Anda di halaman 1dari 7

KO-168

0196: Yohanis Ngili dkk.

ANALISIS DNA MITOKONDRIA MANUSIA MELALUI KARAKTERISASI


HETEROPLASMI
PADA DAERAH PENGONTROL GEN
1)

Yohanis Ngili,1,*) Hendrikus M.B.Bolly,2) dan Richardo Ubyaan3)


Jurusan Kimia, Faklutas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Cenderawasih
Jl. Kamp Wolker Kampus Baru Waena, Jayapura, Papua
Telp/Fax. 0967-572115, e-Mail: joe_ngili@yahoo.com
2) Bagian Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Cenderawasih
3) Program Studi Kimia, FKIP, Universitas Cenderawasih
Disajikan 29-30 Nop 2012

ABSTRAK
Pengungkapan mutasi penyebab penyakit akibat mutasi mtDNA (mitochondrial cytopathies) serta ekspresi biokimia dan
manifestasi kliniknya akan meletakkan dasar-dasar pendekatan kelainan mitokondria, termasuk menentukan kriteria
untuk membedakan mutasi mtDNA penyebab penyakit dari polimorfisme nukleotida tunggal (SNP/single nucleotide
polymorphisms). Tujuan dari riset ini adalah menentukan varian genom manusia Indonesia pada daerah pengkode gen
melalui pendekatan kloning dan karakterisasi mtDNA, penentuan genotype mutasi tertentu sehingga dapat
melengkapi data varian mtDNA yang berkaitan penyakit maternal. Konsep penting mengenai heteroplasmi mtDNA
muncul dari hasil riset bahwa pada kasus-kasus CPEO ini, spesies mtDNA yang membawa delesi besar tersebut
bersama (co-exists) dengan mtDNA normal di dalam sel. Proporsi mtDNA termutasi relatif ke mtDNA normal
merupakan salah satu faktor yang menentukan ekspresi mutasi di jaringan manusia. Contoh lain mutasi penyebab
penyakit pada manusia adalah mutasi mtDNA penyebab LHON. Mutasi penyebab LHON pada gen penyandi subunit
ND4 kompleks respirasi I (G11778a, G3460a), yang merupakan cacat molekul mtDNA. Riset ini dimulai dengan
pengambilan sampel individu dengan kriteria yang diinginkan yang memenuhi kriteria eksklusi pasien mengalami
mutasi dan bersifat heteroplasmi. Hasil riset ini, kami laporkan bahwa variasi panjang rangkaian poli-C pada sampel
yang sama menunjukkan adanya subpopulasi mtDNA pada individu tertentu, yang juga dikenal sebagai
heteroplasmi. Fenomena ini diduga kuat merupakan penyebab tidak terbacanya sekuen daerah HVSI D-loop yang
memiliki poli-C melalui metode direct sequencing. Hal tersebut diduga terjadi karena adanya beberapa subpopulasi
yang berbeda dalam satu sampel, yang menyebabkan detektor sekuensing menerima dua sinyal fluoresens yang
berbeda pada posisi yang sama. Perbedaan sinyal ini terjadi karena pergeseran basa nukleotid mtDNA akibat
perbedaan panjang rangkaian poli-C. Dugaan ini telah membuka kesempatan untuk dilakukannya penelitian lebih
lanjut mengenai hubungan antara tidak terbacanya urutan daerah HVSI mtDNA yang mengandung urutan poli-C
melalui direct sequencing dengan variasi komposisi subpopulasi yang berbeda. Konsep ini penting dalam mempelajari
mutasi-mutasi mtDNA yang berhubungan dengan penyakit (disease-related mutations).
Kata kunci: Kloning, mtDNA, Heteroplasmi, Mutasi, Penyakit

I. PENDAHULUAN
Riset DNA mitokondria dan aplikasi-aplikasinya dalam
berbagai bidang penelitian telah memberikan banyak
manfaat. Salah satu tonggak penting yakni berhasilnya
penentuan urutan nukleotida mtDNA manusia secara
lengkap dengan ukuran 16.569 pasang basa (pb) yang
tersusun dalam bentuk lingkaran (sirkuler) dan urutan
revisinya [1-2]. Penemuan Anderson dan Andrews ini
berdasarkan konvensi, selanjutnya dijadikan standar dalam
berbagai studi genetika molekul terutama yang berkaitan
dengan polimorfisme mtDNA manusia. Organisasi mtDNA

manusia terdiri atas gen-gen penyandi rRNA 12S dan 16S, 22


tRNA, dan 13 protein sub unit kompleks enzim rantai
respirasi. MtDNA juga memiliki urutan nukleotida non
penyandi (non-coding region) yang disebut dengan daerah
Displacement-loop (D-loop) [3-4].
Mitokondria memiliki genomnya sendiri yang
berbeda dengan genom inti yang terdapat pada matriksnya,
yang dikenal sebagai DNA mitokondria [5-6]. MtDNA
berbentuk sirkuler dan memiliki untai ganda yang terdiri
atas untai Heavy (H) dan untai Light (L). Penamaan ini
didasarkan pada perbedaan densitas tiap untai dalam

KO-169

0196: Yohanis Ngili dkk.


gradien denaturan cessium chloride (CsCl), di mana untai H
memiliki berat molekul yang lebih besar dibandingkan
dengan untai L karena untai H memiliki lebih banyak basabasa purin yang memiliki dua buah cincin pada strukturnya.
Untai L memiliki komposisi basa sebagai berikut T 24,7%, C
31,2%, A 30,9%, dan G 13,2%. Dapat dilihat bahwa
komposisi basa purin (A+G) lebih kecil (44,1%)
dibandingkan dengan basa pirimidin (T+C), yaitu 55,9% [78].
MtDNA tidak memiliki intron dan semua gen pengode
terletak berdampingan [1,9]. Selain gen pengode tadi, DNA
mitokondria memiliki daerah yang tidak mengkode, mulai
dari nukleotida 16024 sampai 576 dan terletak di antara gen
tRNApro dan tRNAphe. Daerah yang tidak mengode ini
mengandung daerah dengan variasi tinggi yang disebut
dengan displacement loop (D-loop) [10]. D-loop memiliki dua
daerah yang sangat bervariasi, yaitu HVS I pada nukleotida
16024-16383 dan HVS II pada nukleotida 57-372. Selain Dloop, daerah yang tidak mengode juga mengandung origin of
replication untuk untai H (OH) dan promoter untuk untai H
dan L (PL dan PH), oleh karena itu sering disebut daerah
pengontrol (control region). Selain mengandung daerah
dengan variasi tinggi, daerah yang tidak mengode juga
memiliki tiga daerah yang lestari, yang disebut dengan
Conserved Sequence Block (CSB) I, II, dan III. Daerah yang
lestari ini diduga memegang peranan penting dalam
replikasi mtDNA [11-12].

II. METODE PENELITIAN


Strategi pelaksanaan riset untuk mendapatkan data
primer/data laboratorium urutan nukleotida terbagi dalam
tiga tahapan pelaksanaan utama yakni Isolasi dan PCR
dengan metode repli-G, kloning dan rekombinasi mtDNA,
dan sekuensing serta analisis mutasi nukleotida pada sampel
manusia serta menemukan-pengujian mutasi penyebab
penyakit.
Pengolahan data sekunder mtDNA terdiri dari sejumlah
tahapan proses penyusunan dan penjajaran (alignment) basis
data variasi nukleotida pada daerah polimorfik mtDNA
manusia serta diakhiri dengan analisis variasi nukleotida
berdasarkan basis data yang disusun berdasarkan mutasi
mtDNA penyebab penyakit. Tahapan pengolahan data
sekunder adalah meliputi: pengumpulan data mtDNA
manusia dari GenBank dan konsorsium penyedia data
nukleotida lengkap seperti EMBL dan DDBJ; penentuan
variasi nukleotida terhadap CRS maupun rCRS; penyusunan
basis data variasi nukleotida, pembuatan matriks variasi
nukleotida mtDNA penyebab penyakit, penjajaran data
variasi nukleotida terhadap CRS; dan analisis variasi mutasi

nukleotida mtDNA manusia dari Indonesia


dikomparasi dengan data mutasi pada mitomap.

III.

yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyebab ketidakberhasilan penentuan urutan daerah


HVSI mtDNA manusia yang mengandung poli-C malalui
direct sequencing dan keberhasilan sekuensing setelah kloning
diduga terjadi karena adanya fenomena heteroplasmi. Pada
bagian ini akan disajikan hasil dan pembahasan untuk
menguji hipotesis tersebut dalam empat bagian besar yang
meliputi (1) Screening klon rekombinan (2) Isolasi DNA
plasmid, (3) Sekuensing DNA plasmid dan (4) Analisis
urutan secara in-silico daerah HVI dan HV2 DNA
mitokondria manusia.
A. Screening klon rekombinan
Tahapan screening ini dilakukan untuk melihat apakah
klon-klon dari dua sampel individu berbeda, yang disimpan
dalam stok gliserol mengandung plasmid yang membawa
DNA sisipan daerah HVSI mtDNA sepanjang 0,4 kb. Vektor
plasmid yang digunakan adalah pGEM-T (Gambar 1).
Vektor pGEM-T memiliki beberapa gen yang penting untuk
proses screening, di antaranya gen resisten ampisilin (Ampr)
yang

mengkode

-laktamase.

Enzim

ini

akan

mendegradasi ampisilin sehingga bakteri yang membawa


plasmid pGEM-T dapat tumbuh pada media yang
mengandung ampisilin. Gen penting lainnya adalah gen lacZ
yang mengkode

-galaktosidase. Gen lacZ ini diinduksi

oleh senyawa IPTG (isopropylthio-

-D-galactoside). Enzim

-galaktosidase dapat bereaksi dengan X-gal (5-bromo-4-

chloro-3-indolyl- -D-galactoside), yaitu suatu senyawa tidak


berwarna, menghasilkan produk 5-bromo-4-kloroindigo
yang berwarna biru, sehingga jika bakteri pembawa plasmid
ditumbuhkan pada media mengandung IPTG dan X-gal
akan terbentuk koloni berwarna biru. Penyisipan daerah Dloop: HVSI mtDNA manusia sepanjang 0,4 kb pada gen lacZ
menyebabkan tidak terekspresikannya

-galaktosidase,

sehingga bakteri yang ditumbuhkan pada media


mengandung IPTG dan X-gal akan membentuk koloni
berwarna putih dan bukan biru.
Atas dasar ini, setiap klon sampel ditumbuhkan pada
media LBA yang mengandung IPTG dan X-gal. Sepuluh
klon sampel Papua WMN dan satu klon sampel Papua TLK
membentuk koloni berwarna putih, sementara satu klon
sampel Papua TLK lainnya membentuk koloni berwarna
biru.

KO-170

Gambar 1.

0196: Yohanis Ngili dkk.

Peta Vektor pGEM-T. Vektor ini memiliki gen-gen yang penting untuk proses screening, diantaranya gen
resisten ampisilin (Ampr) dan gen lacZ yang mengkode -galaktosidase. Daerah pengontrol gen D-loop
DNA mitokondria manusia: HVSI mtDNA sepanjang 0,4 kb tersisipkan pada gen lacZ. (Promega).

B. Isolasi DNA plasmid


Teknik isolasi DNA plasmid dilakukan menggunakan
metode Maniatis termodifikasi untuk melihat apakah koloni
putih membawa DNA sisipan yang tepat atau tidak pada
sampel Papua. Untuk itu, sel bakteri dilisis terlebih dahulu
menggunakan larutan pelisis sel. Lisozim yang terkandung
dalam larutan tersebut akan menghancurkan dinding sel
bakteri. SDS (sodium dodecyl sulphate) akan melarutkan
membran sel dan mendenaturasi protein. Adanya NaOH
dalam larutan pelisis sel membantu mendenaturasi protein
dan menyebabkan dua untai pada DNA non-supercoiled
(fragmen linear DNA kromosom) terpisah dan dapat
dihilangkan dari larutan. Larutan III yang ditambahkan
selanjutnya mengandung CH3COOH yang akan menetralisir
kondisi alkali karena NaOH dan K+ menyebabkan SDS, yang
berasosiasi dengan protein dan fragmen membran,
mengendap. Sentrifugasi akan menghilangkan komponenkomponen sel sehingga dapat diperoleh DNA plasmid.
Berhasil atau tidaknya isolasi plasmid yang dilakukan
dapat diketahui melalui analisis menggunakan elektroforesis
gel agarosa 1% (b/v) dengan penanda /HindIII.
Hasil isolasi plasmid menghasilkan beberapa pita
pada gel elektroforesis.
Munculnya beberapa pita
menandakan isolasi plasmid berhasil dilakukan karena pitapita tersebut mewakili beberapa konformasi plasmid yang
mobilitasnya pada gel agarosa berbeda-beda. Konformasi
tersebut adalah superhelical circular, nicked circular, dan linear.
Plasmid dengan konformasi superhelical circular memiliki
mobilitas paling tinggi karena bentuknya yang kecil dan
compact, diikuti oleh plamid dengan konformasi linear, dan
yang mobilitasnya paling rendah adalah plasmid dengan

konformasi nicked circular. Plasmid hasil isolasi ini tidak


dapat ditentukan ukurannya melalui perbandingan dengan
penanda /HindIII karena bentuknya yang masih sirkuler.
Supaya dapat ditentukan ukurannya, plasmid dilinearkan
terlebih dahulu dengan cara dipotong oleh enzim restriksi
PstI. Enzim PstI mengenali urutan CTGCA/G yang terdapat
pada vektor pGEM dan tidak pada fragmen 0,4 kb daerah
Pengontrol Gen: HVSI mtDNA. Hasil pemotongan dianalisis
dengan elektroforesis gel agarosa 1% (b/v) menggunakan
penanda /HindIII.
Setelah dipotong dengan enzim PstI, diperoleh satu
pita pada gel elektroforesis. Hal ini menunjukkan bahwa
restriksi berhasil dilakukan. Pita yang diperoleh terletak di
antara pita 4 dan 5 penanda /HindIII yang berukuran 4364
dan 2322 pb. Pita plasmid sampel Papua WMN 2 dan 3
sejajar dengan Papua WMN 1, yang merupakan sampel yang
sudah diketahui membawa DNA sisipan daerah HVSI
mtDNA sepanjang 0,4 kb, sehingga dapat diketahui bahwa
ukuran Papua WMN 2 dan 3 adalah sama dengan Papua
WMN 1 yaitu 3,4 kb.
C. Sekuensing DNA Plasmid
Plasmid yang telah diyakini membawa DNA sisipan
berupa daerah HVSI DNA mitokondria sepanjang 0,4 kb
pada daerah HV1 kemudian ditentukan urutannya dengan
metode Dideoksi Sanger. Plasmid pGEM-T telah dilengkapi
sisi pengenalan primer universal T7 forward dan SP6 reverse
(Gambar 1). Reaksi sekuensing dilakukan oleh Macrogen
menggunakan primer SP6 reverse berukuran 18 nukleotida
dengan urutan 5-ATTTAGGTGACACTATAG-3 (Gambar

0196: Yohanis Ngili dkk.


2). Prinsip reaksi sekuensing dengan metode Dideoksi
Sanger adalah penghentian/terminasi DNA polimerase
dengan penambahan dideoksinukleotida trifosfat (ddNTP)
yang kehilangan gugus hidroksi pada karbon 3 dari gula
ribosa. Hilangnya gugus hidroksi ini menyebabkan DNA
polimerase tidak dapat membentuk ikatan fosfodiester
antara dNTP sebelumnya dengan ddNTP sehingga
perpanjangan rantai DNA oleh DNA polimerase terhenti
(Sanger et al., 1977).
D. Analisis urutan daerah HVSI pengontrol gen mtDNA
Pada posisi antara 16184-16193, standar rCRS memiliki
urutan yang terdiri atas sembilan C dan satu T. Mutasi
substitusi T menjadi C pada posisi 16189 telah banyak
dijumpai dan dapat membagi populasi menjadi dua bagian,
yaitu 83% dan 17%, masing-masing untuk populasi T dan C.
Mutasi ini juga menyebabkan terbentuknya rangkaian poli-C
sepanjang 10C. Hasil perbandingan urutan setiap klon
sampel Papua WMN (Papua WMN 1, 2, dan 3) terhadap CRS
menunjukkan adanya mutasi T16189C ini. Adanya insersi
satu C pada posisi antara 16184 dan 16193 untuk klon Papua
WMN 1/2 serta insersi dua C pada posisi yang sama untuk
klon Papua WMN 3 memperpanjang rangkaian poli-C yang
terbentuk menjadi 11C dan 12C untuk masing-masingnya.
Perbandingan urutan sampel Papua WMN dengan CRS
ditunjukkan pada Tabel 1 berikut. Hasil sekuensing klon
yang berbeda yang dilakukan pada penelitian terdahulu,
Papua WMNa juga menunjukkan adanya insersi satu C pada
posisi antara 16184 dan 16193. Hasil perbandingan urutan
antara klon-klon ini menunjukkan adanya heteroplasmi
berupa variasi panjang rangkaian poli-C, yaitu 11C untuk
klon Papua WMN 1/2,a dan 12C untuk klon Papua WMN 3
(Tabel 1).

Gambar 2.

Tabel 1.

KO-171
Standar rCRS pada posisi 16182-16193 memiliki urutan
yang terdiri atas dua A, sembilan C, dan satu T. Seperti telah
disebutkan di atas, mutasi T16189C menyebabkan
terbentuknya rangkaian poli-C sepanjang 10C. Pada sampel
Papua TLK, rangkaian ini diperpanjang menjadi 12C dengan
adanya mutasi A16182C dan A16183C (Tabel 2). Hasil
sekuensing klon lain pada penelitian terdahulu, Papua TLKa
menunjukkan adanya mutasi lain selain mutasi-mutasi
tersebut di atas, yaitu insersi berupa penyisipan tiga C pada
posisi antara 16182 dan 16193 menghasilkan rangkaian poliC dengan panjang 15C. Variasi panjang rangkaian poli-C
dua klon ini menunjukkan bahwa sampel Papua TLK
mengalami heteroplasmi. Perbandingan elektroforegram
setiap sampel Papua TLK dengan CRS ditunjukkan pada
Gambar 3.
Adanya subpopulasi DNA mitokondria pada individu
tertentu atau yang dikenal sebagai heteroplasmi seperti
ditunjukkan dua sampel yang dianalisis di duga kuat
merupakan penyebab tidak terbacanya urutan nukleotida
setelah rangkaian poli-C melalui direct sequencing. Campuran
subpopulasi yang berbeda diduga menyebabkan detektor
sekuensing menerima dua sinyal fluoresens yang juga
berbeda pada posisi yang sama. Perbedaan sinyal ini terjadi
karena pergeseran basa akibat perbedaan panjang rangkaian
poli-C tadi, seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Dua sinyal
fluoresens
yang
berbeda
akan
terdeteksi
pada
elektroforegram berupa pita yang tidak tajam, bertumpuk
dan intensitasnya sangat rendah. Kloning dapat mengatasi
masalah ini karena setiap klon yang disekuensing hanya
terdiri dari satu populasi DNA mitokondria tertentu saja.

DNA hasil rekombinan. Plasmid pGEM-T berukuran 3,0 kb yang telah membawa DNA sisipan berupa
daerah pengontrol gen mtDNA: HVSI berukuran 0,4 kb sehingga diperoleh DNA rekombinan berukuran 3,4
kb.
Perbandingan urutan sampel papua WMN terhadap rCRS dan antarklon. keempat klon Papua WMN memiliki
mutasi T16189C dan insersi pada posisi antara 16184 dan 16193 terhadap rCRS.

KO-172

16189

16190

16191

16192

16193

Insersi 1

Insersi 2

Insersi 3

16193

16188

16191

16187

16191

16186

16190

16185

16189

16184

16188

16183

A
C
C

A
C
C

C
C
C

C
C
C

C
C
C

C
C
C

C
C
C

T
C
C

C
C
C

C
C
C

C
C
C

C
C
C

X
X
C

X
X
C

X
X
C

Kedua klon Papua WMN memiliki mutasi A16182C, A16183C, dan T16189C. Papua TLKa memiliki insersi 3C
pada posisi antara 16182 dan 16193 sedangkan Papua TLK 1 tidak sehingga terdapat panjang poli-C yang berbeda
menjadi masing-masing15C dan 12C
Adanya subpopulasi pada sampel Papua WMN dikenal dengan
heteroplasmi. Mutasi terhadap CRS ditunjukkan dengan warna merah.

2A+9C+T
rCRS
Gambar 3.

16187

Insersi 2

Catatan:

16182

CRS
WMN 1
WMN a

16186

X
X
X
X
C

16185

rCRS
C
C
C
C
C
T
C
C
C
C
X
Papua 08001 1
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
Papua 08001 2
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
Papua 08001 a
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
Papua 08001 3
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
Tabel 2.
Perbandingan Urutan Sampel Papua TLK Terhadap CRS dan Terhadap Antarklon.

16184

Insersi 1

0196: Yohanis Ngili dkk.

12C

Papua TLK 1

15C

Papua TLK a

Rangkaian poli-C setiap klon sampel papua TLK. Perbandingan setiap klon Papua TLK terhadap CRS
menunjukkan adanya mutasi A16182C, A16183C, dan T16189C. Panjang rangkaian poli-C Papua TLK 1 dan
Papua TLKa berbeda, masing-masing 12C dan 15C, karena pada Papua TLKa terdapat insersi 3C pada posisi
antara 16182 dan 16193. Catatan: Ins. adalah singkatan untuk insersi.

Papua WMN 1, 2, a
AAAACCCCCCCCCCCATGCTTACAAG
AAAACCCCCCCCCCCATGCTTACAAG
Papua WMN 3
AAAACCCCCCCCCCCCATGCTTACAA
Papua TLK a
AACCCCCCCCCCCCCCCATGCTTACA
Papua TLK 1
AACCCCCCCCCCCCATGCTTACAAGC
Gambar 4.

Heteroplasmi Berupa Variasi Panjang Rangkaian Poli-C Sampel Papua WMN (A) dan Papua TLK (B). Adanya
heteroplasmi menyebabkan detektor sekuensing menerima dua sinyal fluoresens yang berbeda pada posisi
yang sama (daerah berwarna biru pada gambar) sehingga urutan setelah poli-C tidak dapat lagi ditentukan
melalui direct sequencing.

KO-173

0196: Yohanis Ngili dkk.


Heteroplasmi pada kedua sampel dapat terdeteksi
karena subpopulasi yang berbeda terdapat dalam jumlah
yang proporsional. Jika salah satu subpopulasi sangat
dominan terhadap yang lain, maka diduga heteroplasmi
tidak akan terdeteksi karena sekuensing hanya membaca
fragmen yang dominan saja. Untuk membuktikan lebih
lanjut hal ini perlu dilakukan sekuensing campuran klon
yang mewakili subpopulasi yang berbeda dengan komposisi
yang bervariasi. Hal lain yang mendukung pernyataan ini
adalah kasus heteroplasmi pada daerah coding DNA
mitokondria. Oleh karena daerah ini mengode asam amino,
maka perubahan berupa substitusi satu basa dapat
mengubah urutan asam amino sehingga dapat menimbulkan
penyakit. Tetapi apabila populasi mtDNA yang tidak
mengalami mutasi jauh lebih dominan, penyakit tidak
terdeteksi pada individu tersebut.

IV.KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
variasi panjang rangkaian poli-C pada sampel yang sama
menunjukkan adanya subpopulasi mtDNA pada individu
tertentu, yang juga dikenal sebagai heteroplasmi. Fenomena
ini diduga kuat merupakan penyebab tidak terbacanya
sekuen daerah HVSI D-loop yang memiliki poli-C melalui
metode direct sequencing. Hal tersebut diduga terjadi karena
adanya beberapa subpopulasi yang berbeda dalam satu
sampel, yang menyebabkan detektor sekuensing menerima
dua sinyal fluoresens yang berbeda pada posisi yang sama.
Perbedaan sinyal ini terjadi karena pergeseran basa
nukleotid mtDNA akibat perbedaan panjang rangkaian poliC tadi. Dugaan ini telah membuka kesempatan untuk
dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai hubungan
antara tidak terbacanya urutan daerah HVSI mtDNA yang
mengandung poli-C melalui direct sequencing dengan variasi
komposisi subpopulasi yang berbeda. Konsep ini penting
dalam mempelajari mutasi mtDNA yang berhubungan
dengan penyakit (disease-related mutations).

[4]

[5]

[6]

[7]

[8]

[9]
[10]

[11]

[12]

DAFTAR PUSTAKA
[1]

[2]

[3]

Anderson, S., Bankier, A.T., Barrell, B.G., de Bruijn,


M.H., Coulson, A.R., Drouin, J., Eperon, I.C., Nierlich,
D.P., Roe, B.A., Sanger, F., Schreier, P.H., Smith, A.J.,
Staden, R., and Young, I.G., (1981), Sequence and
organization of the human mitochondrial genome,
Nature, 290 (5806) page 457-467.
Andrews, R.M., Kubacka, I., Chinnery, P.F.,
Lightowlers, R.N., Turnbull, D.M., and Howell, N.
(1999), Reanalysis and revision of the cambridge
reference sequence for human mitochondrial DNA,
Nature Genetics, 23, 147.
Crimi, M., Sciacco, M., Galbiati, S., Bordoni, A.,
Malferrari, G., Del Bo, R., Biunno, I., Bresolin, N.,
Comi 1, G.P., (2002), A Collection of 33 Novel Human

[13]

[14]

mtDNA Homoplasmic Variants, Human Mutation,


Online, Wiley-Liss, inc.
Handoko, H.Y., Lum, J.K., Gustiani, Rismalia,
Kartapradja, H., Salam, A.M.S., Marzuki, S., (2001),
Length Variations in the COII-tRNALys Intergenic
Region of Mitochondrial DNA in Indonesian
Populations, Human Biology, 73 (2), page 205-223
Lertrit, P., Kapsa, R.M.I., Jean-Francois, M.J.B.,
Thyagarajan, D., Noer, A.S., Marzuki, S., and Byrne,
E., (1994), Mitochondrial DNA polymorphism in
disease: a possible contributor to respiratory
dysfunction, Hum. Mol. Genet. 3 page 1973-1981.
Marzuki, S., Noer, A.S., Lertrit, P., Thyagarajan, D.,
Kapsa, R.M.I., Uttahanaphol, P., Byrne, E., (1991),
Normal variants of human mitochondrial DNA and
translation products: the building of a reference data
base, Hum. Genet. 88 (2) page 139-145.
Mathew, C.K., and Van Holde, K.E., (1999),
Biochemistry, The Benjamin/ Cumming Publishing
Company Inc., Menlopark, California.
Moraes, C.T., Lesley Kenyon, and Huiling Hao,
(1999), Mechanisms of Human Mitochondrial DNA
Maintenance: The Determining Role of Primary
Sequence and Length over Function, Molecular Biology
of The Cell, Vol. 10, October, page 3345-3356
Wallace, D.C., (1997), Mitochondrial DNA in Aging
and Disease, Scientific American, August, page 22-29.
Thyagarajan D., Shanske S., Vazquez-Memije M., de
Vivo D., Dimauro S., (1995), A novel mitochondrial
ATPase 6 point mutation in familial bilateral striatal
necrosis, Ann. Neurol, 38, page 468-472.
Wallace D.C., Singh G., Lott M.T., Hodge J.A., Schurr
T.G., Lezza A.M., (1988), Mitochondrial DNA
mutation associated with Lebers hereditary optic
neuropathy, Science, 242. page 1427-1430
Ngili, Y., Ubyaan, R., Palit, E.I.Y., Bolly, H.M.B., and
Noer, A.S., (2012a), Nucleotide Mutation Variants on
D-Loop HVS1/HVS2 Mitochondrial DNA Region:
Studies on Papuan Population, Indonesian, European
Journal of Scientific Research, 72, pp. 64-73.
Cheng, S., and Kolmodin, L.A., (1997), XL PCR
amplification of long targets from genomic DNA,
dalam buku
Methods in Molecular Biology: PCR
Cloning Protocols, Volume 67, edited by Bruce A.
White, Humana Press, Totowa, New Jersey, page 17
29.
Noer, A.S., Sudoyo, H., Lertrit, P., Thyagarajan, D.,
Uttahanaphol P., Kapsa, R.M.I., Byrne, E., and
Marzuki, S., (1991), A tRNALys mutation in the
mtDNA is the causal genetic lesion underlying
myoclonic epilepsy and ragged-red fiber (MERRF)
syndrome, Am. J. of Hum. Genet. 49 (4) page 715-722.

KO-174
[15]

[16]

[17]

[18]

[19]

Ngili. Y., Bolly, H.M.B., Ubyaan, R., Jukwati, and


Palit, E.I.Y., (2012b), Studies on Specific Nucleotide
Mutations in the Coding Region of the ATP6 Gene of
Human Mitochondrial Genome in Populations of
Papuan Province-Indonesia, Australian Journal of Basic
and Applied Sciences, 6, pp. 111-118
Cheng, S., Fockler, C., Barnes, M.W., and Higuchi, R.,
(1994), Effective amplification of long target from
cloned inserts and human genomic DNA, Proc. of the
Natl. Acad. of Sci. of the USA, 91, page 5695-5699.
Ngili, Y., Palit, E.I.Y., Bolly, H.M.B., and Ubyaan, R.,
(2012c), Cloning and Analysis of Heteroplasmy in
Hypervariable Segment I (HVS1) D-loop in
Mitochondrial DNA of Human Isolates of Timika and
Wamena in Highlands of Papuan Province, Indonesia,
Journal of Applied Sciences Research, 8, pp. 2232-2240
Barnes, M.W., (1994), PCR amplification of up to 35kb DNA with high fidelity and high yield from
bacteriophage templates, Proc. of the Natl. Acad. of Sci.
of the USA volume 91, page 2216-2220.
Noer, A.S., (1991),
Molecular Genetics of
Mitochondrial Encephalopaties, A Thesis Presented
for the degree of Doctor of Philosophy Department of
Biochem. Monash University, melbourne, Clayton,
Victoria, Australia.

0196: Yohanis Ngili dkk.

Anda mungkin juga menyukai