Kekuatan - Hukum - Girik - Sebagai - Alat - Bukti DD
Kekuatan - Hukum - Girik - Sebagai - Alat - Bukti DD
KRONOLOGIS
1. Pada sekitar tahun 1920, Sain bin Balok memiliki sebidang tanah yang terletak di
Kampung Teluk Angsan, Bekasi Timur, Bekasi. Tanah tersebut terdaftar dalam
Tanda Pendaftaran Sementara Tanah Milik Indonesia buku pendaftaran huruf C
(Girik C) No. 152 persil No. 52 Kls. D.III
Utara
Timur
tanah milik Sain/ sekarang Bayudin bin Senan, Ridwan dan Jono;
Selatan
Barat
2. Sain bin Balok mulai menewmpati tanah, mendirikan rumah serta mengusahakan
tanah tersebut untuk bercocok tanam sejak tahun 1945;
3. Sekitar tahun 1952, Sain bin Balok dituduh sebagai dukun santet oleh warga
sekitar sehingga
rumahnya
dibakar,
kemudian
yang
bersangkutan pergi
hukum
dan
berdasarkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Bekasi
Nomor
tembok
pembatas
serta
menghancurkan
alat
dan
bahan
dengan
luas +/- 11.180 m2 dengan surat bukti pendaftaran hak atas tanah atas
nama Sain bin Balok yang terletak di Kampung Teluk Angsan, Jalan Raya K.H
Agus Salim/Jalan Raya Mekar Sari RT 03/07, Bekasi Jaya, Bekasi Timur adalah
sah milik Penggugat (Maksum bin Sain);
b. Menyatakan sah dan berharganya sita jaminan atas rumah Tergugat (Sukandi
alias Kaye) di Kampung Teluk Angsan, Bekasi Timur;
c. Menghukum Tergugat membayar ganti kerugian sebesar Rp 46.000.000,-;
d. Menghukum Tergugat membongkar dua tiang gawang di atas tanah milik
Penggugat;
e. Menghukum Tergugat apabila dalam delapan hari lalai dalam menjalankan isi
putusan ini dikenaan denda Rp 500.000,- per hari untuk dibayarkan kepada
Penggugat secara tunai;
f.
11. Pada tanggal 3 Mei 1999 saat persidangan berjalan, muncul gugatan intervensi
yang diajukan oleh Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi (sekarang
Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi). Dalam gugatannya dinyatakan
bahwa yang bersangkutan adalah pemegang Hak Pakai atas tanah tersebut
berdasarkan :
surat
(dalam
salinan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Nomor
Tanah negara harus diartikan belum pernah diusahai dan dikuasai pihak lain
dan belum terdaftar atas nama siapapun. Dengan demikian tanah tersebut
tetap dianggap tanah milik adat atas nama Sain bin Balok dan walaupun
telah lama tidak dikuasainya, tidak ada lewat waktu (vrijwaring) atas tanah
milik adat;
15. Atas
putusan
tersebut
Pemerintah
Kabupaten
Daerah
Tingkat
II
Bekasi
putusan
tersebut
Pemerintah
Kabupaten
Daerah
Tingkat
II
Bekasi
dalam
melaksanakan
hukum
acara
perdata
yang
tidak
putusan
mengajukan
tersebut
Peninjauan
Pemerintah
Kembali
Kabupaten
dan
Daerah
berdasarkan
Tingkat
Putusan
II
Bekasi
Nomor
295
Nasional
mencocokkan
Bekasi
lokasi
yang
mengadakan
dimohonkan
pengukuran
sebagaimana
untuk
dalam
surat
Pertanahan
122/HP/KWBPN/1995,
Nasional
tanggal
Provinsi
22
Jawa
Barat
Nomor
No.
500-1255
tentang
prosedur
mengenai
Petunjuk
keputusan
dimaksud,
diharuskan
mengajukan
lagi
B. LEGAL QUESTION/PERMASALAHAN
1. Bagaimana kekuatan pembuktian surat girik dan SPPT PBB sebagai dasar
penentuan hak atas tanah?
2. Mengingat (Alm.) Sain bin Balok dan Maksun bin Sain tidak pernah menempati
maupun mengusahakan tanah sengketa sejak tahun 1952 hingga tahun 1997,
apakah lembaga verjaring (daluwarsa atau lampau waktu) dapat dijadikan dasar
hilangnya hak yang bersangkutan atas tanah tersebut?
C. DASAR HUKUM
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria;
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubang dengan UU Nomor 5 Tahun 2004;
4. UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana
dengan UU Nomor 12 Tahun 1994;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah dicabut dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
6. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah
D. KAJIAN
Nomor 1
Alat bukti hak atas tanah diatur Pasal 19 ayat (2) Nomor 5 Tahun 1960 yang menyatakan
bahwa Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat. Kuat berarti bahwa selama tidak ada alat bukti lain yang membuktikan
ketidakbenarannya maka data yang disajikan dalam buku tanah dan peta pendaftaran
tanah harus diterima sebagai data yang benar. 1
Pembuktian hak lama atas tanah diatur dalam Pasal 24 PP Nomor 24 tahun 1997 yang
mengatur bahwa Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari
konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut
1 Boedi Harsono. Hukum Agaria Indonesia : Sejaran Pembentukan UndangUndang Agraria. Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I, Edisi Revisi, Jakarta : Djambatan,
2006, hlm. 83.
6
berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan
yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara
sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara
sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain
yang membebaninya. Sesuai Pasal 24 ayat (1) bukti tertulis dimaksud adalah surat Girik.
Adapun penjelasan Pasal 24 ayat (1) menjelaskan bukti kepemilikan itu pada dasarnya
terdiri dari bukti kepemikikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UUPA
dan apabila hak tersebut beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai pada tangan
pemegang hak pada waktu dibukukan hak. Alat bukti tertulis dimaksud salah satunya
adalah Girik (Penjelasan Pasal 24 (1) huruf f PP Nomor 24 Tahun 1997). Namun karena
sengketa ini terjadi sebelum berlakunya PP Nomor 34 Tahun 1997, maka pengaturan ini
tidak dapat diberlakukan dalam analisa kasus ini.
Proses pendaftaran tanah sebenarnya telah diamanatkan melalui Pasal 19 UUPA. Dalam
Pasal 19 ayat (2), kegiatan pendaftaran tanah meliputi pemberian surat tanda bukti hak
yang berlaku sebagai pembuktian yang kuat. Sebelum berlakunya PP Nomor 24 Tahun
1997, kegiatan pendaftaran tanah dilakukan berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 1961.
Dalam hal tanah warisan sebagaimana dalam kasus di atas, pendaftaran atas tanah
tersebut dilakukan dengan menyerahkan dokumen sebagai berikut:
a. surat atau surat-surat bukti hak yang disertai keterangan Kepala Desa yang
membenarkan surat atau surat-surat bukti hak itu. Keterangan Kepala Desa tersebut
harus dikuatkan oleh Asisten Wedana.
b. surat wasiat dan jika tak ada surat wasiat surat keterangan warisan dari instansi
yang berwenang.
c.
Salah satu bentuk surat yang sering dipakai dalam pendaftarn dimaksud adalah Girik.
Girik merupakan bukti pembayaran pajak di desa-desa. Sebelum berlakunya UUPA
pencatatan dilakukan untuk menentukan bidang-bidang tanah atau pekarangan berikut
pohon-pohon yang telah diberikan kepada orang-orang tertentu yang disertai dengan
pencatatan nama dan pemiliknya masing-masing. Pencatatan ini bertujuan untuk
menetapkan bagian masing-masing penguasa bidang tanah dalam pajak umum yang
telah direncanakan serta untuk meyelesaikan perkara batas tanah.
Girik berfungsi sebagai surat pengenaan dan tanda pembayaran pajak, di kalangan
rakyat danggap dan diperlakukan sebagai tanda bukti kepemilikan tanah yang
bersangkutan. Adapun sebenarnya kegunaan girik adalah sebagai pegangan wajib pajak
dalam rangka mengoreksi ketetapan pajak yang dikenakan terhadap nama yang
tecantum dalam girik tersebut.
Dalam praktiknya dokumen Girik cukup kuat dijadikan dasar permohonan hak atas tanah
karena pada dasarnya hukum tanah Indonesia bersumber dari hukum adat. Hal ini dapat
dilihat dari Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang mengatur bahwa,
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang
tidak
bertentangan
dengan
kepentingan
nasional
dan
Negara,
yang
Dilihat dari kasus di atas, dalam bagian pertimbangan hukum, Hakim membuat
penentuan kepemilikan atas tanah berdasarkan Girik yang dimiliki oleh Maksun bin Sain
sebagai ahli waris dari (Alm.) Sain bin Balok. Sesuai penjelasan di atas, hal tersebut
bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Girik tidak dapat dijadikan sebagai bukti
kepemilikan tanah karena ia hanya merupakan surat bukti bahwa yang dimaksud
terdaftar dalam objek pajak. Seharusnya Hakim dapat menelusuri lebih dalam mengenai
keberadaan dan status hukum Girik terhadap tanah.
Apabila ditinjau dari Peraturan Pemerintah mengenai Pendaftaran Tanah (baik PP Nomor
10 Tahun 1961 maupun PP Nomor 24 Tahun 1997), dokumen Girik secara formil dapat
dijadikan salah satu dasar pemberian hak atas tanah. Namun hal tersebut tidak menjadi
bukti yang paling menentukan, karena dalam peraturan pertanahan yang berlaku di
Indonesia hak atas tanah juga ditentukan dari sisi materiil orang yang memiliki Girik.
Apabila ternyata orang tersebut lalai atau menelantarkan tanahnya, maka hal itu dapat
menyebabkan ia dapat dianggap melepaskan haknya atas tanah tersebut. Penjelasan hal
ini akan diuraikan dalam kajian Nomor 2.
Sesuai Pasal 30 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diatur bahwa
Mahkamah
Agung
dalam
tingkat
kasasi
membatalkan
putusan
atau
penetapan
Nomor 2
yang
bersangkutan
kepada
masyarakat
maupun
penguasa
organisasi
masyarakat. Dengan demikian dalam hukum adat tidak dikenal arti kehilangan hubungan
atau kehilangan hak atas tanah, sebab hubungan adalah sesuatu yang bersifat abadi
meskipun ia dapat diputus atau
antara individu atas tanah, Teer Har menggunakan istilah rechtsverwerking yang
diterjemahkan sebagai penghilangan hak sendiri atau pelepasan hak. 4 Inti dari lembaga
ini adalah apabila seseorang mempunyai tanah tetapi selama jangka waktu tertentu
membiarkan tanahnya tidak terurus dan tanah itu dipergunakan orang lain dengan itikad
baik, dia tidak dapat lagi menuntut pengembalian tanah tersebut dari orang lain itu tadi.
Lembaga tersebut
sesuai
dengan prinsip
mengedepankan kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, tanah tidak boleh hanya
sekedar dimiliki akan tetapi tidak dipergunakan. Ini sama halnya dengan larangan
menelantarkan tanah sebagaimana dianut oleh hukum tanah nasional.
Hal tersebut sejalan dengan Pasal 27 UUPA yang mengatur bahwa Hak milik atas tanah
hapus bila :
a. tanahnya jatuh kepada Negara :
1. karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3. karena ditelantarkan;
4. karena ketentuan pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2.
b. tanahnya musnah.
Beberapa
yurisprudensi
yang
mengatur
mengenai
lembaga
pelepasan
hak
tahun
lebih
para
panggugat
asal
dianggap
telah
melepaskan
haknya
(rechtsverweking).
Berlainan dengan yang diatur dalam KUHPerdata, dalam hukum tanah nasional yang
didasarkan pada hukum adat tidak ada tenggang waktu tertentu yang ditetapkan
mengenai lampaunya waktu seperti yang diatur dalam KUHPErdata yaitu 20 dan 30
tahun. Sesuai dengan sifat hukum adat pada umumnya, yang dihitung hanyalah jangka
waktu yang dalam hal-hal tertentu dianggap patut cukup lama untuk mempengaruhi
secara langsung ata menyebabkan lenyapnya suatu hak atau kewajiban. 6 Pada akhirnya
yang menetapkan tenggang waktu tersebut adalah Hakim melalui Putusan Pengadilan.
Hakim dalam mengambil keputusan tersebut mendasarkan keputusan pada rasa
keadilan di daerah tersebut dapat dipuaskan dengan putusan pengaruh lampau waktu
tersebut.7
Dilihat dari fakta persidangan sebagimana diuraikan dalam Putusan, (Alm.) Sain bin
Balok maupun Maksun dbin Sain sejak tahun 1952 (saat keluarnya Sain bin Balok dari
tanah tersebut) sampai dengan tahun 1997 (saat dikeluarkannya Putusan Pengadilan
Agama Bekasi Nomor 061/P3HP/1997/PA.Bks) tidak terbukti bahwa mereka telah
menempati, memanfaatkan atau mengusahakan tanah tersebut. Mereka tidak ternyata
dalam jangka waktu dimaksud melakukan usaha yang nyata untuk mempertahankan
tanah yang diakui sebagai miliknya dari intervensi pihak lain dalam memanfaatkan lahan
yang bersangkutan. Dengan demikian, pemegang Girik tersebut telah ternyata
menelantarkan tanah tersebut selama jangka waktu +/- 46 tahun lamanya. Sesuai
dengan yurisprudensi tentang Rechtsverwerking, hal demikian sudah sepatutnya menjadi
pertimbangan Hakim bahwa yang bersangkutan tidak memiliki itikad untuk menjaga dan
mengurusi tanah tersebut.
Sesuai Pasal 30 huruf b UU Nomor 14 Tahun 1985, Hakim pada tingkat Kasasi seharusnya
dapat mempertimbangkan hal ini. Judex facti telah lalai untuk memperhatikan fakta
bahwa
pemegang
Girik
tidak
pernah
melakukan
suatu
tindakan
nyata
dalam
mengusahakan tanah tersebut dalam jangka waktu yang sangat lama (46 tahun). Hakim
pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah melanggar ketentuan yurisprudensi
mengenai Rechtsverwerking. Hal tersebut dapat dijadikan dasar dalam pembatalan
Putusan Judex Facti.
E. KESIMPULAN
1. Status tanah adat dengan bukti girik tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat
sebagai pembuktian kepemilikan hak atas tanah. Kedudukan girik tidak dapat
disebut
sebagai
bukti
kepemilikan
hak
atas
tanah karena
tanda
bukti
fakta
persidangan
yang
dinyatakan
dalam
Putusan
Nomor
tidak pernah
mendaftarkan girik tersebut maupun memproses sertipikat Hak Milik atas tanah
tersebut kepada Kantor Pertanahan setempat Selain itu Maksun bin Sain juga
tidak pernah menempati atau mengusahakan atau memanfaatkan tanah
sengketa. Dengan demikian secara terus menerus, Maksum bin Sain telah
13
F. DAFTAR PUSTAKA
Arie S. Hutagalung, Penerapan Lembaga :Rechtsverwerking Untuk Mengatasi
Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Dalam Pendaftaran Tanah (Suatu Kajian
Sosioyuridis), Hukum dan Pembangunan 1 (Oktober 2000)
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Arie Sukanti, et.al, ed., Hukum Pertanahan di Indonesia dan Belanda. Denpasar :
Pustaka Larasan, 2012.
B.F. Sihombing. Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia.
Jakarta : Gunung Agung, 2004
Boedi Harsono. Hukum Agaria Indonesia : Sejaran Pembentukan Undang-Undang
Agraria. Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I, Edisi Revisi, Jakarta : Djambatan,
2006.
--------, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Cet.
17, Edisi Revisi. Jakarta : Djambatan
Harris Yonathan Parmanahan Sibuea, Tinjauan Terhadap Ketidakpastian Hukum
Status Tanah Milik Adat Dengan Bukti Girik (Analisis Putusan Pengadilan
Tinggi Nomor 311/PDT/2004/PT DKI), Tesis, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Depok, 2009
Lasmaroha. Tinjauan Mengenai Lembaga Daluwarsa Pada KUHPerdata dan UUPA.
Skripsi. Depok : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1993.
14
15