Anda di halaman 1dari 10

TETANUS

Tetanus adalah penyakit akut dengan manifestasi klinis berupa spasme otot dan
gangguan system saraf otonom. Menurut CDC, tetanus adalah hypertonia dengan onset yang
akut dan disertai kontraksi otot yang menyakitkan (biasanya melibatkan otot rahang dan
leher) dan kemudian dapat menyebar ke seluruh tubuh.
Penyakit ini disebabkan oleh neurotoksin yang sangat berbahaya yang diproduksi oleh
bakteri Clostridium tetani. Penyait ini sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian vaksinasi.
Penyebab tetanus pertama kali terdeteksi pada tahun 1884 oleh Carley dan Rattone. Dahulu
digunakan imunisasi pasif untuk mengobati dan mencegah penyakit ini, yaitu pada waktu
Perang Dunia I. Sedangkan Tetanus Toksoid yang merupakan vaksinasi aktif untuk mencegah
tetanus baru mulai digunakan sejak Perang Dunia II.
ETIOLOGI
Clostridium tetani adalah bakteri anaerob, gram positif, berbentuk batang, dan dapat
menghasilkan spora. C tetani sangat sensitif terhadap panas dan tidak dapat bertahan jika terdapat
oksigen. Akan tetapi, sporanya dapat bertahan di berbagai lingkungan. Spora dari C. tetani ini sangat
resisten terhadap panas dan pada berbagai antiseptik. Spora ini bahkan dapat bertahan dari autoklaf
pada suhu 121oC selama 10-15 menit. Spora C. tetani biasanya terdapat pada tanah dan di dalam usus
serta feses hewan ternak.

Epidemiologi
Jumlah kasus tetanus di seluruh dunia sulit didapatkan karena hanya 2-10% dari total kasus
yang dilaporkan. Sejak tahun 1980 hingga saat ini, diperkirakan sudah > 1 juta kematian akibat
tetanus. Sejak penggunaan vaksin yang semakin meningkat, jumlah kasus tetanus pun berangsurangsur menurun, terutama pada neonatus dan balita. Pada tahun 2006, diperkirakan 290.000 orang
meninggal karena tetanus, terutama berasal dari Afrika dan Asia Tenggara.
Pada negara maju, kasus tetanus sangat jarang didapatkan. Pada tahun 2007, hanya
didapatkan 27 kasus di Amerika. Kebanyakan pasien tetanus adalah orang-orang yang tidak lengkap
atau tidak mendapatkan vaksin. Pasien yang berusia > 60 tahun sangat rentan menderita tetanus
karena penurunan sistem imun dalam tubuh. Selain itu orang dengan IDU (Injecting Drug User) juga
merupakan kelompok risiko tinggi.
Di negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian
800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada neonatus. Kematian tetanus neonatus
diperkirakan sebesar 248.000 kematian per tahun. Di bagian Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung,
dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun 1999-2000 dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian

retrospektif tahun 2003- Oktober 2004 di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan mortalitas
47%.
Pathogenesis
C. tetani biasanya memasuki tubuh melalui luka. Pada kurang lebih 20% kasus tetanus, tidak
ditemukan bekas luka tusukan. Pada pasien dewasa, luka lecet di lengan atau kaki adalah tempat yang
paling sering menjadi port dentre tetanus, atau bisa juga dari infeksi gigi. Sedangkan luka yang
lebih dalam seperti fraktur terbuka, aborsi, atau pengguna obat suntikan berhubungan dengan
outcome yang lebih buruk. Pada neonatus, infeksi di umbilikus biasanya disebabkan perawatan tali
pusat yang tidak higienis, misalnya pemotongan tali pusat dengan bambu, rumput atau bagian tubuh
hewan. Tetanus pada neonatus juga bisa disebabkan karena tindakan menindik telinga dan sirkumsisi.
Pada keadaan dimana suplai oksigen terbatas, spora akan mulai bertumbuh. C. tetani
memproduksi dua jenis eksotoksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi tetanolysin belum
dapat dijelaskan hingga sekarang. Sedangkan tetanospasmin adalah neurotoksin yang menyebabkan
berbagai manifestasi klinis dari tetanus. Tetanospasmin merupakan salah satu toksin yang paling
poten yang pernah dikenal. Dosis letal minimum untuk manusia adalah 2.5 nanogram/kgBB.
dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanospasmin sangat mudah mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui dua
cara.
1. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujungujung saraf perifer atau
motorik melalui axis silindrik ke cornu anterior susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer.
2. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk seterusnya ke susunan
saraf pusat.
Aktivitas tetanospamin pada motor end plate akan menghambat pelepasan asetilkolin, tetapi tidak
menghambat alfa dan gamma motor neuron sehingga tonus otot meningkat dan terjadi kontraksi otot
berupa spasme otot. Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat,
sehingga terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang
berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urine. Tetanospamin yang terikat pada
jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin tetanus.
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 321 hari, namun dapat singkat, hanya 12 hari dan
kadangkadang lebih dari 1 bulan. Makin pendek masa inkubasi makin jelek prognosanya. Terdapat
hubungan antara jarak tempat invasi Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat dan interval antara
luka dan
permulaan penyakit, dimana makin jauh tempat invasi maka inkubasi makin panjang.
Secara klinis tetanus ada 4 macam :
1. Tetanus umum
2. Tetanus lokal
3. Tetanus sefalik
4. Neonatal tetanus

1. Tetanus umum:
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai. Terjadinya
bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka bakar yang luas, luka
tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus dekubitus dan suntikan hipodermis.
Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik bersifat
menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama pada rahang (trismus)
dan leher (kuduk kaku). Lima puluh persen penderita tetanus umum akan menuunjukkan
trismus.
Dalam 2448 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas.
Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar dibuka, sehingga penyakit
ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan
otot muka sehingga muka menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus
Sardonicus' (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat
pada gigi), akibat kekakuan otototot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu
melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai
opisthotonus. Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik secara
spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi). Kejang
menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam posisi
ekstensi. Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang
menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme otototot laring
dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi
urine sering terjadi karena spasme sphincter kandung kemih. Kenaikan temperatur badan
umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas yang tinggi sehingga harus hatihati terhadap
komplikasi atau toksin menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu. Pada kasus yang
berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat
banyak, panas yang tinggi dan aritmia jantung.
2. Tetanus lokal
Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat
dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fiksator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus
lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa
progressif dan biasanya menghilang secara bertahap.
Tetanus lokal bisa berlanjut menjadi tetanus umum, tetapi dalam bentuk yang ringan
dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus
atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis
antitoksin.
3. Tetanus sefalik

Tetanus sefalik adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Merupakan salah satu varian tetanus
lokal. Masa inkubasi berkisar 1 2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti
dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam
rongga hidung. Gejala berupa disfungsi saraf kranial antara lain: n. III, IV, VII, IX, X, XI,
dapat berupa gangguan sendirisendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari
bahkan berbulanbulan. Tetanus sefalik dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada
umumnya prognosa tetanus sefalik jelek.
4. Neonatal tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses
pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan
yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun
penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak
steril,merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.

Diagnosis
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit dan temuan
saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan dengan menyentuh
dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika
terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah.
Laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji
spatula memiliki spesifisitas tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien
terinfeksi
menunjukkan hasil positif ). Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Kultur C.
tetani dari luka sangat sulit (hanya 30% positif ), dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan
konfirmasi.
Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan cermat adalah meningitis,
perdarahan subarachnoid, infeksi orofasial serta arthralgia temporomandibular yang menyebabkan
trismus, keracunan strychnine, tetani hipokalsemia, histeri, ensefalitis, terapi phenotiazine, serum
sickness, epilepsi dan rabies.
Untuk menentukan derajat beratnya tetanus umum, digunakan beberapa klasifikasi, yang
paling sering digunakan adalah klasifikasi Ablett dan Philips score.
Tabel 1. Klasifikasi Ablett

Tabel 2. Phillips score

Keterangan:
Skor <9 : severitas ringan;
Skor 9-18 : severitas sedang; dan
Skor >18 : severitas berat.

Diagnosis banding
a. Meningitis

bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan

kesadaran

penderita biasanya menurun. Diagnosis

ditegakkan

dengan melakukan lumbal pungsi,

dimana

adanya kelainan cairan serebrospinalis

yaitu jumlah

sel meningkat, kadar protein meningkat

dan glukosa menurun.


b. Poliomielitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja
dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.
c. Rabies

Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan,
kejang bersifat klonik.
d. Keracunan strichnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
e. Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat
dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah karpopedal spasme dan biasanya
diikuti laringospasme, jarang dijumpai trismus.
f.

Retropharingeal abses
Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.

g. Tonsilitis berat
Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.
h. Efek samping fenotiasin
Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom ekstrapiramidal.
Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot,
i.

Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas,miositis leher dan
spondilitis leher.

Komplikasi
a. Pada saluran pernapasan
Oleh karena spasme otototot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya
kejang menyebabkan terjadi asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukarnya menelan
air liur dan makanan atau minuman sehingga sering terjadi aspirasi pneumoni, atelektasis
akibat obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat
dilakukannya trakeostomi.

b. Pada kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupatakikardia,
hiperrtensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
c. Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot.
Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat kejang yang terusmenerus
terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi
miositis ossifikans sirkumskripta.
d. Komplikasi yang lain:
Laserasi lidah akibat kejang;

Dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja


Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan
mengganggu pusat pengatur suhu.

Penyebab kematian penderita tetanus akibat komplikasi yaitu:


Bronkopneumonia, cardiac arrest, septikemia dan pneumotoraks, atau emboli paru.
Penatalaksanaan
A. UMUM
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih.
Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :
i.

Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:


membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang benda
asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penatalaksanaan, terhadap luka
tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.

ii.

Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan

iii.
iv.

menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
Oksigen, pernafasan buatan dan trakeostomi bila perlu. Trakeostomi dilakukan pada penderita
tetanus jika terjadi spasme berkepanjangan dari otot respirasi, tidak ada kesanggupan batuk atau

v.

menelan, adanya obstruksi laring, dan koma.


Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
B. OBAT- OBATAN

i.

Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada
anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secara IM diberikan selama
7-10 hari. Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit
/kgBB/24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti:
o
o
o

Tetrasiklin 30-50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis,


Eritromisin 50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis selama 10 hari, dan
Metronidazol loading dose 15 mg/kgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/kgBB tiap 6 jam

Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin
yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spectrum
dapat dilakukan.
ii.

Antitoksin

Antitoksin dapat digunakan ATS atau Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis
3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena
TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi allergi yang serius.
Bila TIG tidak ada, diberikan anti tetanus serum yang berasal dari serum kuda. Dosis ATS yang
diberikan ada berbagai pendapat. Behrman (1987) dan Grossman (1987) menganjurkan dosis
50.000100.000 u yang diberikan setengah lewat intravena dan setengahnya intramuskuler.
Pemberian lewat intravena diberikan dengan cara melarutkannya dalam 100200 cc glukosa
5% dan diberikan selama 12 jam. Di FKUI, ATS diberikan dengan dosis 20.000 u selama 2
iii.

hari. Di Manado, ATS diberikan dengan dosis 10.000 i.m, sekali pemberian
Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik yang hebat, muscular
dan laryngeal spasm beserta komplikasinya. Dengan penggunaan obat obatan sedasi/muscle
relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.
Tabel 3. JENIS ANTIKONVULSAN
Jenis Obat
Diazepam

Dosis
0.5 -1.0 mg/kgBB/ 4 jam

Efek Samping
Stupor, koma

Meprobamat
Klorpromazin
Fenobarbital

(IM)
300-400 mg/ 4 jam (IM)
25-75 mg/4 jam (IM)
50-100 mg/4 jam (IM)

Tidak ada
Hipotensi
Depresi nafas

Dosis diazepam pada saat dimulai pengobatan (setelah kejang terkontrol) adalah 20
mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan tiap 3 jam ). Kemudian
dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih terus berlangsung dosis diazepam dapat
dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat teratasi. Dosis maksimum adalah 40
mg/kgBB/hari( dosis maintenance).
Bila dosis optimum telah didapat, maka jadwal pasti telah dapat dibuat, dan ini dipertahan
selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai adanya kejang, maka dosis
diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10 -15 % dari dosis optimum tersebut.
Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar
untuk diatasi dan penaikkan dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol
kejang yang terjadi.Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus segera dinaikkan
kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang dipertahankan selama 2- 3 hari dan
dirurunkan lagi secara bertahap, hal ini dilakukan untuk selanjutnya . Bila dalam penggunaan
diazepam, kejang masih terjadi, sedang dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan
anti kejang lainnya harus dilakukan.

Pencegahan
a. Perawatan luka
Terutama pada luka tusuk, kotor atau luka yang tercemar dengan spora tetanus.
b. Imunisasi pasif
Diberikan antitoksin, pemberian antitoksin ada 2 bentuk, yaitu:

ATS dari serum kuda


Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Behrman (1987) dan Grossman
(1987) menganjurkan dosis 50.000100.000 u yang diberikan setengah lewat
intravena dan setengahnya intramuskuler. Pemberian lewat intravena diberikan
dengan cara melarutkannya dalam 100200 cc glukosa 5% dan diberikan selama 12
jam. Di FKUI, ATS diberikan dengan dosis 20.000 u selama 2 hari. Di Manado, ATS

diberikan dengan dosis 10.000 i.m, sekali pemberian, atau


Tetanus Immunoglobulin Human (TIGH).
Dengan dosis yang dianjurkan adalah 30006.000 u i.m.
Dosis bayi: 250500 u i.m

Pemberian ATS atau TIGH tergantung dari kekebalan seseorang apakah orang tersebut sudah
pernah mendapat imunisasi dasar dan boosternya, berapa lama antara pemberian toksoid
dengan terjadinya luka.
c. Imunisasi aktif
Di Indonesia dengan adanya program Pengembangan Imunisasi (PPI) selain menurunkan
angka kesakitan juga mengurangi angka kematian tetanus. Imunisasi tetanus biasanya dapat
diberikan dalam bentuk DPT; DT dan TT.
- DPT : diberikan untuk imunisasi dasar
- DT: diberikan untuk booster pada usia 5 tahun; diberikan pada anak dengan riwayat demam
dan kejang
- TT: diberikan pada: ibu hamil dan anak usia 13 tahun keatas.
Sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi, imunisasi dilakukan pada usia 2, 4 dan 6
bulan. Sedangkan booster dilakukan pada usia 1,52 tahun dan usia 5 tahun. Dosis yang
diberikan adalah 0,5 cc tiap kali pemberian secara intramuskular.
Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian
dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
tetanus selesai.
Tabel 4 memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka
Tabel 4. PETUNJUK PENCEGAHAN TERHADAP TETANUS PADA KEADAAN LUKA.

Riwayat

Luka Bersih, Kecil

Luka lainnya

imunisasi
Tetanus
Tidak

toksoid (TT)
Ya

diketahui
01
Ya
2
Ya
3 atau lebih
Tidak **
* : Kecuali luka > 24 jam

Antitoksin

Tetanus

Antitoksin

Tidak

toksoid (TT)
Ya

Ya

Tidak
Tidak
Tidak

Ya
Ya
Tidak***

Ya
Tidak*
Tidak

** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun


*** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun
Prognosa
Prognosa pasien tetanus dipengaruhi oleh derajat keparahan penyakit yang ditentukan dengan skor
Albett atau Phillips score, serta fasilitas pengobatan yang tersedia. Sedangkan prognosa tetanus
neonatal jelek bila:
1. Umur bayi kurang dari 7 hari
2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang
3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam
4. Dijumpai muscular spasm.
Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada neonatus. Di fasilitas yang baik,
angka mortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya sedikit penelitian jangka panjang pada pasien yang
berhasil selamat. Pemulihan tetanus cenderung lambat namun sering sembuh sempurna, beberapa
pasien mengalami abnormalitas elektroensefalografi yang menetap dan gangguan keseimbangan,
berbicara, dan memori. Dukungan psikologis sebaiknya tidak dilupakan.

Anda mungkin juga menyukai