ABSTRAK
Pengungkapan mutasi penyebab penyakit akibat mutasi mtDNA (mitochondrial cytopathies) serta ekspresi biokimia dan
manifestasi kliniknya akan meletakkan dasar-dasar pendekatan kelainan mitokondria, termasuk menentukan kriteria
untuk membedakan mutasi mtDNA penyebab penyakit dari polimorfisme nukleotida tunggal (SNP/single nucleotide
polymorphisms). Tujuan dari riset ini adalah menentukan varian genom manusia Indonesia pada daerah pengkode gen
melalui pendekatan kloning dan karakterisasi mtDNA, penentuan genotype mutasi tertentu sehingga dapat
melengkapi data varian mtDNA yang berkaitan penyakit maternal. Konsep penting mengenai heteroplasmi mtDNA
muncul dari hasil riset bahwa pada kasus-kasus CPEO ini, spesies mtDNA yang membawa delesi besar tersebut
bersama (co-exists) dengan mtDNA normal di dalam sel. Proporsi mtDNA termutasi relatif ke mtDNA normal
merupakan salah satu faktor yang menentukan ekspresi mutasi di jaringan manusia. Contoh lain mutasi penyebab
penyakit pada manusia adalah mutasi mtDNA penyebab LHON. Mutasi penyebab LHON pada gen penyandi subunit
ND4 kompleks respirasi I (G11778a, G3460a), yang merupakan cacat molekul mtDNA. Riset ini dimulai dengan
pengambilan sampel individu dengan kriteria yang diinginkan yang memenuhi kriteria eksklusi pasien mengalami
mutasi dan bersifat heteroplasmi. Hasil riset ini, kami laporkan bahwa variasi panjang rangkaian poli-C pada sampel
yang sama menunjukkan adanya subpopulasi mtDNA pada individu tertentu, yang juga dikenal sebagai
heteroplasmi. Fenomena ini diduga kuat merupakan penyebab tidak terbacanya sekuen daerah HVSI D-loop yang
memiliki poli-C melalui metode direct sequencing. Hal tersebut diduga terjadi karena adanya beberapa subpopulasi
yang berbeda dalam satu sampel, yang menyebabkan detektor sekuensing menerima dua sinyal fluoresens yang
berbeda pada posisi yang sama. Perbedaan sinyal ini terjadi karena pergeseran basa nukleotid mtDNA akibat
perbedaan panjang rangkaian poli-C. Dugaan ini telah membuka kesempatan untuk dilakukannya penelitian lebih
lanjut mengenai hubungan antara tidak terbacanya urutan daerah HVSI mtDNA yang mengandung urutan poli-C
melalui direct sequencing dengan variasi komposisi subpopulasi yang berbeda. Konsep ini penting dalam mempelajari
mutasi-mutasi mtDNA yang berhubungan dengan penyakit (disease-related mutations).
Kata kunci: Kloning, mtDNA, Heteroplasmi, Mutasi, Penyakit
I. PENDAHULUAN
Riset DNA mitokondria dan aplikasi-aplikasinya dalam
berbagai bidang penelitian telah memberikan banyak
manfaat. Salah satu tonggak penting yakni berhasilnya
penentuan urutan nukleotida mtDNA manusia secara
lengkap dengan ukuran 16.569 pasang basa (pb) yang
tersusun dalam bentuk lingkaran (sirkuler) dan urutan
revisinya [1-2]. Penemuan Anderson dan Andrews ini
berdasarkan konvensi, selanjutnya dijadikan standar dalam
berbagai studi genetika molekul terutama yang berkaitan
dengan polimorfisme mtDNA manusia. Organisasi mtDNA
KO-169
III.
yang
mengkode
-laktamase.
Enzim
ini
akan
-D-galactoside). Enzim
-galaktosidase,
KO-170
Gambar 1.
Peta Vektor pGEM-T. Vektor ini memiliki gen-gen yang penting untuk proses screening, diantaranya gen
resisten ampisilin (Ampr) dan gen lacZ yang mengkode -galaktosidase. Daerah pengontrol gen D-loop
DNA mitokondria manusia: HVSI mtDNA sepanjang 0,4 kb tersisipkan pada gen lacZ. (Promega).
Gambar 2.
Tabel 1.
KO-171
Standar rCRS pada posisi 16182-16193 memiliki urutan
yang terdiri atas dua A, sembilan C, dan satu T. Seperti telah
disebutkan di atas, mutasi T16189C menyebabkan
terbentuknya rangkaian poli-C sepanjang 10C. Pada sampel
Papua TLK, rangkaian ini diperpanjang menjadi 12C dengan
adanya mutasi A16182C dan A16183C (Tabel 2). Hasil
sekuensing klon lain pada penelitian terdahulu, Papua TLKa
menunjukkan adanya mutasi lain selain mutasi-mutasi
tersebut di atas, yaitu insersi berupa penyisipan tiga C pada
posisi antara 16182 dan 16193 menghasilkan rangkaian poliC dengan panjang 15C. Variasi panjang rangkaian poli-C
dua klon ini menunjukkan bahwa sampel Papua TLK
mengalami heteroplasmi. Perbandingan elektroforegram
setiap sampel Papua TLK dengan CRS ditunjukkan pada
Gambar 3.
Adanya subpopulasi DNA mitokondria pada individu
tertentu atau yang dikenal sebagai heteroplasmi seperti
ditunjukkan dua sampel yang dianalisis di duga kuat
merupakan penyebab tidak terbacanya urutan nukleotida
setelah rangkaian poli-C melalui direct sequencing. Campuran
subpopulasi yang berbeda diduga menyebabkan detektor
sekuensing menerima dua sinyal fluoresens yang juga
berbeda pada posisi yang sama. Perbedaan sinyal ini terjadi
karena pergeseran basa akibat perbedaan panjang rangkaian
poli-C tadi, seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Dua sinyal
fluoresens
yang
berbeda
akan
terdeteksi
pada
elektroforegram berupa pita yang tidak tajam, bertumpuk
dan intensitasnya sangat rendah. Kloning dapat mengatasi
masalah ini karena setiap klon yang disekuensing hanya
terdiri dari satu populasi DNA mitokondria tertentu saja.
DNA hasil rekombinan. Plasmid pGEM-T berukuran 3,0 kb yang telah membawa DNA sisipan berupa
daerah pengontrol gen mtDNA: HVSI berukuran 0,4 kb sehingga diperoleh DNA rekombinan berukuran 3,4
kb.
Perbandingan urutan sampel papua WMN terhadap rCRS dan antarklon. keempat klon Papua WMN memiliki
mutasi T16189C dan insersi pada posisi antara 16184 dan 16193 terhadap rCRS.
KO-172
16189
16190
16191
16192
16193
Insersi 1
Insersi 2
Insersi 3
16193
16188
16191
16187
16191
16186
16190
16185
16189
16184
16188
16183
A
C
C
A
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
T
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
X
X
C
X
X
C
X
X
C
Kedua klon Papua WMN memiliki mutasi A16182C, A16183C, dan T16189C. Papua TLKa memiliki insersi 3C
pada posisi antara 16182 dan 16193 sedangkan Papua TLK 1 tidak sehingga terdapat panjang poli-C yang berbeda
menjadi masing-masing15C dan 12C
Adanya subpopulasi pada sampel Papua WMN dikenal dengan
heteroplasmi. Mutasi terhadap CRS ditunjukkan dengan warna merah.
2A+9C+T
rCRS
Gambar 3.
16187
Insersi 2
Catatan:
16182
CRS
WMN 1
WMN a
16186
X
X
X
X
C
16185
rCRS
C
C
C
C
C
T
C
C
C
C
X
Papua 08001 1
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
Papua 08001 2
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
Papua 08001 a
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
Papua 08001 3
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
Tabel 2.
Perbandingan Urutan Sampel Papua TLK Terhadap CRS dan Terhadap Antarklon.
16184
Insersi 1
12C
Papua TLK 1
15C
Papua TLK a
Rangkaian poli-C setiap klon sampel papua TLK. Perbandingan setiap klon Papua TLK terhadap CRS
menunjukkan adanya mutasi A16182C, A16183C, dan T16189C. Panjang rangkaian poli-C Papua TLK 1 dan
Papua TLKa berbeda, masing-masing 12C dan 15C, karena pada Papua TLKa terdapat insersi 3C pada posisi
antara 16182 dan 16193. Catatan: Ins. adalah singkatan untuk insersi.
Papua WMN 1, 2, a
AAAACCCCCCCCCCCATGCTTACAAG
AAAACCCCCCCCCCCATGCTTACAAG
Papua WMN 3
AAAACCCCCCCCCCCCATGCTTACAA
Papua TLK a
AACCCCCCCCCCCCCCCATGCTTACA
Papua TLK 1
AACCCCCCCCCCCCATGCTTACAAGC
Gambar 4.
Heteroplasmi Berupa Variasi Panjang Rangkaian Poli-C Sampel Papua WMN (A) dan Papua TLK (B). Adanya
heteroplasmi menyebabkan detektor sekuensing menerima dua sinyal fluoresens yang berbeda pada posisi
yang sama (daerah berwarna biru pada gambar) sehingga urutan setelah poli-C tidak dapat lagi ditentukan
melalui direct sequencing.
KO-173
IV.KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
variasi panjang rangkaian poli-C pada sampel yang sama
menunjukkan adanya subpopulasi mtDNA pada individu
tertentu, yang juga dikenal sebagai heteroplasmi. Fenomena
ini diduga kuat merupakan penyebab tidak terbacanya
sekuen daerah HVSI D-loop yang memiliki poli-C melalui
metode direct sequencing. Hal tersebut diduga terjadi karena
adanya beberapa subpopulasi yang berbeda dalam satu
sampel, yang menyebabkan detektor sekuensing menerima
dua sinyal fluoresens yang berbeda pada posisi yang sama.
Perbedaan sinyal ini terjadi karena pergeseran basa
nukleotid mtDNA akibat perbedaan panjang rangkaian poliC tadi. Dugaan ini telah membuka kesempatan untuk
dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai hubungan
antara tidak terbacanya urutan daerah HVSI mtDNA yang
mengandung poli-C melalui direct sequencing dengan variasi
komposisi subpopulasi yang berbeda. Konsep ini penting
dalam mempelajari mutasi mtDNA yang berhubungan
dengan penyakit (disease-related mutations).
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[13]
[14]
KO-174
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]