Anda di halaman 1dari 17

PATOFISIOLOGI

Adanya faktor etiologi menyebabkan peradangan dan nekrosis meliputi daerah yang
luas (hepatoseluler), terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan parut
disertai terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul sel hati. Septa boleh dibentuk dari sel
retikulum penyangga kolaps dan berubah menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini
dapat menghubungkan daerah portal yang satu dengan yang lain atau portal dengan
sentral (bridging necrosis). Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan
berbagai ukuran, dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan
gangguan aliran daerah portal dan menimbulkan hipertensi portal. (Nguyen and
Linnggapa, 2006)
Tahap berikutnya, terjadi peradangan dan nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo
endotel, terjadi fibrogenesis dan septa aktif jaringan kologen berubah dari reversibel ke
irreversibel bila telah terbentuk septa permanen yang aseluler pada daerah portal dan
parenkhim hati sel limfosit dan makrofag menghasilkan limfokin dan monokin sebagai
mediator fibrinogen, septal aktif ini berasal dari portal yang menyebar ke parenkhim
hati. Kolagen sendiri terdiri dari 4 tipe yaitu dengan lokasi daerah sinusoid sentral,
sinusoid, jaringan retikulin (sinusoidportal), dan membrane basal. Pada semua sirosis
terdapat peningkatan pertumbuhan semua jenis kologen tersebut. Pembentukan kologen
dirangsang oleh nekrosis hepatoseluler dan asidosis laktat merupakan faktor perangsang.
Dalam hal mekanisme terjadinya sirosis secara mekanik dimulai dari kejadian hepatitis
viral akut, timbul peradangan luas, nekrosis luas dan pembentukan jaringan ikat yang
luas disertai pembentukan nodul regenerasi oleh sel parenkim hati, yang masih baik.
Jadi fibrosis pasca nekrotik adalah dasar timbulnya sirosis hati. Pada mekanisme
terjadinya sirosis secara imunologis dimulai dengan kejadian hepatitis viral akut yang
menimbulkan peradangan sel hati, nekrosis /nekrosis bridging dengan melalui hepatitis
kronik agresif diikuti timbulnya sirosis hati. Perkembangan sirosis dengan cara ini
memerlukan waktu sekitar 4 tahun. Sel yang mengandung virus ini merupakan sumber
rangsangan terjadinya imunologis yang berlangsung terus menerus sampai terjadinya
kerusakan hati. (Nguyen and Linnggapa, 2006)

Fibrogenesis pada Sirosis Hepatis


Gambar. Fibrogenesis pada sirosis hepatis (Zhou et al, 2014)

Hepar tersusun atas sel parenkim (hepatosit) dan non parenkim. Sel non parenkim terletak
mengelilingi sel parenkim, yang berperan dalam fibrogenesis pada sirosis hepatis, yaitu sel
endotel sinusoid (LSEC), sel Kupffer (KC) dan sel stelat (HSC). HSC merupakan sel yang
dalam keadaan inaktif (Ito cell/quiescent) berperan sebagai penyimpan vitamin A dan retinoid
lainnya. Ketika terjadi proses inflamasi, mediator proinflamasi seperti TGF-, TNF-, DAN IL1 mengaktifkan HSC yang mengakibatkan perubahan sel ini menjadi miofibroblas. Miofibroblas
kemudian mengakibatkan peningkatan sintesis kolagen dan TIMP serta menurunkan MMP yang
mengakibatkan akumulasi kolagen, mengakibatkan fibrosis pada hepar (Zhou et al, 2014).
LSEC merupakan sel endotel sinusoid yang tidak memiliki membrana basalis dan berperan
dalam pengaturan pertukaran cairan, larutan, dan partikel antara sinusoid dan sel parenkim.
Perubahan pada LSEC yang diakibatkan oleh alkoholisme dapat mengakibatkan penurunan
permeabilitas LSEC dan pembentukan membrana basalis yang menyebabkan defenestrasi
LSEC. Defenestrasi mengganggu pertukaran cairan, mengakibatkan penurunan retinol yang
dapat mengaktifkan HSC menjadi miofibroblas yang menginisiasi fibrosis hepar (Zhou et al,
2014). KC merupakan makrofag yang terletak pada dinding sinusoid yang teraktivasi oleh
berbagai faktor injuri seperti infeksi virus, diet tinggi lemak, alkohol, dan penumpukkan zat
besi. KC yang teraktivasi merusak hepatosit dan memicu fibrosis. Aktivasi KC juga
meningkatan ekspresi reseptor PDGF pada HSC yang memicu sintesis matriks, melepaskan
2

TGF-1 yang merangsang pembentukan dan proliferasi kolagen, serta melepaskan TXA2 yang
memicu peningkatan tekanan portal (Zhou et al, 2014).
Sementara itu, sel parenkim (hepatosit) juga ikut berperan dalam sirosis hepatis. Normalnya, sel
ini berperan sebagai penghasil utama matriks metaloproteinase (MMP). Kerusakan hepatosit
mengakibatkan penurunan produksi MMP dan memicu pelepasan ROS (reactive oxygen
species) dan mediator fibrigenik yang mengaktivasi HSC menjadi miofibroblas (Zhou et al,
2014).

Pengguna Alkohol
Virus Hepatitis
3

Malnutrisi
Terpapar Toksin
Kerusakkan Hepatocyt
Nutrisi
kurang
dari
Kebutuhan

Fatique
Nausea, Vomitus
Anoreksia

Nyeri
Inflamasi hepar
Demam
Nekrosis

Gangguan ADH & Aldosteron

Edema

Hipertermia

Risti gangguan
integritas kulit

Kelebihan Volume Cairan


Gangguan Endrogen & Estrogen - Palmar Eritema - Bulu badan
- Spider Naevi - Perubahan menstruasi
- Gynecomastia
Gangguan Metabolisme Protein
Karbohidrat & Lemak

Penurunan plasma protein


Hipoglikemi

Gangguan absorbsi Vit K

Asites & Edema

Perdarahan

Gangguan fungsi empedu

Warna feses berubah

Gangguan sekresi urin

Urin pekat

Gangguan metabolisme bilirubin

Hiperbilirubin

Jaundice/ Ikterus

Gambar 1.1. menunjukkan Patofisiologi Sirosis Hepatis (Nguyen and Linnggapa,


2006)
Etiologi (Malnutrisi, Alkoholisme, Virus Hepatitis, Zat Toksik)
Peradangan
Kerusakan hati
Nekrosis hepatoseluler

terputusnya keutuhan jaringan

gangguan rasa nyaman


nyeri

Kolaps lobulus hati


Terbentuk jaringan parut + septa fibrosa
Distorsi pembuluh darah & terganggunya aliran darah portal
Hipertensi portal

Peningkatan tekanan hidrostatik

Sirosis hati

Asites

Fungsi hati terganggu


Gangguan
Metabolisme
Bilirubin

Gangguan
Sintesis
Vit K

Bilirubin
Tak
Terkonjugasi

Faktor
Pembekuan
Darah

Feces pucat
Ikterik
Urine gelap

Perdarahan

Menekan Gaster
Gangguan
Metabolisme
Zat besi

Rasa penuh pada perut

Gangguan
Asam
Folat

Anoreksia (Gangguan Nutrisi)

Penurunan sel darah merah

Gangguan body image

Anemia

Kelemahan

Intoleransi aktivitas

Penumpukan garam empedu di bawah kulit


Pruritus

Kerusakkan integritas kulit

Gambar 1.2. menunjukkan Patofisiologi Sirosis Hepatis (Nguyen and Linnggapa,


2006)

MANIFESTASI KLINIS (Schuppan et al, 2008)


Stadium Awal (Schuppan et al, 2008)
Capek; lelah
Nafsu makan berkurang; nausea; penurunan berat
badan
Hepatomegali
Palmar Eritema
Stadium Lanjut / Akhir (Schuppan et al, 2008)
Jaundice (Kulit & Mata ikterus/kuning)
Warna urin kuning atau coklat pekat
Spider Naevi
5

Keguguran rambut
Gynecomastia
Varices Eosophagus (Hematemesis Melena)
Venectasi/Vena kolateral
Hipoalbuminemia
Asites (dengan atau tanpa edema kaki)
Spleenomegali
Diare; feses berwarna hitam atau merah darah
Perdarahan dan memar
Kebingungan; koma

Gambar. menunjukkan gejala gejala klinis yang


tampak pada pasien dengan sirosis hepatis
Asites
Penyebab

utama

asites

adalah

vasodilatasi

splanchnic. Terjadi peningkatan resistansi aliran


hepatic portal karena sirosis sehingga menyebabkan peningkatan portal hipertensi secara
bertahap, terbentuknya collateral vein dan shunting pembuluh darah ke sistemik
(Gins.P, 2004)
Setelah terjadinya portal hipertensi, terjadi vasodilatasi lokal oleh karena terdapat
peningkatan nitric oxide sehingga terjadi splanchnic arterial vasodilatasi. Pada stadium
awal terjadinya sirosis, vasodilatasi splanchnic arterial vasodilatasi moderate dan hanya
menyebabkan efek yang kecil terhadap effective arterial blood volume, dimana
dipertahankan kadar normal volume plasma dan cardiac output (Gins.P, 2004)
Pada stadium sirosis yang lanjut, terjadi vasodilatasi yang hebat sehingga effective
arterial blood volume menurun secara mendadak, sehingga tekanan arterial menurun.
Sebagai akibat tubuh mengkompensasi dengan mempertahankan tekanan arterial dengan
pengaktivasian hemeostasis oleh vasokonstriksor dan antinatriuretic faktor sehingga
menyebabkan retensi natrium dan cairan (Gins.P, 2004)
Kombinasi portal hipertensi dan vasodilatasi splanchnic arterial menyebabkan
perubahan tekanan kapiler dan permeabilitasnya yang membantu akumulasi retensi
cairan di dalam kavitas abdomen. Seterusnya dengan berlanjutnya penyakit ini, terjadi
renal disfungsi dalam mengeskresi cairan tubuh dan terjadi vasokonstriksi renal
6

sehingga menyebabkan dilutional hyponatremia dan hepatorenal sindrom (Gins.P,


2004)

Gambar 2.1. menunjukkan patofisiologi asites, hiponatremia, dan sindrom hepatorenal


pada kasus sirosis hepatis (Gins.P, 2004)

Gambar 2.2. menunjukkan patofisiologi intrahepatic sinusoidal portal hipertensi &


formasi asites pada kasus sirosis hepatis (Gins.P, 2004)
Varices Eosophagus (Hematemesis Melena)
Vena porta membawa darah ke hati dari lambung, usus, limpa, pankreas dan kandung
empedu. Vena mesenterika superior dibentuk dari vena-vena yang berasal dari usus
halus, kaput pankreas, kolon bagian kiri, rektum dan lambung. Vena porta tidak
mempunyai katup dan membawa sekitar tujuh puluh lima persen (75%) sirkulasi hati

dan sisanya oleh arteri hepatika. Keduanya mempunyai saluran keluar ke vena hepatika
yang selanjutnya ke vena kava inferior.
Sistem porta kadang terhambat oleh gumpalan besar dalam vena porta atau cabang
utamanya, hal ini dikarenakan terjadinya fibrosis hati pada penderita sirosis hepatis. Bila
sistem porta terhambat, kembalinya darah dari usus dan limpa melalui sistem porta ke
sirkulasi sistemik menjadi sangat terhambat, menghasilkan hipertensi porta dan tekanan
kapiler dalam dinding usus meningkat 15-20 mmHg diatas normal. Penderita sering
meninggal dalam beberapa jam karena kehilangan cairan yang banyak dari kapiler ke
dalam lumen dan dinding usus. Peningkatan tekanan vena porta biasanya disebabkan
oleh adanya hambatan aliran vena porta atau peningkatan aliran darah ke dalam vena
splanikus. Obstruksi aliran darah dalam sistim portal dapat terjadi oleh karena obstruksi
vena porta atau cabang-cabang selanjutnya (ekstra hepatik), peningkatan tahanan
vaskuler dalam hati yang terjadi dengan atau tanpa pengkerutan (intra hepatik) yang
dapat terjadi presinusoid, parasinusoid atau postsinusoid dan obstruksi aliran keluar
vena hepatik (supra hepatik) (Gins.P, 2004).
Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal terdapat pada
esophagus bagian bawah. Pirau darah melalui saluran ini ke vena cava menyebabkan
dilatasi vena-vena tersebut (varises esophagus). Apabila varises tersebut pecah akan
mengakibatkan perdarahan/ hematemesis melena (Gins.P, 2004).
Spider Naevi
Spider naevi biasanya terdistribusi pada daerah muka, leher, dahi, tangan dan bagian
atas tengah dada. Umumnya terjadi pada regio pembuluh darah superior vena cava.
Terjadinya vascular spiders adalah disebabkan oleh kadar estrogen yang tinggi dan
kadar estrogen yang tinggi serta substansi P yang tinggi menyebabkan pembuluh darah
membesar dan dilatasi. Selain itu, kadar serum estradiol dan total testosterone berubah
pada pasien pria dengan sirosis dan spider naevi. Kadar serum estradiol meningkat dan
kadar total testosterone sehingga menyebabkan kadar estradiol/free testosterone ratio
pada pasien pria dengan spider naevi. Pemulihan dari spider naevi boleh terjadi apabila
etiologi dasar penyebab terjadinya sirosis hepatis disingkirkan namun, kondisi ini dapat
terjadi secara persisten (Vedamurty.M, 2008)
Hipertensi Portal
9

Hipertensi portal terjadi akibat resistensi vaskuler intrahepatic. Hati yang telah sirosis
hilang kemampuan fisiologis untuk menurunkan tekanan darah yang mengalir ke hepar.
Jadi dengan peningkatan aliran darah pada sinusoids menyebabkan tekanan ini dihantar
kembali ke vena portal. Namun, vena portal kekurangan katup untuk menghalang aliran
darah kembali, menyebabkan tekanan darah yang tinggi ditransmisikan kembali ke
bagian vaskuler yang lain, sehingga menyebabkan spleenomegali, hepatomegali, portal
ke sistemik shunting, dan komplikasi lain (Tsochatzis et al, 2014)

DIAGNOSIS
Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan diagnosis
sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa ditegakkan
diagnosis

dengan

bantuan

pemeriksaan

klinis

yang

cermat,

laboratorium

biokimia/serologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada saat ini penegakan


diagnosis sirosis hati terdiri dari pemeriksaan fisik, laboratorium, dan USG. Pada kasus
tertentu diperlukan pemeriksaan biopsy hati atau peritoneoskopi karena sulit
membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini (Nurdjanah,
2009).
Pada stadium dekompensata diagnosis kadangkala tidak sulit karena gejala dan tandatanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi (Nurdjanah, 2009).
Anamnesis
Sirosis sering merupakan silent disease, dengan kebanyakan pasien adalah asimptomatik
sehingga dekompensasi terjadi. Dokter harus menanyakan tentang risiko yang
mempengaruhi pasien sirosis. Kuantitas dan durasi konsumsi merupakan penting dalam
diagnosis awal sirosis. Faktor risiko yang lain termasuk transmisi hepatitis B dan C
(misalnya, tempat kelahiran di daerah endemis, riwayat risiko paparan seksual,
penggunaan obat intranasal atau intravena, tindik tubuh atau tato, kontaminasi yang
tidak disengaja dengan darah atau tubuh cairan), serta riwayat pribadi atau keluarga
penyakit autoimun atau penyakit hepatik (Heidelbaugh JJ, dan Bruderly M, 2006)
10

Pemeriksaan Fisik
Tabel 2.1. menunjukkan temuan dari hasil pemeriksaan (Hardison JE, 1990;
Heidelbaugh JJ, dan Bruderly M, 2006)
Pemeriksaan
Inspeksi

Temuan
Umum

cachexia, proximal muscle wasting, asites,


jaundis

Tangan dan lengan

clubbing fingers, Terrys nails, Muehrckes nails,


Dupuytrens contracture, eritema palmar, anemia,
asteriksis,

ekimosis,

petekie,

osteoartropati

hipertrofi
Kepala dan dada

jaundice (frenulum, 11cleral 11cleral), hipertrofi


parotid,

cincin

hepaticus,

spider

Kaysher-Fleischer,
angiomata,

fetor

ginekomastia,

kerontokan bulu dada dan bulu ketiak (pria)


Abdomen dan

Caput medusa, asites, murmur Cruveilhier-

pelvis

Baumer,

splenomegali,

atrofi

testicular,

hepatomegali
Palpasi

Keras dan bernodul, perubahan pada (mengecil/membesar)

Perkusi

bulging flanks, flank dullness, shifting dullness, fluid wave

Auskultasi

Abdominal venous hum (Cruveilhier-Baumgarten murmur), hepatic


arterial bruit, hepatic friction rub

11

Gambar. Manifestasi Klinis sirosis hepatis (Schuppan et al, 2008)


Pemeriksaan Laboratorium
Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada waktu
sesorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk evaluasi keluhan
spesifik. Tes fungsi hati meliputi aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil
transpeptidase, bilirubin, albumin, dan waktu protrombin (Nurdjanah, 2009).
12

Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksaloasetat (SGOT) dan alanine
aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat
tapi tidak begitu tinggi. AST lebih meningkat daripada ALT, namun bila transaminase
normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis (Nurdjanah, 2009).
Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas. Konsentrasi
yang tinggi bisa ditemukan pada apsien kolangitis sclerosis primer dan sirosis bilier
primer (Nurdjanah, 2009).
Gamma-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali fosfatase
pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik, karena
alcohol selain menginduksi GGT microsomal hepatic, juga bisa, menyebabkan bocornya
GGT dari hepatosit (Nurdjanah, 2009).
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi bisa meningkat
pada sirosis yang lanjut (Nurdjanah, 2009).
Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan
perburukan sirosis (Nurdjanah, 2009).
Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari pintasan, antigen
bakteri dari system porta ke jaringan limfoid, selanjutnya menginduksi produksi
immunoglobulin (Nurdjanah, 2009).
Waktu protrombin mencerminkan derajat/tingkatan disfungsi sintesis hati, sehingga
pada sirosis memanjang (Nurdjanah, 2009).
Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas (Nurdjanah, 2009).
Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam, anemia normokrom,
normositer, hipokrom mikrositer

atau hipokrom makrositer. Anemia

dengan

trombositopenia, leukopenia, dan neutropenia akibat splenomegaly kongestif berkaitan


dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme (Nurdjanah, 2009).

13

Gambar. Hasil Laboratorium pada sirosis hepatis (Schuppan et al, 2008)

Gambar. Tes diagnostik (laboratorium) sirosis hepatis berdasarkan kausanya (Schuppan


et al, 2008)
Pemeriksaan Radiologis
14

Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi adanya
hipertensi porta. Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin digunakan karena
pemeriksaannya non invasif dan mudah digunakan, namun sensitivitasnya kurang.
Pemeriksaan hati yang bisa dinilai dengan USG meliputi sudut hati, permukaan hati,
ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan nodular,
permukaan irregular, ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga
bisa untuk melihat asites, splenomegali, trombosis vena porta dan pelebaran vena porta,
serta skrining adanya karsinoma hati pada pasien sirosis (Nurdjanah, 2009).
Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan USG, tidak rutin digunakan karena
biayanya relative mahal (Nurdjanah, 2009).
Magnetic resonance imaging (MRI), peranannya tidak jelas dalam mendiagnosis sirosis
selain mahal biayanya (Nurdjanah, 2009).

Gambar. Pemeriksaan radiologis sirosis hepatis (Schuppan et al, 2008)


Biopsi Hati
Biopsi hati (Gold Standard) adalah satu-satunya metode yang pasti untuk
mengkonfirmasikan diagnosis sirosis. Hal ini juga membantu menentukan penyebabnya,
kemungkinan pengobatan, tingkat kerusakan, dan prospek jangka panjang. Biopsi dapat
dilakukan dengan berbagai pendekatan, termasuk (Simon.H, 2008):
Biopsi hati perkutan
Pendekatan ini menggunakan jarum yang dimasukkan melalui perut untuk
mendapatkan sampel jaringan dari hati. Berbagai bentuk jarum yang digunakan,
termasuk yang menggunakan suction atau yang memotong jaringan. Jika sirosis
dicurigai, jarum yang memotong adalah alat yang lebih baik. Pendekatan ini
tidak boleh digunakan pada pasien dengan masalah pendarahan, dan harus

digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan asites atau obesitas kronik.
Biopsi hati transjugular

15

Pendekatan ini menggunakan kateter (tabung tipis) yang dimasukkan dalam vena
jugularis pada leher dan berulir melalui vena hepatik (yang mengarah ke hati).
Sebatang jarum dilewatkan melalui tabung, dan alat suction mengumpulkan
sampel hati. Prosedur ini berisiko tetapi dapat digunakan untuk pasien dengan

asites berat.
Laparoskopi
Prosedur ini memerlukan sayatan perut kecil di mana dokter memasukkan
tabung tipis yang berisi instrumen bedah kecil dan kamera kecil untuk melihat
permukaan hati. Ini umumnya dicadangkan untuk menentukan tingkat kanker
atau untuk asites dengan penyebab yang tidak diketahui.

Pemeriksaan Histopatologi
Temuan yang dijumpai antaranya adalah (i) ekstensif fibrosis dan nodul regeneratif, (ii)
infiltrasi limfosit periportal yang menunjukkan sirosis akibat HCV, (iii) Mallory bodies,
infiltrasi leukosit polimorfonuklear, dan steatosis yang menunjukkan sirosis akibat
alkohol dan / atau nonalcoholic steatohepatitis (NASH), (iv) keterlibatan bilier yang
menunjukkan sirosis bilier primer (PBS), (v) deposisi besi secara masif yang
menunjukkan hemokromatosis. (Bataller R dan Gins P, 2006)

16

DAFTAR PUSTAKA
1. Simon H, MD, 2008, Cirrhosis, University of Maryland Medical System, 22 S.
Greene Street, Baltimore, MD 21201,
(http://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_cirrhosis_000075_5.htm#ixzz
1wyjNRv2E) [last accessed on 5th June 2012]
2. Zhou WC, Zhang QB, Qiao L, 2014. Pathogenesis of liver cirrhosis, World J
Gastroenterol., 20(23): 7312-7324
3. Schuppan D, Afdhal NH, 2008. Liver cirrhosis, Lancet, 371: 838851
4. Tsochatzis EA, Bosch J, Burroughs AK, 2014. Liver cirrhosis, Lancet, 1-13
5. Heidelbaugh JJ, dan Bruderly M, 2006, Cirrhosis and Chronic Liver Failure: Part I.
Diagnosis and Evaluation, American Family Physician, Volume 74, Number 5 : 75662
6. Mendes F dan Lindor K, 2011, Cirrhosis, (http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/278.html) [last accessed on 5th June 2012]
7. Bataller
R
dan
Gins
P,
2006,
Cirrhosis
of

the

Liver,

(http://www.acpmedicine.com/bcdecker/newrxdx/rxdx/dxrx0409.htm) [last accessed


on 5th June 2012]
8. Hardison JE, 1990 dalam Walker HK, Hall WD, Hurst JW, Auscultation of the Liver
dalam Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations. 3rd
edition. Boston: Butterworths; Chapter 95 : 482-83
9. Nurdjanah, S., 2009. Sirosis Hati. In Sudoyo, A.W. et al., ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing, 668 673
10. Vedamurthy.,M, Vedamurthy.,A, 2008, Spider Nevi: A presenting feature of chronic
liver disease, Indian J Dermato Venereol Leprol, Vol 71 (4), July-August 2008: 397398
11. Nguyen, T.T., and Lingappa, V.R., 2006. Liver Disease. In Folotin, J. et al., ed.
Pathophysiology of Disease An Introduction to Clinical Medicine. 5th ed. United
States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc, 389 429

17

Anda mungkin juga menyukai