Anda di halaman 1dari 6

Oleh Ustadz Ridwan Hamidi, Lc.

MA
Tafsir berasal dari kata al fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan
menyingkap sesuatu). Makna ini sesuai dengan surat Al Furqan ayat 33, wa laa ya tuunuka
bimatsalin illa ji naaka bil haqqi wa ahsana tafsiirin.
Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam AzZarkasyi, tafsir ialah ilmu untuk memahami kitab Allah subhaanahu wa taala yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, menjelaskan maknamaknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.
Urgensi Tafsir Al Quran dalam Islam
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam melalui
malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Didalamnya
terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku,
menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah
subhaanahu wa taala tidak memberi perincian-perincian dalam masalah-masalah itu
sehingga banyak lafal Al-Quran yang membutuhkan tafsir, apalagi sering menggunakan
susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja
dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah, diperlukan penjelasan berupa tafsir AlQuran.
Sejarah Tafsir Al-Quran
Sejarah ini diawali pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika masih hidup.
Seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu,
mereka dapat langsung menanyakannya pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Secara
garis besar, ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan AlQuran, yaitu:
1; Al-Quran itu sendiri, terkadang satu masalah yang dijelaskan secara global disatu
tempat, dijelaskan secara lebih terperinci diayat lain.
2; Disaat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masih hidup, para sahabat dapat
bertanya langsung kepada beliau shallallahu alaihi wasallam tentang makna suatu
ayat yang tidak mereka pahami, atau mereka berselisih paham tentangnya.
3; Ijtihad dan pemahaman mereka sendiri, karena mereka adalah orang-orang Arab asli
yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya.
Tafsir yang berasal dari para sahabat, dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut
jumhur ulama karena disandarkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki
rayi, maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al Quran antara lain: Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Ubai bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa AlAsyari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satu pun pembukuan tafsir dan
masih bercampur dengan hadits.
Setelah generasi sahabat, datanglah generasi tabiin yang belajar Islam melalui para sahabat
di wilayah masing masing. Ada tiga kota utama sebagai pusat pengajaran Al Quran yang
masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri seperti Mekkah dengan
madrasah Ibnu Abbas dengan murid-murid antara lain: Mujahid bin Jabir, Atha bin Abi

Rabbah, Ikrimah, Thawus bin Kaisan Al Yamani, dan Said bin Jabir. Madinah, dengan
madrasah Ubay bin Kaab, dengan murid-murid: Muhammad bin Kaab Al Qurazhi, Abu AlAliyah Ar riyahi dan Zaid bin Aslam, dan Irak dengan madrasah Ibnu Masud, dengan muridmurid: Al-Hasan Al Bashri, Masruq bin Al-Ajda, Qatadah bin Diamah As Saduusi, dan
Murrah Al-Hamdani.
Pada masa ini, tafsir masih bagian dari hadits, namun masing-masing madrasah
meriwayatkan dari guru-guru mereka sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat
yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri, namun belum sistematis hingga masa
dipisahkannya antara hadits dan tafsir menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para
ulama seperti Ibnu Majah, Ibnu Jarir Ath Thabari, Abu Bakr bin Al Munzir An Naisaburi dan
lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi Al-Matsur.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan
metode tafsir dengan memasukkan unsur ijtihad yang lebih besar. Meskipun begitu, mereka
tetap berpegang pada tafsir bi Al-Matsur, dan metode lama dengan pengembangan ijtihad
berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan tafsir bi Al-Rayi dimana ruang
lingkup ijtihad lebih luas dibandingkan masa sebelumnya.
Bentuk Tafsir Al-Quran
Ada berbagai bentuk tafsir Al-Quran, namun bentuk yang paling penting untuk dikenal ada
dua, yaitu:
Tafsir bi Al-Matsur
Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan)
karena dalam melakukan penafsiran, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa
lalu dari generasi sebelumnya, hingga kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Tafsir bi AlMatsur adalah tafsir berdasar pada kutipan-kutipan yang shahih, yaitu menafsirkan AlQuran dengan Al-Quran; Al Quran dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas
Kitabullah; dengan perkataan sahabat, karena merekalah yang dianggap paling mengetahui
Kitabullah; dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabiin, karena mereka pada umumnya
menerimanya dari sahabat. Contoh tafsir Al-Quran dengan Al-Quran seperti wa kuluu
wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khathil aswadi minal fajri..
(QS. Al-Baqarah: 187).
Kata minal fajri adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi.
Contoh tafsir Al-Quran dengan sunnah seperti Alladzina amanuu lam yalbisu iimaanahum
bizhulmin. (QS. Al Anam: 82).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menafsirkannya dengan mengacu pada ayat, innasy
syirka lazhul mun azhiim. (QS. Luqman: 13).
Dengan itu, beliau menafsirkan makna zhalim dengan syirik. Tafsir bi Al-Matsur yang
terkenal antara lain: tafsir Ibnu Jarir, tafsir Abu Laits As Samarkandy, tafsir Ad Durul
Mantsur fit Tafsir bil Matsur (karya Jalaluddin As Suyuthi), tafsir Ibnu Katsir, tafsir Al
Baghawy, dan tafsir Baqy bin Makhlad.
Tafsir bi Ar-Rayi
Perkembangan zaman menuntut pengembangan metode tafsir yang disebabkan tumbuhnya
ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah, maka ilmu tafsir membutuhkan peran ijtihad
yang lebih besar dibandingkan dengan tafsir bi Al-Matsur. Dengan bantuan ilmu bahasa Arab,
ilmu qiraah, ilmu Al-Quran, ilmu hadits, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu lain, seorang mufassir
akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menjelaskan dan mengembangkan maksud
ayat dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Namun, tidak semua

hasil tafsir yang mereka tulis bisa diterima karena merupakan hasil ijtihad yang berpeluang
untuk benar dan salah.
Beberapa tafsir bi Rayi yang terkenal antara lain: tafsir Al Fakhrur Razy, tafsir Abu Suud,
tafsir Al-Khazin.
Metodologi tafsir Al Quran
Metodologi tafsir dibagi menjadi empat macam, yaitu metode tahlili, ijmali, muqaron, dan
maudlui.
Metode Tahlili (analitik)
Metode tahlili adalah metode tafsir Al-Quran yang berusaha menjelaskan Al-Quran dengan
mengurai berbagai sisinya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al Quran. Metode
ini merupakan metode yang paling tua dan sering digunakan.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat, kemudian surat demi surat dari awal
hingga akhir sesuai dengan susunan Al Quran. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh,
menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsurunsur Ijaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil
dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil syarI, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, dan lain
sebagainya.
Metode Ijmali (global)
Metode ini berusaha menafsirkan Al-Quran secara singkat dan global, dengan menjelaskan
makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami.
Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili, namun memiliki perbedaan dalam hal
penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada
kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh tiap lapisan dan tingkatan ilmu kaum
muslimin.
Metode Muqarran
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan
hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir, dengan menonjolkan perbedaan
tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
Metode Maudhui (tematik)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Quran dengan cara
mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama
membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras
dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan
penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat
lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

Metode Penafsiran
Metode penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir adalah:

Pertama, Tafsir Bil Matsur atau Bir-Riwayah

Metode penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat yang shohih) dengan
menggunakan penafsiran al-Quran dengan al-Quran, penafsiran al-Quran dengan
sunnah, penafsiran al-Quran dengan perkataan para sahabat dan penafsiran alQuran dengan perkataan para tabiin. Yang mana sangat teliti dalam menafsirkan
ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi inilah yang sangat ideal
yang patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metode
ini adalah :
1; Tafsir At-Tobary (( terbit 12 jilid
2; Tafsir Ibnu Katsir ( ) dengan 4 jilid
3; Tafsir Al-Baghowy ()
4; Tafsir Imam As-Suyuty ( ) terbit 6 jilid.

Kedua, Tafsir Bir-Rayi (Diroyah).


Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

Ar-Royu al Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan


beberapa syarat diantaranya:
1)- Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Quran dan assunnah
2)- Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil matsur,
Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir
beserta perangkat-perangkatnya.
Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini diantaranya :
1; Tafsir Al-Qurtuby ()
2; Tafsir Al-Jalalain ()
3; Tafsir Al-Baidhowy () .
Ar-Royu Al- mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela / dilarang), karena
bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath
(pegambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai
dengan nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para ahli
bidah yang sengaja menafsirkan ayat al-Quran sesuai dengan keyakinannya untuk

mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir
priode sekarang ini. Diantara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini
adalah:
1; Tafsir Zamakhsyary ()
2; Tafsir syiah Dua belas seperti ()
juga
3; Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah seperti tafsir

SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QURAN
Untuk bisa menafsirkan al-Quran, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:

1)- Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Quran.
2)- Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan
memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang
mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
3)- Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Quran seperti penafsiran dengan al-Quran,
kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabiin.
4)- Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Quran turun dengan bahasa
arab. Mujahid berkata; Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
berbicara tentang Kitabullah (al-Quran) jikalau tidak menguasai bahasa arab.
5)- memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna
atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syariah,
6)- Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Quran seperti ilmu
nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya),
al-maani, al-bayan, al-badi, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Quran), aqidah
shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh,
fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
Adapun adab yang harus dimiliki seorang mufassir adalah sebagai berikut :
1; Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh
amalan tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob tentang niat yang
diriwayatkan oleh bukhori dan muslim diawal kitabnya dan dinukil oleh Imam
Nawawy dalam buku Arbain nya).

2; Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
3; Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan
mendapatkan penerimaan yang lebih baik.
4; Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah
menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.
5; Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
6; Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam
penyampaian. Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan
suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata
dengan melihat dari sudut balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara
global dan diakhiri dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai