Anda di halaman 1dari 11

TEORI SOLUSI DAN PREFENTIF DALAM PENERAPAN

FIQIH MUAMALAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam didenfisikan sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada junjungan Nabi kita
Rasulullah SAW, untuk mengatur segenap urusan manusia, baik berkaitan hubungan dengan
Allah (ibadah dan aqidah), hubungan dengan sesama manusia (muamalah, uqabat atau sanksi),
dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, untuk itu kami sebagai penulis mengangkat
sebuah permasalahan tentang suatu hukum dalam Agama Islam..
Orang-orang dalam menjalani hidupnya haruslah dinilai sebagai orang yang melaksanakan
perintah Allah, bukan hanya melihat dari segi status sosial ataupun material saja. Ukuran dalam
menjalani hidup sama saja dihadapan Allah SWT yang membedakan hanya kadar ketakwaan
kita, bukan berdasarkan dari status sosial atau materil dalam pandangan manusia saja.
Disamping itu, kalau seorang muslim dalam menjalani kehidupannya bisa dan tidak mudah
terpengaruh akan segala ritangan yang selalu menghadang dalam setiap langkah hidupnya dan
mempunyai filter dalam menyaring segala permasalah yang terjadi dalam konteks hukum Islam.
Permasalahan dalam menetapkan Hukum Islam adalah Sebuah permasalahan yang sering muncul
dan perlu adanya sebuah penyelasaian yang mana penyelesaian masalah tersebut tidaklah keluar
dari sebuah ketetapan hukum Allah SWT yang sudah tercantum dalam Firmannya yakni Alquran dan Sunnahnya Rasulullah SAW.
Manusia dizaman modern ini diharapkan pada masalah ketetapan Hukum Islam cukup serius.
Maka oleh sebab itu khazanah fikiran dan pandangan dalam menyikapi mesti adanya suatu
pengembangan pola fikir yang lebih baik.
Dengan demikian, menjadi sangatlah penting kita mempelajari hal-hal yang berkenaan suatu
permasalahan yang banyak dialami sekarang ini. Namun penjabaran dalam mempelajari sebuah
ketetapan Hukum seseorang tidaklah mudah, oleh sebab itu dituntut untuk tidak berjalan begitu
saja dan tidak akan sempurna dalam proses mengetaui ketetapan hukum tersebut.
B. Tujuan
Didalam penulisan makalah ini adalah bertujuan untuk menambah wawasan dalam pengetahuan
mengenai materi Ushul Fiqh yang mana didalamnya membahas mengenai sebuah ketetapan
hokum salah satunya membahas mengenai Ketetapan Dzariah dan juga untuk memenuhi tugas
salah satu tugas kelompok pada mata kuliah Ushul Fiqh.
C. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah di atas maka penulis mengajukan beberapa masalah
berupa :
1. Apa-apa saja yang menyebabkan timbulnya sebuah ketetapan Dzariah?
2. Untuk Apakah ketetapan hukum tersebut digunakan?
BAB II
PEMBAHASANDZARIAH

1. Pengertian Dzariah
Pengertian dzariah ditinjau dari segi bahasa adalah jalan menuju sesuatu. Sebagian ulama
mengkhususkan pengertian dzariah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang
dilarang dan mengandung kemudaratan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para
ulama ushul lainnya, diantarnya Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzariah itu
tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan
demikian, lebih tepat kalau dzariah itu dibagi menjadi dua, yaitu sadd Adz-dzariah (yang
dilarang), dan fath Adz-dzariah (yang dianjurkan).
Dari segi etimologi,, dzariah berarti wasilah (perantaraan). Sedang dzariah menurut istilah ahli
hukum islam, ialah suatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan dan
dihalalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada dzariah selalu mengikuti
ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasaranya. Jelasnya, perbuatan
yang membawa kearah mubah adalah mubah; perbuatan yang membawa kearah haram adalah
haram; dan perbuatan yang menjadi perantara atas pelaksananya perbuatan wajib adalah wajib.
Misalnya, zina adalah haram. Maka, terlihat aurat wanita yang menyebabkan seseorang
melakukan perbuatan zina.
Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan di sini bahwa sumber ketetapan hukum terbagi atas dua
bagian :
1. Maqasid (tujuan atau sasaran) yakni perkara-perkara yang mengandung maslahat atau
masafdat.
2. Wasail atau perantara yaitu adalah jalan atau perantara yang membawa kepada maqasid, di
mana hukumnya mengikuti hukum perbuatan yang menjadi sasarannya (maqasid), baik yang
berupa halal atau yang haram.
Dengan demikian, yang menjadi dasar dieterimanya dzarai (atau jamka dari dzariah) sebagai
sumber pokok hukum islam ialah tinjauan terhadap akibat suatu perbuatan. Apabila perbuatan itu
mengarah kepada sesuatu yang diperintahkan (mathlub), maka ia menjadi mathlub
(diperintahkan). Sebaliknya jikalau perbuatan itu mengarah kepada perbuatan buruk maka ia
menjadi terlarang.
hadits-hadits Nabi yang menerangkan tentang dzariah cukup banyak, antara lain:
a. Nabi Muhammad SAW melarang orang yang mengutangi, menerima hadiah dari orang yang
berhutang agar hal tersebut tidak mengarah kepada perbuatan riba di mana penerimaan hadiah itu
dianggap sebagai ganti dari bunga.
b. Nabi muhamad SAW melarang perbuatan menimbun harta.
Beliau bersabda:
Artinya:
Tidak perbuat menimbun harta kecuali orang yang berbuat salah.

Sebab penimbunan harta merupakan dzariah yang menyebabkan terjadinya kesulitan atau krisis
perekonomian masyarakat, selain perbuatan menimbun harta itu sendiri memang haram
hukumnya. Oleh karena itu, mengimport barabng kebutuhan pkok adalah wajib pada masa
paceklik, karena hal ini merupakan kesulitan dzariah yang dapat melepaskan masyarakat dari
kesulitan perekonomian.
Nabi bersabda :

Artinya :
Seorang importer akan mendapatkan kelapangan rizki

Nabi Muhammad SAW melarang seorang membeli barang yang telah disedekahkan kepada
orang lain, walaupun ia mendapatkannya terjual di pasar, demi menghindari dari dzariah berupa
di tariknya kembali barang yang telah dike;uarkan untuk orang lain karena allah, meskipun
dengan iwadl (pengganti). Kadangkala hal itu merupakan dzariah untuk memperdaya kaum
fakir miskin dengan jalan menyerahkan sedekah hartanya,lalu menarik kembali melalui cara
pembelian dengan penipuan yang keji, malahan kadang-kadang hal itu dijadikan persyaratan
untuk pemberian sedekah tersebut.
Demikianlah kita dapat banyak hadist/atsar yang menopang dipakainya dzariah sebagai satu
sumber pokok (ashl) untuk istinbhat hokum, dimana assalnya adalah melihat kepada akibat dari
suatu perbuatan.
Sebagai catatan, bahwa kebanyakan contoh-contoh dzariah bersifat menghindarkan kerusakan
(daf ulmafsadah). Padahal sebenarnya dzari;ah dipakai juga untuk menarik kemanfaatan
(jalbulmanafi). Oleh karena itu Imam Alkarofi berkata : ketahuilah bahwa dzari;ah
sebagaimana halnya ditutup atau ditolak kehadirannya, juga wajib dibuka atau diterima
kehadirannya. Ia bisa bersetatus makruh,atau mubah. Sebab dzariah pada dasarnya adalah
wasilah atau perantaraan. Sebagaimana halnya wasilah perbuatan yang wajib adalah wajib
seperti berjalan menuju ke mesjid untuk menunaikan shalat jumat. Diantara contoh-contoh yang
telah kami sebutkan dimuka, ada yang membuka pintu dzariah atau (fathu adz-dzariah) kepada
perbuatan yang diperintahkan (mathlub), yakni tentang import barang-barang sebagaimana
disyaratkan oleh hadist diatas
2. Sadd Adz-Dzariah
Pengertian sadd Adz-dzariah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah:

Artinya:
Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu
kerusakan
(kemafsadatan).
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sadd Adz-dzariah adalah perbuatan yang
dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu
kerusakan.
Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum (genap setahun) ia
menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Menurut Imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:

Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.

Kemafsadatan lebih kuat daripada kemaslahatan.

Perbuatan yang dibolehkan syara mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya.

Perbuatan dilihat dari segi akibatnya terbagi menjadi empat macam diantaranya yaitu tentang
bermuamalah :
Perbuatan yang jika dikerjakan, kemungkinan besar akan mendatangkan mafsadah, akan tetapi
tidak sampai ketingkat keyakinan yang pasti. Hal ini biasanya terjadi dlam bentuk jual beli yang
biasa dijadikan dzariah untuk melakukan perbuatan riba. Contohnya seperti aqad salm yang
dimaksud oleh orang yang melakukan transaksi untuk memperoleh riba dengan berkedok
transaksi jual beli. Misalnya, ia menyerahkan tsaman (harga)-pada waktu berlangsung transaksidibawah harga barang yang sesungguhnya (porsekot) dengan tujuan agar memperoleh riba.
Kemungkinan terjadinya kerusakan dalam kasus itu relatif besar, meskipun tidak sampai pada
tingkatan persangkaan kuat atau yakin.
Bagian ini termasuk masalah yang dipersilihsikan para ulama; apakah dianggap sebgai dzariah
yang berakibat kerusakan sehingga tasaruf itu batal, dan perbuatan itu haram karena
mengutamakan segi kemafsadatanya; atau tidak dianggap sebagai dzariah sehingga akad
tersebut tidak batal, dan perbuatan itu tidak haram, karena berpegang pada hukum asal, yaitu izin
terhadap perbuatan tersebut. Imam abu hanifah dan imam syafiI mungunggulkan segi izin, tidak
mengharamkan perbuatan itu, dan tidak membatalkan tasarrufbnya. Alasanya, karena
kerusakannya bukan yang dominan sehingga tidak diutamakan. Selain itu asa dalam menetapkan
hukum haram atau batal ialah jika perbuatan itu merupakan dzariah kepada perbuatan yang batil,
fasid, serta haram. Kalaulah tidak disertai dengan adanya persangkaan kuat atau keyakinan yang
pasti, aqad atau perbuatan tersebut tidak bias dianggap sebagai dzariah yang membatalkan,
sehingga perbuatan itu tergolong haram. Tambahan lagi, hokum asal dalam suatu perbuatan
adalah izin (boleh) dimana tidak bisa berpindah dari hokum asal ini kecuali dengan alas an
adanya kenadharatan. Dan, selama persoalanya tidak sampai pada persangkaan yang kuat. Maka
hokum asal berupa izin itu tetap berlaku.
Sedangkan imam malik dan ahmad bin hanbal menetapkan bahwa perbuatan itu adalah haram
dan aqadnya batal dalam rangka ikhtiyath. Oleh karena banyaknya kemadharatan di samping
hukum asal berupa izin, maka disini terdapat dua hokum asal yang saling berhadapan. Disatu
pihak berupa izin yang asli, dan dilain pihak hokum kemadharatan yang terdapat dalam
perbuatan atau aqad yang menimpa dan menyakitkan orang lain.
Sebagai landasan hukum, terdapat banyak hadits sahih yang menerangkan tentang diharamkanya
beberapa hal yang menurut hukum asalnya adalah madzun fihi (didizinkan/dibolehkan), karena
pada umumnya akan mendatangkan berbagai kemafsadatan, meskipun tidak didasarkan pada
persangkaan kuat atau keyakinan yang pasti. Contohnya seperti larangan berduaan ditempat yang
sunyi dengan perempuan lain, larangan berpergian seorang wanita tanpa dibarengi suami atau
mahramnya. Keharaman di sini karena melihat kemafsadatan-kemafsadatan yang ditimbulkanya,
walupun tidak ketingkat yakin. Lagi, nabi Muhammad SAW melarang jual beli dan aqad salm
yang mengarah pada perbuatan riba.
Imam al-Qarafy menuturkan perbedaan ulama sekaligus jelas pembagian perbuatan di atas,
sebagai berkut: dan suatu bagian dipertentangkan oleh para ulama, apakah ia di anggap aqad
salm atau tidak, seperti aqad jual beli dengan tempo. Misalnya, seorang menjual barang seharga
sepuluh dirham bila dibayar di akhir bulan (tempo).tapi kalau dibeli(di bayar) sebelum akhir
bulan (kontan), harganya Cuma lima dirham.imam malik berpendapat, bahwa ia berarti
mengeluarkan harga barang senilai lima dirham, dan di beli seharga lima dirham secara kontan.
Namun ia akan menerima sebanyak sepuluh dirham manakala dibayar di akhir bulan. Transaksi
sperti ini merupakan perantara terjadinya peminjaman barang senilai lima dirham, diganti

sepuluh dirham dengan tempo, yang secara lahiriah nampak seperti aqad jual beli. Karenanya,
imam malik dianggap transaksi yang batil. Imam syafiI berpendapat lain, transaksi itu masih
tergolong aqad jual beli. Ia cukup melihat dari segi lahiriahnya, yang karenanya masih tetap di
perbolehkan. Di perbedaan sudut pandang di atas, kedua imam tersebut banyak berbeda
pendapat. Bahkan mencapai seribu masalah yang merupakan pendapat khusus imam malik, yang
berbeda dari imam syafiI. oleh karena itu, diperselisihkan persoalan melihat wanita,apakah
haram, karena akan mendatangkan perbuatan batil berupa zina, atau tidak haram. Juga, persoalan
keputusan hakimberdasarkan pengetahuan (bukan berdasarkan bukti-bukti, saksi, sumpah,
misalnya) apakah diharamkan, karena akan menjadi perantara terjadinya peradilan yang batil
oleh hakim-hakim yang jahat, atau tidak diharamkan. Begitu pula, perselisihan para ulama
tentang pertanggung oleh para tukang. Karena mereka bias merekayasa barang yang
dikerjakannya hingga berubah dari aslinya, dan tidak dikenali lagi oleh pemiliknya. Mereka
bertanggung jawab atas semua resiko demi mencegah dzariah berupa mengambil barang, atau
tidak wajib mengganti rugi karena pada dasarnya mereka sekedar sebagai buruh yang menerima
upah. Sedang hukum asal dalam perburuhan dilakukan atas dasar kepercayaan. Demikian pula
kewajiban mengganti rugi bagi pembawa makanan (petugas ekspedisi) agar mereka tidak banyak
jumlahnya. Kami menganggapnya saddudz daraI (menutup perantaraan), sementara imam
syafiI tidak berpendapat demikian. Terlepas dari itu semua, saddudz daraI sesungguhnya
bukanlah sumber pokok spesipik dari imam malik, akan tetapi dipakai oleh sebagian besar
ulama, bahakan dasarnya adalah ijma ulama.
3. Macam-Macam Dzariah
Para ulama membagi dzariah berdasrkan dua segi ; segi kualitas kemafsadatan, dan segi jenis
kemafsadatan.
Dzariah dari Segi Kualitas Kemafsadatan
Menurut Imam Asy-Syatibi, dari segi ini dzariah terbagi dalam empat macam:

Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti. Misalnya


menggali sumur didepan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan
pemilk rumah jatuh kedalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman karena
melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja.

Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan, misalnya


makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan.

Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kamafsadatan. Seperti


menjual senjata pada musuh, yang dimungkinkan akan digunakan untuk membunuh.

Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi
memungkinkan terjadinya kemafsadatan.

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, apakah baiy al-ajal dilarang atau
dibolehkan. Menurut Imam Syafii dan Abu Hanifah, jual beli tersebut dibolehkan karena syarat
dan rukun dalam jual beli sudah terpenuhi. Selain itu, dugaan (zhann al-mujarrad) tidak bisa
dijadikan dasar keharaman jual beli tersebut. Oleh karena itu, bentuk dzariah tersebut
dibolehkan.

Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih memperhatikan akibat yang ditimbulakan oleh
oraktek jual beli tersebut, yakni menimbulkan riba. Dengan demikian, dzariah seperti itu tidak
dibolehkan.
Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dalam
mengemukakan pendapatnya:
a. Dalam baiyal-ajal perlu diperhatikan tujuan atau akibatnya, yang membawa kepada perbuatan
yang mengandumg unsur riba, meskipun sifatnya sebatas praduga yang berat (galadah azhzhann), karena syara sendiri banyak sekali menentukan hukum berdasarkan praduga yang berat,
disamping itu perlu sikap hati-hati (ihtiyat). Dengan demikian, suatu perbuatan yang diduga akan
mambawa pada kemafsadatan bisa dijadikan dasar untuk melarang suatu perbuatan, seperti baiy
al-ajal, berdasarkan kaidah:

Artinya :
Menolak segala bentuk kemafsadatan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.

b. Dalam kasus bay al-ajal terdapat dua dasar yang bertentangan, antara sahnya jual beli karena
ada syarat dan rukun, dengan menjaga seseorang dari kemadaratan. Dalam hal ini, Imam Malik
dan Ahmad Ibnu Hambal lebih menguatkan pemeliharaan keselamatan dari kemadaratan, karena
bentuk jual beli tersebut jelas-jelas membawa pada kemafsadatan.
c. Dalam nash banyak sekali larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya
dibolehkan, tetapi karena menjaga dari kemafsadatan sehingga dilarang, seperti hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa seorang laki-laki tidak boleh bergaul dengan
wanita yang bukan muhrim, dan wanita dilarang bepergian lebih dari tiga hari tanpa muhrim atau
mahramnya, dan lain-lain.
Perbuatan-perbuatan yang dilarang itu sebenarnya berdasarkan praduga semata-mata, tetapi
Rasulullah SAW. Melarangnya, karena perbuatan itu banyak membawa kepada kemafsadatan.
Dzariah dari segi Kemafsadatan yang Ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah, pembagian dari segi ini diantara lain sebagai berikut:

Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman


minuman keras yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan yang
mufsadat

Suatu perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan tetapi dijadiakan sebagai
jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik sengaja maupun tidak, seperti
seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu
bisa kembali kepada suaminya yang pertama (nikah at-tahlil).

Menurut Ibnu Qayim, kedua bagian diatas terbagi lagi dalam:


1. Kemaslahatan suatu perbuatan lebih kuat dari kemafsadatan-nya.
2. Kemafsadatan suatu perbuatan lebih kuat daripada kemanfaatannya;
Kedua pembagian ini pun, menurutnya dibagi lagi menjadi empat bentuk:

Sengaja melakukan perbuatan yang mafsadat, seperti minum arak, perbuatan ini dilarang
syara.

Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk
melakuakan sutu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tidak, seperti seorang
laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bisa
kembali kepada suaminya yang pertama (nikah at-tahlil).

Perbuatan yang hukumnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk melakukan suatu
kemafsadatan, tetapi berakibat timbu,nya suatu kemafsadatan, seperti mencaci maki
persembahan orang musyrik yang mengakibatkan orang musyrik juga akan mencaci maki
Allah.

Suatu pekarjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi adakalanya menimbulkan


kemafsadatan, seperti melihat wanita yang dipinang. Menurut Ibnu Qayyim,
kemaslahatan lebih besar, maka hukumnya dibolehkan sesuai kebutuhan.

4. Kehujjahan Sadd Adz-Dzariah


Dikalanga ulama ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adzdzariah sebagai dalil syara. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima kehujjahannya
sebagai salah satu dalil syara.
Alasan mereka antara lain:
1. Firman Allah SWT. dalam surat Al-Anam ; 108:
Artinya:
Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
(QS. Al-AnAm : 108)
2. Hadits Rasulullah SAW. Antara lain:

, : .
) . , :

Artinya :
Sesunggunya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu
Rasulullah SAW. ditanya, Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat Ibu
dan bapaknya. Rasulullah SAW. menjawab, seseorang yang mencaci maki ayah orang lain,
maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain,
maka orang lain pun akan mencaci ibunya.
Ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Syiah dapat menerima sadd al-dzariah dalam masalahmasalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain. Sedangkan Imam Syafii
menerimanya apabila ada uzur, misalnya seorang musafir atau yang sakit dibolehkan

meninggalkan shalat jumat dan dibolehkan mengganting dengan shalat dzuhur. Namun, shalat
dzuhurnya harus dilakukan secara diam-diam, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat
Jumat.
Menurut Husain Hamid, salah seorang guru besar Ushul Fiqih Fakultas Hukum Universitas
Kairo, Ulama Hanafiyah dan Syafiiyah menerima sadd al-dzariah apabila kemafsadatan yang
akan muncul benar-benar akan terjadi atau sekurang-kurangnya kemungkinan besar (galabah
adz-zhann) akan terjadi.
Dalam memandang dzariah, ada dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul:
a. Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu. Contohnya, seorang laki-laki yang menikah
dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan agar perempuan itu bisa
kembali pada suaminya yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak
dibenarkan syara.
b. Dari segi dampaknya (akibat), misalnya orang muslim mencaci maka sesembahan orang,
sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena itu, perbuatan seperti itu
dilarang.
Perbedaan pendapat antara Syafiiyah dan Hanafiyah disatu pihak dengan Malikiyah dan
Hanabilah di pihak lain dalam berhujjah dengan sadd al-dzariah adalah dalam masalah niat dan
akad. Menurut Ulama Syafiiyah dan Hanafiyah, dalam suatu transaksi, yang dilihat adalah akad
yang disepakati oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukun maka akad
transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah SWT. Menurut
mereka, selama tidak ada indikasi-indikasi yang menunjukan niat dari perilaku maka berlaku
kaidah:


.
Artinya:
Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak Allah adalah niat, sedangkan yang
berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya.
Akan tetapi, jika tujuan orang yang berakad dapat ditangkap dari beberapa indikator yang ada,
maka berlaku kaidah:

Artinya:
Yang menjadi patokan dasr dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna, bukan lafazh
dan bentuk formal (ucapan).
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah dan Hambaliyah, yang menjadi ukuran adalah niat dan
tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah. Namun, apabila tidak sesuai
dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukan bahwa niatnya sesuai
dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada perhitungan antara Allah
dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah saja. Apabila ada
indikator yang menunjukan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara, maka
akadnya sah. Namun apabila niatnya bertentangan dengan syara, maka perbuatannya dianggap
fasid (rusak0, namun tidak ada efek hukumnya.
Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sadd adz-dzariah sebagai salah satu dalil

dalam menetapkan hukum syara. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam
masalah hukum.
5. Fath Adz-Dzariah
Ibnu Qayyim Aj-Jauziyyah dan Imam Al-Qarafi, mengatakan bahwa dzariah itu ada kalanya
dilarang yang disebut sadd adz-dzariah, dan ada kalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang
disebut fath adz-dzariah. Misalnya meninggalkan segala aktivitas untuk melaksanakan shalat
jumat yang hukumnya wajib.
Pendapat tersebut oleh Wahbah Al-Juhaili yang menyatakan bahwa perbuatan seperti diatas tidak
termasuk kepada dzariah, tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu
pekerjaan. Apabila upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib.
Sesuai dengan kaidah:

Artinya
:
Apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun
wajib
Begitu pula segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram, maka sesuatu itu pun haram,
sesuai dengan kaidah :

Artinya :
Segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun
diharamkan.
Misalnya, seorang laki-laki berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrimnya atau melihat
auratnya , karena hal iitu akan membawa perbuatan haram yaitu zina. Menurut jumhur, melihat
aurat dan berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim itu disebut pendahuluan kepada yang
haram (muqaddimah al-hurmah).
Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan tersebut, tetapi mereka tidak
sepakat dalam menerimanya sebagai dzariah. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima
sebagai fath adz-dzariah, sedangkan ulama Syafiiyah, Hanafiyah, dan sebagian Malikiyah
menyebutnya sebagai muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzariah. Namun, mereka
sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.

Dengan demikian jelaslah bahwa dzarai merupakan sumber pokok hukum islam yang dipakai
para ulama secara konsensus. Perbedaan pendapat di sini hanya terletak pada penentuan
kriterianya. Mereka pada prinsipnya tetap sepakat bahwa dzaraiah ini merupakan sumber pokok
yang diakuai dan berdiri sendiri. Masalah-masalah fiqhiyah yang ketetapan hukum mubah
berdasarkan Dzarai di antaranya sebagai berikut.
1. Penyerahan harta tebusan untuk mengambil kaum muslimin yang tertawan. Ditinjau dari
hukum asal, perbuatan itu adalah haram. Karena berarti memperkuat musuh, dan mengancam
kedudukan kaum muslimin. Penyerahan tebusan itu menjadi jaiz/mubah, karena menyangkut
pembebasan sejumlah tawanan perang dari perbudakan sekaligus memperkokoh pasukan
muslimin. Contoh ini termasuk dalam konteks dzarai bukan saddu dzarai.
2. Pemberian upeti kaum muslimin kepada Negara musuh untuk menghindarkan kelalimanya,
apabila golongan muslimin tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi pemerintahan yang

berkuasa dan demi mempertahankan wilayahnya.


3. Pemberian uang suap untuk mencegah terjadinya kedaliman, apabila ia tidak mampu
menghadapinya kecuali dengan cara itu. Sebagian besar ulama madzhab hanbali dan maliky
memperbolehkanya, jika dimaksudkan untuk mendapatkan sesuatu yang hak yang murni dan
pemberian suap merupakan jalan satu-satunya. Namun apabila dapat dilawan oleh orang yang
lebih tinggi atau sederajat, maka perbuatan menyuap jelas tidak diperbolehkan. Begitu pula,
apabila kebenaran itu dapat ditempuh dengan cara lain, meski harus dengan susah payah.
4. Memberikan harta uang kepada orang-orang yang menghalangi perjalanan haji. Mereka
menahan perjalanan jamaah haji yang hendak menuju ke baitullah al-haram kecuali apabila para
jamaah mau mengalah dengan memberi sejumlah uang. Maka, sebagian ulama madzhab dan
hanbali memperbolehkannya.
Meski demikian, pemakaian Dzarai tentu saja tidak terlalu dilakuakan secara berlebihan. Sebab
kalau diterapkan dengan tanpa batas, terkadang mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan
perkara yang sebenarnya mubah, mandub atau bahkan wajib, karena takut terperosok kedalam
kedzaliman, seperti keengganan sebagian orang yang adil untuk mengelola harta benda anak
yatim atau harta waqaf, karena kwatir timbulnya berbagai tuduhan orang atau takut dirinya
terpeleset dalam kedzaliman. Dan, memang berdasarkan observasi diketahui bahwa sebagian
orang tidak mau mengerjakan berbagai perbuatan gara-gara takut terjatuh kedalam perbuatan
haram. Oleh karena itu, Ibnu Araby di dalam kitabnya Ahkam al-Quran menetapkan criteria
bahwa setiap perbuatan yang diharamkan karena dzariah, harus disertai dengan landasan
nashnya, bukan semata-mata karena qiyas atau dzariah saja.
Jadi setiap perkara yang ditakutkan dimana allah telah menyerahkan seepenuhnya kepada amanat
orang mukallaf, tidak bisa dikatakan sebagai dzariah kepada perbuatan terlarang sehingga ia
tidak mau mengerjakannya. Sebagaimana allah menjadikan wanita terpercaya dalam hal
menyangkut pengakuan akan kesuciannya, meskipun mengandung akibat yang cukup besar
sehubungan dengan ucapan itu, dan menyangkut pula soal kehalalan, keharman dan hubungan
nasab, walaupun adalah sangat mungkin wanita itu berbuat bohong.berikut ini merupakan hasil
kajian ilmiah yang cukup mendalam, yang menetapkan dua prinsip :
1. DzaraI dipakai apabila mengakibatkan kepada kerusakan yang ditetapokan berdasarkan nash.
Begitu pula sebaliknya, apabila mengarah kepada perbuatan halal yang ada nashnya, maka
nebutp dzariah dalam hal yang pertama dilkaukan karena adanya mafsadah yang diketahui
berdasarkan nash; dan membuka dzariah dalam hal yang kedua dilakukan karena adanya
maskalahat yang diketahui berdasarkan nash pula. Hal ini cukup beralasan, bahwa maslahat atau
mafsadah yang diketahui berdasarkan nash dapat dipastikan kebenarannya. Dengan demikian
dzaraI tidak lain keculi dimaksudkan untuk melayani nash. Tetapi prinsip ini hanya
diperkenalkan oleh ibnu arabi, sedang kitab-kitab ushul madzhab maliki tidak menuturkannya.
Dari segi lahiriahnya, nampaknya kitan-kitab tersebut tidak mensyaratkan adanya syarat itu.
2. Perkara-perkara yang berhubungan dengan amanat dalam hukum-hukum syara bukan berarti
tidak memperhitungkan kemungkinan terjadinya khiyanat pada saat tertentu. Sebab bahaya yang
merupaqkan akibat dari menutup dzariah lebih banyak dari pada bahaya yang dihindarkan
melalui meninggalkan dzariah. Maka seandainya perwalian terhadap anak yatim ditinggalkan
demi menutupi dzariah, maka akan berakibat tersia-sianya nasib anak-anak yatim. Dan
seandainya kesaksian para saksi ditolak dalam rangka menutup dzariah or ang-orang yang
berbuat bohong, niscaya hak-hak si kurban akan tersia-siakan. Dan demikianlah seterusnya.

Dengan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa seorang mukallaf ketika hendak mengambil
dzariah harus memperhatikan dan membandingkan madharat/ bahaya masing-masing, antara
memakai atau meninggalkkan dzariah. Mana yang lebih unggul, itulah yang diambil dan allah
SWT maha mengetahui orang yang berbuat baik dan orang yang berbuat kerusakan
BAB III
KESIMPULAN
Pengertian dzariah ditinjau dari segi bahasa adalah jalan menuju sesuatu. Sebagian ulama
mengkhususkan pengertian dzariah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang
dilarang dan mengandung kemudaratan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para
ulama ushul lainnya, diantarnya Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzariah itu
tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan
demikian, lebih tepat kalau dzariah itu dibagi menjadi dua, yaitu sadd Adz-dzariah (yang
dilarang), dan fath Adz-dzariah (yang dianjurkan).
Dari segi etimologi,, dzariah berarti wasilah (perantaraan). Sedang dzariah menurut istilah ahli
hukum islam, ialah suatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan dan
dihalalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada dzariah selalu mengikuti
ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasaranya. Jelasnya, perbuatan
yang membawa kearah mubah adalah mubah; perbuatan yang membawa kearah haram adalah
haram; dan perbuatan yang menjadi perantara atas pelaksananya perbuatan wajib adalah wajib.
Misalnya, zina adalah haram. Maka, terlihat aurat wanita yang menyebabkan seseorang
melakukan perbuatan zina.
Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan di sini bahwa sumber ketetapan hukum terbagi atas dua
bagian :
1. Maqasid (tujuan atau sasaran) yakni perkara-perkara yang mengandung maslahat atau
masafdat.
2. Wasail atau perantara yaitu adalah jalan atau perantara yang membawa kepada maqasid, di
mana hukumnya mengikuti hukum perbuatan yang menjadi sasarannya (maqasid), baik yang
berupa halal atau yang haram.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mushthafa I Ilm Al-Ushul, Beirut : Dar Al-kutub Al-Ilmiyah.
Abu Zahrah Muhammad,Ushul al-Fiqh, Jakarta : Puusaka Firdaus, 2007.
SyafeI Rahmat, Ushul Fiqh, Universitas Islam Negeri Bandung, 2000.

Anda mungkin juga menyukai