Disusun Oleh:
Anggoro Susan Anggraeni
Intan Madulara
Tanti Agustiningsih
Eka Putri Permata Sari`
Rizki Mufidah
Puji Rahayu
Gita Septyana
Gadis Pratiwi Priyono
Rina Fajar Sari
Oselia Esa Muslimawati
Yuanita Wulansari
220110130021
220110130041
220110130043
220110130056
220110130067
220110130080
220110130086
220110130097
220110130100
220110130107
220110130135
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2014
(Chair)
(Scriber 2)
(Scriber 1)
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Herpes zoster adalah penyakit neurodermal ditandai dengan nyeri
radikular unilateral serta erupsi vesikuler berkelompok dengan eritematosa
pada daerah kulit yang dipersarafi oleh kranialis atau spinalis. Herpes zoster
terjadi karena relaps endogen atau reaktivasi virus varisela zoster (VVZ).
2.2 Etiologi
Herpes terbagi menjadi 2 (dua), yaitu herpes zoster dan herpes simplex.
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi Virus Varicella Zoster, sedangkan
untuk herpes simplex terbagi menjadi dua berdasarkan virus yang
menginfeksi, yaitu Herpes Simplex Virus I (HSV I) dan Herpes Simplex
Virus II (HSV II).
Herpes Zoster diakibatkan oleh reaktivasi virus varicella zoster di
ganglion posterior. Varicella zoster virus (VZV) merupakan famili human
(alpha) virus herpes. Virus ini terdiri atas genome DNA double-stranded,
tertutup inti yang mengandung protein dan dibungkus oleh glikoprotein. Virus
yang berukuran 150-200 nm bersifat infeksius namun sifat infeksiusnya dapat
dihancurkan oleh bahan organik, deterjen, enzim proteolitik, panas, pH yang
tinggi. Virus ini dorman di area persyarafan otak dan medulla spinalis.Virus
ini dapat menyebabkan dua jenis penyakit yaitu varicella (chikenpox) dan
herpes zoster (shingles).
Sebelum klien menderita penyakit herpes zoster dapat dipastikan klien
sebelumnya telah menderita penyakit cacar air. Pada saat klien menderita
cacar air tidak seluruhnya virus menghilang melainkan terdapat virus yang
menempel di ganglion dan bersifat laten. Setelah reaktivasi virus herpes
zoster lalu virus akan dibawa ke ganglia spinal. Jika pada fase ini terdapat
factor risiko dan factor pencetus akan mengakibatkan aktivasi virus herpes
zoster, sehingga terjadi ganglionitis. Virus dibawa ke ujung-ujung kulit dan
mukosa melalui saraf, sampai akhirnya muncul eritema.
Biasanya virus ini menyerang bagian kulit, mukosa, dan saraf di sebagian
tubuh dan hanya pada satu sisi tubuh (unilateral), kanan atau kiri, sesuai
penjalarannya. Ruam berkumpul sesuai dermatom saraf.
Berikut ini faktor pemicu reaktivasinya virus varisela zoster:
1. Usia lebih dari 50 tahun, infeksi ini sering terjadi pada usia ini akibat
daya tahan tubuhnya melemah. Makin tua usia penderita herpes zoster
makin tinggi pula resiko terserang nyeri.
2. Orang yang mengalami penurunan kekebalan (immunocompromised)
seperti HIV dan leukimia. Adanya lesi pada ODHA merupakan
manifestasi pertama dari immunocompromised.
3.
4.
virus yang infeksius dapat juga merupakan cara yang dipakai untuk
analisis berikutnya misalnya uji sensivitas obat antivirus. Isolasi virus
harus segera dilakukan yaitu pada saat lesi berupa vesikel, agar
mendapatkan sel hidup, juga virus akan segera rusak ketika lesi menjadi
pustular. Pada keadaan imunokompeten, VVZ dapat bertahan selama tiga
hari pertama pada varisela sedangkan pada herpes zoster mampu mencapai
seminggu.
Deteksi antibody terhadap infeksi virus
2.5 Penatalaksanaan
Terapi Pada Saat Stadium Prodormal Dan Erupsi
a. Farmakologi
1. Sistemik
a) Obat Antivirus
Strategi terapi farmakologis (terapi dengan obat) dalam pengobatan
penyakit herpes adalah dengan menggunakan obat-obat antivirus.
Pengobatan baku untuk herpes adalah dengan asiklovir, valasiklovir,
famcyclovir, dan pencyclovir yang dapat diberikan dalam bentuk krim,
pil atau secara intravena (infus) untuk kasus yang lebih parah. Semua
obat ini paling berhasil apabila dimulai dalam tiga hari pertama setelah
rasa nyeri akibat herpes mulai terasa. Semua antivirus yang digunakan
pada infeksi Virus varisella zoster bekerja dengan menghambat
polimerase DNA virus. Asiklovir, ganciclovir, famciclovir, dan
valasiklovir secara selektif di fosforilasi menjadi bentuk monofosfat
pada sel yang terinfeksi virus. Bentuk monofosfat tersebut selanjutnya
akan diubah oleh enzym seluler menjadi bentuk trifosfat, yang akan
menyatu dengan rantai DNA virus. Asiklovir, famciclovir, dan
valasiklovir terbukti efektif dalam memperpendek durasi dari gejala dan
lesi.
1) Asiklovir
Asiklovir, atau yang dikenal dengan nama askiloguanosin
adalah obat antiviral yang digunakan secara luas untuk pengobatan
herpes. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase pada
virus. Pemberian Asiklovir tablet oral maupun intravena sebagai
antiviral yang betujuan untuk mengurangi demam, nyeri,
komplikasi serta melindungi penderita dari ketidakmampuan daya
tahan tubuh melawan virus herpes. Asiklovir dapat diberikan secara
oral, topical atau parenteral.
Asiklovir sebaiknya pada 3 hari pertama sejak lesi muncul.
Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah 5800 mg/hari
selama 7 hari, sedangkan melalui intravena biasanya hanya
digunakan pada pasien yang imunokompromise atau penderita
saran dari dokter. Peringatan diatas saya harap jangan disepelekan sebab
walaupun paracetamol kelihatan seperti obat yang jinak, namun dibalik
semua itu terdapat banyak efek samping yang perlu diwaspadai. Tetapi
hal tersebut tidak usah terlalu dikhawatirkan, asal diminum sesuai
dengan anjuran maka efek samping tidak akan pernah muncul dan
walaupun muncul, derajatnya sangat ringan (Gunawan, 2008).
Jika tidak ada masalah di organ hati, dosis maksimum paracetamol
untuk orang dewasa adalah 500 mg tiga kali sehari selama gejalah
demam dan nyeri masih ada, jika tidak ada hentikan pemakaian. Bila
karena suatu sebab yang tidak jelas pasien bandel minum obat ini
melebih dosis maksimum tadi maka jangan heran bila kelak terjadi
kerusakan hati yang fatal. Gejala kerusakan hati yang perlu
mendapatkan perhatian dan harus segera ke dokter antara lain: mual
sampai muntah, kulit dan mata berwarna kekuningan, warna air seni
yang pekat seperti teh, nyeri di perut kanan atas, dan rasa lelah dan
lemas. Adapun beberapa reaksi alergi yang dilaporkan sering muncul
antara lain : kemerahan pada kulit, gatal, bengkak, dan kesulitan
bernafas/sesak. Seperti biasa, bila mengalami tanda tanda diatas setelah
minum paracetamol, segera ke dokter untuk mendapatkan penanganan
lebih lanjut.
Perhatian dan Peringatan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
teman-teman saat menjalani pengobatan dengan paracetamol. Jadi
sebelum minum paracetamol, sampaikan ke dokter anda kalau anda
sebelumnya pernah mengalami alergi setelah mengkonsumsi
paracetamol atau alergi yang disebabkan oleh sebab lain. Selain itu,
informasikan pula ke dokter bila anda mempunyai riwayat penyakit
kronis seperti penyakit hati, ketergantungan alkohol, dan lain lain.
Paracetamol dapat merusak hati, maka bila ditambah dengan
mengkonsumsi alkohol secara berlebihan maka akan mempercepat
terjadinya kerusakan hati (MIMS Annual Indonesia, 2008).
Tanda tanda yang dapat muncul setelah mengkonsumsi
paracetamol antara lain: terjadi perdarahan ringan sampai berat, keluhan
demam dan nyeri tenggorokan tidak berkurang yang kemungkinan
disebabkan oleh karena infeksi sehingga perlu penanganan lebih lanjut.
Paracetamol aman diberikan pada wanita hamil dan menyusui
namun tetap dianjurkan pada wanita hamil untuk meminum obat ini bila
benar-benar membutuhkan dan dalam pengawasan dokter.
c) Kortikosteroid
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis
protein. Molekul hormon memasuki sel melalui membran plasma
dengan cara difusi pasif. Didalam sitoplasma sel membentuk komplek
dan salep hanya digunakan di kulit jangan sampai cream atau salep masuk
ke mata, hidung, dan mulut. Jika gejalah semakin memburuk segera
hubungi dokter kembali (MIMS Annual Indonesia 2008)
Efek samping dari Asiklovir topical adalah kering atau bibir pecahpecah, terkelupas, mengelupas atau kulit kering, terbakar atau kulit
menyengat, kemerahan, pembengkakan, atau iritasi di tempat di mana
pasien dioleskan obat, gejala lainnya yaitu gatal-gatal, ruam, rasa gatal,
kesulitan bernapas atau menelan, pembengkakan wajah, leher, bibir, mata,
tangan, kaki, pergelangan kaki, atau kaki yang lebih rendah, suara serak.
Beberapa efek samping dapat serius. Jika pasien mengalami gejala-gejala
tersebut, segera hubungi dokter (MIMS Annual Indonesia 2008).
b. Non-Farmakologi
1 Selama gejala lesi kulit, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena
dapat menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi
varisela dan orang dengan defisiensi imun.
2 Gunakan pakaian tertutup dan sun screen atau tabir surya bila ingin
keluar rumah, agar tidak terpapar cahaya matahari secara langsung.
3 Instruksikan pasien agar tetap menjaga ruam dalam keadaan bersih
dan kering untuk meminimalkan resiko infeksi bakteri, melaporkan
setiap perubahan suhu badan, dan menggunakan baju yang bersih,
halus, lembut dan menyerap keringat untuk mengurangi
ketidaknyamanan.
4 Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai
baju yang longgar untuk mencegah infeksi sekunder. Bila vesikel
pecah dan basah, diberikan compress terbuka dengan larutan terbuka
antiseptic atau kompres dingin dengan larutan NaCl 3 kali sehari
selama 20 menit.
5 Pendidikan pasien dan dukungan penting dalam penatalaksanaan
Herpes zoster. Hal tersebut meliputi penjelasan atas jalannya penyakit,
rencana pengobatan, dan perlu memperhatikan aturan dosis antivirus.
Tidak adanya pengetahuan pasien dan ketakutan pasien tentang
Herpes zoster harus diperhatikan dan pasien harus diberitahu tentang
resiko menular terhadap orang yang belum pernah cacar air.
6 Meningkatkan kekebalan tubuh dengan istirahat dan makan-makanan
bergizi karena infeksi virus akan cepat membaik dengan
meningkatnya system imun tubuh, serta berkonsultasi ke dokter kulit
dan kelamin.
Terapi NPH
1 Farmakologi
a. Topikal
1) Anastetik topikal
Eutectic Mixtureof Local Anesthetic (EMLA) yang diformulasikan
dengan lidokain 2,5% dan prilokain 2,5% dalam emulsi, diaplikasikan
di kulit dengan cara oklusi selama 90 menit atau lebih, menghasilkan
analgesia terhadap insersi jarum hingga kedalaman 5 mm. Bila
diberikan untuk area NPH dengan oklusi, EMLA menunjukkan
perbaikan nyeri bermakna hingga 10 jam setelah aplikasi
2) Anastetik lokal
Hilangnya 50-90% nyeri dapat dicapi oleh anastesi infiltrasi
subkutan, yang efeknya berlangsung selama beberapa jam hingga
beberapa minggu. Selain itu juga dikenal dengan pemberian anestesi
melalui epidural, intravena, saraf perifer, dan blok saraf interkostal.
Lidokain, prokain, dan mepivakain sering diberikan secara infiltrasi
atau intravena.
3) Kapkaisin
Kapkaisin telah banyak digunakan untuk terapi topikal pada
keadaan yang melibatkan nyeri, pruritus dan inflamasi. Pada awalnya
kapkaisin menyebabkan rasa terbakar dan hiperalgesia terhadap panas
atau tekanan. Setelah beberapa hari hingga seminggu, efek ini
digantikan oleh hipoalgesia sampai analgesia. Untuk mengurangi rasa
terbakar, dapar digunakan EMLA sebelumnya.
b. Sistemik
1) Analgesik
a) Antiinflamasi nonsteroid (AINS)
Asetaminofen, aspirin dan antiinflamasi nonsteroid umum
digunakan untuk NPH, namun manfaatnya terbatas. Ibuprofen
terbukti tidak efektif. Tetapi AINS berguna untuk potensiasi efek
analgetik opioid pada nyeri parah.
b) Opioid
Secara umum nyeri neuropatik kurang responsif terhadap
opioid dibandingkan nyeri non-neuropatik dan menurut konsensus
Eropa opioid tidak efektif untuk NPH.
2) Agen neuropatik
a) Psikotropik/ antidepresan
b) Antikonvulsan
c) Neuroleptik
d) Metikobal
Non-farmakologi
a. Pendekatan neuroaugmentatif
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
BAB III
PENUTUP
Daftar pustaka
Arvin A. The VZV challenge-improving management result. Herpes-The
forgotten disease. IHMF Guidelines and recommendations from innaugural
meeting of the IHMF. Written and produced by PPS Europe Ltd, Worthing,
West Sussex, UK, 1994.
Doenges, Marilyn: E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah Volume 2.
Jakarta : EGC.
FK UI.2000. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi keempat. Jakarta
FKUI, 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Rassner.1995. Buku Ajar Dan Atlas Dermatologi. Jakarta. EGC. Hal:42-43.
Frieden I J, Penney N S. Varicella-Zoster Infection. In : Schchner L A, Hanses R
C editor. Pediatric Dermatology, second edition, vol 2, Churchill Livingstone,
NewYork, 1995 : 1272-75.
Handoko RP. 2005.Penyakit Virus. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-4.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Harper J. Varicella (chicken pox). In : Textbook of Pediatric Dermatology,
volume 1, Blackwell Science, 2000 : 339-40.
Hartadi, Sumaryo S.2000.Infeksi Virus Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates,;
92-4.
Hurwitz S. Herpes zoster. In : Clinical Pediatric Dermatology A Textbook of skin
Disease of Childhood and Adolescence, second edition, Philadelphia ; W.B
Saunders Company, 1993 : 324-27.
Johnson RW et al. The Impact of Herpes Zoster and Post-Herpetic Neuralgia on
Quality of Life. BMC Medicine. 2010 ; 8: 37-49
Lilie HM, Wassilew SW. Shingles (Zoster). In: Wolff MH, S. Schunemann,
Schmidt A (eds). Vari-cella-zoster virus Molecular biology, pathogenesis, and
clinical aspects. Vol 3. Basel: Karger, 1999: 111-127.
Carpernito, Lynda Juall.1999.Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi
keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2.
Jakarta: EGC.
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000.Penyakit Virus.
KapitaSelektaKedokteran. Edisi Ke-3. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
128-9.
Martodihardjo S. 2001.Penanganan Herpes Zoster dan Herpes Progenitalis.
IlmuPenyakitkulitdanKelamin. Surabaya: Airlangga University Press.
Marwali H, 2000. Ilmu Penyakit Kulit. cetakan I. Jakarta.
Mc Cary M L. Varicella zoster virus. American Academy of Dermatology, Inc.
1999.
LAMPIRAN 1
PATOFISIOLOGI
LAMPIRAN 2
2.
Etiologi
Masalah
keperawatan
Reaktivasi virus herpes dipicu Nyeri kronis
oleh faktor-faktor yang bisa
menimbulkan imunitas turun
(stress, DM, sinar UV)
kerusakan
saraf
spinalis
(dermatom) peradangan di
daerah persarafan kerusakan
saraf
bertambah
parah
mengirimkan
impuls
berlebih alodinia NPH
nyeri kronis
Reaktivasi virus herpes dipicu Kecemasan
oleh faktor-faktor yang bisa
menimbulkan imunitas turun
(stress, DM, sinar UV)
kerusakan
saraf
spinalis
(dermatom) peradangan di
daerah persarafankurangnya
informasi kecemasan
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri kronis berhubungan dengan kerusakan saraf ganglion yang ditandai
dengan nyeri yang berlangsung selama 2-3 bulan
2. Kecemasan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit
yang ditandai dengan klien merasa tegang, tidak mau makan, dan
melamun.
Intervensi keperawatan
1. Nyeri kronis berhubungan dengan kerusakan saraf ganglion yang ditandai
dengan nyeri yang berlangsung selama 2-3 bulan
Tujuan jangka pendek : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri pada
pasien berkurang
Tujuan jangka panjang : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, rasa nyeri
hilang dan tidak kembali lagi.
Kriteria hasil
: Skala nyeri berkurang atau hilang
Intervensi:
No. Tindakan
Rasional
1.
Kaji lokasi, karakteristik, dan
Mengetahui lokasi, karakteristik, dan
skala nyeri
skala nyeri sehingga dapat
merencanakan tindakan selanjutnya
2.
Dorong ekspresi perasaan tentang Pernyataan memungkinkan
nyeri
pengungkapan emosi dan dapat
meningkatkan mekanisme koping
3.
Dorong penggunaan teknik
Memfokuskan kembali perhatian ,
manajemen stress, contoh
meningkatkan relaksasi dan
relaksasi progresif, napas dalam,
mengalihkan perhatian pasien agar
distraksi, bimbingan imajinasi
tidak terfokus pada rasa nyeri.
dan visualisasi
4.
Anjurkan pasien memakai
Pakaian lembut dan tidak terlalu
pakaian yang halus dan lembut
ketat akan mengurangi rasa nyeri,
dan yang menyerap keringat
5.
Berikan aktivitas terapeutik tepat Membantu mengurangi konsentrasi
sesuai usia dan kondisi
pada nyeri yang dialami
6.
Kolaborasi pemberian analgetik
Pemberian analgetik topikal lebih
topikal sesuai indikasi
efektif untuk klien berusia 50 tahun
lebih.
2. Kecemasan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit
yang ditandai dengan klien merasa tegang, tidak mau makan, dan melamun.
LAMPIRAN 3
16. 17. (susan) herpes sembuh tetapi virus masih ada sehingga dapat kambuh,
pada ibu hamil -> menular pada bayi sehingga dapat mengakibatkan
gangguan orak bahkan kematian
18. (susan) pada ibu hamil ???
19. 20. 21. (gadis) gangguan GI -> mual, muntah, fatigue, diare, ruam kulit (intan)
bibir kering
22. (osel) boleh, karena menjaga kebersihan agar mengurangi gatal-gatal
23. (susan) pendkes, informasi cara membedakan dengan penyakit lain,
didistrkasikan
24. 25. (rizki) herpes zoster oleh varicella zoster virus awal cacar, sistem imun
aktivasi virus
26. (gadis) pakaian lembut
STEP 4
STEP 5
LO:
1. Askep
2. Diagnosa
3. Masa inkubasi
4. Patofisiologi
5. Etiologi
6. Farmakologi
STEP 6
Discovery Learning
STEP 7
c. Etiologi
Yuan: etiologi, klasifikasi, cara masuk
Rizki: karakteristik virus, awal mula virus masuk, unilateral
Intan: penyakit awal (cacar), tempat tinggal virus, cara menghilangkan
virus, ukuran virus
Puji: faktor pemicu
Osel: segala jenis kanker baik sedang mendapatkan kemoterapi,
radioterapi atau tidak keduanya
d. Tanda dan gejala termasuk masa inkubasi
Rina: gejala prodormal, lesi kulit,
Gita: penjelasan gejala prodormal, NPH, pembagian neuralgia
Rizki: tambahan masa inkubasi dari usu, skala nyeri herpes
Osel: nambahin gejala prodormal, nambahin tentang nyeri dari gejala
Intan: pembagian gejala prodormal (dari buku arif muttaqin), penjelasan
komplikasi NPH, beberapa komplikasi, gejala dipengaruhi oleh usia dan
faktor psikis
Komplikasi: gadis, osel, rizki, susan
e. Pemeriksaan
Susan: tzanck smear, kultur cairan vesikel
Tanti: direct fluorescent asay
Gadis: penjelasan direct fluorescent asay
Osel: biopsi plong (punch), isolasi virus
f. Patofisiologi
Eka & puji
g. Farmakologi
Tanti: sistemik = analgetik (asam mefenamat), antivirus | topikal = bedak
salicyl
Intan: kompres
Eka: pengobatan umum (kebersihan, jangan sampai keluar rumah)
Gadis: tambahan pengobatan umum (baju longgar)
Rina: vidarabin
Rizki: nonfarmako
Osel: keampuhan antivirus, berendam antiseptik,
Puji: akupuntur, terapi psikososial, managemen stress
h. Masalah keperawatan
1. Nyeri kronis
2. Kecemasan
i. Diagnosa
j. Askep
3. Nyeri kronis
Tujuan jangka pendek
Tujuan jangka panjang
Kriteria hasil: nyeri berkurang pada skala apa
Intervensi:
a. Kaji lokasi, skala
b. Teknik relaksasi
c. Distra
4. Kecemasan