Bangunan (PBB). PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya
pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi dan atau bangunan.
Keadaan subjek tidak ikut menentukan besarnya pajak.
PBB pada awalnya merupakan pajak pusat yang alokasi penerimaannya
dialokasikan ke daerah-daerah dengan proporsi tertentu, namun demikian dalam
perkembangannya berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang
PDRD pajak ini khususnya sektor perkotaan dan pedesaan menjadi sepenuhnya
pajak daerah.
Filosofi Pajak Bumi dan Bangunan
Landasan Filosofi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah sebagai berikut:
jalan TOL,
kolam renang,
pagar mewah,
taman mewah,
Objek PBB
Objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan, dimana pengertian bumi dan/atau
bangunan adalah sebagai berikut :
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta
laut wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Bangunan, adalah
kontruksi teknik yang di tanam atau di lekatkan secara tetap pada tanah dan/atau
perairan.
Tidak semua objek bumi dan bangunan akan dikenakan PBB, ada juga objek yang
di kecualikan dari pengenaan PBB adalah apabila sebagai berikut :
merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang
belum di bebani suatu hak,
28 Tahun 2009) untuk menentukan NJOP yang akan dijadikan sebagai dasar
pengenaan pajak.
Untuk menilai objek properti tersebut digunakan beberapa metode penilaian
sebagai berikut:
1. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach).
2. Objek Pajak Khusus yaitu objek pajak yang memiliki kriteria konstruksi
bangunan khusus. Kriteria bangunan khusus ditinjau dari segi bentuk, material
pembentuk dan keberadaannya yang memiliki arti khusus. Contoh objek pajak
khusus adalah pelabuhan, Bandar udara, jalan tol, tempat wisata, dan lain-lain.
Pendataan Objek Pajak
Proses awal sebelum objek pajak dikenakan PBB terlebih dahulu harus dilakukan
proses pendataan, yaitu proses pengumpulan data objek yang nantinya akan
digunakan untuk melakukan penilaian dan penetapan PBB. Pelaksanaan
pendataan ini dilakukan dengan menggunakan sarana berupa Surat Pemberitahuan
Objek Pajak (SPOP) untuk objek berupa tanah dan Lampiran Surat Pemberitahuan
Objek Pajak (LSPOP) jika ada bangunannya, sedangkan untuk data-data
tambahan dilakukan dengan menggunakan Lembar Kerja Objek Khusus (LKOK)
atau pun dengan lembar catatan lain yang menampung informasi tambahan sesuai
keperluan penilaian masing-masing objek pajak.
2. Penilaian Individual
Cara penilaian ini diterapkan untuk objek pajak yang bernilai tinggi, baik objek
pajak khusus, ataupun objek pajak umum yang telah dinilai dengan CAV namun
hasilnya tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya karena keterbatasan aplikasi
program.
Proses penghitungan nilai dilaksanakan dengan menggunakan formulir penilaian
yang tersedia khusus untuk masing-masing jenis penggunaan. Setiap penilaian
harus memperhatikan tanggal penilaian yang menjadi dasar ketetapan Pajak Bumi
dan Bangunan yaitu per 1 Januari tahun pajak yang bersangkutan sebagaimana
diatur dalam pasal 82 ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Pelaksanaan Penilaian
Pelaksanaan penilaian terhadap objek pajak dilakukan secara massal atau secara
individual dalam proses pelaksanaan dilakukan melalui cara sebagai berikut :
a. Penilaian tanah.
Dalam proses penentuan nilai tanah, maka pelaksanaan penilaiannya dimulai
dengan pembuatan konsep sket/peta ZNT dan penentuan nilai indikasi rata-rata
(NIR) menggunakan metode perbandingan data pasar. Peta ZNT ini dibuat per
satuan desa/kelurahan yang dituangkan dalam suatu peta dengan dibuat warna
khusus yang membatasi setiap ZNT. Nilai bumi ditentukan terlebih dahulu
melalui perbandingan dengan data pasar tanah di lingkungan sekitar. Data pasar
tanah tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti broker, penjual
langsung, lelang, PPAT dan lain-lain.
nilai pasar.
b. Penilaian bangunan diawali dengan penyusunan Daftar Biaya Komponen
Bangunan (DBKB).
Untuk menyusun atau membuat DBKB digunakan metode survai kuantitas
terhadap model bangunan yang dianggap dapat mewakili kelompok bangunan
tersebut dan dinilai dengan dasar perhitungan analisa BOW (Burgelijke Openbare
Werken). Dengan menggunakan survai kuantitas dan dasar perhitungan analisis
BOW yang merupakan perhitungan dengan pendekatan biaya, akan diperoleh
biaya pembuatan baru bangunan atau biaya penggantian baru dari bangunan.
Sehubungan dengan kebutuhan program komputer, maka biaya komponen
bangunan perlu dikelompokkan kedalam biaya komponen utama, komponen
material dan komponen fasilitas bangunan. Metode survai kuantitas dipilih
menjadi dasar metode yang dipergunakan karena metode inilah yang paling
mendasar bila dibandingkan dengan metode perhitungan yang lain, seperti metode
unit terpasang, metode meter persegi dan metode indeks.
Penghitungan harga satuan pekerjaan dalam analisa ini menggunakan analisa
BOW karena cara ini merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan
keseragaman penghitungan biaya pembuatan baru bangunan. Karena cara ini akan
memberikan hasil yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan cara penghitungan
biaya pemborongan pekerjaan di lapangan, maka dalam perhitungan ini
digunakan faktor koreksi.
Konstruksi bangunan sebagai satu kesatuan terdiri dari beberapa biaya satuan
pekerjaan. Biaya satuan pekerjaan tersebut dikelompokkan dalam 3 (tiga)
komponen, yaitu biaya komponen utama, biaya komponen material dan biaya
pembuatan fasilitas. Keseluruhan komponen tersebut disusun dalam suatu daftar
yang disebut sebagai daftar biaya komponen bangunan (DBKB).
Dalam penerapan DBKB ini, objek-objek berupa bangunan yang dinilai dilakukan
pengelompokan berdasarkan jenis penggunaan bangunan (JPB) sesuai dengan tipe
konstruksinya. Dalam hal ini ada 16 jenis pengelompokan.
2. Sebesar 20% dari NJOP untuk objek PBB Lainnya apabila NJOP < 1 Milyar
rupiah. Sedangkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 dalam perhitungan PBB
tidak lagi mengenal besarnya NJKP.
Tarif PBB
Tarif PBB berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun
1994 adalah tetap sebesar 0.5%, sedangkan menurut UU Nomor 28 Tahun 2009
Pasal 80 ayat (1) dan (2) adalah paling tinggi 0.3% yang ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.
Perhitungan PBB
Perhitungan PBB berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12
tahun 1994 adalah sebagai berikut:
Wajib Pajak melunasi pajak yang terutang setelah lewat saat jatuh tempo
pembayaran PBB, tetapi denda administrasi tidak dilunasi.
Saat jatuh tempo STP adalah satu bulan sejak diterimanya STP oleh Wajib Pajak.
Konsekuensi jika saat jatuh tempo STP terlampaui adalah adanya denda
administrasi dalam STP. Besarnya denda administrasi karena Wajib Pajak
terlambat membayar pajaknya, melampaui batas waktu jatuh tempo SPPT adalah
sebesar 2% sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari
pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
3. Surat Ketetapan Pajak (skp).
SKP dapat diterbitkan karena memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut apabila:
Foto Copy Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, atau bukti identitas
WP lainnya.
Demikian pula untuk rumah sakit swasta institusi pelayanan sosial masyarakat
(ISPM) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 796/KMK.04/1993
tanggal 20 Agustus 1993 apabila memenuhi salah satu kriteria minimal 25% dari
jumlah tempat tidur diperuntukkan bagi pasien tidak mampu dan sisa hasil usaha
di reinvestasikan lagi untuk rumah sakit maka terhadap PBB yang terhutang
tersebut akan dikenakan 50% dari yang seharusnya.
Bagi rumah sakit swasta pemodal yang bukan merupakan rumah sakit swasta
tetap dikenakan PBB sepenuhnya. Kemudian atas bumi dan atau bangunan yang
dikuasai/dimiliki/ dimanfaatkan oleh rumah sakit tetapi secara nyata tidak
dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan secara langsung dan terletak di luar
lingkungan rumah sakit, tetap dikenakan PBB sepenuhnya sesuai ketentuan yang
berlaku.
Hak Wajib Pajak Mengajukan Pembetulan
Apabila terjadi salah tulis, salah hitung atau kekeliruan dalam penerapan
perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam SPPT, SKP maupun STP
dapat dibetulkan baik atas permintaan WP maupun tidak. Pembetulan dapat
dilakukan tanpa batas waktu akan tetapi apabila pembetulan tersebut
mengakibatkan jumlah pajak terutang bertambah besar, maka pembetulan tersebut
hanya dapat dilakukan apabila hak untuk menetapkan pajak belum kedaluwarsa
(10 tahun). Hasil proses pembetulan berupa sama, lebih kecil atau lebih besar dari
pajak terutang.
Hak Wajib Pajak Mengajukan Pembatalan
Dalam hal objek pajak tidak ada, atau hak dari subjek pajak terhadap objek pajak
batal karena putusan pengadilan, atau objek pajak berubah peruntukan menjadi
fasilitas umum atau fasilitas sosial atau bukti tertentu lainnya, maka dapat
dilakukan pembatalan atas SPPT, SKP maupun STP.
Daluwarsa PBB
Dasar hukum terhadap daluarsa PBB adalah sebagai berikut:
1. Pasal 23 UU PBB,
2. Pasal 13 ayat (1) UU KUP 2000 dan 2007,
3. Pasal II angka 1 dan angka 2 UU KUP 2007.
Berdasarkan aturan tersebut pajak PBB mempunyai 2(dua) jenis daluwarsa yaitu :
1. Daluwarsa Penetapan
Penetapan pajak menjadi daluwarsa setelah lewat waktu yang ditentukan. Namun
demikian apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang
terutang tidak dibayar atau kurang bayar atau wajib pajak dikenai hukuman karena
tindak pidana perpajakan, maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan SKP ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% dari pajak yang belum dibayar.
2. Daluwarsa Penagihan
Hak untuk melakukan penagihan pajak termasuk bunga, denda, kenaikan, dan
biaya penagihan menjadi daluwarsa setelah masa tertentu terhitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun
pajak yang bersangkutan. Namun daluwarsa penagihan ini juga menjadi
tertangguh apabila :
Untuk Tahun Pajak 2003 sampai dengan Tahun Pajak 2007, daluwarsa
pada akhir Tahun Pajak 2013,
Untuk Tahun Pajak 2008 dan seterusnya, daluwarsa 5 (lima) tahun sejak
berakhirnya Tahun Pajak.
Restitusi PBB
Sebab-sebab terjadinya restitusi :
1. Pajak yang dibayar lebih besar dari pajak terutang karena:
1. Permohonan pengurangan dikabulkan,
2. Permohonan keberatan dikabulkan,
3. Permohonan banding dikabulkan,
4. Perobahan peraturan.
fotokopi SPPT/SKP,
Surat Pemberitahuan (SPb) apabila Pajak yang telah dibayar sama dengan
Pajak Terutang,
SKP apabila Pajak yang telah dibayar kurang dari Pajak Terutang.
Proses sampai dengan keluarnya Surat Keputusan harus selesai paling lama 12
bulan, setelah lewat waktu harus diterbitkan SKKP PBB. Kemudian dalam waktu
satu bulan setelah SKKP PBB harus diterbitkan Surat Perintah Membayar
Kelebihan Pembayaran PBB (SPMKP PBB). Apabila lebih dari satu bulan dari
penerbitan SPMKP PBB wajib pajak belum menerima restitusi maka WP berhak
mendapat imbalan bunga sebesar 2% per bulan dan apabila WP mempunyai
hutang pajak lainnya maka restitusi yang akan diterimanya lebih dahulu
diperhitungkan dengan hutang pajak lainnya tersebut.
Kompensasi PBB
Kelebihan pembayaran pajak yang diterima oleh WP tidak hanya dapat diterima
melalui cara pemindahbukuan (restitusi) namun juga dapat pula dialihkan untuk
pembayaran lainnya (kompensasi). Pengalihan pembayaran tersebut dapat
dilakukan untuk:
hutang PBB atas nama WP lain untuk tahun yang akan datang.
Sebab-sebab pemberian imbalan bunga dan besarnya imbalan bunga dapat terjadi
bila:
1. Keterlambatan penerbitan SKKP PBB dimana bunga diberikan 2% per
bulan terhitung sejak berakhirnya 12 bulan setelah permohonan restitusi
diterima sampai dengan terbitnya SKKP PBB.
2. Keterlambatan penerbitan SPMKP PBB dimana bunga diberikan 2% per
bulan terhitung dari sejak berakhir 1 bulan dari terbitnya SKKP PBB
sampai dengan terbitnya SPMKP PBB.
3. Kelebihan pembayaran PBB karena permohonan keberatan/banding
diterima sebagian atau seluruhnya, dimana bunga diberikan 2% per bulan
maksimum 24 bulan yang terhitung dari sejak pembayaran PBB sampai
dengan terbitnya Surat Keputusan Keberatan/Putusan banding.
4. Kelebihan pembayaran sanksi administrasi karena
pengurangan/penghapusan sebagai akibat diterbitkannya keputusan
keberatan/banding, dimana bunga diberikan 2% per bulan maksimum 24
bulan yang terhitung dari sejak pembayaran sampai dengan terbitnya
Keputusan Pengurangan/ Penghapusan Sanksi Administrasi.
Kesimpulan
1. PBB merupakan pajak yang bersifat kebendaan artinya besarnya pajak
terutang ditentukan oleh keadaan objek,
2. Objek PBB terdiri dari dua hal yaitu bumi yang merupakan permukaan
bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya dan bangunan adalah
konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan,
3. Subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu
hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan,
4. Sebelum objek pajak dikenakan PBB terlebih dahulu harus didaftarkan
menggunakan sarana berupa Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP)
untuk objek berupa tanah dan Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak
(LSPOP) jika ada bangunannya,
5. Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP),
6. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
ditetapkan setinggi-tingginya Rp. 12.000.000,- untuk setiap wajib pajak,
sedangkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 77 ayat (4) besarnya
NJOPTKP ditentukan paling rendah adalah Rp. 10.000.000,-
7. Dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Besarnya
NJKP adalah 40% dari NJOP untuk objek P3 serta objek PBB lainnya
apabila NJOP 1 milyar rupiah dan sebesar 20% dari NJOP untuk objek
PBB Lainnya apabila NJOP < 1 Milyar rupiah.
8. Tarif PBB Undang-undang No.12 tahun 1994 adalah flat sebesar 0.5%,
sedangkan menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 80 ayat (1) dan (2)
adalah paling tinggi 0.3% yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
9. Perbandingan penerapan PBB antara UU No.12 Tahun 1994 dengan UU
No. 28 Tahun 2009
STRATA TITLE
Definisi Rumah Susun
Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun:
Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional dalam arah horizontal maupun vertical dan merupakan satuansatuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,
terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama.
Elemen Kepemilikan Rumah Susun
1. Pemilikan Bersama:
Adalah yang tidak dapat dimiliki secara perseorangan namun dapat
dimiliki, digunakan, dan dinikmati secara bersama. Pemilikan bersama
dimaksud berupa:
Bagian bersama:
Bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk
pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan
rumah susun.
Misalnya: Koridor, Lift, Toilet, Tangga, Lobi, Basement, dan
perlengkapan yang ada di dalam bangunan tersebut.
Benda bersama:
Benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama
secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.
Misalnya: Pos jaga, Pagar, Taman, Jalan lingkungan, Tempat parkir yang ada di
luar gedung, Septic tank, dan lain sebagainya.
Tanah bersama:
Sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah
yang di atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan
izin pembangunan.
Misalnya: Tanah dimana bangunan itu berdiri (Sertifikat HGB)
2. Pemilikan Perseorangan:
Adalah yang dapat dimiliki, digunakan, dan dinikmati secara terpisah atau
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) adalah Hak pemilikan atas
Satuan Rumah Susun yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
antara bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Sebagai bukti kepemilikan pribadi atas Satuan Rumah Susun diterbitkan
Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS).
Nilai Perbandingan Proporsional (NPP)
Nilai Perbadingan Proporsional adalah angka yang menunjukan perbandingan
antara satuan rumah susun terhadap hak atas bagian bersama, benda bersama,
dan tanah bersama.
Nilai Perbandingan Proporsional dapat dihitung dengan 2 (dua) cara, yaitu:
1. Berdasarkan perbandingan antara luas satuan rumah susun dengan jumlah
luas seluruh satuan rumah susun.
2. Berdasarkan perbandingan antara harga satuan rumah susun dengan jumlah
harga seluruh satuan rumah susun.
Nilai Perbandingan Proporsional dipergunakan untuk mengetahui hak dan
kewajiban pemilik satuan rumah susun terhadap kepemilikan bersama yang
meliputi atas tanah bersama, bagian bersama, dan benda bersama.
Pertelaan
Pertelaan adalah rincian mengenai batas-batas yang jelas dari setiap unit satuan
rumah susun, yang merupakan bagian tertentu dari gedung, termasuk bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama beserta uraian nilai perbandingan
proporsional (NPP) yang dibuat dan disusun sesuai dengan ketentuan dalam
peraturan rumah susun.
Berdasarkan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1988 tentang
Rumah Susun:
Pengembang (Developer) sebagai penyelenggara pembangunan rumah susun
wajib meminta pengesahan atas pertelaan yang menunjukkan batas yang jelas
dari masing-masing satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama dan
tanah bersama beserta uraian nilai perbandingan proporsionalnya.
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2
tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian serta Pendaftaran Akta
Pemisahan Rumah Susun:
Pertelaan yang dibuat oleh Developer ini menjadi dasar perhitungan NPP dan
salah satu syarat untuk pengesahan akta pemisahan rumah susun.
Apa itu Strata Title?
Sejak Tahun 1985, Indonesia telah menapaki era baru didunia properti, era Strata
Title, dengan di undangkannya Undang-Undang No. 16 Tahun 1985
dan Peraturan Pemerintah No. 4/1988 Tentang Rumah Susun, dimana konsep
kepemilikan rumah hunian tidak lagi mengarah kepada konsep landed house,
melainkan kepada vertikal house.
Kamus Bahasa Indonesia sendiri tidak mengenal istilah Strata Title, sebab istilah
ini diadopsi dari bahasa asing, yang digunakan di negara-negara luar, seperti
Singapura dan Australia, yang mengenal konsep kepemilikan properti secara
pribadi dan secara bersama dalam satu bangunan vertikal.
Jadi pada intinya yang dimaksud dengan Strata Title adalah Hak kepemilikan
secara bersama atas bangunan vertikal, yang di dalamnya terdapat: Kepemilikan
Pribadi yang terpisah dan Kepemilikan Bersama-sama.
Wajib Pajak adalah Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak.
Cara Mendaftarkan Objek PBB
Orang atau Badan yang menjadi Subjek PBB harus mendaftarkan Objek Pajaknya
ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan
Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi letak objek
tersebut, dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak
(SPOP) yang tersedia gratis di KPP atau KP2KP setempat.
Dasar Pengenaan PBB
Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditetapkan
per wilayah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan dengan mendengar
pertimbangan Bupati/Walikota serta memperhatikan :
1. harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
wajar;
2. perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya
berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;
3. nilai perolehan baru;
4. penentuan Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
NJOPTKP adalah batas NJOP atas bumi dan/atau bangunan yang tidak kena
pajak. Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah Kabupaten/Kota setinggitingginya Rp 12.000.000,- dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Setiap Wajib Pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak satu
kali dalam satu Tahun Pajak.
2. Apabila Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, maka yang
mendapatkan pengurangan NJOPTKP hanya satu Objek Pajak yang
nilainya terbesar dan tidak bisa digabungkan dengan Objek Pajak lainnya.
Dasar Penghitungan PBB
Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).
Besarnya persentase NJKP adalah sebagai berikut :
1. Objek pajak perkebunan adalah 40%
2. Objek pajak kehutanan adalah 40%
3. Objek pajak pertambangan adalah 40%
4. Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):
o apabila NJOP-nya Rp1.000.000.000,00adalah 40%
o apabila NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00 adalah 20%
Tarif PBB