Sejak
pemilu di zaman Orde Baru, beberapa artis pernah duduk di Senayan mewakili
fraksi utusan golongan yang berisi seniman dan tokoh agama. Di era reformasi,
semakin banyak artis yang terjun ke dunia politik. Beberapa mampu bersuara,
setidaknya menunjukkan kinerja mereka di parlemen, namun sebagian besar
hanya menjadi penggembira saja.
Selama dua periode pemilu ini rakyat Indonesia dicengangkan dengan
fenomena artis yang mencalonkan diri sebagai legislatif. Hal itu terjadi karena
banyak partai politik yang merekrut kader-kadernya dari kalangan artis. Contohcontoh partai yang banyak memiliki kader politik antara lain adalah Partai Amanat
Nasional (PAN) sekitar 20 artis telah memantapkan naungan di PAN dan siap
untuk menduduki kursi DPR RI. Antara lain Derry Dradjat dari daerah pemilihan
(dapil) Jawa Barat, Ardian Maulana (Sumatera Barat), Eko Patrio (Jawa Timur),
Marini Zumarnis dan Wanda Hamidah (DKI), Wulan Guritno (Jawa Tengah),
Ikang Fauzi (Banten), dan pelawak Cahyono (Jawab Barat).
Selain PAN, PPP juga turut mengusung nama-nama artis ternama seperti
Marissa Haque, Evie Tamala, Lyra Virna, Ferry Irawan, Okky Asokawati, Ratih
Sanggarwati, dan Julia Perez. Tak ingin kalah, Partai sebergengsi Golkar pun
punya nama-nama artis seperti Tantowi Yahya, Jeremy Thomas, dan Nurul Arifin
yang siap menduduki berbagai kursi pemerintahan di Indonesia ditambah Charles
Bonar yang akan maju pada pemilihan berikutnya. Contoh lain lagi, tandingan
partai Golkar seperti PDIP juga mempunyai beberapa nama yang hendak diusung
yaitu Yessy Gusman, Edo Kondologit, Nico Siahaan (termasuk Rieke dan Miing
yang kembali mencalonkan diri). Kemudian partai Demokrat dengan Yenny
Rahman, Anwar Fuadi, Inggrid Kansil dan Venny melinda yang menjadi
kadernya.
memungkinkan,
bahwa
tren
artis
masuk
parpol
juga
sangat
menguntungkan partai politik. Sebab, popularitas artis bisa menjadi modal untuk
memperbesar potensi raihan suara dalam pemilihan kepala daerah maupun
presiden, sehingga menjadi lumbung suara bagi setiap partai politik.
McGinniss (1969) dalam The Selling of The President 1968 pernah
menyebutkan adanya kekuatan penting yang diperankan media massa dalam
pemilihan. Media massa mampu menentukan pilihan seseorang setelah ikut
membentuk, manipulasi citra yang dilakukan seorang kandidat. Terbukti, ada
peningkatan jumlah pemilih secara drastis terhadap seorang kandidat setelah
dipublikasikan media massa. Itulah sebabnya, artis-artis banyak didekati partai
politik untuk menjadi jago mereka. Namun yang disesalkan, aspek kualitas
menjadi dinomor sekiankan oleh partai politik.
Berbondong-bondongnya artis memasuki politik dan menjadi caleg saat ini
sepertinya sedang terjadi sebuah krisis kepercayan diri partai politik untuk
mendapatkan suara dari pemilih. Faktor krisis kepercayaan diri yang dialami
parpol membuat parpol-parpol merancang strategi untuk memulihkan citra
buruknya. Terseretnya sejumlah politisi ke liang korupsi, membuat masyarakat tak
lagi percaya dengan sepak terjang mereka. Kehadiran artis, menjadi alternatif bagi
masyarakat
Secara substansial, belum ada dan bisa menemukan artis yang memiliki
gagasan politik yang jelas yang menjadikan mereka bisa diandalkan. Efek negatif
dari fenomena ini, menjadikan politik sebagai sesuatu yang terlalu cair. Akibatnya,
tak ada lagi pemahaman yang memadai tentang politik yang kontemplatif dari
para pelakunya. Sisi positifnya, dunia politik tidak lagi teralienasi dan dianggap
sesuatu yang mengerikan tapi menjadi sesuatu yang menghibur dengan banyaknya
artis yang masuk politik. alau suatu partai yang sudah berusia lebih dari 10 tahun
masih saja lebih mengandalkan artis untuk menarik suara, karena tidak punya
sejumlah kader andal hasil bentukan sendiri, mereka tidak mampu memfungsikan
organisasi partai bekerja dengan solid dan agresif. Itu berarti pimpinan dan pendiri
partai tersebut gagal membesarkan partainya. Hasil analisa tentang alasan
mengapa artis mau jadi caleg antara lain :
1) Mendapat tawaran parpol dan iming-iming posisi caleg yang bagus
2) Popularitas sudah berkurang, mencoba peruntungan nasib menjadi
caleg
3) Latar belakang pendidikan yang sebetulnya mendukung untuk menjadi
caleg
4) Dorongan
idealisme
untuk
memberikan
sumbangsih
bagi