Unfractionated heparin diberikan


dengan dosis inisial 5000 U bolus IY kemudian dilanjutkan
dengan drip 1000 U/jam, dosis ini harus selalu di evaluasi
dan disesuaikan untuk mendapatkan nilai aPTT 1,5-2,5

kontrol (46-70 deiil:), aPTT ini diperiksa setiap 4-6 jam.


Salah satu pedoman untuk pemberian UH dapat dilihat
pada tabel.1

Alternatif lain pemberian UH adalah, diberikan 5.000


unit secara subkutan setiap 4-6 jam, dengan catatan
besarnya dosis yang diberikan harus disesuaikan dengan
hasil pemeriksaan aPTT, nilai aPTT tetap dipertahankan

I,5-2,5 kontrol. Cara ini terutama diberikan pada

antikoagulan pada pengobatan dan pencegahan


timbulnya trombosis. Trombosis berulang dapat terjadi
20Vo pada kelompok yang tidak mendapat heparin, dan

pencegahan terjadinya trombosis vena dalam pada

hanya6,77o pada kelompok yang mendapat heparin pada


masafollow up selama 6 bulan.

keterbatasan/ kekurangan sebagai berikut:

Secara farmakologis, heparin berfungsi sebagai


antikoagulan yang mempunyai efek langsung sebagai
antitrombin III, akan tetapi juga dapat melepaskan plasminogen aktifator jaringan dar tissue factor pathway
inhibitor (TPFD dari endotel. TPFI ini dapat menekan/
menetralisir pembentukan faktor pembekuan Xa, sehingga
tidak terj adi pembekuan.
Heparin mempunyai berat molekul yang cukup besar
sehingga tidak bisa melewati membran, tidak bisa diserap
usus, dan tidak dapat meliwati plasenta. Dengan demikian
heparin hanya dapat diberikan secara intra vena atau
subkutan.

penyakit paru berat dan payah jantung yang lanjut.

Pemberian

UH secara kontinu, mempunyai

Tidak bisa diprediksi respon antikoagulannya, oleh

karena UH bisa di inaktifkan oleh protein plasma dan


faktor trombosit 4.
Membutuhkan monitor yang ketat fungsi pembekuan
darah

.
.
.

Adanya "rebound" gejala klinis pada penghentian


pemberian UH secara tiba-tiba.
Bisa mengaktifasi fungsi trombosit
Mempunyai risiko Heparin induced thrombocytopeni

Larna pemberian. Lama pemberian heparin adalah selama 5


hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian antikoagulan
oral.

136L

PEMAKAIAN DAI\ PEMANIAUAN OBATOBATAN ANTITROMBOSIS

Heparin Berat Molekul Rendah (Low molecular


weight heparinlLMWHl
LMWH berasal dari degradasi unfractionated heparin,
Dibandingkan dengan UH, LMWH mempunyai beberapa

tidak langsung (indirek) yaitu, bekerja secara kompetitif


dengan vitamin K, sehingga akan mengganggu
pembentukan faktor-faktor pembekuan II, VII, IX, dan X.

keunggulan. yaitu:

antikoagulan oral yang banyak dipakai adalah warfarin dan


coumarin (Sintrom). Antikoagulan oral biasanya diberikan
mengikuti pemberian heparin.

LMWH merupakan polisakarida dengan berat molekul


(BM) yang lebih rendah yaitu 4.000 6.000 dalton,
dibandingkan dengan UH yang mempunyai BM 12.000
14.000 dalton. Ukuran yang kecil ini memiliki aktivitas
anti-Ila dan Xa yang lebih tinggi.
LMWH diabsorpsi secara konsisten melalui pemberian
subkutan dengan bioavailabilitas 85Vo, dibandingkan
15Vo pada UH, dan terutama dieksresi melalui ginjal
dengan waktu paruh berkisar 3,5 4,5 jam dibandingkan
1,5 jam pada UH. Tingginya bioavailabilitas dan
lamanya masa paruh, maka LMWH, memungkinkan
diberikan 1 2 kali per hari.
Pada pemberian LMWH, Partial thromboplastin time

(PTT) tidak akan memanjang, sehingga tidak perlu


dievaluasi secara berkala.
Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa LIvIWH lebih
aman, efektif, dan cukup murah untuk tatalaksana trombosis
vena dalam dan emboli paru non masif.
Efektivitas.LMWH lebih baik terhadap regresi trombus

dibandingkan dengan UH. Pemberian UH menghasilkan


regresi trombus pada 40,27o kasus, sedangkan pada
pemberian LMWH dua kali sehari adalah 53,47c kasus dan
pada terapi

LMWH sekali sehari

adalah 53,5r/o

Obat-obat yang termasuk kepada golongan

WARFAR!N
Pemberian warfarin secara tunggal untuk pengobatan
proses tromboemboli kurang bermanfaat, akan tetapi
memberikan hasil yang memuaskan apabila diberikan
mengikuti terapi hepari n.
Beberapa peneliti telah mendapatkan bahwa, terapi
warfarin pada proses tromboemboli vena yang pertama
kali terjadi, memiliki angka kekambuhat22%o dalam masa
"follow up" 3bulan, dibandingkan 77ob1la diterapi hanya
dengan heparin atau LMWH.
Pemberian warfarin selama 3 bulan pada pasien
trombosis vena dalam yang telah diberi heparin selama 57 hari, akan mendapatkan insiden-trombosis berulang lebih
rendah pada kelompok yang mendapat terapi'lanjutan
dengan warfarin dibandingkan dengan kelompok tanpa
pemberian warfarin.

Dosis dan Cara Pemberian

Akan tetapi dengan pengontrolan yang ketat,

Pemberian warfarin dimulai 24 jam setelah pemberian hep-

pemberian UH tidak akan memberikan efek samping yang


banyak berbeda dengan pemberian LMWH.
Oleh karena LMWH merupakan anti koagulan yang
efektif, aman dan tidak perlu monitoring yang ketat untuk
tatalaksana trombosis vena dalam, maka dikembangkan
pemakaian LMWH secara mandiri bagi pasien rawat jalan,
tanpa perlu dirawat inap di rumah sakit.

arin, dengan dosis 5-10 mg peroral, kemudian dosis


disesuaikan dengan nilai INR. Setelah tercapai targetINR:
2-3 selarna2hari berturut turut (biasanya memerlukan waktu

4-5 hari), heparin dapat dihentikan,

pemberian

warfarin diteruskan sesuai dengan protokol yang dipakai.


Salah satu protokol/pedoman pemberian warfarin adalah
seperli Tabel 2.

Dosis dan Cara Pemberian LMWH. LMWH diberikan


secara subkutan,

atau 2 kali sehari selama 5 hari, dengan

dosis sebagai berikut:


. Enoksaparin (Lovenox): 100 U/KgBB, sekali sehari
subkutan atau 40 mg subkutan tiap 12 jam, dosis
pertama dapat didahului 30 mg IV bolus.

.
.
.

Nadroparine (Fraxiparin): 4.000 IU subkutan, diberikan


tiap 12jam
Dalteparin (Fragmin): 120IU/KgBB subkutan diberikan
setiap 12jam. Maksimum 10.000 ru, 2kalilhari.
Reviparin (Clivarin): 4.000 IU subkutan, diberikan tiap

12jarn
Adreparin (Nurmilo): l20IU/KgBB subkutan, diberikan
tiap 12jam.

ANTIKOAGULAN ORAL
Golongan obat-obat antikoagulan oral ini berfungsi secara

Lama Pemberian Warfarin:

Pada trombosis vena asimtomatik, untuk vena distal: 4


minggu, dan vena proksimal: 3 bulan.
Pada trombosis vena disertai faktor risiko yang berlanjut,
diberikan minimal selama 6 bulan. Apabila faktor risiko
tersebut tidak dapat dihilangkan, terapi diteruskan untuk

jangka waktu yang tidak terbatas.


Pada trombosis vena dengan faktor risiko yang bersifat
sementara (operasi, immobilisasi), terapi antikoagulan
diberikan selama 4 minggu.

ANTIAGREGASI TROMBOSIT
Trombosit merupakan faktor penting yang memulai dan

yang mempropagasi terjadinya suatu pembentukan


trombus. Oleh karena itu antiaggregasi trombosit

1362

HEMATIOI.OGI

dan untuk mengurangi besarnya bekuan darah pada


Penyesuaian Dosis

,4
,9

1,1-1
I ,5- 1

2,0-3,0
3,0-4,9
4,0-5,0
>

5,0

Naikkan dosis l0 - 20%. Kontrol 1 minggu


Naikkan dosis 5 -10% Kontrol 2 minggu
Dosis tetap. Kontrol 1 minggu
Turunkan dosis 5 -10%. Kontrol 2 minggu
Turunkan dosis 10 - 20%. Kontrol 1 minggu
Stop pemberian Dipantau s/d INR turun menjadi 3

merupakan suatu golongan obat pilihan untuk pengobatan


dan pencegahan serangan iskemia yang disebabkan oleh

trombosis vena dalam.

Beberapa penelitian melaporkan, pada pasien


trombosis vena dalam (DVT) yang mendapat obat
trombolitik, angka kejadian sindroma pasca trombotik (Post
Thrombo sis Syndrome ) berkurang.

Indikasi pemberian obat-obat golongan trombolitik adalah:


. infark miokard akut

.
.
.

adanya proses trombosis arterial. Peran antiaggregasi

trombosit, berbeda dengan obat-obat golongan


antikoagulan yang lebih bermanfaat pada trombosis vena.

Golongan obat anti aggregasi trombosit pertama yang


masih banyak dipakai sampai saat ini adalah asam salisilat
(aspirin). Asam salisilat berfungsi menghambat/inhibisi
pembentukan prostasiklin dan tromboksan A2 yang
berperan pada jalur pengaktifan aggregasi trombosit. Akan
tetapi, karena efek samping aspirin yang dibenkan dalam
jangka waktu yang cukup lama berupa iritasi lambung yang
cukup mengganggu pasien, maka dikembangkan obat-obat

baru golongan antiaggregasi trombosit. Salah satu obat


antiaggregasi trombosit baru adalah "ADP Receptor
Antagonist, yang juga berperan menghambat aktifasi
trombosit, contohnya klopidogrel. Obat-obat lain yang juga
diteliti bermanfaat untuk mencegah aggregasi trombosit
adalah ticlopidin, dipiridamol dan sulfin pirazon. Telah
diteliti perbandingan efek tiklopidin dan klopidogrel pada
pengobatan penyakit arteri koroner, dan didapatkan hasil
yang hampir sama.
Indikasi pemberian obat-obat antiaggregasi trombosit
adalah untuk pencegahan terjadinya serangan iskemia
akut seperti iskemia strok, "transient ischaemic attack",
angina pektoris, penyakit vaskular perifer.

Dosis dan Cara Pemberian Anti-aggregasi


Trombosit:

.
.

.
.

Aspirin: 150-325 mg, diberikanperoral. Untuk maintenen


dilanjutkan dengan dosis 75-150 mg/hari.
Klopidrogel: 15 mg/hari, diberikan per oral. Bisa
diberikan dosis awal 300-600 mg apabila dibutuhkan
mula kerja (onset of action) yatg cepat.
Tiklopidin: 2 x 250 mg/hari, diberikan peroral. Bisa
diberikan dosis awal 500 mg apabila dibutuhkan mula
kerla (onset of action) yang cepat.
Dipiridamol 2-3 x 25 mglhai, diberikan per oral.

OBATTROMBOLITIK
Pengobatan dengan obat trombolitik seperti streptokinase,

urokinase, recombinant tissue plasminogen acth)ator


(tPA) diberikan pada keadaan terjadinya emboli di arteri

emboli paru

ffombosis vena dalam


penyakit aneri oklusifkronis

Kontraindikasi pemberian obat-obat golongan


trombolitik adalah: Hipertensi berat, endokarditis bakterialis
subakut, hamil trimester pertama, gangguan fungsi hati,
gangguan fungsi ginjal, dan usia lanjut dengan
kecendrungan degenerasi arteriosklerotik

Prepa rat
Streptokinase, Obat ini berfungsi dan bertujuan untuk
mengaktifkan pembentukan plasmin dari plasminogen.
Dosis awal 250.000 ru, diberikan perinfus selama 30 menit,
dan dilanjutkan dengan dosis 100.000 I.U./jam, dengan

pengontrolan waktu protrombin yang ketat. I-ama


pemberian adalah 21-12 jam, dan dilanjutkan dengan
pemberian heparin dan antikoagulan oral sesuai protokol
yang sudah dibahas sebelum ini.

Urokinase, Dosis awal diberikan 4.000 uniVKgBB, dan


dilanjutkan dengan infus 4.000 unit/KgBB/jam. Pemberian
obat ini tidak memerlukan kontrol waktu protrombin.

Tissue P lasm i nogen Activator (rTPA)

Pada pasien dengan BB >65, dosis awal 1 5 mg, diberikan

bollus I.V pelan-pelan, kemudian 50 mg perinfus selama


30 menit pertama,

diikuti 35 mg selama 60 merut. sampai

dengan dosis maksimal 100 mg dalam waktu 3 jam


pemberian.
Pada pasien dengan BB <65 mg, dosis awal 10 mg,

diberikan bollus I.V pelan-pelan, kemudian 50mg


perinfus selama 60 menit, diikuti 20 mg selama 60 menit,
dalam waktu 3 jam.

REFERENSI
Alving B.M : How I.treat heparin-induced thrombocytopenia

and

thrombosis. Blood.2003; I 0l (1):3 1-7


Antman E.M : Enoxaparine : A New Standard of Care. Euro pean
Heart Journal (Suppplement) F7 - Fl1, 2000.
Breddin H K, Wunderle V.H et al : Effect of Low Molecular Weight
Heparin on Thrombus Regression and Recurrent Thromboembolism in Patient with Venous Thrombosis. The New Engl J of
Med. 433:626-631. 2001.
De Gluca. G et al : Comparison between ticlopidine and clopidogrel
in patient with ST segment-elevation myocardial infarction
Thromb Haemaost. 9l:1084-1089, 2004.

1363

PEMAKAIAN DAI\ PEMANTAUAT{ OBATOBATAN ANTMROMBOSIS

Fitzgerald : Collaborative meta-analysis of randomised trials of


antiplatelet therapy for prevention of death, myocardial
ifarction and stroke in high risk patient. British Medical
Journal. 324:7 1-86, 2002
Hirst J, Agnes Y, and Lee Y : How do we diagnose and Treat Deep
Vein Thrombosis. Blood 99 (9) :1352-1364, 2002.
Letai A and Kutter D.J. Cancer : Coagulation and Anti Coagulation.
The Oncoiogisr. 4(6):443-446, 1999.
Merli G Spiro TE et al : Subcutaneous Enoxaparine Once or Twice
Daily Compared with Intravenous Unfractioned Heparin for
Treatment of Venous Thromboemboiic Disease. Annals Of
Internal Medicine 134(3):191-201, 2001.
Merli G.I : Low-Molecular-We:ight Heparin in The Treatment of
Acute Deep Vein Thrombosis and Pulmonary Embolism.
Advanced Studies

in Pharmacy.

2(12) :445 -45 1, 2002.

Mukherjee D, Muhaffey K.W et al : Promise of combination


1ow-molecular-weight heparin and platelet glycoprotein IIb/IIIa
inhibition American Heart Journal 144(6):995-1002, 2002
Ringleb P.A, Bhatt D.L et al : Beneflt of Clopidogrel over Aspirin.
Is Amplified in Patient with A History of Ischaemic Event.
Stroke 35:528-532, 2004.
Singh

L.D : Combination anticoagulation therapy doubles risk of

bleeding in patients at high risk of stroke. British Medical


Journal. 329:250. 2004.
Scwarzt K, Schmt B et al : Eligibility for Home Treatment of Deep
Vein Thrombosis : A Prospective study. British Medical Joumai.
322:1212-1213. 2007
Tambunan K.L : The Problem of Thrombosis in Indonesia
Symposium of Thrombosis and Hemostasis : A Multidisci-plinary
Approach. Jakarta, November 25'h 2000.

Tait R.C. Anti Coagulation in Patient With Thromboembolic


Disease. Thorax. 56(2) :30-31, 2001.

2t6
TROMBOSITOPENIA PADA WANITA HAMIL
Yenny Dian Andayani

PENDAHULUAN

INSIDEN

Hemostasis normal memerlukan sejumlah trombosit yg


berfungsi baik di dalam sirkulasi. Jika terjadi penurunan
jumlah trombosit dalam sirkulasi darah dapat memicu

Angka kejadian trombositopenia pada perempuan hamil


7-8 7o, studi lain menyatakan 707o. sedangkan angka

terj adinya perdarahan.

Pada orang normal jumlah trombosit di dalam sirkulasi


berkisar antara 1 5 0. 000-45 0. 000/ul, r ata-r ata berumur 7 -

10 hari. Kira-kira 713 dari jumlah trombosit di dalam


sirkulasi darah mengalami penghancuran di dalam limpa
oleh karena itu untuk mempertahankan jumlah trombosit
supaya tetap normal diproduksi 150.000-450.000 sel
trombosit perhari.

Pasien dengan trombositopenia sering


menimbulkan masalah dalam diagnosis dan
penatalaksanaan. Diagnosis banding trombositopenia

sangat luas karena kelainan yang menyebabkan


trombositopenia banyak sekali dimana dapat terjadi
penurunan produksi disatu sisi dan terjadi percepatan
dekstruksi disisi lain.

DEFINISI TROMBOSITOPENIA

Bila jumlah trombosit kurang dari 150.000/ul di dalam


sirkulasi disebut trombositopenia. Pada perempuan yang
tidak hamil jumlah trombosit normal 150.000-400.000/ul,
sedangkan pada perempuan hamil jumlah trombosit sedikit

kejadian trombositopenia asimptomatik pada perempuan


hwrul5Vo.

ETIOLOG!

Etiologi trombositopenia yang berhubungan dengan


perempuan hamil secara garis besar dlbagi2:

Trombositopenia yang spesifik pada kehamilan:


s tational thrombocytopenia (GT), preeklampsi, Sindrom
HELLP, acutefatty liver of pregnancy (AFLP).

ge

Tfombositopenia yang tidak spesifik pada kehamilan:


immune thrombocytopenic purpura (ITP), thrombotic

microangiopaties, thrombotic thrombocytopenic


purpura (TTP), hemolytic uremic syndrome (HUS),Infeksi
virus (HIY CIvIV, EBV),Antiphospholipid antibodies, DIC,
disfungsi sumsum tulang, defisiensi nutrisi, drug-induc ed
thrombocytopenia, Type IIb Von willebrand disease,
con genita

l,

hype rsp I en

is

GEJALA KLINIS TROMBOSITOPENIA SECARA


UMUM

menurun.

Trombositopenia pada perempuan hamil dapat

Gejala umum yang sering tampak pada pasien

diklasifikasikan
. Trombositopenia ringan: jumlah trombosit 100.000-

trombositopenia adalah petekiae, ekimosis, gusi dan


hidung berdarah, menometrorrhagia, sedangkan gejala

Trombositopenia sedang: jumlah trombosit 50. 000-

Trombositopenia berat: jumlah trombosit < 50.000/

jarang terjadi adalah hematuria, perdarahan gastrointestinal, perdarahan intrakranial. Perdarahan biasanya terjadi
bilajumlah trombosit <50 000/mm3, dan perdarahan yang
spontan terjadi jika jumlah trombosit <10.000/mm3 dan

ul.

umumnya terjadi pada leukemia.

150.000/ul
100.000/ul

t364

TROMBOSITOPENIA PADA

1365

WANIA HAMIL

TROMBOSITOPENIA PADA KEHAMILAN

kondisi klinis pasien untuk persiapan persalinan.

Dikenal juga dengan trombositopenia insidental pada

Penanganan konservatif disarankan untuk preeklampsi


ringan yang terjadi pada usia kehamilan sebelum 34 minggu
dengan mempertimbangkan kematangan janin. Pemberian

kehamilan. Angka kejadian I Vo pada perempuan hamil,


dar, >10% trombositopenia pada kehamilan adalah
ge stational thrombocytopenia. P atofisiologi belum jelas
tapi diduga adanya peningkatan penggunaan trombosit.
Diagnosa bisanya diketahui secara tidak sengaja yaitu
pada saat pemeriksaan darah rutin pada akhir trimester

kedua. Tidak ada tes diagnostik yang tepat untuk


membedakan apakah ITP dan GT, karena pada keduanya

trombosit dilakukan bila akan dilakukan tindakan sesaria.


Umumnya kondisi klinis pasien dengan preeklampsi
membaik setelah beberapa hari paska persalinan.

HEMOLYSIS, ELEVATED LIVER ENZYMES, LOW


PLATELET (HELLP) SYDROME

didapati antibodi anti trombosit.


Sindrom HELLP merupakan variasi bentuk preeklampsi

Manifestasi Klinik
Ringan, trombositopenia simptomatik dengan jumlah
trombosit >70.000/mm3. Biasanya tidak ada riwayat
perdarahan atau jumlah trombosit yang rendah sebelum
kehamilan. Jumlah trombosit akan normal kembali setelah
2-12 mtgglpaska persalinan, tapi ada juga yang melaporkan
1 minggu paska persalinan sudah kembali normal.

Penatalaksanaan
Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk gestasional
trombositopenia. Pemeriksaan trombosit secara berkala
paska persalinan penting dikerjakan untuk memonitor
apakahjumlah trombosit sudah kembali normal.

berat. Angka kejadian adalah 1-107o padasemua kehamilan.

Sindrom HELLP kira-kira terdapat pada 2l7o


trombositopenia pada kehamilan. Patofisiogi Sindrom
HELLP merupakan proses mikroangiopati dimana
kerusakan endotel dapat menggangu adhesi trombosit.

Diagnosis dan Klasifikasi Sindrom HELLP

.
.

Hemolisis (H): Gambaran abhormal darah tepi (adanya


schistocite), Bilirubin total >1,2 mg/dl, LDH >600 U /L
Peningkatan enzim hati (EL): SGOT >70 U/L, LDH >600

IJII,
Jumlah trombosit menurun (LP): Trombosit <100.000/

rrrd
Kira-kira 50 % pasien mengalami gejala sindrom IIELLP

PREEKLAMPSIA
Preeklampsia terjadi pada 6Vo kehamlTan terutama pada
primigravida dengan usia <20 tahun dan >30 tahun dan
merupakan 71 ,6 % penyebab kematian pada kehamilan di
USA. Kriteria preeklampsia meliputi hipertensi, proteinuria
(protein >300 mg/ 24 jam) dan berkembang sesudah 20
miggu kehamilan. Angka kejadian trombositopenia pada
perempuan dengan preeklampsia 757o. Sedangkan
penelitian lain menyatakan lebih berat yaitu 507o. Angka
Kejadian preklampsia lebih tinggi pada negara berkembang.
Faktor genetik diduga memainkan peranan penting namun

yang lengkap sedangkan 507o nya lagi dengan sindrom


HELLP yang tidak lengkap gejalanya misalnya hanya EL ,
IIEL, ELLP atau hanya LP.

Beberapa Penulis membuat klasifikasi HELLP


berdasarkan beratnya trombositopenia
. Kelas 1: Bilajumlahtrombosit<50.000/mm3
. Kelas 2: Bilajumlah trombosit50.000-100.000/mm3.

Kelas 3: Bilajumlahtrombosit 100.000-150.000/mm3

Manifestasi Klinis
Biasanya tidak spesifik seperti : mual, muntah, sakit kepala
50 Vo,rryeiepigastrium atau nyeri pada kuadran alas kanan
terdapat pada 50-677o kasus.

belum jelas. Preeklampsia pada kehamilan sering

Tidak semua sindrom HELLP memenuhi kriteria

dihubungkan karenajarak kehamilan yang panjang. Faktor


keturunan perlu dipertimbangkan walaupun tidak dapat

preeklampsia, hanya l57o denganhipertensi diastolik < 90


mm Hg, l5%olagimempunyai minimal atau tidak ada sama
sekali proteinuria. Trombositopenia biasanya kelas 2 yaitlu

dijadikan patokan, sementara studi lain menyebutkan


faktor p at e rual dan genetlkmaternal juga mempengaruhi.
Walaupun kondisi klinis baru tampak pada triwulan ke tiga
kehamilan namun gejala telah muncul sejak awal kehamilan
yang terlihat dari remodeling pada vaskularisasi uterus si

50.000- 100.000/rnm3, jarang sekali < 20.000/mm3. Perdarahan

sangat jarang, biasanya berupa hematom pada subkutan.


Angka kematian ibu hamil dengdn sindrom HELLP adalah
l%o.

ibu oleh sel trofoblas.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan
Penanganan yang diberikan pada pasien dengan
preeklampsi adalah terapi suportif dengan memperbaiki

Pasien hamil dengan sindrom HELLP bila kehamilan


sudah cukup harus segera diterminasi akan tetapi bila
kehamilan kurang dari 32 minggu dan tidak ada gejala

t366

maka persalinan dapat ditunda24 sampu 48 jam dengan

antitrombosit tidak rutin dilakukan untuk menegakkan

pemberian kortikosteroid.

diagnosis.

Untuk persalinan pervaginam jumlah trombosit


dipertahankan > 20.000/mm3, sedangkan untuk
persalinan dengan sesaria jumlah trombosit >50.000/
mm3. Bila persalinan dengan sesaria jumlah trombosit
<50.000, dapat diberikan tranfusi trombosit sebelum

HEMATIOI.OGI

operasi alau selama operasi.


Kebanyakan proses penyakit akan berakhir baik paska
persalinan, namun bila keadaan memburuk dan menjadi
sindrom paska persalinan yang menyerupai ITP segera
Iakukan tindakan p h e re sis.

PERLEMAKAN HATI AKUT PADA KEHAMILAN


(ACUTE FATTY OF PREGNANCYIAFLP)
Angka kej adian I pada 5 000- 1 0. 000 kehamilan muncul pada

primigravida selama trimester ketiga. Dari beberapa


pengamatan ternyata penyebab AFLP adalah terjadi
defisiensi Long Chain 3 -hydroxy-acyl Coa dehydrogenase
(LCHAD) atau enzim lain yang melibatkan asam lemak di

mitokondria.

Manifestasi Klinis
Lemah, mual, nyeri epigastrium, nyeri di kuadran kanan
atas, sesak napas, perubahan status mental, gangguan
fungsi hati, diabetes insipidus dan hipoglikemia. Pada
pemeriksaan laboratorium kadar fibrinogen dan antitrombin
menurun.

Penatalaksanaan
Pada pasien dengan AFLP ditatalaksana dengan terapi
suportif dengan mengkoreksi gangguan elekrolit dan

keadaan hipoglikemia, juga mengobati penyebab

koagulopati. Dibutuhkan waktu 10 hari untuk


mengnormalisasi gangguan hemostasis. Angka kematian
ibu dengan AFLP kurang dari 5Vo.

Manifestasi Klinis
Gejala awal biasanya terdapat ptekiae, epitaksis dan
perdarahan pada gusi, akan tetapi kadang-kadang juga
tanpa gejala. Gejala perdarahan yang hebat sangatjarang
walaupun jumlah trombosit <20.000 /mm3. Diagnosis ITP

dibuat setelah disingkirkan penyebab lain dari


trombositopenia misalnya akibat bahan kimia atau obatobatan.
Pada akhir tahun 80-an persalinan pada perempuan
dengan ITP melalui sesaria yang elektif terutama pada janin
dengan trombosit <50.000/mm3. Anak yang lahir dari Ibu
dengan ITP tidak selalu mempunyai trombosit yang rendah
sama seperti ibunya sehingga perempuan hamil dengan
ITP tidak selalu menjalani persalinan sesaria.
Dari beberapa penelitian perempuan hamil dengan ITP
l27o bayi y angdilahirkan mengalami trombositopenia berat,
hanya l%o menderita perdarahan intrakranial yang tidak
ada hubungannya dengan proses persalinan dengan
sesaria. Secara normal bayi yang dilahirkan mengalami
penurunan trombosit beberapa hari setelah dilahirkan ,hal
itu kemungkinan disebabkan oleh karena adanya antibodi
(IgG) trombosit pada air susu ibu , walaupun tidak ada
kontraindikasi menyusui pada perempuan dengan ITP,

tidak ada satupun obat yang dapat

mencegah

trombositopenia pada jani n.


Untuk perempuan hamil dengan ITP bila trombosit
> 50.000/mm3 dan tidak ada gejala maka tidak perlu diobati
sedangkan bila trombosit <50.000/mm3 dengan perdarahan
abnormal atau akan dilakukan tindakan invasif maka perlu

diberikan terapi.

Terapi yang dapat diberikan pada perempuan


dengan ITP
Steroid (misalnya: prednisone), Mulai memberikan
respons setelah hari ke 3 -l hai, mencapai efek maksimal
setelah 2-3 minggu pengobatan. Kira-kira 10 Vo pasien
memberikan r espon, 25Vo remisi komplit.

PURPURA TROMBOSITOPENIK IMUN (IMMUNE


TH R O M BOCWE Nt C P U R P U R N|TPI
Biasanya dikenal juga dengan Idiopathic thrombocy top e nic p arpura arau Autoimune Thrombocytop e nic

Purpura (ATP) Angka kejadian 1 per 1000-10.000


perempuan hamil dan terdapat pada 37o dari seluruh
kejadian trombositopenia pada kehamilan. Antibodi anti
trombosit yang terbentuk dapat menembus plasenta dan
menyebabkan fetal trombositopenia yang menghasilkan
komplikasi perdarahan pada neonatus dengan gejala yang
ringan sampai berat. Kira kira 807o pasien dihubungkan
dengan antitrombosit antibodi, tetapi pemeriksaan antibodi

Intravena Immunoglobulin, Digunakan bila tidak respon


dengan steroid, pada tindakan bedah atau jumlah trombosit
yang rendah dengan perdarahan. Mulai memberikan respon
setelah 6-72 jam .Ktra-kira'707o pasien diberikan pengobatan

ulang setelah 30 hari, akan tetapi pengobatan ini mahal.

Splenektomi, Pada perempuan yang tidak hamil


splenektomi dilakukan bila tidak respon dengan intravena
imunoglobulin. Untuk perempuan hamil splektomi tidak
diindikasikan karena alasan tehnis terutama pada trimester
ke-3, akan tetapi bila jumlah trombosit <10.000/mm3 dan
tidak respon dengan steroid atau intravena imunoglobulin
maka dapat dilakukan splenektomi. Pada2l3 kasus terjadi
remisikomplit.

L367

TROMBOSITOPENIA PADA WANITA HAMIL

Tranfusi Trombosit, Diberikan pada pasien yang


mengalami perdarahan atau untuk tindakan operasi dengan
jumlah trombosit < 10.000imm3.

Splenektomi dapat dilakukan pada TTP sedangkan pada

HUS yang berat dapat dilakukan hemodialisis.

PURPURA TROMBOSTTOPENTK TROMBOT|K FTP)


DAN STNDROM HEMOLTTTK UREMTK (HUS)

TTP dan HUS adalah kelainan mikroangiopati yang


ditandai dengan adanya trombositopenia, anemia
hemolitik dan kegagalan organ-organ. Angka kejadian 1
diantara 25 kelahiran. Adanya mikroangiopati sering
dihubungkan adanya Preeklampsia atau Sindrom HELLP
sehingga terjadi kesalahan diagnosa yang mengakibatkan

meningkatkan angka kesakitan dan kematian ibu.


Penyebab belum diketahui pasti tetapi kerusakan endotel

diduga menjadi faktor pencetus. Agregasi trombosit

TTP

HUS

HELLP

Gangguan neurologi
Demam
Hiperiensi
Gangguan ginjal
Lesi kulit purpura
trombosit
PT/APTT
Fibrinogen
BUN/creatinin
SGOT/SGPT

+++

+l-

+l-

+l-

+l+l-

1)

f)fi1)

LDH

nnfi

0fln

+l-

++

+l+l-

+++

uuu

uu

Uor<+
U

or<+
]t
f)

intravaskular yang abnormal menimbulkan mikrotrombus,

sehingga menyebabkan trombositopenia, anemia


hemolitik dan iskemik pada organ-organ. Saat ini
disarankan untuk dilakukan pemeriksaan turunan

defisiensi spesifik vWF-cleaving protease pada


patogenesis TTP. Protease ini dikenal dengan ADAMS
13 yatgmerupakan famili dari ADAMS metalloprotease
yang kadarnya cenderung menurun pada pasien TTP.
Defisiensi ini disebabkan karena adanya reaksi antibodi

dengan protease sedangkan pada TTP bawaan karena


adanya mutasi pada gen ADAMS 1 3. Kadar ADAMS I 3

ERITEMATOSUS LUPUS SISTEMIK (SLE)

Lebih kurang 257o pasien SLE berkembang menjadi


trombositopenia sekunder oleh karena penghancuran
trombosit oleh antibodi antitrombosit, kompleks imun atau
sebab lainnya. Dari penelitian Burrow terhadap jumlah
trombosit pada perempuan hamil temyata terdapat 8 ibu
hamil dengan SLE.

umumnya meningkat pada kehamilan normal yang diduga

merupakan bentuk yang menyertai perkembangan


mikroangiopati trombotik.

Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda TTP dan HUS sering tumpang tindih.

Pada TTP manifestasi

klinis bervariasi tergantung

jumlah dari arteri yang terlibatrGejala klinis berupa mual,


muntah, sesak napas, trombositopenia berat, anemia
hemolitik, demam dan gangguan neurologi (sakit kepala,
perubahan kesadaran, hemiparese) sedangkan pada
HUS gejala sama akan tetapi gangguan pada fungsi
ginjal lebih dominan yaitu adanya proteinuria, hematuria, oligouri atau anuria.

Penatalaksanaan

.
.
.

Plasmaferesis merupakan terapi yang utama pada TTP


dan HUS dimana plasmaferesis memindahkan substansi
agregasi trombosit yang menyebabkan TTP dan HUS.
Kerberhasilan terapi pada TTP 90 7o sedangkan pada
HUS kurang.
Steroid dapat diberikan akan tetapi tidak begitu efektif
dibanding dengan plasmaferesis.
Pemberian tranfusi trombosit harus dihindari kecuali
adanya perdarahan intrakranial.
Imunosupresi seperti vinkristin, azatioprin,siklosporin
dapat diberikan.

INFEKSIVIRUS

Hampir semua infeksi virus dapat menyebabkan


trombositopenia, akan tetapi yang paling sering
menyebabkan trombositopenia adalah virus HIY CMV
EBV. Patofisiologi terjadinya trombositopenia oleh karena
adanya penekanan dari sumsum tulang. Trombositopenia

karena infeksi virus tidak membutuhkan pengobatan


karena dapat sembuh sendiri.

KOAGU LASr TNTRAVASKULAR DISEMINATA (KlD)


Trombositopenia yang terjadi pada keadaan KID biasanya
terjadi dari kelainan obstetrik dan perdarahan pasca

persalinan. KID biasanya berhubungan dengan


perdarahan.

TROMBOSITOPEN!A KARENA OBAT

Diketahui bahwa beberapa obat dapat menyebabkan


trombositopenia, misalnya: heparin, kuinin, kuinidin,
zidovudin dan sulfonamid. Kokain dapat juga
menyebabkan trombositopenia pada perempuan hamil.

Trombositopenia yang terjadi oleh karena trombosit

1368

HEMATOI.OGI

dirusak oleh aktivasi komplemen akibat terbenitknya drug

antibody complexes. Walaupun dapat sembuh sendiri


tanpa pengobatan selama 7-10 hari, namun untuk kasus

REFERENSI

HIPEBSPLENISME

George JN, Rizvi MA . Thrombocytopenia, In : William WJ.


Beutere,Erslev AJ, Lichman MA ( Eds) Hematologi, 6.Ed,
NY;Mc Graw-Hill Publ.Co : 2003, 1495-533
Handin RI. Disorders of the platelet and Vessel wall. In : Isselbacher
KJ et al (Eds). Harrisons Principles of Internal Medicine. 16 th
ed, vol l.NY : Mc Graw -Hill Inc ;2005, 673-9
Hillman RS and Ault KA . Thrombocytopenia. In : Hematology in
Clinical Practice .second Edition, Mc Graw-Hill Lnc, 1998,437-

Istilah

leni s me digunakan untuk menyatakan

Mc Crae KR Thrombocytopenia in pregnancy: differential

kondisi klinis di mana terdapat sitopenia pada sirkulasi


dengan adanya pembesaran lien dan sumsum tulang
dengan hiperplasi dari elemen seluler di mana elemen-

Kain EN, Mayes LC, et ail. Thrombocytopenia in pregnant women


who use cocaine.AM J Obstet Gynecol.1995, vol 173, 885-

yang berat dengan jumlah trombosit <10.000-20.000 /mm3


dan perdarahan kadang kadang diperlukan terapi suportif

seperti kortikosteroid, plasmaferesis dan infus trombosit.

58.

hip

e r sp

elemen tersebut menurun di dalam darah. Pembesaran lien


disebabkan karena adanya sequestrasi daihen. Oleh karena
lebih dari 200 penyakitberhubungan dengan splenomegali

maka trombositopenia ditemukan pada banyak kasus.

Trombositopenia yang berhubungan

dengan

hipersplenisme biasanya tidak berhubungan dengan


perdarahan. Gambaran laboratorium membantu
menegakkan diagnosis hipersplenisme sebagai dasar
terjadinya trombositopenia dengan adanya penurunan
jumlah trombosit dengan volum trombosit rata-rata normal, dan adanya sedikit peningkatan turn over trombosit.

PSEUDOTROMBOSITOPENIA
Adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kondisi dimana jumlah trombosit yang tidak sebenarnya
pada pemeriksaan darah lengkap yang dilakukan secara

elektronik. Hal ini disebabkan oleh karena banyak


substansi di dalam darah yang menyebabkan aglutinasi
trombosit bila darah ditambah dengan EDTA yang
digunakan sebagai antikoagulan. Umumnya diagnosis
tepat dapat dapat ditegakkan dengan pemeriksaan apusan

darah tepi dengan melihat adanya trombosit yang


menggumpal. Gej ala klinik pada pseudotrombositopenia
tidak ada.

diagnosis, pathogenesis, and management. Blood Review, 2003,

'ro1 l'7,7-74.

890.

Pilai M. Platelets and Pregnancy. British Journal of Obtetrics and


Gynaecology, 1993, vol 100, 201-4.
Rutherford CJ and Frenkel EP. Thrombocytopenia "Iissues in Diagnosis and Therapy " Medical Clinics of North America, 1994,
Vol 78, p 555 -'74.

Richard F. Thrombocytopenia in pregnancy. http:ll


www emedicine.com,/med/topic.

Silver RM, Branch W, Scott JC. Mathernal Thrombocytopenia in


Pregnancy : Time for a reassessment AM J Obstet Gynecol,
1995,

vol

1'73, 479-82.

2t7
TROMBOSIS PADA I(ANKER
Cosphiadilrawan

terjadinya trombo emboli (TE), dan pada beberapa ruangan


tertentu (misal: ruang perawatan operasi jantung) dapat
mencapai 707o; sedangkan dengan empat faktor risiko

PENDAHULUAN

Penyakit keganasan dalam perkembangannya dapat


menyebabkan terjadinya perdarahan atau trombosis.
Kecenderungan perdarahan terjadi melalui: 1).

mencapai 9%. Faktor faktor yang meningkatkan risiko


trombosis secara garis besar dapat dibagi dua kgl.ompok
besar yaitu faktor bawaan/konstitusional dan faktor
didapat/lingkungan (misal: imobilisasi, prosedur akses
pembuluh darah/operasi, kehamilan, pil kontrasepsi, terapi
sulih hormon dan keganasan) (Tabel 1). Interaksi penyakit
kanker dan berbagai faktor kondisi di atas/komorbid,
tindakan operasi atau radiasi, maupun jenis kemoterapi
yang diberikan serta cara perawatan pasien akan
menempatkan pasien secara "unik" pada tingkat risikonya
masing masing untuk terjadinya VTE. Pendekatan
diagnostik dan pengobatan antitrombosis yang menyama
ratakan pasien (generalizefi akan menempatkan pasien
pada risiko yang mungkin tidak perlu dan beban biaya

trombositgpenia, baik melalui penekanan produksi akibat

kemoterapi, radiasi atau infiltrasi sel ganas maupun


koagulasi intravaskular diseminata (KID), 2). fibrinolisis
sistemik, 3). adanya produksi zat mirip antikoagulan (misal:

glikosaminoglikan) atau terj adinya di sfribrino genemia.


Dalam kenyataannya dibandingkan perdarahan justru
kejadian trombosis (arteri dan yang lebih sering adalah
trombosis vena) lebih tinggi kejadiannya. Dilaporkan dalam
perkembangan penyakitnya l57o pasien kanker akan
mengalami trombo-emboli vena (VTE) ; batrkan pada otopsi
postmortem dilaporkan angka ini mencapai 30-507o.
Sebaliknya diternui 207o pasien yang datang dengan
sumbatan vena dalam (DVT) atau emboli paru, temyata

yang tidak ringan. Namun perlu pula diketahui bahwa


menetapkan kriteria pasien mana yang memerlukan atau

kemudian juga menjadi pasien kanker. Kanker dan


hiperkoagulasi merupakan topik yang telah beberapa
dekade dibicarakan dan tiap kali tetap merupakan bahasan

yang menarik karena kekerapannya yang tinggi dan


patogenesisnya yang kompleks. Diawali laporan Armand
Trousseau pada tahun 1865, yang menegakkan hubungan
kanker dengan kejadian VTE, dan dikenal sebagai sindrom
" Trousseau ", sekarang telah diketahui bahwa kanker

Defisiensi protein C
Defisiensi protein S

sendiri dapat meningkatkan risiko kejadian trombosis


sampai empat kali dan kemoterapi meningkatkan sampai

Defisiensi AT lll
Resistensi protein C
teraktivasi
Protombin G2021OA
Peningkatan faktor

enam kali. Di Amerika Serikat total kejadian sumbatan vena


dalam (DVT)/emboli paru (PE): 1 1 7 per 100.000 populasi/

pertahunnya, sehingga dapat diperkirakan secara kasar

kanker adalah: 1/200 orang pertahunnya. Anderson


melakukan survey di rumah sakit pada tahun 1992
melaporkan pada pasien yang dirawat dirumah sakit
ada l9Vo yang

Predisposisi
Operasi atau
trauma
Penyakit
Keganasan
lnfark miokard akut
lnfeksi akut / berat

cagal jantung akut


Gagal napas akut

Strok
H

ipertensi

Penyakit
mieloproliferatif
Sindrom nefrotik
Obesitas
Varises

vilt

akan didapatkan angka kejadian DVT dan PE pada pasien

minimal

Faktor

Faktor Khusus

iperhomosiste

Umur

in

em ia

Sindrom
antifospolipid
Penyakit jantung
kongestif
Penerbangan jarak
lauh

memiliki minimal tiga faktor risiko

t36

Kehamilan /
puerpunum
lmobilisasi
Riwayat VTE

1370

HEMATIOI.OGI

tak memerlukan terapi terutama pencegahan primer


bukanlah hal yang mudah, dan belum ada kesepakatan
yang dapat diterima secara universal mengenai hal
tersebut.
Di Indonesia sendiri kejadian VTE dan pelaporannya
secara nasional belum ada, yang mungkin salah satunya
penyebabnya adalah karena penatalaksanaan pasien
kanker di Indonesia masih dilaksanakan secara terkotakkotak dan belum terpadu dalam satu tim yang terdiri dari
disiplin bedah onkologi, radioterapi dan hematologionkologi medik, maupun disiplin penunjang lainnya;atau
karena hal ini dianggap belurn merupakan hal yang

EKSPRESIT

+
REGULASIl

DIN]DING \/ASKULAR
PROTROIVBOTLK

mendesak untuk segera ditangani karena tak


mempengaruhi morbiditas dan harapan hidup pasien. Dari
berbagai penelitian yang ada jelas membuktikan bahwa
itu adalah anggapan yang salah, karena kejadian trombosis

pada pasien kanker jelas akan meningkatkan angka


kesakitan, menurunkan kualitas hidup, naiknya biaya

MAKROFAG

PAI-1 : HA[,4BAT FIBRINOLISIS (l\,4enghambat fibrinolis s)


PAI-1: Plasminogen aktivation lnhibitor I , TM: Thrombomodulin,
TF: Tissue factor

Gambar 1. Tumor sel, Host Cel/ dan sitokin

perawatan dan dapat menurunkan harapan hidup pasien

Hiperkoagulasi sendiri dapat didefinisiskan sebagai:


kumpulan kondisi konstitusional/didapat yang diketahui/

dicurigai meningkatkan reaksi sjstem koagulasi dan


memulai terjadinya trombosis termasuk perubahan
permanen/sesaat dari sistem koagulasi akibat adanya defek

genetik atau interaksi dengan lingkungan/klinis tertentu


yang mempredisposisi terj adin ya tromboemboli.

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Terjadinya trombosis pada keganasan mencakup proses
kompleks yang terutama disebabkan aktivitas prokoagulan
sel kanker Qtrocoagulant activitylPcA) yang kemudian
akan merupakan interaksi antara: (Gambar I dan2)

.
.
.
.

Dikutip dari : Thrombosis Resarch 102 (2001 ).217

Aktivitas prokoagulan dengan diproduksinya faktor


aringan (" tis sue factorlTF") dan " c anc e r p r oko a g trl an
"(CP)l"tumor associated mucin" oleh sel tumor.

Gambar 3.

Sitokin yang dikeluarkan oleh sel kanker (TNF-c4TNFp

Keterangan: TF: fissue factorllakior jaringan, CP: cancer


procoagulan, PAI plasminogen activator inhibitor, VEGF:

danVEG$

vascular endothelial growth factor, TNF: tumor necrosis factor.

Dampaknya pada proses fibrinolisis


Perubahan pembuluh darah/disfungsi endotel

TM: trombo modulin

Interaksi antara sel pasien/"ftosr" (teraktifasinya:


monosit, makrofag, trombosit dan sel endotel) dengan
sel tumor .Monosit dan makrofag akan mengeluarkan

interleukin-1

Sel endote

(L-1)

dan interleukin-6 (IL-6) yang

Patofisiologi terjadinya trombosis pada kanker masih


tetap relevan diterangkan dengan "Triad Virchow " yang
sejak 1826 menyatakan kejadian trombosis dikarenakan

menyebabkan kerusakan endotel dan "sloughing" sel


endotel pembuluh darah (PD), sehingga menjadi bersifat
trombogenik. Khususnya interaksi dengan makrofag
akan mengaktifkan trombosit, faktor XIII dan faktor X,
yang akan meningkatkan pembentukkan trombin dan
selanjutnya menimbulkan trombosis

adanya:

Sel kanker yang utuh mampu melepaskan vesikel plasma

teraktifasi, b). Menimbulkan hipoksia sel endotel, c). Trauma


pembuluh darah. Berbagai hal tadi akan mempredisposisi
terjadinya TE.

membran kedalam sirkulasi darah dan meningkatkan


pembentukkan bekuan darah

Gangguan Aliran Darah, yang dalam hal

ini

karena

imobiljsasi bed rest atau adanya kompresi pembuluh darah


oleh massa tumor: kondisi ini akan memperlambat atau
bahkan menghambat aliran darah, yang selanjutnya akan:
a). Menurunk an"clearance" faktor faktor pembekuan yang

t37l

TROMBOSITOSIS PADA KANKER

Tlauma dan gangguan fungsi pembuluh darah, akibatnya


adanya invasi sel tumor (misal: karsinoma sel ginjal) atau
kemoterapi. Dalam penelitian selanjutnya dapat dijelaskan

bahwa hal tersebut berkaitan dengan menurunnya


trombomodulin, prostasiklin dan aneksin II; yang ketiganya
bersifat sebagai "antikoagulan"dan "anti agregasi "baik
langsung maupun tak langsung .

Terjadinya perubahan pada komponen pembekuan darah


yang menyebabkan kondisi hiperkoagulasi (terjadi pada
50-107o pasien kanker), terjadi melalui aktivasi langsung
faktor Xa oleh CP yang hanya diekskresikan oleh se1 tumor
dan foetal (suatu sistein protease dengan BM 68 kDa) atau
melalui TF (suatu glikoprotein trans membran dengan BM
47 kDa) selain diekskresikan sel kanker juga oleh sebagian
besar sel normal seperti sel monosit, endotel, sel jaringan
ikat dan lainnya.Ekskresi TF di"up regulated'oleh sitokin
yang kemudian mengaktivasi faktor VII dan membentuk
kompleks TF+VIIa .Salah satu produksi sel tumor berupa
musin asam sialat, dapat mengaktifkan faktor X secara non
enzymatik. Selain mekanisme di atas juga diketahui terjadi
penufl.rnan anti koagualan alamiah, seperti: AT III, protein
C dan S atau melalui aktivasi trombosit.
Beberapa faktor yang meningkatkankan risiko kejadian
trombo emboli (TE) pada kanker yaitu antara lain: a. Jenis
dan stadium kanker b. Berbagai prosedur perawatan umum
maupun khusus yang meliputi: imobilisasi, operasi, kateter
vena sentral, kemoterapi, terapi hormonal dan lain lain.

Terapi hormonal. Meningkatnyarisiko TE terjadi melalui

sifat intrinsik tamoksifen (TAM) yang mirip estrogen


(agonis), dapat meningkatkan berbagai faktor prokoagulan,
di samping juga menurunkan AT III dan protein C.Saphner
dan juga Pritchard melaporkan kejadian TE lebih tinggi pada
kombinasi TAM dengan kemoterapi , dibanding hanya

kemoterapi atau TAM saja.

Kateter sentral vena. Denovo memberikan kemungkinan


30Vo terjadinya TE, hal ini meningkat mencapai '70% bila
terjadi disfungsi kateter sebelumnya (Gould et al). Berkaitan
dengan meningkatnya risiko kejadian TE sehubungan
dengan pemasangan kateter vena, dilaporkan lebih lanjut:
a) Risiko kateter lubang tiga >lubang dua >lubang satu, b).
Lebih berhubungan dengan ukuran daripada tipe/merek
tertentu, c).Risiko lebih tinggi pada pemasangan di vena
subclavia kiri daripada kanan, d). Ujung kateter terletak
pada distal dari setengah vena kava superior berseberangan
dengan dinding dada, e).Adanya tumor intratorakal. Horne
melaporkan risiko tertinggi terjadinya oklusi parsial vena
terjadi pada enam minggu pertama pemasangan kateter

Operasi. Kakkar dan Williamson melaporkan pada post


operasi pasien kanker, risiko kejadian DVT meningkat dua
kali dan PE fatal meningkat lebih dari tiga kali djbanding
operasi pada tumorjinak. Penilaian risiko trombosis selama

operasi tergantung pada jenis operasi/trauma (exposing


risk) dan faktor predisposisi pasien (misal: umur lebih dari
40 tahun, adanya penyakit lain/komorbid, obesitas, varises
vena, peradangan , infeksi, terapi hormonal dan adanya
trombofilia).

FAKTOR RISIKO

Jenis keganasan. Beberapa laporan menyebutkan


beberapa jenis kanker memberikan kecenderungan yang

lebih tinggi terjadinya TE, dimana kanker pankreas


memberikan angka24-287o,paru berkisar 20-21 7o,kolon 378Vo, gaster l2-l3Vo, prostat 13-71Vo datpaytdaru2-87o.
(tergantung pre-postmenopause). Jenis histologi tertentu
seperti adenokarsinoma tipe produksi musin positip juga
merupakan faktor predisposisi terjadinya TE,. Namun
tingginya prevalensi VTE pada kanker lebih mengikuti jenis
kanker yang tersering pada populasi umum, seperti pada
laki laki jenis yang sering dijumpai adalah kanker kolon,
paru dan prostat; sedangkan pada wanita adalah: kanker
payudara. paru dan ovarium.

PENCEGAHAN DANTERAPI

ini ada baiknya dapat


dipahami dahulu berbagai terminologi di dalamnya, yaitu:
. Risiko predisposisi (."predisposing risk"): adalah risiko
Untuk dapat memahami topik

yang telah ada sebelumnya, terlepas dari kondisi


penyakitnya saat ini atau operasi yang akan dijalaninya.
Terbagi lagi dalam: a. Risiko umum/karakter umum
seperti jenis kelamin, umur, golongan darah dan lainnya;

dan ajuvan seperti rejimen FAC, ataupun status

atau penyakit yang diderita dalam tiga bulan terakhir


(misal: AMI, strok), maupun kondisi kronis yang lain
(misal: insufisiensi vena, varises, keganasan) b. Risiko
inheren mayor: termasuk di dalamnya riwayat pribadi
atau keluarga dengan VTE, kelainan pembekuan darah
ataupun penanda mutasi genetik terlentu
Risiko terpajan ("exposing rlsk"): adalah risiko didapat
karena kondisi penyakit medik atau bedah, tennasuk di
dalamnya adalah prosedur terapi yang harus dilaluinya
Risiko keseluruhan ("overall rlsklOR "): adalah total
risiko VTE seseorang dengan mengkombinasikan risiko
predisposisi dan terpajan.

postmenopause pada waktu terapi memberikan risiko yang


tinggi dan bermakna terjadinya TE.

"Decision Matrix" adalah salah satu usaha para ahli


diberbagai negara berdasarkan penilaian faktor risiko poin

Kemoterapi. Meningkatkan risiko TE melalui tiga


mekanisme, yaitu: a.) Kerusakan akut dinding pembuluh
darah (misal: bleomisin, carmustin, vinka alkaloid) b). Non
akut pada endotel (misal: doksorubisin) c). Menurunkan

kadar antikoagulan alamiah (misal:CMF menurunkan


protein C dan S ;L-asparaginase menurunkan AI III).
Beberapa laporan juga menyebutkan kemoterapi neoajuvan

.
.

L372

HEMAIOI.OGI

7 dan2 di atas guna menilai dan membagi OR pasien atas


kelompok risiko: rendah, moderat, tinggi dan sangat tinggi.
Pada risiko tinggi dan sangat tinggi para panelis sepakat
untuk memberikan pencegahan antikoagulan baik UFH
ataupun LMWH,sedangkan anti agregasi belum disepakati

bagian abdomen atau pelvis menunjukkan pada hari ke 8


dan ke- l5 tak ditemui perbedaan bermakna kejadian VTE
(157o vs 187o) , maupun efek sampingnya. Pada enoxacan

II

pasien kanker dengan operasi abdomen mendapat

manfaat dan perannya. Dengan menjawab berbagai


pertanyaan yang telah disusun, kita dapat menetapkan
jumlah nilai akhir risiko pasien

enoksaparin 40 mg sekali sehari selama seminggu, yang


dilanjutkan dengan randomisasi dengan dosis yang sama
atau plasebo selama 2l hai; memperlihatkan penurunan
insiden DVT dai l2Vo menjadi 4,87o (p=Q,Q))

"The Sixth ACCP Consensus" menetapkan tiga hal yang


menjadikan seorang pasien memiliki risiko terlinggi kejadian
trombosis yaitu: l). Pasien dengan riwayat TE vena 2).

Kondisi disini agak lebih sulit, dan tak banyak penelitian

Pencegahan pada Pasien Medik/non Operasi

Penyakit kanker 3). Operasi besar/mayor ortopedik;


sehingga terapi pencegahannya dengan antikoagualan
harus dijalankan. Hal hal ini selanjutnya akan dipengaruhi
oleh: tata cara perawatan umum, lama dan jenis anestesi,

pencegahan primer antikoagulan pada pasien kanker yang

mobilisasi pre-post operasi, tingkat hidrasi pasien dan ada

menjalani prosedur medik/kemoterapi . Levine et al


memberikan warfarin dosis rendah

(INR 1,3-1 ,9)

mg selama 6 minggu

atau plasebo secara random pada 3 I

I pasien

Bick dan teman pada tahun 2003 mencantumkan

kanker payudara stadium IV yang menjalani kemoterapi.


mendapatkan 857o penurunan risiko relatif trombosis pada
kelompok warfarin (p= 0,03) tanpa meningkatkan risiko

pembagian katagori risiko berdasarkan "the International

perdarahan. Samama et al menunjukkan pemberian

Consensus Group dan European Consensus Group"


(terdiri dari risiko rendah, moderat dan tinggi) dan tingkat
klasifikasi risiko berdasarkan "The Sixth ACCP Consensus" (terdiri dari: rendah, moderat, tinggi dan sangat tinggi)
pada pasien operasi dan medik; berdasarkan "exposing
factor" dan faktor predisposisi. Keduanya menetapkan
bahwa operasi besar, operasi daerah pelvis atau abdomen
untuk keganasan merupakan risiko tinggi dan sangat tinggi
yang memerlukan terapi pencegahan baik dengan heparin
berat molekul rendah (low molecular weight heparinl

enoxaparin dibanding plasebo pada pasien kanker yang


dirawat dengan penyakit akut mempunyai risiko relatif 0.37

tidaknya sepsis.

LMWH) atau UFH (unfractionated

heparin)

untuk trombosis (p <0.001). Disisi lain pada suatu observasi


pasien kanker stadium lanjut atau metastasis rawat dengan
jalan hanya ditemui 3Vo kejadian VTE bergejala.
Disimpulkan pada pasien kanker stadium lanjut rawat jalan
tak dianjurkan pemberian rutin LMWH atau UFH , namun

direkomendasikan bila dirawat karena penyakit akut


lainnya

(Rekomendasi lA). Sedang kan untuk pasien non operasi


harus dikaji risiko VTE, mengunakan sistem nilai "expos-

Terapi VTE
Prinsipnya pengobatan baku dengan antikoagulan

ing dan predisposing factor". Pasien dalam kelompok

kejadian VTE pada pasien kanker tak berbeda dengan


pasien non kanker. Pemberian LMWH subkutan atau

moderat dan tinggi harus dipertimbangkan terapi


pencegahan UFH atau LMWH ( 6'h ACCP Consensus: 1A
). Sedangkan asidum salisilikum sebagai anti agregasi
belum dipastikan perannya

TERAPI DAN DOSIS

intravenous UFH memberikan hasil yang sama efektifnya.


Pemberiaan LMWH (enoksaparin, reviparin) berdasarkan

berat badan, dua kali sehari lebih efektif dibandingkan


sekali sehari, dan mungkin dilakukan secara rawatjalan.

Pencegahan Sekunder

Pencegahan pada Pasien Kanker Pro Operasi

Dengan rejimen oral vitamin K antagonis yang dimulai sejak


hari peftama I.]FFilLMWH,untuk mencapai INR 2,0-3,0 akan

pasien kanker yang menjalani operasi,

mencapai kekambuhan sampai 8% pertahunnya pada

akan mengalami risiko DVT yang dibuktikan dengan


venografi mencapai 20-407o, dengan fatal PE l1o.
Pemberian antikoagulan sebagai pencegahan VTE/PE
pasien keganasan yang menjalani operasi sangat
direkomendasikan. Mismetti et al melaporkan tak ada
perbedaan bermakna arrtara UFH atau LMWH pada
timbulnya simtomatik VTE, perdarahan mayor, transfusi
darah atau kematian. Hal ini juga berlaku untuk pasien
non kanker. Penelitian enoxacan yang membandingkan
enoksaparin 40 mg sekali sehari dengan UFH 5000 U tiga
kali sehari pada 1 I 15 pasien kanker yang menjalani operasi

pasien non kanker; namun angka ini akan 2-3 kali lebih
tinggi pada pasien kanker. Hal ini menunjukkan sulitnya
memelihara tingkat terapetik INR pada pasien kanker karena
berbagai kondisi inheren yang kompleks. Untuk menjawab

Tanpa pencegahan

keadaan ini dua penelitian pemberian jangka panjang


LMWH (CANTHANOX : enoksapari n pada I 47 pasien dan

CLOT: dalteparin pada 336 pasien) vs warfarin,


menunjukkan pada CANTHANOX tak ditemui perbedaan
bermakna kejadian VTE, namun dengan kecenderungan

perdarahan lebih tinggi pada warfarin. Hasil CLOT


menunjukkan pemberian dalteparin 200tJlkgl SC sekali

t373

TROMBOSTTOSIS PADA KAI\KER

sehari selama satu bulan diikuti 75-80% dosis awal selama

Bick RL. Cancer associated thrombosis. N Engl J Med 2003 ; 349

5 bulan dibanding kelompok kontrol dalteparin 5-7 hari


diikuti warlarin atau asenokoumarol selama 6 bulan (INR:

109 - 11
Bauer KA. Venous thromboembolism in malignancy,Editorial.

2-3). Menunjukkan LMWH menurunkan risiko kekambuhan


(97o vs lTVo;HR 0,48 , p=Q,Q62) dan penurunan absolut
mencapai 8%.

Lama Terapi
Belum ada kesepakatan berapa larna pengobatan
antikoagulan harus diberikan pada pasien kanker. Namun
beranjak dari konsep selama risiko VTE meningkat pada

pasien kanker yang terpajan faktor "predisposing" dan


"erposing" atau pasien kanker dengan metastase atau
pasien non metastase dengan penyakit yang "aktif' atau
dalam terapi anti tumor, maka selama itu pulalah terapi
antikoagulan tetap direkomendasikan untuk diberikan

KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan dari pembahasan ini adalah: 1) Kanker

menyebabkan hiperkoagulasi pada 40-1)Vo pasien 2)


Berdasarkanjenis keganasan, kejadian TE berkisar 3-28Vo
3) Dasar patogenesis terjadinya trombosis pada pasien

kanker, adalah adanya saling keterkaitan antara PCA

("procoagulant actiyity"), sitokin, fibrinolisis dan


interaksi sel tumor dan sel"host "4) " Exposing risk" yaitu
berbagai prosedur seperti kemoterapi, terapi hormonal,
operasi dan jenis serta lama anestesianya, pemasangan
vena sentral, tingkat imobilisasi.dan jenis/stadium; maupun
"predisposing factor" (faktor risiko yang ada pada pasien,

seperli obesitas, varises, kondisi trombofilia dan lainnya)


merupakan dua sisi yang harus dikaji dan dinilai baik
secara umum/sistimatis, maupun secara individual (" tay lo r
made") untuk mengantisipasi tingggi rendahnya risiko
trombosis pada pasien kanker, dalam kaitannya perlu
tidaknya terapi antikoagulan sebagai pencegahan primer
atau sekunder.

REFEBENSI
Ablamson N, Abramson S Hypercoagulability : clinical assessment
and treatment South Med J 2001; 91 (10) :1013 - 20
Bick RL, Haas S. Thromboprophylaxis and thrombosis in medical .
surgical, tr:aurna and obstetric / gynecologic patieuts. Hematol
Oncol Clin N Am 2003: I1 :211 58
Blom JW, Doggen CJM, Osanto S, Rosendal FR Malignancies,
pthrombotic mutations, and the risk of venous thrombosis. JAMA

2005:293

:715

22

"

Clin

Oncol 2000; 18 3065 - 7


Baron JA, Gridley G, Weiderpss E, et al . Venous thromboembolism
and cancer Lancet. 1998: 351 :1077 - 80
Falanga A Tumor cel1 prothrombotic properties. Haemostasis
2001;31 (suppl) : I-4
Falanga A Thrombosis and malignancy : an underestimated problem J Hematology 2003; 88 : 607 - l0
Frenkel EP, Bick RL Thrombohemorrargic defects associated with
malignancy. In Disorders of thrombosis and hemostasis clinical
and laboratory practice .3" Ed Editor Bick RL 2002 264 -18.
Green KB, Silverstein RL Hypercoagulability in cancer Hematol
Oncol Clin N Am 1996 : l0: 499 524
Haqim N, Lanir N, Hoffman R, et aqJ. Acquired activated protein C
resistance is common in cancer patients and is associated with
venpous thromboembolism. Am J Med 2001; 110 : 91 6
Harter C, Salwender HJ, Bach A, et al. Catheter-related infection
and thrombosis of the internal jugular vein in hematologic oncologic patiens undergoing chemotherapy.Cancer 2000l, 94 :
245 - 50
Kakkar AK, Levine M,Pinedo HM,et al Venous thrombosis in cancer patients: insight from the FRONTLINE survey. Oocologist

2003:8:381-8
Lee AYY. Epidemiology and management of venous thromboembolism in patients with cancerThromb Res 2003;11-0: 167-72
Levine MN Managing thromboembolic disease in the cancer
patient: efficacy and safety of antithrombotic treatment
options in patients with cancer. Cancer Treat Rev 2002;28:
1

45-9

London SM. Patients with cancer are at high risk of venous


thrombosis BMJ 2005: 330 :26
Mandala M, Ferretti G Cremonesi et al Venous thromboembolism
and cancer: new issues for and old topic Crit Rev in Oncol /
Hem 2003; 48: 65-80
Mousa SA. Anticoagulants in thrombosis and cancer: the missing
link. Expert Rev 2002; 2 : 221 - 33
Mjelicki WP. Biochemistry of cancer. Haemostasis 200I; 31 (suppl)

8-10

Petitou M,Herbert JM. Synthetic anticoagulants Pour la Science


2000: 274: I -8
Rogers LR. Cerebrovascular complication in cancer patients. Neurol
Clin N Am 2003:21 : 16T - 92
Ronsdorf A, Perruchoud AP,Schonenberg RA. Search for occult
malignancy in patients with DVT. Peer Rev Article.
Samama MM et al. Decision Matrix fbr the plophylaxis oi venous
throboembolism (VTE). Forum 2003 ; l: 1-14
Sorensen HT, Mellemkajaer L, Olsen J, Baron JA. Prognosis of
cancer associated with venous thromboemboiism N Engl J Med
2000; 343 : 1846 50
The Matisse Investigator. Subcutaneeous fondaparinux versus
intravenous LIFH in the initial treaqtment of PE. N Engl J Med
20()l : -lzl9:1695 - 702
von Tempelhoff GF, Niemann F, Schneider DM, et al. Blood
rheology during chemotherapy in patients with ovarian cancer.
Throm Res 1998 : 90 '. 13 - 82

218
SITOGENETIKA
Aru W. Sudoyo

PENDAHULUAN
Sitogenetika, atau pemeriksaan terhadap kromosom, telah

r*.
e.C rJ

mengal ami perkembangan yang pesat dal am dua


dasawarsa ini sehingga sudah menjadi bagian dari ilmu
kedokteran klinis. Selain untuk mendeteksi kelainan bawaan
seperti sindrom Down (trisomi 21), teknik ini telah
membuktikan bahwa pada berbagai jenis keganasan darah
dan padat didapatkan kelainan kromosom yang khas.
Pada tahun 1960, sitogenetik telah berkembang dari
laboratorium genetika yang mempelajari tanaman serta lalat

Drosophila ke dunia klinik. Penemuan kromosom


Philoclelphia pada spesimen sumsum tulang seorang

*
":' . -

pasien leukemia granulositik kronik (LGK) oleh Nowell dan

Hungerford, membuka era baru di mana didapatkan


kelainan kromosom yang secara konsisten dihubungkan
dengan jenis keganasan tertentu. Sepuluh tahun berlalu
sebelum kemajuan teknologi berikutnya, yaitu pada tahun
1970, dengan ditemukannya teknik pemitaan (.chromosome

,?:,+
Gambar 1. Kromosom dalam tahap metafase setelah mengalami
perlakuan dengan enzim tripsin Tampak pita-pita yang terbentuk
dan memberikan gambar khas bagi setiap kromosom

bancling,) oleh Casperssor.r. Diketahui bahwa pada


kromosom Philadelphia tersebut terjadi translokasi antala
kromosom 9 dan22. Teknik pemitaan tersebut merupakan

awal perkembangan sitogenetik kanker

yang

sesungguhnya di mana hingga saat pencetakan buku ini


telah dilaporkan lebih dari 8000 kelainan kromosom pada
kanker. Kemajuan teknologi biologi molekular selanjutnya

mendapatkan bahwa pada breakpoint alau lokasi

Translokasi, disingkat t, yaitu bila sebagian dari sebuah


kromosom berpindah ke kromosom lain. Perpindahan ini
dapat bersifat resiprokal (bertukar) atau tidak. Contoh:
t(9;22) yang berarti telah terjadi perpindahan, dalah hal ini
pertukaran tempa[, sebagian sepotong/segmen kromosom
9 ke kromosom 22. Dikenal sebagai komosom Philadelphia
pada leukemia granulositik kron ik.

translokasi tersebut (translokasi kromosom 9 dan22pada


LGK) terbentuk gen baru atau gen fusi BCR-ABL yang
dianggap memicu terjadinya penyakit ganas tersebut.

Insersi (insertion) atau "ins". Sepotong/sebagian

Dikaitkan dengan konsep di atas. beberapa istilah

lainnya. Misalnya: ins(5 ;2)(p 1 4;q22q32') berarli pematahan


dan penyambungan kembali terjadi pada pita 5p14 pada
lengan pendek kromosom 5 dan pita-pita 2q22 dan2q32.

kromosom beryindah ke lokasi baru, menyelipkan diri di


antara pita-pita kromosom yang sama atau kromosom

sitogenetik perlu diketahui terlebih dahulu, yaitu:

Lengan Pendek Kromosom, dinyatakan sebagai "p",

Inversi, disingkat inv. Sebagian dari sebuah kromosom

iengan panjang kromosom, dinyatakan sebagai "q", dan


sentromer yaitu bagian yang menyempit di antara "p" dan

mengalami rotasi 180 pada kariotip 46, X! inv(3)(q26q29),


teriadi pematahan (breakage) dan penyambungan kembali

"q" (Gambar 1).

1374

1375

SITOGENETIKA

(reunion) di kromosom 3 pada lokasi prta q26 dan q29.

Delesi atau del berarti hilangnya sebagian dari sebuah


kromosom. Suatu sebutan del (1)(q23) berarti pada
kromosom I tel ah terjadi kehilangan sebagian daripadanya
pada lokasi pitaq23.

Marker disingkat "mar" digunakan bilapadakelainan tidak


dikenal. Tanda + atau: Tanda ini dipasang di depan sebuah
angka kromosom untuk menunjukkan adanya penambahan
atau kehilangan sebuah kromosom.

Klon (clone): dua sel dengan kromosom yang mengalami


tambahan kromosom (atau bagiannya) atau perubahan
struktur yang sama. Suatu kelainan dikatakan sebagai
klonalbllaberasal dari satu sel dan mempunyai ciri genetik
sama.

Diploid : jumlah

dan susunan kromosom yang normal.

Haploid : setengah dari susunan normal (misalnya 23


kromosom)

Hipodiploid

: hilangnya kromosom dengan

jumlah 45 atau

kurang.

Kariotip

: susunan kromosom dari sebuah sel terlentu yang

dibuat berdasarkan suatu sistem yang telah disepakati,


dimulai dari kromosom berukuran paling besar dan berakhir

dengan yang terkecil. Kariotip manusia normal ditulis

XY untuk lakilaki dan 46, XX untuk perempuan.


Hingga saat ini tidak diketahui seberapa konsisten
rearrangements atarr perubahan kromosom itu terjadi-

sebagai 46,

dapat secara kebetulan, yaitu seleksi alam akan


menyingkirkan sel-sei yang tidak memiliki kelebihan
proliferatif. Sebaliknya, banyaknya ragam kelainan
kromosom yang ditemukan pada kanker mencerminkan
suatu kelemahan (instabilitas genetik) dalam sel itu sendiri,

dan beberapa peneliti mengusulkan bahwa adanya titiktitik lemah ata:u fragile slles sebagai mediator untuk
perubahan kromosom tersebut.

non-random. Pada proses pemitaan kromosom (chromosome banding), kromosom mengalami pemrosesan dengan
enzim sehingga tampak sebagai memiliki pita-pita atau
band. Setiapl<romosom memiliki ciri susunan pita tefientu,
yang menjadi dasar pengenalan dan interpretasi adanya
kelainan dalam suatu kariotip (susunan kromosom menurut

ukuran). Pemeriksaan tersebut ditujukan pada tahap


mitosis di mana kromosom sudah mulai memisahkan diri
dengan pasangannya tetapi tetap pada satu sumbu atau
spindel, yaitu tahap metafase.

PERUBAHAN PRIMER DAN SEKUNDER


Sungguhpun kelainan non-random di atas menetapkan
keabsahan interpretasi, suatu pengamatan pada sebuah
metafase kadang-kadang akan membingungkan karena
banyaknya kelainan yang ditemukan. Apakah kelainan
kromosom tersebut penting secara patogenesis, perlu
sebelumnya dipilah menjadi dua kategori yaitu kelainan
primer dan sekunder.
Kelainan primer biasanya merupakan kelainan satusatunya pada sebuah kariotip dan seringkali merupakan
kelainan yang khas untuk keganasan tertentu. seperti
translokasi kromosom 9 dar' 22 pada LGK (kromosom
Philadelphia). Kelainan tersebut dianggap sudah muncul

pada tahap

dini suatu

keganasan dan mempunyai

kemungkinan peran kausal. Sedangkan kelainan sekunder


merupakan kejadian yang ditemukan pada tahapan lebih
lanjut perjalanan suatu tumor atau kanker sehingga sudah
menjadi banyak dan senngkali sudah tidak ada makna klinis
dan tidak dapat membantu untuk mencari penyebab.

MAKNA KLINIK PEMERIKSAAN SITOGENETIKA


Dalam bidang hematologi, penggunaan sitogenetik sebagai

pemeriksaan penunjang dalam pendekatan diagnostik

KELAINAN KROMOSOM: SIFAT RANDOM ATAU

terhadap leukemia telah menyebabkan diusulkannya

NON.RANDOM

penyempurnaan klasifikasi FAB dengan klasifikasi MIC


(mo rp ho lo gy - immunop hemo Dr p e - cy t o I e n e t i c s).
Sistem klasifi kasi FAB (F renc h-Americ an- B ritish) y ang

Dalam kaitannya dengan keganasan, dikenal apa yang


disebut sebagai perubahan random atau kebetulan, dan
non-random atau tidak kebetulan. Pengertian ini penting
untuk dipakai sebagai landasan pembahasan selanjutnya
karena kelainan random adalah perubahan pada kromosom
yang terjadi dan ditemukan secara kebetulan pada sebuah

lazim digunakan dianggap mempunyai beberapa


kelemahan, antara lain karena butuh persentase sel blas,
ketidak-jelasan akan sel blas tipe II, kesulitan membedakan

antara leukemia mieloblastik akut dan sindrom

random (kebetulan) atar non-random (didapatkan pada

mielodisplastik, dan definisi dari M6. Sitogenetik, bersama


dengan pemeriksaan imunofenotip, kemudian masuk
sebagai alat bantu tambahan. Salah satu contoh adalah
pada acute mixed lineage leukemia, suatu keadaan yang
tidak tercakup dalam klasifikasi FAB. Pada leukemia jenis
ini didapatkan positivitas untuk CALLA seperti pada LLA
dengan (t(1)(q23) dan t(I1)(q23) dant(9;22) yang biasanya

Iebih dari satu metafase atau set kromosom). Kelainan baru


dapat dilaporkan sebagai kejadian bermakna bila bersifat

didapatkan pada.LMA. The MIC (morphologyimmunophemotyp e- cyto genetic s) C o op erativ e of Study

preparat metafase dan dianggap sebagai penemuan yang


tidak bermakna.
Hal yang perlu dipastikan pada waktu mendapatkan
kelainan kromosom adalah apakah perubahan tersebut
(translokasi insersi, dan sebagainya) merupakan kelainan

L376

HEMANOIOGI

G ro wp berttjuan menj aj aki kemungkinan menin gkatkan


ketetapan klasifikasi c ara FAB (F renc h- Am e ri c an - B rit i s h'|

mengajukan bahwa kasus-kasus LMA perlu dipelajari


secara morfologi, imunologi, dan sitogenetik (sistem MIC).
Dengan sistem MiC ini, maka leukemia mieloblastik akut
akan dibagi menjadi sepuluh kategori dan bukan tujuh

primer cenderung untuk menentukan silat penyakit, dalam


hal ini LMA, seperti yang tercermin pada sitologi, respons
terhadap pengobatan, dan sifat biologis penyakit. Selama
perubahan keriotrpik ini tidak mengalami perubahan, LMA

tidak akan menunjukkan banyak variasi perjalanan


penyakitnya sampai terjadinya penambahan pada
perubahan tersebut (perubahan sekunder), seperti
hilangnya kromosom seks atau trisomi 8. Perubahan

seperti sekarang ini.

tersebut dapat sedikit ataupun sangat banyak. Dalam hal

LIVIA dengan kelainan sekunder, penyakit cenderung


untuk memiliki perjalanan yang lebih agresif dengan masa

hF

sakit pendek serta respons terhadap sitostatik yang sangat


jelek.

t5

&,$ q$

q,e

*l*
#.*

ff*

11

12

qp qp qr

F#i sg
16

17

$r

&#

e,f

trt'

)12lXY

Setiap subtipe LMA mempunyai kejadian biologis


(termasukjuga aspek klinis dan prognosis) berhubungan
dengan atau bahkan ditentukan oleh perubahan secara
spesifik pada kromosom. Biia muncul kelainan kromosom
tambahan, biasanya leukemia menjadi lebih agresif dalam

##

s#
1S

Gambar 2. Contoh foto kromosom-kromosom yang telah digunting


dan disusun berurutan sesuai kesepakatan internasional Dikenal
sebagai sebuah kariotip, membantu dalam menentukan kelainan
kromosom

SITOGENETIK DAN PROGNOSIS

perjalanan penyakit. Kelainan-kelainan kromosom


dil-rubungkan dengan prognosi-s yang buruk. The Sirth
Internationtrl Workshop on Chromosomes in Leukemio,
yan-e bertemu di London tahun 1987, mencapai
kesimpulan yang hampir sama. bahr.,''a kariotip merupakan
faktor prognostik yang independen pada LMA de novo
(baru). Penelitian-penelitian di n-rasa yang akan datang
masih dibutuhkan, karena hasil akhir pasien LMA amat

ditentukan oleh protokol pengobatan


Kelainan kromosom pada leukemia dianggap sebagai salah
satu variabel prognostik leukemia akut yang independen.
Kejadian sitogenetik yang paling penting dal am
menentukan silat dan perjalanan ler,rkemia akut adnlah

perubahan kariotipik primer. Kelainan primer sering


ditemukan sebagai kelainan kromosom tunggal pada
keganasan, dan seringkali dihubungkan dengan jenis
keganasan tertentu, suatu hal yang berlaku pada LMA
Sebaliknya, kelainan sekunder jarang atau tidak pernah
ditemukan sebagai kelainan tunggal, terjadi sebagai
kejadian tambahan dan seringkali menjadi penemuan utama
pada tahap lanjut penyakit.
Kelainan kromosom pada LMA diketahui mempunyai
nilai prognostik yang tidak bergantung pada faktor lain
kecuali protokol pengobatan yang digunakan. Secara

umum, prognosis paling baik didapatkan pada kelainan


kromosom inv(16) dan paling buruk pada delesi atau
monosomi kromosom 5,7, atau kedr-ranya, (1;7(,t(6;9),

inv(3), t(3;3), dan kariotip yang rumit. Contoh iain.


misalnya, adanya translokasi t(8:21)(q22;q23) pada LMA
menunjukkan prognosis yang lebih baik apabila pada
penyakit tersebut ditemukan t(6;9)(p23;q34), LMA
biasanya didahului oleh MDS. Dengan adanya korelasi

)'ang

digunakan.

Kesimpulan ini didukung oleh penelitian yang


dilakukan secara terpisah oieh Schifferl yang mengatakan
bahwa hasii perneriksaan sitogenetik yang siap kurang
lebih 3 atau 4 minggu setelah diagnosis dapat membantu
penentuan langkah berikutnya setelah remisi tercapai.
Munculnya resistensi terhadap sitostatik, yang ditemukan
ju-ea pada mereka dengan prognosis baik, menunjukkan
bahwa pemeriksaan sitogenetik secara serial diharapkan
dapat membantu mendeteksi munculnya klon-klon yang
resisten terhadap obat.

SITOGENETIKA TUMOB PADAT


Walaupun teknik sitogenetik telah mengalami banyak
kemajuan, tumor padat masih mencakup2TTo darikelainan
kromosom yang dilaporkan. Perubahan kromosom pada
tumor padat biasanya sangat kompleks dan sudah

antara gambaran kariotip atau kelainan kromosom tertentu

melibatkan kelainan sekunder akibat lanjutnya progresifitas


keganasan pada waktu diperiksa. Membedakan kelainan
primer dan sekunder jauh lebih sulit daripada leukemia.
Sungguhpun demikian, kemajuan mulai dicapai dengan
diidentifikasinya berbagai kelainan primer yang khas untuk

dengan beberapa subtipe LMA. dapat dikatakan bahwa


diperkirakan hasil akhir pengobatannya, hal yang penting
karena terapi telhadap LMA direncanakan dengan tujuan

beberapa tumor padat tertentu walaupun hanya sedikit


yang telah ditelaah pada tingkat molekular.
Pemeriksaan kromosom pada tumor padat lebih sulit

kesembuhan. Dengan

katt lain, perubahan kromosom

karena beberapa hal:

1377

STTOGENETIKA

sB **
*@\

#q.

$*
82

s \zr

*8

,|

16

*#
{f,

Gambar 3. Potongan-potongan kariotip dari metafase yang


diproses dengan trypsin-Giemsa memperlihatkan perubahan
tatanan kromosom pada leukemia mieloblastik akut:(A)t(9;22)
q 34

1 1

),

CML

;(

B )t ( B ; 2 1

(q22 ; q22), AML-

ganas.

Sitogenetik tumor padat sebagai alat diagnostik


bermanfaat pada keadaan tertentu misalnya efusi pleura,
suatu keadaan di mana cara-cara sitologi maupun lainnya
tidak membawakan hasi l.
Dalam beberapa keadaan, analisis sitogenetik berguna

dalam membedakan tipe tumor, seperti y(17;22) pada


sarkoma Ewing dan tumor serupa, t(2;13) pada
rabdomiosarkoma, t(X;18) pada sarkoma sinovial, dan

E
ttrf i*,

neoplastik. Beberapa translokasi terdapat pada sel normal


dalam biakan. Tetapi bila ditemukan kelainan yang bersifat
multipel dan kompleks, dapat dipastikan bahwa sel tersebut

M 2

; (C ) in v

AMMoI-M5;(D)t(1 5; 1 7) (q22;q

11

(1

-1

6 ) (p 1

3q22),

2),APL;

(E) t(s;11Xp22;q23), Amol-Ms; dan (F) del(5)(q13q33) pada t-

AM Lokasi kelainan ditunjukkan dengan anak panah

(Van den

{12;16) padaliposarkoma miksoid. Karena sarkoma Ewing,


neuroblastoma metastatik neuroblastoma, rabdomio
sarkoma, dan limfoma non Hodgkin jelas berbeda dalam
ciri-ciri sitogenetik, maka analisis kromosom dapat menjadi
alat bantu diagnostik dengan konsekuensi terapeutik jelas.

Diagnosis sitogenetik bahkan dapat ditegakkan


berdasarkan pemeriksaan cucuk jarum halus (fine needle

aspiration biopsy).

Berghe, 1995)

Pada waktu tumor padat dapat dilihat oleh mata

telanjang, yaitu pada saat pasien datang ke dokter,


biasanya kelainan kromosom sudah lanjut sedemikian rupa
sehingga sudah banyak kelainan sekunder.
Jaringan tumor padat, berbeda dengan sumsum tulang

pada keganasan hematologi, mengandung jaringan ikat


dan penunjang yang masih harus "disingkirkan" dahulu
sebelum dapat diteliti.
Dengan tingkat proliferasi jaringan yang lebih lambat
dari sumsum tulang diperlukan biakan yang lebih lama

dengan konsekuensi pemeliharaan biakan yang lebih


memerlukan kecefinatan.
Sebagai akibat berbagai hal di atas, pada kariotip akan
didapatkan jumlah dan kelainan yang sangat banyak.

KEGUNAAN SITOGENETIK TUMOR PADAT DALAM


KLINIK
Untuk keganasan hematologi, analisis sitogenetik sudah
menjadi bagian dari pendekatan diagnostik. Gambaran
kariotip sel darah tepi, sumsum tulang, maupun kelenjar
getah bening sudah dapat memastikan ada tidaknya

penyakit keganasan, menentukan jenisnya, dan


memberikan prognosis. Analisis sitogenetik dan modalitas

diagnostik lainnya sudah dianggap saling melengkapi.


Analisis sitogenetik pada tumor padat, di lain pihak,
harus dilakukan secara lebih hati-hati. karena kesulitan
teknik dan masih kurangnya pemahaman mengenai
perangai tumor padat itu sendiri. Beberapa kelainan seperli

-X

atau

-X

misalnya, dapat ditemukan pada keadaan non-

Macam Perubahan-

Macam Tumor
Tumor Epitelial
Pleomorfik adenoma
Karsinoma paru
Karsinoma ginjal
Karsinoma kandung kemih
Tumor-Wilms
Karsinoma ovarium
Karsinoma prostat

Translokasi dari 12q13 (5,t(3:8)(p21

q1 2)

del(3) (p1 4-23)


del(3) (p1 4-23)'t(3;s)(p1 3;q22)
i(5p),trisom 7, monosomi
del(11)(p13)

add(

9)(p1 3)

del(7)(q22), del(1 0)(q2a)

Tumor l\.4esenkim
Lipoma
Leiongioma
Liposarkoma (miksoid)
Sarkoma sinovia
Rabdomiosarkoma
Malignant fibris histiocytoma
Tumor Sel Germinal,
Neurogenik,
Neuroekstradermal
l\4eningioma
Astrositoma
Neuroblastoma
Retinoblastoma
lVelanoma malignum
Sarkoma Ewing, tumor
askin,
Neuroepitelioma perifer
Tumor sel geminal

Translokasi dari 12q13-15, ring kromosom


Perubahan struktur dari 12q13-15,
del(7)(q21 q31 ),trisomi 1 2
t(12;16)(q13,3;p11 2)
t(x;18)(p1 1;ql 1)
t(2;1 3)(q35-37;q1 4)
add(

9)(p1 3)

Mo nosomi22, del(22)lq1 2- 1 3\
del(9)(p13-24),dmin

del(1 )(32-36),herdmin

del(15)(q14) l(6)(p10)
Delesion of 6q,t(6)(p'1 0)

t(l1,22)(q24,q12)

t(

2)p1 0

Peran sitogenetik pada tumor padat belum baku seperti

pada keganasan hematologi, tetapi beberapa hubungan


antara sitogenetik dan prognosis telah dilaporkan. Sebuah
contoh, pada tumor sel germinativa testikular, kemungkinan
gagalnya kemoterapi meningkat dengan jurnlah I(12)(p10).

Pada kanker prostat, kelainan kromosom berhubungan


dengan pendeknya masa harapan hidup. Pada neuroblas-

toma pemeriksaan sitogenetik juga mempunyai nilai


prognostik. Karena teknologi untuk mengatasi kesulitan
tersebut belum lama digunakan sampai saat ini banyaknya

1378

HEM/{IOLOGI

penemuan masih jauh lebih sedikit daripada sitogenetik

Greenberg P, O'Brien S, Goldman J, Sawyer C. Myelodysplastic

keganasan hematologi. Sungguhpun demikian,

syndromes and myeloproliferative disorders: clinical,


therapeutic, and molecular advances. Education program
book,American Society of Hematology Meeting. Seattle; 1995.

pemeriksaan sitogenetik pada tumor padat sudah mulai


membuka tabir genetik masing-masing tumor. menyusul
ditemukannya kelainan pada kromosom 13 pada retinoblastoma yang menjadi dasar penelitian terhadap kausa
tumor tersebut. Seperti pada keganasan hematologi, pada
tumor padatkelainan kromosom akan menjadi pembuka ke
arah penelusuran kelainan genetik yang terjadi, dengan
jalan yang masih panjang dan kesempatan yang sangat
terbuka lebar untuk pelaporan dan penelitian.

BEFERENSI
Arthur DC, Berger R, Golomb HM, Swansbury GJ, Reeves BR,
Alimena G Van Den Berghe

General report

of the Sixth

International Workshop on Chromosomes in Leukemia:


theclinical significance of karyotype in acute myelogenous
leukemia. Cancer Genet Cytogenet. 1989;40:203-16

Bain BJ. Leukemia diaglosis-a guide to the FAB classification.


Philadelphia: JB Lippincott Company; 1990.

p.10.

Heim S, Mitelman F. Cancer cytogenetics In: Alan R Liss, editor.


New York; 1995. p. 83.
Hirsch-Ginsberg C, Yang OH, Kagan J, Liang JC, Stass SA. Advances
in the diagnosis of acute leukemia.

Mitelman F, Heim S. Quantitative acute leukemia cytogenetics


Gene, Chromosomes & Carcer. 1992;5:5'7-66.
Schiffer CA, Lee EJ, Tomiyasu I Wiernick PH, TestaJR. Prognostic impact of cytogenetic abnormalities in patientswith de novo
acute nonlymphocytic leukemia. Blood. 1989;73(l):263-70.
Schumacher HR, Shirt MA, Kowal-Vem A, Dizikes D, Radvany RM,
Le Beau MM. Acute leukemia and related entitles: lmpact of
new technology. Arch Pathol Lab Med. 1991;115:33I-1.
Sullivan AK. Classification, pathogenesis, and etiology of
neoplastic disease of the hemopoetic system. In: Kee GR, Bithell
TC, Foerster J, editors. Wintrobe's clinical hematology. 9th

edition Philadelphia: Lea & Febiger.


P Chromosomes and cancer. In: Peckham
M, Pinedo H, Veronesi U, editors. Oxford textbook of

Van den Berghe H, Dal Cin

oncology. Oxford-New York: Oxford University Press; 1995.

p. 32

219
DASAR.DASAR TALASEMIA:
SALAH SATU JENIS HEMOGLOBINOPATI
Djumhana Atmakusuma, Iswari Setyaningsih

PENDAHULUAN

Padaembrio:

Hb Gower 1, terdiri

epsilon ((rer),
Hb Gower 2, terdiri atas rantai globin alfa

Sebelum menata-laksana penderita thalassemia, terlebih

dahulu pengetahuan dasar hemoglobinopati perlu

atas

rantai globin zeta


d"an

da.n

epsi-

lon (ure,)

difahami, dengan fokus thalassemia, mencakup pen gerti an,


bentuk, epidemiologi, genotip, fenotip, patogenesis, dasar

molekular, dan patofisiologi. Dengan memahami aspek


dasar thalassemia, aspek klinis thalassemia dapat lebih
dihayati, karena aspek genotip thalassemia memberikan
gambaran klinis atau fenotip yang khusus dan beragam,
terkadang berbeda, misalnya kelainan heterozigot ganda
thalassemia B/HbE memberikan fenotip bervariasi, dari
thalassemia mayor sampai dengan intermedia atau minor.

Hb Portland, terdiri atas rantai globin zeta dan gamma

((rYr), sebelum minggu ke 8 intrauterin'


Semasa tahap fetus terdapat perubahan produksi
rantai globin dairuntaizeta(() ke rantai alfa (cx) dan
dari rantai epsilon (e) ke rantai gamma (y), diikuti
dengan produksi rantai beta (0) dan rantai delta (6)
saat kelahiran.

PENGERTIAN HEMOGLOBINOPATI, HEMOGLOBINOPATI STRUKTURAL DAN THALASSEMIA

JENISJENIS HEMOGLOBIN
globin

Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan

identik yang berasal dari kromosom yang berbeda


(terpisah?). Beberapa jenis hemoglobin yang dapat

(inherited) dan masuk ke dalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan oleh

dijumpai, sebagai berikut:

gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau


dekat gen globin.

Molekul hemoglobin terdiri

atas dua pasang rantai

Pada orang dewasa:


HbA (96 Vo), terdiri atas 2pasangrattai globin alfa

Mutasi gen globin ini dapat menimbulkan dua


perubahan rantai globin, yakni:
(a) perubahan struktur rangkaian asam amino (amino acid

dan beta (o,rpr)

Hb Ar(2,5 Vo),terdii

atas 2 pasang rantai globin

sequence) rantai globin tertentu, disebut

alfa dan delta (o,16r)


Pada fetus:

HbF (predominasi), terdiri atas 2 pasang rantai

globin alfa dan gamma (crryr)


Pada saat dilahirkan HbF terdiri atas rantai globin
alfa dan Ggamma luro'lr) dan alfa dan Agamma

hemoglobinopati struktural, atau


(b) perubahan kecepatan sintesis (rate of synthesis) atav
kemampuan produksi rantai globin tertentu, disebut
thalassemia.

1ar\r),di

Hemoglobinopati yang ditemukan secara klinis, baik


pada anak anak atau orang dewasa, disebabkan oleh mutasi

dan alanin pada \

gen globin u atau B. Sedangkan, mutasi berat gen globin


(, e , dan y dapat menyebabkan kematian pada awal gestasi.

mana kedua rantai globin gamma berbeda


Gy
pada asam amino di posisi 136 yaitu glisin pada

t37

1380

HEM/I$OIOGI

Thbel 1 menunjukkan kelainan-kelainan yang termasukke

thalassemia-a

5.

dalam hemoglobinopati:

Hb S-thalassemia-p: adalahkombinasi HbS dengan


thalassemia-p

2. Hemoglobin dengan
1

afinitas oksigen yang berubah:


Contohnya adalah Hb Yakima (B Cd 99 GATASp>CAI'Hi.
atau p.Asp99His), ditemukan secara sporadik dengan

Hemoglobinopati struktural
a. Sindrom sel slck/e:

- HbS
- Heterozigot ganda HbS dengan varian hemoglobin
thalassemik: Hb SC, Hb SD, Hb S, Hb S-

thalassemia-q, Hb Sthalassemia-B
b. Hemoglobin dengan afinitas oksigen
Contohnya, Hb Yakima

c
2

amino pada daerah yang penting untuk solubilitas atau


pengikatan heme. Hb varian ini dijumpai secara sporadik.

Hemoglobin tidak stabil (unstable)'. Contohnya, Hb


Koln

THALASSEMIA

Thalassemia-6p, thalassemia-ydp, dan thalassemiacrp

Heterozigot ganda thalassemia-q atau

varian hemoglobin thalassemik:

-p

dengan
Contohnya,

thalassemia B/HbE

3. Varian hemoglobin thalassemik:


HbC, HbD-Punjab, HbE, Hb Constant Spring, Hb Lepore,

Contohnya Hb
Ktiln (B Cd98 GTGV"r>AIGM"' atau p.Val98Met). Teqadi
akibat mutasi gen yang mengubah rangkaian asam

yang berubah:

Thalassemia:
a. Thalassemia-o
b. Thalassemia-p

4.

kJinis berupa polisitemia.

3. Hemoglobin tidak stabil (unstable):

dan lain lain.


Hemoglobin persisten herediter: HbF persisten
Hemoglobinopati didapat (acquired): Contohnya,
methemoglobin

Penurunan kecepatan sintesis atau kemampuan produksi


satu atau lebih rantai globin a atau b, ataupun rantai globin
lainnya, dapat menimbulkan defisiensi produksi sebagian
(parsial) atau menyeluruh (komplit) rantai globin tersebut.
Akibatnya, terjadi thalassemia yang jenisnya sesuai
dengan rantai globin yang terganggu produksinya. seperti
ditunjukkan di bawah ini.
1. Thalassemia-cr, te4adi akibat berkurangnya (defi siensi

parsial) (thalassemia-o*) atau tidak diproduksi sama


sekali (defisiensi total) (thalassemia-40) produksi rantai
globin-ct

HEMOGLOBINOPATI STBUKTU RAL


Pada hemoglobinopati struktural, salah satu urutrr u^iro
yang lazim pada rantai globin digantikan oleh asam amino

lainnya, sehingga menyebabkan produksi rantai globin


tidak efektif yang mengakibatkan terjadinya anemia.
Beberapa kelainan yang termasuk hemoglobinopati
struktural adalah sindrom sickle cell, hemoglobin dengan
afinitas oksigen yang berubah, dan hemoglobin tidak

2. Thalassemia-p,

terjadi akibat berkurangnya rantai


globin-b (thalassemia- 0*)utuu tidak diproduksi sama

3.

sekali rantai globin-B (thalassemia-p 0r


Thalassemia-Dp terjadi akibat berkurangnya atau tidak
diproduksinya kedua rantai-6 dan rantai-B. Hal yang
sama terjadi pada thalassemia-y6p, dan thalassemia-

dp

4. Heterozigot

hemoglobin thalassemik:

stabil.

Sindrom sickle cell


a Hb S: Pada HbS asam amino valin
1.

pada posisi ke-6 gen

globin beta digantikan oleh asam amino glutamat (Cd


6, GAGV'|>GTGGT' atau p.Val6Glu), sehingga timbul
anemia sel sickle. HbS banyak dijumpai di Amerika

ganda thalassemia a atau p dengan varian

Contohnya, thalassemia-p/tlbE: diwarisi dari salah


satu orang tua yang pembawa sifat thalassemia p,
dan yang lainnya adalah pembawa sifat HbE,.

BENTUK

EMOGLOBINOPATI LAINNYA

Serikat.

b. Heterozigot ganda HbS

dengan varian hemoglobin

1. Hb SC, dijumpai

2.
3.
4.

Di samping hemoglobinopati struktural dan thalassemia,


termasuk ke dalam kelompok kelainan hemoglobinopati

thalassemik:

pada

3 7o

Afro-amerikan,

adalah varian hemoglobin thalassemik, hemoglobin

merupakan kombinasi antara HbS dan HbC yang

persisten herediter dan hemoglobinopati didapat.

diwarisi dari orang tua yang masing-masing


membawa salah satu Hb varian (misalnya ayah

1.

pembawa sifat HbS dan ibu pembawa sifat HbC;


atau sebaliknya)...
Hb SD: adalah kombinasi HbS dengan HbD
Hb SE: adalah kombinasi HbS dengan HbE.
Hb S-thatassemia-o: adalah kombinasi HbS dengan

Varian hemoglobin thalassemik : Hemoglobin yang


abnormal secara struktur (hemoglobin struktural),
dikaitkan dengan fenotip thalassemia. yang diwariskan
bersama-sama (c o inhe rite Q :
a. Varian rantai globin p yang dikaitkan dengan fenotip
thalassemia-p*:
- HbC, Asam amino glutamat digantikan oleh asam

DASAR-DASAR THALASSEMIA

1381

SiALAH SATU JENIS HEMOGLOBINOPATI

amino lysin pada posisi 6 rantai globin p (Cd 6


GAGGT">AAGLv., atau

p.Glu6lys). Mutasi ini

drjumpai diAfrika.

Jenis thalassemia

Peta sebaran

Thalassemia-p

Populasi Mediteranian, Timur Tengah,


lndia, Pakistan, Asia Tenggara, Rusia
Selatan, Cina Jarang di: Afrika, kecuali
Liberia, dan di beberapa bagian Afrika
Utara Sporadik: pada semua ras

Thalassemia-o

Terentang dari Afrika ke Mediteranian,


Timur Tengah, Asia Timur dan
Tenggara Hb Baft's hydrops syndrome
dan HbH disease sebagian besar
terbatas di populasi Asia Tenggara dan
Mediteranian

HbD-Punjab, Asam amino glutamat digantikan


oleh asam amino glisin pada posisi l2l rantu

globin 0 (C0 121 GAAcr'>GGAcrn, atau


p.Glul2lGly).

HbE, Asam amino glutamat digantikan oleh asam


amino lysin pada posisi 26 rantai globin p (Cd
26 GAGG|'>AAGLv', atau p.Glu26lys). Mutasi
ini banyak dijumpai di Asia Tenggara
Hb Lepore (6P)0, Varian hemoglobin yang
diproduksi oleh gen fusi ii6, akibat delesi bagian
3' gen 5 dan bagian 5' gen B. Gen fusi ini
mengkode rantai fusi 6B varian yangjauh lebih
sedikit diproduksi dibandingkan dengan rantai

thalassemia-p trait. Sedangkan homozigositas atau


heterozigositas ganda disebut juga sebagai thalassemiap mayor. Tabel 3 menunjukkan genotip dan fenotip

p normal.

thalassemia-p

Dijumpai dengan frekuensi rendah pada

populasi Italia, Yunani dan Afro-amerikan dan

Afro-Inggris.
Varian rantai globin cr yang dikaitkan dengan fenotip

Bentuk
thalassemia-B

thalassemia u*

Hb Constant Spring. Disebabkan oleh mutasi


pada codon stop gen o,2 yang selanjutnya
menyebabkan penambahan 32 asam amino pada

rantai a2 (a2 Cdl42; TAu{srcp>CAAcrn+30aa 31nu


p.Xl42GlnextX33) Frekuensi di Thailand 1 - 8
7a

2.

Hemoglobin persisten herediter (Hereditary persistent of fetal hemoglobin = IIPFH): kadar HbF tetap
tinggi sampai dengan dewasa

Genotip

Fenotip

Thalassemia-Bo
(B-zerothalassemia)

Thalassemia
homozigot (Bopo)

Bervariasi (ringan
s/d berat)

lhalassemra-F

Mutasi gen bervariasi


heterozigot

Bervariasi (ringan
s/d berat)

(B-plus-

thalassemia)
Thalassemia-Bo
dan

Thalassemia-B-

Heterozigot ganda:
2 Pu berbeda atau
2 p- berbeda
atau Bodan B.

3. Hemoglobinopati

didapat (acquiret): Methemoglobin


akibat terpajan bahan toksik, sulflremoglobin akibat
terpajan bahan toksik, karboksihemoglobin, HbH pada

1.

eritroleukemia, HbF yang meningkat pada keadaan s/ress


eritroid dan displasia sumsum tulang.

homozigot dan heterozigot Thalassemia-p0 (F-zerothalassemia)


Terjadi karena gen normal tidak diekspresikan atau
terjadi delesi gen (arang). Pada thalassemia homozigot
(p0p0) rantai-p tidak diproduksi sama sekali dan hemoglobin A tidak dapat diproduksi.
Pada thalassemia-p. (p-plus-thalassemia) ekspresi gen

EPIDEMIOLOGI THALASSEMIA
Sebaran thalassemia terentang lebar dari Eropa SelatanMediteranian, Timur Tengah, dan Afrika sampai dengan
Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara. Tabel 2
menunjukkan sebaran populasi thalassemia di dunia.

GENOTTP

normalmenurun, namun tidakmenghilang sama sekali,


sehingga hemoglobin A masih diproduksi. Hingga saat
ini telah ditemukan banyak jenis mutasi thalassemia-p*
B

dengan berat defek sintesis rantai-p yang bervariasi,


dari yang ringan sampai yang berat.
Genotip homozigot thalassemia-B menunjukkan fenotip
yang juga bervariasi, dari yang ringan sampai yang
sangat berat. Sementara itu, heterozigot ganda dapat
memiliki dua gen thalassemia-poyang berbeda, atau dua
gen thalassemia-p'yang berbeda, atau kombinasi gen
thalassemia po dan 6*.

DAN FENOTTp THALASSEMTA-p

Lebih dari dua ratus bentuk mutasi gen dijumpai pada


thalassemia-o,, namun beratnya defek bervariasi.
Individu normal memiliki dua alel gen globin-B, sehingga

genotip thalassemia-p dapat muncul dalam bentuk


heterozigot atau homozigot. Kedua bentuk genotip ini
dapat melahirkan berbagai bentuk fenotip thalassemia-B.

Heterozigositas thalassemia-B disebut juga sebagai

Thalassemia-p0, Thalassemia-p+, Thalassemia

,,

Thalassemia-p

trait

Thalassemia-p trait mempunyai genotip berupa


heterozigot thalassemia-p, seringkali disebut juga

1382

HEM/!TT1OI.oGI

sebagai thalassemia-B minor. Fenotip kelainan

Penderita kelainan ini merupakan pembawa sifat yang


fenotipnya tidak memberikan gejala dan tanda (an as-

ini secara

klinis tidak memberikan gejala (asimtomatik).

3. Thalassemia-p

ymptomatic, silent carrier state). Kelainan ini

mayor

Thalassemia-B mayor, dengan genotip homozigot atau


heterozigot ganda thalassemia-p, menunjukkan fenotip

20

Eo

populasi keturunan Afrika.

Thalassemia-l-a trait (-o /-G atau oo /- -)

klinis berupa kelainan yang berat karena penderita

Pada penderita ditemukan delesi dua loki. Delesi ini dapat

bergantung pada transfusi darah untuk memperyanjang


usla.

berbentuk thalassemia-2"-cx homozigot (-od-cx)

4. Thalassemia-pintermedia
Thalassemia-p intermedia menunjukkan fenotip klinis

atau

thalassemia-1'-o heterozigot (cxo/- -). Fenotip thalassemia-l -o" trait menyerupai fenotip thalassemia-cr
minor.

yang heterogen dengan derajat beratnya kelainan

Hemoglobin H disease (- -/- c[)


Pada penderita ditemukan delesi tiga loki, berbentuk
heterozigot ganda untuk thalassemia-2-o dan thalassemia-1-cr (-l-u) . Pada fetus terjadi akumulasi
beberapa rantai -B yang tidak ada pasangannya
(unpaired Schains). Sedangkan pada orang dewasa
akumulasi unpaired-p chains yang mudah larut ini

bervariasi, mencakup:

membentuk tetramer P,,, yung disebut HbH. HbH

di antara thalassemia-B mayor dan thalassemia-B


minor. Penderita thalassemia-p intermedia secara klinis

dapat berupa asimtomatik, namun kadang kadang


memerlukan transfusi darah yang umumnya tidak
bertujuan untuk mempertahankan hidup.
Thalassemia-B intermedia merupakan kelompok kelainan

homozigot dan heterozigot ganda thalassemia-B*


minor. atau

5.

ditemukan pada 15

heterozigot thalassemia-B yang diperberat dengan


faktor pemberat genetik berupa triplikasi alfa baik

membentuk sejumlah kecil inklusi di dalam eritroblast,


tetapi tidak berpresipitasi dalam eritrosit yang beredar.
Delesi tiga loki ini memberikan fenotip yang lebih berat.
Bentuk kelainan ini disebut E[bHdisease. Fenotip HbH

dalam bentuk heterozigot maupun homosigot.


Thalassemia-Bdominan
Mutasi thalassemia yang dikaitkan dengan fenotip kinis

disease berupa thalassemia intermedia, ditandai

yang abnormal dari bentuk heterozigot disebut juga

Hydrops fetalis dengan Hb Bart's (- - / - -)


Pada fetus ditemukan delesi 4 loki. Pada keadaan
embrional ini sama sekali tidak diproduksi rantai globin
o. Akibatnya, produksi rantai globin-6 berlebihan dan
membentuk tetramer globin-d, yang disebut Hb Barts
(a,-). qini memiliki afinitas oksigen yang sangat tinggi.
Akibatnya, oksigen tidak ada yang mencapai jaringan

sebagai th alassemia- p dominan

GENOTIP DAN FENOTIP SINDROM THALAS.


SEMIA-cl
Thalassemia-6 dikelompokkan ke dalam empat bentuk
genotip klasik dengan fenotip yang berbeda, seperti tertera
pada Thbel 4.

dengan anemia hemolitik sedang-berat, namun dengan

inefektivitas eritropoiesis yang lebih ringan.

fetus, sehingga terjadi asfiksia jaringan, edema


(hydrops fetalis), gagal jantung kongestif, dan
meninggal dalam uterus.

Gambar 1 di bawah ini menunjukkan jenis jenis


Bentuk thalassemia-a
Thalassemia-2-q tralf

Genotip
(-o / oo)

thalassemia-u didasarkan atas lesi genetik.

Fenotip
asimtomatik

Thalassemia-1 -q tralt:

Thalassemia-2"-o
homozigot
Thalassemia-1"-o
heterozigot

(-o/-o)
(oo

-)

J- q)

Hemoglobin H disease

(-

Hydrops fetalis dengan


Hb Barts

(--l--)

1.

menyerupar

PATOGENESIS THALASSEMIA

thalassemia-B
mtnor

Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang

thalassemia
intermedia

hydrops fetalis
meninggal in utero

Thalassemia-2-a trqit (-a I crfl):


Pada penderita hanya dijumpai delesi satu rantai cr (-cr),
yang diwarisi dari salah satu orang tuanya. Sedangkan
rantai-cr lainnya yang lengkap (cru), diwarisi dari
pasangan orang tuanya dengan rantai-cr normal.

disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat


mutasi di dalam atau dekat gen globin. Pada thalassemia
mutasi gen globin ini dapat menimbulkan perubahan rantai
globin cr atau p, berupa perubahan kecepatan sintesis (rafe
of synthesis) atau kemampuan produksi rantai globin

tertentu, dengan akibat menurunnya atau tidak


diproduksinya rantai globin tersebut. Perubahan ini
diakibatkan oleh adanya mutasi gen globin pada clusters
gen o, atau B berupa bentuk delesi atau non delesi.
Walaupun telah lebih dari dua ratus mutasi gen thalassemia yang telah diidentifikasi, tidak jarang pada analisis

DASAR-DASAR THALASSEMIA

1383

SALAH SATU JENIS HEMOGLOBINOPATI

o. trait
homozigot

HbH disease

hydrops
fetalis

Gambar 1. Jenis jenis thalassemia-cr yang berbeda. Kotak hitam menunjukkan gen normal, sedangkan kotak putih
menggambarkan delesi gen atau gen yang tidak aktif sebagian (parsial) atau seluruhnya (komplit)

DNA thalassemia belum dapat ditentukan jenis mutasi


gennya. Hal inilah yang merupakan kendala terapi gen

pada thalassemia.

Clusters Gen Globin


1. Cluster gen-O( terletak pada kromosom

16:

terdiri atas satu gen-( fungsional dan dua gen-o


(u. dan a,)
exon kedua gen globin-cr memiliki sekuens yang
identikal

2.

produksi mRNA a. melebihi produksi mRNA u,,


oleh faktor 1,5 ke 3

Cluster gen B terletak pada kromosom I l:


- terdiri atas satu gen e fungsional, gen c5, gen Ad,
gen 6, dan gen p

- .flanking regions

mengandung conserved

sequences, pentlng untuk ekspresi gen

3.

Pengaturan cluster gen globin

Transkrip primer adalah prekursor mRNA yang


besar, dengan kedua sekuens intron dan exon, yang
secara ekstensif diproses di dalam nukleus untuk

4.

DASAB MOLUKELAR THALASSEMIA-P


Thalassemia-p merupakan kelainan hemoglobin yang
memilikr banyak bentuk mutasi gen. Hampir dari dua ratus
bentuk mutasi gen yang terjadi pada thalassemia B. Setiap
kelompok populasi memiliki satu set mutasi thalasemia B
yang berbeda, umumnya terdiri atas dua atau tiga jenis
mutasi yang membenttk bulk, dikombinasikan dengan
sejumlah besar bentuk mutasi yang jarang. Begitu luas
pola distribusi, hanya 20 allel yang dicakup untuk sebagian
besar determinan thalassemia- B.
Secara garis besar mutasi gen pada thalasssemia -p
dibagi menjadi dua kelompok bentuk mutasi gen, yakni
bentuk delesi dan non delesi.

1.

Pada saat kelahiran globin-p dan globin-d

diproduksi secara seimbang


Pada usia 1 tahun, produksi globin-6kurang dari
persen dari produski globin non-cr total

Mekanisme perubahan tidak jelas, mungkin

Delesi gen globin-B: Paling sedikit 17 delesi yang


berbeda yang hanya dijumpai pada thalassemia-B,

menghasilkan mRNA akhir.


- Ekspresi gen globin diatur oleh mekanisme kontrol
yang kompleks.
Perubahan dan perkembangan ekspresi gen globin
- Globin-B yang diproduksi dalam konsentrasi rendah
mulai minggu ke 8 sampai ke 10 masa fetus.dan
sangat meningkat pada gestasi 36 minggu.
- Globin-d yang diproduksi dalam konsentrasi pada
awalnya, mulai menurun pada gestasi 36 minggu

melibatkan "a time clock" dalam sel asal (stent ceLls)


hemopoiesis
Sintesis hemoglobin fetal dapat direaktivasi pada
orang deasa bila terjadi s/re.ts hemopoiesis

namun jarang dan tampaknya terisolasi, berupa kejadian


tunggal (single event),keatali delesi 619-bp pada ujung

akhir 3' gen

-0

lebih sering ditemukan, walaupun

terbatas pada populasi Sind dan Gujarat di Pakistan


dan India. Delesi ini mencakup lebih kurang 50 7o allel

thalassemia-B. Bentuk homozigot delesi ini


menghasilkan thalassemia-Bo. Heterozigot delesi ini
menghasilkan peningkatan HbA, dan HbF, sama yang
dijumpai pada bentuk mutasi lainnya thalassemia-B

2.

Mutasi non delesi globin-B: Mutasi non delelesi globinp mencakup proses transkripsi, prosesing dan translasi,
berupa mutasi titik (point mutations):
- region promotor (promotor regions),

1384

HEMATOI.OGI

mutasi transkripsional pada lokasi CAP (CAP sites,

Kelas Mutasi Gen pada Thalassemia-cr

5' -untranslated region)

Tabel 5 di bawah menunjukkan jenis jenis mutasi gen-cr


yang menyebabkan thalassemia-u.

mutasi prosesing RNA: intron-exon boundaries,


polyadenilation signal (Poly A signal), splice site
consensus .sequences, cryptic sites in exons, ct))p-

tic sites in introns.

mutasi yang menyebabkan translasi abnormal RNA

messengeri inisiasi (initiation), nonsense, dan

Jenis
thalassemia-o
Thalassemia-oo

Delesi mencakup cluster gen globin-o


Truncations of telomeric region of 16p
Delesi HS40 reglon

Thalassemia-o*

Delesi mencakup gen-o2 atau -o1


Point mutations mencakup gen-q2 atau -o1:
prosesing mRNA: . IVS 1 donor
* IVS 1 acceptor
. Poly (A) signal
translation mRNA: . initiation codon

mutasi frameshift.

3. Bentuk mutasi lainnya: Di samping kedua bentuk


mutasi di atas dapat dijumpai juga bentuk bentuk mutasi
lainnya yang khas pada thalassemia B diwariskan secara
dom inan (.dominantly inhe r it e d B thalas s e mi as ), v aian

globin p tidak stabil (unstable p-globin variants),


thalassemia p tersembunyi (silent $-thalassemia),
mutasi thalassemia D yurg tidak terkait kluster gen

globin p ( p-thalassemia mutations unlinked to the Bglobin gene cluster), dan bentuk bentuk bervariasi
thalassemia $ (variant forms of Bthalassemia) .

Bentuk mutasi gen

Thalassemia-q
retardasi mental

. Exon I atau I
" Termination codon
posftranslation codon:. unstable
a-globin

ATR-'I6: - delesi atau telomeric truncations

of 16p
translokasi

ATR-X: - Mutasi KH2: . delesi

* missense
* nonsense
- spilce site

DASAR MOLEKULAR THALASSEMIA-o


Haplotip gen globin-cr dapat ditulis sebagai

crcr, yang

menunjukkan gen-o,2 dan gen-cr,. Individu normal memiliki


genotip cxcx/crq,. Pada thalassemia-5 dapat terjadi mutasi
gen yang berbentuk delesi dan non-delesi gen-cx,.

Delesi Gen-o
Delesi pada thalassemia-u yang mencakup satu (-cr) atau
kedua (- -) gen -o dapat diklasifikasikan berdasarkan
ukurannya, ditulis di atas (superscrDl). Contohnya (-cr37)
menunjukkan delesi 3,7 kb pada satu gen-cx,.
Bila ukuran delesi belum dapat ditentukan, maka ditulis
sebagai (- - MED) yang artinya delesi kedua gen-cx, yang
pertama kali diidentifikasi pada individu yang berasal dari

Mediteranian.
kedua gen-o,, sehingga produksi rantai-o, hilang sama sekali

cra'2)

Pada thalassemia terjadi pengurangan atau tidak ada sama


sekali produksi rantai globin satu atau lebih rantai globin.
Penurunan secara bermakna kecepatan sintesis salah satu

jenis rantai globin (rantai-u atau rantai-p) menyebabkan


sinstesis rantai globin yang tidak seimbang. Bila pada
keadaan normal rantai globin yang disintesis seimbang
antara rantai u dan rantai p, yakni berupa or9,, maka pada
thalassemia-p0, di mana tidak disintesis sama sekali rantai
B, maka

Pada thalassemia-o,0, terdapat 14 delesi yang mengenai

dari kormosom yang abnormal.


Bentuk thalassemia-u* yang paling umum (-

PATOFISIOLOGI THALASSEMIA

o3,7

rantai globin yang diproduksi berupa rantai

cx,

yang

berlebihan (cro). Sedangkan pada thalassemia-o0, di mana


tidak disintesis sama sekali rantai o,, maka rantai globin
yang diproduksi berupa rantai B yang berlebihan (P,,).

dan-

mencakup delesi satu atau duplikasi lainnya gen

globin-o

Non-delesi Gen- a
Pada lesi non-delesi kedua haplotip gen-cx utuh (cru),
sehingga diberikan nomenklatur (crrcx), di mana s up e r s c r ip t
T menunjukkan bahwa gen tersebut thalassemik. Namun
bila defek molekular diketahui, seperti pada hemoglobin
Constant Spring, nomenklatur (oru) dapat diubah menjadi
(attcx).

Ekspresi gen-cx,2 lebih kuat dua sampai tiga kali dari


ekspresi gen- or, sehingga sebagian besar mutasi nondelesi ditemukan predominasi pada ekspresi gen-o(,

Patof

isiologi thalassem ia-p

Pada thalassemia-B, di mana terdapat penurunan produksi

rantai p, terjadi produksi berlebihan rantai o,. Produksi


rantai globin d, di mana pasca kelahiran masih tetap
diproduksirantai globin %4 GbF), tidakmencukupi untuk

mengkompensasi defisiensi crrp, (HbA).

Hal ini

menunjukkan behwwa produksi rantai globin B dan rantai


globin d tidak pernah dapat mencukupi untuk mengikat
rantai cr yang berlebihan. Rantai o yang berlebihan ini
merupakan ciri khas pada patogenesisi thalassemia-8.
Rantai cr yang belebihan, yang tidak dapat berikatan
dengan rantai gobin lainnya, akan berpresipitasi pada
prekursor sel darah merah dalam sumsum tulang dan dalam

DASAR-DASAR THALASSEMIA

SAL/*I

sel progenitor dalam darah tepi. Presipitasi ini akan


menimbulkan gangguan pematangan prekursor eritroid dan
eritropoiesis yang tidak efektif (inefektifl, sehingga umur
eritrosit menjadi pendek. Akibatnya, timbul anemia.
Anemia ini lebih lanjut lagi akan menjadi pendorong(drive)
profiferasi eritroid yang terus menerus (intens) dalam
sumsum tulang yang inefektif, sehingga terjadi ekspansi
sumsum tulang. Hal ini kemudian akan menyebabkan
deformitas skeletal dan berbagai gangguan perlumbuhan
dan metabolisme. Anemia kemudian akan ditimbulkan lagi
(exacerbated) dengan adanya hemodilusi akibat adanya
hubungan langsung (shunting) darah akibat sumsum

tulang yang berekspansi dan juga oleh adanya


splenomegali. Pada limpa yang membesar makin banyak
sel darah merah abnormal yang terjebak, untuk kemudian
akan dihancurkan oleh sistemfagosit. Hiperplasia sumsum
tulang kemudian akan meningkatkan absorpsi dan muatan

/- -)

memberi fenotip seperti thalassemia-B carrier.


Kehilangan 3 dari 4 gen globin-u memberikan fenotip
tingkat penyakit berat menengah (moderat), yang
dikatakan sebagai HbH disease. Sedangkan thalassemia-

homozigot (-/-) tidak dapat berlahan hidup, disebut


sebagai Hb-Bart's hydrops syndrome.
Kelainan dasar thalssemia-u sama dengan thalassemiap, yakni ketidak seimbangan sintesis rantai globin. Namun
ada perbedaan besar dalam hal patofisiologi kedua jenis
thalassemia ini.
. Peftama, karena rantai-u dimiliki bersama oleh hemoglobin fetus ataupun dewasa (tidak seperli pada thalassemia-B), maka thalassemia-u bermanifestasi pada masa
u,0

fetus.
Kedua, sifarsifat yang ditimbulkan akibat produksi

secara berlebihan rantai globin- d dan -0 yung


disebabkan oleh defek produksi rantai globin-c[ sangat

besi. Transfusi yang diberikan secara teratur juga


menambah muatan besi. Hal ini akan menyebabkan

berbeda dibandingkan dengan akibat produksi


berlebihan rantai-o, pada thalassemia-B. Bila kelebihan

penimbunan besi yang progresif di jaringan berbagai


organ, yang akan diikuti kerusakan organ dan diakhiri
dengan kematian. bila besi ini tidak segera dikeluarkan.
Tabet 6 memperlihatkan patofisiologi thalassemia-p.

Patof

1385

SATU JENIS HEMOGLOBINOPATI

rantai-cr tersebut menyebabkan presipitasi pada


prekursel eritrosit, maka thalassemia-o menimbulkan
tetramer yang larut (soluble), yakni q, Hb Barl's dan
00, seperti diperlihatkan pada Gambar 2 dan Tabel 7.

isiologi thalassemia-cr

Patofisiologi thalassemia-u umumnya sama dengan yang


dijumpai pada thalassemia-B kecuali beberapa perbedaan
utama akibat delesi (-) atau mutasi (T) rantai globin-u.
Hilangnya gen globin-cr tunggal (-orluo, atau crro/oo) tidak
berdampak pada fenotip. Sedangkan thalassemia-2^-cr
homozigot (-ol-o) atau thalassemia- 1u-cx heterozigot (crcr

BEBERAPA PERBEDAAN PENTING ANTABA


THALASSEMIA-a DAN THALASEMIA-P
Tabel 7 di bawah ini memperlihatkan beberapa perbedaan
penting antara thalassemia-cr dan thalassemia-p, mencakup
kelainan gen sampai dengan manifestasi klinik.

Akibatnya/Manifestasi nya

Hal yang Terjadi


Mutasi primer terhadap produksi globin:

Sintesis globin yang tidak seimbang

Rantai globin yang berlebihan terhadap


metabolisme dan ketahanan hidup (suruival) eritrosit

Anemia

Eritrosit abnormal terhadap fungsi organ

Anemia, splenomegali, hepatomegali, dan kondisi


h iperkoagu la bilitas

Anemia terhadap fungsi organ

Produksi eritropoietin dan ekspansi sumsum tulang,


deformitas skeletal, gangguan metabolisme, dan perubahan
adaptif fungsi kardiovaskular

Metabolisme besi yang abnormal

Muatan besi berlebih


miokardium, kulit

kerusakan jaringan hati, endokrin,

Rentan terhadap infeksi spesifik


Sel seleksi

Peningkatan kadar HbF; Heterogenitas populasi sel darah


merah

Modifiers genetik sekunder

Variasi fenotip: khususnya melalui respons HbF


Variasi metabolisme bilirubin, besi, dan tulang

Pengobatan

Muatan besi berlebih, kelainan tulang, infeksi yang ditularkan


lewat darah, toksisitas obat

Riwayat evolusioner

Variasi dari latar belakang genetik: respon terhadap infeksi

Faktor ekologi dan etnologi

1386

HEM/r$OLOGI

Dewasa

Fetus

Hb Bart's

HbH
Afinitas oksigen tinggi E HIPOKSIA
lnstabilitas homotetramer
lnclusionbodies Kerusakan membran.
Umur eritrosit pendek I HEMOLISIS
Splenomegali I HIPERSPLENISME

Gambar 2. Garis besar patofisiologi talasemia-o

Mutasi

Sifat-sifat globin
yang berlebihan

Sel darah merah

Anemia
Perubahan
tulang
Besi berlebih

Thalassemia-q

Thalassemia-B

Delesi gen umum terjadi


Tetramer y4 atau P4 yang larut
Pembentukan hemikrom
lambat
Band 4.1 tidak teroksidasi
Terikat kepada band 3
Hidrasi berlebihan
(overhydrated)
Kaku (ngld)
Membra hiperstabil
p50 menurun
Terutama hemolitik
Jarang

Delesi gen umum jarang terjadi


Agregat rantai-o yang tidak larut
Pembentukan hemikrom cepat
Band 4 1 teroksidasi
lnteraksi kurang dengan band 3

Jarang

Umum

Higgs DR, Thein SL, Wood WG. The biology of the thallssenria. In: Wearherall DJ, Clegg JB, editors The Thzrlassemia
Syndromes. zlth ed, New York: Blackwell Science: 2001,p 65Bain BJ Hemoglobinopathy Diagnosis. lst ed. Mald'en,MA:
Blackwell Science: 2001. I 186.

McGhee DB Structurai Defects in Hemoglobin (Hemoglobinopathies). In: Hematology Clinical Principles and Applications.
2nd ed, Philadelphia, PA: Saunders: 2002, p 319 - 358.

Membran tidak stabil


p50 menurun
Terutama diseritropoietik
Umum

editors. Wintrobe's Clinical Hematology, 7rh

ed,

& Wilkins: 2004, p

1247

Philadelphia,PA: Lippincott Williams

284

Kaku

Lukens JN Abnormal Hemoglobins: Hereditary Disorders of


Hemoglobin Structure and Synthesis. Abnormal Hemoglobins:
General Principles. In: Greer JP, Foersier J, Lukens JN, et atl,

REFERENSI

Dehidrasi

1262.

601.

Benz EJ. Hemoglobinopathies. In: Harrison's Principies of Internal Medicine 16th ed, New York: McGraw-Hill: 2005, p 593

6
'7.

Weatherall DJ, Clegg JB The Thalassemia Syndromes. 4th


Malden, MA: Blackwell Science: 2OOl, p 3 - 82
Konsensus Naasional Penatalaksanaan Thalassemia

ed.

220
THALASSEMIA: MANIFESTASI KLINIS,
PENDEI(ATAN DIAGNOSIS,
DAN THALASSEMIA INTERMEDIA
Djumhana Atmakusuma

MANIFESTASI KLINIS THALASSEMIA


Kelainan genotip thalassemia memberikan fenotip yang
khusus, bervariasi, dan tidak jarang tidak sesuai dengan
yang diperkirakan.

MANTFESTAST KLTNTS THALASSEMIA-p

b. Gambaran Fenotip
Tampilan klinis normal dengan kadar hemoglobiii normal,
kadar IIbA2 normal dan kemungkinan adanya mikrositosis
yang sangat ringan.

Adanya pembawa sifat tersembunyi diketahui saat


dilakukan studi keluarga (saudara kandung dan keluarga
dekat) pada anak dengan sindroma thalassemia-B yang

lebih berat daripada kedua orangtuanya

yang

menunjukkan thalassemia- p rralr.


Thalassemia-B dibagi 3 (tiga) sindrom klinik ditambah satu
sindrom yang baru ditentukan, yakni:

.
.

.
.

Thalassemia-B minor (trait) I heterozigot: anemia


hemolitik mikrositik hipokrom
Thalassemia-B mayor / homozigot: Anemia berat yang
bergantung pada transfusi darah
Thalasssemia-B intermedia: Gejala di antara thalssemiap mayor dan minor

Pembawa sifat tersembunyi thalassemia-B $ilent


carrier)

PEMBAWA SIFAT TERSEMBUNY! THALASSEMIA.

9 GTLENT CABRTER)

a. Kelainan Genotip
Pembawa sifat tersembunyi adalah penderita thalassemia dengan variasi mutasi F yung heterogen, di mana
hanya sedikit terjadi gangguan produksi rantai-p,
sehingga dihasilkan rasio yang hampir normal antara
rantai globin p dan o, tanpa menyebabkan kelainan
hematologis

THALASSEMTA-p MINOR (TRAtr)

a. Gambaran Klinis
Tampilan klinis normal. Hepatomegali dan splenomegali
ditemukan pada sedikit penderita.

b. Gambaran Laboratoris
Pada penderita thalassemia-p minor biasanya ditemukan
anemia hemolitik ringan yang tidak bergejala (asimtomatik).
Kadar hemboglobin terentang antara 10 13 g7o dengarr

jumlah eritrosit normal atau sedikit tinggi. Darah tepi


menunjukkan gambaran mikrositik hipokrom, poikilositosis,

sel target dan eliptosit, termasuk kemungkinan


ditemukannya peningkatan eritrosit stippled. Sumsum
tulang menunjukkan hiperplasia eritroid ringan sampai
sedang dengan eritropoiesis yang sedikit tidak efektif.
Umumnya kadar HbA2 tinggi (antara 3,5 - 8 Vo). Kadat

IIbF biasanya terentang antara I - 5 Vo.Padabentuk varian


lainnya yang jarang, ditemukan HbF berkisar antara
5

1387

-207o.

1388

HEMANOLOGI

THALASSEMTA-p MAYOB

yang sangat bergantung transfusi darah dan thalassemia


trait yang asimtomatik

a. Gambaran Klinis
Thalassemia-B mayor.biasanya ditemukan pada anak

b. Kelainan Genotip

berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun dengan klinis ane-

Penderita thalassemia-p intermedia dapat menunjukkan


kelainan kelainan genotip yang berbentuk:

mia berat. Bila anak tersebut tidak diobati dengan


hipertransfusi (transfusi darah yang bertujuan mencapai

kadar Hb tinggi) akan terjadi

peningkatan

hepatosplenomegali, ikterus, perubahan tulang yang nyata


karena rongga sumsum tulang mengalami ekspansi akibat
hiperplasia eritroid yang ekstrim.

.
.

heterozigot ganda untuk untuk mutasi ringan atau


mutasi yang menyebabkan pengurangan yang lebih
nyata ekspresi globin-p

. pewarisan bersama (co-inheritance)

dengan

thalassemia-cr, yang menyebabkan bentuk homozigot


mutasi thalassemia-B yang lebih berat, namun dapat

b. Gambaran Radiologis
Radiologi menunjukkan gambaran khas "hctir on end".
Tulang panjang menjadi tipis akibat ekspansi sumsum
tulang yang dapat berakibat fraktur patologis. Wajah
meniadi khas, berupa menonjolnya dahi, tulang pipi dan
dagu atas. Pertumbuhan fisik dan perkembangannya

homozigot untuk mutasi yang menyebabkan penurunan


ringan ekspresi globin-B

terhambat.

.
c. Gambaran Laboratoris

tetap berbentuk thalassemia yang tidak bergantung


pada transfusi, karena rasio antara rantai-o/rantai-B
lebih seimbang.
peningkatan kapasitas untuk memproduksi rantai
globin-d dari mekanisme non-delesi ke bentuk delesi
dengan hasil meningkatnya produksi HbF

bentuk bentuk mutasi gen lainnya, seperti delesi


thalassemia-8B, bentuk homozigot untuk bentuk mutasi

Kadar Hb rendah mencapai 3 ata.u 4 g7o. Erifrosit hipokrom,

sangat poikilositosis, termasuk sel target, sd. teardrop,


dan eliptosit. Fragmen eritrosit dan mikrosferosit terjadi

akibat ketidak-seimbangan sintesis rantai globin. Pada


darah tepi ditemukan eritrosit stippled d4n banyak sel
eritrosit bemukleus. MCV terentang antara 50 - 60 fL. Sel
darah merah khas berukuran besar dan sangat tipis.
biasanya wrinkled dan folded dan mengandung hemoglobin clump. Hitung retikulosit berkisar antara 1 7o - 8 7c,
di mana nilai ini kurang berkaitan dengan hiperplasia
eritroid dan hemolisis yang terjadi. Rantai globin-cr yang
berlebihan dan merusakmembran sel merupakan penyebab
kematian prekursor sel darah merah intramedula, sehingga

tersebut, atau bentuk heterozigot ganda antara

thalassemia-6B dan mutasi thalassemia-B

pewarisan bersama antara thalassemia lokus-u rnple


(ocru) dan thalassemia-p heterozigot.

c. Gambaran Laboratoris
Morfologi eritrosit pada thalassemia intermedia menyerupai
thalassemia mayor. Elektroforesis Hb dapat menunjukkan
HbF 2 - 1 00 Vo, IIb1^2 sampai dengan 7 7o, dan HbA 0 - 80 Vo,
bergantung pada fenotip penderita. HbF didistrubusikan
secara heterogen dalam peredaran darah.

menimbulkan eritopoiesis inefektif. Elektroforesis Hb

d. Gambaran Klinis

menunjukkan terutama HbF. dengan sedikit peningkatan


HbA,. HbA dapat tidak ada sama sekali atau menurun.
Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eritroid dengan
rasio eritroid dan mieloid kurang lebih 20: l. Besi serum
sangat meningkat, tetapi total iron binding, capacity
(TIBC) normal atau sedikit meningkat. Saturasi transferrin
80 7o ata.u lebih. Ferritin serum biasanya meningkat.

Gambaran klinik bervanasi dari bentuk ringan, walaupun


dengan anemia sedang, sampai dengan anemia berat yang
tidak dapat mentoleransi aktivitas berat dan fraktur patologik.

turnover besi dalam plasma, kemudian merangsang


penyerapan besi via saluran cema. Komplikasi jantung dan
endokrin muncul 10 - 20 tahun kemudian pada penderita
thalassemia intermedia yang tidak mendapat transfusi darah.

THALASSEMI-p TNTERMEDTA

a. Pengertian Tentang Thalassemia lntermedia


Thalassemia-B intermedia adalah penderita thalassemia
yang dapat mempertahankan hemoglobin

Muatan besi berlebih dijumpai , walaupun tidak


mendapat tran sfusi darah. Eritropoiesis nyata meningkat,
namun tidak efektif, sehingga menyebabkan peningkatan

minimtm+J

THALASSEMTA-p/H EMOGLO BrN-E

g7o

Kelainan Genotip dan Gambaran Fenotip

atau lebih tinggi tanpa mendapat transfusi. Ketidak


seimbangan sintesis ranta-o( dan -B berada di antara
thalasernia trait dan mayor, sehingga fenotip klinik

Thalassemia-B/Hemoglobin-E (HbE) umumnya dijumpai di


Asia Tenggara, di mana prevalensi kedua mutasi genetik

menyerupai gambaran di antara fenotip thaiassemia mayor

ini cukup tinggi. Karena HbE kurang diproduksi,

sama

1389

TTIALASSEMIA: MANIFESTASI KLINIS, PENDEKAIAI\ DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA

halnya dengan pada thalassemia-F, maka bila kedua mutasi


gen ini diwariskan bersama, terjadi defisiensi yang nyata
produksi rantai globin-p.

lO g7o dan retikulosit ar,rtaru 5

lO

Vo.

Limpa biasanya

membesar. Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eritroid.

intermedia sampai dengan thalassemia yang bergantung

Retardasi mental yang terakait dengan thalassemia-o,


loki dekat cluster gen-cr pada
kromosom 16, bermutasi atau ko-delesi dengan cluster

transfusi darah dan tidak dapat dibedakan dengan

gen-cI,.

Gambaran

klinik bervariasi di antara thalassemia

thalassemia-B homozigot.

dapat terjadi bila lokus atau

Krisis hemolitik terjadi bila penderita mengalami infeksi,

hamil atau terpapar dengan obat-obat oksidatif. Krisis

SINDROM KLINIS THALASSEMIA-o


Empat sindrom klinik thalassemia-o terjadi pada
thalassemia-o,, bergantung pada nomor gen dan pasangan

cis atau trans dan jumlah rantai-o yang diproduksi. Ke


empat sindrom tersebut adalah pembawa sifat tersembunyi

thalassemia-u (silent carrier), thalassemia-a trait


(thalassemia-d minor), HbH diseases dan thalassemia-cr
homozigot (hydrop s fetalis)

hemolitik dapat menjadi penyebab terdeteksinya kelainan


ini, karena penderita HbH disease ini biasanya
menunjukkan gambaran klinik normal.
Eritrosit menunjukkan mikrositik hipokromik dengan
poikilositosis yang nyata, termasuk sel target dan gambaran
beraneka-ragam. HbH mudah teroksidasi dan in vivo secara
perlahan berubah ke bentuk Heinz-lika bodies daihemoglobin yang terdenaturasi. Inclusion bodies mengubah
bentuk dan sifat viskoelastik eritrosit, menyebabkan umur
eritrosit menurun. Splenektomi sering memberikan perbaikan.

PEMBAWA SIFAT TERSEMBUNYI THALASSEMIA-o

HYDROPS FETALIS

Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan


Laboratorium

Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip,

Delesi satu gen globin-o menyisakan tiga gen globin-a

Laboratorium dan Tindak Lanjut

fungsional (-slucxs), menyebabkan sindrom sllenl

Thalassemia-u homozigot (- -/- -) tidak dapat bertahan hidup


karena sintesis rantai globin-u tidak terjadi. Bayi lahir dengan
hydrops fetalis, yakni edema disebabkan penumpukan
cairan serosa dalam jaringan fetus akibat anemia berat.
Hemoglobin didominasi oleh Hb Bart's (5r), bersama
dengan Hb Portland 5-20 7o, dan sedikit HbH. Hb Bart's
mempunyai afinitas oksigen yang tinggi, sehingga tidak
dapat membawa oksigen ke jaringan . Fetus dapat bertahan
hidup karena adanya Hb Portland, tetapi Hb jenis ini tidak
dapat mendukung tahap berikutnya pertumbuhan fetus,
dan akhirnya fetus meninggal karena anoksia.

carrier. Rasio rantai globin-or/-B hampir normal. Gambaran


klinis normal. Tidak ditemukan kelainan hematologis. Saat
dilahirkan, Hb Bart's (5.,) datam rentangan 1-2 Vo.Tidzk
ada cara yang pasti untuk mendiagnosis silent carrier
dengan kriteria hematologis. Bila diperlukan, dapat
dilakukan studi gen.

THALASSEMIA-o TBArI (MINOR)

Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan


Laboratorium
Thalassemia-o" trait dapat berupa bentuk homozigot-u*

(-ol-ct) atau heterozigot-u0 (- -/ocx). Sindrom ini


menunjukkan tampilan klinis normal, anemiaringan dengan
peningkatan eritrosit yang mikrositik hipokrom. Pada saat
dilahirkan, Hb B art' s dalam rentan gan 2 - l0 Vo . Biasany a
pada penderita dewasa tidak ditemukan HbH (p,,).

HBH DISEASE

Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan


Laboratorium

Bayi dilahirkan prematur, dapat lahir hidup lalu


meninggal beberapa saat kemudian. Fetus menunjukkan
anemia, edema, asites, hepatosplenomegali berat dan
kardiomegali. Pada saat lahir bayi menunjukkan anemia
mikrositik hipokrom. Rongga sumsum tulang melebar

dengan hiperplasia eritroid yang nyata.

Hal ini

menunjukkan eritropoi esis ekstramedular.


Kehamilan dengan hydrops fetalis berbahaya bagi si
ibu, karena dapat menyebabkan toksemia dan perdarahan

berat pasca partus. Adanya hydrops fetalis ini dapat


diketahui pada pertengahan umur kehamilan dengan
ultrasonografi. Terminasi awal dapat menghindarkan
kejadian berbahaya ini pada si ibu.

HbH disease biasanya disebabkan oleh hanya adanya satu


gen yang memproduksi rantai globin-o (- J- o) atau dapat
juga disebabkan oleh kombinasi u0 dengan Hb Constant

PENDEKATAN DIAGNOSIS THALASSEMIA

Spring (- -/ ocs cx).


Penderita mengalami anemia hemolitik kronik ringan
sampai dengan sedang, dengan kadar Hb terentang antara

Untuk menegakkan diagnosis thalassemia diperlukan


langkah langkah sebagai berikut, seperli yang digambarkan
pada algoritma di bawah ini:

1390

HEM/rlifl)tOGI

Riwayat penyakit
(Ras, riwayat keluarga, usia awal penyakit, pertumbuhan)
I

Pemeritiaan fisik
(Pucat, ikterus, splenomegali, deformitas skeletal, pigmentasi)

I
Laboratorium darah dan sediaan apus
(Hemoglobin, MCV, MCH, retikulosit, jumlah eritrosit,
gambaran darah tepi/termasuk badan inklusi dalam eritrosit
darah tepi atau sumsum tulang, dan presipitasi HbH

t
I

Elektrofosresis hemoglobin
(Adanya Hb abnormal, termasuk analisis pada pH 6-7
untuk HbH dan H Barts)

t
I

Penentuan HbA2 dan HbF


(Untuk memastikan thalassemia-B)

Distribusi HbF intraselular

Sintesis rantai globin

Analisis struktural
Hb varian (misal:Hb Lepore)

Gambar 1. Algoritma pendekatan diagnosis thalassemia

Riwayat penderita dan keluarga sangat penting dalam


mendiagnosis thalassemia, karena pada populasi dengan
ras dan etnik tefientu terdapat frekuensi yang tinggi jenis

mikrositik dengan poikilositosis ringan sampai

gen abnormal thalassemia yang spesifik. Pemeriksaan fisik


mengarahkan ke diagnosis thalassemia, bila dijumpai gejala

poikilositosis. Pada thalassemia-B homzigot dan

dengan

menengah. Pada thalassemia-s0 heterozigot terdapat

mikrositik dan hipokrom ringan, tetapi

kurang

heterozigot berganda, dapat ditemukan poikilosotpsi

yang

dan tanda pucat yang menunjukkan anemia, ikterus yang


menunjukkan hemolitik, splenomegali yang menunjukkan

ekstrim, termasuk sel target dan eliptosit, dan juga

adanya penumpukan (pooling') sel abnormal, dan

retikulosit meningkat, menunjukkan sumsum tulang


merespon proses hemolitik. Pada HbH Disease, hitung
reikulosit dapat mencapai l0%. Pada thalassemia-B
homozigot hitung retikulosit kurang leblh 57c; hal ini

deformitas skeletal, terutama pada thalassemia-p, yang

menunjukkan ekpansi rongga'sumsum tulang, pada


thalassemia mayor.
Penderita sindrom talassemia umumnya menunjukkan
anemia mikrositik hipokrom. Kadar hemoglobin dan
hematokrit menumn, tetapi hitung jenis eritrosit biasanya
secara disproporsi relatif tinggi terhadap derajat anemia,
yang menyebabkan MCV yang sangat rendah. MCHC
biasanya sedikit menurun. Pada thalassemia mayor yang

tidak diobati, relative distribution u,ldth (RDW)


meningkat karena anisosotosis yang nyata. Namun, pada

thalassemia minor RDW biasanya normal; hal ini


membedakannya dengan anemia defisiensi besi. Pada
pewamaan Wright eritorsit khas mikrositik dan hipokrom,
kecuali pada fenotip pembawa sifat tersembunyi. Pada
thalassemia-p heterozigot dan HbH disease, eritrosit

polikromasia, basophillic stippling, dan nRBCs. Hitung

secara tidak proporsional relatif rendah terhadap derajat

anemia. Penyebabnya paling mungkin akibat eritropoiesis

inefektif.
Sumsum tulang penderita thalassemia-B yang tidak
diobati menunjukkan hiperselularitas yang nyata dengan

hiperplasia eritroid yang ekstrim. Hemopoiesis


ekstramedula terlihat menonjol. Namun HbH disease
kurang menunjukkan hiperplasia eritroid. Sementara itu,
thalassemia heterozigot hanya menunjukkan hiperplasia
eritroid ringan.
Eritrosit thalassemi a yang mikrositik hrpokrom memiliki
fragilitas osmotik yang menurun. Hal ini digunakan sebagai
dasar dari variasi one-tube tes fragilitas osmotik sebagai

TIIALASSEMIA: MANIFESTASI KLINIS, PENDEKATAI\ DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA

uji tapis pembawa sifat thalassemia pada populasi di mana


thalassemia sering dijumpai. Namun, tes ini tidak dapat
membedakannya dengan anemia defisiensi besi, karena
pada pada anemia defisiensi besi ditemukan fragilitas
osmotik yang menurun.
Pada thalassemia-o minor (trait), HbH disease, dal
thalassemia-u pembawa sifat tersembunyi (silent) tes
pewarnaan brilliant cresyl blue :unltk HbH inclusions
dapat digunakan untuk merangsang presipitasi HbH yang
secara intdnsik tidak stabil. HbH inclusions (rantai
globin-B yang terdenaturasi) mempunyai ciri khas berupa
materi (bodies) yang kecil, multipel, berbentuk iregular,
berwarna biru kehijauan, yang mirip bola golf atau buah
raspberry. Materi ini biasanya tersebar merata dalam
eritrsoit. Pada HbH disease. Hampir seluruh eritrosit
mengandung inclusions, sedangkan pada thalassemia-

minor hanya sedikit eritrosit yang mengandung


inclusions, sementara itu pada thalassemia-cx pembawa
sifat tersembunyi inclusions ini jarang sekali ditemukan.
Inclusions ini berbeda dengan Heinz bodies, di mana

1391

thalassemia intermedia.

a. Komplikasi Thalassemia lntermedia


Komplikasi yang terjadi pada thalassemia intermedia dapat

diakibatkan oleh proses penyakitnya atau oleh


-pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit thalassemia,
mencakup:

.
.
.
.
.
.

.
.

Kardiomiopati
Ekstramedullary hematopoiesis

Kolelitiasis
Splenomegali
Hemokromatosis
Kejadian trombosis (hiperkoagulasi, nsiko aterogenesis.
lesi iskemik cerebral asimtomatis)
Ulkus maleolar
Deformitas dan kelainan tulang (osteoporosis)

cx,

materi ini menunjukkan ukuran yang lebih besar,


jumlahnya sedikit, dan sering letaknya eksentrik di
sepanjang membran eritrosit. Bila tidak ditemukan

llbIl

inclusions tidak berarti menghilangkan kemungkinan


diagnosis thalassemia-o minor atau pembawa sifat
tersembunyi. Untuk itu diperlukan matoda pemeriksaan
khusus.

Elektroforesis dengan selulosa asetat pada pH basa


penting untuk menapis diagnosis hemoglobin H, Bart's,
Constrant Spring, Lepore, dan variasi lainnya. HbH dan
Bafi's cepat bergerak pada selulosa asetat pada pH basa

b. Diagnosis Thalassemia lntermedia


Diagnosis thalassemia intermedia mencakup anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium, seperti diuraikan di
bawah ini, yang dikutip dari Panduan Penatalakasanaan
Thalassemia Intermedia Perhimpunan Hematologi &
Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) Juli 2008.

b.1. Anamnesis

nwayat

.
.
.
.
'
.
.
.

tetapi pada pH asam hanya mereka merupakan hemoglobin yang bermigrasi anodally. Peningkatan HbA, dengan
elektroforesis hemoglobin dapat dilakukan pada uji tapis
thalassemia-B minor, yang diukur dengan menggunakan

mikrohematografi. Nilai HbA, Peningkatan HbF yang


ditemukan pada thalassemia-bB, HPFH dan varian thalassemia-B lainnya dapat dideteksi juga dengan elektroforesis.
Prosedur khusus lainnya seperti tes rantai globin dan
analisis DNA dikerjakan untuk mengidentifikasi genotip
spesifik. Uji ini dapat dilakukan untuk tujuan penelitian,
untuk membedakan thalassemia-cx c arrier dari thalassemia-

ap carrier, untuk mengidentifikasi gen pembawa sifat


tersembunyi, atau melihat pola pewarisan keluarga dengan
gen yang banyak. Harus ditentukan apakah keuntungan
uji lengkap ini melebihi biayanya

Usia tersering >18-67 tahun (dapat terjadi pada usia 2 I 8 tahun)


Adanya tanda dan gejala anemia dengan atau tanpa
Splenomegali
Batu empedu
Trombosis (DVT, stroke,fetalloss syndrome,APS)

Kardiomiopati
Hemopoiesisekstramedular

Penyakithatikronik
Ulkus maleolar
Kelainan endokrin /diabetes melitus

b.2. Pemeriksaan Fisik

.
.
.
.
.

Facies Thalassemia

Pucat.

Ikterik+/Hepatosplenomegalisedang-berat
Gangguan pertumbuhan tulang +/-

b.3. Laboratorium

THALASSEMIA INTERMEDIA
Sebelum kita mendiagnosis thalassemia intermedia,
seyogyanya kita mengetahui komplikasi akibat penyakit
thalasemia itu sendiri, karena dengan mengetahui
komplikasi tersebut, bila kita temukan gejala dan tanda
tersebut kita harus berfikir kemungkinan orang ini penderita

Darah tepi lengkap

Hemoglobin
Hematokrit

Retikulosit

Sediaan apus darah tepi : anemia mikrositer,


hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel eritrosit
muda (normoblast), fragmentosit, sel target.

t392

HE|MANOI.OGI

Indeks eritrosir (MCV MCH, MCHC, RDW) bila


tidak ada cell counter,lakrtkzm uji resistensi osmotik
1 tabung (fragilitas)
Analisis hemoglobin:
1 . Elektroforesis Hemoglobin
- Hb varian kualitatif (elektroforesis cellulose
acetaet membrane)

HbA2kuantitatif(metodamikrokolom)
HbF (alkali denaturasi modifikasi Betke 2

pengobatan.

c.3. Pasca splenektomi bila Hb <7 gr o/o=


Pada keadaan ini penangan komplikasi merupakan
keharusan, mencakup:
. batu empedu: kolesistektomi

.
.
.

infeksi: antibiotika
hiperurikemia/Gout: allopurinol
aterogenesis: pemantauan lanjut sesuai tatalaksana

.
.

ulkus tungkai: perawayan luka

meniQ

HbH inclusion bodies (pewarnaan supravitaU


retikulosit)
Atau

2. Metoda TIPLC (Beta short variant Biorad): analisis

kualitatif dan kuantitatif

b.4. Radio imajing (tentative)

.
.

MRI : untukmelihat hematopoisisekstramedular


MRI T2x : untuk melihat iron overload pada jantung

b.5. Pemeriksaan Komplikasi Penyakit Thalssemia


. Splenomegali Pemeriksaanfisik atauUSG
. Kolelitiasis: USG/CT scan
. Hemopoiesis ekstramedular: Foto rontgm (X ray)
. Kelainan tulang: X ray /MRI

.
.
.

Trombosis

(DVl

Stroke, APS): USG duplex, angiografi,

hemostasis

Kelainan jantung : Eko kardiografi atau T2* MRI


Kelainan hati: LIClLiver lron Concentration (biopsi
atau T2* MRI)

.
.
.
.
.
.

lntermedia
Penderita thalassemia dewasa diawali dengan penentuan

kadar hemoglobin dan adarya pansitopenia (penurunan


Hb progresif <7 gldl,leukopeni < 3000/ ul trombositopeni
< 80.000/ ul) yang menunjukkan adanya hipersplenisme.
Berdasarkan kadar hemoglobin,(7 - 9 g.), ditentukan
langkah penatalaksanaan selanjutnya.

iskemia serebral: terapi sesuai dengan tatalaksana


baku
eritropiesis heterotropik:hidroksiurea
hemokromatosis: terapi kelasi besi

c.4. Pasca splenektomi bila Hb > 7 gr

7"

d. Hb < Tgrldl tanpa splenomegali


Pemantauan klinis dan hematologi

e. Transfusi darah pada penderita thalassemia


Transfusi darah pada penderita thalassemia intermedia
diberikan atas indikasi, sebagai berikut

Kondisi stres sementara : kehamilan, infeksi


Manifestasi klinis anemia
Gagal jantung kongestif
IJlkus tungkai

f.

Pemantauan besi pada penderita thalassemia

Imunoprofilaksis pra splenektomi merupakan keharusan,

mencakup:

vaksinasi anti meningococus


vaksinasi anti hemophilus influensa
Pasca splenektomi diberikan antibiotika profilaksis
antibiotik (penisilin oral)

c.2. Hipersplenisme
splenektomi merupakan pilihan

.
.
.
.
.

.
.

ini

osteoporosis:bisfosfonat, dll
kelainan hat: obat antivirus

Pada kondisi ini transfusi darah merah pekat

c.1. Hb <7 grtdlDisertai dengan Splenomegali


Masif:
Pada kondisi ini splenektomi merupakan pilihan.

Pada keadaan

diabetes melitus: sesuai dengan tatalaksana diabetes


melitus
hiperkoagulasi dan trombosis: aniagregasi trombosit
dan antikoagulan oral

intermedia

c. Penatalaksanaan Penderita Thalassemia

.
.

aterogenesis

Gangguan pertumbuhan

intermadia:
Setiap transfusi: ratarata asupan besi
Setiap 3 bulan: dosis kelasi dan frekuensi, fungsi hati,
feritin serial

Setiap 6 bulan (pada anak): pertumbuhan dan


perkembangan seksual

Setiap tahun: muatan besi hati, fungsi jantung


(ekokardiografi), MRI jantung T2*, fungsi hati, ferritin
serial

g. Pengobatan muatan berlebih besi


Ada beberapa pilihan obat yang direkomendasikan untuk
untuk terapi kelasi, seperti tertera pada Thbel 1 di bawah ini.

1393

THALASSEMIA: MANIFESTASI KLINIS, PENDEKAf,AN DIAGNOSIS, DAI{TI{ALASSEMIAINTERMEDIA

Terapi

Rekomendasi

Deferasirox

Dosis awal 20 mg/kg/hari pada pasien yang cukup sering mengalami transfusi

(Exjade@)

30

'1G15 mg/kg/hai pada pasien dengan kadar kelebihan besi yang rendah

DFO

2040 mg/kg (anakanak),

(Desferal@)

Pada pasien anak < 3 tahun, direkomendasikan untuk mengurangi dosis dan melakukan

mg/kg/hari pada pasien dengan kadar kelebihan besi yang tinggi

= 5G60

mg/kg (dewasa)

pemantauan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tulang


Deferiprone

75 mg/kg/hari

(Ferriprox@)

Dapat dikombinasikan dengan DFO bila DFO sebagai tidak efektif

PROGRAM PENCEGAHAN
Program pencegahan berdasarkan penapisan pembawa
sifat thalassemia dan diagnosis pranatal telah dapat
menurunkan secara bermakna kejadian thalassemia mayor
pada anak-anak di Yunani, Siprus, Italia daratan dan
Sardinia. Penapisan pembawa sifat thalassemia-p lebih
berdaya guna bila dikerjakan dengan penilaian indeks sel
darah merah. Individu dengan MCV dan MCH yang
rendah dinilai konsenffasi HbAr-nya. Masalahnya timbul
pada penapisan individu dengan pembawa sifat thalassemia-cr bersamaan (co - existent) dengan thalassemia-cr.

Tidak adanya gen-cx, memastikan diagnosis. Terminasi awal


akan dapat mencegah akibat berbahaya bagi si ibu, yakni
toksemia dan perdarahan hebat pasca partus.

REFERENSI"

1.

2.

Di Indonesia program pencegahan thalassemia-p


mayor telah dikaji oleh Departemen Kesehatan melalui
program "health technology assesment" (HTA), di mana

3.

beberapa butir rekomendasi, sebagai hasil kajian,

4.

Hemoglobin Structure and Synthesis. Abnormal Hemoglobins:


General Principles. In: Greer JP, Foerster J, Lukens JN, et all,

diusulkan dalam program prevensi thalassemia, termasuk

teknik dan metoda uji saring laboratorium, strategi


pelaksanaan dan aspek medikolegal, psikososial, dan

5.

Mutasi thalassemia-p, biasanya dapat dideteksi dengan


analisis DNA langsung yang diperoleh dari fetus dengan
biopsi villus korionik atau cairan amniosentesis. DNA

dianalisis dengan metoda polymerase chain reaction


@CR) dan metoda hibridisasi molekular untuk menentukan
adanya mutasi thalassemia.
Bila ke dua pasangan orang tua membawa sifat gen

thalassemia minor, diagnosis pra natal thalassemia-cr


homozigot pada bayi yang dikandung dapat dibuat
dengan analisisis endonuklease restriksi DNA, yang
diperoleh dari villus korionik atau cairaan aminiosentesi s.

editors. Wintrobe's Clinical Hematology, 7th

ed,

1247

Philadelphia,PA: Lippincott Williams

agama

DIAGNOSIS PRANATAL

Higgs ER, Thein SL, Wood WG. The biology of the thalassemia. In: Weatherall DJ, Clegg JB, editors The Thalassemia
Syndromes. 4th ed, New York: Blackwell Science: 2001,p. 65284.
Bain BJ. Hemoglobinopathy Diagnosis. lst ed. Malden,MA:
Blackwell Science: 2001, I - 186.
McGhee DB Structural Defects in Hemoglobin (Hemoglobinopathies). In: Hematology Clinical Principles and Applications.
2nd ed, Philadelphia, PA: Saunders: 2002, p 319 - 358.
Lukens JN. Abnormal Hemoglobins: Hereditary Disorders of

6.
7.
8.

& Wilkins:

2OO4,

t262.

Benz EJ. Hemoglobinopathies. In: Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th ed, New York: McGraw-Hill; 2005, p
593 - 601.
Weatherall DJ, Clegg JB. The Thalassemia Syndromes. 4th ed.
Malden, MA: Blackwell Science: 2OOl, p 3 - 826.
Fucharoen S, Winichagon P. Clinical and hematologic aspect
of hemoglobin E A thalassemia. Current Opinion in Hematology: 20OO,7,2, p lO6 - 112.
Olivieri,MD. Management of the Beta-Thalassemias. Educa-

tion Program Book. International Society of Hematology:

2000,p8-11

9.

Cohen AR, Galanello R, Pennel DJ, et al. Thalassemia.Education

Program Book. American Society of Hematology: 2OO4, p 14

-34

10. Guidelines for the Clinical Management of Thalassemia. Thalassemia Intemational Federation. 2 ad ed. Thalassemia International Federation,.Cyprus, 2OO7: p 6 - 189.

22t
TRANSPLANTASI

SEL PUNCA/INDUK DARAH


A. Harryanto Reksodiputro

PENDAHULUAN

banyak mengundang konflik etik dan moral. Dalam bab ini


yang dimaksudkan untuk transplantasi adalah sel punca

Rekayasa jaringan merupakan terobosan baru dalam bidang

non-embrionik.

kedokteran karena menggabungkan ilmu biologi dan

Transplantasi sel punca (haemopoietic stem cell tans-

rekayasa untuk menciptakan meteode biologik yang dapat

plantation) merupakan prosedur pencangkokan sel punca

menggantikan atau memulihkan jaringan-jaringan yang


rusak. Sel-sel sumsum tulang atau darah tepi telah dikultur
di laboratorium dan subpopulasi terpilih kemudian dipakai
untuk mengobati jaringan/organ yang rusak.
Sel punca (stem cell) adalah sel-sel yang berasal dari
embrio, janin, atau individu, yang belum berdiferensiasi

(stem cell) atau sel induk Qtrogenitor cell) darah dari satu
individu ke individu lain, atau dari individu itu sendiri yang
disimpan terlebih dahulu sebelum pemberian kemoterapi
dan kemudian dicangkokkan ke dalam dirinya sendiri pasca
pemberian kemoterapi tersebut.

dengan kemampuan memperbaharui diri yang tak terbatas

atau terus-menerus dan dengan dengan induksi yang


spesifik, dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel yang
spesifik. Sel induk Qtrogenitor cell') adalah sel-sel yang
berasal darijanin atau individu yang berdiferensiasi parsial
yang kemudian dapat membelah dan membentuk sel yang

spesifik.

Sel punca dan sel induk dibedakan berdasarkan


kemampuannya bereplikasi setelah membelah. Ketika

Berdasarkan hubungan antara sumber donor sel punca,/


sel induk darah dari penerimanya (resipien), transplantasi
dikelompokkan menj adi

Singenik. Sel punca./sel induk darah donor berasal dari


spesies yang sama, identik secara genetik, misalnya pada
saudara kembar

Allogenik. Sel punca/sel induk darah berasal dari donor


saudarakandung, orangtua, atau dari orang lain yang cocok

sistemHLA-nya.

membelah, satu dari dua sel yang baru tersebut biasanya

Autologus.

adalah sel punca yang mempunyai kemampuan

sendiri.

memperbaharui dirinya sendiri kembali. Sedangkan ketika


sel progenitor membelah, akan terbentuk sel progenitor
kembali atau sel yang terdierensiasi, dimana keduanya tidak
mempunyai kemampuan memperbaharui dirinya sendiri.
Sel punca atau induk dapat menjadi sel-sel saraf,
jantung, pankreas, dan lain-lain. Sel-sel ini berpotensi
mengganti sel jaringan yang rusak atau hancur karena
penyakit berat.
Sel punca dapat berasal dari embrio yang sedang
membelah (embryonal stem cells), janin (embryonic gerrn

Pada tahun 1950 Jacobson dan Lorenz melaporkan


kematian seekor hewan pengerat yang menjalani irradiasi
seluruh ttbuh (total body irradiationlTBts dapat dicegah
dengan pemberian intravena sel limpa atau sel sumsum
tulang. Untuk beberapa saat, timbul beda pendapat, efek

cell),

atau dari sel-sel yang telah mengalami derajat


maturasi tertentu tanpa memandang usia ir,dividn (adult
stem cells). Sel asal embrio diperoleh dengan
menghancurkan embrio atau janin tersebut sehingga

Sel punca./sel induk darah berasal dari pasien

proteksi yang didapat apakah akibat hormonal atau sel yang


diberikan intravena.

Cole serta Alpen dan Baum menyokong cellreplacement theory dengan menggunakan mencit dan
anjing. Pada tahun 1956, Ford mengemukakan teori radiasi
chimaera, yaitu hematopoiesis hewan yang mendapat
radiasi dapat diganti dengan injeksi sumsum hewan
lainnya. Chimaera diartikan sebagai didapatkannya
populasi sel yang berasal dari individu berbeda, diberikan

1394

1395

TRANSPLAI\MASI SEL PUNCA,/INDUK DARAH

kepada satu resipien. Kemudian diketahui bahwa hematopoiesis chimaera hanya dapat berhasil setelah pemberian

terapi imunosupresif intensif, yaitu TBI.


. Saat ini, transplantasi sel punca/induk darah sering
dilakukan dengan tujuan untuk:
. Memperbaiki sindrom gagal sumsum tulang (misalnya
leukemia, anemia aplastik, kelainan herediter, dan
sebagainya).
. Melindungi sumsum tulang dari dampak mieloblasi

dengan peruosesan kedua, yang mencakup pemekatan


(mengkonsentrasikan sel punca/induk darah), deplesi sel
limfosit T, pembersihan sel punca,/induk darah dari sel tumor (tumor purging), seleksi sel CD34+, dan lain-lain, 3).
Penilaian/pengendalian kualitas dan viabilitas sel punca./
induk darah yang didapat, 4)Kriopreservasi dan

penyimpanan sel punca/induk darah, 5)Pencairan sel


punca/induk darah yang disimpan beku, 6)Transplantasi
sel punca,/induk darah.

radiasi atau kemoterapi sitostatika dosis tinggi

(misalnya pada limfoma non-Hodgkin).


Memasukkan sel punca darah, sel genetika normaU

KEGIATAN MEMPEROLEH SEL PUNCA/INDUK

direkayasa menjadi normal (terapi gen).

DAI1/\H

Sebelum sel punca dari donor diambil, dilakukan

!NDIKAS!
Kanker:

.
.
.

Leukemiaakut/kronik
Praleukemia/sindrommielodisplasia(MDS)

Hodgkin, mieloma multipel)


Tumor padat (neuroblastoma, kanker payudara, kanker
paru sel kecil, sarkomaEwing, dan lain-lain).

Kelainan limfoproliferatif (misalnya limfoma non-

BukanKanker:

.
.
.
.

Kegagalan sumsum tulang (misalnya anemia aplastik)

Imunodefisiensi
Kelainan darah (talassemia, anemia sel sabit)
Kelainan genetik nondarah

pemeriksaan lebih dahulu terhadap donor. Salah satunya,

pemeriksaan terhadap infeksi, dilakukan bersamaan


dengan atau sebelum prosedur pengambilan sel (dalam
waktu 4 minggu) pada donor produk sel aferesis/sumsum.

Sementara untuk donor darah tali pusat, pemeriksaan


terhadap ibu dilakukan dalam waktu 1 minggu sebelum
atau sesudah melahirkan.
Tindakan untrik memperoleh sel punca/induk darah dari
tiga jenis sumber sangat berbeda. Pada BMT, s"el punca/
induk darah diambil dengan melakukan aspirasi sumsum

tulang pada spina iliaka posterior/anterior donor sehat


(BMT alogenik) atau dari pasien sendiri (autologus) yang
sudah dinyatakan remisi lengkap pasca kemoterapi
sitostatika, misalnya pasien limfoma non-Hodgkin.
Tindakan ini dilakukan di kamar bedah steril di bawah
anestesi umum dan memerlukan penggantian volume

SUMBER SEL PUNCMNDUK DARAH

sumsum tulang yang dikumpulkan dengan transfusi darah

Sel punca/sel induk darah saat ini diperoleh dari tiga


sumber yang kemudian dipakai sebagai nama jenis
transplantasi sel asaVsel induk, yaitu 1). Sumsum tulang;

autologus.
Pada PBSCT, sel induk darah dalam sumsum tulang
dimobilisasi ke darah tepi dengan rangsangan factor
pertumbuhan hemopoietik (G-CSF, GM-CSF), atau
dengan sitostatika tunggal dosis tinggi (siklofosfamida),

transplantasi sumsum tulang atatt bone marrow


transplantation (BMT), 2). Sel darah tepi: transplantasi
sel induk darah tepi atau peripheral blood stem cell
transplantation (PBSCT), 3). Tali pusat bayi baru lahir:
transplantasi sel induk darah tali pusat bayi baru lahir atau

umbilical cord blood transplantation (UBCT).

LANGKAH-LANGKAH MEMPEROLEH DAN


MENYEDIAKAN SEL PUNCMNDUK DARAH

Perolehan dan penyediaan sel punca/induk darah


merupakan salah satu kegiatan terpenting dari rangkaian
BMT atau PBSCT. Jumlah, kualitas, dan viabilitas sel

punca./induk darah yang baik dan optimal merupakan


syarat mutlak keberhasilan transplantasi. Langkah-langkah

tersebut adalah: 1). Memperoleh sel punca/induk darah


dari sumsum tulang, darah tepi, atau darah tali pusat bayi
baru lahir, 2). Pemisahan sel punca,/induk darah, diikuti

atau kombinasi keduanya. Untuk donor allogenik,


digunakan G-CSF/GM-CSF, sedangkan untuk pasien
transplantasi autologus dapat digunakan kombinasi
keduanya.
Pada donor alogenik, hari ke-5 atau ke-6 atau lebih
pascastimulasi G-CSF/GM-CSF , sel punca,/induk darah
dapat dipanen (harvesting) dengan media aferesis.
Tindakan ini dilakukan pada pasien dalm keadaan sadar
dan tidak memerlukan transfusi darah.
Sel punca./induk darah tali pusat dan plasenta dapat
diambil secara e x ut e ro maupun in ut ero. Sel punca/induk
diambil dari bayi baru lahir dengan mengaspirasi darah
langsung dari tali pusat, dalam keadaan steril, dan

kemudian ditampung dalam kantung darah steril.


Pengambilan darah tali pusat ln utero dapat dilakukan
dengan syarat hanya pada kehamilan tunggal, pada
persalinan yang diperkirakan tidak ada komplikasi, dan usia

janin minimal 34 minggu.

1396

HEMIIiTOI.OGI

Agar transplantasi berhasil, jumlah sel punca./induk


darah harus memenuhi syarat jumlah minimal dan optimal

yang diperoleh dari satu kali atau beberapa kali panen,


baikpadaBMT, PBSCT, maupun UCBT

PEMISAHAN SEL PUNCA/INDUK DARAH DAN


PEMROSESAN SEKUNDER
Sel punca,/induk darah yang diperoleh dengan ketiga cara
atas dipisah-pisahkan dengan alat pemisah komponen
daruh (blood s eparator). Kemudian dilakukan pemrosesan

di

sekunder pada sel punca./induk darah yang didapat, yang

meliputi:

.
.
.
.

Pemekatan/konsenstrasi sel punca./induk darah.


Deplesi sel limfositT (sel T), padatransplantasi alogenik
Pembersihan sel asaUinduk darah dari sel tumor (tumor

purging)
Pemilihan/seleksi sel induk darah (sel CD34+)
Sel punca ditandai dengan adanya ekspresi CD34 dan
Thyl dan absennya CD38, CD33, dan HLA-DR. CD34
adalah penanda untuk sel punca dan induk pada

manusla.
Pemekatan sel induk darah bertujuan memudahkan
pemrosesan selanjutnya dan kriopreservasi. Agar tidak

hancur pada suhu di bawah 0"C, ke dalam konsentrat


tersebut dimasukkan dimetilsulfoksida (DMSO) l\Vo dan
untuk pertumbuhannya diberi kan plasma autologus.
Deplesi sel T dilakukan pada transplantasi alogenik
untuk mengurangi terjadinya dan beratnya graft-versus-

futst disease (GVHD), karenakejadian GVHD berkaitan erat


dengan dosis sel limfosit T yang diinfuskan. Salah satu
teknik deplesi sel T adalah dengan antibodi monoklonal
(Campathl in vitro dan in vivo.
Pembersihan sel punca/induk darah dari kontaminasi
sel tumor (tumor purging) masihbersifat spekulatif, karena
belum ada teknik purging yang menunjukkan masa bebas
penyakit. Teknik-teknik tersebut mencakup teknik fisika,
kimia, dan imunologik. Seleksi positif sel CD34+ telah

terbukti bermanfaat untuk transplantasi sumsum tulang


autologus. Teknik ini mungkin berguna untuk deplesi
limfosit T atau sel tumor dad inokulum PBSC, atau sebagai
proses awal insersi gen, atau ekspansi in vitro sel induk
darah.

KEGIATAN PENILAIAN/KONTROL SEL PUNCA/


INDUK DARAH YANG DIPANEN

Di samping harus memenuhi syarat kuantitas,

sel punca./

induk darah yang dipanen juga harus mempunyai kualitas

dan viabilitas yang optimal. Penilaian kuantitas dan


kualitas selalu dilakukan terhadap sel punca/induk darah
yang dipanen, pada pemrosesan sekunder, dan pada sel
yang disimpan dalam nitrogen cair.
Kuantitas sel punca/induk darah dinilai dengan
menghitung sel CD34+ (sel induk darah) dengan alat
sitometri arus (flowcytometry). Teknik ini cepat dan akurat.
Jumlah koloni sel yang tumbuh dengan tekntkkultw colony
fo rmin g unit- g ranulocy te mac ropha ge (CFU-GM) dapat

DONOR
Sumsum Tulang

Darah Tepi

Darah Tali Pusat

RESIPIEN

Transfusi sel
PUnCa

.'\ Conditiong
)
\--r'
---/

Gambar 2. Alur transplantasi sel punca darah

Sel

Punca

Volume cairan

1397

TRANSPLAI\TXASI SEL PUNCA/INDUK DARAH

juga digunakan untuk menentukanjumlah sel induk darah,

namun hasilnya lama (10-14

hari). Teknik ini

dapat

digunakan untuk menilai viabilitas sel induk darah. Teknik


lain adalah dengan pewarnaan trypan blue.
Di samping tes kuantitas dan viabilitas, harus dipastikan

tes mikrobiologi bahwa sel punca/induk darah yang


dipanen tidak terinfeksi mikroorganisme aerob atau
anaerob. Juga virus hepatitis B, hepatitis C, HIY virus
sitomegalo, VDRL, dan malaria.

sebelum transplantasi, dan TBI pada hari minus

1.

Transplantasi dilakukan pada hari ke-0.

Tujuan c onditionin g adalah untuk mengosongkan


sumsum tulang dari sel asal/induk darah resipien
(mieloablasi), sehingga sel punca/induk darah yang
ditransplantasikan dapat tumbuh. Dosis tinggi kemoterapi
sitostatika yang diberikan bersifat mieloablasi, begitu pula

dengan dosis TBI. Conditioning juga dapat dilakukan


tanpa mieloablasi.

Premedikasi sebelum transplantasi. Karena asal sel


punca/induk darah disimpan pada suhu beku dengan
KEGIATAN KRIOPRESERVASI DAN PENYIMPANAN

DMSO 107o, per).t tindakan pencegahan untuk

SEL PUNCMNDUK DARAH

mengurangi toksisitas akibat DMSO dengan pemberian


antihistamin. Salah satu toksisitas DMSO adalah renjatan

Setelah menjalani pemrosesan sekunder, sel punca/induk


darah harus disimpan dalam nitrogen cair (bersuhu 197"C) agar dapat tetap hidup dalam jangka waktu lama

akibat pelepasan histamine yang diinduksi DMSO.

berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun asalkan


menjalani proses kriopreservasi dengan DMSO 107o.
Namun sebelumnya suhu sel induk darah diturunkan
bertahap sampai mencapai suhu -120'C, kemudian
disimpan dalam nitrogen cair. Selain kantung sel punca./
induk darah yang telah dikonsentrasikan, ke dalam tangki
nitrogen juga dimasukkan beberapa tabung kecil berisi
sampel sel punca,/induk darah, untuk penilaian kualitas
secara periodik atau pemeriksaan lainnya bila diperlukan.
Selama penyimpanan, harus dilakukan pemantauan rutin
kerja tanki dan pengisian periodik nitrogen cair selama
konsentrat sel punca,/induk darah berada dalam tanki
tersebut.

KEGIATAN PENCAIBAN KONSENTRAT SEL


PU

NCMN

Toksisitas lainnya merupakan dampak langsung terhadap


system kardiovaskuler, yaitu hipertensi, bradikardia, dan
blok jantung. Efek samping lain transplantasi sel punca./
induk darah yang mengalami kriopreservasi adalah hematuria, nausea, muntah, dan diare. Hemoglobinuria dapat
terjadi akibat lisisnya eritrosit setelah pencairan. Sesak

napas, kram perut, mual, muntah, dan diare dapat

disebabkan oleh histamin yang dilepaskan akibat


DMSO.
Premedikasi sebelum tindakan transplantasi mencakup

langkah-langkah sebagai berikut:


. Hidrasi, agar dicapai jumlah urin 2,5 mVkg berat badan/

.
.
.
.

Jam

Alkalinisasi urin, dengan menambahkan bikarbonat ke


dalam cairan rehidrasi.

Antihistamin: difenhidramin atau yang ekuivalen


Kortikosteroid : hidrokortison

Diuretik:manitol

DU K DABAH (THAWING)

Bila ingin digunakan, sel induk darah harus dicairkan

PASCA TRANSPLANTASI SEL PUNCA/INDUK

terlebih dahulu (thawing) sesuai prosedur baku.

DARAH
Pasca transplantasi, pasien dirawat di kamar isolasi sampai

KEGIATAN TRANSPLANTASI SEL PU NCA/INDU K


DARAH
Pada BMT/PBSCT alogenik, sel punca./induk darah yang
telah dicairkan kemudian diinfuskan kepada pasien. Pada

BMT/PBSCT autologus, sel punca/induk darah diinfuskan


kembali kepada pasien itu sendiri. Transplantasi dilakukan
satu hari pasca conditioning. Sebelum transplantasi,
resipien perlu mendapat premedikasi untuk mencegah
timbulnya reaksi toksisitas.

Conditioning. Conditioning mertpakan tindakan


pemberian sitostatika dosis tinggi (high dose chemo-

keadaan neutropenia berat yang mengancam jiwa (<1000


seUmm3) teratasi dengan ditandai kembalinya granulosit
ke nilai normal. Banyak hal yang harus diawasi dan

ditatalaksana pascatransplantasi, termasuk komplikasi


yang mungkin terjadi.

KOMPL!KASI TRANSPLANTASI
Pasca pemberian kemoterapi sitostatika dosis

tinggi, pasien

therapy) dengan/tanpa kombinasi iradiasi tubuh total (TBI).


Sebagai contoh adalah pemberian siklofosfamida dosis

dapat mengalami komplikasi. Agar pemberian kemoterapi


dosis tinggi dengan atau tanpa TBI pada resipien dapat
berhasil baik, maka komplikasi baik yang bersifat akut,
maupun yang timbulnya lambat, harus dicegah, dikurangi

tinggi dua hari berturut-turut, pada hari minus 6 dan

dan ditanggulangi secara cepat.

1398

HEMATOI.OGI

Komplikasi pada Tahap Conditioning


Mukositis dan diare. Mukositis dan diare sering dijumpai
dengan berbagai derajat dan akan berkurang setelah minggu
kedua.

Oklusi vena hepatika. Dua bentuk histopatologik oklusi

meningkat sebesar 6 kali bila dibandingkan populasi normal. Keganasan sekunder yang sering ditemukan adalah
limfoma non-Hodgkin, leukemia dan tumor padat.

Faktor risiko timbulnya keganasan sekunder adalah


pemberian TBI dan GVHD yang diberikan antimosit
globulin atau antibody monoclonal anti-CD3.

vena yang mungkin ditemukan mencakup vena occlusiye


disease (VOD), yang melibatkan vena hepatika terminalis
dan vena sublobular, serta nekrosis hepatosit perisentralis.
Dari kedua bentuk tersebut VOD merupakan komplikasi
fatal, dijumpai pada l5-30%o pasien, serla tingkat mortalitas
37o. Padaproses awal VOD didapatkan gambaran patologik
perdarahan sentrilobular hati massif. Kerusakan vena
digambarkan sebagai sempitnya lumen serta melebarnya

transplantasi, karena granulositopenia dini. Sebanyak 57o


resipien dengan HLA identik, dan lebih banyak pada HLA
non-identik akan mengalami infeksi bakterial dan jamur dua
minggu pasca transplantasi. Jamur yang sering dijumpai
dan acapkali sulit diobati adalah Aspergillus fumigates.
yang menginvasi paru dan otak. Infeksi nosokomial akibat

Infeksi. Infeksi timbul terutama setelah tindakan

zona subendotelial, berisi serabut kolagen halus,

Aspergillus ditelusuri melalui sistem ventilasi yang

komponen sel, serla makrofag.

terkontaminasi, materi gedung terkontaminasi dan gedung

Nekrosis sel hati perisentral dapat menyebabkan


emboli vena terminalis, karena tempat pori sinusoid

yang sedang direnovasi. Penggunaan HEPA (high

menembus endotel vena terminalis menjadi sempit dan

tersumbat sel hati yang terkelupas, sisa sel, fibrosis


subendotel yang akhirnya menyebabkan obstruksi aliran
darah, melibatkan vena hepatika terminalis dan vena

sublobular, serta nekrosis hepatosit perisentralis.


Manifestasi klinisnya berupa hepatomegali, asites, ikterus,
nyeri abdominal, dan ensefalopati.

Komplikasi Setelah Transplantasi


VOD. Walaupun sering dijumpai pada fase conditioning,
VOD dapat juga terjadi setelah tindakan transplantasi
(akibat dipicu oleh obat imunosupresif, terutama

siklosporin). Diagnosis VOD biasanya ditegakkan dari


gambaran klinis dalam 3 minggu pascatransplantasi. Pada
beberapa kasus dijumpai peningkatan kadar transaminase

serum dan alkali fosfatase, sedangkan pemeriksaan


koagulasi menunjukkan nilai normal. Hal yang perlu
diingat, adalah bahwa gambaran kTinis graft versus host
disease (GVHD) akut dapat menyerupai VOD lanjut,
sehingga untuk membedakannya diperlukan pemeriksaan
histopatologi.

Pneumonia interstititialis kronis. Faktor risiko terj adinya


pneumonia interstititalis idiopatik terutama dipengaruhi
oleh usia, penggunaanmetoffeksat untuk mencegah GVHD,
beratnya GVHD, tingkat kemampuan berperan pasien
sebelum transplantasi, interval waktu sejak diagnosis
sampai transplantasi, serta tingginya dosis radiasi pasien
yang mendapat metotreksat setelah transplantasi.

fficiency parTiculate air) akan menurunkan kejadianinfeksi


Aspergillus.
Penggunaan antibiotika, tertama terhadap gram positif,
akan menimbulkan resistensi , terutama Staphylococcus
epidermidis yang multiresisten. Infeksi berat yang muncul
3-4 bulan pascatransplantasi disebabkan oleh virus. Yang
sering adalah virus sitomegalo (CMV). Umumnya infeksi
ini asimptomatik dan hanya muncul apabila didapatkan

peningkatan antibodi atau ekskresi virus di urin.


Penatalaksanaan infeksi CMV berupa pemberian
gansiklovir (15 hari sebelum sampai 30 hari sesudah
transplantasi), dikombinasikan dengan immunoglobulin

dosis

tinggi. Dosis profilaktik immunoglobulin

yang

dianjurkan adalah 500 mg/kgBB setiap minggu selama 3


bulan, kemudian setiap bulan selama satu tahun. Tujuan
pengobatan ini menurunkan insidens GVHD, yang
dihubungkan dengan pneumonia interstititalis pada pasien
seropositif. Tujuan lainnya adalah menurunkan risiko
septikemia gram negatif

PBSCT Dibandingkan dengan BMT


Penggunaan PBSCT telah meningkat dalam beberapa tahun

terakhir sebagai alternatif BMT konvensional. Dalam


berbagai aspek transplantasi sel punca/induk darah,
PBSCT sama dengan BMT. Perbedaannya antara lain
adalah:

Leukoensefalopati. Leukoensefalopati biasanya ditemukan


pada anak yang mendapat radiasi kepala. Pada pasien ini,
juga ditemukan hambatan pertumbuhan dan organ seksual.

PBSCT lebih praktis dari BMT. Panen/pengumpulan


sel punca atau sel induk darah donor (pada
transplantasi alogenik) atau pasien sendiri (pada
transplantasi autologus) pada PBSCT dengan mesin
aferesis tidak perlu pembiusan umum dan dilakukan di
kamar biasa. Sebaliknya BMT dilakukan di kamar bedah

80To pasien yang

mendapat TBI dosis tunggal, tetapi dijumpaiprlapadalSVo


kasus dengan TBI terbagi.

steril dalam anestesi umum.


Batas usia pasien yang diperbolehkan menjalani PBSCT
lebih tua dibandingkan pada BMT.
Pemulihan granulosit, trombosit, dan retikulosit setelah

PBSCT tampak lebih cepat dibandingkan dengan BMT.


Biaya PBSCT, walaupun pada periode pratransplantasi,

Katarak. Katarak ditemukan pada

Keganasan sekunder. Pada percobaan anjing yang


mendapat radiasi chimera, munculnya keganasan sekunder

r399

TRANSPLANTASI SEL PUNCA/INDUK DARAH

lebih tinggi daripada BMT, namun biaya total

embrionik berasal dari lapisan yang berbeda disebut

keseluruhan lebih murah.


PBSCT lebih sering menyebabkan GVHD diakibatkan
lebih tingginya load sel T. Oleh karena itu BMT lebih
baik dari PBSCTjika dilakukan padakelainan non-kanker,

transdiferensiasi, misalnya dari sel punca darah menjadi

seperti hemoglobinopati, dimana engraftment yarlg


cepat dan reaksi grafi versus tumor (GVT) tidaklah
terlalu penting.

sel epitel usus (mesoderm ke endoderrn).

Dengan teknik-teknik aplikasi tertentu, sel-sel punca


dari sumsum tulang telah diujicobakan untuk mengobati
infark miokardial, penyakit jantung iskemik, osteogenesis

imperfekta, penyakit ginjal glomerular, penyakit


neurodegenerative dan stroke. Mekanisme yang berada
di balikpembentukan jaringan organ padat ini masih belum

UCBT Dibandingkan PBSCT dan BMT


Saat ini translantasi darah tali pusat dan plasenta telah
menjadi pilihan utama untuk pasien anak-anak, serta
menjadi pilihan untuk orang dewasa yang kesulitan
mendapatkan donor yang cocok.

Keunggulan jenis tranplantasi ini

adalah

memungkinkan untuk dilakukan dengan donor yang HLAnya tidak benar-benar cocok dengan resipien. Kecocokan
3-4 dari 6 antigen HLA-A, HLA-B dan HLA-DRBI sudah

cukup untuk transplantasi. Transplantasi ini juga lebih


sedikit menyebabkan GVHD dibandingkan pada PBSCT
atau BMT walaupun dengan ketidakcocokan HLA yang
serupa. Hal ini sangat menggembirakan karena membuka
kemungkinan lebih besar bagi pasien untuk mendapatkan
donor, karena sekitar 7O7o pasien yang membutuhkan
transplantasi sel punca./induk hematopoietik tidak dapat
menemukan donor yang cocok di keluarganya.
Keunggulan lain adalah kemungkinan risiko penularan
penyakit yang ditularkan melalui darah menjadi lebih
rendah.
Kelemahannya adalah, terbatasnya volume yang dapat,
oleh karena itu sel punca yang diambil dari tali pusat dan

plasenta biasanya hanya adekuat untuk anak-anak atau


dewasa muda. Untuk meningkatkan jumlah sel sehingga
memperbaiki engraftment dan rekonstitusi imun, dapat
dilakukan transplantasi darah tali pusat sekuensial, dimana

dilakukan transplantasi kedua setelah transplantasi


pertama.

TRANSPLANTASI SEL PUNCA DARAH UNTUK


PENYAKIT NON.H EMATOLOGI K
Studi-studi terbaru menunjukkan bahwa sel punca dewasa
yang diambil dari sumsum tulang atau darah tepi dapat
berdiferensiasi menjadi sel yang sama sekali berbeda dari
sel-sel darah, yaitu menjadi sel-sel jaringan organ padat.

Kemampuan

ini

disebut plastisitas perkembangan

(developmetal plasticity). Namun, ada pula yang literatur

yang membedakan lagi istilah plastisitas

dan

transdiferesiasi. Proses perubahan dari sel punca darah


menjadi sel non-darah tetap masih berasal dari satu lapisan
embrionik yang sama yaitu mesoderm (lihat gambar 1),
misalnya menjadi sel otot, disebut plastisitas Sementara,
proses perubahan sel punca darah menjadi sel yang secara

jelas, namun riset-riset masih terus berlangsung untuk


mencari strategi terapi yang potensial bermanfaat.

REFERENSI
Alenzi FQ, Alenazi BQ, Ahmad SY, Salem ML, Al-Jabri AA, Wyse
RK. The haemopoietic stem cell: between apoptosis and self
renewal. Yale J Biol Med. 2009. 82(1):7-18.
Areman E, Deeg HJ, Sacher RA. Bone marrow and stem cell processing: A manual of current techniques. Philadelphia: FA Davis
Compan i;1992.

W Aversa F, Bandini G De Vincetiis A, Falda M, Lanata L, et


al. Clinical use of allogeneic hematopoietic stem cells from sources
other than bone marrow. Haematologica. 1998;83:159-82.

Arcese

Ballen KK. New trend in umbilical cord transplantation. 2005. 105:

3186-92
Hematopoietic Stem-Cell Transplantation. N EngI J
1 81 3-26.
Cooper DL Peripheral blood stem cell transplantation. In: De Vita
VT, Hellman S, Rosenberg SA, editors. Cancer: principles and
practice of oncology, 4th edition. Philadetphia: JB Lippincott
Copelan

EA

Med. 2006;354:

Company 1994.

JH Peripheral blood stem cell for allogeneic transplantation: a review. Stem Ce1ls. 2001;19:108-17.
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
RI. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Medis Sel Punca di
Cutler C, Antin

Indonesia, Jakarta, 2008.


Giles B. Protocols of bone marrow transplantation and peripheral
blood stem cell transplantation in hematological malignancies
and solid tumors. Division of Hematology-Oncology. CedarSinai Medical Center, Los Angeles, 1994
Hartmann O, Blaise D, Michon J, et al. Results of multicentric
randomized clinical trial comparing peripheral blood stem cells
(PBSC) and bone marrow (BM) graft in autologus transplantation. Federation Nationale des Centres de Lutfe contre le Cancer, France CONFER Information System
Herzog EL, Chai L, Krause DS. Plasticity of marrow-derived stem
cells. Bood 2003; 1O2 (10):3483-93.
Kessinger A, McMann.is JD. Practical consideration of apheresis i
peripheral blood stem cell transplantation. 1st edition. Lakewood. Colorad o: Cobe BCTI 1994.
Kilrbling M, Anderlini P. Peripheral blood stem cell versus bone
marrow allotransplantation: does the source <if hematopoietic
stem cells matter? Blood. 2001;98(10):2900-8.

Z Adult stem cells for tissue repair- an new


theurapeutic concept? N Engl J Med. 2003; 349(6):5'70-82
Rovo A, Gratwhol A. Plasticity after allogeneic hematopoietic stem
cell transplantation Biol. Chem. 2008. 389:825-36.
Shaefer UW, Beele DW. Bone marow transplantation 2nd edition.
Kiirbling M, Estrov

Freiburg: Karger GmbH; 1996.

1400

Stadtmauer EA, Schneider CJ, Silberstein

HEN'AiIOI.OGI

L.

Peripheral blood pro-

genitor cell generatio and harvesting. Semin Oncol.


1995;22:291-3O0.

Treleaven J, Wiernick P. Color atlas and text of bone marrow


transplantation. London: Mosby-Wolfe;1995.
Uyl-de Groot CA, Richel DJ, Rutten FFH. Peripheral blood progenitor cell transplantation mobilised by r-metHuG-GSF
(Filgastrim): a less costly altemative to autologus bone marrow
transplantation. Eur J Cancer. 1994;30A(11):1631-5.
Weaver CH, Hazelton B, Bitch R, et al. An analysis of engraftment
kinetics as a function of CD34 content of peripheral blood
progenitor cell collection in 692 patients after the administration of myeloablative chemotherapy.
BIood
1995;88(10):3961-9.
Wiinder EW, Heno PR (Eds). Peripheral blood stem cell autografts.
Berlin: Springer-Verlag; 1 993.

222
SEL PUNCA (STEM CELL)
DAN POTENSI KLINISNYA
Cosphiadilrawan

dewasa, khususnya sel punca hematopoetik

PENDAHULUAN

("hematopoetic stem celllHSC") pada penyakit jantung,


maupun sel punca jaringan fetus (seperti:. darah/qpitelial
plasenta, cairan amnion, Wharton's Jelly). Perkembangan
lain, adalah dimulainya kemampuan teknologi untuk
memproduksi berbagai organ tubuh ("tissue engineering"
dan scaffold), yang pada gilirannya merupakan jawaban
atas berbagai penyakit degenerasi seperti diabetes, jantung

Diminggu ketiga Januari 2009 pemerintah federal Amerika

Serikat melalui lembaga FDA (Food Drug and


Administration) teTah memberikan izin "pilot project"
penerapan terapi sel punca embrional pada sepuluh pasien

kasus trauma tulang belakang (spinal cord injury) yang


menyebabkan kelumpuhan. Hal ini merupakal sej arah baru
bagi perkembangan sel terapi menggunakan sel punca di
negara paman Sam tersebut, yang selama ini diketahui
sangat ketat melarang penggunaan dana federal untuk

koroner, "stroke", penyakit Parkinson's dan banyak


kerusakan organ lainnya. Sejarah peran sel punca pada
keganasan darah telah dicatat keberhasilannnya sejak
lebih dari tiga puluh tahun terakhir, akan dibahas dalam
bab yang lain. Pembahasan berikut secara singkat akan

penelitian terapi menggunakan sel punca. Menilik


perkembangan dan antusiasme yang begitu tinggi meliputi
terapi sel punca, sebenarnya diawali dengan dua hal yaitu:
l.Keberhasilan Ian Wilmut, Keith Campbell dan teamnya
pada tahun 1997 mengkloning "Dolly" 2. Keberhasilan
laboratorium James Thomson pada tahun 1998 melakukan

lebih tertuju pada peran sel terapi pada penyakit


degeneratif. Selanjutnya akan dikaji: definisi sel punca;
faktor dan kemampuan yang mempertahankan potensi
biologinya: termasuk pembahasan: a. Niches ( lingkungan
mikro sel punca) b. Sinyal intra selular sel punca
c. Mekanisme migrasi dan "homing". Serta beberapa

patok baku processing sel punca embrional, dan bukti


kemampuan sel punca embrional dapat berkembang
menjadi berb4gai progenitor sel menjanjikan pengobatan
bagi berbagai penyakit degeneratif di masa mendatang.
Keberadaan sel punca sendiri dapat dibagi dalam dua
kelompok besar, yaitu sel punca embrional dan sel punca
dewasa ("adult stem cell"/ASC ) termasuk didalamnya sel

contoh perkembangan terapi sel punca, khususnya


dibidang penyakit dalam saat ini.
Perdefinisi sel punca adalah sel yang mempunyai tiga
kemampuan dan sifat dasar,yaitu: 1. Kemampuan untuk
memperbaharui dirinya sendiri ("self renewal") melalui
pembelahan diri yang simetris dan sekaligus asimetris
(-menjadi progenitor sel yang berbeda-) 2. Sel yang yang
pada tingkat awal perkembangannya, tak memiliki fungsi
khusus ("unspecialiazed") 3. Mampu menjadi progenitor

punca jaringan fetus; dimana mereka memperlihatkan


beberapa karakteristik daa fungsi yang sama. Dibedakan

terutama dari segi kemampuannya untuk bertransdiferensiasi (plasitisitasnya) menjadi progenitor sel yang
berbeda. Sejak itulah berkembang harapan sel punca

dari berbagai jenis sel didalam tubth ("plasticityl

embrional yang memiliki kemampuan memperbaharui diri

transdifrensiasi"), dimana diperkirakan ada 200 an jenis

(renewal) dan sifat plastisitasnya untuk bertrans


difrensiasi menjadi sel jenis manapun ditubuh manusia

sel ditubuh manusia. Berdasarkan kemampuannya menjadi


berbagai tipe sel tersebut, sel punca dapat dibagi menjadi
beberapa tingkat kemampuan, yaitu bersifat totipoten, yairu

dapat memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi organ


tubuh; hal ini diikuti perkembangan pesat terapi sel punca

sel punca yang mampu menjadi progenitor dari ketiga

r40

t402

HEMAIIOI.OGI

etik dan sosial yang luas dampaknya, sedangkan yang paling banyak dikembangkan sebagai sumber terapi sel adalah

lapisan primer germinal: ektoderm, mesoderm dan


endodetm; dalam hal ini adalah hasil konsepsi dalamp/zase
zygote (haike 2 konsepsi). Pluripoten kemampunnya lebih

HSC CD34(+) dan "mesenchyimal stem cell"/MSC (sel


punca mesenkimal).

terbatas untuk menjadi jenis lapisan germinal tertentu,


misalnya: mesoderm; yang menjadi sel hematopoetik,
osteogenik, chondrogenik dan jaringan adipose (lemak) dan
unipoten, yaitu sel punca yang hanya mampu menjadi satu

POTENSIBIOLOGI

jenis progenitor sel, misal sel punca hematopoeitik


Diawali penelitian exvivo Asahara pada tahun 1997 yang
memperlihatkan CD34(+) mumi, mampu berdiferensiasi
menjadi sel dengan phenotip endotel (positip penanda
endotel - EPC) dan membentuk pembuluh darah baru
didaerah iskemik, merupakan bukti bahwa HSC mampu
bertransdifrensiasi menjadi selain sel hematopoetik.
Setahun kemudian 1998 Raffi et al serta Shi et al,
memperlihatkan invivo adanya "circulatory endothelial

eritroblast, yang menjadi eritrosit atau megakaryoblast yang


menjadi trombosit (lihat gambar 1). Sel punca sendiri dapat
berasal dari berbagai sumber: 1. Sel punca embrional (SPE),
berasal dari blastosis (hari ke 5 fefiilisasi) 2. Genninal
embrional (melalui aborsi elektif kehamilan 5 - 9 minggu) 3.

Sel punca epitelial/darah

plasenta/jaringan

fetus (misal: "cord blood SC/CBC") 4. Sel punca dewasa


(misal: HSC dari sumsum tulang atau darah tepi, sel punca
adipose/jaringan lemak) 5. Sel punca somatik ("somatic stem

progenitor cell'7CEPC yang merupakan EPC yang berasal


dari SSTL; disamping adanya diferensiasi CD34(+) HSC
menjadi sel dengan penanda EPC seperti vWF/Von
Willebrand's Factor (+) dan Dil-acetylated ( DIL ). Diketahui
EPC/CEPC juga mengekspresikan VEGF reseptor KDR dan

cell"/SSC: diisolasi dari jaringan organ tertentu)


6. "Somatic Cell Nuclear Transfer"/ SCNT: sel punca yang

diperoleh dari sel somatik yang inti selnya ditransfer ke


Oocyte donor yang telah dienukleasi, yang melalui proses
"genetic-epigenetic rearangement" akan memiliki kapasitas

CD34 (+). Pada tahun 2001 Kamihata , dalam penelitiannya

seperti ESC. 7. iPS (Induced Pluripotent Stem Cell), dengan


melakukan inisiasi (reprogramming) embrional sel somatik

menunjukkan BMMNC ("bone monow mononuclear

manusia dengan memasukkan (transduksi) gen yang


berperan penting dalam proses embrional melalui perantara

factor), yang akan meningkatkan kadar angiopoeitin dan


pada gilirannya bersifat merangsang lokal angiogenesis.

"lentiviral", seperti (OCT4, SOX2, NANOG dan LIN28)

Juga pada tahun yang sama beberapa peneliti dari berbagai

sehingga mempunyai kemampuan seperti sel embrional. Sel


punca embrional dibanyak negara menimbulkankan masalah

pusat penelitian seperti masing masing Jackson; Kocher;

cell") melepaskan VEGF, bFGF (baslclbroblast growth

Orlicl dan Toma, beserta teman pada tahun

Karakteristik Sel Embrional


Ara : Ddapat dar

sefrenewal:
dlrinya sendti

ata! per

embryo preimplatasr

imp antasi

Sel dapat membagi dr, meniadi


!nt!k wakiu yang lama tanpa

P uripoten: sel embrional dapai menjadi se apapun


dari ketga apisan germ na, bahkan sete ah tumbuh
di media ku trr unt!kwaktu lama

T qa aptsan germinal dengan ma!lnq masinq contoh perkembanqan se.ya

menlzd:ku i g

mata te inga hrdu.g


mu !tdan se p gmen

Mesoderm
menjadi:otot,
pembuluh
darah,jarikat dan
iantung

Endoderm menjadi
usus, pancreas
lambuns,hati, paru,
kanduns kemlh dan
sel lellr / sperma

Gambar 1. Perkembangan sel punca embrional pluripoten: "Self


renewal and Plasticity" (Dikutip dari: Regenerative Medicine, 2006)

2002;

t403

SEL PUNCA (STEM CELL) DAI\ POTENSI KLINISNYA

memperlihatkan bahwa sel punca sumsum lulang ("bone


" pada otot
jantung dan sebagian mengekspresikan penanda "cardiac
dan / atau endothelial protein", yang dapat berarti terjadi
diferensiasi menjadi "cardiac lineage" dan berperan dalam
regenerasi otot jantung yang degeneratif.
mar r ow

s te

m cell"/B MS C) mampu

" en g r aftmen

ekspresi B-cathenin oleh HSC, atau sinyal Wnt oleh


lingkungan mikro; diketahui meregulasi kapasitas
"renewal". Pemberian Shh ( Sonic hedgehog

in vivo yang

berfungsi "upstream" terhadap BMP-4 (Bone


Morphogenic Protein 4); merangsang proliferasi HSC.
BMP4 sendiri berfungsi penghambatan terhadap Shh.
Selanjutnya mobilisasi HSC kedarah juga diperantarai
komponen endotelial yang berlokasi di perisit pembuluh
darah sinusoidal di sumsum tulang. Ini memperlihatkan
salah satu contoh niche hematopoesis.

,I
,l

Mekanisme diatas dan kemungkinan yang terbuka luas

untuk merangsang diferensiasi spesisfik sel punca sesuai


dengan faktor pertumbuhan yang diberikan ataupun
lingkungan mikro tertentu , akan semakin membuka potensi
sel punca bagi mengatasi berbagai penyakit degeneratif

1l

grolvth

LrF

,I #

wnt

IACIOG

BMP4
I
I

+
Smad

Gambar 2. Tampak HSC menempati posisi berdampingan dengan


osteoblas dan sinusoid pembuluh darah dan dikelilingi sel stroma
yang berasal dari MSC di sumsum tulang. (Dikutip dari: Yin T, Li L
The Stem cell niches in bone. J Clin lnvest; 116:2006)

GSK3E

a. Niches (lingkungan mikro)


Kemampuan tersebut dipertahankan melalui suatu kondisi

P-tenin

dan mekanisme kompleks serta tertata secara cermat

didalam "lingkungan mikro" atau niches; dimana


perkembangan sel punca pluripoten yang untuk tetap
mempertahankan sifat asal (renewal) atau menjadi
progenitor yarrg "commited" dan yang akhirnya
berdiferensiasi akhir menjadi sel tipe tertentu,
dipertahankan melalui proses pembelahan yang simetrik,

I
I

+
self reneffil

Gambar 3. Terlihat skema sinyal intraselular yang memperlihatkan


pengaturan "self renewal" oleh LlF(leukemia inhibitory factor),Wnt

dan BMP4; serta rangsangan diferensiasi oleh faktor


pertumbuhan.

yang menghasilkan sel turunan yang identik dengan sel


asal dan tetap berada diniche dan asimetrik, yang
menghasilkan sel turunan yang merupakan progenitor

b. Homing (migrasi sel punca)

dibawahnya dan akan meninggalkan niches untuk


berdiferensiasi menjadi berbagai jahr ("lineages");

Homing adalah proses bertahap yang membutuhkan


molekul adesif, sitokin dan kemokin serta protease

merupakan hasil interaksi sel punca dengan niches yang


juga diregulasi oleh spesifik" growthfacrors", sitokin dan

degradasi matriks ekstraselular .Mobilisasi sel punca atau


"endothelial progenitor cell"/EPC di dan ke sumsum
tulang, jaringan iskemia atau jaringan tumor ganas
diketahui mirip proses ekstravasasi lekosit/limfosit; atau

hormon tertentu, maupun sinyal intraselular yang


mempertahankan status "renewal" dan sinyal yang
menginduksi diferensiasi, yang akhirnya menghasilkan
homeostasis jaringan. Ketidak seimbangan proses ini,

migrasi transendotelial sel tumor pada saat terjadinya

seperti misalnya pembelahan simetris yang dominan akan


menghasilkan penumpukkan sel punca seperti halnya pada
proses tumorigenesis; dilain sisi pembelahan asimetri yang

merupakan molekul kecil peptide yang menginisiasi migrasi

dominan menghasilkan penurunan populasi sel punca,


yang akhirnya akan menyebabkan proses regenerasi
organ menurun karena proses apoptosis. Penelitian invivo
Genevieve D tentang perkembangan HSC di sumsum
tulang memperlihatkan peran osteoblas melalui ekspresi
osteopontin meregulasi proliferasi dan ukuran niche,

diseminasi hematogenous metastase. Kemokine


dari sel efektor. Diantaranya adalah SDF-1a (stromal

factor-la) yang terikat dengan CXCR4 reseptor


(CD184) merupakan kemotaksis yang penting baik untuk
progenitor, sel darah merah matang dan terlibat pada
derived

lymphopoesis-B, juga myelopoesis (Corrinna W).


Interaksi SDF-1a dengan CXCR4 akan merangsang migrasi
lymphosit, HSC dan juga sel tumor. Khusus HSC interaksi
tersebut mengatur retensi, migrasi dan mobilisasi nya di

1404

sumsum tulang pada heomeostasis dan juga perlukaan


jaringan. Secara singkat dapat dikatakan mobilisasi sel

HEMIIiIOIOGI

follow up jangka pendek; Penurunan volume LVES

dan

diikuti desensitisasi axis SDF-laiCXCR4. Sebaliknya

LVED ; ukuran infark atau pergerakan dindingjantungjuga


lebih baik pada kelompok sel punca. Terdapat korelasi
positip antara dosis sel punca dan perbaiklan LVEF yang
diukur dengan MRI. Santoso dan grup, sampai May 2009

"up-regulation" adesif molekul sel dan aktifasi SDF-1a/


CXCR4 diperlukan untuk "homing"nya sel punca.

telah melakukan penyuntikkan intrakoroner PBSC pada 20


pasien IMA dan tiga pasien "pilot project" penyuntikkan

punca memperlihatkan karakteristik hilangnya kontak antar


sel dan "down regulation" serta degradasi molekul adhesif

PENERAPAN KLINIS
Diluar penyakit keganasan darah dimana transplatasi HSC

telah dipergunakan lebih dari 30 tahun dan terbukti


meningkatkan angka kesembuhan dan harapan hidup; sel
terapi pada penyakit degeneratif sendiri telah diterapkan

menggunakan beberapa sumber sel punca yang


di harap kan mamp u b e rke mb an g me nj adi p r o g e nit o r/
repopulasi dari sel jaringan yang rusak, namun pada
saat yang sama tak mampu berkembang menjadi
teratoma. Beberapa penyakit yang mungkin mendapat
keuntungan dari sel terapi adalah: penyakitjantung: infark
akut dan kronik, penyakit pembuluh darah perifer (PAD),
diabetes, kelainan ginjal, penyakit autoimmune, penyakit
liver akut dan kronik, penyakit muskulo-skeletal dan
penyakit degeneratif lainnya. Beberapa sudah dalam tahap
uji klinik fase 2, dan sebagian lainnya masih dalam tahap
penelitian preklinik pada hewan.

1. Infark miokard akut (IMA) dan ischemic


cardiomyopathy (lCM). Peran sel punca baik pada
"recent"I\[A(< 14 hari ) dengan penluntikkan infrakoroner
BMMNC (delapan penelitian) dan PBSC (dua penelitian)
total 698 pasien, median "follow up" enambulan, telah di
rneta-analisa oleh Lipinsky et al. Didapatkan hasil
perbedaan secara statistik bermakna serta menguntungkan

pada kelompok yang mendapat sel punca, meliputi:


peningkatan bermakna LVEF sebesar 3Eoi perlgecllan
ukuran infark , (-) 5,6Eo ; penurunan volume akhir sistolik: 0
1,4 mL Volume akhir diastolik meskipun tak bermakna

intrakardial BMMNC pasienPlK"no option" terapi. Tidak


didapati efek samping dan komplikasi peri-pasca tindakan,
sampai follow up 3 - 9 bulan. Dan ditemui perbaikan fungsi
jantung dan pengecilan jaringan infark yang moderate.

2. PAD ("peripheral arteriql disease"): Beberapa


penelitian menetapkan pasien yang sesuai dengan untuk
implantasi sel punca baik BMMNC maupun PBSC adalah
pasien dengan "chronic critical limb ischemia" (CLI),
termasuk nyeri pada istirahat, ulkus yang tak menyembuh,
bukan kandidat operasi ataupun operasi neovaskularisasi,

ABI < 0,6 dan tetap progresif

setelah menjalani semua terapi

baku secara optimal. Hiroaki M, pada total n= 45 pasien


melakukan uji klinik random, buta ganda, dimana sebagian
pasien mendapat suntikan IM BMMNC : berkisar 0,7 - 2,8
x 10e9 ( rata rata 1,6 x 10e9 sel : SD 0,6 ); termasuk CD34(+)
dengankisaran 0,84-9,6x1.0e7 (ratarala3,1 x70el sel: SD
1,8 ); dan sebagai konffol mendapat PBMNC. Pada nringgu
ke empat didapati peningkatan ABI pada kedua kelompok,

ABI meningkat 0,1


dibanding 0,02 pada PBMNC ( p< 0,0001 ). Observasi sampai
24 minggu pasca injeksi tetap terjadi perbaikan satus

namun pasien dengan BMMNC

iskemik (ABI, konsentrasi 02 jaingan, skala nyeri istirahat,


bebas nyeri pada waktu berjalan dan perbaikan ulkus).
Terjadi perbaikan angiografi pada60Vo pasien dimanapada
kelompok BMMNC didapati rasio kapiler/serat otot sebesar

2,3 dibanding PBMNC 0,74. Hasil yang mirip juga


diperlihatkan pada laporan kasus IshidaA et al pada enam
kasus PAD berat (5 pasien thromboangitis obliterans,

pasien arteriosklerosis obliterans) dengan suntikan


mobilisasi PBMNC pada hari I dan2; dan Huang B et al
pada 28 kasus diabetes dengan CLI melalui uji klinik acak

menunjukkan kecenderungan menurun: (-) 4,6 ml. LatifAA,


et al melakukan kajian sistimatik dan meta-analisa yang
meliputi delapan belas penelitian dengan total 999 pasien
meliputi sepuluh penelitian MA, enam penelitian ICM dan
dua penelitian campuran IMA /ICM. Jenis sel punca yang
dipergunakan meliputi sel punca dewasa meliputi BMMNC,

dengan mobilisasi PBMNC dan kontrol dengan suntikan


hari 1 danke-14

BM-MSC dan BM-CPC (circulating progenitor cell).

Didapati perbedaan bermakna yang menguntung kelompok


sel punca yang meliputi: perbaikan 3,667o LYEF, pengecilan
ukuran infark sebesar (-) 5,49Vo dan penurunan LVES
volume sebesar (-) 4,8 ml. Martin Rendon, et al meliputi

ekspresi danJatau aktifitas dari berbagai hormon, factor


pertumbuhan (GF) sitokin dan kemokin (androgen,

tiga belas penelitian acak total 811 pasien.Hasilnya


memperlihatkan sel terapi tak berhubungan dengan

3. Penyakit keganasan: Progenitor sel kanker ,yang


mengekspresikan penanda sel punca dan mampu "self
renewal" telah dapat diisolasi dari pasienAML, melanoma,
keganasan otak, payudara, ovarium dan prostat (Mimeault

et a1). Didasari berbagai penelitian sebelumnya yang


memperlihatkan sel punca kanker memperlihakan aberansi

estrogen, EGF dan TGF-a/EGFR, IGF/IGFR, SHIVSMO,.


WnUB-catenin, Notch, TGF-B dan SDF-Ia/CXCR4 dan
elemen sinyal tumoregenik (telomerase, PI3I?Akt, NF-kB

peningkatan efek samping yang tak diinginkan, meskipun

dan Myc-1); yang mungkin berperan terhadap

belum cukup data untuk mengambil kesimpulan definitif.


Diperlihatkan pula peningkatan LVEF yang ajeg pada

pertumbuhan yang terus menerus, survival sel puncqkanker


dan juga transforrnasi keganasan pada waktu inisiasi dan

1405

SEL PUNCA (STEM CELL) DAN POTENSI KLINISNYA

progresifitas sel ganas; maka berkembang penelitian terapi


target molekular yang mampu menghambat kaskade sinyal
spesifik seperti inhibitor EGFR, Hedgehog, Wnt/B-catenin
dan Notch, atau dengan terapi kombinasi yang akan
memberikan hasil yang lebih efektif.

Penyakit liyer kronik/sirosis: Laporan pendahuluan dua


uji klinik non acak, Gordon et al dan Terai et al, dengan
4.

penggunaan PBSC dari hasil mobilisasi G-CSF berturut turut


memperlihatkan: 3 - 4 dari 5 pasien sirosis yang mendapat

suntikkan intra hepatik dan infus perifer BMMNC,

memperlihatkan perbaikkan fungsi hati dengan menurunnya


bilirubin, meningkatnya albumin dan berkurangnya asites.
Sedangkan melaporkan dari 9 pasien yang diteliti, terjadi
perbaikan fungsi hati dan perbaikan Child Pough pada semua
pasien yang diteliti dan penurunan asites pada 6 pasien.
5. Pengembangan sel terapi padapasien diabetes tipe 1 dan
2, penyakit auto-immune danjugapenyakit ginjal masih dalam
fase awal penelitian preklinik dengan hasil yang menjanjikan
dan dapat menjadi terapi alternatif dimasa mendatang.

KESIMPULAN

1.

Sel punca, khususnya HSC selama lebih dari 30 tahun


telah berperan dalam pengobatan keganasan darah,
adalah sel yang memiliki kemampuan "self renewal ",

belum mempunyai fungsi yang khusus ( unspecialized)


dan mampu menjadi progenitor berbagai sel organ

ditubuh kita (plastisitas/transdiferensiasi), dapat


berperan mengatasi berbagai penyakit degeneratif

2.
3.

4.
5.

Berdasarkan kemampuannya bertransdiferensiasi/


plastisitas dikenal sel punca totipoten, pluripoten dan
unrpoten
Secara umum sel punca dapat berasal dari sel punca
embrionaVgerminal embrional; dan sel punca dewasa
termasuk didalamnya sel punca dari amnion-epitelial/
j aringan fetus/darah plasenta.

Dikenal teknik SCNT dan iPS, yang menjadikan sel


somatik kembali mampu menjadi seperti halnya sel
embrional
Dibidang penyakit dalam, manfaat sel terapi (- dan yang
paling banyak diteliti adalah pada penyakit jantung IMA
dan PJK -) dalam bentuk pemberian sel punca secara

intrakoroner ataupun intrakardial memberikan

6.

perbedaan bermakna: peningkatan LVEfl penurunan


ESV dan ukuran infark dibanding kelompok kontrol.
Sedangkan perbaikan iskemik j aringan juga dilaporkan
penelitian pendahuluan pada PAD
Sampai saat ini pengunaan sel terapi pada berbagai

penyakit degeratif meskipun pada banyak pusat


penelitian memberikan hasil positip, masih dalam tahap
penelitian.

REFERENSI
Ho AD, Wagner W. Clinical potential of stem cells: hype or hope?
In: Ho AD, Hoffman, Zarjani ED, eds. Stem Cell Transplantation. Biology, prossesing, and therapy. Weinheim: WILEYVCH
Veerlag Gmbh & Co.KgaA; 2006. p.3 - 20
Mimeault M, Batra SK. Concise review: recent advances on the
significance of stem cel1 in tissue regeneration and cancer
therapies. STEM CELLS. 2006;24:2319-45.
Cosphiadi Irawan. Terapi sel punca ("Stem Cell/SC") di bidang
penyakit dalam. PIT PAPDI ke III, Semarang, 2009.
Regenerative Medicine 2006.pdf Teresse Window.
Huangsu D, Osafune K,Machr R, Goo W, Eijkelenboom A, Chen
Induction of pluripotent stem cell from primary human
fibroblast witb only Oct 4 and Sox2. Nature. 2008;22:1269-71.
Rasokat UF, Dimmeler Stefanie. Endothelial Progenitor Cells for
Cardiac Regeneration. In: Ho AD,Hoffmaq Zanjani ED, eds
Stem cell transplantation. Biology, prossesing, and therapy
Weinheim:WILEYVCH Veerlag Gmbh & Co.KgaA; 2006. p. 119-

92.

G Tan J, Periasamy P, O'Nei1l HC. The role of stroma in


hematopoesis. Current stem cell research & therapy. 2001l,2:23.

Despars

Yin T, Li L. The stem cell niche in bone. J Clin.

Invest.
2006;1 16:1 195-201.
Weidt C, Niggeman B, Kasenda B, Drell TL, Zanker KS, Dittmar T.
Stem cell migration: a quintessential stepping stone to succesfull
therapy. Current stem cell research & therapy. 20011'2:89-103.

Lipinsky MJ, Biondi-Zoccai GGL, Abbate A, et al. Impact of


intracoronary cel1 therapy on left ventricular function in the
setting of acute myocardial infarction. J Am Coll Cardiol.
2001 ;50:11 67-1

Abdel Latif A, Bolli R, Tleyjeh IM, et al. Adult bone manow derived
cells for cardiac repair a systematic review and meta-analysis.

Arch Intern Med. 2007'.767:989-91

Martin RE, Braunskill S, Dorcee S, et al. Stem cel1 treatment for acute
myocard infarction. (Review). The Cochrane Collaboration,

WileyJ&Smith.2008.
I, Alwi I, Auda A, Kosasih A, Ardian, et

Santoso T, Cosphiadi

al.

Safety and efficacy of combined G-CSF and EPO based-stem


cell therapy using intracoronary infusion of autologous PBSC
in patients recent myocardial infarction: phase II study
(unpublished data) 2009.
Matsubara H. Therapeutic angiogenesis for cardiac and peripheral
vascular diseases by autologous bone marrow cell transplantation. In: Kipshidze, Senuys PW, eds. Hand Book of Cardiovascular cell transplantation, London: Martin Dunitz, Taylor &
Francis Group. 2004:.27 5-85.
Ishida A, Ohya lSakuda H, et al. Autologous PBMNC impiantation

for patients with PAD improves limb ischemia. Circ

J.

2005:69:1260-5
Huang P, Li S, Han M, et al. Autologous fansplantation of G-CSF
mobilized PBMNC improves critical limb lschemia in diabetes.
Diabetes Care 2005;28:2155-60.

Lorenzin S, Andreone P. Stem cell therapy for human liver


cirrhosis: a cautious analysis of the results. Stem cell
2001:,25:2383-4.
Terai S, Tashikawa T, Omari K, et al. Improved llver function in
patients with liver cirrhosis after autologous BM cell infusion
therapy. Stem Cells. 2006;24:2292-8.

Anda mungkin juga menyukai