Anemia Aplastik
Disusun Oleh:
NURUL HIDAYAH
NIM. G2A216095
BAB 1
PENDAHULUAN
1. LATAR BELKANG
Di dalam tubuh manusia, ada alat transportasi yang berguna sebagai pengedar
oksigen dan zat makanan ke seluruh sel-sel tubuh serta mengangkut karbon dioksida
dan zat sisa ke organ pengeluaran. Alat transportasi pada manusia terkoordinasi
dalam suatu sistem yang disebut sistem peredaran darah. Sistem peredaran darah
manusia terdiri atas darah, jantung, dan pembuluh darah.
Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali
tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi untuk mengirimkan zatzat dan oksigen yang
dibutuhkan oleh jaringan tubuh, mengangkut bahan bahan kimia hasil metabolisme,
dan juga sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri. Istilah medis yang
berkaitan dengan darah diawali dengan kata hemo atau hemato yang berasal dari kata
Yunani yang berarti haima yang berarti darah.
Darah manusia berwarna merah, namun dalam hal ini warna darah ada dua
jenis warna merah pada darah manusia. Warna merah terang menandakan bahwa
darah tersebut mengandung banyak oksigen, sedangkan warna merah tua
menandakan bahwa darah tersebut mengandung sedikit oksigen atau dalam arti lain
mengandung banyak karbondioksida. Warna merah pada darah disebabkan oleh
adanya hemoglobin. Hemoglobin adalah protein pernafasan (respiratory protein)
yang mengandung besi (Fe) dalam bentuk heme yang merupakan tempat terikatnya
molekul-molekul oksigen.
Darah juga mengangkut bahan-bahan sisa metabolisme, obatobatan dan bahan
Kimia asing ke hati untuk diuraikan dan ke ginjal untuk dibuang sebagai air seni.
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
SISTEM HEMATOLOGI
A. Pengertian
Hematologi adalah cabang ilmu kesehatan yang mempelajari darah, organ
pembentuk darah dan penyakitnya. Asal katanya dari bahasa Yunani haima
artinya darah. Darah adalah suatu suspensi partikel dalam suatu larutan kolid cair
yang mengandung elektrolit dan merupakan suatu medium pertukaran antar sel
yang terfikasi dalam tubuh dan lingkungan luar (Silvia A. Price dan Lorraine M.
Wilson : 2005 ). Jumlahnya mencapai 6 8 % dari berat badan total tau sekitar 5
liter. Darah berbentuk cairan yang berwarna merah dan agak kental.
Sistem hematologi terdiri dari semu sel-sel darah, sumsum tulang tempat
sel-sel tumbuh matang dan jaringan limfoid tempat sel darah disimpan jika tidak
bersirkulasi. sistem hematologi dirancang untuk membawa oksigen dan nutrisi,
mengangkut hormon, membuang produk sampah, menghantarkan sel-sel untuk
mencegah
infeksi,
menghentikan
perdarahan
dan
memfasilitasi
proses
mengangkut
berbagai
bahan
dalam
tubuh,
menyerap
dan
berbagai zat dalam plasma. bila kadar albumin darah rendah, maka cairan
akan keluar dari pembuluh darah dan pindah ke ruang intertisial.
b. Globulin
globulin berfungsi mengikat hormon yang tidak larut dan sisa plasma
lainnya agar dapat larut. proses ini memungkinkan zat-zat tersebut dapat
diangkut dari tempat asalnya menju tempat targetnya. zat-zat tersebut
misalnya hormone tiroid, besi, fosfolipid, bilirubin, hormone steroid dan
kolesterol. globulin terdiri dari globulin , dan . Globulin , spesifik
mengikat dan mengankut sejumlah zat dalam plasma dan sebagai faktor
pembekuan darah sedangkan Globulin (gama) berperan sebagi anti bodi.
c. Fibrinogen ( faktor pembeku darah/ Prokoagullan )
Proses pembekuan darah dapat terjadi karna terjadi interaksi
enzimatik antara prokoagullan,fosfolipid,dan ion Cl. Prokoagulan berada
dalam sirkualasi darah dengan bentuk isi aktif dan aktifasinya, biasanya
di awali oleh luka pada pembuluh darah ada 15 prokoagulan dimana yang
13 diantaranya telah diberi simbol angka romawi I sampai dengan XIII.
1) Faktor I disebut dgn fibrinogen. Disintesis di hati pada mekanisme
pembekuan darah factor ini terlibat pada jalur intrinsic dan jalur
ekstrinsik
2) Faktor II (Prothrombin): sebuah faktor koagulasi yang merupakan
protein plasma dan diubah menjadi bentuk aktif trombin (faktor IIa)
oleh pembelahan dengan mengaktifkan faktor X (Xa) di jalur umum
dari pembekuan. Fibrinogen trombin kemudian memotong ke bentuk
aktif fibrin. Kekurangan faktor menyebabkan hypoprothrombinemia.
3) Faktor III disebut dengan trombopiastine jaringan. Disintesis di
jaringan (otak,paru-paru,plasenta) disebut juga faktor jaringan.
4) Faktor
IV disebut
dengan
ion
kalsium
(Ca).
Berasal
dari
Disebut
factor
stabil,disintesis
dihati
termasuk
Stuart-faktor.
Bentuk
yang
diaktifkan
disebut
juga
thrombokinase.
11) Faktor XI disebut PTA(plasma thromboplastiarik acenden). Disintesis
di hati terlibat unsure intrinsic
12) Faktor XII disebut Hageman. Disintesis dihati dan terlibat unsure
ektrinsik dan intrinsic
13) Faktor XIII : Fibrin stabilizing factor (FSF). Disintesis di hati dan
megakarosit
14) Faktor XIV (belum dapat angka romawi). Disebut dengan prekalikreisi
atau factor fletcher pada intrinsic
15) Faktor XV (High molecular weigh kininogen=HMWIK). Kininogen
berat
molekul
tinggi.
Disebut
factor
fitgerait=factor
JALUR EKSTRINSIK
sel endotel
yang rusak
sel endotel
yang rusak
XI inaktif
XI a aktif
VII a aktif
VII a inaktif
VII inaktif
VIII a aktif
IX inaktif
IX a aktif
X inaktif
IX inaktif
X a aktif
protrombin
trombin
Fibrinogen
fibrin
X inaktif
denagn volume yang sama. Tebalnya 1 cm bagian tengah dan tepi luar 2
cm fungsinya memeungkin O2 berdifusi lebih cepat antara bagian paling
dalam sel dengan ekteriumnya.
Garis depannya 8cm. Fungsinya agar mampu mengalami
deformasi saat mereka menyelinap satu persatu melalui kapiler.
Hematokritnya 36 %- 48 % untuk untuk wanita dan 42%-52% untuk pria.
sel darah merah mempunyai Hemoglobin. Hemoglobin adalah suatu
pigmen (yaitu secara alamiah berwarna. Karena kandungan besinya ,
hemoglobin tampak kemerahan apabila berikatan dengan O2 dan
kebiruan apabila mengalami deoksigenasi. Dengan demikian ,darah arteri
yang teroksigenasi sempurna tampak merah dan darah vena yang telah
kehilangan sebagian O2 nya di jaringan memperlihatkan rona
kebiruan.Selain mengangkut O2,hemoglobin juga dapat berikatan dengan
zat-zat berikut:
1) Karbondioksida,Dengan demikian , hemoglobin ikut berperan
mengangkut zat ini dari jaringan kembali ke paru.
2) Bagian ion hydrogen asam (H+) dari asam karbonat yang terionisasi
,yang dibentuk dari CO2 pada tingkat jarigan. Hemoglobin ,dengan
demikian ,menyangga asam ini, sehingga pH tidak terlalu terpengaruh.
3) Karbon monoksida(CO).Gas ini dalm keadaan normal tidak terdapat
dalam darah tetapi ,jika terhirup ,menempati tempat pengikatan O2 di
hemoglobim ,sehingga terjadi keracunan karbon monoksida
Molekul hemoglobin terdiri dari 2 bagian yaitu bagian
Globin,suatu protein yang terbentu dari empat rantai polipeptida yang
sangat berlipat-lipat dan gugus nitrogenosa nonprotein mengandung besi
yang dikenal sebagai gugus hem (heme) ,yang masing-masing terikat ke
satu polipeptida.
Eritrotrosit matang mempunyai enzim yaitu enzim glikolitik untuk
menghasilkan
yang
dibutuhkan
dalam
menjalankan
meknisme
10
Neonatus =10.000-25.000
10-7 tahun = 6.000-18.000
8-12 tahun = 4.500-13.500
Dewasa =5.000-10.000
Fungsi leukosit adalah memakan invasi oleh patogen melalui
11
mengalami
diferensiasi
ini
bermigrasi
ke
timus,
lalu
asing.
Limfosit
lain
tetap
diam
disum-sum
tulang
12
Agranulosit
Keterangan
Monosit
Bersifat fagosit dan motil dengan inti bulat
13
panjang.
2
Limfosit
Tidak motil, inti satu, berfungsi untuk
kekebalan. Limfosit membentuk 25% dari
seluruh jumlah sel darah putih. Sel ini dibentuk
di dalam kelenjar limfa dan dalam sumsum
tulang. Selain itu dibagi lagi menjadi limfosit T
dan B
Keterangan
Netrofil
Bersifat fagosit, intinya bermacam-macam, dengan
bentuk bermacam-macam pula antara lain batang,
bengkok, dan bercabang-cabang. Sel-sel netrofil
paling banyak dijumpai pada sel darah putih. Sel
golongan ini mewarnai dirinya dengan pewarna
netral atau campuran pewarna asam dan basa
beserta tampak berwarna ungu.
Basofil
Bersifat fagosit dan cenderung berwarna biri.
Warna biru ini disebabkan karena sel basofil
menyerap pewarna basa
Eosinofil
Bersifat fagosit dan cenderung berwarna merah. Sel
eosinofil hanya sedikit dijumpai pada sel darah
putih. Sel ini menyerap pewarna yang bersifat asam
(eosin) dan kelihatan merah.
14
(a) limfosit,
(b) monosit,
(c) neutrofil,
(d) basofil,
(e) eosinofil
di
sumsum
tulang.trombosit
berperan
penting
dalam
dengan
kolagen
di
dinding
pembuluh
yang
15
16
BAB III
TINJAUAN PATOFISIOLOGI
A. Latar Belakang
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan
penurunan komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan
produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi
tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi
kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.1,2,3
Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun
1988 oleh Paul Ehrlich. Ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat dan panas
dengan ulserasi gusi, menorrhagia, anemia berat dan leukopenia. Sewaktu dilakukan
autopsi ditemukan tidak ada sumsum tulang yang aktif, dan Ehrlich kemudian
menghubungkannya dengan adanya penekanan pada fungsi sumsum tulang. Pada
tahun 1904, Chauffard memperkenalkan istilah anemia aplastik.1,2,4
Insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai
6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Insidensi anemia aplastik diperkirakan lebih
sering terjadi dinegara Timur dibanding negara Barat. Peningkatan insiden mungkin
berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan terhadap bahan
kimia toksik dibandingkan faktor genetik. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya
peningkatan insiden pada penduduk Asia yang tinggal di Amerika. Penelitian yang
dilakukan di Thailand menunjukkan peningkatan paparan dengan pestisida sebagai
etiologi yang tersering.3,5
17
18
B. PEMBAHASAN
2.1 Definisi Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang
ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. Pada anemia
aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga
menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan
trombositopenia. Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan
anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang
sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia
hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.1
2.2 Epidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia,
berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. 2 Analisis retrospektif
di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5
kasus persejuta penduduk pertahun.9 The Internasional Aplastic Anemia and
Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang
pertahun.2,9 Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai
25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik
lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta
penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta
penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada
di negara Barat belum jelas.9 Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan
19
dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik,
dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan
peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di Amerika.5
A.
1.
2.
3.
B.
20
21
22
digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum
tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang.
Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis
yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv
(ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat
berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads).
Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi.
Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis
radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang.
Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan
anemia aplastik.13
2.4.2 Bahan-bahan Kimia
Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan
anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang
lain seperti insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang
berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia.13
2.4.3 Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat
berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang
dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah
kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon,
senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mieleran
atau nitrosourea.2
Tabel 3. Obat-obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik9
23
Kategori
Resiko Tinggi
Resiko
Menengah
Resiko Rendah
Analgesik
Fenasetin, aspirin,
salisilamide
Anti aritmia
Kuinidin, tokainid
Anti artritis
Garam Emas
Kolkisin
Anti konvulsan
Karbamazepin,
hidantoin,
felbamat
Etosuksimid, Fenasemid,
primidon, trimethadion,
sodium valproate
Anti histamin
Klorfeniramin,
pirilamin, tripelennamin
Anti hipertensi
Captopril, methyldopa
Anti inflamasi
Penisillamin,
fenilbutazon,
oksifenbutazon
Diklofenak, ibuprofen,
indometasin, naproxen,
sulindac
Kloramfenikol
Dapsone, metisillin,
penisilin, streptomisin,
-lactam antibiotik
Anti mikroba
Anti bakteri
Anti fungal
Amfoterisin, flusitosin
Anti protozoa
Kuinakrine
Klorokuin, mepakrin,
pirimetamin
Busulfan,
cyclophosphamide,
melphalan, nitrogen
mustard
Daunorubisin,
doxorubisin,
mitoxantrone
Anti platelet
Tiklopidin
Anti tiroid
Karbimazol, metimazol,
metiltiourasil, potassium
24
Kategori
Resiko Tinggi
Resiko
Menengah
Resiko Rendah
perklorat, propiltiourasil,
sodium thiosianat
Sedative dan
tranquilizer
Klordiazepoxide,
Klorpromazine (dan
fenothiazin yang lain),
lithium, meprobamate,
metiprilon
Numerous sulfonamides
Acetazolamide
Hipoglikemik
Klorothiazide,
furosemide
Klorpropamide,
tolbutamide
Lain-lain
Allopurinol, interferon,
pentoxifylline
Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang
disebut resiko tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik
merupakan resiko menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan resiko
rendah.
2.4.4 Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis,
virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling
sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi
hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat
hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia aplastik.. Parvovirus
B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada penderita anemia hemolitik
kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter, dan lain-lain). Pada pasien yang
imunokompromise dimana gagal memproduksi neutralizing antibodi terhadap
Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat terjadi.8,12,13
25
dengan
kejadian
yang
berikutnya.9
2.5 Patogenesis11
26
berulang
pada
kehamilan-kehamilan
mekanisme
utama
patofisiologi
anemia
aplastik.
Walaupun
27
%
83
Lemah badan
80
Pusing
69
Jantung berdebar
36
Demam
33
Nafsu
makan
29
berkurang
26
Pucat
23
Sesak nafas
19
Penglihatan kabur
13
Telinga berdengung
28
Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada
tabel 5 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang
sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan
splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan
limfadenopati justru meragukan diagnosis.2
Tabel 5. Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik2
Jenis Pemeriksaan Fisik
Pucat
%
100
Pendarahan
63
Kulit
34
Gusi
26
Retina
20
Hidung
Saluran cerna
Vagina
Demam
16
Hepatomegali
Splenomegali
29
dan
begitu
juga
dengan
waktu
pembekuan
akibat
adanya
30
Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah
hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler
atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah.9
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran
hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis
(misalnya terdilusi dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena area
fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsi
dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis.9,12
Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30%
sel pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada
individu yang berumur lebih dari 60 tahun.8
International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila
selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari
30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.9
2.7.2 Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom
kegagalan
sumsum
tulang
yang
diturunkan,
karena
banyak
diantaranya
31
32
granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat
menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).9
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu
dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan
adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya
disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.7,14
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell
leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan
sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang.14
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh
sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum
tulang yang normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik.
2.10 Penatalaksanaan
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat
granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan
kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien
(lihat tabel 7).9
Tabel 7. Manajemen Awal Anemia Aplastik9
Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.
33
Assessment
untuk
transplantasi
stem
sel
allogenik
pemeriksaan
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu
transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin
dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid. 9 Terapi standar
untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang.
Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling
donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus
dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi
imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya
mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD
(Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai
komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat
dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik.15
Pengobatan Suportif15
34
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed
red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien
dengan penyakit kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3.
Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah
20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak.
Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti
terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok
HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak
dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup
leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.
b.
Terapi Imunosupresif
Obat-obatan
globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG
atau ALG diindikasikan pada15 :
-
Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat
pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih
dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin
melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi
langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.15
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi
alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan
kortikosteroid.15 Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan
35
36
kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid.
Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif
daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas
sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi ATG dan
siklosporin.9 Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk
imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai
kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun.
Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps
dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.15
c.
seperti Granulocyte-
37
d.
aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan
tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil
pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA).
Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan,
namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi
imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan
beratnya
reaksi
penolakan
sumsum
tulang
donor
(Graft
Versus
Host
Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang
lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.9,10
38
dengan umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG)
maka pemberian transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan. 15 Akan tetapi
survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun telah
mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum
mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.9,10
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan
transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin
diambil dari donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini
diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) karena
antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.15
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation
(EBMT) adalah sebagai berikut15 :
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3 dan
trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm 3
dan trombosit dibawah 100.000/mm3.
- Refrakter : tidak ada perbaikan.
2.11 Prognosis9
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah
absolut netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang
dari 500/l (0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah
netrofil kurang dari 200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap
imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik
tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih baik daripada orang dewasa.
Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap androgen dan
glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi
sumsum tulang.
39
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang
berusia kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan
sekitar 50% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien
yang bertahan karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan menderita
gangguan akibat GVHD kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar 11% pada
pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi siklosporin sebelum transplantasi
stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang belum mendapatkan terapi
imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum tersensitisasi
dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam hal conditioning
untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi
kombinasi imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien
setelah terapi memiliki jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian
mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia. Penyakit ini juga akan
berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal hemoglobinuria, sindrom
myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien yang pada
mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang
mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama
15 tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38%
yang bertahan dalam 15 tahun.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang
sama dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki
toksisitas yang lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun
memiliki remisi yang lebih bertahan lama.
BAB III
RINGKASAN
40
41
dengan <30% sel hematopoietik residu, dan dua dari tiga kriteria (netrofil < 0,5x10 9/l,
trombosit <20x109 /l, retikulosit < 20x109 /l). Anemia aplastik sangat berat sama
seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil <0,2x109/l.
Pengobatan anemia aplastik dapat bersifat suportif yaitu dengan transfusi PRC
dan trombosit. Penggunaan obat-obat atau agen kimia yang diduga menjadi penyebab
anemia aplastik harus dihentikan. Pemberian antibiotik bila terjadi infeksi juga harus
dilakukan untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Terapi standar untuk anemia
aplastik meliputi terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang
lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan
sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan
yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif.
Prognosis dipengaruhi banyak hal, antara lain derajat anemia aplastik, usia
pasien, ada tidaknya donor dengan HLA yang cocok untuk transplantasi sumsum
tulang allogenik serta apakah pasien telah mendapatkan terapi imunosupresif sebelum
tranplantasi sumsum tulang.
DAFTAR PUSTAKA
42
1. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee
GR, Foerster J, et al (eds). Wintrobes Clinical Hematology 9 th ed. PhiladelpiaLondon: Lee& Febiger, 1993;911-43.
2. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI,
2001;501-8.
3. Bakshi
S.
Aplastic
Anemia.
Available
in
URL:
HYPERLINK
http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm
4. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic
Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.
5. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia.
Available in URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp
6. Supandiman I. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik 2003.
Jakarta. Q-communication, 1997;6.
7. Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95-101
8. Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia.
Available in URL: HYPERLINK http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/
9. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William
Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
10. Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow
failure disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al (eds).
Post Graduate Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing, 2005;190206.
11. Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds).
Modern Hematology Biology and Clinical Management 2 nd ed. New Jersey:
Humana Press, 2007 ;207-16.
12.
Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure
syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrisons Principle of Internal
Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2007:617-25.
43
13. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4 th ed. New
York: Lange McGraw Hill, 2005.
14. Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds). Current
Medical Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill, 2007;510-11.
15. Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2006;637-43.
16. http://dokumen.tips/download/link/anemia-aplastik-558466abc532c
17. Aman, Adi Kusuma. 2003. Klasifikasi etiologi dan aspek laboratorik pada anemi
hematolik. Digitized by USU digital library. Diakses 25 Maret 2007)
18. Corwin E. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3.Jakarta : EGC
19. Doenges, Marilynn E., Moorhouse, Mary Frances & Geissler, Alice C. 2000.
Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
20. Kosasih, E.N. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ketiga.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
21. Mansjoer, Arif dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid 1.
Jakarta: Media Aesculapius.
22. Speer, Kathleen Morgan.2007.Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik Edisi
3.Jakarta : EGC
23. Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan
Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC.
44
24. Staf Pengajar IKA FK-UI. 2002. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1.
Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak.
25. Muttaqin, Arif.2009.Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular dan Hematologi.Jakarta : Salemba Merdeka.
45