OPIOID
SEJARAH
Sejak ribuan tahun yang lalu opioid telah digunakan untuk mengatasi nyeri.
Zat opium didapatkan dari bibit pohon Papaver somniverum, dan kata opium sendiri
berasal dari kata opos, yang dalam bahasa Jerman artinya juice. Opium terdiri lebih
dari 20 alkaloid. Pada tahun 1806, Sertuener, sorang ahli farmasi telah mengisolasi
suatu zat yang disebut sopofiric principle yang terkandung di dalam opium,
kemudian pada tahun 1817, zat itu diberi nama morfin, berasal dari nama dewa
Morpheus. Penelitian-penelitian untuk mengisolasi alkaloid opium lainnya terus
dilakukan, sehingga sejak pertengahan tahun 1800, penggunaan alkaloid opium lebih
banyak digunakan di dalam bidang medis, dibandingkan dengan penggunaan opium
langsung. Pada tahun 1828, Bally mempublikasikan penggunaan morfin pada hampir
800 pasien. Observasi yang dilakukan menjelaskan tentang indikasi terapi morfin
oral, efek samping, dosis, toleransi terhadap morfin, serta potential abuse. Morfin
telah digunakan secara luas untuk menangani tentara yang terluka saat perang
masyarakat Amerika. Pada tahun 1869, Claude Bernard menggunakan morfin
sebagai obat premedikasi. Akan tetapi penggunaan opioid jika tanpa obat pelumpuh
otot, dan kontrol terhadap ventilasi, dapat menyebabkan resiko depresi pernapasan
parah dan kematian, karena itu penggunaannya untuk anestesi masih sangat terbatas
(Barash et al, 2001 )
Seiring dengan perkembangan bedah jantung pada tahun 1950, berkembang
pula opioid asnesthesia. Satu dekade kemudian, Lowenstein melaporkan
penggunaan morfin dalam dosis besar (0,5 3 mg/kgBB) yang progresif tanpa
menyebabkan efek samping terhadap sirkulasi, tapi dua tahun kemudian dijelaskan
tentang keterbatasan teknik tersebut, termasuk penekanan terhadap respon stress
yang tidak lengkap, hipotensi, dan bangun kembali saat dalam anestesi. Menurut
Stanley, morfin dalam dosis tinggi dihubungkan dengan adanya kejadian peningkatan
kebutuhan cairan dan darah (Barash et al, 2001; Morgan et al, 2006).
Phenoperidine adalah derivat dari normeperidine, pada tahun 1957 telah
dibuat bentuk sintetisnya, sedangkan derivat fentanyl, yaitu 4-anilinoperidine baru
dibuat sintetiknya pada tahun 1960. Opiod sintetik ini memiliki efek yang lebih poten
dan memiliki safety margin yang lebih baik dibandingkan meperidine. Kemajuan
teknik bedah menimbulkan meningkatnya kebututuhan opioid yang memiliki efek
lebih poten, dengan onset cepat, lama masa kerja yang dapat diramalkan, serta
memiliki safety margin yang maksimal. Antara tahun 1974 dan 1976, sefentanyl,
alfentanyl, dan derivat fentanyl lainnya banyak digunakan. Bentuk opioid poten yang
terbaru, remifentanyl memiliki durasi ultrashort, dan dimetabolisme dengan cepat.
Hal itu menyebabkan keamanan penggunaan opioid yang lebih baik (Barash et al,
2001 ).
JENIS JENIS OPIOID
Secara umum opioid dibagi menjadi 3 macam yaitu: opioid alami, semi sintetik dan
sintetik. Untuk Lebih jelasnya dapat dibagi seperti di bawah ini.
Opioid Alami
Morphine
Codeine
Papaverine
Thebaine
Opioid semisintetik
Heroin
Dihydromorphone/morphinone
Thebaine derivatives (e.g., etorphine, buprenorphine)
Opioid sintetik
Morphinan series (e.g., levorphanol, butorphanol)
Diphenylpropylamine series (e.g., methadone)
Benzomorphan series (e.g., pentazocine)
Glukoronid juga
mekanisme yang mempunyai beraksi langsung pada saraf yaitu: (1) opioid menutup
canel Ca pada terminal saraf presynaptik sehingga dapat mengurangi pengeluaran
transmitter (seperti glutamat asetilkolin, norepinefrin, dopamin, serotonin dan
substansi P) (2) opioid memperlihatkan efek hiperpolarisasi yang akan menghambat
neuron postsinaptik dengan membuka canel K (Barash et al, 2001)
Sebagai contoh reseptor opioid berpasangan dengan jalur kalium, aktivasi
pada reseptor akan menyebabkan peningkatan aliran kalium, yang akan menghambat
pelepasan neurotransmitter dan hiperpolarisasi dari membran sel. Reseptor juga
meningkatkan aliran dari kalium dengan cara yang sama, akan tetapi juga
mempunyai efek terhadap voltage dari aliran kalsium. Reseptor
tampaknya
Efek analgesik dari opioid adalah hasil dari terbentuknya interaksi kompleks
pada tempat-tempat seperti otak, medula spinalis, jarngan perifer. Pada tingkat
medula spinalis, opioid telah diperlihatkan menghambat pembebasan transmitter
eksitatory pada aferen primer. Beberapa tempat pengikatan opioid di otak
berhubungan dengan modulasi nyeri jaras descenden termasuk nukleus rafe magnus
dalam rostal ventral medulla dan lokus ceruleus batang otak, area periaqueductal
gray otak, dan beberapa nukleus hipotalamus dan talamus. Dengan adanya opioid
opioid pada tempat tempat rostal ventral medulla dan area periaqueductal gray akan
menghambat tranmisi saraf nyeri. Oleh karena itu , ikatan opioid pada tempat tempat
supraspinal ini sangat memperbesar efek opioid pada tingkat spinal untuk
menurunkan trnamisi nosiseptif dan meningkatkan ambang nyeri (katzung et al,
2002).
Tempat tempat di otak yang terlibat dalam perubahan reaktifasi nyeri kurang
dapat diidentifikasi dengan baik dibandingkan dengan trnamisi nyeri itu sendiri. Ada
hipotesa bahwa perubahan reaktifasi terhadap nyeri ini melibatkan sistem limbik,
termasuk kortek bagian antero temporal dan korteks bagian frontal orbital maupun
bagian hipotalamus dan amigdala, karena opioid mengurangi rasa takut dan anxietas
serta dapat menimbulkan euforia. Yang mendukung hipotesa ini adalah adanya fakta
bahwa beberapa struktur limbik mempunyai densitas yang tinggi dari tempat tempat
ikatan opioid (katzung et al, 2002).
Efek yang ditimbulkan OPIOID
Analgesia
Opioid dapat memberikan efek analgesia yang baik. Efek analgesianya lebih
efektif terhadap nyeri visceral yang sifatnya konstan dan tumpul, dibanding nyeri
yang sifatnya intermitten dan tajam. Sayangnya, semakin baik efeknya dalam
mengatasi nyeri semakin berat pula timbulnya depresi pernapasan. Pasien seringkali
mengatakan bahwa mereka masih merasakan nyeri, tapi tidak menyakitkan lagi. Para
ahli anestesi sudah sejak lama mengetahui bahwa begitu nyeri telah timbul
membutuhkan opioid yang dalam jumlah yang jauh lebih banyak untuk
mengatasinya, dibanding jika diberikan sebelum nyeri timbul. Penelitian tentang hal
ini adalah merupakan dasar untuk analgesia pre emptive. Besarnya dosis efektif
bervariasi dari pasien yang satu dengan pasien lainnya, dan bahkan dapat sebesar 4
kali lipat dari dosis yang biasanya diberikan pada pasien-pasien kelompok umur
dalam penelitian. Bervariasinya besar dosis pemberian tersebut, dalam sebagian
kasus, lebih menonjolkan efek euforiknya dibanding efek penekan rasa nyeri.
Depresi pernapasan
Opioid mengurangi rangsangan untuk bernapas. Pasien dapat mengalami
hipoventilasi, dan memperlambat pernapasan rata-rata 8 kali permenit atau kurang.
Dalam ruangan penyembuhan sebagian besar pasien, meskipun dapat dirangsang,
seperti lupa bernapas, namun, mereka dapat melakukan pernapasan yang dalam jika
diminta. Fenomena ini disebut Ondines Curse. Dengan memotivasi pasien untuk
melakukan pernapasan yang banyak, pada akhirnya seringkali pasien akan dapat
mulai bernapas secara spontan dalam waktu beberapa menit. Untuk sementara waktu
anda harus selalu mengingatkannya setiap kali bernapas.
Depresi pernapasan seringkali timbul pada kelompok pasien : Orang tua,
neonatus,
jantung, diabetes,
obesitas,
asma,
10
11
Gangguan-gangguan lainnya
Opioid dapat menimbulkan berbagai masalah lain termasuk konstipasi,
konstriksi pupil, spasme biliary, spasme sphincter Oddi, serta bronkokonstriksi.
Respon alergik juga dapat timbul, tapi tidak selalu. Pelepasan histamin timbul pada
pemberian morfin intravena, dan juga pada pemberian pethidine namun tidak sehebat
pada pemberian morfin i.v. Secara teori pemberian morfin pada pasien asma
sebaiknya dihindari, namun dalam prakteknya, tampaknya tidak menimbulkan
masalah. Beberapa pasien alergi terhadap opioid, dan yang lainnya memberikan
respon idiosinkrasi seperti kekaburan penglihatan dan pusing atau perasaan beputarputar (Hatfield et al, 1996).
APLIKASI KLINIS OPIOID
Analgesia
Opioid merupakan agen yang sering digunakan untuk meredakan nyeri saat
pasien dianaestesi, baik general maupun regional anestesia. Penggunaan opioid
tunggal secara intravena dapat mengurangi nyeri secara signifikan. Morfin
mempunyai onset yang lambat tapi duarsi obat yang cukup lama. Meperidin (50 s/d
100 mg I.V) mengurangi nyeri yang ringan sedang dan tidak selalu efektif untuk
pasien dengan nyeri yang berat. Penggunaan fentanil intravena (1 sampai 3 g/kg)
dapat menghilangkan nyeri yang bagus tapi berdurasi pendek. Pengurangan nyeri
postoperatif menggunakan opioid sering digunakan dengan cara edpidural fentanil
ataupun bupivakain.
12
nyeri
pada
pasien
pasien
dengan
keganasan/cancer
Sedasi
Pasien pasien yang kritis di ICU sering mengalami kecemasan dan agitasi
saat terngasang nyeri ataupun stress yang lain. Oleh karena itu pasien pasien di ICU
secara umum memerlukan kombinasi analgesia dan sedasi untuk mengurangi tingkat
kecemasan pasien tersebut. Morfin merupakan agen yang paling sering digunakan
untuk analgesia intrvena pada psien pasien di ICU dengan dosis 0.75 g/kg/min.
Balanced Anesthesia
Pengertian dari balanced anesthesia mengacu pada keseimbangan agen
dan teknik yang digunakan untuk menghasilkan komponen komponen anestesia
(seperti: analgesia, amnesia, muscle relaxation, dan penghilangan reflek otonom
dengan hemodinamik yang stabil). Anestesia dengan agen tunggal dapat membuat
depressi hemodinamik yang berat. Sehingga diperlukan beberapa agen anestesia
untuk menghasilkan efek efek anestesia yang diinginkan dengan efek samping yang
minimal. Dalam komponen balanced anesthesia, opioid dapat mengurangi nyeri
preoperatif dan kecemasan, mengurangi respon otonom selama manipulasi airway,
hemodinamik
lebih
stabil
dan
mengurangi
penggunaan
agen
inhalasi.
13
hipnosis dan amnesia. Contohnya adalah kombinasi alfentanil dan propofol dapat
menghasilkan TIVA yang sangat baik. Alfentanil menghasilkan analgesia dan
hemodinamik yang stabil dengan respon nyeri yang nihil, di sisi lain prpofol
menghasilkan hypnosis , amnesia dan anti muntah. Sinergi dari opioid dan obatobatan anestesia lain juga sering digunakan dengan kombinasi lebih dari 2 macam
obat
seperti
kombinasi
propofol-alfentanil-midazolam.
Dimana
Induksinya
menggunakan Alfentanil (25 sampai 50 g/kg) dan propofol (0.5 sampai 1.5 mg/kg),
diikuti infus alfentanil dengan dosis 0.5 to 1.5 g/kg/min dan propofol dengan dosis
80 to 120 g/kg/min,akan menghasilkan pasien yang teranestesi dengan ventilasinya
hanya dengan udara dan oksigen.
Teknik anestesi dengan menggunakan TIVA, biasanya digunakan pada
operasi operasi yang singkat ataupun saat agen inhalasi kurang disepakati
penggunaanya. Dengan menjaga prinsip balanced anesthesia, penggunaan
kombinasi obat obatan anestesia, infusion pumm dan pemahaman yang bagus
mengenai faramakokinetik obat, Anestesolog dapat menghasilkan bervariasi teknik
TIVA. Berikut ini beberapa dosis obat dan infusion pump dalam menghasilkan TIVA
Anti shivering
Opioid
dalam
anaestesia
juga
dapat
mengurangi
treshold
dari
termoregulator. Tetapi, meperidine merupakan salah satu opioid yang unik di antara
opioid opiod yang lain. Hal ini karena meperidin mempunyai kemampuan yang baik
dan efektif dalam menghentikan shivering. Efek antishivering dari meperidine
mungkin berkaitan dengan kemampuannya untuk menurunkan shivering threshold
dan mediasi dari meperidine pada -receptor. Alfetanil, morphine, dan fentanyl tidak
dapat menghasilkan efek antishivering sebagus meperidin. Tramadol (0.5 mg/kg)
menghasilkan anti shivering post operatife sebagus meperidin (0.5 mg/kg),dengan
kejadian somnolence pada tramadol lebih rendah dibandingkan dengan meperidine
(Miller, 2005).
14
Daftar Pustaka
Barash , Paul et al. 2001. Clinical Anesthesia 4th edition. Lippincott Williams &
Wilkins Publishers
Hatfield, Andrea et al. 1996. The Complete Recovery Room Book Second Edition.
Oxford University Press
Katzung, Bertram et al. 2005. Basic And Clinical Paharmacology. Lippincott
Williams & Wilkins Publishers
Miller, Ronald. 2005. Miller's Anesthesia :Seventh Edition. Elsevier's Rights
Department
Morgan, Edward et al.2006. Clinical Anesthesiology 4th Edition. Appleton & Lange
McGraw-Hill Companies
Mycek, Jerzy. 2001. Pharmacology. Appleton & Lange McGraw-Hill Companies
15