Anda di halaman 1dari 5

PENGERTIAN CIVIL SOCIETY

Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan


terkait

oleh

suatu

kebudayaan

yang

mereka

anggap

sama.

[1]Sedangkan madani adalah berhubungan dengan hak-hak sipil;


berhubungan dengan perkotaan; menjunjung tinggi nilai, norma,
hokum yang ditopang oleh penguasaan iman, ilmu dan teknologi yang
berperadaban.[2] Untuk pertama kalinya istilah masyarakat madani
dimunculkan oleh Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri
Malaysia. Menurut Ibrahim, masyarakat madani merupakan sistem
sosial

yang

keseimbangan
masyarakat.

subur

berdasarkan

antara

prinsip

kebebasan

Inisiatif dari

moral

individu

individu

dan

yang

dengan

menjamin
kesetabilan

masyarakat berupa

pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undangundang dan bukan nafsu atau keinginan individu. Menurutnya pula,
masyarakat madani mempunyai ciri-cirinya yang khas : kemajemukan
budaya (multicultural), hubungan timbal balik (reprocity), dan sikap
saling memahami dan menghargai.[3]

Sumber Gambar: www.troymedia.com

Konsep masyarakat madani ini merupakan penerjemahan istilah dari


kosep civil society, konsep ini disebutkan pertama kali olehn Anwar
Ibrahim dalam ceramahnya pada Simposium Nasional dalam Rangka

Forum Ilmiah pada acara Festival Istiqlal, 26 September 1995 di


Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak
menunjukan

bahwa

masyarakat

yang

ideal

adalah

kelompok

masyarakat yang memiliki peradaban maju.[4]


Terjemahan makna masyarakat madani ini banyak diikuti oleh para
cendikiawan dan ilmuan di Indonesia, seperti Nurcholis Madjid, M.
Dawam Rahardjo, Azyumardi Azra, Mansur Fakih dan sebagainya.
Ada beberapa sebutan untuk istilah masyarakat madani ini. Ada yang
menyebutnya masyarakat sipil, masyarakat kewargaaan, masyarakat
warga, dan civil society.
Adapun penyebutan-penyebutan lain untuk istialah civil society, yaitu:
[5] Masyarakat Sipil; merupakan penurunan langsung dari tema civil
society. Istilah ini banyak dikemukakan oleh Mansur Fakih untuk
menyebut prasyarat masyarakat dan negara dalam rangka proses
penciptaan

dunia

secara

mendasar

baru

dan

lebih

baik.

Masyarakat Kewargaan; konsep ini pernah digulirkan dalam sebuah


SeminarNasional Asosiasi Ilmu Politik Indonesia XII di Kupang NTT.
Wacana

ini

digulirkan

oleh

M.

Ryas

Rasyid

dengan

tulisannya

Perkembangan Pemikiran Masyarakat Kewargaan, Riswanda


Immawan

dengan

karyanya

Rekruitmen

Kepimpinan

dalam

Masyarakat Kewargaan dalam Politik Malaysia. Konsep ini merupakan


respon dari keinginan untuk menciptakan warga negara sebagai bagian
integral negara yang mempunyai andil dalam setiap perkembangan
dan kemajuan negara (state). Civil Society; tema ini (dengan tidak
menerjemahkannya)
Muhammad

AS.

merupakan

Hikam.

konsep

Menurutnya

yang

konsep

digulirkan

civil

society

oleh
yang

merupakan warisan wacana yang berasal dari Eropa Barat, akan lebih
mendekati substansinya jika tetap disebutkan dengan istilah aslinya.
Menurutnya pengertian civil society (dengan memegang konsep de
Tocquiville)

adalah

wilayah-wilayah

kehidupan

sosial

yang

terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary),


keswasembadaan

(self-generating),

dan

keswadayaan

(self-

supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan


keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum.

Sejarah dan Perkembangan Civil Society di Indonesia

Fase pertama, dikembangkan oleh:


Aristoteles (384-322 SM)

Civil Society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah


koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat
langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan
keputusan. Istilah koinonia politike digunakan untuk menggambarkan sebuah
masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan
sama di depan hukum.

Marcus Tullius Cicero (106-43 SM)

Masyarakat sipil atau societies civilies ,yaitu sebuah komunitas yang


mendominasi komunitas yang lain. Istilah ini lebih menekankan pada konsep
negara kota (city state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan
bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi.

Thomas Hobbes (1588-1679 M)

Menurut Hobbes, masyarakat madani harus memiliki kekuasaan mutlak agar


mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi
(perilaku politik) setiap warga negara.

John Locke (1632-1704 M)

Kehadiran masyarakat madani dimaksudkan untuk melindungi kebebasan dan


hak milik setiap warga negara. Konsekuensinya adalah masyarakat madani tidak
boleh absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa
dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara
untuk memperoleh haknya secara adil dan proporsional.

Fase kedua, dikembangkan oleh:

Adam Fergusson (1767)

Ia menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan


bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan
sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta
mencoloknya perbedaan antara publik dan individu.

Fase ketiga, dikembangkan oleh:

Thomas Paine (1792)

Ia menggunakan istilah masyarakat madani sebagai kelompok masyarakat yang


memiliki posisi secara diametral dengan negara, bahkan dianggapnya sebagai
anti tesis dari negara. Dengan demikian, maka negara harus dibatasi sampai
sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan dari delegasi kekuasaan yang

diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum. Masyarakat


madani menurut Paine adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan
kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas
dan tanpa paksaan.

Fase keempat, dikembangkan oleh:

GWF Hegel (1770-1851 M)

Struktur sosial terbagi atas 3 entitas, yakni keluarga, masyarakat madani dan
negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai
anggota
masyarakat yang bercirikan keharmonisan. Masyarakat madani merupakan
lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan
golongan terutama kepentingan ekonomi. Sementara negara merupakan
representasi ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik
warganya dan berhak penuh untuk intervensi terhadap masyarakat madani.

Karl Mark (1818-1883)

Masyarakat madani sebagai masyarakat borjuis dalam konteks kehidupan


produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan
manusia dari penindasan. Karenanya, maka ia harus dilenyapkan untuk
mewujudkan masyarakat tanpa kelas.

Antonio Gramsci(1891-1837 M)

Ia tidak memahami masyarakat madani sebagai relasi produksi, tetapi lebih pada
sisi ideologis. Gramsci memandang adanya sifat kemandirian dan politis pada
masyarakat sipil, sekalipun keberadaannya juga amat dipengaruhi oleh basis
material.

Fase kelima, dikembangkan oleh:

Alexis de Tocqueville (1805-1859)

Masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara. Bagi de


Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat madani-lah yang menjadikan
demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan tertwujudnya pluralitas,
kemandirian dan kapasitas politik di dalam masyarakat madani, maka warga
negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara. [5]

Anda mungkin juga menyukai