Anda di halaman 1dari 15

A.

KRONOLOGIS
1. Pada sekitar tahun 1920, Sain bin Balok memiliki sebidang tanah yang terletak di
Kampung Teluk Angsan, Bekasi Timur, Bekasi. Tanah tersebut terdaftar dalam
Tanda Pendaftaran Sementara Tanah Milik Indonesia buku pendaftaran huruf C
(Girik C) No. 152 persil No. 52 Kls. D.III

tanggal 2 Januari 1951 dengan luas

+/- 11.180 m2. Batas-batas tanah tersebut adalah sebagai berikut:


-

Utara

Jalan Raya RS. Mekar Sari/bekas tanah Abdul Jain;

Timur

tanah milik Sain/ sekarang Bayudin bin Senan, Ridwan dan Jono;

Selatan

tanah milik Mpek Timblo;

Barat

Jalan Raya K.H. Agus Salim;

2. Sain bin Balok mulai menewmpati tanah, mendirikan rumah serta mengusahakan
tanah tersebut untuk bercocok tanam sejak tahun 1945;
3. Sekitar tahun 1952, Sain bin Balok dituduh sebagai dukun santet oleh warga
sekitar sehingga

rumahnya

dibakar,

kemudian

yang

bersangkutan pergi

meninggalkan tanah tersebut ke Bantar Gebang, Bekasi Timur. Tanah yang


ditinggalkan tersebut digunakan oleh para siswa SD, SMP dan SMA serta remaja
sekitar untuk bermain bola.
4. Atas penggunaan tanah tersebut, telah diterbitkan surat pungutan peralihan
pajak atas nama Sain bin Balok huruf C (Girik C) No. 152 persil No. 52.
Pembayaran pertama tanggal 10 Maret 1950 dan pembayaran kedua tanggal 2
Januari 1951 telah lunas. Bukti pembayaran untuk selanjutnya tidak ditemukan
lagi;
5. Pada tahun 1993 Said bin Balok meninggal dunia yang dinyatakan dalam Surat
Kematian Nomor 474.3/104//VI/1996;
6. Bulan November 1997, Maksum bin Sain, anak kandung dari (Alm.) Sain bin
Balok yang bertempat tinggal di Kampung Pekayon Jaya, Bekasi Selatan
memasang plang di atas tanah tersebut dengan tulisan Penetapan Pengadilan
Agama Nomor 061/P3HP/1997/PA.Bks yang menyatakan Maksum bin Sain adalah
ahli waris dan pemegang hak yang sah dari warisan (Alm.) Sain bin Balok berupa
tanah hak milik adat tersebut dengan dasar surat bukti pendaftaran sementara
tanah milik Indonesia C. No. 152 persil No. 52 Kls. D.III tanggal 2 Januari 1951
dengan luas +/- 11.180 m2;
7. Pada tanggal 4 Juni 1998 plang tersebut dirusak oleh Ketua RT setempat
bernama Bayudin bin Senandi yang mengerahkan para remaja pemain bola
setempat yang diketuai oleh Sukandi/Kaye. Perbuatan tersebut dilakukan karena
berdasarkan keterangan dari para sesepuh kampung, tanah tersebut adalah
tanah negara. Hal tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Maksun bin Sain secara

hukum

dan

berdasarkan

putusan

Pengadilan

Negeri

Bekasi

Nomor

744/Pid.B/1998/PN.Bks, Sukandi alias Kaye dinyatakan bersalah melakukan


perbuatan tindak pidana tidak menyenangkan dan dihukum pidana penjara 3
bulan dengan masa percobaan 12 bulan;
8. Pungutan pajak atas tanah tersebut masih dilakukan Kantor Pajak berdasarkan
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) tahun
1998 atas nama Sain bin Balok dan telah dibayarkan tanggal 10 September
1998. Bukti pembayaran PBB atas tanah tersebut untuk bulan berikutnya tidak
ditemukan;
9. Pada tanggal 14 Desember 1998, Maksum bin Sain membuat tembok pembatas
di sekeliling tanah yang dimaksud. Namun tindakan tersebut mendapat protes
dari remaja pemain bola sekitar termasuk Sukandi alias Kaye dengan melakukan
pengerusakan

tembok

pembatas

serta

menghancurkan

alat

dan

bahan

bangunan sehingga nyaris terjadi bentrokan;


10. Atas hal tersebut, pada tanggal 1 Februari 1999 Maksum bin Sain mengajukan
gugatan perdata terhadap Sukandi alias Kaye yang pada dasarnya menggugat
hal-hal sebagai berikut:
a. Menyatakan tanah hak milik adat C No. 153 persil No. 52 Kls. D.III

dengan

luas +/- 11.180 m2 dengan surat bukti pendaftaran hak atas tanah atas
nama Sain bin Balok yang terletak di Kampung Teluk Angsan, Jalan Raya K.H
Agus Salim/Jalan Raya Mekar Sari RT 03/07, Bekasi Jaya, Bekasi Timur adalah
sah milik Penggugat (Maksum bin Sain);
b. Menyatakan sah dan berharganya sita jaminan atas rumah Tergugat (Sukandi
alias Kaye) di Kampung Teluk Angsan, Bekasi Timur;
c. Menghukum Tergugat membayar ganti kerugian sebesar Rp 46.000.000,-;
d. Menghukum Tergugat membongkar dua tiang gawang di atas tanah milik
Penggugat;
e. Menghukum Tergugat apabila dalam delapan hari lalai dalam menjalankan isi
putusan ini dikenaan denda Rp 500.000,- per hari untuk dibayarkan kepada
Penggugat secara tunai;
f.

Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada


upaya hukum banding, kasasi maupun verzet dari Tergugat

11. Pada tanggal 3 Mei 1999 saat persidangan berjalan, muncul gugatan intervensi
yang diajukan oleh Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi (sekarang
Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi). Dalam gugatannya dinyatakan
bahwa yang bersangkutan adalah pemegang Hak Pakai atas tanah tersebut
berdasarkan :

a) Surat Keputusan Kakanwil BPN Jawa Barat Nomor 122/HP/KWBPK/1995


tanggal 22 Juni 1995; dan
b) Sertifikat Hak Pakai Nomor 12/1995 dengan gambar ukur Nomor 10450/1995
tanggal 25 September 1995;
12. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi menyatakan bahwa tanah
tersebut diperuntukan untuk pembangunan Kotamadya Tingkat II Bekasi dan
sebelum pembangunan tersebut dimulai, tanah tersebut digunakan untuk sarana
olahraga sepak bola;
13. Gugatan Pemerintah Kabupaten Daerah Tingat II Bekasi selain didasarkan bukti
surat pada huruf k, juga dikuatkan dengan peta tanah Lampiran surat keputusan
Residen Jakarta di Purwakarta tanggal 5 Januari 1957 Nomor 2/Agr/57 yang
menyatakan bahwa tanah yang disengketakan tersebut adalah tanah negara.
Selain itu dalam acara pembuktian, yang bersangkutan juga menyampaikan
bukti

surat

(dalam

salinan

Putusan

Pengadilan

Negeri

Nomor

122/Pdt.G/1998/PN.BKS tidak dinyatakan secara jelas bentuk formil alat bukti


dimaksud) yang menyatakan bahwa Girik C Nomor 152 tidak tercatat di buku
Letter C desa;
14. Terhadap gugatan intervensi yang diajukan oleh Pemerintah Kabupaten Daerah
Tingkat II Bekasi, Pengadilan Negeri Bekasi yang memeriksa dan memutus
perkara tersebut melalui Putusan Nomor 12/Pdt.G/1999/PN.BKS menyatakan
menolak gugatan intervensi dari Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi
dengan memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. Sain bin Balok telah menguasai tanah tersebut dari tahun 1945 sampai
1952;
b. Girik C Nomor 152 persil 52 kelas D III tercatat atas nama (Alm.) Said bin
Balok. Selain itu (Alm.) Said bin Balok dan Maksun bin Said selaku ahli waris
(Alm.) Said bin Balok telah membayar PBB atas tanah tersebut;
c. Putusan Pengadilan Agama Nomor 061/P3HP/1997/PA.Bks telah menetapkan
tanah sengketa sebagai tanah wars dari Sain Bin Balok dan hal tersebut
menguatkan kepemilikan Maksun bin Sain atas tanah dimaksud;
d. Walaupun tidak dalam bentuk sertifikat, harus dianggap bahwa tanah
sengketa sebagai tanah milik adat yang terdaftar atas nama Sain bin Balok
dan Maksun bin Sain adalah ahli waris Sain bin Balok;
e. Pengadilan beranggapan bahwa terdapat kejanggalan dari segi administrasi
penerbitan sertifikat Hak Pakai Nomor 12/1995 yaitu:
1) Keputusan lebih dahulu diberikan dari permohonan (putusan tanggal
22 Juni 1995 sedangkan permohonan tanggal 28 Juni 1995);

2) Pengukuran lebih dahulu dari permohonan (pengukuran tanggal 24 Mei


1995, sedangkan permohonan tanggal 28 Juni 1995);
f.

Tanah negara harus diartikan belum pernah diusahai dan dikuasai pihak lain
dan belum terdaftar atas nama siapapun. Dengan demikian tanah tersebut
tetap dianggap tanah milik adat atas nama Sain bin Balok dan walaupun
telah lama tidak dikuasainya, tidak ada lewat waktu (vrijwaring) atas tanah
milik adat;

15. Atas

putusan

tersebut

Pemerintah

Kabupaten

Daerah

Tingkat

II

Bekasi

mengajukan banding dan berdasarkan Putusan Nomor 441/Pdt/1999/PT.Bdg,


Pengadilan Tinggi Bandung menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Bekasi
Nomor 12/Pdt.G/1999/PN.BKS;
16. Atas

putusan

tersebut

Pemerintah

Kabupaten

Daerah

Tingkat

II

Bekasi

mengajukan kasasi dan melalui Putusan Nomor 2811 K/Pdt/2000, Mahkamah


Agung nenolak permohonan kasasi tersebut dengan pertimbangan hukum
sebagai berikut:
a. Dalam hal keberatan mengenai adalanya kesalahan Pengadilan Negeri
Bekasi

dalam

melaksanakan

hukum

acara

perdata

yang

tidak

dipertimbangkan sehingga menyebabkan pertimbangan Pengadilan Tinggi


menjadi tidak lengkap serta gugatan Penggugat asal (Maksun bin Sain) yang
kabur, atas keberatan tersebut Mahkamah Agung menyatakan judex facti
tidak melakukan kesalahan;
b. Dalam hal keberatan tentang cara pembuktian kepemilikan tanah dimaksud
dengan berdasarkan girik dan melemahkan pembuktian sertifikat Hak Pakai
Nomor 12/1995, Mahakamah Agung menyatakan judex fati tidak salah
menerapkan hukum. Penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan
tentang suatu kenyataan tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan
tingkat kasasi;
17. Atas

putusan

mengajukan

tersebut
Peninjauan

Pemerintah
Kembali

Kabupaten

dan

Daerah

berdasarkan

Tingkat

Putusan

II

Bekasi

Nomor

295

PK/Pdt/2004, Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali


tersebut dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. Terhadap keberatan yang menyatakan bahwa luas tanah yang didalilkan
penggugat asli seluas 11.800 m2 sebagaimana tertera dalam girik C Nomor
152 secara fakta tidak sesuai dengan sertifikat Hak Pakai Nomor 12/1995
dengan luas 7.040 m2. Mahkamah agung menyatakan keberatan tersebut
tidak dapat dibenarkan karena tidak terdapat kekeliruan nyata dalam
menerapkan hukum pembuktian;

b. Terhadap keberatan yang yang menyatakan Majelis Hakim Pengadilan Negeri


Bekasi telah memutuskan untuk menghukum siaoa saa yang menguasai
tanah untuk menyerahkan kepada Penggugat asal (Maksun bin Sain) dalam
keadaan baik atau kosong, di mana hal tersebut tidak termuat dalam posita
maupun petitum Penggugat asal. Atas keberatan tersebut Mahkamah Agung
menyatakan Hakim dapat mengabulkan lebih dari yang digugat selama hal
tersebut masih sesuai dengan kejadiam materiil (putusan Mahkamah Agung
Nomor 556/Sip1071 tanggal 8 Januari 1972);
c. Terhadap keberatan yang menyatakan bahwa Majelis Hakim Tingkat Kasasi
dan Banding yang membenarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi perihal
kejanggalan Sertifikat Hak Pakai Nomor 12/1995 (penjelasan nomor 11),
dengan penjelasan bahwa:
1) Dalam Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Jawa Barat Nomor : 122/HP/KWBPN/1995, tanggal 22
Juni 1995, sangat jelas permohonan diajukan tanggal 11-05-1995 dari
Drs. H. Herry Koesaeri, S.;
2) Selanjutnya setelah permohonan pertama tersebut, Kantor Badan
Pertanahan

Nasional

mencocokkan

Bekasi

lokasi

yang

mengadakan

dimohonkan

pengukuran

sebagaimana

untuk

dalam

surat

tertanggal 24 Mei 1995 dimaksud;


3) Oleh karena, setelah keluarnya Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah
Badan

Pertanahan

122/HP/KWBPN/1995,

Nasional
tanggal

Provinsi
22

Jawa

Barat

Nomor

Juni 1995, bukanlah suatu final

terbitnya sertifikat, karena prosedur yang diharuskan secara administrasi


yang diwajibkan dalam Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal
04-05-1992

No.

500-1255

tentang

prosedur

mengenai

Petunjuk

Pelaksanaan Tentang Tata Cara Pengurusan Hak dan Penyelesaian


Sertifikat yang dikuasai oleh instansi pemerintah. Dimana setelah
keluarnya

keputusan

dimaksud,

diharuskan

mengajukan

lagi

permohonan sertifikat, maka Penggugat Intervensi (Pemohon Peninjauan


Kembali) mengajukan permohonan Sertifikat Hak Pakai atas nama Pemda
Tingkat II Bekasi sebagaimana dimaksud dalam surat tanggal 28 Juni
1995
Mahkamah Agung berpendapat bahwa hal tersebut bukan surat bukti baru
yang merupakan surat bukti yang bersifat menentukan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 67 huruf b UU Nomor 14 Tahun 1984 jo. UU Nomor 5
Tahun 2004.

B. LEGAL QUESTION/PERMASALAHAN
1. Bagaimana kekuatan pembuktian surat girik dan SPPT PBB sebagai dasar
penentuan hak atas tanah?
2. Mengingat (Alm.) Sain bin Balok dan Maksun bin Sain tidak pernah menempati
maupun mengusahakan tanah sengketa sejak tahun 1952 hingga tahun 1997,
apakah lembaga verjaring (daluwarsa atau lampau waktu) dapat dijadikan dasar
hilangnya hak yang bersangkutan atas tanah tersebut?

C. DASAR HUKUM
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria;
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubang dengan UU Nomor 5 Tahun 2004;
4. UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana
dengan UU Nomor 12 Tahun 1994;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah dicabut dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
6. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah

D. KAJIAN
Nomor 1
Alat bukti hak atas tanah diatur Pasal 19 ayat (2) Nomor 5 Tahun 1960 yang menyatakan
bahwa Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat. Kuat berarti bahwa selama tidak ada alat bukti lain yang membuktikan
ketidakbenarannya maka data yang disajikan dalam buku tanah dan peta pendaftaran
tanah harus diterima sebagai data yang benar. 1
Pembuktian hak lama atas tanah diatur dalam Pasal 24 PP Nomor 24 tahun 1997 yang
mengatur bahwa Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari
konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut

1 Boedi Harsono. Hukum Agaria Indonesia : Sejaran Pembentukan UndangUndang Agraria. Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I, Edisi Revisi, Jakarta : Djambatan,
2006, hlm. 83.
6

berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan
yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara
sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara
sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain
yang membebaninya. Sesuai Pasal 24 ayat (1) bukti tertulis dimaksud adalah surat Girik.
Adapun penjelasan Pasal 24 ayat (1) menjelaskan bukti kepemilikan itu pada dasarnya
terdiri dari bukti kepemikikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UUPA
dan apabila hak tersebut beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai pada tangan
pemegang hak pada waktu dibukukan hak. Alat bukti tertulis dimaksud salah satunya
adalah Girik (Penjelasan Pasal 24 (1) huruf f PP Nomor 24 Tahun 1997). Namun karena
sengketa ini terjadi sebelum berlakunya PP Nomor 34 Tahun 1997, maka pengaturan ini
tidak dapat diberlakukan dalam analisa kasus ini.
Proses pendaftaran tanah sebenarnya telah diamanatkan melalui Pasal 19 UUPA. Dalam
Pasal 19 ayat (2), kegiatan pendaftaran tanah meliputi pemberian surat tanda bukti hak
yang berlaku sebagai pembuktian yang kuat. Sebelum berlakunya PP Nomor 24 Tahun
1997, kegiatan pendaftaran tanah dilakukan berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 1961.
Dalam hal tanah warisan sebagaimana dalam kasus di atas, pendaftaran atas tanah
tersebut dilakukan dengan menyerahkan dokumen sebagai berikut:
a. surat atau surat-surat bukti hak yang disertai keterangan Kepala Desa yang
membenarkan surat atau surat-surat bukti hak itu. Keterangan Kepala Desa tersebut
harus dikuatkan oleh Asisten Wedana.
b. surat wasiat dan jika tak ada surat wasiat surat keterangan warisan dari instansi
yang berwenang.
c.
Salah satu bentuk surat yang sering dipakai dalam pendaftarn dimaksud adalah Girik.
Girik merupakan bukti pembayaran pajak di desa-desa. Sebelum berlakunya UUPA
pencatatan dilakukan untuk menentukan bidang-bidang tanah atau pekarangan berikut
pohon-pohon yang telah diberikan kepada orang-orang tertentu yang disertai dengan
pencatatan nama dan pemiliknya masing-masing. Pencatatan ini bertujuan untuk
menetapkan bagian masing-masing penguasa bidang tanah dalam pajak umum yang
telah direncanakan serta untuk meyelesaikan perkara batas tanah.
Girik berfungsi sebagai surat pengenaan dan tanda pembayaran pajak, di kalangan
rakyat danggap dan diperlakukan sebagai tanda bukti kepemilikan tanah yang
bersangkutan. Adapun sebenarnya kegunaan girik adalah sebagai pegangan wajib pajak
dalam rangka mengoreksi ketetapan pajak yang dikenakan terhadap nama yang
tecantum dalam girik tersebut.

2 B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia.


Jakarta : gunung Agung, 2004, hlm. 68.
7

Dalam praktiknya dokumen Girik cukup kuat dijadikan dasar permohonan hak atas tanah
karena pada dasarnya hukum tanah Indonesia bersumber dari hukum adat. Hal ini dapat
dilihat dari Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang mengatur bahwa,
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang

tidak

bertentangan

dengan

kepentingan

nasional

dan

Negara,

yang

berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan


peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya, segala sesuatau dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama.
Sebagaimana diketahui bahwa sampai dengan tahun 1961 (sebelum berlakunya UUPA),
di Indonesia dikenal 3 jenis pungutan pajak yang masing-masing dikenakan sesuai
dengan status tanah yang ada yaitu Verponding Eropa untuk tanah Hak Barat,
Verponding Indonesia untuk tanah yang berstatus Hak Adat yang berada di wilayah
Gemeente dan Landrete atau pajak bumi untuk tanah dengan status hak adat yang
berada di luar wilayah Gemeente. Pengenaan pajak dilaksanakan dengan menerbitkan
surat pengenaan pajak atas pemilik tanah, surat inilah yang dikenal dengan Girik. Girik
sebenarnya hanya merupakan surat pengenaan dan pembayaran pajak dari pemilik atau
pemegang hak atas tanah kepada Pemerintah bukan merupakan pengakuan Pemerintah
atas tanah yang dimilikinya.
Dalam hukum pajak di Indonesia, iuran penggunaan tanah sebagaimana dimaksud di
atas telah berganti nama menjadi Iuran Pembayaran Daerah (IPEDA) kemudian PBB. 3
IPEDA dan PBB tidak berkaitan langsung dengan sistem tanah, sehingga antara status
tanah dan hubungan dengan wajib pajak bukan sebagai faktor penentu penetapan pajak.
Dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan,
diatur bahwa : Yang menjadi Subyek Pajak adalah orang atau badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Penjelasan tersebut memberi penegasan bahwa girik atau surat pajak lainnya tidak
dapat dijadikan bukti hak atas tanah. Tentang hal tersebut, Mahkamah Agung dalam
putusannya Nomor 34/K/Sip/1960 juga memutuskan bahwa girik tidak dapat diterima
sebagai tanda bukti pemilikan tanah meskipun telah dikenakan pajak. Penegasan lain
yang menyatakan bahwa tanda pembayaran pajak bukan merupakan bukti kepemilikan
tanah adalah sebagaimana tercantum dalam SPPT PBB yang menyatakan bahwa Tanda
pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti kepemilikan hak

3 Harris Yonathan Parmanahan Sibuea, Tinjauan Terhadap Ketidakpastian Hukum


Status Tanah Milik Adat Dengan Bukti Girik (Analisis Putusan Pengadilan Tinggi
Nomor 311/PDT/2004/PT DKI), Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Depok, 2009, hlm 78.
8

Dilihat dari kasus di atas, dalam bagian pertimbangan hukum, Hakim membuat
penentuan kepemilikan atas tanah berdasarkan Girik yang dimiliki oleh Maksun bin Sain
sebagai ahli waris dari (Alm.) Sain bin Balok. Sesuai penjelasan di atas, hal tersebut
bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Girik tidak dapat dijadikan sebagai bukti
kepemilikan tanah karena ia hanya merupakan surat bukti bahwa yang dimaksud
terdaftar dalam objek pajak. Seharusnya Hakim dapat menelusuri lebih dalam mengenai
keberadaan dan status hukum Girik terhadap tanah.
Apabila ditinjau dari Peraturan Pemerintah mengenai Pendaftaran Tanah (baik PP Nomor
10 Tahun 1961 maupun PP Nomor 24 Tahun 1997), dokumen Girik secara formil dapat
dijadikan salah satu dasar pemberian hak atas tanah. Namun hal tersebut tidak menjadi
bukti yang paling menentukan, karena dalam peraturan pertanahan yang berlaku di
Indonesia hak atas tanah juga ditentukan dari sisi materiil orang yang memiliki Girik.
Apabila ternyata orang tersebut lalai atau menelantarkan tanahnya, maka hal itu dapat
menyebabkan ia dapat dianggap melepaskan haknya atas tanah tersebut. Penjelasan hal
ini akan diuraikan dalam kajian Nomor 2.
Sesuai Pasal 30 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diatur bahwa
Mahkamah

Agung

dalam

tingkat

kasasi

membatalkan

putusan

atau

penetapan

Pengadilan-pengadilan dari semua Lingkungan Peradilan karena:


a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan
yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Berkaitan dengan yang telah diputuskan Pengadilan Negeri Bekasi dan Pengadilan Tinggi
Bandung mengenai penentuan kepemilikan tanah tersebut hanya berdasarkan Girik,
maka telah ternyata bahwa Hakim telah melanggar hukum yang berlaku. Judex facti
telah ternyata melakukan kesalahan dalam menilai penghargaan terhadap suatu alat
bukti yang menentukan. Dalam hal ini seharusnya Mahkamah Agung memutuskan untuk
menerima permohonan Kasasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II Bekasi
selaku pemegang sertifikat Hak Pakai Nomor 12/1995. Selanjutnya Hakim Kasasi harus
mempertimbangkan status hukum Girik sebagai dokumen pajak bukan sebaga tanda
bukti kepemilikan tanah serta perbuatan pembiaran atas tanah baik yang dilakukan oleh
Maksun bin Sain maupun (Alm.) Sain bin Balok.

Nomor 2

Dalam hukum perdata di Indonesia, lembaga Daluawarsa (Verjaring) merupakan salah


satu cara untuk memperoleh hak kebendaan. Daluawarsa (Verjaring) diatur dalam Pasal
1946 sampai Pasal 1993 KUHPerdata. Pengertian dasar lembaga ini terdapat pada Pasal
1946 KUPerdata yang menyatakan bahwa, Daluarsa atau lampau waktu adalah suatu
alat untuk sesudahnya waktu tertentu dan menurut syarat-syarat yang ditentukan
undang-undang mendapatkan sesuatu atau dibebaskan dari suatu ikatan.
Lembaga Daluawarsa (Verjaring) diatur dalam Pasal 1963 ayat 1 dan ayat 2 yang
mengatur bahwa, seseorang yang dengan itikad baik memperoleh suatu barang tak
bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yan tidak harus dibayar atas tunjuk
dengan suatu besit selama dua puluh tahun, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan
lewat waktu. Seseorang yang dengan itikad baik menguasai sesuatu selama tiga puluh
tahun memperoleh hak milik tanpa dapat dipaksa untuk menunjukkan alas haknya.
Dengan diberlakukannya UUPA, maka beberapa aturan mengenai pertanahan yang diatur
dalam KUHPerdata sudah tidak berlaku lagi. Salah satunya adalah lembaga Daluwarsa
(Verjaring).
Sesuai dengan Pasal 5 UUPA, hukum pertanahan di Indonesia disusun dan dilaksakan
berdasarkan hukum adat. Dalam hukum adat, tidak dikenal lembaga daluwarsa, maka
UUPA tidak mengenal adanya lembaga daluarsa. Lembaga yang dikenal dalam hukum
adal adalah lembaga kehilangan hak menuntut atau rechtverwerking.
Dalam hukum adat terdapat hubungan antara manusia dan tanah itu sendiri. Hubungan
tersebut dapat diakhiri, dilepas atau diputus tetapi tidak dapat dihilangkan. Pemutusan
hubungan tersebut dapat dinyatalan secara langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung dinyatakan melalui tindakan pembiaran

tanah tidak dirawat maupun

dipelihara. Sedangkan pemutusan tidak langsung dinyatakan melalui pernyataan


kehendak

yang

bersangkutan

kepada

masyarakat

maupun

penguasa

organisasi

masyarakat. Dengan demikian dalam hukum adat tidak dikenal arti kehilangan hubungan
atau kehilangan hak atas tanah, sebab hubungan adalah sesuatu yang bersifat abadi
meskipun ia dapat diputus atau

dilepaskan. Dalam konteks ini pemutusan hubungan

antara individu atas tanah, Teer Har menggunakan istilah rechtsverwerking yang
diterjemahkan sebagai penghilangan hak sendiri atau pelepasan hak. 4 Inti dari lembaga
ini adalah apabila seseorang mempunyai tanah tetapi selama jangka waktu tertentu
membiarkan tanahnya tidak terurus dan tanah itu dipergunakan orang lain dengan itikad
baik, dia tidak dapat lagi menuntut pengembalian tanah tersebut dari orang lain itu tadi.

4 Tonton Suprapto dan H. Muchsin, Kepastian dan Perlindungan Hukum pada


Landasan Keadilan dan Kebenaran, Makalah, hlm. 11, sebagaimana dikutip oleh
Lasmaroha, Tinjauan Mengenai Lembaga Daluarsa pada Kitab UndangUndang Hukum Perdata dan Undang-Undang Pokok Agraria, FHUI, Depok,
2002
10

Lembaga tersebut

sesuai

dengan prinsip

yang dianut oleh hukum adat yang

mengedepankan kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, tanah tidak boleh hanya
sekedar dimiliki akan tetapi tidak dipergunakan. Ini sama halnya dengan larangan
menelantarkan tanah sebagaimana dianut oleh hukum tanah nasional.
Hal tersebut sejalan dengan Pasal 27 UUPA yang mengatur bahwa Hak milik atas tanah
hapus bila :
a. tanahnya jatuh kepada Negara :
1. karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3. karena ditelantarkan;
4. karena ketentuan pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2.
b. tanahnya musnah.
Beberapa

yurisprudensi

yang

mengatur

mengenai

lembaga

pelepasan

hak

(rechtsverwerking) antara lan:


a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 210/K/Sip/1995 tanggal 10 Januari 19575
Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima karena penggugat dengan mendiamkan
soalnya selama 25 tahun (dua puluh lima) tahun harus dianggap menghilangkan
haknya;
b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 916.K/Sip/1973 tanggal 19 Desember 1973
Dalam hukum adat dengan lewatnya waktu saja hak milik atas tanah tidak akan
hapus
c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 295.K/Sip/1973 tanggal 9 Desember 1975
Penggugat telah membiarkan haknya berlalu sampai tak kurang dari 20 tahun
semasa hidupnya Daeng Patappu tersebut, suatu masa yang cukup lama sehingga
mereka bisa dianggap telah meninggalkan haknya yang mungkin ada di atas sawah
sengketa sedang terguguat-pembandung dapat dianggpa sudah memperoleh hak
milik atas sawah sengketa.
d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 408.K/Sip/1973 tanggal 9 Desember 1975
Para Penggugat-Terbanding yang telah 30 tahun lebih membiarkan tanah-tanah
sengketa dikuasai oleh Alm, Ny. Ratiem dan kemudian oleh anak-anaknya, hak
mereka sebagai ahli waris yang lain dari Alm, Atma untuk emnuntut hak tersebut
telah sangat lewat waktu.
e. Putusan Mahkamah Agung Nomr 707/K.Sip/1972 tanggal 4 Desember 1975

5 Arie S. Hutagalung, Penerapan Lembaga :Rechtsverwerking Untuk Mengatasi


Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Dalam Pendaftaran Tanah (Suatu Kajian
Sosioyuridis), Hukum dan Pembangunan 1 (Oktober 2000), hlm. 337.
11

Diamnya Penggugat-Pembanding tidak dapat dijandikan dasar untuk pelepasan hak,


tetapi harus disertai dengan tindakan-tindakan lain uang menyatakan adanya
kehendak untuk pelepasan hak itu.
f.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 200.K/Sip/1974 tanggal 11 Desember 1975


Keberatan yang diajukan Penggugat untuk Kasasi adalah bahwa hukum adat tidak
mengenal daluarsa dalam hal warisan. Tidak dapat dibenarkan, karena gugatan telah
ditolah bukan atas alasan kedaluarsanya gugatan, tetapi karena berdiam diri selama
30

tahun

lebih

para

panggugat

asal

dianggap

telah

melepaskan

haknya

(rechtsverweking).
Berlainan dengan yang diatur dalam KUHPerdata, dalam hukum tanah nasional yang
didasarkan pada hukum adat tidak ada tenggang waktu tertentu yang ditetapkan
mengenai lampaunya waktu seperti yang diatur dalam KUHPErdata yaitu 20 dan 30
tahun. Sesuai dengan sifat hukum adat pada umumnya, yang dihitung hanyalah jangka
waktu yang dalam hal-hal tertentu dianggap patut cukup lama untuk mempengaruhi
secara langsung ata menyebabkan lenyapnya suatu hak atau kewajiban. 6 Pada akhirnya
yang menetapkan tenggang waktu tersebut adalah Hakim melalui Putusan Pengadilan.
Hakim dalam mengambil keputusan tersebut mendasarkan keputusan pada rasa
keadilan di daerah tersebut dapat dipuaskan dengan putusan pengaruh lampau waktu
tersebut.7
Dilihat dari fakta persidangan sebagimana diuraikan dalam Putusan, (Alm.) Sain bin
Balok maupun Maksun dbin Sain sejak tahun 1952 (saat keluarnya Sain bin Balok dari
tanah tersebut) sampai dengan tahun 1997 (saat dikeluarkannya Putusan Pengadilan
Agama Bekasi Nomor 061/P3HP/1997/PA.Bks) tidak terbukti bahwa mereka telah
menempati, memanfaatkan atau mengusahakan tanah tersebut. Mereka tidak ternyata
dalam jangka waktu dimaksud melakukan usaha yang nyata untuk mempertahankan
tanah yang diakui sebagai miliknya dari intervensi pihak lain dalam memanfaatkan lahan
yang bersangkutan. Dengan demikian, pemegang Girik tersebut telah ternyata
menelantarkan tanah tersebut selama jangka waktu +/- 46 tahun lamanya. Sesuai
dengan yurisprudensi tentang Rechtsverwerking, hal demikian sudah sepatutnya menjadi
pertimbangan Hakim bahwa yang bersangkutan tidak memiliki itikad untuk menjaga dan
mengurusi tanah tersebut.

6 Baca R. Susanto, Hukum Pertanahan (Agraria). Jakarta : Pradnya Paramita,


1983, hlm. 35.
7 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak-Hak Atas Benda.
Jakarta : Pembimbing Masa, 1965, hlm. 60.
12

Sesuai Pasal 30 huruf b UU Nomor 14 Tahun 1985, Hakim pada tingkat Kasasi seharusnya
dapat mempertimbangkan hal ini. Judex facti telah lalai untuk memperhatikan fakta
bahwa

pemegang

Girik

tidak

pernah

melakukan

suatu

tindakan

nyata

dalam

mengusahakan tanah tersebut dalam jangka waktu yang sangat lama (46 tahun). Hakim
pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah melanggar ketentuan yurisprudensi
mengenai Rechtsverwerking. Hal tersebut dapat dijadikan dasar dalam pembatalan
Putusan Judex Facti.

E. KESIMPULAN
1. Status tanah adat dengan bukti girik tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat
sebagai pembuktian kepemilikan hak atas tanah. Kedudukan girik tidak dapat
disebut

sebagai

bukti

kepemilikan

hak

atas

tanah karena

tanda

bukti

kepemilikan tanah yang diakui oleh peraturan perundang-undangan adalah


sertipikat. Girik hanya berfungsi sebagai alat bukti pembayaran pajak atau
sebagai bukti bahwa tanah dimaksud telah didaftarkan sebagai objek pajak pada
masa sebelum berlakunya UUPA. Dengan demikian seharusnya Majelis Hakim
mempertimbangkan lebih dalam mengenai sejarah penggunaan Girik di
Indonesia dan tidak secara serta merta menjadikan Girik sebagai dasar
kepemilikan Maksun bin Sain terhadap tanah sengketa;
2. Dalam hukum pertanahan di Indonesia, tidak dikenal daluwarsa dalam pemilikan
tanah. Setelah diberlakukannya UUPA, lembaga daluwarsa tersebut dihapuskan
dan digantikan dengan lembaha Rechtsverwerking atau pelepasan hak atas
tanah. Hal tersebut didasari pada pemikiran bahwa UUPA disusun dan
dilaksanakan berdasarkan hukum adat di Indonesia. Dalam hukum adat
hubungan antara manusia dan tanah tidak dapat dihilangkan, akan tetapi dapat
diputus atau dilepaskan. Proses pemutusan hak inilah yang diadopsi UUPA
melalui lembaga Rechtverwerking;
3. Dari

fakta

persidangan

yang

dinyatakan

dalam

Putusan

Nomor

122/Pdt.G/1998/PN.BKS dinyatakan bahwa (Alm.) Sain bin Balok maupun Maksun


bin Sain dalam jangka waktu tahun 1952 (saat keluarnya Sain bin Balok dari
tanah tersebut) sampai dengan tahun 1997 (saat dikeluarkannya Putusan
Pengadilan

Agama Bekasi Nomor 061/P3HP/1997/PA.Bks)

tidak pernah

mendaftarkan girik tersebut maupun memproses sertipikat Hak Milik atas tanah
tersebut kepada Kantor Pertanahan setempat Selain itu Maksun bin Sain juga
tidak pernah menempati atau mengusahakan atau memanfaatkan tanah
sengketa. Dengan demikian secara terus menerus, Maksum bin Sain telah

13

melakukan pembiaran atas tanah yang bersangkutan. Dengan demikian Maksud


bin Sain memenuhi unsur dalam lembaga pelepasan hak atas tanah atau
Rechsverweking.
4. Berdasarkan uraian di atas seharusnya Mahkamah Agung selaku Judex Iuris
memeriksa dan mempertimbangkan kembali Putusan Judex Facti. Hal ini
berkaitan dengan kelalaian Judex Facti dalam mempertimbangkan status hukum
Girik dan fakta bahwa seharusnya Maksun bin Sain sudah memenuhi syarat
untuk melakukan Rectsverwerking;

F. DAFTAR PUSTAKA
Arie S. Hutagalung, Penerapan Lembaga :Rechtsverwerking Untuk Mengatasi
Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Dalam Pendaftaran Tanah (Suatu Kajian
Sosioyuridis), Hukum dan Pembangunan 1 (Oktober 2000)
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Arie Sukanti, et.al, ed., Hukum Pertanahan di Indonesia dan Belanda. Denpasar :
Pustaka Larasan, 2012.
B.F. Sihombing. Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia.
Jakarta : Gunung Agung, 2004
Boedi Harsono. Hukum Agaria Indonesia : Sejaran Pembentukan Undang-Undang
Agraria. Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I, Edisi Revisi, Jakarta : Djambatan,
2006.
--------, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Cet.
17, Edisi Revisi. Jakarta : Djambatan
Harris Yonathan Parmanahan Sibuea, Tinjauan Terhadap Ketidakpastian Hukum
Status Tanah Milik Adat Dengan Bukti Girik (Analisis Putusan Pengadilan
Tinggi Nomor 311/PDT/2004/PT DKI), Tesis, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Depok, 2009
Lasmaroha. Tinjauan Mengenai Lembaga Daluwarsa Pada KUHPerdata dan UUPA.
Skripsi. Depok : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1993.

14

R. Susanto, Hukum Pertanahan (Agraria). Jakarta : Pradnya Paramita, 1983

15

Anda mungkin juga menyukai