Anda di halaman 1dari 9

Abu Sopian, S.H., M.M.

Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Palembang

BEBERAPA CATATAN ATAS


PERATURAN PRESIDEN NOMOR 4 TAHUN 2015

Kata Kunci
E-Tendering, E-Purchasing, Pengadaan langsung, Penunjukan langsung, Katalog
Elektronik, Pembayaran, Pokja ULP, Pejabat Pengadaan, Pejabat yang ditunjuk.

Abstrak

Pada tanggal 16 Januari 2015 Presiden Republik Indonesia telah menerbitkan


Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan barang/Jasa Pemerintah. Peraturan
Presiden tersebut menjadi rujukan terbaru dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa oleh
seluruh jajaran pemerintah. Konsideran peraturan tersebut menyebutkan perlunya inovasi
terhadap pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilakukan dengan
pemanfaatan teknologi informasi.
Beberapa perubahan terhadap pasal-pasal Perpres nomor 54 Tahun 2010 yang
dituangkan dalam Perpres nomor 4 Tahun 2015 menunjukkan keinginan pemerintah untuk
memberikan kemudahan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah dalam
rangka percepatan pelaksanaan anggaran belanja negara. Kemudahan tersebut antara lain
berupa penyederhanaan persyaratan dalam mengikuti proses tender dimana peserta tender
tidak lagi diwajibkan memiliki laporan bulanan pajak (PPh dan PPN) dan dalam
pengajuan penawaran tidak lagi disyaratkan perlunya jaminan penawaran. Namun
demikian Peraturan Presiden tersebut tidak luput dari kekurangan.
Tulisan ini menguraikan beberapa catatan penulis terhadap perubahanperubahan yang dijumpai dalam Perpres nomor 4Tahun 2015.

A. Latar Belakang Perubahan


Melalui pasal 50 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 pemerintah telah
memutuskan bahwa Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
dilakukan oleh Lembaga Pengembangan Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LPKPP) dan
lembaga tersebut pada tanggal 6 Desember 2007 resmi dibentuk dengan Keputusan
Presiden nomor 106 Tahun 2007 dengan nama Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah (disingkat LKPP). Upaya pemerintah melalui LKPP untuk
memperbaiki sistem pengadaan barang/jasa pemerintah dalam rangka mewujudkan
pengadaan barang/jasa yang akuntabel yang dapat mendorong terciptanya kesejahteraan
masyarakat dapat dilihat dari adanya beberapa perubahan Peraturan Presiden tentang

Pengadaan Barang/Jasa. Belum genap 5 tahun sejak terbitnya Peraturan Presiden tentang
pengadaan barang/jasa pemerintah, Peraturan Presiden nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa telah mengalami empat kali perubahan. Peraturan tentang
perubahan serta latar belakang lahirnya perubahan tersebut adalah sebagai berikut:
Perubahan
ke
Perubahan
kesatu

Nomor Peraturan
Presiden
Perpres No. 35
Tahun 2011

Perubahan
kedua

Perpres No. 70
Tahun 2012

Perubahan
ketiga

Perpres No. 172


Tahun 2014

Perubahan
keempat

Perpres No. 4
Tahun 2015

Latar belakang Perubahan


Perlunya pengadaan secara cepat konsultan
hukum/advokat atau arbiter sehubungan dengan adanya
gugatan/tuntutan hukum pihak tertentu kepada
pemerintah.
Perlunya percepatan pelaksanaan pengadaan barang/jasa
pemerintah dalam menunjang percepatan pelaksanaan
belanja Negara.
Perlunya percepatan penyediaan benih dan pupuk
kepada petani melalui upaya khusus bantuan benih
unggul dan pupuk dalam rangka mencapai swasembada
pangan dan mengantisipasi perubahan iklim.
Perlunya inovasi terhadap pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah yang dilakukan dengan
pemanfaatan teknologi informasi dalam rangka
percepatan pelaksanaan belanja negara guna percepatan
pelaksanaan pembangunan,

B. Beberapa kemudahan dalam Perpres nomor 4 tahun 2015


Sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk memanfaatkan teknologi informasi
dalam rangka percepatan pelaksanaan belanja negara, Peraturan Presiden nomor 4 tahun
2015 memungkinkan proses pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan dengan lebih
sederhana. Perpres nomor 4 tahun 2015 tidak saja mengharuskan proses pengadaan
barang/jasa pemerintah dilakukan secara elektronik melalui E-Tendering dan EPurchasing, tetapi juga menyederhakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyedia
barang/jasa dalam mengikuti E-Tendering. Kemudahan dan penyederhanaan tersebut
dapat dilihat dari beberapa pasal Perpres yang dirubah dengan Perpres nomor 4 tahun
2015. Pasal Perpres nomor 4 tahun 2015 dimaksud antara lain adalah:
a. Pasal 19 ayat (1)
Pasal ini membebaskan penyedia dari kewajiban memiliki laporan pajak paling kurang
3 (tiga) bulkan terakhir.
Dalam pasal 19 ayat (1) huruf l Perpres nomor 70 tahun 2012 penyedia barang/jasa
harus memiliki NPWP dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir serta
memiliki laporan bulanan PPh pasal 21, PPh pasal 23 (bila ada transaksi), PPh pasal
25/pasal 29 dan PPN (bagi pengusaha kena pajak) paling kurang tiga bulan terakhir
dalam tahun berjalan.

Dalam pasal 19 ayat (1) huruf l Perpres nomor 4 tahun 2015 penyedia barang/jasa
harus memiliki NPWP dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir.
Dengan berlakunya Perpres nomor 4 tahun 2015, persyaratan perpajakan penyedia
barang/jasa pemerintah menjadi lebih sederhana, bahkan untuk pengadaan barang/jasa
dengan nilai tidak lebih dari Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) NPWP dan SPT
tahunanpun tidak dipersyaratkan (pasal 19 ayat (2a).
b. Pasal 70 ayat (2)
Pasal ini membebaskan penyedia dari kewajiban menyerahkan surat jaminan
pelaksanaan untuk pengadaan tertentu.
Dalam pasal 70 ayat (1) Perpres nomor 70 tahun 2012 disebutkan jaminan
pelaksanaan diminta PPK kepada penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi untuk
kontrak bernilai di atas Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Dalam pasal 70 ayat (2) Perpres nomor 70 tahun 2012 disebutkan jaminan
pelaksanaan dapat diminta PPK kepada penyedia Jasa Lainnya untuk kontrak bernilai
di atas Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), kecuali untuk pengadaan Jasa Lainnya
dimana asset penyedia sudah dikuasai Pengguna.
Penggunaan kata dapat dalam rumusan pasal 70 ayat (2) tersebut tidak secara tegas
membebaskan penyedia dari kewajiban menyerahkan jaminan pelaksanaan untuk
pengadaan jasa lainnya dengan kontrak di atas Rp200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah).
Pasal 70 ayat (2) Perpres nopmor 4 tahun 2015 mengatur dengan tegas ketentuan
tentang jaminan pelaksanaan, dimana jaminan pelaksanaan tidak diperlukan untuk:
1) Pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang dilaksanakan dengan
metode Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung Untuk Keadaan Darurat,
Kontes, atau Sayembara;
2) Pengadaan Jasa Lainnya, dimana asset penyedia sudah dikuasai oleh Pengguna;
atau
3) Pengadaan Barang/Jasa Lainnya dalam Katalog Elektronik melalui E-Purchasing.

c. Pasal 109 ayat (7)


Pasal ini membebaskan penyedia dari kewajiban menyerahkan surat jaminan dalam
mengikuti E-Tendering.
Pasal 109 ayat (7) secara eksplisit menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan ETendering dilakukan dengan ketentuan tidak diperlukan jaminan penawaran.
Ketentuan sebelumnya diatur dalam Peraturan Kepala LKPP nomor 14 tahun 2012
tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 20121 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah bahwa surat penawaran dalam proses lelang pengadaan barang/pekerjaan
konstruksi/jasa lainnya dilampiri jaminan penawaran yang besarnya 1% sampai 3%

Harga Perkiraan Sendiri (HPS).


Selanjutnya dalam Peraturan Kepala LKPP nomor 8 tahun 2012 tentang E-Tendering
diatur sebagai berikut:
1) Jaminan penawaran pada E-Tendering dengan metode E-Lelang tidak diperlukan
untuk pengadaan barang/jasa yang memiliki nilai paling tinggi Rp2.500.000.000,(dua miliar lima ratus juta rupiah) atau tidak menimbulkan risiko apabila
pemenang mengundurkan diri menyebabkan pekerjaan tidak dapat diselesaikan
tepat pada waktunya.
2) Jika pemenang tidak memberikan jaminan penawaran asli dan/atau jaminan
penawaran tidak dapat dicairkan maka AKUN SPSE penyedia dinonaktifkan dan
dapat dimasukkan dalam daftar hitam.
d. Pasal 93 ayat (1a)
Pasal ini memberikan solusi penyelesaian masalah keterlambatan penyelesaian
pekerjaan yaitu dengan membolehkan perpanjangan kontrak melewati batas akhir
tahun anggaran.
Pasal 93 Perpres 70 tahun 2012 mengatur bahwa PPK dapat memutuskan kontrak
secara sepihak apabila:
1) Berdasarkan penelitian PPK penyedia tidak akan mampu menyelesaikan seluruh
pekerjaan walaupun diberikan kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan sampai
dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan
pekerjaan.
2) Setelah diberikan kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak
masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan penyedia tidak dapat menyelesaikan
pekerjaan.
Ketentuan tersebut ternyata tidak sejalan dengan ketentuan tentang pencairan anggaran
belanja Negara/Daerah. Pelaksanaan pasal 93 Perpres 70 tahun 2012 tersebut
menimbulkan kemungkinan terjadinya perpanjangan kontrak sampai melewati batas
akhir tahun anggaran, sementara ketentuan tentang pencairan anggaran membatasi
waktu pencairan anggaran (DIPA/DPA) sebelum tahun anggaran berakhir. Sehingga
berpotensi terjadi masalah berupa adanya bagian kontrak yang tidak dapat dibayar.
Melalui pasal 93 ayat (1a) Perpres nomor 4 tahun 2015 ditentukan bahwa pemberian
kesempatan kepada penyedia barang/jasa menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50
(lima puluh) hari kalender sejak berakhirnya masa pelaksanaan pekerjaan dapat
melampaui tahun anggaran. Selanjutnya penjelasan pasal pasal 93 ayat (1a) tersebut
mengatur bahwa dalam hal pemberian kesempatan kepada penyedia tersebut
melampaui tahun anggaran, maka dilakukan addendum kontrak atas sumber
pembiayaan untuk sisa pekerjaan yang akan diselesaikan dibebankan pada DIPA/DPA
tahun anggaran berikutnya.
e. Pasal 93 ayat (3)

Pasal ini memberikan solusi penyelesaian masalah pemutusan kontrak secara sepihak
oleh PPK.
Ketentuan pasal 93 Perpres nomor 70 tahun 2012 memberi hak kepada PPK untuk
memutuskan kontrak. Namun dalam kenyataannya pemutusan kontrak secara sepihak
oleh PPK menimbulkan masalah karena menyebabkan sebagian dari pekerjaan tidak
dapat diteruskan penyelesaiannya. Perpres tidak memberi kemudahan kepada PPK
untuk mencari penyedia lain yang akan ditunjuk untuk menyelesaikan pekerjaan yang
tersisa. Akibatnya para PPK terpaksa bersikap lebih toleran terhadap penyedia
sehingga banyak penyedia yang nakal yang tetap diberi kesempatan untuk terus
menyelesaikan kontrak sampai selesai, walaupun PPK sebenarnya tidak puas dengan
hasil kerja penyedia.
Melalui pasal 93 ayat (3) Perpres nomor 4 tahun 2015 Kelompok Kerja ULP
dibolehkan melakukan Penunjukan Langsung kepada pemenang cadangan berikutnya
pada pelelangan yang sama atau kepada penyedia lain yang mampu dan memenuhi
syarat.
Kalau terjadi penunjukan langsung sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan tersebut
tentu saja berlaku ketentuan tentang tata cara penunjukan langsung yaitu Pokja ULP
harus melakukan negosiasi teknis dan biaya kepada penyedia yang akan ditunjuk.
Dengan demikian terbuka kesempatan bagi pemenang cadangan yang akan ditunjuk
untuk mengajukan penawaran baru, karena harga penawaran yang pernah diajukannya
sudah tidak berlaku. Terbuka pula kesempatan bagi Pokja ULP untuk menunjuk
pemenang cadangan peringkat kedua jika pemenang cadangan pertama tidak bersedia.
Jika pemenang cadangan kedua tidak bersedia Pokja ULP boleh menunjuk peserta
yang telah lulus evaluasi teknis yang tidak masuk dalam urutan pemenang cadangan.
Bahkan Pokja ULP dapat menunjuk penyedia lain yang dianggap mampu dan
memenuhi syarat.
f. Pasal 109 ayat (7) huruf c
Pasal ini memperkecil kemungkinan kegagalan lelang/seleksi akibat kurangnya
penawaran yang masuk.
Ketentuan sebelumnya menetapkan syarat sahnya proses lelang/seleksi adalah jumlah
penawaran yang masuk sekurang-kurangnya 3 (tiga). Karena itu lelang/seleksi harus
dinyatakan gagal apabila jumlah penawaran yang masuk kurang dari 3 (tiga).
Melalui pasal 109 ayat (7) huruf Perpres nomor 4 tahun 2015 Kelompok Kerja ULP
dibolehkan melanjutkan proses lelang/seleksi walaupun jumlah penawaran yang
masuk kurang dari 3 (tiga).

g. Pasal 55 ayat (1) dan ayat (6)


Pasal 55 ayat (1) menambahkan satu jenis bukti pembelian yaitu dengan memasukkan
Surat Pesanan sebagai salah satu bentuk bukti pembelian. Pasal 55 ayat (6)

menyebutkan bahwa Surat Pesanan digunakan untuk pengadaan barang/jasa melalui EPurchasing.
Ketentuan ini mengamanatkan bahwa untuk barang yang sudah tercantum dalam
katalog elektronik dapat dilakukan pengadaan dengan cara pengadaan langsung
menggunakan surat pesanan. Berdasarkan pasal 110 ayat (5) Perpres nomor 4 tahun
2015, E-Purchasing dapat dilaksanakan oleh Pejabat yang ditetapkan oleh Pimpinan
instansi/institusi.
Pertanyaan yang mungkin muncul, apakah pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan
E-Purchasing tersebut harus memenuhi syarat seperti Pejabat Pengadaan antara lain
telah memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan barang/Jasa.
Terhadap pertanyaan tersebut Perpres nomor 4 tahun 2015 tidak menyebutkan
perlunya persyaratan demikian. Padahal jika memang pemerintah menginginkan
adanya persyaratan untuk Pejabat tersebut, tidak ada kesulitan bagi pemerintah untuk
mencantumkannya dalam Perpres. Karena itu dapat dipahami bahwa penunjukan
pejabat yang akan melaksanakan E-Purchasing tidak mensyaratkan sertifikat
keahlian.

h. Pasal 89 ayat (2a), dan ayat (4)


Pasal ini mengatur lebih jelas tentang pembayaran atas hasil pekerjaan.
Berdasarkan pasal 89 ayat (2a) pembayaran atas hasil pekerjaan konstruksi dapat
dibayarkan senilai pekerjaan yang telah terpasang. Peralatan/material yang belum
terpasang bukan merupakan bagian dari hasil pekerjaan yang akan diserah-terimakan.
Berdasarkan penjelasan pasal 89 ayat (4) huruf c, peralatan dan merial yang sudah
yang akan menjadi bagian dari hasil pekerjaan yang akan diserah-terimakan namun
belum terpasang, dibayar tanpa biaya pemasangan.
Berdasarkan ketentuan di atas untuk pekerjaan konstruksi peralatan yang sudah berada
di lokasi pekerjaan bukan merupakan bagian dari hasil pekerjaan yang akan diserahterimakan dan tidak boleh dibayarkan. Sedangkan untuk pengadaan barang, peralatan
atau material yang sudah berada di lokasi pekerjaan merupakan bagian dari hasil
pekerjaan yang akan diserah-terimakan dan dapat dibayarkan.
Pasal 89 atay (4) huruf b mengatur pembayaran untuk barang yang karena sifatnya
dapat dilakukan pembayaran terlebih dahulu, dapat dibayarkan dengan syarat penyedia
menyerahkan surat jaminan atas pembayaran yang akan dilakukan. Contoh barang
demikian antara lain dicantumkan dalam penjelasan pasal 89 ayat (4) huruf b seperti
sewa menyewa, jasa asuransi dan/atau pengambil alih risiko, kontrak penyelenggaraan
beasiswa, belanja online, atau jasa penasihat hukum.

C. Catatan Atas Perubahan Peraturan


Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 dimaksudkan untuk memberi berbagai
kemudahan dalam pengadaan barang/jasa khususnya pemanfaatan teknologi informasi
terkait pelaksanaan E-Tendering dan E-Purchasing. Namun demikian ternyata
perubahan tersebut tidak luput dari kekurangan dan terdapat beberapa perubahan yang
berpotensi menimbulkan permasalahan. Pasal-pasal yang mengandung masalah
tersebut antara lain:
1. Pasal 1 angka (9) dan pasal 17 ayat (2) huruf h
Pasal 1 ayat (9) Perpres nomor 4 tahun 2015 memberi tugas tambahan kepada Pejabat
Pengadaan untuk melaksanakan Penunjukan langsung dan E-Procurement.
Selanjutnya melalui pasal 17 ayat ayat (2) huruf h Perpres nomor 4 tahun 2015 kepada
Pejabat Pengadaan diberikan wewenang untuk menetapkan penyedia yang dilakukan
dengan cara Pengadaan Langsung atau Penunjukan Langsung untuk pengadaan
barang/pekerjaan kontruksi/jasa lainnya dengan nilai paling tinggi Rp200.000.000,(dua ratus juta rupiah) dan untuk pengadaan jasa konsultansi dengan niai paling
tinggi Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Ketentuan sebelumnya sebagaimana dalam:
a. Perpres nomor 70 tahun 2012, pasal 1 angka (9), Pejabat Pengadaan hanya
mempunyai tugas sebagai pelaksana pengadaan yang dilakukan dengan cara
Pengadaan Langsung.
b. Perpres nomor 70 tahun 2012 pasal 39 ayat (1), Pengadaan Langsung dapat
dilakukan terhadap pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang
bernilai paling tinggi Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
c. Perpres nomor 54 tahun 2010 pasal 45 ayat (1), Pengadaan Langsung dapat
dilakukan terhadap pengadaan Jasa Konsultansi yang memiliki karakteristik
sebagai berikut:
- Merupakan kebutuhan operasional K/L/D/I
- Bernilai paling tinggi Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
Mengingat bahwa cara Pengadaan Langsung jauh lebih sederhana dari pada cara
Penunjukan Langsung, apakah mungkin ada pengadaan barang/pekerjaan
kontruksi/jasa lainnya dengan nilai paling tinggi Rp200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah) dan pengadaan jasa konsultansi dengan nilai paling tinggi Rp50.000.000,(lima puluh juta rupiah) yang harus dilakukan dengan Penunjukan Langsung.
Untuk pengadaan barang/pekerjaan kontruksi/jasa lainnya dengan nilai paling
tinggi Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) cara pengadaan yang dipilih oleh
Pejabat Pengadaan sudah pasti cara Pengadaan Langsung. Demikian juga untuk
pengadaan jasa konsultansi dengan nilai paling tinggi Rp50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah).
2. Pasal 109 ayat (2)

Pasal 109 ayat (2) berbunyi para pihak yang terlibat dalam E-Tendering
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah PPK, ULP/Pejabat Pengadaan, dan
Penyedia barang/jasa.
Pasal ini mamasukkan Pejabat Pengadaan dalam pihak yang terlibat dalam ETendering. Dalam konteks pengadaan barang/jasa kata tender tidak lain dari proses
pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan dengan cara lelang/seleksi.
Elektronik tendering adalah pelelangan/seleksi yang dilakukan secara elektronik. Saat
ini pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan dengan cara tender harus
menggunakan System Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) yang dikembangkan oleh
LKPP.
Pejabat pengadaan hanya berperan dalam pengadaan yang dilaksanakan dengan cara
Pengadaan Langsung dan E-Purchasing tanpa melaui proses tender. Sedangkan ETendering dilaksanakan oleh Pokja ULP.
3. Pasal 109 ayat (7)
Pasal 109 ayat (7) berbunyi: Dalam pelaksanaan E-Tendering dilakukan sengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Tidak diperlukan jaminan penawaran;
b. Tidak diperlukan sanggahan kualifikasi;
c. Apabila penawaran yang masuk kurang dari 3 (tiga) peserta, pemilihan penyedia
dilanjutkan dengan dilakukan negosiasi teknis dan harga/biaya;
d. Tidak diperlukan sanggahan banding;
e. Untuk pemilihan penyedia jasa konsultansi:
1) Daftar pendek berjumlah 3 (tiga) sampai 5 (lima) penyedia jasa
konsultansi;
2) Seleksi sederhana dilakukan dengan metode pascakualifikasi.
Penggunaan kata tidak diperlukan pada pasal 109 ayat (7) huruf b, dan huruf d
menurut hemat penulis adalah kurang tepat. Kata tersebut seharusnya diganti
dengan kata tidak dibolehkan.
Dalam konteks ketentuan tentang E-Tendering kata diperlukan dan dibolehkan
memiliki arti yang berbeda.
Kalimat tidak diperlukan sanggahan kualifikasi (pasal 109 ayat (7) huruf b)
menunjukkan bahwa sanggahan kualifikasi sebenarnya suatu yang dikehendaki
tetapi ketiadaan sanggahan tersebut tidak menyebabkan proses E-Tendering
menjadi tidak sah. Dengan rumusan demikian berarti:
Peserta dibolehkan mengajukan sanggahan kualifikasi.
Jika tidak ada peserta yang mengajukan sanggahan kualifikasi proses
lelang/seleksi tetap sah.
Demikian juga kalimat tidak diperlukan sanggahan banding (pasal 109 ayat (7)
huruf d) menunjukkan bahwa sanggahan banding sebenarnya suatu yang
dikehendaki tetapi ketiadaan sanggahan tersebut tidak menyebabkan proses ETendering menjadi tidak sah.
Dengan rumusan yang terdapat dalam pasal 109 ayat (7) tersebut berarti:

Peserta dibolehkan mengajukan sanggahan kualifikasi.


Peserta dibolehkan mengajukan sanghanan banding.
Jika tidak ada peserta yang mengajukan sanggahan kualifikasi proses
lelang/seleksi tetap sah.
Jika tidak ada peserta yang mengajukan sanggahan banding proses lelang/seleksi
tetap sah.

Dalam proses E-Tendering, sanggahan bukan saja tidak diperlukan tetapi harus
dihindari karena adanya sanggahan menunjukkan bahwa peserta lelang/seleksi tidak
puas atas keputusan Pokja ULP. Adanya sanggahan jelas akan menghambat proses
lelang/seleksi. Bahkan tidak jarang sanggahan menjadi titik awal dari lahirnya
kekisruhan dan dapat berbuntut panjang.
Memperhatikan bahwa lahirnya Perpres nomor 4 tahun 2015 ini dilandasi
pertimbangan perlunya inovasi dalam pengadaan barang/jasa, penulis berkeyakinan
bahwa pemerintah sebenarnya menginginkan agar proses tender berlangsung lebih
sederhana dan cepat dengan tidak memberi peluang kepada peserta untuk
mengajukan sanggahan kualifikasi dan sanggahan banding. Karena itu penggunaan
kata tidak diperlukan dalam pasal 109 ayat (7) huruf b dan huruf d tersebut
merupakan suatu kesalahan.

Daftar Pustaka:
1. Keputusan Presiden nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
2. Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah;
3. Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
4. Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas
Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah;
5. Peraturan Kepala LKPP nomor 14 tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan
Presiden Nomor 70 tahun 20121 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden
nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
6. Peraturan Kepala LKPP nomor 18 tahun 2012 tentang E-Tendering.

Anda mungkin juga menyukai