Anda di halaman 1dari 33

Jenis pajak properti yang akan kita bahas pertama kali adalah Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB). PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya
pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi dan atau bangunan.
Keadaan subjek tidak ikut menentukan besarnya pajak.
PBB pada awalnya merupakan pajak pusat yang alokasi penerimaannya
dialokasikan ke daerah-daerah dengan proporsi tertentu, namun demikian dalam
perkembangannya berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang
PDRD pajak ini khususnya sektor perkotaan dan pedesaan menjadi sepenuhnya
pajak daerah.
Filosofi Pajak Bumi dan Bangunan
Landasan Filosofi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah sebagai berikut:

Bahwa pajak merupakan sumber penerimaan negara yang penting bagi


pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional untuk meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, oleh sebab itu perlu peningkatan
peran serta masyarakat,

Bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan


sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang/badan yang mempunyai suatu
hak atasnya atau memperoleh manfaat darinya, oleh sebab itu wajar
apabila kepada mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau
kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak.

Pengertian dan Dasar hukum PBB


PBB dikenakan terhadap objek pajak berupa tanah dan atau bangunan yang
didasarkan pada azas kenikmatan dan manfaat, dan dibayar setiap tahun. PBB
pengenaannya didasarkan padaUndang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12
tahun 1994. Namun demikian dalam perkembangannya PBB sektor pedesaan dan
perkotaan menjadi pajak daerah yang diatur dalam Undang-Undang No.28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Pasal 77 sampai dengan
Pasal 84 mulai tahun 2010.
Dalam bab I diatur tentang Ketentuan Umum yang memberikan penjelasaan
tentang istilah-istilah teknis atau definisi-definisi PBB seperti pengertian :
1. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.
Pengertian ini berarti bukan hanya tanah permukaan bumi saja tetapi betulbetul tubuh bumi dari permukaan sampai dengan magma, hasil tambang,
gas material yang lainnya.

2. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara


tetap pada tanah dan/atau perairan.
Dalam pasal 77 ayat (2) Undang-Undang PDRD, disebutkan bahwa termasuk
dalam pengertian bangunan adalah :

jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti


hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang satu kesatuan dengan
kompleks bangunan tersebut,

jalan TOL,

kolam renang,

pagar mewah,

tempat olah raga,

galangan kapal, dermaga,

taman mewah,

tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak,

fasilitas lain yang memberikan manfaat.

Objek PBB
Objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan, dimana pengertian bumi dan/atau
bangunan adalah sebagai berikut :
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta
laut wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Bangunan, adalah
kontruksi teknik yang di tanam atau di lekatkan secara tetap pada tanah dan/atau
perairan.
Tidak semua objek bumi dan bangunan akan dikenakan PBB, ada juga objek yang
di kecualikan dari pengenaan PBB adalah apabila sebagai berikut :

digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang


ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak
dimaksud-kan untuk memperoleh keuntungan,

digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis


dengan itu,

merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang
belum di bebani suatu hak,

digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas


perlakuan timbal balik,

digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang


ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan,


penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Subjek PBB
Subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas
bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai,
dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Melihat pengertian subjek pajak
tersebut, tidak jarang ada objek pajak yang diakui oleh lebih dari satu orang
subjek pajak, yang berarti ada satu objek pajak tetapi memiliki beberapa wajib
pajak. Bagaimana kalau hal ini terjadi, apakah semua menjadi terhutang PBB?
Apabila terjadi statu kejadian dimana satu objek pajak dimiliki/dikuasai oleh
beberapa subjek pajak atau satu objek pajak belum diketahui dengan jelas siapa
Wajib Pajaknya, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah melihat perjanjian
(agreement) antara para pihak yang berkepentingan terhadap objek pajak tersebut.
Dalam perjanjian tersebut salah satu pasalnya biasanya membahas siapa yang
akan melakukan kewajiban pembayaran pajak termasuk pajak Bumi dan
Bangunan. Apabila dalam perjanjian tidak disebutkan atau memang terjadi lebih
dari satu yang memanfaatkan objek pajak sehingga belum diketahui siapa yang
menjadi wajib pajak Direktorat Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajaknya
(UU No 12 tahun 1994 Pasal 4 ayat 3).
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, apakah setiap yang membayar PBB
adalah pemilik atas objek pajak tersebut? Surat tanda pemberitahuan atau dikenal
dengan sebutan SPPT (Surat Pembayaran Pajak Terhutang) atau bukti pelunasan
bukanlah bukti pemilikan hak. Surat Tagihan Pajak atau bukti pembayaran PBB
adalah semata mata untuk kepentingan perpajakan dan tidak ada kaitannya dengan
status atau hak pemilikan atas tanah dan/atau bangunan.
Penilaian
Berbicara masalah PBB tidak akan terlepas dari nilai properti itu sendiri. Karena
besarnya PBB yang akan dibayarkan oleh WP akan tergantung pada nilainya.
Penilaian objek PBB pedesaan dan perkotaan meliputi penilaian objek tanah dan
bangunan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak (pemerintah daerah menurut UU No.

28 Tahun 2009) untuk menentukan NJOP yang akan dijadikan sebagai dasar
pengenaan pajak.
Untuk menilai objek properti tersebut digunakan beberapa metode penilaian
sebagai berikut:
1. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach).

NJOP dihitung dengan cara membandingkan Objek pajak yang sejenis


dengan Objek lain yang telah diketahui harga pasarnya.

Pendekatan ini pada umumnya digunakan untuk menentukan NJOP tanah,


namun dapat juga dipakai untuk menentukan NJOP bangunan.

2. Pendekatan Biaya (Cost Approach).


Pendekatan ini digunakan untuk menentukan nilai tanah atau bangunan terutama
untuk menentukan NJOP bangunan dengan menghitung seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk membuat bangunan baru yang sejenis dikurangi dengan
penyusutan phisiknya.
3. Pendekatan Pendapatan (Income Approach)

Pendekatan ini digunakan untuk menentukan NJOP yang tidak dapat


dilakukan berdasarkan pendekatan data pasar atau pendekatan biaya, tetapi
ditentukan berdasarkan hasil bersih objek pajak tersebut,

Pendekatan ini terutama digunakan untuk menentukan NJOP galian


tambang atau objek perairan.

Jenis Objek Pajak


1. Objek Pajak Umum yaitu objek pajak yang memiliki kriteria konstruksi
bangunan umum dengan luas tanah berdasarkan kriteria tertentu. Objek pajak
umum sendiri dibedakan menjadi:
A. Objek pajak standar, kriteria untuk objek pajak ini adalah:

Luas tanah 10.000 m

Jumlah lantai bangunan 4 lantai

Luas bangunan 1000 m

B. Objek pajak non standar, kriterianya ialah:

Luas tanah 10.000 m

Jumlah lantai bangunan 4 lantai

Luas bangunan 1000 m

2. Objek Pajak Khusus yaitu objek pajak yang memiliki kriteria konstruksi
bangunan khusus. Kriteria bangunan khusus ditinjau dari segi bentuk, material
pembentuk dan keberadaannya yang memiliki arti khusus. Contoh objek pajak
khusus adalah pelabuhan, Bandar udara, jalan tol, tempat wisata, dan lain-lain.
Pendataan Objek Pajak
Proses awal sebelum objek pajak dikenakan PBB terlebih dahulu harus dilakukan
proses pendataan, yaitu proses pengumpulan data objek yang nantinya akan
digunakan untuk melakukan penilaian dan penetapan PBB. Pelaksanaan
pendataan ini dilakukan dengan menggunakan sarana berupa Surat Pemberitahuan
Objek Pajak (SPOP) untuk objek berupa tanah dan Lampiran Surat Pemberitahuan
Objek Pajak (LSPOP) jika ada bangunannya, sedangkan untuk data-data
tambahan dilakukan dengan menggunakan Lembar Kerja Objek Khusus (LKOK)
atau pun dengan lembar catatan lain yang menampung informasi tambahan sesuai
keperluan penilaian masing-masing objek pajak.

Nomor Objek Pajak (NOP)


Pada setiap objek yang telah di data akan di berikan penomoran yang bersifat unik
dan permanen yang disebut dengan Nomor Objek Pajak (NOP), dimana nomor ini
yang akan mengidentifikasi setiap objek pajak. Nomor ini bersifat unik, dimana
setiap objek di berikan satu nomor yang berbeda dengan objek yang lainnya dan
bahkan nomor objek ini tidak ada yang sama di seluh wilayah Indonesia.
Selain unik nomor ini juga bersifat permanen dimana nomor ini akan tetap selama
objek tersebut tidak mengalami perubahan walaupun berubah nama subjek
pajaknya, misalnya dalam kasus jual beli tanah antara A dan B, B sebagai pembeli
tanah akan mempunyai Nomor Objek Pajak atas objek pajak yang sama dengan
pada waktu dimiliki oleh A sebagai penjual tanah. Contoh pemberian NOP untuk
objek pajak adalah sebagai berikut ini.

Misalnya sebidang tanah memiliki NOP sebagai berikut


31.73.050.001.004-0056.0,

Kode 31.73.050.001 adalah kode wilayah kelurahan Rawasari, kecamatan


Cempaka Putih, Jakarta Pusat,

Kode 004 adalah kode blok 004 di kelurahan tersebut,

Kode 0056 adalah nomor urut 0056 di blok tersebut,

Tanda khusus 0, adalah penomoran objek tertentu untuk mempermudah


identifikasi dan pengelompokan objek pajak, misalnya kode 9, untuk objek jenis
strata title (penggunaan bersama misal rumah susun/ appartemen).

Penilaian Objek Pajak


Demi efektifitas dan efisiensi administrasi mengingat jumlah objek pajak yang
diadministrasikan sangat banyak dan menyebar di seluruh wilayah Indonesia,
sedangkan jumlah tenaga penilai dan waktu pelaksanaan penilaian yang tersedia
sangat terbatas, maka pelaksanaan penilaian dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu
penilaian massal yang diterapkan bagi objek dengan kriteria standar dan penilaian
secara individual yang diterapkan untuk objek pajak non-standar dan objek
khusus. Pembedaan ini lebih ditekankan pada nilai ekonomis dan potensi
pengenaan pajak dari objek yang bersangkutan.
1. Penilaian Massal.
Dalam cara penilaian ini NJOP bumi dihitung berdasarkan Nilai Indikasi Rata-rata
(NIR) yang terdapat pada setiap Zona Nilai Tanah (ZNT). ZNT adalah zona
geografis yang terdiri dari sekelompok objek pajak yang memiliki NIR sama dan
dibatasi oleh batas penguasaan/pemilikan objek pajak dalam satu wilayah
administrasi pemerintahan. Sedangkan NJOP bangunan dihitung berdasarkan
Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB). Perhitungan penilaian massal
dilakukan terhadap objek pajak dengan menggunakan program komputer
konstruksi umum (Computer Assisted Valuation/CAV).

2. Penilaian Individual
Cara penilaian ini diterapkan untuk objek pajak yang bernilai tinggi, baik objek
pajak khusus, ataupun objek pajak umum yang telah dinilai dengan CAV namun
hasilnya tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya karena keterbatasan aplikasi
program.
Proses penghitungan nilai dilaksanakan dengan menggunakan formulir penilaian
yang tersedia khusus untuk masing-masing jenis penggunaan. Setiap penilaian

harus memperhatikan tanggal penilaian yang menjadi dasar ketetapan Pajak Bumi
dan Bangunan yaitu per 1 Januari tahun pajak yang bersangkutan sebagaimana
diatur dalam pasal 82 ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Pelaksanaan Penilaian
Pelaksanaan penilaian terhadap objek pajak dilakukan secara massal atau secara
individual dalam proses pelaksanaan dilakukan melalui cara sebagai berikut :
a. Penilaian tanah.
Dalam proses penentuan nilai tanah, maka pelaksanaan penilaiannya dimulai
dengan pembuatan konsep sket/peta ZNT dan penentuan nilai indikasi rata-rata
(NIR) menggunakan metode perbandingan data pasar. Peta ZNT ini dibuat per
satuan desa/kelurahan yang dituangkan dalam suatu peta dengan dibuat warna
khusus yang membatasi setiap ZNT. Nilai bumi ditentukan terlebih dahulu
melalui perbandingan dengan data pasar tanah di lingkungan sekitar. Data pasar
tanah tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti broker, penjual
langsung, lelang, PPAT dan lain-lain.

Kemudian setiap data di atas diberikan penyesuaian untuk memperoleh estimasi

nilai pasar.
b. Penilaian bangunan diawali dengan penyusunan Daftar Biaya Komponen
Bangunan (DBKB).
Untuk menyusun atau membuat DBKB digunakan metode survai kuantitas
terhadap model bangunan yang dianggap dapat mewakili kelompok bangunan

tersebut dan dinilai dengan dasar perhitungan analisa BOW (Burgelijke Openbare
Werken). Dengan menggunakan survai kuantitas dan dasar perhitungan analisis
BOW yang merupakan perhitungan dengan pendekatan biaya, akan diperoleh
biaya pembuatan baru bangunan atau biaya penggantian baru dari bangunan.
Sehubungan dengan kebutuhan program komputer, maka biaya komponen
bangunan perlu dikelompokkan kedalam biaya komponen utama, komponen
material dan komponen fasilitas bangunan. Metode survai kuantitas dipilih
menjadi dasar metode yang dipergunakan karena metode inilah yang paling
mendasar bila dibandingkan dengan metode perhitungan yang lain, seperti metode
unit terpasang, metode meter persegi dan metode indeks.
Penghitungan harga satuan pekerjaan dalam analisa ini menggunakan analisa
BOW karena cara ini merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan
keseragaman penghitungan biaya pembuatan baru bangunan. Karena cara ini akan
memberikan hasil yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan cara penghitungan
biaya pemborongan pekerjaan di lapangan, maka dalam perhitungan ini
digunakan faktor koreksi.

Konstruksi bangunan sebagai satu kesatuan terdiri dari beberapa biaya satuan
pekerjaan. Biaya satuan pekerjaan tersebut dikelompokkan dalam 3 (tiga)
komponen, yaitu biaya komponen utama, biaya komponen material dan biaya
pembuatan fasilitas. Keseluruhan komponen tersebut disusun dalam suatu daftar
yang disebut sebagai daftar biaya komponen bangunan (DBKB).
Dalam penerapan DBKB ini, objek-objek berupa bangunan yang dinilai dilakukan
pengelompokan berdasarkan jenis penggunaan bangunan (JPB) sesuai dengan tipe
konstruksinya. Dalam hal ini ada 16 jenis pengelompokan.

Proses Penghitungan Nilai


Setelah dilakukan validasi terhadap data yang terdapat dalam SPOP dan LSPOP
maka selanjutnya dilakukan perhitungan nilai. Proses CAV dapat dilakukan
apabila data ZNT, DBKB objek pajak standar dan data objek (SPOP dan LSPOP)
sudah tersedia.
1. Penghitungan nilai tanah
NIR diketahui berdasarkan kode ZNT sebagaimana tercantum dalam SPOP. Untuk
menentukan nilai objek pajak bumi, NIR dicari dalam tabel ZNT berdasarkan
kode ZNT, kemudian dikalikan dengan luas bumi. Contoh : jika Nilai Indikasi
Rata-rata (NIR) adalah Rp 300.000,- dan luas tanah = 100 m2, maka NJOP bumi =
100m2 x Rp 300.000,- = Rp 30.000.000,2. Penghitungan nilai bangunan
Dalam pelaksanaan perhitungan nilai bangunan, harus ditentukan besarnya nilai
komponen bangunan menurut masing-masing karateristik objek tersebut. NJOP
bangunan ditentukan berdasarkan pada :

Kelas/tipe/bintang dari bangunan.

Komponen utama bangunan.

Komponen material bangunan.

Komponen fasilitas bangunan.

Komponen fasilitas yang perlu disusutkan.

Penyusutan. Tingkat penyusutan bangunan berdasarkan umur efektif,


keluasan dan kondisi bangunan.

Dasar Pengenaan PBB


Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditetapkan
setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan
setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. Penentuan NJOP ini dilakukan
dengan melakukan penilai terhadap objek pajak baik yang dilakukan secara masal
atau individual.
Istilah NJOP ini telah luas beredar di masyarakat bahwa NJOP sama dengan nilai
transaksi atau dianggap sebagai harga dasar tanah, terutama apabila terjadi
pembebasan tanah atau apabila masyarakat menawarkan tanahnya untuk di jual
dengan berpedonan pada NJOP yang tercantum dalam SPPT PBB. Secara tegas

Undang-Undang No 12 tahun 1994 menjelaskan yang dimaksud dengan NJOP


mempunyai pengertian sebagai berikut:
Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru,
atau nilai jual objek pajak pengganti.
Penentuan NJOP
Penentuan besarnya NJOP adalah proses penting mengingat NJOP ini yang akan
menentukan besarnya pajak yang di bayar oleh masyarakat. Dalam Keputusan
Direktur Jenderal No. 16/PJ.6/1998 tanggal 30 Desember 1998 dijelaskan
bagaimana menentukan besarnya NJOP untuk setiap sektor PBB. Dalam
Keputusan tersebut diatur sebagai berikut :
1. NJOP atas Sektor Pedesaan/Perkotaan
Sektor Pedesaan/Perkotaan adalah Obyek PBB yang meliputi kawasan pertanian,
perumahan, perkantoran, pertokoan, industri serta obyek khusus perkotaan.
Besarnya NJOP atas obyek pajak sektor pedesaan/ perkotaan ditentukan sebagai
berikut:
1. Obyek Pajak berupa tanah adalah sebesar nilai konversi setiap Zona Nilai
Tanah (ZNT) ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual
permukaan bumi (tanah) sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998
2. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya
pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan
fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan
dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
2. NJOP atas Sektor Perkebunan
Sektor Perkebunan adalah Obyek PBB yang meliputi areal pengusahaan benih,
penanaman baru, perluasan, perubahan jenis tanaman, keragaman jenis tanaman
termasuk sarana penunjangnya. Besarnya NJOP atas obyek pajak sektor
perkebunan ditentukan sebagai berikut:
1. Areal kebun adalah sebesar NJOP berupa tanah ditambah dengan Jumlah
Investasi Tanaman Perkebunan sesuai dengan Standar Investasi menurut
umur tanaman,
2. Areal emplasemen dan areal lainnya dalam kawasan perkebunan adalah
sebesar NJOP berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,

3. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya


pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan
fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan
dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
3. NJOP atas Sektor Kehutanan
Sektor Kehutanan adalah Obyek PBB yang meliputi areal pengusahaan hutan dan
budidaya hutan. Besarnya NJOP atas obyek pajak sektor kehutanan ditentukan
sebagai berikut:
1. Areal hutan adalah sebesar NJOP berupa tanah ditambah dengan Jumlah
Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri menurut umur tanaman,
2. Areal emplasemen dan areal lainnya dalam kawasan hutan adalah sebesar
NJOP berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,
3. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya
pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan
fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan
dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
4. NJOP atas Sektor Pertambangan
Sektor Pertambangan adalah Obyek PBB yang meliputi areal usaha penambangan
bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategis, bahan
galian vital dan bahan galian lainnya.
5. NJOP atas Sektor Perikanan
Usaha Bidang Perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan yang
memiliki ijin usaha untuk menangkap atau membudidayakan sumber daya ikan,
termasuk semua jenis ikan dan biota perairan lainnya serta kegiatan menyimpan,
mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial. Besarnya NJOP
atas obyek pajak usaha bidang perikanan laut ditentukan sebagai berikut:
1. Areal penangkapan ikan adalah 10 x hasil bersih ikan dalam satu tahun
sebelum tahun pajak berjalan,
2. Areal pembudidayaan ikan adalah 8 x hasil bersih ikan dalam satu tahun
sebelum tahun pajak berjalan,
3. Areal emplasemen dan areal lainnya adalah sebesar NJOP berupa tanah
sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,

4. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya


pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan
fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan
dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
Sedangkan besarnya NJOP atas obyek pajak usaha bidang perikanan laut
ditentukan sebagai berikut:
1. Areal pembudidayaan ikan darat adalah sebesar NJOP berupa tanah di
sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya ditambah standar biaya
investasi tambak menurut jenisnya,
2. Areal emplasemen dan areal lainnya adalah sebesar NJOP berupa tanah di
sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,
3. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi baru setiap
jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode
penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual
bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 523/KMK.04/1998.
6. NJOP atas Objek Pajak yang Bersifat Khusus
Obyek Pajak Khusus adalah obyek pajak yang memiliki jenis konstruksi khusus
baik ditinjau dari segi bentuk, material pembentuk maupun keberadaanya
memiliki arti khusus seperti: lapangan golf, pelabuhan laut, pelabuhan udara, jalan
tol, pompa bensin, dan lain-lain. Besarnya NJOP atas obyek pajak yang bersifat
khusus ditentukan sebagai berikut:
1. Areal tanah adalah sebesar NJOP berupa tanah di sekitarnya dengan
penyesuaian seperlunya,
2. Areal perairan untuk kepentingan pelabuhan, industri, lapangan golf serta
tempat rekreasi adalah sebesar nilai jual yang ditentukan berdasarkan
korelasi garis lurus ke samping dengan klasifikasi NJOP permukaan bumi
berupa tanah sekitarnya,
3. Areal perairan untuk kepentingan PLTA adalah sebesar 10 x (10% dari
Hasil bersih dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan),
4. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi baru setiap
jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode
penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual
bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 523/KMK.04/1998.

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)


Pelaksanaan perhitungan pengenaan pajak PBB ditentukan berdasarkan Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP) setelah dikurangi dengan NJOP Tidak Kena Pajak
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan R I. Nomor :
201/KMK.04/2000 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan PBB.
Setiap wajib pajak diberikan 1 kali Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NJOPTKP). Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai lebih dari 1 objek pajak,
maka sesuai penjelasan UU PBB, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu
objek pajak yang nilainya terbesar.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebagaimana
dimaksud dalam keputusan ini ditetapkan setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00
untuk setiap wajib pajak. Batasan setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00
mengandung maksud bahwa apabila ada Daerah Tingkat II atau Kabupaten / Kota
yang ingin menetapkan NJOP TKPnya disesuaikan dengan kondisi, lingkungan
ekonominya, kurang dari Rp 12.000.000,00, misalnya Daerah Bekasi menetapkan
Rp 8.000.000,00, Semarang Rp 6.000.000,00, dan sebagainya hal ini masih
diperkenankan.
Penetapan besarnya NJOP TKP sebagaimana dimaksud dalam Peraturan tersebut
di atas untuk setiap daerah Kabupaten / Kota, ditetapkan oleh Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan
mempertimbangkan pendapat Pemerintah Daerah setempat. Sedangkan
berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 77 ayat (4) besarnya NJOPTKP

ditentukan paling rendah adalah Rp. 10.000.000,00 dan penetapannya dilakukan


oleh masing-masing Kepala Daerah.
Dasar Perhitungan PBB dan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
Dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2002 tanggal 13 Mei 2002 Tentang
Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak Untuk Penghitungan PBB, maka
besarnya Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) untuk perhitungan PBB ditentukan
sebagai berikut:
1. Sebesar 40% dari NJOP untuk:

Objek Pajak Perkebunan,

Objek Pajak Kehutanan,

Objek Pajak Pertambangan,

Objek PBB lainnya apabila NJOP 1 milyar rupiah,

2. Sebesar 20% dari NJOP untuk objek PBB Lainnya apabila NJOP < 1 Milyar
rupiah. Sedangkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 dalam perhitungan PBB
tidak lagi mengenal besarnya NJKP.
Tarif PBB
Tarif PBB berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun
1994 adalah tetap sebesar 0.5%, sedangkan menurut UU Nomor 28 Tahun 2009
Pasal 80 ayat (1) dan (2) adalah paling tinggi 0.3% yang ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.
Perhitungan PBB
Perhitungan PBB berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12
tahun 1994 adalah sebagai berikut:

Sedangkan perhitungan PBB menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 81 adalah


sebagai berikut:

NJOP dikelompokkan kedalam klas-klas yang disebut dengan klasifikasi NJOP


baik untuk bumi maupun bangunan. Klasifikasi NJOP bumi terdiri dari 2(dua)
kelompok yaitu kelompok A (50 klas) dengan klas tertinggi Rp. 3.100.000,- per
m2 dan klas terendah Rp. 140,- per m2 dan kelompok B (50 klas) dengan klas
tertinggi sebesar Rp. 68.545.000,- per m2 dan klas terendah sebesar Rp.
3.375.000,- per m2.
Klasifikasi NJOP bangunan terdiri dari 2 (dua) kelompok yaitu kelompok A (20
klas) dengan klas tertinggi sebesar Rp. 1.200.000,- per m2 dan klas terendah
sebesar Rp. 50.000,- per m2 dan kelompok B (20 klas) dengan klas tertinggi
sebesar Rp. 15.250.000,- per m2 dan klas terendah sebesar Rp. 1.516.000,- per m2.
Dasar Penagihan PBB
Dasar penagihan PBB terdiri dari tiga macam yaitu:
1. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)
SPPT adalah surat yang digunakan oleh pemerintah untuk memberitahukan
besarnya pajak yang terhutang kepada Wajib Pajak. Surat pemberitahuan ini
diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Pajak yang
terhutang harus dilunasi selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya
SPPT oleh Wajib Pajak.
2. Surat Tagihan Pajak (STP).
STP dapat diterbitkan karena memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut apabila:

Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam


SPPT, yaitu melampaui batas waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.

Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam


skp, yaitu melampaui batas waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya
surat keputusan oleh Wajib Pajak.

Wajib Pajak melunasi pajak yang terutang setelah lewat saat jatuh tempo
pembayaran PBB, tetapi denda administrasi tidak dilunasi.

Saat jatuh tempo STP adalah satu bulan sejak diterimanya STP oleh Wajib Pajak.
Konsekuensi jika saat jatuh tempo STP terlampaui adalah adanya denda
administrasi dalam STP. Besarnya denda administrasi karena Wajib Pajak
terlambat membayar pajaknya, melampaui batas waktu jatuh tempo SPPT adalah
sebesar 2% sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari
pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
3. Surat Ketetapan Pajak (skp).
SKP dapat diterbitkan karena memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut apabila:

Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang disampaikan melewati 30


(tiga puluh) hari setelah diterimanya SPOP oleh Wajib Pajak dan setelah
ditegur secara tertulis ternyata tidak dikembalikan oleh Wajib Pajak
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.

Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya ternyata jumlah


pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak berdasarkan SPOP yang
dikembalikan Wajib Pajak.

Pajak Yang terutang berdasarkan skp harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu)


bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh Wajib Pajak. Jadi, bila seorang Wajib
Pajak menerima SKP pada tanggal 1 Maret 2009, ia sudah harus melunasi PBB
selambat-lambatnya tanggal 31 maret 2009. Tanggal 31 Maret 2009 ini disebut
juga tanggal jatuh tempo SKP.
Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang penerbitannya disebabkan oleh
pengembalian SPOP Lewat 30 (tiga puluh) hari setelah diterima Wajib Pajak
adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan denda administrasi 25% dihitung
dari pokok pajak.
Sedangkan jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang penerbitannya
disebabkan oleh hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya, adalah selisish pajak
yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya dengan
pajak yang terutang berdasarkan SPOP ditambah denda administrasinya 25% dari
selisih pajak yang terutang.
Hak Wajib Pajak Mengajukan Keberatan
Hal yang mendasari pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak adalah:
1. Wajib Pajak merasa bahwa besarnya pajak terutang pada SPPT atau SKP tidak
sesuai dengan keadaan objek pajak yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena ada
beberapa kesalahan seperti:

kesalahan pada luas tanah/luas bangunan,

kesalahan klasifikasi tanah dan atau bangunan,

kesalahan pada penetapan/pengenaan pajak terutang,

2. Terdapat perbedaan penafsiran mengenai peraturan perundang-undangan


tentang pajak (PBB) antara Wajib Pajak dengan aparat, misalnya:

Penetapan Subjek Pajak sebagai Wajib Pajak,

Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB.

3. Syarat formal pengajuan keberatan adalah sebagai berikut:


1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan diajukan kepada
Kepala KPP Pratama yang menerbitkan SPPT/SKP dengan melampirkan
SPPT/SKP (asli/Foto copy) dan surat kuasa dalam hal dikuasakan pada
pihak lain.
2. Diajukan masing-masing setiap tahun dengan alasan yang jelas dan
mencantumkan besarnya PBB menurut perhitungan Wajib Pajak.
3. Diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 bulan terhitung sejak tanggal
diterimanya SPPT/SKP oleh Wajib Pajak, kecuali dapat menunjukkan
alasan diluar kekuasaannya.
4. WP dapat memperkuat alasan keberatannya dengan cara melampirkan
bukti pendukung antar lain :

Foto Copy Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, atau bukti identitas
WP lainnya.

Foto Copy bukti pelunasan PBB tahun terakhir.

Fot Copy bukti pemilikan hak atas tanah/sertifikat ;

Foto Copy bukti surat ukur/gambar situasi;

Foto Copy Akte jual beli / segel;

Foto Copy surat Penunjukan Kaveling;

Foto Copy Ijin Mendirikan Bangunan;

Foto Copy Ijin Penggunaan Bangunan ;

Surat keterangan Lurah / Kepala Desa;

Foto copy bukti resmi lainnya.

Hak Wajib Pajak Mengajukan Banding


Wajib Pajak yang tidak atau belum puas terhadap Keputusan atas penolakan
keberatan yang diajukannya, maka dapat mengajukan banding kepada badan
peradilan pajak. Adapun syarat pengajuan banding adalah sebagai berikut:

Diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan,

Tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas,

Dilampiri surat keputusan atas keberatan.

Hak Wajib Pajak Mengajukan Pengurangan


Pengurangan atau pemberian keringanan pajak terutang dapat diberikan kepada
Wajib Pajak dalam hal:
1. Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak
yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab
tertentu lainnya. Besarnya pengurangan yang diperbolehkan adalah
setinggi-tingginya 75%, berdasarkan pertimbangan yang wajar dan
objektif dengan mengingat penghasilan Wajib Pajak dan besar PBB-nya.
2. Wajib Pajak orang pribadi dalam hal objek pajak terkena bencana alam
seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus dan sebagainya
serta sebab-sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran, kekeringan,
wabah penyakit dan hama tanaman. Pengurangan atas hal seperti tersebut
dapat diberikan pengurangan sampai dengan 100 % dari besarnya pajak
terutang, berdasarkan pertimbangan yang wajar dan objektif dengan
mengingat persentase kerusakan.
3. Wajib Pajak anggota Veteran pejuang kemerdekaan dan Veteran pembela
kemerdekaan termasuk janda /dudanya. Pemberian pengurangan
ditetapkan sebesar 75%, tetapi apabila permohonan pengurangan diajukan
oleh janda/duda veteran yang telah kawin/menikah lagi, maka besarnya
persentase pengurangan yang dapat diberikan ialah maximal 75% (bisa
lebih rendah dari 75%).

Pemberian keputusan atas permohonan pengurangan selambat-lambatnya 60 hari


sejak tanggal diterimanya permohonan pengurangan, apabila lewat 60 hari dan
keputusan belum diterbitkan, maka permohonan pengurangan dianggap diterima.
Pengurangan untuk masing-masing wilayah Daerah Tk.II kabupaten atau Kota,
hanya diberikan untuk satu objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau
dimanfaatkan Wajib Pajak.
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi memiliki, menguasai dan atau
memanfaatkan lebih dari satu objek pajak, maka objek pajak yang dapat diajukan
permohonan pengurangan adalah objek pajak yang menjadi tempat domosili
Wajib Pajak. Kemudian dalam hal Wajib Pajak yang memiliki, menguasai dan
atau memanfaatkan lebih dari satu objek pajak adalah Wajib Pajak badan, maka
objek pajak yang dapat diajukan permohonan pengurangan adalah salah satu
objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan Wajib Pajak.
Persyaratan permohonan pengurangan wajib diajukan oleh WP ke KPP Pratama
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kepala KPP
Pratama dengan mencantumkan persentase pengurangan yg dimohonkan,
2. Untuk SKP hanya diberikan atas pokok pajak,
3. Diajukan dalam jangka waktu 3 bln sejak terima SPPT/SKP atau sejak
bencana,
4. Dapat kolektif ( Ket. s/d Rp100.000,- ),
5. Kolektif selambatnya tgl 10 Januari (utk pengajuan sebelum SPPT terbit).
Atas pengenaan PBB terhadap perguruan tinggi swasta berdasarkan Surat Edaran
Dirjen Pajak Nomor: SE-10/PJ.6/1995, apabila memenuhi salah satu kriteria
berikut ini:
1. SPP dan pungutan lain =/> 2 juta / tahun,
2. Luas bangunan =/> 2.000 m2,
3. Lantai bangunan =/> 4 lantai,
4. Luas Tanah =/> 20.000 m2,
5. Jumlah mahasiswa =/> 3.000 orang.
Maka terhadap PBB tersebut akan dikenakan 50% dari yang seharusnya.

Demikian pula untuk rumah sakit swasta institusi pelayanan sosial masyarakat
(ISPM) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 796/KMK.04/1993
tanggal 20 Agustus 1993 apabila memenuhi salah satu kriteria minimal 25% dari
jumlah tempat tidur diperuntukkan bagi pasien tidak mampu dan sisa hasil usaha
di reinvestasikan lagi untuk rumah sakit maka terhadap PBB yang terhutang
tersebut akan dikenakan 50% dari yang seharusnya.
Bagi rumah sakit swasta pemodal yang bukan merupakan rumah sakit swasta
tetap dikenakan PBB sepenuhnya. Kemudian atas bumi dan atau bangunan yang
dikuasai/dimiliki/ dimanfaatkan oleh rumah sakit tetapi secara nyata tidak
dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan secara langsung dan terletak di luar
lingkungan rumah sakit, tetap dikenakan PBB sepenuhnya sesuai ketentuan yang
berlaku.
Hak Wajib Pajak Mengajukan Pembetulan
Apabila terjadi salah tulis, salah hitung atau kekeliruan dalam penerapan
perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam SPPT, SKP maupun STP
dapat dibetulkan baik atas permintaan WP maupun tidak. Pembetulan dapat
dilakukan tanpa batas waktu akan tetapi apabila pembetulan tersebut
mengakibatkan jumlah pajak terutang bertambah besar, maka pembetulan tersebut
hanya dapat dilakukan apabila hak untuk menetapkan pajak belum kedaluwarsa
(10 tahun). Hasil proses pembetulan berupa sama, lebih kecil atau lebih besar dari
pajak terutang.
Hak Wajib Pajak Mengajukan Pembatalan
Dalam hal objek pajak tidak ada, atau hak dari subjek pajak terhadap objek pajak
batal karena putusan pengadilan, atau objek pajak berubah peruntukan menjadi
fasilitas umum atau fasilitas sosial atau bukti tertentu lainnya, maka dapat
dilakukan pembatalan atas SPPT, SKP maupun STP.
Daluwarsa PBB
Dasar hukum terhadap daluarsa PBB adalah sebagai berikut:
1. Pasal 23 UU PBB,
2. Pasal 13 ayat (1) UU KUP 2000 dan 2007,
3. Pasal II angka 1 dan angka 2 UU KUP 2007.
Berdasarkan aturan tersebut pajak PBB mempunyai 2(dua) jenis daluwarsa yaitu :
1. Daluwarsa Penetapan

Penetapan pajak menjadi daluwarsa setelah lewat waktu yang ditentukan. Namun
demikian apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang
terutang tidak dibayar atau kurang bayar atau wajib pajak dikenai hukuman karena
tindak pidana perpajakan, maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan SKP ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% dari pajak yang belum dibayar.
2. Daluwarsa Penagihan
Hak untuk melakukan penagihan pajak termasuk bunga, denda, kenaikan, dan
biaya penagihan menjadi daluwarsa setelah masa tertentu terhitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun
pajak yang bersangkutan. Namun daluwarsa penagihan ini juga menjadi
tertangguh apabila :

diterbitkan Surat Tegoran atau Surat Paksa,

ada pengakuan hutang dari WP,

diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar / KB Tambahan.

Waktu daluarsa penetapan PBB ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut


ini:

Untuk Tahun Pajak 2002 dan sebelumnya, daluwarsa 10 (sepuluh) tahun


sejak berakhirnya Tahun Pajak,

Untuk Tahun Pajak 2003 sampai dengan Tahun Pajak 2007, daluwarsa
pada akhir Tahun Pajak 2013,

Untuk Tahun Pajak 2008 dan seterusnya, daluwarsa 5 (lima) tahun sejak
berakhirnya Tahun Pajak.

Restitusi PBB
Sebab-sebab terjadinya restitusi :
1. Pajak yang dibayar lebih besar dari pajak terutang karena:
1. Permohonan pengurangan dikabulkan,
2. Permohonan keberatan dikabulkan,
3. Permohonan banding dikabulkan,
4. Perobahan peraturan.

2. Pajak yang dibayar seharusnya tidak terutang, misalnya pembayaran PBB


atas rumah ibadah.
Permohoonan restitusi harus diajukan dalam bahasa Indonesia dengan dilampiri
beberapa data pendukung sebagai berikut:

fotokopi SPPT/SKP,

fotokopi SK Pengurangan/ Keberatan/ Banding,

fotokopi STTS (bukti bayar).

KPP Pratama akan melakukan Penelitian/ Pemeriksaan dari permohonan restitusi


yang diterima. Dari hasil pemeriksaan kemudian dikeluarkan keputusan berupa :

Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran PBB (SKKP PBB) apabila Pajak


yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Terutang,

Surat Pemberitahuan (SPb) apabila Pajak yang telah dibayar sama dengan
Pajak Terutang,

SKP apabila Pajak yang telah dibayar kurang dari Pajak Terutang.

Proses sampai dengan keluarnya Surat Keputusan harus selesai paling lama 12
bulan, setelah lewat waktu harus diterbitkan SKKP PBB. Kemudian dalam waktu
satu bulan setelah SKKP PBB harus diterbitkan Surat Perintah Membayar
Kelebihan Pembayaran PBB (SPMKP PBB). Apabila lebih dari satu bulan dari
penerbitan SPMKP PBB wajib pajak belum menerima restitusi maka WP berhak
mendapat imbalan bunga sebesar 2% per bulan dan apabila WP mempunyai
hutang pajak lainnya maka restitusi yang akan diterimanya lebih dahulu
diperhitungkan dengan hutang pajak lainnya tersebut.
Kompensasi PBB
Kelebihan pembayaran pajak yang diterima oleh WP tidak hanya dapat diterima
melalui cara pemindahbukuan (restitusi) namun juga dapat pula dialihkan untuk
pembayaran lainnya (kompensasi). Pengalihan pembayaran tersebut dapat
dilakukan untuk:

ketetapan PBB tahun yang akan datang,

hutang PBB atas nama WP lain,

hutang PBB atas nama WP lain untuk tahun yang akan datang.

Pemberian Imbalan Bunga

Sebab-sebab pemberian imbalan bunga dan besarnya imbalan bunga dapat terjadi
bila:
1. Keterlambatan penerbitan SKKP PBB dimana bunga diberikan 2% per
bulan terhitung sejak berakhirnya 12 bulan setelah permohonan restitusi
diterima sampai dengan terbitnya SKKP PBB.
2. Keterlambatan penerbitan SPMKP PBB dimana bunga diberikan 2% per
bulan terhitung dari sejak berakhir 1 bulan dari terbitnya SKKP PBB
sampai dengan terbitnya SPMKP PBB.
3. Kelebihan pembayaran PBB karena permohonan keberatan/banding
diterima sebagian atau seluruhnya, dimana bunga diberikan 2% per bulan
maksimum 24 bulan yang terhitung dari sejak pembayaran PBB sampai
dengan terbitnya Surat Keputusan Keberatan/Putusan banding.
4. Kelebihan pembayaran sanksi administrasi karena
pengurangan/penghapusan sebagai akibat diterbitkannya keputusan
keberatan/banding, dimana bunga diberikan 2% per bulan maksimum 24
bulan yang terhitung dari sejak pembayaran sampai dengan terbitnya
Keputusan Pengurangan/ Penghapusan Sanksi Administrasi.
Kesimpulan
1. PBB merupakan pajak yang bersifat kebendaan artinya besarnya pajak
terutang ditentukan oleh keadaan objek,
2. Objek PBB terdiri dari dua hal yaitu bumi yang merupakan permukaan
bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya dan bangunan adalah
konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan,
3. Subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu
hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan,
4. Sebelum objek pajak dikenakan PBB terlebih dahulu harus didaftarkan
menggunakan sarana berupa Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP)
untuk objek berupa tanah dan Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak
(LSPOP) jika ada bangunannya,
5. Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP),
6. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
ditetapkan setinggi-tingginya Rp. 12.000.000,- untuk setiap wajib pajak,
sedangkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 77 ayat (4) besarnya
NJOPTKP ditentukan paling rendah adalah Rp. 10.000.000,-

7. Dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Besarnya
NJKP adalah 40% dari NJOP untuk objek P3 serta objek PBB lainnya
apabila NJOP 1 milyar rupiah dan sebesar 20% dari NJOP untuk objek
PBB Lainnya apabila NJOP < 1 Milyar rupiah.
8. Tarif PBB Undang-undang No.12 tahun 1994 adalah flat sebesar 0.5%,
sedangkan menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 80 ayat (1) dan (2)
adalah paling tinggi 0.3% yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
9. Perbandingan penerapan PBB antara UU No.12 Tahun 1994 dengan UU
No. 28 Tahun 2009

mencoba menjawab rekan, Untuk Kewajiban Setelah Membeli /; Bila


sudah membeli apartemen, selain membayar service charge perbulan,
setiap tahun pemilik juga wajib membayar pajak bumi dan bangunan
(PBB). Biasanya tagihan dilayangkan setiap bulan Maret dalam bentuk
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Pembayaran harus
dilakukan paling lambat enam bulan setelah SPPT diterbitkan. Bila
sampai batas waktu yang ditetapkan belum dibayar, dikenai denda 2
persen per bulan hingga maksimal 24 bulan.
Cara menghitung PBB apartemen:
1.Hitung nilai perbandingan proposional (NPP) unit apartemen atau
satuan rumah susun dengan rumus: NPP = (LSn x 100%) / T LSn
Keterangan:
Sn: Satuan rumah susun (unit apartemen)
LSn: Luas unit apartemen
T LSn: Total luas unit apartemen
2. Hitung luas bumi (tanah) proposional: NPP x luas tanah bersama
3. Hitung luas bangunan proposional: NPP x total luas bangunan
bersama
4.Luas bangunan proposional: total luas bangunan total luas seluruh
unit apartemen dan ruang komersial
5.Hitung NJOP:
1. NJOP bumi proposional: luas bumi proposional x NJOP tanah
yang ditetapkan kantor pajak setempat
2. NJOP bangunan proposional: luas bangunan proposional x
NJOP bangunan yang ditetapkan kantor pajak setempat

3. NJOP unit apartemen: luas unit apartemen x NJOP bangunan


yang ditetapkan kantor pajak setempat.
6.Point a, b dan c kemudian dijumlahkan untuk memperoleh NJOP total
7.Hitung NJOP Kena Pajak (NJOPKP)
Rumusnya: NJOP total-NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
8. NJOPTKP telah ditetapkan pemerintah sebesar Rp10 juta
9. Menghitung PBB:
1. Untuk apartemen yang nilainya di bawah Rp1 miliar rumusnya: 0,5%
x 20% x NJOPKP.
2. Untuk apartemen yang nilainya Rp1 miliar ke atas rumusnya: 0,5% x
40% x NJOPKP.

STRATA TITLE
Definisi Rumah Susun
Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun:
Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional dalam arah horizontal maupun vertical dan merupakan satuansatuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,
terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama.
Elemen Kepemilikan Rumah Susun
1. Pemilikan Bersama:
Adalah yang tidak dapat dimiliki secara perseorangan namun dapat
dimiliki, digunakan, dan dinikmati secara bersama. Pemilikan bersama
dimaksud berupa:
Bagian bersama:
Bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk
pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan
rumah susun.
Misalnya: Koridor, Lift, Toilet, Tangga, Lobi, Basement, dan
perlengkapan yang ada di dalam bangunan tersebut.
Benda bersama:
Benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama
secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.
Misalnya: Pos jaga, Pagar, Taman, Jalan lingkungan, Tempat parkir yang ada di
luar gedung, Septic tank, dan lain sebagainya.
Tanah bersama:
Sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah
yang di atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan
izin pembangunan.
Misalnya: Tanah dimana bangunan itu berdiri (Sertifikat HGB)

2. Pemilikan Perseorangan:
Adalah yang dapat dimiliki, digunakan, dan dinikmati secara terpisah atau

perseorangan berupa Satuan Rumah Susun dalam bentuk ruang yang


mempunyai sarana ke jalan umum.
Misalnya:
- Kusen dan daun pintu yang berada di dalam satuan rumah susun;
- Permukaan lantai dalam satuan rumah susun;
- Permukaan dinding dalam satuan rumah susun;
- Instalasi listrik/air/AC yang berda di dalam satuan rumah susun;
- Dinding pemisah di dalam satuan rumah susun.
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS)

Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) adalah Hak pemilikan atas
Satuan Rumah Susun yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
antara bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Sebagai bukti kepemilikan pribadi atas Satuan Rumah Susun diterbitkan
Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS).
Nilai Perbandingan Proporsional (NPP)
Nilai Perbadingan Proporsional adalah angka yang menunjukan perbandingan
antara satuan rumah susun terhadap hak atas bagian bersama, benda bersama,
dan tanah bersama.
Nilai Perbandingan Proporsional dapat dihitung dengan 2 (dua) cara, yaitu:
1. Berdasarkan perbandingan antara luas satuan rumah susun dengan jumlah
luas seluruh satuan rumah susun.
2. Berdasarkan perbandingan antara harga satuan rumah susun dengan jumlah
harga seluruh satuan rumah susun.
Nilai Perbandingan Proporsional dipergunakan untuk mengetahui hak dan
kewajiban pemilik satuan rumah susun terhadap kepemilikan bersama yang
meliputi atas tanah bersama, bagian bersama, dan benda bersama.
Pertelaan
Pertelaan adalah rincian mengenai batas-batas yang jelas dari setiap unit satuan
rumah susun, yang merupakan bagian tertentu dari gedung, termasuk bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama beserta uraian nilai perbandingan
proporsional (NPP) yang dibuat dan disusun sesuai dengan ketentuan dalam
peraturan rumah susun.
Berdasarkan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1988 tentang
Rumah Susun:
Pengembang (Developer) sebagai penyelenggara pembangunan rumah susun
wajib meminta pengesahan atas pertelaan yang menunjukkan batas yang jelas

dari masing-masing satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama dan
tanah bersama beserta uraian nilai perbandingan proporsionalnya.
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2
tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian serta Pendaftaran Akta
Pemisahan Rumah Susun:
Pertelaan yang dibuat oleh Developer ini menjadi dasar perhitungan NPP dan
salah satu syarat untuk pengesahan akta pemisahan rumah susun.
Apa itu Strata Title?
Sejak Tahun 1985, Indonesia telah menapaki era baru didunia properti, era Strata
Title, dengan di undangkannya Undang-Undang No. 16 Tahun 1985
dan Peraturan Pemerintah No. 4/1988 Tentang Rumah Susun, dimana konsep
kepemilikan rumah hunian tidak lagi mengarah kepada konsep landed house,
melainkan kepada vertikal house.
Kamus Bahasa Indonesia sendiri tidak mengenal istilah Strata Title, sebab istilah
ini diadopsi dari bahasa asing, yang digunakan di negara-negara luar, seperti
Singapura dan Australia, yang mengenal konsep kepemilikan properti secara
pribadi dan secara bersama dalam satu bangunan vertikal.
Jadi pada intinya yang dimaksud dengan Strata Title adalah Hak kepemilikan
secara bersama atas bangunan vertikal, yang di dalamnya terdapat: Kepemilikan
Pribadi yang terpisah dan Kepemilikan Bersama-sama.

Seri PBB - Ketentuan Umum Pajak


Bumi dan Bangunan (PBB)
Jumat, 1 Juni 2012 - 14:57
Pengertian
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap
bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan
UndangUndang nomor 12 Tahun 1994.
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang
ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan
subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Objek PBB
Objek PBB adalah Bumi dan atau Bangunan:
1. Bumi: Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada di
pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Contoh: sawah, ladang, kebun,
tanah, pekarangan, tambang.
2. Bangunan: Konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap
pada tanah dan atau perairan. Contoh: rumah tempat tinggal, bangunan
tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, emplasemen, pagar
mewah, dermaga, taman mewah, fasilitas lain yang memberi manfaat,
jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai.
Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan PBB
Objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek yang :

1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang


ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja,
rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi.
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis
dengan itu.
3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum
dibebani suatu hak.
4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal
balik.
5. Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:

mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau;

memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;

memiliki bangunan, dan atau;

menguasai bangunan, dan atau;

memperoleh manfaat atas bangunan

Wajib Pajak adalah Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak.
Cara Mendaftarkan Objek PBB
Orang atau Badan yang menjadi Subjek PBB harus mendaftarkan Objek Pajaknya
ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan
Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi letak objek
tersebut, dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak
(SPOP) yang tersedia gratis di KPP atau KP2KP setempat.
Dasar Pengenaan PBB

Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditetapkan
per wilayah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan dengan mendengar
pertimbangan Bupati/Walikota serta memperhatikan :
1. harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
wajar;
2. perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya
berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;
3. nilai perolehan baru;
4. penentuan Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
NJOPTKP adalah batas NJOP atas bumi dan/atau bangunan yang tidak kena
pajak. Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah Kabupaten/Kota setinggitingginya Rp 12.000.000,- dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Setiap Wajib Pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak satu
kali dalam satu Tahun Pajak.
2. Apabila Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, maka yang
mendapatkan pengurangan NJOPTKP hanya satu Objek Pajak yang
nilainya terbesar dan tidak bisa digabungkan dengan Objek Pajak lainnya.
Dasar Penghitungan PBB
Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).
Besarnya persentase NJKP adalah sebagai berikut :
1. Objek pajak perkebunan adalah 40%
2. Objek pajak kehutanan adalah 40%
3. Objek pajak pertambangan adalah 40%
4. Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):
o apabila NJOP-nya Rp1.000.000.000,00adalah 40%
o apabila NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00 adalah 20%
Tarif PBB

Besarnya tarif PBB adalah 0,5%


Rumus Penghitungan PBB
Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP
1. Jika NJKP = 40% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB
o = 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)
o = 0,2% x (NJOP-NJOPTKP)
2. Jika NJKP = 20% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB
o = 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)
o = 0,1% x (NJOP-NJOPTKP)
Tempat Pembayaran PBB
Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT),
Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dari KPP Pratama
atau disampaikan lewat Pemerintah Daerah harus melunasinya tepat waktu pada
tempat pembayaran yang telah ditunjuk dalam SPPT yaitu Bank Persepsi atau
Kantor Pos dan Giro.
Saat Yang Menentukan Pajak Terutang
Saat yang menentukan pajak terutang adalah adalah keadaan Objek Pajak pada
tanggal 1 Januari. Dengan demikian segala mutasi atau perubahan atas Objek
Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun
berikutnya.
Contoh:
A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 2010. Kewajiban PBB Tahun
2010 masih menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 2011 kewajiban PBB
menjadi tanggung jawab B. Perubahan atas Objek Pajak yang terjadi setelah
tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
Lain-lain
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 12
Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor


3569) yang terkait dengan peraturan pelaksanaan mengenai Perdesaan dan
Perkotaan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2013,
sepanjang belum ada Peraturan Daerah tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang
terkait dengan Perdesaan dan Perkotaan

Anda mungkin juga menyukai