Kata Kunci
E-Tendering, E-Purchasing, Pengadaan langsung, Penunjukan langsung, Katalog
Elektronik, Pembayaran, Pokja ULP, Pejabat Pengadaan, Pejabat yang ditunjuk.
Abstrak
Pengadaan Barang/Jasa. Belum genap 5 tahun sejak terbitnya Peraturan Presiden tentang
pengadaan barang/jasa pemerintah, Peraturan Presiden nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa telah mengalami empat kali perubahan. Peraturan tentang
perubahan serta latar belakang lahirnya perubahan tersebut adalah sebagai berikut:
Perubahan
ke
Perubahan
kesatu
Nomor Peraturan
Presiden
Perpres No. 35
Tahun 2011
Perubahan
kedua
Perpres No. 70
Tahun 2012
Perubahan
ketiga
Perubahan
keempat
Perpres No. 4
Tahun 2015
Dalam pasal 19 ayat (1) huruf l Perpres nomor 4 tahun 2015 penyedia barang/jasa
harus memiliki NPWP dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir.
Dengan berlakunya Perpres nomor 4 tahun 2015, persyaratan perpajakan penyedia
barang/jasa pemerintah menjadi lebih sederhana, bahkan untuk pengadaan barang/jasa
dengan nilai tidak lebih dari Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) NPWP dan SPT
tahunanpun tidak dipersyaratkan (pasal 19 ayat (2a).
b. Pasal 70 ayat (2)
Pasal ini membebaskan penyedia dari kewajiban menyerahkan surat jaminan
pelaksanaan untuk pengadaan tertentu.
Dalam pasal 70 ayat (1) Perpres nomor 70 tahun 2012 disebutkan jaminan
pelaksanaan diminta PPK kepada penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi untuk
kontrak bernilai di atas Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Dalam pasal 70 ayat (2) Perpres nomor 70 tahun 2012 disebutkan jaminan
pelaksanaan dapat diminta PPK kepada penyedia Jasa Lainnya untuk kontrak bernilai
di atas Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), kecuali untuk pengadaan Jasa Lainnya
dimana asset penyedia sudah dikuasai Pengguna.
Penggunaan kata dapat dalam rumusan pasal 70 ayat (2) tersebut tidak secara tegas
membebaskan penyedia dari kewajiban menyerahkan jaminan pelaksanaan untuk
pengadaan jasa lainnya dengan kontrak di atas Rp200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah).
Pasal 70 ayat (2) Perpres nopmor 4 tahun 2015 mengatur dengan tegas ketentuan
tentang jaminan pelaksanaan, dimana jaminan pelaksanaan tidak diperlukan untuk:
1) Pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang dilaksanakan dengan
metode Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung Untuk Keadaan Darurat,
Kontes, atau Sayembara;
2) Pengadaan Jasa Lainnya, dimana asset penyedia sudah dikuasai oleh Pengguna;
atau
3) Pengadaan Barang/Jasa Lainnya dalam Katalog Elektronik melalui E-Purchasing.
Pasal ini memberikan solusi penyelesaian masalah pemutusan kontrak secara sepihak
oleh PPK.
Ketentuan pasal 93 Perpres nomor 70 tahun 2012 memberi hak kepada PPK untuk
memutuskan kontrak. Namun dalam kenyataannya pemutusan kontrak secara sepihak
oleh PPK menimbulkan masalah karena menyebabkan sebagian dari pekerjaan tidak
dapat diteruskan penyelesaiannya. Perpres tidak memberi kemudahan kepada PPK
untuk mencari penyedia lain yang akan ditunjuk untuk menyelesaikan pekerjaan yang
tersisa. Akibatnya para PPK terpaksa bersikap lebih toleran terhadap penyedia
sehingga banyak penyedia yang nakal yang tetap diberi kesempatan untuk terus
menyelesaikan kontrak sampai selesai, walaupun PPK sebenarnya tidak puas dengan
hasil kerja penyedia.
Melalui pasal 93 ayat (3) Perpres nomor 4 tahun 2015 Kelompok Kerja ULP
dibolehkan melakukan Penunjukan Langsung kepada pemenang cadangan berikutnya
pada pelelangan yang sama atau kepada penyedia lain yang mampu dan memenuhi
syarat.
Kalau terjadi penunjukan langsung sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan tersebut
tentu saja berlaku ketentuan tentang tata cara penunjukan langsung yaitu Pokja ULP
harus melakukan negosiasi teknis dan biaya kepada penyedia yang akan ditunjuk.
Dengan demikian terbuka kesempatan bagi pemenang cadangan yang akan ditunjuk
untuk mengajukan penawaran baru, karena harga penawaran yang pernah diajukannya
sudah tidak berlaku. Terbuka pula kesempatan bagi Pokja ULP untuk menunjuk
pemenang cadangan peringkat kedua jika pemenang cadangan pertama tidak bersedia.
Jika pemenang cadangan kedua tidak bersedia Pokja ULP boleh menunjuk peserta
yang telah lulus evaluasi teknis yang tidak masuk dalam urutan pemenang cadangan.
Bahkan Pokja ULP dapat menunjuk penyedia lain yang dianggap mampu dan
memenuhi syarat.
f. Pasal 109 ayat (7) huruf c
Pasal ini memperkecil kemungkinan kegagalan lelang/seleksi akibat kurangnya
penawaran yang masuk.
Ketentuan sebelumnya menetapkan syarat sahnya proses lelang/seleksi adalah jumlah
penawaran yang masuk sekurang-kurangnya 3 (tiga). Karena itu lelang/seleksi harus
dinyatakan gagal apabila jumlah penawaran yang masuk kurang dari 3 (tiga).
Melalui pasal 109 ayat (7) huruf Perpres nomor 4 tahun 2015 Kelompok Kerja ULP
dibolehkan melanjutkan proses lelang/seleksi walaupun jumlah penawaran yang
masuk kurang dari 3 (tiga).
menyebutkan bahwa Surat Pesanan digunakan untuk pengadaan barang/jasa melalui EPurchasing.
Ketentuan ini mengamanatkan bahwa untuk barang yang sudah tercantum dalam
katalog elektronik dapat dilakukan pengadaan dengan cara pengadaan langsung
menggunakan surat pesanan. Berdasarkan pasal 110 ayat (5) Perpres nomor 4 tahun
2015, E-Purchasing dapat dilaksanakan oleh Pejabat yang ditetapkan oleh Pimpinan
instansi/institusi.
Pertanyaan yang mungkin muncul, apakah pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan
E-Purchasing tersebut harus memenuhi syarat seperti Pejabat Pengadaan antara lain
telah memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan barang/Jasa.
Terhadap pertanyaan tersebut Perpres nomor 4 tahun 2015 tidak menyebutkan
perlunya persyaratan demikian. Padahal jika memang pemerintah menginginkan
adanya persyaratan untuk Pejabat tersebut, tidak ada kesulitan bagi pemerintah untuk
mencantumkannya dalam Perpres. Karena itu dapat dipahami bahwa penunjukan
pejabat yang akan melaksanakan E-Purchasing tidak mensyaratkan sertifikat
keahlian.
Pasal 109 ayat (2) berbunyi para pihak yang terlibat dalam E-Tendering
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah PPK, ULP/Pejabat Pengadaan, dan
Penyedia barang/jasa.
Pasal ini mamasukkan Pejabat Pengadaan dalam pihak yang terlibat dalam ETendering. Dalam konteks pengadaan barang/jasa kata tender tidak lain dari proses
pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan dengan cara lelang/seleksi.
Elektronik tendering adalah pelelangan/seleksi yang dilakukan secara elektronik. Saat
ini pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan dengan cara tender harus
menggunakan System Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) yang dikembangkan oleh
LKPP.
Pejabat pengadaan hanya berperan dalam pengadaan yang dilaksanakan dengan cara
Pengadaan Langsung dan E-Purchasing tanpa melaui proses tender. Sedangkan ETendering dilaksanakan oleh Pokja ULP.
3. Pasal 109 ayat (7)
Pasal 109 ayat (7) berbunyi: Dalam pelaksanaan E-Tendering dilakukan sengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Tidak diperlukan jaminan penawaran;
b. Tidak diperlukan sanggahan kualifikasi;
c. Apabila penawaran yang masuk kurang dari 3 (tiga) peserta, pemilihan penyedia
dilanjutkan dengan dilakukan negosiasi teknis dan harga/biaya;
d. Tidak diperlukan sanggahan banding;
e. Untuk pemilihan penyedia jasa konsultansi:
1) Daftar pendek berjumlah 3 (tiga) sampai 5 (lima) penyedia jasa
konsultansi;
2) Seleksi sederhana dilakukan dengan metode pascakualifikasi.
Penggunaan kata tidak diperlukan pada pasal 109 ayat (7) huruf b, dan huruf d
menurut hemat penulis adalah kurang tepat. Kata tersebut seharusnya diganti
dengan kata tidak dibolehkan.
Dalam konteks ketentuan tentang E-Tendering kata diperlukan dan dibolehkan
memiliki arti yang berbeda.
Kalimat tidak diperlukan sanggahan kualifikasi (pasal 109 ayat (7) huruf b)
menunjukkan bahwa sanggahan kualifikasi sebenarnya suatu yang dikehendaki
tetapi ketiadaan sanggahan tersebut tidak menyebabkan proses E-Tendering
menjadi tidak sah. Dengan rumusan demikian berarti:
Peserta dibolehkan mengajukan sanggahan kualifikasi.
Jika tidak ada peserta yang mengajukan sanggahan kualifikasi proses
lelang/seleksi tetap sah.
Demikian juga kalimat tidak diperlukan sanggahan banding (pasal 109 ayat (7)
huruf d) menunjukkan bahwa sanggahan banding sebenarnya suatu yang
dikehendaki tetapi ketiadaan sanggahan tersebut tidak menyebabkan proses ETendering menjadi tidak sah.
Dengan rumusan yang terdapat dalam pasal 109 ayat (7) tersebut berarti:
Dalam proses E-Tendering, sanggahan bukan saja tidak diperlukan tetapi harus
dihindari karena adanya sanggahan menunjukkan bahwa peserta lelang/seleksi tidak
puas atas keputusan Pokja ULP. Adanya sanggahan jelas akan menghambat proses
lelang/seleksi. Bahkan tidak jarang sanggahan menjadi titik awal dari lahirnya
kekisruhan dan dapat berbuntut panjang.
Memperhatikan bahwa lahirnya Perpres nomor 4 tahun 2015 ini dilandasi
pertimbangan perlunya inovasi dalam pengadaan barang/jasa, penulis berkeyakinan
bahwa pemerintah sebenarnya menginginkan agar proses tender berlangsung lebih
sederhana dan cepat dengan tidak memberi peluang kepada peserta untuk
mengajukan sanggahan kualifikasi dan sanggahan banding. Karena itu penggunaan
kata tidak diperlukan dalam pasal 109 ayat (7) huruf b dan huruf d tersebut
merupakan suatu kesalahan.
Daftar Pustaka:
1. Keputusan Presiden nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
2. Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah;
3. Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
4. Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas
Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah;
5. Peraturan Kepala LKPP nomor 14 tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan
Presiden Nomor 70 tahun 20121 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden
nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
6. Peraturan Kepala LKPP nomor 18 tahun 2012 tentang E-Tendering.