Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PELAYANAN
KEDOKTERAN
[PNPK] ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
DAFTAR ISI
hal
Pendahuluan .....................................
10
Anestesi kombinasi: anestesi umum dengan inhalasi dan anestesi regional dengan epidural......
12
14
16
20
24
27
30
Anestesi umum pada operasi appendicitis akut tanpa penyulit pada pasien anak ................................
32
Anestesi umum pada operasi bibir sumbing elektif tanpa penyulit pada pasien anak .........................
34
36
39
42
44
46
48
50
51
52
55
58
61
66
68
70
71
79
84
88
94
96
ii
PENDAHULUAN
Latar belakang
Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran khususnya anestesiologi
dan terapi intensif menjadi dasar diperlukannya pedoman atau acuan kerja yang berkualitas dan dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan profesional. Acuan kerja ini dapat menjadi pedoman nasional dalam
memberikan pelayanan kepada pasien di rumah sakit pemerintah dan swasta.
Permenkes No. 1438/IX/2010 yang mengamanatkan kepada Organisasi Profesi Dokter Spesialis untuk membuat
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran yang akan ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
menjadi acuan setiap institusi pelayanan kesehatan (Rumah Sakit/Rumah Sakit Khusus/Klinik dan lain-lain)
dalam membuat Standar Pelayanan Operasional atau Pedoman Pelayanan Klinis di setiap institusinya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pengurus Pusat Perhimpunan Doktes Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif
(PERDATIN) berusaha menyusun suatu buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Anestesiologi dan
Terapi Intensif.
Tujuan
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Anestesiologi dan Terapi Intensif adalah standar prosedur operasional
pelayanan anestesiologi dan terapi intensif seorang spesialis Anestesiologi dalam kegiatan pelayanan yang
berkualitas, optimal dan profesional.
Definisi
Indikasi
1.
2.
Kontra Indikasi
Persiapan
1. Pasien :
Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi
umum dengan inhalasi via face mask.
Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan inhalasi via
face mask.
Puasa.
Medikasi sesuai resiko anestesi.
Premedikasi pra anestesi.
Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Pethidin 100 mg/fentanyl 100g (2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Sungkup muka
- Laringoskop 1 buah
- Set Suction 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
- Isofulran/Sevofluran/Halotan (1 botol)
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
Prosedur Tindakan
1.
Daftar Pustaka
Definisi
Indikasi
1.
2.
3.
Kontra Indikasi
Tidak ada.
Persiapan
1. Pasien :
Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi
umum dengan intubasi endotrakheal.
Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan intubasi
endotrakheal.
Puasa.
Medikasi sesuai resiko anestesi.
Premedikasi pra anestesi.
Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Fentanyl 100g atau Pethidin 100mg(2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Atracurium 50 mg (1 ampul).
- Laringoskop 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Pipa endotrakheal 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
- Isofulran/Sevofluran/Halotan (1 botol)
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
Prosedur Tindakan
Daftar Pustaka
Definisi
Indikasi
Kontra Indikasi
Persiapan
1. Pasien :
Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi
umum dengan total intravena.
Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan total intravena.
Puasa.
Medikasi sesuai resiko anestesi.
Premedikasi pra anestesi.
Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Fentanyl 100g (2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Kanula oksigen
- Laringoskop 1 buah
- Set Suction 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
Prosedur Tindakan
Daftar Pustaka
Definisi
Indikasi
1.
2.
3.
Kontra Indikasi
1.
2.
3.
4.
Persiapan
1.
Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan spinal
anestesi.
- Ijin persetujuan tindakan spinal anestesi.an
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
Alat:
- Kelengkapan jarum spinal 25/26/27 G (1 buah).
- Lidokain 2% (1 ampul).
- Bupivacain 0,5% (1 ampul).
- Dispo 5 cc(1 buah)
- Dispo 3 cc(1 buah)
- Kassa steril (5 lembar)
- Doeck steril (1 buah)
- Betadine (10cc)
- Efedrine (1 ampul)
- Midazolam (1 ampul)
- Sulfast atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Oksigen
- Kanula oksigen
- Mesin anestesi.
Dokter :
- Visite perioperatif.
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
- Pengelolaan nyeri pasca bedah.
2.
3.
4.
Prosedur Tindakan
1.
11.
1.
2.
3.
4.
Daftar Pustaka
1.
2.
Definisi
Indikasi
1.
2.
3.
4.
Kontra Indikasi
1.
2.
3.
4.
5.
1.
Pasien :
- Mendapat penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan
dan resiko yang dapat terjadi.
- Puasa.
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan spinal
anestesi.
- Ijin persetujuan tindakan spinal anestesi.an
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
Alat:
- Epidural set (1 buah).
- Hipafix sebagai fiksassi kateter peidural
- Lidokain 2% (10 ampul).
- Epinefrin 1:1000 (1 ampul).
- Bupivacain 0,5% 20cc isobarik (1 vial).
- Dispo 1 cc (1 buah)
- Dispo 5 cc(1 buah)
- Dispo 3 cc(1 buah)
- Dispo 10 cc (1 buah)
- Kassa steril (10 lembar)
- Doeck steril (1 buah)
- Betadine (10cc)
- Efedrine (1 ampul)
- Midazolam (1 ampul)
- Sulfast atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Oksigen
- Kanula oksigen
Dokter :
Visite perioperatif.
Perencanaan kesiapan anestesi dan pasca bedah.
Persiapan
2.
3.
Prosedur Tindakan
1.
2.
3.
4.
5.
10
1.
2.
3.
Daftar Pustaka
1.
2.
11
Definisi
Indikasi
1.
2.
3.
4.
5.
Kontra Indikasi
1.
2.
3.
4.
5.
Persiapan
1.
Pasien :
- Mendapat penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan
dan resiko yang dapat terjadi.
- Puasa.
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan Kombinasi
baik General anestesia dan Epidural anestesi.
- Ijin persetujuan tindakan CEGA anestesi
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
Alat dan Bahan:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Fentanyl 100g atau Pethidin 100mg(2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Atracurium 50 mg (1 ampul).
- Laringoskop 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Pipa endotrakheal 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
- Isofulran/Sevofluran/Halotan (1 botol)
- Epidural set (1 buah).
- Hipafix sebagai fiksassi kateter peidural
- Lidokain 2% (10 ampul).
2.
12
3.
Prosedur Tindakan
1.
19.
1.
2.
3.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
2.
13
Definisi
Indikasi
1.
2.
Kontra Indikasi
1.
2.
3.
4.
Persiapan
1.
Pasien :
Mendapat penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan
dan resiko yang dapat terjadi.
Puasa.
Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
Interskalenus blok anestesi.
Ijin persetujuan tindakan spinal anestesi.
Medikasi sesuai resiko anestesi.
Premedikasi pra anestesi.
Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
Alat:
Nerve Stimulator (1 buah).
Stimuplex 100 ( 1 buah )
USG Doppler ( 1 buah )
Hipafix sebagai fiksassi kateter peidural
Lidokain 1% (30-40ml).
Epinefrin 1:1000 (1 ampul).
Bupivacain 0,5% 20cc isobarik (1 vial).
Dispo 1 cc (1 buah)
Dispo 5 cc(1 buah)
Dispo 3 cc(1 buah)
Dispo 10 cc (1 buah)
Kassa steril (10 lembar)
Doeck steril (1 buah)
Betadine (10cc)
Alkohol 70%
Efedrine (1 ampul)
Midazolam (1 ampul)
Sulfast atropin 0,25 mg (2 ampul)
Oksigen
Kanula oksigen
Dokter :
Visite perioperatif.
Perencanaan kesiapan anestesi dan pasca bedah.
2.
3.
Prosedur Tindakan
1.
14
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
1.
2.
3.
Daftar Pustaka
1.
2.
15
A. Definisi
Caesarean berasal dari bahasa latin caedere yang artinya memotong. Teknik ini digunakan
pertama kali pada zaman romawi tahun 700 SM untuk mengeluarkan bayi dari seorang wanita hamil aterm
meninggal pada saat persalinan. Dan pasien hidup pertama yang berhasil dilakukan sectio caesarea
diperkenalkan pada tahun 1610 dimana keselamatan dan kondisi optimal dari pasien merupakan fokus
utama pada tindakan bedah tersebut. Keselamatan dari ibu, janin dan bayi harus selalu dipastikan dan ini
memberikan hal yang baru pada dunia anestesia untuk melakuakan pembiusan sectio caesarea. Anestesi
umum dan regional telah digunakan untuk membantu persalinan secara sectio caesarea. 1
Anestesi umum pada sectio caeasarea merupakan teknik yang pertama kali dikembangkan dan
selalu dipertimbangkan pada beberapa kondisi pasien seperti pada hipovolemia maternal, koagulopati,
infeksi pada tempat penyuntikan, peningkatan tekanan intra kranial dan pasien-pasien yang menolak untuk
dilakukan anestesi regional.2
Keuntungan anestesi umum adalah induksinya cepat, mudah dikendalikan, kegagalan anestesi
tidak ada, dapat menghindari terjadinya hipotensi. Kerugiannya adalah kemungkinan adanya aspirasi,
masalah pengelolaan jalan nafas, bayi terkena obat-obat narkotik.1
B. Indikasi 2,3
Anestesia regional merupakan teknik yang paling sering dilakukan oleh seorang anestesiologi
untuk memfasilitasi anestesia pada sectio caesarea. Indikasi dilakukannya anestesi umum pada sectio
caesarea adalah bila terdapat beberapa kondisi seperti pasien menolak untuk dilakukan anestesi regional,
gagal dalam melakukan anestesi regional ataupun terdapat kontraindikasi dilakukannya anestesi regional
seperti :
1. Koagulopati atau trombositopenia
2. Peningkatan tekanan intra kranial
3. Sepsis
4. Infeksi pada tempat penyuntikan anestesi regional
5. Multiple sclerosis
6. Syok hipovolemik
C. Evaluasi pra bedah
Seluruh pasien obstetrik yang membutuhkan pelayanan anestesi untuk persalinan normal ataupun
sectio caesaria harus dilakukan evaluasi pre anestesi secepatnya dan sesegera mungkin. Pemeriksaannya
meliputi riwayat kehamilan, asma, penyakit jantung, penyakit paru,riwayat pembedahan atau anestesi
sebelumnya, tekanan darah, penilaian jalan nafas dan pemeriksaan punggung dan tulang belakang untuk
persiapan dilakukannya anestesi regional. 1,4
Aspirasi pulmonal dari cairan lambung dan kegagalan intubasi merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas maternal pada anestesi umum. Tanpa menghiraukan kapan waktu terakhir kali
makan, seluruh pasien harus selalu diduga memiliki lambung yang penuh dan sangat beresiko untuk
terjadinya aspirasi paru. Waktu puasa yang dibutuhkan saat ini masih kontroversial, akan tetapi
direkomendasikan 6 jam untuk makanan ringan dan 8 jam puasa untuk makan makanan yang berat. 4
Pemberian obat profilaksis seperti antasida 30 menit sebelum dilakukannya sectio caesaria dapat
membantu mengatur PH lambung >2.5 dan menurunkan angka kejadian pneumonitis aspirasi. Obat anti
histamine reseptor-2 (ranitidine) atau metoclopramid oral atau intravena harus selalu dipertimbangkan
untuk diberikan 1 jam sebelum operasi pada pasien-pasien dengan resiko tinggi (obesitas morbid, GERD,
curiga terdapat kesulitan jalan nafas atau pada pasien emergensi tanpa puasa) dan pada pasien-pasien yang
akan dipertimbangkan untuk dilakukan anestesi umum. H2 bloker menurunkan volume dan PH lambung,
akan tetapi tidak berpengaruh terhadap isi yang sudah ada di lambung. Metoclopramid mempercepat
pengosongan lambung, menurunkan volume lambung dan meningkatkan tonus otot sfingter esofagus.
Premedikasi oral dengan omeprazole 40 mg pada malam dan pagi hari terbukti efektif pada pasien-pasien
resiko tinggi yang akan dilakukan operasi sectio caesarea. Walaupun secara teoritis antikolinergik dapat
menurunkan tonus otot sfngter esofagus, premedikasi dengan glycopyrolate (0.1mg) dapat mengurangi
sekresi dan selalu dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien-pasien yang curiga memiliki kesulitan
intubasi.4,5
16
D. Intra operatif
Peningkatan cairan ekstraseluler dan pelebaran pembuluh darah tidak hanya mengakibatkan
edema pada ekstremitas, tetapi juga pada jalan nafas atas. Membran mukosa menjadi rapuh dan mudah
berdarah saat kehamilan terutama saat memasukan NPA, NGT atau ETT. Edema jalan nafas berat dapat
terjadi khususnya pada pasien dengan pre-eklampasia, pasien yang diposisikan tredelenburg pada waktu
yang lama atau pada pasien yang menggunakan obat tokolitik. Tindakan laringoskopi dapat sulit dilakukan
pada pasien yang obese, wanita hamil dengan leher yang pendek dan dada yang besar. Menggunakan
handle laringoskop yang pendek terbukti dapat membantu tindakan laringoskopi 6.
Diafragama meninggi seiring dengan pembesaran dari uterus yang mengakibatkan FRC
(functional residual capacity) menurun hingga 40% dibanding pasien yang tidak hamil. Pada sebagian
besar wanita hamil, penurunan FRC tidak mengakibatkan masalah, akan tetapi pada pasien dengan
obesitas, merokok atau skoliosis dapat mempercepat terjadinya hipoksemia 6.
Teknik Anestesi5,7
1. Pasien dalam posisi supinedengan dengan bantalan pada pinggul kanan untuk memposisikan rahim ke
sebelah kiri (left uterine displacement)
2. Denitrogenisasi dengan menggunakan oksigen 100%, 3-5 menit
3. Persiapkan pasien, asepsis antisepsis dan dibungkus dengan kain pembedahan steril
4. Saat dokter bedah sudah siap, pemberian analgetik opioid short acting untuk menumpulkan respons
simpatis pada saat intubasi dapat diberikan, teknik rapid sequence induction dengan penekanan cricoid
(Sellick's maneuver) dapat dilakukan menggunakan propofol 2mg/kg atau ketamine 1-2 mg/kg,
danpelumpuh otot succinylcholine 1.5mg/kg atau rocuronium 0.9-1.2mg/kg
5. Pembedahan dimulai setelah ETT dikonfirmasi berada pada tempat yang tepat. Hiperventilasi yang
berlebihan harus dihindari (PaCo2 <25 mmHg) karena dapat menurunkan aliran darah uterus dan
berhubungan dengan asidosis fetus
6. 50 % N2O dalam oksigen dengan 0.75 MAC dari gas anestesi (sevoflurane 1%, isofluurane 0.75% atau
desflurane 3%) digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Dosis rendah anestesi inhalasi membantu
memberikan efek amnesia akan tetapi tidak cukup kuat untuk menyebabkan uterus relaksasi atau
mencegah uterus kontraksi akibat pemberian oksitosin. Pelumpuh otot durasi menengah (atracurium,
cisatracurium atau rocuronium) dapat diberikan akan tetapi durasi pelumpuh otot tersebut mungkin
akan memanjang pada pasien yang menerima magnesium sulfat
7. Setelah bayi dan placenta lahir, 20-80 unit oksitosin harus segera diberikan dalam 1 liter cairan infusan
pertama dan 20 unit lagi pada cairan infus berikutnya. Penambahan propofol, opioid atau
benzodiazepine dapat diberikan untuk memastikan pasien dalam keadaan amnesia
8. Bila uterus tidak berkontraksi dengan baik, maka opioid harus segera diberikan dan anestesi inhalasi
golongan halogen harus segera dihentika. Methylergonovine (Methergin) 0.2 mg IM atau dalam 100 ml
NaCl infus lambat harus seger diberikan akan tetapi dapat meningkatkan tekanan darah arteri.
Methylprostaglandin F2, 0.25 mg IM juga dapat diberikan.
9. Dapat digunakan oral gastric tube untuk mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi paru dalam
keadaan gawat darurat.
10. Pada akhir pembedahan, pelumpuh otot harus secara total di-reverse, gastric tube dilepas, dan pasien
diekstubasi saat sadar untuk mengurangi risiko aspirasi.
Bila terdapat kemungkinan kesulitan jalan nafas, penggunaan video assisted laryngoscopy
(glidescope) dapat mengurangi insiden kegagalan intubasi. Walaupun demikian kita harus memiliki strategi
untuk mengatasi kegagalan intubasi endotrakheal. Bila tidak terdapat gawat janin maka pasien harus
dibangunkan. terjadi gawat janin. Pada pasien dengan gawat janin, jika ventilasi spontan atau ventilasi
tekanan positif (dengan sungkup atau LMA) dengan tekanan krikoid memungkinkan, percobaan untuk
melahirkan janin dapat dilakukan. Dalam hal ini, agen volatil poten dengan oksigen diberikan untuk
anestesi, tapi saat janin dilahirkan, dapat ditambahkan NO 2 untuk mengurangi konsentrasi agen volatil;
sevofluran merupakan agen volatil terbaik karena mempunyai efek depresi pernafasan paling sedikit. Jika
ventilasi ke pasien tidak dapat diberikan, butuh dilakukan krikotirotomi atau trakeostomi secepatnya 6.
17
Gambar 1. Algoritma sulit intubasi pada pasien obstetrik (sumber : Frolich MA, Butterworth JF, Mackey
DC, Wasick JD. Morgan and Mikhails Clinical Anesthesiology 5th ed. Obstetric Anesthesia . New York :
Lange Medical Books/McGraw Hill Educaion; 2013.
DAFTAR PUSTAKA
18
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kele E, Yazgan H, Gebee A, Pakr E. Clinical Study : The Type of Anesthesia Used during Cesarean
Section is Related to the Transient Tachypnea of the Newborn. ISRN Pediatrics Volume 2013. April 7th,
2013. Downloaded from http://www.hindawi.com/journals/isrn.pediatrics/2013/264340/. Accessed April
12th, 2014.
McGlennan Alan, Mustafa Adnan. General Anaesthesia for Caesarean Section. Continuing Education
Critical
Care
&
Pain
Volume
9,
2009.
Downloaded
from
http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/9/5/148.full.pdf. Accesed April 12th, 2014.
Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins; 2006.
Martin TC, Bell P, Ogunbiyi O. Comparison of General Anaesthesia and Spinal Anaesthesia for Caesarean
Section in Antigua and Barbuda. West Indian med. j. vol.56 no.4 Mona Sept. 2007 [serial online].
Downloaded
from
http://caribbean.scielo.org/scielo.php?
pid=S004331442007000400004&script=sci_arttext. Accessed April 12th, 2014.
Frolich MA, Butterworth JF, Mackey DC, Wasick JD. Morgan and Mikhails Clinical Anesthesiology 5th
ed. Obstetric Anesthesia . New York :Lange Medical Books/McGraw Hill Educaion; 2013.
Frolich MA, Butterworth JF, Mackey DC, Wasick JD. Morgan and Mikhails Clinical Anesthesiology 5th
ed. Maternal & Fetal Physiology & Anesthesia. New York : Lange Medical Books/McGraw Hill Educaion;
2013.
7. Joseph A, Mushambi M. Principles of General Anaesthesia for Caesarean Section. Updated January
2010. Downloaded from http://www.oaa-anaes.ac.uk/assets/_managed/editor/File/Guidelines/GA
%20section/GA_forCS_mushambi_leicester.pdf. Accessed April 12th, 2014.
19
Latar Belakang
Pemilihan SC terus meningkat hingga saat ini berkisar antara 25-30% secara nasional dan internasional.
Persalinan dengan SC dilakukan paling sering dengan insisi transversal di abdomen bagian bawah (pfanensteil).
Dengan diseksi dari fascia dan pemisahan otot rectus abdominis, diikuti pembukaan peritoneum, insisi uterus
secara transversum (histerotomi).
Teknik ini merupakan pilihan terbaik pada section caesaria dengan fetal distress. Resiko lebih rendah terhadap
ibu dan neonatus, serta memberikan kenyamanan kepada ibu.
Evaluasi Pre Anestesia
1. Mempelajari rekam medis
2. Melakukan wawancara dan pemeriksaan khusus untuk: membahas riwayat penyakit, pengalaman anestesia
sebelumnya dan pengobatan yang sedang dijalani
3. Menilai aspek kondisi fisik yang mungkin merubah keputusan dalam hal resiko dan pengelolaan anestesia
4. Meminta dan mempelajari hasil- hasil pemeriksaan dan konsultasi yang diperlukan untuk tindakan
anestesia
5. Menentukan obat-obat atau medikasi pra anestesia yang diperlukan untuk tindakan anestesia
6. Penjelasan tentang keadaan pasien kepada keluarga atau pasien sendiri meliputi diagnosa kerja, rencana
tindakan dan resiko baik terhadap ibu dan atau janin dan faktor penyulit anestesia serta kemungkinan
komplikasi intra ataupun pasca tindakan anestesia
7. Dokter anestesia bertanggung jawab memeriksa kembali bahwa hal tersebut diatas telah dilakukan secara
benar dan dicatat dalam rekam medis.
Definisi Regional Anestesia
Anestesia regional adalah teknik anestesia dengan penyuntikan obat anestesiaa lokal dengan atau tanpa obat
tambahan di sekitar serabut saraf, sehingga menghambat hantaran sensorik area yang dipersarafinya. Rangsang
nyeri dari area yang diblok akan terhambat dalam waktu tertentu yang terkait dengan obat anestesia lokal yang
digunakan dan penambahan adjuvan.
Tujuan
1. Mencegah terjadinya nyeri yang ditimbulkan selama operasi SC
2. Meningkatkan kenyamanan pasien dan mencegah efek samping yang tidak diinginkan.
Modalitas Regional Anestesia
Terdapat beberapa pilihan teknik regional anestesia, antara lain:
1. Anestesia Spinal
Merupakan teknik yang sederhana dan sangat baik dengan onset yang cepat. Teknik ini sangat
menguntungkan terutama karena pasien tetap terbangun dan nyaman, sehingga resiko aspirasi isi gaster ke
dalam paru sangat minimal. Walaupun insisi dilakukan di abdomen bagian bawah, blok sensori dibutuhkan
setinggi T4 untuk mencegah nyeri yang diakibatkan traksi dari peritoneum dan uterus. Jenis dan dosis dari
anestetik local yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat anestesia yang diharapkan, lama operasi,
rencana analgesia postoperative dan yang lebih disukai oleh seorang anestesiologis. Spinal anestesia
dengan menggunakan bupivacaine 0.5% hiperbarik dengan fentanyl dan morfin merupakan kombinasi
yang kuat. Onset yang cepat dari morfin mengurangi nyeri visceral dan mual selama pembedahan,
sedangkan onset yang lambat dari morfin (durasi 18-20 jam) memberikan efek analgesia setelah operasi.
Resiko terjadinya postdural puncture headace sama dengan pada anestesia epidural, terutama bila
menggunakan gauge 25 whitacre digunakan. Resiko toksisitas obat anestesia local cenderung rendah.
2. Anestesia Epidural atau kombinasi Anestesia Epidural-Spinal
Teknik ini diindikasikan pada Section Caesar dengan waktu operasi diperkirakan lama (antisipasi bila
waktu operasi lebih dari 90 menit). Epidural catheter dapat digunakan untuk analgesia dalam kehamilan
sampai saat menjalani section caesar. Hindari perubahan epidural (untuk kehamilan atau dengan efek
analgesia yang rendah) menjadi spinal, tanpa pengurangan dosis spinal. Hal ini dapat menyebabkan
tingginya resiko terhadap spinal tinggi.
Evaluasi Pre Anestesia
1. Evaluasi preoperative dilakukan untuk memperoleh data pasien, adanya perubahan selama persalinan atau
adanya penyakit penyerta apat mempengaruhi pemilihan teknik anestesia. Lakukan inform consent.
Diskusikan dengan dokter obstetrik indikasi dilakukannya section caesaria. Pengetahuan tentang obstetric
20
2.
3.
dapat membantu seorang anestesiaolog dalam memberikan anestesia yang optimal dalam setiap persalinan.
Pastikan pasien juga mendapatkan analgesia post operatif.
Pasang infus dengan iv cath 18G, pastikan lancar.
Pasien dipuasakan selama 6 jam, berikan ranitidin 50 mg IV.
21
20 mL lidocain 2%
2 mL sodium bikarbonat
2 mL Fentanyl
22
2-chloroprocain 3% memiliki efek penting yaitu kemampuan dalam difusi ke jaringan. Efek ini dapat berguna
pada saat blok epidural yang menggunakan lidocaine 2% hanya bekerja sempit, walaupun dengan volume yang
maksimal dan telah ditambahkan fentanyl ke dalam regimen. 2-chloroprokain 10 mL dalat emeberikan analgesia
yang cukup, tanpa perlu merubah teknik menjadi general anestesia.
Dosis 2-chloroprokain 3% untuk epidural pada SC
2-chloroprokain 3% 20-25 mL
Definisi
23
Indikasi
Pasien dengan penyakit jantung tanpa penyulit yang akan menjalani operasi
operasi-operasi sebagi berikut :
CABG
Katub jantung
Kelainan Kongenital Dewasa
Kontra Indikasi
Tidak ada
Persiapan
1. Persiapan Pasien
2. Persiapan Alat
a. Mesin anestesi volume cycle.
b. Sumber oksigen dan gas terkompresi (40 psi)
c. Sirkuit nafas setengah tertutup.
d. Alat monitor: EKG, Tekanan darah invasive (arteri, vena sentral dan
arteri pulmonalis), Saturasi oksigen, Suhu dan Kapnografi
e. Alat untuk intubasi: face mask, laringoskopi dengan bilah yang sesuai
(no 3-5), kanul endotrakeal dengan ukuran yang sesuai( no 7-8),
stetoskop, orofaringeal airway (no 3-5), plester, introducer, dan
penghubung
f. Kanul intravena dengan berbagai ukuran : 14,16,18 dan 20G @2 buah
g. Blood set dengan konektor kunci (3) dan cairan infus : RD (1), RL(1),
koloid gelatin(1), koloid starch(1)
3. Persiapan Obat
a. Obat sedatif hipnotik: midazolam 15 mg ampul(1)
b. Obat analgetik narkotik: Sufentanyl @ 50 mcg ampul (2)
c. Obat pelumpuh otot: Pankuronium 4 mg ampul (3)
d. Obat inhalasi: SEVOFLURAN 250 cc
e. Obat antiaritmia: Amiodaron ampul(1),
f. Obat inotropik dan vasoaktif
g. Obat emergensi
h. Obat profilaksis mual muntah
i. Obat antidotum
Prosedur Tindakan
1. Preoperasi :
Baca seluruh status pasien, catatan, temuan, hasil pemeriksaan penunjang
dan jawaban konsul sejawat. Pastikan inform consent sudah dibaca dan
ditandatangani pasien/keluarga
2. Premedikasi :
Obat per oral ativan 1mg, 1 jam sebelum ke OK (lihat situasi dan
kondisi pasien
Morfin 0.2mg/kgbb atau midazolam 2.5-5 mg segera setelah
pemasangan jalur iv
3. Persiapan di kamar persiapan:
Selimut, pasang penghangat dan penutup pasien
Duk untuk mengganjal lengan pasien
Pasang EKG, kanul arteri dengan cara yang baik dan benar
Preoksigenasi jika diperlukan
Arteria radialis dekstra : kanul 20 G perkutan, sambungkan ke Tconnector, lalu 50 cm extention line sampai ke tranduser segera setelah
sampai di kamar operasi. Fiksasi dengan baik dan catat tekanan darah.
Gunakan arteri radialis dekstra untuk kanulasi jika yang sinistra akan
digunakan sebagai arteri penghubung pada pasien yang menjalani
operasi CABG
4. Induksi :
Morfin 10-30 mg (0.5 mg/kg) atau
Etomidate 0.15-0.3 mg/kg atau propofol 1-3 mg/kg
Fentanil 1-2mg (10-20 ug/kg) atau sufenta 1-2 ug/kg, turunkan dosis
jika direncakan ekstubasi lebih awal
Pankuronium 6-8 mg(70-100 ug/kg), vecuronium 4-8 mg (70-100
ug/kg), rocuronium 0.3 1.2 mg/kgbb
24
5. Intubasi :
Intubasi dilakukan dengan ukuran ETT yang sesuai
Lakukan ventilasi manula terlebih dahulu lalu ganti ke ventilasi
mekanik ( Fi02 0.3-0.5 (air/02)
6. Kanulasi vena subklavia sinistra untuk mengukur tekanan vena sentral :
Kateter double/triple lumen, sambungkan ke tranduser dan catat
tekanan vena sentral
7. Pasang temperature probe
8. Pasang nasogastric/orogastric probe
9. Duk untuk mengganjal lengan dan badan pasien
10. Pasang anesthetic screen
11. Diathermy pad
12. Pasang kateter urine
13. Pasang ganjal bahu dan bantal kepala
14. Cek posisi kepala, bila diperlukan, tambahkankain di bawah ganjal kepala
agar posisi kepala tidak hiperekstensi
15. Pasang duk alas di bawah kepala, pastikan semua tubing/line dan three way
stopcocks berada pada posisi yang terlihat dan mudah dijangkau
16. Setelah pasien siap untuk prosedur operasi :
- Cek ventilasi pasien : laju nafas 10-12 kali.menit
- Minute volume diatur untuk mendapatkan PaCO2 sekitar 35-40mmHg
- Bacterial/viral filter dengan penghangat dan moisture exchanger
- Pasang tiang tranduser, pindahkan tranduser dan lakukan kalibrasi
- Pastikan pasien telah mendapatkan analgesia yang cukup
(morfin/fentanil/sufenantil)
- Dalamkan
anestesi
dengan
gas
anestesi
inhaasi
0.5%
sevoflurane/desflurane
- Siapkan heparine 3mg/kgbb, berikan heparine sesuai permintaan
spesialis bedah,
- Mulai hitung waktu setelah heparin diberikan, catat waktu dan dosis ke
dalam status anestesi
- Cek ACT 5 menit, setelah pemberian heparin. Jika < 400 detik beri
tambahan dosis heparin 1 mg/kg
- Catat dengan seksama waktu penambahan pelumpuh otot intermittent
17. Saat berada dalam mesin pintas
Pintas parsial :
Berikan 02 100%
Catat waktu
Matikan sevoflurane/desflurane,alihkan pemberian anestesi inhalasi
melalui mesin CPB jika direncanakan teknik sedasi inhalasi selama
periode CPB
Perhatikan tekanan vena, seharusnya menurun
Perhatikan tekanan arterial, biasanya hanya tampak pulsasi kecil
Pintas total :
Saat aorta ascending di klem, terjadi fibrilasi ventrikel, ventilasi
diubah ke sirkuit manual
Buka valve. Minimal gas flow
Ctata waktu
Mulai penghitungan untuk iskemik miokard
18. Pemberian kardioplegia oleh perfusionist menggunakan pump. Catat waktu :
Saat dumulainya CPB
Saat aorta diklem
Saat dilepaskannya klem aorta
Saat CPB berakhir
19. Perhatikan betul hasil-hasil :
- Analisa gas darah
- Jumlah produksi urin selama CPB
- Jumlah hemofiltrasi selama CPB
20. Perhatikan obat yang diberikan saat berada dalam mesin pintas
21. Klem aorta dilepas,:
25
1.
2.
Daftar Pustaka
Definisi
Indikasi
26
CABG :
Katub jantung
Kelainan Kongenital Dewasa
Pembuluh darah besar
Kombinasi tindakan operasi di atas
Kontra Indikasi
Tidak ada
Persiapan
1.
2.
Persiapan Pasien
Persiapan Alat
a. Mesin anestesi volume cycle.
b. Sumber oksigen dan gas terkompresi (40 psi)
c. Sirkuit nafas setengah tertutup.
d. Alat monitor: EKG, Tekanan darah invasive (arteri, vena sentral dan
arteri pulmonalis), Saturasi oksigen, Suhu dan Kapnografi
e. Alat untuk intubasi: face mask, laringoskopi dengan bilah yang
sesuai (no 3-5), kanul endotrakeal dengan ukuran yang sesuai( no 78), stetoskop, orofaringeal airway (no 3-5), plester, introducer, dan
penghubung
f. Kanul intravena dengan berbagai ukuran : 14,16,18 dan 20G @2
buah
g. Blood set dengan konektor kunci (3) dan cairan infus : RD (1),
RL(1), koloid gelatin(1), koloid starch(1)
3.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Prosedur Tindakan
Persiapan Obat
Obat sedatif hipnotik: midazolam 15 mg ampul(1)
Obat analgetik narkotik: Sufentanyl @ 50 mcg ampul (2)
Obat pelumpuh otot: Pankuronium 4 mg ampul (3)
Obat inhalasi: SEVOFLURAN 250 cc
Obat antiaritmia: Amiodaron ampul(1),
Obat inotropik dan vasoaktif
Obat emergensi
Obat profilaksis mual muntah
Obat antidotum
1. Konsultasi anastesi
2. Preoperasi :
Preop visit,
27
28
Daftar Pustaka
Pengertian
Indikasi
Kontra Indikasi
1. Tidak ada
Persiapan
1. Pasien:
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi umum
29
Prosedur Tindakan
30
Tingkat evidens
Tingkat rekomendasi
Penelaah kritis
1.
2.
90% dari pasien yang menjalani pembedahan dapat di anestesi dengan
anestesi umum intubasi endotrakheal.
1.
2.
Pengertian
Tindakan anestesi pada pasien anak yang menjalani operasi appendicitis akut
dengan menggunakan anestesi inhalasi yang dihantarkan pada pasien
menggunakan pipa endotrakheal tube yang dimasukkan ke dalam trakhea
Indikasi
Kontra Indikasi
1. Tidak ada
Persiapan
1. Pasien:
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi umum pada
operasi appendicitis akut dengan intubasi endotrakheal
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum pada pasien operasi
31
Prosedur Tindakan
32
Tingkat rekomendasi
Penelaah kritis
Indikator Prosedur Tindakan
Kepustakaan
C
1.
2.
90% dari pasien yang menjalani pembedahan dapat di anestesi dengan
anestesi umum intubasi endotrakheal
1.
2.
Definisi
Tindakan anestesi pada pasien anak yang menjalani operasi bibir sumbing
dengan menggunakan anestesi inhalasi yang dihantarkan pada pasien
menggunakan pipa endotrakheal tube yang dimasukan ke dalam trakhea
Indikasi
Kontra Indikasi
1.
Persiapan
1. Pasien
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi umum pada
operasi bibir sumbing dengan intubasi endotrakheal .
- Ijin pesetujuan tindakan anestesi umum pada pasien operasi bibir
sumbing dengan intubasi endotrakheal
- Pemeriksaan penunjang
:
DL,FH
ECG bila ada indikasi
33
Prosedur Tindakan
34
Tingkat Evidens
Tingkat Rekomendasi
Penelaah Kritis
Indikator Prosedur Tindakan
Daftar Pustaka
Definisi
Indikasi
Kontra Indikasi
Tidak ada.
Persiapan
1. Pasien :
Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi
umum pada operasi hypertrofi pyloric stenosis dengan intubasi
endotrakheal.
Ijin persetujuan tindakan anestesi umum pada pasien operasi
hypertrofi pyloric stenosis dengan intubasi endotrakheal.
Pemeriksaan penunjang :
DL, FH.elektrolit (Na,K,Cl,Ca), BGA, (CL, Na,pH urine)
ECG bila ada indikasi
35
2.
3.
Prosedur Tindakan
1.
2.
3.
4.
5.
Thorak Foto
USG Abdomen
Pasien dipuasakan.
Pemasangan IV line dan resusitasi cairan sesuai derajadnya
(target resusitasi Clor serum >=106mmol/l, Na
serum.=135mmol/l, HCO3serum <=26mmol/L, Cl urin
>20mmol, urine lml/kgBB/jam)
Penganan gangguan asam basa dan dehidrasi harus terkoreksi
sebelum pembedahan.
Pemasangan Pipa nasogastric yang sesuai.
Medikasi sesuai resiko anestesi.
Premedikasi pra anestesi
Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (4 ampul)
- Lidocaine 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (1 ampul)
- Fentanyl 100 mcg / Remifentanyl
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Rocuronium 50 mg atau atracurium 50 mg (1 ampul), atau
vecuronium 10 mg (1 ampul) .
- Neostigmin 0.5 mg/ml
- Paracetamol 1g
- ETT nomor sesuai dengan perhitungan {(umur/4)+4}, disiapkan
1 nomor di bawahnya dan 1 nomor di atasnya.
- Suction cath no sesuai dengan umur
- NG tube no sesuai dengan umur
- Transfusion set atau pediatric set
- IV cath no disesuaikan dengan umur
- Opsite infus
- 3 way stop cock
- Isofulrane / Sevoflurane (1 botol)
- Laringoskop 1 buah
- Oropharing 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi.
Dokter :
- Visite perioperative, resusitasi cairan dan koreksi gangguan
elektrolit sebelum pembedahan dan anestesi.
- Penentuan klasifikasi PS ASA.
- Check list kesiapan anestesi.
Pemasangan IV line
Pasang monitor standar berupa, tekanan darah, EKG, Saturasi
oksigen, suhu, EtCO2, stetoskop precordial.
Pemasangan pipa nasogastric dengan nomor besar dengan kateter
berlubang, dilakukan aspirasi sebelum induksi dengan bayi posisi
miring kiri, kanan dan terlentang untuk membersihkan volume sisa
dari lambung.
Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 5 menit.
Atropine 0,02mg/kg IV.
36
Tingkat Evidens
Tingkat Rekomendasi
Penelaah Kritis
Indikator Prosedur Tindakan
Daftar Pustaka
37
Definisi
Indikasi
Kontra Indikasi
Tidak ada.
Persiapan
1. Pasien :
Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi
umum pada operasi gastroschisis dengan intubasi endotrakheal.
Ijin persetujuan tindakan anestesi umum pada pasien operasi
gastroschisis dengan intubasi endotrakheal.
Pemeriksaan penunjang :
DL, FH,Elektrolit
Thorak Foto (babygram)
Pasien dipuasakan.
38
2.
3.
Prosedur Tindakan
1.
2.
3.
4.
5.
39
Tingkat Evidens
Tingkat Rekomendasi
Penelaah Kritis
Indikator Prosedur Tindakan
Daftar Pustaka
40
Pengertian
Nyeri yang menjalar dari regio leher ke daerah ekstremitas atas, yang dirasakan seperti rasa tersengat listrik,
yang disebabkan karena iritasi atau kerusakan saraf spinal cervical
Patogenesis
Aktifitas ektopik pada serabut afferent nosisepsi di serabut saraf spinalis atau pada akar saraf serabut spinalis
cervical, atau mekanisme neuropatik lainnya.
Anamnesis
Nyeri radicular yang ditandai dengan nyeri pada leher yang menjalar ke bahu, lengan atas, kadang-kadang
sampai ke tangan. Penyebaran mengikuti pola dermatom persyarafan, seperti dermatom C4 melibatkan leher
dan daerah suprascapular; dermatom C5 meliputi penyebaran ke daerah lengan atas; pada dermatom C6-C7
penyebaran meliputi daerah leher, bahu, lengan dan tangan. Penyebaran terjadi pada struktur yang dipersarafi
akar saraf seperti otot, ligamen, sendi, dan kulit.
Pemeriksaan fisis
Tes sensasi, kekuatan motorik, dan refleks tendon
Tes Spesifik : Neck Compression Test ( Spurling Test)
Shoulder abduction Test,
Axial Manual traction Test
Pemeriksaan Penunjang
41
CT scan
MRI
:
Untuk melihat struktur dari tulang pada vertebral cervical.
:
Untuk melihat lesi pada jaringan lunak, penonjolan diskus intervertebralis,penekanan
dan iritasi nerve root, penyempitan foramen intervertebralis, dan jaringan sekitarnya.
Diagnostik selective nerve root block, untuk mengetahui segmen cervical penyebab utama sumber nyeri.
Diagnosis Banding
Nyeri pada sendi facet cervical,sendi bahu, Infeksi, penyakit vaskular, tumor
Tata Laksana
Penanganan konservatif :
- NSAID : golongan oxicam, golongan asam propionat, antranilat bila tidak ada kontra indikasi
- COX2 Inhibitor : celecoxib, valdecoxib
- Obat Neuropatik : carbamazepin, gabapentin,pregabalin
- Terapi Rehabilitasi
Tindakan Intervensi :
Epidural Corticosteroid : Teknik Interlaminer atau transforaminal dengan penuntun fluoroskopi
Radiofrekuensi ablasi pada Dorsal Root Ganglia, thermal dan pulsed rediofrekuency
Pembedahan: Pada nyeri yang refrakter dengan terapi sebelumnya, atau pada nyeri radikulopatik (nyeri
radikular yang disertai dengan kelemahan motorik )akibat penekanan pada spinal cord (myelomalacia)
Spinal Cord Stimulation
Tingkat Evidence
Teknik
Interlaminar corticosteroid administration
Transforaminal corticosteroid administration
Radiofrequency treatment adjacent to the dorsal root ganglion (DRG)
Pulsed radiofrequency treatment adjacent to the DRG
Spinal cord stimulation
Skor
2B+
2B2B+
1B+*
0
Kepustakaan
- Jan VZ, Marc H, Jacob P, Arno L, Nagy M, Marteen van K. Evidence-Based interventional pain
medicine. Cervical Radicular Pain. 2012;4:18-29
- Rathmell JP, Aprill C, Bogduk N. Cervical transforaminal injection of steroids. Anesthesiology.
2014;100:1595-1600
- Abdi S, Datta S, Trescot AM, et al.Epidural steroids in the management of chronic spinal pain: a
systematic review. Pain Phsysician. 2007;10:185-212
- Abbasi A, Malhotra G, Malanga G, Elovic EP, Kahn S. Complications of interlaminar cervical epidural
steroid injections: a review of the literature. Spine. 2007;32:2144-2151
42
Pengertian
Nyeri pada daerah belakang kepala hingga area segmen thoracal pertama . Nyeri dirasakan kadang menjalar
disekitar leher, kepala, bahu, hingga lengan atas, namun kadang hanya dirasakan pada leher dan tidak menjalar.
Patogenesis
Penyebab nyeri masih tidak jelas, tetapi berhubungan intensitas pekerjaan yang cukup tinggi yang melibatkan
sendi facet pada leher. Adanya proses degeneratif dan penyempitan pada diskus intervertebralis cervical
menyebabkan beban yang cukup berat pada sendi facet.
Anamnesis
Nyeri di sekitar leher, bersifat unilateral, biasanya menjalar tetapi tidak melewati bahu, nyeri memberat apabila
gerakan rotasi dan retrofleksi.
Pemeriksaan fisis
Tes neurologis meliputi refleks, sensoris dan fungsi motorik
Pemeriksaan pada pergerakan leher baik pasif maupun aktif meliputi : Fleksi dan ekstensi, lateral
fleksi,rotasi, rotasi dengan fleksi maksimal, rotasi dengan ekstensi.
Nyeri tekan pada sendi facet.
Pemeriksaan Penunjang
Foto Polos regio cervical untuk melihat proses degeneratif
43
CT scan :
MRI
:
Skor
0
2B+
2C+
Kepustakaan
- Marteen van E, Jacob P, Arno L et al. Evidence-Based interventional pain medicine. Cervical Facet
Pain. 2012;5:31-38.
- Guzman J, Hurwitz EL, Carroll LJ, et al. A new conceptual model of neck pain: linking onset, course,
and care: the bone and joint decade 2000-2010 task force on neck pain and its associated disorders.
Spine.2008;33:S14-S32.
- Bogduk N, McGuirk B. Management of Acute and Chronic Neck Pain. Pain Research and Clinical
Management. Philadelphia, PA: Elviser;2006.
- Manchikanti L, Boswell MV, Singh V, et al. Comprehensive evidence-based guidelines for
interventional techniques in management of chronic spinal pain. Pain Physician.2009;12:699-802
44
Pengertian
Nyeri yang menjalar dari daerah pinggang ke arah bawah sesuai dengan persyarafan dermatom lumbal dan
sakrum, yang dapat disertai dengan adanya penurunan fungsi motorik.
Patogenesis
Aktifitas ektopik pada serabut afferent nosisepsi pada serabut saraf spinalis atau pada akar saraf serabut spinalis,
atau mekanisme neuropatik lainnya. Aktifitas ektopik ini disebabkan karena ada nya iritasi serabut saraf yang
biasanya disebabkan karena adanya penonjolan diskus.
Anamnesa
Nyeri radicular pada pinggang, yang terasa tajam, tumpul, terbakar, atau seperti dipukul yang disebabkan karena
adanya penonjolan diskus yang memberat apabila perubahan posisi seperti duduk, batuk, atau latihan yang
melibatkan diskus dari regio loumbal, dan berkurang apabila berjalan, atau berbaring.
Pemeriksaan fisis:
2. Pemeriksaan Motorik
3. Pemeriksaan Sensorik
4.
Pemeriksaan Reflek Fisiologis
4. Pemeriksaan Reflek Patologis
5. Pemeriksaan Tonus otot
6. Pemeriksaan Autonomic Nervous System
45
7. Pemeriksaan khusus : Lasegues test, Cram test, Crossed straight leg raising test, FABER (Flexion
Abduction External-Rotation) test
Pemeriksaan Penunjang
Foto Polos regio lumbal untuk melihat proses degeneratif
CT scan: Untuk melihat struktur dari tulang pada vertebral lumbal
MRI : Untuk melihat lesi pada jaringan lunak, penonjolan diskus intervertebralis,penekanan dan
iritasi nerve root, penyempitan foramen intervertebralis, dan jaringan sekitarnya
Diagnostik selective nerve root block, untuk mengetahui segmen penyebab utama sumber nyeri
Diagnosa banding
Cauda Equina syndrom, Fraktur Kompresi pada regio lumbal, Nyeri yang menjalar tetapi tidak bersifat
dermatomal ( pielonefritis, kolesistitis, endometriosis, appendisitis )
Tata Laksana
Konservatif :
NSAID : golongan oxicam, golongan asam propionat, antranilat, bila tidak ada kontra indikasi
COX2 Inhibitor : celecoxib, valdecoxib
Obat Neuropatik : carbamazepin, gabapentin,pregabalin
Terapi Rehabilitasi
Terapi Intervensi
Epidural Corticosteroid : Teknik Interlaminer atau transforaminal dengan penuntun fluoroskopi
Radiofrekuensi ablasi pada dorsal root ganglia dengan pulse maupun thermal radifrequency
Adhesiolisis pada kasus spinal stenosis dan nyeri pasca bedah spine ( FBSS )
Pembedahan: Pada nyeri yang refrakter dengan terapi sebelumnya, atau pada nyeri radikulopatik akibat
penekanan pada spinal cord (myelomalacia) yang menyebabkan gangguan motorik dan otonomik.
Spinal Cord Stimulation
Tingkat Evidence
Teknik
Interlaminar corticosteroid administration
Transforaminal corticosteroid administration in contained herniation
Transforaminal corticosteroid administration in extruded harniation
Radiofrequency lesioning at the level of the spinal ganglion (DRG)
Pulsed radiofrequency treatment at the level of the spinal ganglion
Spinal cord stimulation (FBSS only)
Adhesiolysis-epiduroscopy
Assessment
2B
2B+
2B2A2C+
2A+
2B
Kepustakaan
Koen VB, Jianguo C, Jacob P, et al. Evidence-Based interventional pain medicine. Lumbosacral Radicular
Pain. 2012;11:71-82
Tarulli AW, Raynor EM. Lumbosacral radiculopathy. Neurol Clin.2007;25:387-405
Koes BW, van Tulder MW, Peul WC. Diagnosis and treatment of sciatica.BMJ.2007;334:1313-1317
Hagen KB, Jamtvedt G, Hilde G, Winnem MF. The update Cochrane review of bed rest for low back pain
and sciatica.Spine.2005;30:542-546
46
Pengertian
Nyeri pada pinggang yang dirasakan tidak menjalar, dan nyeri ini dirasakan memberat pada gerakan fleksi dan
berkurang pada posisi duduk.
Patogenesis
Disebabkan karena ada nya proses inflamasi pada sendi facet, proses inflamasi ini disebabkan karena proses
yang berulang ulang pada penggunaan sendi facet berlebih. Proses inflamasi ini menyebabkan penyempitan dari
kanalis spinalis dari posterior foramen sehingga mengiritasi akar saraf spinalis.
Anamnesa
Nyeri pada sekitar pinggang , biasanya tidak menjalar, kecuali disertai dengan penonjolan diskus, lebih sering
bersifat unilateral, nyeri dirasakan memberat pada gerakan ekstensi dan rotasi, dan berkurang pada posisi duduk.
Dapat ditemukan nyeri aksial pada perubahan posisi dari baring ke duduk atau duduk ke berdiri.
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan palpasi : nyeri tekan pada daerah paravertebral
Pemeriksaan meliputi gerakan gerakan dari sendi facet, menggunakan Revel Criteria yaitu :
1. Nyeri tidak memberat pada saat batuk
2. Nyeri tidak memberat pada saat meluruskan badan dari fleksi
3. Nyeri tidak memberat pada saat hiperekstensi
4. Nyeri membaik pada saat posisi berbaring.
Pemeriksaan Penunjang
Foto Polos regio lumbal untuk melihat proses degeneratif
47
Diagnosa banding
Nyeri Radikular lumbal, Nyeri diskogenic regio lumbal, sacroiliac joint patologic, nyeri myofascial
Tata Laksana
Konservatif :
NSAID : golongan oxicam, golongan asam propionat, antranilat, bila tidak ada kontra indikasi
Terapi Rehabilitasi
Interventional :
- Intra-articular steroid injection
- Percutaneus infiltration of ramus medialis
- Percutaneus facet denervasi dengan pulse maupun thermal radiofrequency
Tingkat Evidence
Teknik
Intra-articular injections
Radiofrequency treatment of the rami mediales
(medial branches) and L5 primary rami dorsales
Assessment
2B
1B+
Kepustakaan
- Marteen van K, Pascal V, Steven P Cohen, et al. Evidence-Based interventional pain medicine. Pain
Orginating from the Lumbar Facet Joints. 2012;12:87-92.
- Manchikanti L, Manchikanti KN, Cash KA, Singh V, Giordano J. Age-related prevalence of facet-joint
involvement in chronic neck and low back pain. Pain Physician.2008:11:67-75.
- Cohen SP, Argoff CE, Carragee EJ. Management of low back pain.BMJ.2008;337:a2718.
- Van Zundert J, Vanelderen P, Kessels A. Re:Chou R, Atlas SJ, Stanos SP, et al. Nonsurgical
interventional therapies for low back pain: a review of the evidence for an American Pain Society
clinical practice guideline.Spine. (Phila Pa 1976) 2009;34:1087-1093.Spine (Phila Pa 1976)
2010;35:841;author reply 841-842.
48
Pengertian
Nyeri pada daerah sacroiliac joint , nyeri disebabkan karena penekanan pada daerah sacroiliac, atau karena
gerakan yang berlebihan yang melibatkan sacroiliac joint, yang hilang dengan penyuntikan anestesi lokal pada
sacroiliac joint.
Patogenesa
Adanya proses intraarticular seperti infeksi, arthritis, malignancy. Proses ekstraarticular meliputi Fraktur, trauma
pada ligament, nyeri miofasial.
Anamnesa
Nyeri pada daerah gluteus yang menjalar ke ekstremitas bawah hingga ke jari jari kaki.
Pemeriksaan fisis
1. Compression test
2. Distraction test
3. Patrick Sign
Pemeriksaan Penunjang
CT scan merupakan pilihan utama pada nyeri sacroiliac untuk melihat kelainan pada sendi sacroiliac.
Diagnostic Block pada intraarticular sendi sacroiliac, dimana bila 50 persen nyeri berkurang menandakan
bahwa sumber nyerinya adalah dari sendi sacroiliac
Diagnosa banding
Lumbar nerve root compression, nyeri pada hip, Piriformis syndrom, nyeri miofasial, Nyeri yang menjalar tetapi
tidak bersifat dermatomal ( pielonefritis, kolesistitis, endometriosis, appendisitis .
Tata Laksana
49
Konservatif :
NSAID
: golongan oxicam, golongan asam propionat, antranilat, bila tidak ada kontra
indikasi
COX2 Inhibitor : celecoxib, valdecoxib
Obat Neuropatik : carbamazepin, gabapentin,pregabalin
Terapi Rehabilitasi
Interventional :
- Intraarticular steroid injection
- Radiofrequency Ablasi pada rami dorsalis dan lateralis
Tingkat Evidence
Teknik
Therapeutic intra-articular injections with corticosteroids
And local anesthetic
Radiofrequency (RF) treatment of rami dorsales and laterals
Pulsed RF treatment of rami dorsales and rami laterales
Cooled RF treatment of rami laterales
Assessment
1B+
2C+
2C+
2B+
Kepustakaan
- Pascal V, Karolina S, Steven P. Cohen, et al. Evidence-Based interventional pain medicine. Sacroiliac
Joint Pain. 2012;13:96-101.
- Cohen SP. Sacroiliac joint pain: a comprehensive review of anatomy, diagnosis, and treatment. Anesth
Analg.2005;101:1440-1453.
- Burnham RS, Yasui Y. An alternate method of radiofrequency neurotomy of the sacroiliac joint: a pilot
study if the effect on pain, function, and satisfaction. Reg Anesth Pain Med. 2007:32:12-19.
- Ferrante FM, King LF, Roch EA, et al. Radiofrequency sacroiliac joint denervation for sacroiliac
syndrome. Reg Anesth Pain Med. 2003;28:113-119
NYERI KANKER
Pengertian
Nyeri kanker adalah nyeri pada pasien kanker akibat perkembangan tumornya dan terapi yang diberikan.
Patogenesa
Nyeri kanker dapat berupa nyeri nosiseptive akibat adanya inflamasi, kerusakan jaringan dan pelepasan
mediator-mediator yang merangsang nosiseptor baik oleh tumornya maupun akibat tindakan seperti
pembedahan, radioterapi dan kemoterapi.
Nyeri neuropatik dapat juga terjadi akibat adanya kompressi pada saraf, kerusakan pada saraf akibat infiltrasi
tumor dan penyebab nyeri neuropatik lainnya.
Anamnesa
Nyeri kanker dikeluhkan oleh penderita kanker sehubungan dengan adanya perkembangan tumor sesuai dengan
organ yang terkena. Nyeri kanker dirasakan terus menerus dan biasanya memberat pada malam hari serta
memberat pada keadaan-keadaan tertentu akibat pergerakan maupun dosis obat yang kurang ( nyeri
breakthrough ).
Pemeriksaan fisis
- Penilaian intensitas nyeri dengan menggunakan skor VAS ( visual analog score ) maupun NRS (numerical
rating scale ).
- Penilaian gejala lain yang menyertai nyeri seperti adanya mual muntah pada tumor abdomen dan lainnya.
Pemeriksaan Penunjang
Sesuai dengan organ yang mengalami keganasan dan terutama untuk melihat adanya kompresi saraf dan
peningkatan tekanan pada sturktu organ. Pemeriksaan lain untuk melihat tingakt stadium perkembangan
penyakit
50
Tata Laksana
Pendekatan Farmakologi
menggunakan prinsip Stepladder WHO : nyeri ringan dengan analgesik non-opioid dan adjuvant; nyeri sedang
( NRS 4-6 ) dengan non-opioid dan opioid serta adjuvant ; dan nyeri berat ( NRS > 7 ) dengan non-opioid dan
Opioid kuat serta adjuvant.
Pendekatan Tindakan Intervension
- blok saraf sesuai persarafan organ : blok plexus coeliac, blok nervus splachnicus, blok plexus hypogastricus,
blok ganglion impar
- blok saraf neuraksial : episural dan intratecal analgesia
Tingkat Evidence
Teknik
Blok neurolitik plexus coeliac
Blok neurolitik nervus sphlanchnic
Blok neurolitik plexus hypogastric
Assessment
2A+
2B+
2C+
Kepustakaan
- Kris C. Visser, Kees B, Michel W, et al. Evidence-Based interventional pain medicine. Pain in Patients with
Cancer. 2012;23:173-188.
- Christo PJ, Mazloomdoost D. Interventional pain treatments for cancer pain. Ann N Y Acad
Sci..2008;1138:229-328.
- Mercadante S, Intravaia G, Villari P, Ferrera P, Riina S, David F, et al. Intrathecal treatment in cancer
patients unresponsive to in mutiple trials of systemic opioids. Clin J Pain. 2005;1:CD005178.
- Wong GY, Schroeder DR, Carns PE, et al. Effect of neurolytic celiac plexus block on pain relief, quality of
life, and survival in patients with unresectable pancreatic cancer: a randomized controlled trial. JAMA.
2004;291:1092-1099.
Pengertian
Nyeri pasca bedah adalah nyeri pada pasien yang telah mengalami pembedahan. Nyeri dapat terjadi segera atau
beberapa jam/hari setelah pembedahan.
Patogenesa
Nyeri pasca bedah merupakan prototipe nyeri nosiseptif yang diakibatkan oleh adanaya kerusakan jaringan dan
proses inflamasi yang terjadi akibat pembedahan.
Proses sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral akan terjadi pada nyeri pasca bedah bila tidak dilakukan
penanganan nyeri secara preventif analgesia yang dimulai dari fase pre-operasi, intra operasi dan pasca
pembedahan. Pemberian analgesik dapat diberikan dengan berbagai macam metode mulai dari pemberian
analgetik intravena, analgetik neuraksial dan blok saraf tepi.
Tindakan dilaksanakan dengan metode multimodal analgesia yaitu memberikan obat-obatan dan atau tindakan
analgesik yang bekerja pada proses perjalan nyeri yang berbeda, mulai dari proses transduksi, transmisi dan
modulasi.
Proses transduksi dapat dilakukan dengan pemberian analgesia NSAID dan proses modulasi banyak dihambat
dengan pemberian opioid terutama untuk pembedahan dengan kemungkinan nyeri sedang sampai berat.
Tindakan analgesia dengan menghambat proses transmisi nyeri menjadi hal yang paling penting karena dapat
mengurangi nyeri pasca bedah secara bermakna dan meningkatkan kepuasan pasien.
Tindakan Epidural Analgesia menjadi modalitas utama dalam penanganan nyeri pasca bedah terutama pada
pembedahan besar seperti pembedahan thorax, abdomen, pelvic dan ekstremitas bawah. Kombinasi obat
anestesi lokal dan opioid menjadi pilihan dalam analgesia epidural karena selai berefek pada proses transmisi
juga pada proses modulasi neuraksial.
51
Pemeriksaan Fisis
Penilaian intensitas nyeri pasca bedah dilaksanakan dengan menggunakan penilaian Numerical Rating scale
( NRS ) atau dengan Visual Analogue Score ( VAS ).
Penilaian tanda vital lainnya untuk melihat dampak fisiologis bila nyeri tidak ditangani dengan adekuat seperti
terjadinya peningkatan tekanan darah, denyut nadi dan frekuensi nafas.
Tata Laksana
- Epidural Analgesia atau kontinyu untuk pembedahan thorax, abdomen, pelvic dan ektremitas bawah
- Blok saraf tepi kontinyu untuk pembedahan ekstremitas atas dan bawah
- Analgetik secara Patient Controlled Analgesia menggunakan Opioid untuk pasien yang kontraindikasi
epidural analgesia
- Analgetik secara intravena : Parasetamol, NSAIDs dan Opioid serta adjuvant analgesik lainnya
Prabedah
Pembedahan rutin
Analgesia sistemik
Gabepatin
Dexamethasone
Analgesia regional
Teknik anestesia
Intrabeda
h
Teknik Anestesia
Anestesia umum
Teknik Operasi
LA intraperitoneal
Kombinasi LA infiltrasi
luka/LA intraperitoneal
Pertimbangkan penggunaan
analgesia epidural/anestesia
sebagai tambahan dari zat lain
52
Pascabed
ah
Analgesia sistemik
Konvensional NSAID/COX2
selektif inhibitor
Paracetamol
Tingkat Evidence
PCA opioid intravena memberikan analgesia yang jauh lebih baik daripada pemberian opioid secara parenteral
( Level I [ Cochrane review] ).
Epidural analgesia memberikan penghilang rasa sakit pasca operasi yang lebih baik dibandingkan dengan
parenteral ( termasuk PCA ) opioid ( Level I [ Cochrane review] ) ; kecuali epidural analgesia yang hanya
menggunakan opioid hidrofilik (Level I).
Dibandingkan dengan opioid analgesia ,blok saraf perifer ( terlepas dari lokasi kateter ) memberikan analgesia
pasca operasi yang lebih baik dan menurunkan penggunaan opioid dengan efek seperti mual, muntah pruritus
dan sedasi (Level I).
Parasetamol merupakan analgesik efektif untuk nyeri akut; efek samping sama dibandingkan dengan plasebo
( Level I [ Cochrane review]).
NSAID non - selektif efektif dalam pengobatan nyeri akut pasca operasi ( Level I [ Cochrane review]).
Coxib efektif dalam pengobatan nyeri akut pasca operasi ( Level I [ Cochrane review]).
Parasetamol dikombinasikan dengan tramadol lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan sendiri dan
menunjukkan efek respon dosis (Level I).
Kepustakaan
- Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi san Reanimasi Indonesia. Panduan tatalaksana nyeri
perioperatif. Tatalaksana Nyeri pada Prosedur Bedah Khusus.2009;6:249-253.
- Acute Pain Management: Scientific Evidence, Australian and New Zealand College Anesthetists and Faculty
of Pain Medicine,Edisi 3. 2010.
- Macintyre P.E, Schug S.A, More complex patient, Acute Pain Management: A Practical Guide, Edisi 3,
Elsevier, 2007;245-254.
53
Definisi
Indikasi
Kontra Indikasi
1.
2.
Persiapan
1.
Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan sedasi
sedang-berat.
- Ijin persetujuan tindakan sedasi sedang-berat
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
54
2.
3.
Prosedur Tindakan
Pemasangan iv line
55
1.
2.
3.
Daftar Pustaka
1.
2.
56
Definisi
Anamnesis
Gejala yang umum didapatkan pada pasien dengan gagal napas karena
pneumonia berat adalah peningkatan upaya napas (work of breathing)
serta gejala gangguan perfusi jaringan yang biasanya didahului dengan
keluhan:
Demam,
Sesak napas
Batuk,
Pemeriksaan Fisik
Diagnosis Kerja
Temperatur (0C)
0
1
2
57
Diagnosis Kerja
Infiltrat multilobar
Confusion/disorientasi
Hipotermi< 360 C
0
1
0
1
2
0
2
0
1
2
0
2
0
1
+
1
3
Kriteria mayor:
Syok sepsis
Terapi
58
Terapi
Daftar Pustaka
59
Definisi
60
Anamnesis
Hiperkalemia:
Lemas, paralisis, parestesia, gagalginjal, pemakaianobat ACE-I,
angiotensin II receptor antagonist, diuretic yang hemat kalium, NSAID,
betabloker.
Hipokalemia:
Diare, riwayat pemakaian obat diuretic, laxative, steroid, low intake
Lemas, fatigue, kramkaki, konstipasi, paralisis hingga sulit bernapas
Hipernatremia
Haus, demam, gangguan kesadaran
Hiponatremia
Mual, muntah, sakitkepala, diplopia
Riwayat pemakaian thiazide diuretic, gagalginjal, operasi tumor otak,
trauma kepala
Hiperkalsemia
Batu ginjal, artritis, mual, muntah, anoreksia, konstipasi, nyeri
abdomen, gangguan konsentrasi dan daya ingat, confusion, stupor,
coma, letargi, fatigue, lemas, gatal, keratitis
Riwayat hiperpara tiroid, gagal ginjal kronik, keganasan pemakaian
diuretic thiazide, hipertiroid
Hipokalsemia
Riwaya thipopara tiroid pasca op atau gagal ginjal kronik
Hipermagnesemia
Riwayat gagal ginjal, pemberian MgSO4
Hipomagnesemia
Diare, polyuria, kelaparan, alcoholism, malabasorpsi
Pemeriksaan Fisik
Hiperkalemia:
Paralisis flaccid, reflex tendon menurun, aritmia
Hipokalemia
Ascending paralysis, aritmia
Hipernatremia
Demam, deficit neurologis focal, kejang, hiperventilasi
Hiponatremia
Kejang, koma
Hipercalcemia
Hipertensi, peptic ulcer
Hipocalcemia
Hiperreflexia, Chovstek dan Trousseaue sign, parestesiaekstremitas dan
wajah, kram otot, tetani, kejang, papilledema, gejala extrapyramidal,
diaphoresis, hipotensi, gagal jantung kongestif
Hipermagnesemia
61
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Diagnosis Kerja
Diagnosis Banding
Tidak ada
Pemeriksaan Penunjang
Hiperkalemia berat
Hipokalemia berat
Hipernatremia berat
Hiponatremia berat
Hipermagnesemia berat
Hipomagnesemia berat
Krisis Hipercalcemia
Hipocalcemia akut
EKG
Hiperkalemia:
Gelombang P hilang/flat
ST depresi
Takikardia ventricular
Bradikardia
Hipokalemia
Gelombang U
Gelombang T flat
Perubahan ST
62
Hipokalsemia
Prolonged QT interval
AV Blok
Fibrilasiventrikel
Hipermagnesemia
Gelombang T peaking
AV blok
Cardiac arrest
Hipomagnesemia
ST depresi
Gelombang T inversion
Gelombang P flat
Torade de pointes
Hiperkalemiaberat:
1.
Bolus calcium glukonas 10% 10 ml (jika ada gangguan gambaran
EKG)
2.
Glucose plus insulin25 g glucose dan 10 U regular insulin
berikan IV dalam 15 -30 menit
3.
Nebulized salbutamol 5 mg nebulized selama15 minutes
4.
Furosemide iv 40-80 mg
5.
Pemberian bikarbonat 50 mEq dalam 5 menit bila asidosis berat.
6.
Dialysis
Hipokalemia
1.
Pemberian K+ is 10 mEq/jam melalui jalur iv perifer atau 20
mEq/jam melalui jalur iv central venous catheter dengan ECG
monitoring.
2.
Hentikan obat yang mengakibatkan hipokalemia
3.
Koreksi hipomagnesemia
Hipernatremia
1.
Bila hypernatremia akut atau simtomatik berat berikan cairan
hipotonik.
2.
Bila pasien hipovolemia dengan hemodinamik terganggu,
berikan cairan isotonick untuk memperbaiki status volume. Setelah
hemodinamik stabil berikan cairan hipotonik iv (NaCl 0.45% atau
Dextrose 5%)
3.
Koreksimaksimal 12 mEq/L dalam 24 jam
4.
Akut hypernatremia dapat dikoreksi lebih cepat di awal (1-2
mEq/L/jam), kenaikan 5 mEq/L sudah memperbaiki gejala
Hiponatremia
1.
Bila hiponatermia akut atau simtomatik berat berikan NaCl
hipertonik (NaCl 3% )1mEq/L/jam hingga gejala neurologis hilang
setelah itu kecepatan koreksi 0,5 mEq/L/ jam
2.
Koreksi maksimal12 mEq/L dalam 24 jam pertama
63
3.
1.
2.
3.
4.
64
Definisi
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Hamil 20 minggu
Kesadaran : menurun disertai atau tanpa Kejang
Tekanan Darah : 160/110 mmHg
Dyspnoe
Cyanosis
Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium, Radiologi)
Diagnosis Kerja
Preeklampsi Berat/Eklampsi
Diagnosis Banding
a.
-
Kejang :
CVA
Hypertensive Encephalopathy
Infeksi Otak (Meningitis,Encephalitis,Abscess)
Thrombotic thrombocytopenia purpura
Gangguan Metabolik
Epilepsi
Tumor Otak
65
b.
Pemeriksaan Penunjang
Terapi
Daftar Pustaka
Laboratorium :
- Proteinuria 5 gr dalam urine 24 jam
- HELLP syndrome (Hemolysis,Elevated Liver Enzymes,Low
Platelets)
- Trombosit < 100.000/mm
- Peningkatan LDH (Lactic Acid Dehydrogenase) > 600IU/l
- Peningkatan Creatinin
- AST,ALT meningkat 2x normal 200-700 IU/l
- Peningkatan Uric Acid > 6mg/dl
1. Penanganan Tekanan Darah > 160/110 dengan target penurunan 1525%, sekitar 140/90.
Diberikan obat-obat :
- Nicardipin titrasi mulai dosis 0,15 ug/kg/jam
- Nitroglycerin 10 100 mg/ menit
- Diltiazem dosis 0,15 ug/kg/jam
2.
Penanganan Kejang :
Berikan Mg So4 :
- Bolus 4 - 6 gr dalam 20 menit, dilanjutkan 1 2 gr/jam
- Monitor toxicity, terapetik level : 5 8 mg/Dl
- Dapat diberikan 2 gr/IV bila kejang timbul lagi
- MgSO4 dihentikan 24 jam setelah partus
- Bila masih kejang, dapat diberikan Diazepam atau Propofol dan
dilakukan penanganan jalan nafas (intubasi + control)
3. Penanganan HELLP syndrome :
- Terminasi kehamilan bila sudah > 34 mg, dapat secara normal
atau operasi sectio caecar
- Bila masih < 34 mg dapat ditunda untuk pemberian
Bethamethason 12 mg/24 jam/IM sebanyak 2 x Terminasi
kehamilan dilakukan setelah 24 jam pemberian Bethametason
terakhir
- Bila Trombocyt < 20.000 lakukan transfuse trombocyt
4. Penangan Edema Paru :
- Berikan Furosemide 20 40 mg/IV, dapat diberikan lagi setelah
30 menit 40 60 menit
- Monitor balans cairan, pemasangan catheter vena central dapat
membantu menghitung meskipun secara kasar.
- Dapat dilkukan tindakan intubasi dan bantuan ventilasi mekanis
bila edema paru tetap ada dan pasien mengalami gawat/gagal
nafas.
5. Pemantauan lebih kepada penanganan hipertensi, fungsi ginjal,
adanya coagulopathy
1. Chawla R, Nasa P, Chawla R. Severe Preeclampsia. In : ICU
Protocols : A Stepwise Approach. India: Springer India. 2012.
pp.599-605.
2. David R, Gambling M.Hypertensive Disorders. In : Chesnut
Obstetric Anesthesia : Principles and Practice.3rd ed.Mosby. Inc.
2004. pp.825-827.
66
Definisi
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Kriteria Diagnosis
Diagnosis Kerja
Koma DKA
Diagnosis Banding
1.
Pemeriksaan Penunjang
2.
3.
1.
2.
3.
Terapi
1.
2.
3.
67
4.
5.
6.
7.
Daftar Pustaka
68
SYOK HIPOVOLEMIK
Definisi
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Kriteria Diagnosis
Diagnosis Kerja
Syok hipovolemik
Diagnosis Banding
1.
2.
3.
Syok kardiogenik
Syok distributif
Syok obstruktif
Pemeriksaan Penunjang
1.
Lab
:
Hemoglobin,
Hematokrit,
AGD,
ureum/kreatinin, Gula darah sewaktu.
Penunjang lainnya : foto toraks,USG abdomen.
2.
Terapi
Elektrolit,
69
Daftar Pustaka
Definisi
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
70
71
Kriteria Diagnosis
Diagnosis Kerja
Stroke Hemoragik
Diagnosis Banding
1.
2.
3.
4.
Pemeriksaan Penunjang
Terapi
Infark serebri
Penyebab koma yang lain (metabolic)
SOL
Pecahnya Berry Aneurism
72
73
Tatalaksana Hipertensi
Apabila TDS > 200 mmHg atau MAP > 150 mmHg,
tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu dengan
pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
Apabila TDS > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg
disertai dengan gajala dan tanda peningkatan tekanan
intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu
atau intermitten dengan pemantauan tekanan perfusi
serebral > 60 mmHg.
Apabila TDS > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg tanpa
disertai gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial,
tekanan darah diturunkan secara hati-hati dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau
intermiten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15
menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90
mmHg. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B)
Pencegahan vasospasme :
Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam
IV pada hari ke-3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam
selama 21 hari. (AHA/ASA, Class I, Level of Evidence A)
Delayed vasospasme :
Stop nimodipin, antihipertensi dan diuretika
Berikan 5% albumin 250 ml intravena
Bila memungkinkan lakukan pemasangan Swangaz, dan
usahakan wedge pressure 12-14 mmHg
Jaga cardiac index sekitar 4L/menit/sg.meter
Berikan dobutamin 2-15 g/kgBB/menit
Pertimbangkan
terapi
triple-H
(HypervolemicHypertension-Hemodilution)
perlu
dipertimbangkan
dengan tujuan mempertahankan tekanan perfusi serebral
74
Hipotermia
- Hipotermia yang dinduksi digunakan untuk mengatasi
peningkatan TIK yang refrakter.
Bedah dekompresi
- Pasien dengan skor GCS < 8, dengan tanda klinis
herniasi trans tentorial, atau dengan perdarahan
intraventrikuler yang luas atau hidrosefalus, dapat
dipertimbangkan untuk penanganan dan pemantauan
tekanan intracranial. Tekanan perfusi otak 50 70
mmHg dapat dipertahankan tergantung pada status
otoregulasi otak (AHA/ASA, Class Ib, Level of
Evidence C)
- Drainase ventrikuler sebagai tata laksana hidrosefalus
dapat dipertimbangkan pada pasien dengan penurunan
tingkat kesadaran (AHA/ASA, Class IIa, Level of
Evidence B)
- Pasien dengan perdarahan sereberal yang mengalami
perburukan neurologis, atau yang terdapat kompresi
batang otak, dan atau hidrosefalus akibat obstruksi
ventrikel sebaiknya menjalani operasi evakuasi bekuan
darah secepatnya (AHA/ASA, Class I, Level of
Evidence B)
- Pada pasien dengan bekuan darah di lobus >30 ml, dan
75
Tingkat Evidens
76
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
77
Definisi
Anamnesis
Tidak spesifik ditujukan untuk mencari sumber infeksi dari organ yang terkena
dan gangguan fungsi organ terkait
Pemeriksaan Fisik
Diagnosis Kerja
Diagnosis banding
Invasive Candidiasis
Pemeriksaan Penunjang:
78
Terapi:
79
Pencegahan Infeksi
a. Dekontaminasi oral selektif atau dekontaminasi digestif harus
dimulai dan diduga sebagai metoda untuk mengurangi insidensi
VAP.
b. Untuk dekontaminasi orofaringeal digunakan chlorhexidine
untuk mengurangi risiko VAP
Support Hemodinamik dan terapi penunjang
Terapi Cairan:
Kristaloid
Albumin 4-5%
Resusitasi cairan pada pasien dengan gejala hipoperfusi dengan
curiga hipovolemia diberikan minimal 30 ml/kgBB kristaloid
(albumin dengan dosis ekivalen). Pada beberapa pasien
memerlukan pemberian yang lebih banyak dan lebih cepat.
Vasopresor:
Terapi vasopresor awal untuk mencapai TAR > 65 mmHg
Pilihan utama adalah Norepinefrin
Epinefrin dapat ditambahkan untuk mengurangi dosis
norepinefrin, apabila diperlukan untuk mempertahankan
tekanan darah.
Vasopresin 0,03 U/menit dapat ditambahkan pada norepinefrin
untuk lebih meningkatkan tekanan darah atau untuk
menurunkan dosis norepinefrin
Dosis rendah vasopressin tidak dianjurkan sebagai vasopresor
awal tunggal.
Dopamin dapat digunakan sebagai alternatif pada beberapa
pasien (misal pada pasien dengan risiko rendah untuk
mengalami takhiaritmia dan absolut atau relatif bradikardi)
Dosis rendah dopamine tidak boleh diberikan untuk proteksi
ginjal
Semua pasien yang diberikan vasopresor harus dipasang kateter
urin
Terapi Inotropik
Dobutamin bisa diberikan sampai dosis 20 g/kgBB/menit bila
diduga ada:
a. Disfungsi miokard, peningkatan tekanan pengisian
jantung, isi sekuncup rendah
b. Apabila gejala hipoperfusi menetap walaupun CVP dan
TAR sudah tercapai.
Kortikosteroid
Apabila pemberian cairan dan vasopresor sudah bisa
memperbaiki hemodinamik , tidak usah diberikan hidrokortison
. Apabila tidak bisa tercapai bisa diberikan hidrokortison dosis
200 mg/hari kontinu intravena
Hidrokortison tidak usah diberikan apabila tidak ada syok
sepsis
Gunakan secara kontinu
Terapi Suportif lain
Pemberian Produk Darah
Bila tidak ada iskemia miokard, hipoksemia berat, perdarahan
akut, maka pemberian transfusi hanya diberikan bila Hb < 7
gr/dL dengan target 7 9 gr/dl pada dewasa
FFP tidak boleh diberikan untuk memperbaiki faktor koagulasi
kecuali ada perdarahan
Pemberian profilaksis platelet hanya diberikan bila <
10.000/mm3 (walaupun tidak ada perdarahan). Bila pasien
mempunyai risiko perdarahan disarankan diberikan tranfusi
platelet bila kadarnya < 20.000mm3 . Pada perdarahan aktif atau
akan dilakukan prosedur invasif disarankan diberikan transfusi
80
81
1.
Definisi
Anamnesis
PemeriksaanFisik
Takipneu
Hipoksemia
Penyerta : penurunan kesadaran, takikardi
Ronki paru.
Kriteria Diagnosis
Terpenuhinya 4 kriteria :
1.
Cedera paru dengan onset akut, yang timbul dalam 1
minggu sejak gejala timbul, dengan perburukan gejala pernapasan.
2.
Gambaran opak bilateral pada rontgen toraks yang tidak
disebabkan oleh penyakit paru lainnya (efusi pleura, kolaps paru,
atau nodul paru)
3.
Gagal napas yang tidak disebabkan oleh gagal jantung
atau kelebihan cairan (edema paru)
4.
Rasio PO2/FiO2<300 mmHg.
Kategori ARDS :
ARDS ringan PaO2/FiO2 200-300 mmHg
ARDS sedang PaO2/FiO2 101-200 mmHg
ARDS berat PaO2/FiO2 100 mmHg
(dengan PEEP minimum 5 cmH2O)
Diagnosis Kerja
Diagnosis Banding
Edema paru
Penyakit paru kronis (luluh paru, penyakit paru interstisial)
Keganasan paru.
Pemeriksaan Penunjang
Terapi
1.
2.
-
Perawatan di ICU
Pemberian ventilasi mekanik
Target volum tidal 6 mL/kgBBP(Berat Badan Prediksi) pada
pasien ARDS-sepsis (grade 1A)
Tekanan plateau diukur dengan target batas atas inisial saat
inflasi paru pasif 30 cmH2O (grade 1B).
Tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) diberikan untuk
menghindari kolaps alveolar pada ekspirasi akhir
(atelektrauma) (grade 1B).
Strategi menggunakan PEEP yang lebih tinggi pada pasien
sepsis dengan ARDS sedang atau berat. (grade 2C.
Teknik rekruit alveolus diberikan pada pasien sepsi dengan
83
3.
84
FiO2
PEEP
1,0
18-24
6.
85
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
86
Definisi
Anamnesis
PemeriksaanFisik
87
Kriteria Diagnosis
A.
B.
Diagnosis Kerja
Kriteria AKIN
Tahap
Kriteria
Kreatinin
Serum
Kriteria Produksi Urin
1. Kenaikan kreatinin serum 0,3 mg/dl (26,4mol/l),
atau produksi urin kurang dari 0,5 ml/kg/Jam lebih
dari 6 jam Kenaikkan 150% sampai 200% (1,5
sampai 2 kali lipat dari nilai dasar)
2. Kenaikan
kreatinin
serum
>200%-300%
atau produksi urin kurang dari 0,5 ml/kg/jam lebih
dari 12 jam (>2-3 kali lipat dari kenaikkan nilai dasar)
3. Kenaikan kreatinin serum >300% (>3 kali lipat dari
nilai dasar), atau produksi urin kurang dari 0,3
ml/kg/jam lebih dari 24 jam
4. Kadar kreatinin 4,0 mg/dl (354 mol/l)
atau anuria 12 jam.
Kriteria RIFLE
Kelas
Kriteria
Kreatinin
Serum/GFR
Kriteria Produksi Urin
Risk
: - Kenaikkan kreatinin serum 1,5 kali atau
produksi urin kurang dari 0,5 ml/kg/jam
selama 6 jam
- GFR >20%
Injury
: - Kenaikankreatinin serum 2 kali atau produksi
urin kurang dari 0,5 ml/kg/jam selama 12 jam
- GFR>50%
Failure : - Kenaikankreatinin serum 3 kali atau
kreatinin
4mg/dl atau produksi urin kurang dari 0,3
ml/kg/jam selama 24 jam ataukenaikanakut
0,5 mg/dl atau Anuria selama 12 jam
- GFR>75%
Loss
: Gagal ginjal akut persisten =
Hilang fungsi ginjal selama>4 minggu
ESRD
:
End Stage Renal Disease
88
Diagnosis Banding
PemeriksaanPenunjang
Analisissedimenurin:
Perdarahan nonglomerular bentuk eritrosit di urin relatif
normal sedang perdarahan glomerular eritrosit berbentuk
dismorfik.
Leukosituria dijumpai AIN, nekrosispapiler dan
pielonefritis.
Hialin dan silinder granular pada prenal gagal ginjal akut.
Silinder lebar (diameter lebihdr 3 sel darah putih) pada
insufisiensi ginjal kronik.
Muddy Brown tubular cast atau sel bebas epiteltubulus
ginjal yang spesifik untuk ATN.
Silindereritrosit
dijumpai
pada
glomerulonefritis,
89
Terapi
90
Daftar Pustaka
91
92
Definisi
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Kriteria Diagnosis
Diagnosis Kerja
Cedera kepala
Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang
Terapi
1.
Dengan/tanpa jejas
Kesadaran menurun
Tanda vital bervariasi
Terdapat lateralisasi
Penurunan fungsi otak lainnya
93
peningkatan TIK
Thromboembolic prophylaxis : intermittent compression
pneumatic stocking, heparin dan turunannya, fisioterapi.
- Head of bed elevation : letakkan pasien dengan posisi
kepala naik 30-45
- Stress ulcer prophylaxis : antagonis sebagian reseptor H2,
penghambat pompa proton
- Glucose control : kadar gula darah dipertahankan stabil
dengan target 180 g/dL
Torbey MT ed. Neurocritical care. Cambridge Univ. Press
Cohen MS, Marion DW : Traumatic brain injury. Di Fink MP,
Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM : Textbook of critical
care 5th ed.
Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain
Injury 3rd ed.
-
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
95
1.1.5.
1.1.6.
1.1.7.
supaya
pasien
merasa
2. Penatalaksanaan Anestesia
2.1. Prinsip umum
2.1.1. Setiap anestesia harus dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab Neuroanestesi.
2.1.2. Pasien yang di anestesia oleh bukan Neuroanestesi menjadi tanggung jawab Neuroanestesi yang
bertugas.
2.1.3. Neuroanestesi yang bertanggung jawab harus berada dalam satu atap dilingkungan rumah sakit /
tempat pelayanan anestesia dan dapat segera hadir di tempat dilakukan anestesia setiap saat.
2.1.4. Pada saat yang sama seorang Neuroanestesi hendaknya membatasi diri bertanggung jawab atas
maksimal tiga anestesia.
2.1.5. Semua pasien akan dipantau sesuai dengan standar pemantauan dasar intra operatif.
2.2. Keamanan pasien selama anestesia
2.1.1. Mesin anestesia harus diperiksa, diuji dan dipastikan berfungsi.
2.1.2. Bila digunakan elektrokauter, elektrokoagulator atau peralatan listrik lain yang menimbulkan
bunga api selama prosedur tindakan, maka hanya zat yang tidak bisa terbakarlah yang boleh
dipakai untuk anestesia atau persiapan lapangan operasi prabedah.
2.1.3. Bila digunakan zat yang mudah terbakar, harus diperhatikan hal-hal berikut :
a. Lantai bersifat konduktif.
b. Semua peralatan dan perabot di kamar operasi hendaknya dibumikan (grounding) dengan
baik.
c. Semua orang yang masuk kamar operasi harus mengenakan alas kaki konduktif.
d. Pakaian luar tidak boleh terbuat dan sutera, wol, nilon atau bahan sintetik lain. Selimut wol
tidak boleh berada di dalam kamar operasi.
2.1.4. Laringoskop pipa jalan nafas, kantong nafas, sungkup muka, pipa trakea dan semua alat anestesia
yang berhubungan langsung dengan pasien hendaknya dicuci dan disuci hamakan sesudah setiap
prosedur.
2.3 Bantuan tenaga
2.3.1
Untuk pelaksanaan Neuroanestesia yang efisien dan aman diperlukan bantuan tenaga.
2.3.2
Kehadiran tenaga bantuan diperlukan selama persiapan, induksi anestesia, rumatan anesthesia,
pengakhiran anestesi dan sampai dianganggap tidak diperlukan lagi.
2.3.3
Tenaga bantuan harus cukup berkualifikasi dalam tata kelola Airway, Breathing, Circulating dan
kehadiran sepanjang waktu pelayanan Neuroanestesi yang dilakukan.
3.
Penatalaksanaan Penderita Pulih Anestesia
3.1. Setelah pengakhiran Neuro anestesi pasien dievaluasi untuk penatalaksanaan pasca anestesia.
3.2. Pasien dikirim ke kamar pulih untuk pemantauan semua parameter fisiologis yang diperlukan dan
dilakukan oleh tenaga yang terlatih.
3.3. Keputusan mengenai penatalaksanaan pasien dan evaluasi kondisinya untuk keluar dari kamar pulih
dibuat oleh dokter yang bertugas.
3.4. Keputusan mengenai penatalaksanaan pasien dan evaluasi kondisinya untuk dipindah diperawatan di
Ruang Neuro Critical Care dibuat oleh dokter yang bertugas.
3.5. Sebelum dipindahkan keruang perawatan, pasien sebaiknya sudah sadar kembali dan dalam keadaan stabil.
4. Standard Pemantauan Dasar Intra Operatif.
Standard ini berlaku untuk setiap pemberian Neuroanesthesia yang dilakukan di dalam ruangan yang telah
disediakan untuk itu, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas penatalaksanaan pasien, Patient Safety,
meskipun demikian standar ini tidak menjamin hasil akhir keadaan pasien.
Dalam keadaan darurat, bantuan kehidupan (life support) lebih diutamakan. Demikian juga dalam
keadaan tertentu beberapa cara pemantauan dalam standar ini mungkin secara klinis tidak praktis, diabaikan dan
mungkin juga gagal di dalam menemukan perubahan perubahan klinis yang tidak menguntungkan. Standard ini
bisa dilampaui bergantung pada pertimbangan dan tanggung jawab pelaku anestesi, serta dapat diubah dari
waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan teknologi dan praktek anestesia/analgesia.
STANDARD I
Tenaga Neuroanestesia yang berkualifikasi harus berada di dalam kamar bedah selama pemberian anesthesia.
96
Tujuan
Oleh karena keadaan pasien selama anestesia dapat berubah dengan cepat, maka tenaga anestesia yang
berkualifikasi harus ada untuk memantau pasien dan memberikan pelayanan anestesia.
Pada keadaan di mana terdapat bahaya langsung terhadap tenaga anestesia (mis : radiasi), dan pasien perlu
diawasi dari jarak jauh, maka beberapa cara pemantauan tertentu tetap harus dilakukan.
Adanya keadaan darurat di tempat lain yang memerlukan kehadiran Neuroanestesi yang bertanggung jawab,
keputusan untuk meninggalkan pasien didasarkan pada tingkat kedaruratan tersebut, keadaan pasien yang
ditinggalkan dan kualifikasi tenaga anestesia yang ada.
STANDARD II
Selama pemberian anestesia, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi pasien harus dievaluasi secara teratur dan sering.
Oksigenasi
Tujuan
Untuk memastikan kadar oksigen dari sumber, dalam gas inspirasi dan di dalam darah pada setiap pemberian
anestesia.
Cara :
1. Gas inspirasi :
Selama pemberian anestesia umum dengan mesin anestesia dianjurkan agar kadar oksigen diukur dengan
oksigen analiser yang mempunyai alarm batas rendah kadar oksigen.
2. Oksigenasi darah :
Selama pemberian anestesia diperlukan penerangan yang cukup dan pasien harus dapat dilihat dengan jelas
agar dapat dilakukan penilaian terhadap warna. Disamping cara ini dan cara kualitatif lainnya dianjurkan
juga cara kuantitatif seperti oksimeter pulsa (Saturasi Okigen).
Setiap pasien yang diberi anestesia dan mempunyai risko tinggi, harus dilakukan pemantauan
Saturasi Mix Vein/SJv02 terus menerus, dianjurkan disertai salah satu cara pemantauan dibawah ini :
a. Vena Central
b. ET CO2 (Capnograph).
c. Blood Gas Analysis (Astruff)
Ventilasi
Tujuan
Untuk memastikan ventilasi pasien yang cukup selama pemberian anestesia/analgesia.
Cara :
1.
Setiap pasien yang diberi anestesia umum, ventilasi harus dievaluasi secara teratur dan sering. Secara
kualitatif dapat dilakukan misalnya dengan mengawasi gerak naik turun dada, gerak kembang kempis
kantong reservoar atau auskultasi bunyi pernafasan. Di samping secara kualitatif dianjurkan cara kuantitatif
misalnya dengan mengukur kandungan CO2 dan atau volume gas ekspirasi.
2.
Jika dilakukan intubasi, posisi pipa trakeal yang tepat di dalam trakea harus dipastikan. Penilaian
secara klinis adalah esensial, sedangkan pemantauan CO2 tidal akhir dianjurkan.
3.
Jika ventilasi diatur dengan ventilator mekanis, dianjurkan terdapat alat yang mampu untuk
menunjukkan putus hubungan dan komponen komponen sistem pernapasan. Alat tersebut harus mampu
mengeluarkan tanda yang dapat didengar jika nilai ambang alarm terlewati.
4.
Selama analgesia regional anestesia dari pelayanan anestesiologi lainnya yang memerlukan monitoring
pemantauan, ventilasi yang cukup harus dievaluasi setidak tidaknya dengan cara klinis kualitatif secara
teratur dan sering.
Sirkulasi
Tujuan :
Untuk memastikan fungsi sirkulasi pasien yang cukup selama anestesia dan analgesia.
Cara :
1. Setiap pasien yang diberi anestesia / analgesia harus diukur tekanan darah, TAR, laju jantung secara teratur
dan sering.
2. Setiap pasien yang diberi anestesia / analgesia harus diukur keseimbangan cairan, produksi urin (Douer
Cathether) secara teratur dan sering.
3. Setiap pasien yang diberi anestesia dan mempunyai risko tinggi, harus dilakukan pemantauan EKG terus
menerus. dan dianjurkan disertai salah satu cara pemantauan dibawah ini :
Vena Central
Nerve Stimulator.
97
Suhu tubuh
Tujuan
Untuk membantu mempertahankan suhu tubuh selama pemberian anestesi/analgesi.
Cara :
Harus tersedia alat untuk mengukur suhu tubuh setiap saat. Jika diduga, dicurigai diperkirakan
ada terjadi perubahan suhu tubuh, maka suhu tubuh harus diukur.
5. Perawatan Neuro Critical Care / Intensive Care Unit
Neuro Critical Care adalah suatu tempat atau unit tersendiri di dalam rumah sakit yang mampu memberikan
pelayanan 24 jam, memiliki staf khusus (dokter, perawat terlatih atau berpengalaman dalamneuro Critical Care)
dan peralatan khusus (untuk pemantauan, alat untuk menopang fungsi vital, alat untuk prosedur diagnostic) yang
ditujukan untuk menanggulangi pasien gawat, trauma berat, kritis, komplikasi-komplikasi ataupun kasus post
operasi yang memerlukan penanganan lanjut.
Neuroanestesi hendaknya memiliki kemampuan minimal sebagai berikut :
Terapi oksigen
Resusitasi jantung paru
Pemanatauan EKG terus menerus
Pemberian nutrisi enteral dan parentral.
Pengelolaan jalan napas, termasuk intubasi trakea
Pemasangan alat pacu jantung dalam keadaan gawat
Pemakaian pompa infus atau semprit untuk terapi secara tetrasi
Pemeriksaan laboratorium khusus dengan cepat dan menyeluruh
Kemampuan melakukan Brain Resusitasi ataupun Brain Protection.
Pengaturan dan penggunaan ventilasi mekanik untuk Support ventilasi.
Memiliki kemampuan penilaian untuk penderita masuk - keluar serta rujukan.
Penentuan pemeriksaan khusus yang diperlukan dengan cepat dan menyeluruh
Memberi support fungsi vital dengan alat-alat portable selama transportasi pasien gawat.
Daftar Pustaka
1. Permenkes RI No. 519/Menkes/PER/III/2011; Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesilogi dan Neuro
Critical Care di Rumah Sakit. Menkes RI, 3 Maret 2011
2. Bisri. T; Pengelolan Anestesi untuk Pasien dengan Tumor Supratentorial. In Anestesia & Critical Care,
2003; 21;1;61-71.
3. Bisri, T. Craniotomy for Supratentorial Tumor. In Asean Symposium on Neuro Anaesthesia. Bandung.
Indonesia : 1997.
4. Brain Trauma Foundation; Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain Injury. 3 rd ed. 2007;
S7-77.
5. Kass IS, Cottrel JE. Pathophysiology of brain injury. In: Cottrel JE. Smith DS. eds. Anesthesia and
Neurosurgery, 4th ed, St. Louis: Mosby; 2001, 3 : 69-82.
98
Standard Pelayanan Neuro Anestesi merupakan ketentuan ketentuan atau persyaratan minimum untuk
pelayanan Neuro anestesi dan Neuro Critical Care di Rumah Sakit.
Tujuan
:
Memberikan acuan yang benar tentang pelayanan Neuro anestesi / Neuro Critical Care pada fasilitas pelayanan
kesehatan
Kebijakan
:
Untuk dapat memberikan pelayanan Neuroanestesi / Neuro Critical Care yang berorientasi untuk keselamatan
pasen maka diperlukan:
1. Standard Tenaga:
Pelayanan Neuroanestesi Neuro Critical Care adalah bagian vital dari pelayanan kesehatan yang
memerlukan tenaga /personil yang kompeten
Tindakan Neuroanestesi Neuro Critical Care adalah tindakan medis dan dilakukan oleh tenaga medis
yang telah mendapat pendidikan/pelatihan yang legal.
Pelayanan Neuroanestesi Neuro Critical Care dilakukan oleh dokter spesialis anestesiologi (SpAn)
dan/atau dokter Spesialis Anestesiologi Konsultan Neuro Anestesi (SpAn KNA). Bila tidak ada SpAn
dan SpAn KNA, pelayanan anesthesi dilakukan oleh dokter Peserta Program Dokter Spesialis
Anestesiologi(PPDS-1) dibawah supervisi SpAn / SpAn KNA berdasar keparahan kasus.
Dokter Spesialis Anestesi ( SpAn), dokter yang telah menyelesaikan program pendidikan yang diakui
atau lulusan luar negeri yang telah mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR)
Dokter Spesialis Anestesi Konsultant Neuro Anestesi ( SpAn KNA ), yaitu dokter spesialis
anestesi yang telah mendalami ilmu Neuro anestesi dan mempunyai Kompetensi Neuro
Anestesi dibuktikan dengan Sertifikat Konsultan Neuro anestesi yang dikeluarkan oleh
institusi yang sah dan diketahui PERDATIN
2. Standard Pelayanan Peri Anestesi.
99
3.
4.
5.
Tindakan Neuro anestesi-Neuro Critical Care merupakan tindakan beresiko tinggi, dapat
mengancam nyawa oleh karena itu diperlukan informasi/ penjelasan yang benar, sungguhsungguh, memadai akan tehnik, obat, serta resiko sehingga tindakan dapat dilakukan dengan
cermat dan berakir untuk keselamatan pasen, untuk itu diperlukan kesepakatan melakukan
tindakan.
Pelayanan Neuro anestesi-Neuro Critical Care Care banyak dilakukan pada :
Tindakan Diagnostik ; Carotis Arteriografi, Deteksi Aneurysme. Cooling, Ligasi
Tindakan Anestesia untuk operasi daerah Otak dan Medula Spinalis
i. Regional
ii. Weak Craniotomi
iii. MAC (Monitoring Anaethesi Care)
iv. Anestesia Umum
Penderita Rawat Intensif/Neuro Critical Care.
Penanganan Nyeri Membadel.
Penyulit / Komplikasi
:
Hipotermia, Hipertermia.
Perdarahan, Rebleeding, Syok, DIC.
Lambat bangun, Coma, Defisit Neurologi.
Gangguan Cairan dan Elektrolit, Asam Basa.
Suara serak, Disphoni, Sore throat, Gigi tanggal.
Dilatasi Usus, Tersedu (hiccough), Mual, Muntah.
V/P Mismatching, Aspirasi pneumonia, Pulmonary Edema.
Simpatis Hipertonus, Refleks Vagal dengan segala akibatnya.
Luaran
:
Penderita Meninggal
Bangun tanpa komplikasi.
Sadar kembali dengan gejala sisa sementara.
Sadar kembali dengan gejala sisa yang menetap.
Daftar Pustaka
1. Permenkes RI No. 519/Menkes/PER/III/2011; Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesilogi dan
Neuro Critical Care di Rumah Sakit. Menkes RI, 3 Maret 2011
2. Permenkes RI No. 519/Menkes/PER/III/2011; Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesilogi dan
Neuro Critical Care di Rumah Sakit. Menkes RI, 3 Maret 2011
3. Bisri. T; Pengelolan Anestesi untuk Pasien dengan Tumor Supratentorial. In Anestesia & Critical Care,
2003; 21;1;61-71.
4. Bisri, T. Craniotomy for Supratentorial Tumor. In Asean Symposium on Neuro Anaesthesia. Bandung.
Indonesia : 1997.
5. Menon, DK. and Matta, BF. Intensive care after acute head injury. In Matta, BF., et al. (Eds): Textbook of
Neuroanaesthesia and Critical Care, GMM, 2000; 21:299-317.
100
Merupakan tindakan operasi membuka kranium, dengan perkiraan masa kurang dari 30 cm 3
memerlukan tindakan anestesi untuk pengendalian tekanan intrakranial pada pasen status physik ASA III.
Tujuan
Memberikan acuan yang benar tentang anestesi pada kasus bedah kraniotomi
Kebijakan:
1.
Dr anestesi wajib memeriksa kelengkapan rekam medis sebelum dilakukan tindakan anestesi
sesuai ketentuan.
2.
Dr anestesi wajib memberikan informasi, penjelasan dan persetujuan tentang tindakan anestesi
yang akan dilakukan,
3.
Teknik anestesi yang digunakan adalah GA Intubasi, MAC/Awake Cranitomi disesuaikan dengan
kondisi pasen.
4.
Dosis obat, penambahan obat dapat berubah sewaktu-waktu jika diperlukan atau terjadi perubahan
kondisi pasien secara mendadak.
5.
Tehnik yang dilakukan bertujuan pada pengendalian kenaikan tekanan intakranial yang optimal.
Prosedur
1. Persiapan
a. Kunjungan Preop visite
Menilai kondisi fisik pasien, riwayat penyakit terdahulu, penjelasan prosedur tindakan anestesi
b. Konsultasi
Dengan bagian lain terkait kelainan / penyakit yang diderita pasien
c. Pemerikasaan Penunjang
Lab
: Darah Rutin, CT, BT, BUN, Cr, Elektrolit,
Pemeriksaan lain sesuai indikasi
Rontgen
: Thorak PA, CTscan, lain-lain sesuai indikasi
EKG
: Wajib diatas umur 40 th.
2. General Anestesi
a. Persiapan
Pasien : Pasien masuk kamar operasi sudah terpasang infuse dengan abocath No 18 atau yg
terbesar yang dapat masuk.
Infus dengan cairan kristaloid (RL, Asering, NaCl 0,9 %) 10 15 cc / KgBB.
Monitor tekanan darah, HR, SpO2, dan EKG jika diperlukan
Alat : Alat-alat untuk melakukan intubasi oral maupun nasal.
Obat: Obat yang berpotensi untuk neuroproteksi-neuro resusitasi.
Premedikasi : Dapat menggunakan obat lain, disesuaikan dengan Farmakokinetik Dinamik
serta kondisi pasien.
Midazolam 0,05
mg / KgBB i v
Fentanyl
1-2
ug / KgBB i v
Induksi
: Dapat menggunakan salah satu obat dibawah (sesuai kondisi pasien)
Penthotal
: 3 5 mg /KgBB i v
Propofol
: 1-- 2 mg/KgBB iv
Pemeliharaan : menggunakan agen inhalasi
Inhalasi
: Isofluran, Sevofluran < 1 MAC
Intravenus Anestesi : Propofol 1-2 mg/kg BB/Jam
Pelumpuh Otot:
Non Depol : - Rokuronium : 0,6 mg / KgBB
- Vecuronium : 0,1 mg / KgBB
b. Penatalaksanaan:
- Pasien masuk kamar operasi sudah terpasang infus.
- Monitor dipasang
Obat premedikasi diberikan di ruang induksi
Obat induksi diberikan kemudian
Pasien diberikan oksigen 100 % untuk preoksigenasi
Obat pelumpuh otot diberikan untuk fasilitas intubasi dan pemeliharaan
Setelah onset obat tercapai dilakukan intubasi orotrakheal dengan laringoskop dan ETT yang sesuai
dengan pasien.
101
c. Pengakhiran anestesi
Agen pemeliharaan anestesi dihentikan 5 10 menit sebelum operasi berakhir
Pemberian obat penawar pelumpuh otot diberikan hanya jika terjadi pemanjangan masa
kerja pelumpuh otot setelah operasi selesai.
Ekstubasi dilakukan jika pasien sudah bernafas spontan, adekuat. Reflek sudah muncul
dan dapat membuka mata secara spontan atau dengan rangsang dan kekuatan otot sudah pulih 75 %;
kecuali jika ada penyulit atau prakondisi lain (hipertensi, penyakit jantung) dilakukan ekstubasi dalam atau
yang memerlukan penanganan lanjut di Ruang Rawat Intensif.
Daftar Pustaka
1. Bisri. T; Pengelolan Anestesi untuk Pasien dengan Tumor Supratentorial. In Anestesia & Critical Care,
2003; 21;1;61-71.
2. Bisri, T. Craniotomy for Supratentorial Tumor. In Asean Symposium on Neuro Anaesthesia. Bandung.
Indonesia : 1997.
3. Bruder, N. Ravussin, P. Recovery from Anesthesia and post operative extubation of Neurosurgical
patients.Departement danesthesiologie et de reanimation. Hospital de Sion. Switzerland. E-mail :
patrick.ravussin@hopsion.vsnet.ch.
4. Kelly, DL. Et al. Supra tentorial and pituitary surgery. In Albine. Text Book of Neuroanesthesia. McGrawHill Companies.1997;28: 931-970
5. Menon, DK. and Matta, BF. Intensive care after acute head injury. In Matta, BF., et al. (Eds): Textbook of
Neuroanaesthesia and Critical Care, GMM, 2000; 21:299-317.
6. Turner,JM. Intracranial Pressure. In Matta,BF, et al. ( Eds ) : Text Books Of Neuro Anesthesia and Critical
Care, GMM,2000; 21 : 51-66
102
Tujuan
Memberikan acuan yang benar tentang anestesi pada kasus bedah kraniotomi supratentrorial.
Kebijakan:
1. Dr anestesi wajib memeriksa kelengkapan rekam medis sebelum dilakukan tindakan anestesi sesuai
ketentuan.
2. Dr anestesi wajib memberikan informasi, penjelasan dan persetujuan tentang tindakan anestesi yang akan
dilakukan (Inform Concent)
3. Teknik anestesi yang digunakan adalah GA Intubasi, MAC/Awake Cranitomi disesuaikan dengan kondisi
pasen.
4. Dosis obat, penambahan obat dapat berubah sewaktu-waktu jika diperlukan atau terjadi perubahan kondisi
pasien secara mendadak.
5. Tehnik yang dilakukan bertujuan pada pengendalian kenaikan tekanan intakranial yang optimal.
Prosedur
1. Persiapan
a. Kunjungan Preop visite
Menilai kondisi fisik pasien, riwayat penyakit terdahulu, penjelasan prosedur tindakan anestesi
Memperkirakan perlu-tidaknya Perawatan Rawat Intensif-Neuro Critical Care pasca operasi.
Membuat Inform Concent dengan pasen/keluarga pasen dan disaksikan dari kedua belah pihak
b. Konsultasi
Dengan bagian lain terkait kelainan / penyakit yang diderita pasien
c. Pemerikasaan Penunjang
Lab
: Darah Rutin, CT, BT, BUN, Cr, Elektrolit,
Analisa Gas Darah (Astruff)
Pemeriksaan lain sesuai indikasi
Rontgen : Thorak PA, CTscan kepala, lain-lain sesuai indikasi
EKG
: Wajib diatas umur 40 th, lain-lain sesuai indikasi
2. General Anestesi
a. Persiapan
Pasien : Pasien masuk kamar operasi sudah terpasang infus dengan abocath No 18 atau yang
terbesar yang dapat masuk. Dapat dilakukan pemasangan Infus 2 jalur untuk antisipasi
perdarahan, dengan cairan kristaloid (RL, Asering, NaCl 0,9 %) 10 15 cc / KgBB.
Pemasangan Kateter Urin, dikosongkan dan dicatat produksi setiap jam.
Monitor NIBP(Arteri Line), HR, EKG, SpO2, Tekanan Vena Sentral.
ETCO2, Blood Gas Analisis, Nerve Stimulator jika diperlukan.
Siapkan darah, sesuai besar tumor
Alat : Alat-alat untuk melakukan intubasi oral maupun nasal.
Obat:
Premedikasi : Dapat menggunakan obat lain, disesuaikan dengan Farmakokinetik Dinamik
serta kondisi pasien.
- Midazolam
0,05
mg / KgBB i v
- Fentanyl
1-2
ug / KgBB i v
- Dexmedetomidine 0.08-1.0ug/ KgBB i v
- Lidokain
0.5 - 1 mg/ KgBB I v
Induksi
: Dapat menggunakan salah satu obat dibawah (sesuai kondisi pasien)
Penthotal
3 5 mg / KgBB i v
Propofol
1 2 mg / KgBB i v
Etomidat
0.3 mg/ KgBB
iv
Pemeliharaan : menggunakan agen inhalasi
Inhalasi
: Isofluran, Sevofluran < 1 MAC
Intravenus Anestesi : Propofol
1-2 mg/kgBB/jam.
Pelumpuh Otot:
- Non Depol : - Rokuronium : 0,6 mg / KgBB
- Vecuronium 0,1 mg / KgBB
b. Penatalaksanaan:
- Pasien masuk kamar operasi sudah terpasang infus.
- Monitor dipasang
- Obat premedikasi diberikan di ruang induksi
103
104
Kebijakan:
1. Dr anestesi wajib memeriksa kelengkapan rekam medis sebelum dilakukan tindakan anestesi sesuai
ketentuan.
2. Dr anestesi wajib memberikan informasi, penjelasan dan persetujuan tentang tindakan anestesi yang akan
dilakukan (Inform Concent)
3. Teknik anestesi yang digunakan adalah GA Intubasi, MAC/Awake Cranitomi disesuaikan dengan kondisi
pasen.
4. Dosis obat, penambahan obat dapat berubah sewaktu-waktu jika diperlukan atau terjadi perubahan kondisi
pasien secara mendadak.
5. Tehnik yang dilakukan bertujuan pada pengendalian kenaikan tekanan intakranial yang optimal.
Prosedur
1. Persiapan
a. Kunjungan Preop visite
Menilai kondisi fisik pasien, riwayat penyakit terdahulu, penjelasan prosedur tindakan anestesi
Memperkirakan perlu-tidaknya Perawatan Rawat Intensif-Neuro Critical Care pasca operasi.
Membuat Inform Concent dengan pasen/keluarga pasen dan disaksikan dari kedua belah pihak
b. Konsultasi
Dengan bagian lain terkait kelainan / penyakit yang diderita pasien
c. Pemerikasaan Penunjang
Laboratorium
: Darah Rutin, CT, BT, BUN, Cr, Elektrolit,
Analisa Gas Darah (Astruff)
Pemeriksaan lain sesuai indikasi
Rontgen
: Thorak PA, CTscan kepala, lain-lain sesuai indikasi
EKG
: Wajib diatas umur 40 th, lain-lain sesuai indikasi
2. General Anestesi
a. Persiapan
Pasien : Pasien masuk kamar operasi sudah terpasang infus dengan abocath No 18 atau yang
terbesar yang dapat masuk. Dapat dilakukan pemasangan Infus 2 jalur untuk antisipasi
perdarahan, dengan cairan kristaloid (RL, Asering, NaCl 0,9 %) 10 15 cc / KgBB.
Pemasangan Kateter Urin, dikosongkan dan dicatat produksi setiap jam.
Monitor IBP(Arteri Line), HR, EKG, SpO2, Tekanan Vena Sentral.
PemasanganVena Sentral diposisikan pada daerah mix vein atrium kanan.
Pemasang PCS ( Pre Cordial Steteskop) Pada daerah dada kanan atas.
ETCO2, Blood Gas Analisis, Nerve Stimulator jika diperlukan.
Siapkan darah, sesuai besar tumor
Alat
: Alat-alat untuk melakukan intubasi oral maupun nasal.
Obat :
Premedikasi : Dapat menggunakan obat lain, disesuaikan dengan Farmakokinetik Dinamik
serta kondisi pasien.
- Midazolam 0,05
mg / KgBB i v
- Fentanyl
1-2
ug / KgBB i v
- Dexmedetomidine
0.08-1.0ug/ KgBB i v
- Lidokain
0.5 - 1 mg/ KgBB i v
- Inotrope
Dopamin, Dobutamin, Nor Epinephrin.
- Anticholinergik
Atropin 2mg/kg BB i v
Induksi
: Dapat menggunakan salah satu obat dibawah (sesuai kondisi pasien)
Penthotal
3 5 mg / KgBB i v
Propofol
1 2 mg / KgBB i v
Etomidat
0.3 mg/ KgBB
iv
Pemeliharaan : menggunakan agen inhalasi
Inhalasi
: Isofluran, Sevofluran < 1 MAC
Intravenus Anestesi : Propofol
1-2 mg/kgBB/jam.
Pelumpuh Otot:
Non Depol : - Rokuronium : 0,6 mg / KgBB
- Vecuronium 0,1 mg / KgBB
b. Penatalaksanaan:
- Pasien masuk kamar operasi sudah terpasang infus.
- Monitor dipasang
105
106
Tujuan
Memberikan acuan yang benar tentang anestesi pada tehnik awake kraniotomi.
Kebijakan:
1. Dr. anestesi wajib memeriksa kelengkapan rekam medis sebelum dilakukan tindakan anestesi sesuai
ketentuan.
2. Dr. anestesi wajib memberikan informasi, penjelasan dan persetujuan tentang tindakan anestesi yang akan
dilakukan (Inform Concent)
3. Teknik anestesi yang digunakan adalah Awake Cranitomi dengan persiapan semua obat, alat, tenaga sudah
siap sebelum dilakukan.
4. Persiapan:
a. Setting Ruangan Operasi harus memberi kenyamanan, ketenangan
b. Seluruh Team Operasi, sdm lainnya harus sudah siap dikamar operasi.
c. Obat Alat dan Meja operasi sudah diposisikan dan disiapkan sejak awal.
d. Pasen Sadar, Kooperatif, Verbal comand saat dilakukan Brain mapping
e. Monitor EKG, Sa, Tekanan Darah, Tidak diperlukan Monitor invasif, kateter urin.
5. Tehnik Anestesi
a. Bisa dilakukan dengan Anestesi Lokal: Ijeksi Bupivakain daerah Scalp Incisisi
Levobuvakain 0.25 % + Adrenalin 1:200.000 dipersiapkan 40 cc
b. Bila dilakukan Anestesi Umum untuk Weak Kraniotomi:
Tehnik Tidur bangun Tidur, atau sebaliknya.
Pemilihan Obat:
1. Mudah dikendalikan,
2. Onset-Offset yang pasti
3. Stabilitas Hemodinamik Intrakranial
4. Mempunyai sifat Neuroproteksi, Antinocicepti.
Dosis obat; Memberi level Sedasi-Analgesi adekuat
Lakukan Induksi Anestesi dengan Smooth dan Gentle
Sedasi Analgesi mampu memberi; Pasen nyaman, Kooperatif, Tidak sakit saat sayatan kulit dan
mengangkat tulang kepala. Obat tidak mempengaruhi Test Brain Mapping atau saat
Electrocorticograpi.
Tehnik yang dilakukan bertujuan HD stabil, Slack brain, Pasen Kooperatif agar operator dapat
menentukan daerah lesi dengan melakukan brain mapping secara tepat-akurat untuk mengurangi
morbitas.
Prosedur
1. Persiapan
a. Kunjungan Preop visite
Menilai kondisi fisik pasien, riwayat penyakit terdahulu, penjelasan prosedur tindakan anestesi
Membuat Inform Concent dengan pasen/keluarga pasen dan disaksikan dari kedua belah pihak
Mempersiapkan Seleksi Pasen, Memberi Dukungan Psikologis, Motivasi-Mensupport pasen.
b. Konsultasi
Dengan bagian lain terkait kelainan / penyakit yang diderita pasien
c. Pemerikasaan Penunjang
Laboratorium
: Darah Rutin, CT, BT, BUN, Cr, Elektrolit,
Pemeriksaan lain sesuai indikasi
Rontgen : Thorak PA, CTscan kepala, lain-lain sesuai indikasi
EKG
: Wajib diatas umur 40 th, lain-lain sesuai indikasi
2. General Anestesi
a. Persiapan
Pasien : Pasien masuk kamar operasi sudah terpasang infus dengan abocath No 18 atau yang
terbesar yang dapat masuk. (RL, Asering, NaCl 0,9 %) 10 15 cc / KgBB.
Untuk kasus epilepsy, obat obat epilepsinya bisa dilanjutkan
Monitor NIBP, HR, EKG, SpO2, Tidak diperlukan Pemasangan Kateter Urin,.
Alat
: Tetap dipersiapkan Alat-alat untuk melakukan intubasi oral maupun nasal.
Obat
:
Premedikasi : Dapat menggunakan obat lain, disesuaikan dengan Farmakokinetik Dinamik
serta kondisi pasien.
- Lorazepam
: 1 mg p.o 1 jam pre op
107
Induksi : Dapat menggunakan salah satu obat dibawah (sesuai kondisi pasien)
- Dexmedetomidine
: 1.0 ug/KgBB i v selama 15 menit loading dose
: 0.4 ug/KgBB i v pemeliharaan selama operasi
- Bupivakain+Adrenalin : 0.25% saat pemasangan Head Pin
: Infiltrasi 0.25% 40 cc saat scin incision
- Propofol
: 1-2 mg/kgBB/jam
: Saat Infiltrasi, memindahkan, ngebor tulang kepala.
: Propofol dapat diberikan.
Pemeliharaan : menggunakan agen
- Dexmedetomidine
: 0.4 ug/KgBB i v selama Opersai
Penatalaksanaan:
- Diberi (02) oksigen 100 % lewat Nasal Oksigen
- Pasien masuk kamar operasi sudah terpasang infus.
- Monitor dipasang
- Obat premedikasi diberikan di ruang induksi
- Obat induksi diberikan kemudian
- Dapat dipasang PCS (Pree Cordial Stetoskop) dan EKG.
- Saat Cortical mapping; Pasen Sadar-Kooperatif, Kontak-Komunikasi
- Apabila ada komplikasi harus cepat dtangangani.
c. Pengakhiran anestesi
- Reflek proteksi sudah muncul dan dapat membuka mata secara spontan
- Parameter Vital sign normal, Pasien nafas spontan, adekuat.
- Pusat motorik, bicara, menghitung koperatif,
Daftar Pustaka
1. Bisri. T; Pengelolan Anestesi untuk Pasien dengan Tumor Supratentorial. In Anestesia & Critical Care,
2003; 21;1;61-71.
2. Bisri, T. Craniotomy for Supratentorial Tumor. In Asean Symposium on Neuro Anaesthesia. Bandung.
Indonesia : 1997.
3. Bruder, N. Ravussin, P. Recovery from Anesthesia and post operative extubation of Neurosurgical
patients.Departement danesthesiologie et de reanimation. Hospital de Sion. Switzerland. E-mail :
patrick.ravussin@hopsion.vsnet.ch.
4. Kelly, DL. Et al. Supra tentorial and pituitary surgery. In Albine. Text Book of Neuroanesthesia. McGrawHill Companies.1997;28: 931-970
5. Menon, DK. and Matta, BF. Intensive care after acute head injury. In Matta, BF., et al. (Eds): Textbook of
Neuroanaesthesia and Critical Care, GMM, 2000; 21:299-317.
6. Turner,JM. Intracranial Pressure. In Matta,BF, et al. ( Eds ) : Text Books Of Neuro Anesthesia and Critical
Care, GMM,2000; 21 : 51-66
108
Tujuan
Memberikan acuan yang benar tentang anestesi pada trauma servikal.
Kebijakan:
1. Dr. anestesi wajib memeriksa kelengkapan rekam medis sebelum dilakukan tindakan anestesi sesuai
ketentuan.
2. Dr. anestesi wajib memberikan informasi, penjelasan dan persetujuan tentang tindakan anestesi yang
akan dilakukan (Inform Concent)
3. Trauma Medula Spinalis
a. Trauma Medula Spinalis primer
Trauma yang mengakibatkan gangguan dan kerusakan langsung pada neuron. Perubahan
histologi terdiri atas: Perdarahan, Ekstravasasi protein kedalam gray matter yang menyebar
menuju white matter. Edema medula spinalis maksimal pada hari ke 3 dan dapat bertahan
selama 2 minggu. Pada keadaan ini yang terpenting adalah mempertahankan perfusi medula
spinalis. SCBF dikontrol oleh faktor-faktor yang sama dengan CBF2,5
b. Trauma medula spinalis sekunder
Disebabkan oleh aktivasi biokimiawi, enzymatik dan proses mikrovaskuler. Kerusakan
disebabkan oleh hilangnya integritas membran sel, edema, inflamasi, lepasnya asam
arachidonat, lipid peroxidase, dan hilangnya autoregulasi vaskuler. Proses tersebut
menyebabkan stasis vaskuler, penurunan aliran darah, iskemi dan kematian sel.5
4.
Manifestasi Klinis
Trauma medula spinalis dapat menyebabkan hilangnya fungsi saraf secara komplet maupun inkomplet.
Defisit neurologis yang terjadi tergantung level medula spinalis yang mengalami kelainan. 2
Pusat respirasi di medula spinalis terdapat pada nukleus motorik C4 dan mendapat kontribusi minimal
dari C3 dan C5 kemudian keluar sebagai nervus phrenikus yang mensarafi otot diafragma. Napas
spontan masih bisa dilakukan dengan kapasitas vital 20-25 % normal apabila C4 normal. Kelainan
diatas C3 akan menyebabkan respiratory arrest. Insidensi ketergantungan pada ventilator pada pasien
dengan trauma servikal C1-C4 sebesar 40 %. Kelainan dibawah C5 akan terjadi penurunan fungsi
respirasi karena kelemahan otot interkostalis1,8,9
Efek trauma medula spinalis terhadap sistem kardiovaskuler tergantung pada level trauma. Level
dibawah T6 mengakibatkan hipotensi akibat sympatektomy. Diatas T6 abnormalitas kardiovaskuler
lebih berat dapat terjadi bradikardi, hipotensi, disfungsi ventrikel, dan disritmia. Hilangnya inervasi
simpatis pada jantung pada level T1-T4 mengakibatkan parasimpatis tidak terkompensasi akibatnya
terjadi bradikardi dan hipotensi. Pasien tidak dapat mempertahankan curah jantung karena hilangnyan
kemampuan mempertahankan tonus pembuluh darah arteri dan kapasitans vena. Jantung kurang dapat
menerima beban kenaikan venous return sehingga mudah terjadi edema paru. Untuk mencegah
overload cairan sebaiknya dipasang CVC. Untuk mengatasi bradikardi dapat diberikan sulfas atropin
0.02 mg/kg BB dan dapat diulang tiap 20-30 menit dan diberikan setengah dosis.1,5,8
5.
STRATEGI NEUROPROTEKTIF
a. Spinal Alignment Pergerakan segmen yang mengalami trauma akan dapat menyebabkan
eksaserbasi trauma yang telah dialami. Sehingga strategi neuroproteksi yang sangat penting
adalah menghilangkan kompresi medula spinalis dan mencegah gangguan neurologis lebih lanjut
dengan jalan immobilisasi yang efektif sesegera mungkin baik menggunakan tong atau
halotraction. Kegagalan melakukan hal tersebut dapat menyebabkan hilangnya fungsi neurologis
yang masih ada atau bahkan naiknya level trauma.4,5
b. Pembedahan bertujuan untuk reduksi mal aligment, dekompresi elemen
neural,
restorasi
stabilitas spinal. Dekompresi dengan pembedahan dalam dua jam pertama dapat meningkatkan
peluang recovery.8
c. Moderat Hypotermi setelah trauma medula spinalis hanya sedikit manfaatnya. Sebaliknya
Hipertermi sangat merugikan menyebabkan kerusakan neuron setelah trauma.
d. MAP dipertahankan normal-normal tinggi sekitar 85 mmHg dengan cara penggantian cairan
( kristaloid, koloid atau darah) apabila shock perdarahan lebih dominan, atau dengan
menggunakan inotropik atau vasopressor apabila diduga shok neurologis yang menyebabkan
hipotensi.
Hipertensi beresiko perdarahan dan edema intramedula.5
Hindari cairan mengandung glukosa.1,5
e. Terapi farmakologi
109
Kortikosteroid
Metilprednisolon diberikan dalam 8 jam setelah trauma dengan dosis 30 mg/kg BB bolus
intravena pada jam pertama dan kemudian infus 5,4 mg/kgBB/jam dalam 23 jam berikutnya.
4,5
Obat lain
Pemberian manitol 0,25-1 g/kg BB untuk edema medula spinalis.1,5
outcome dan penggunaannya saat ini tidak direkomendasikan lagi
6. Persiapan:
a. Setting Ruangan Operasi harus memberi kenyamanan, ketenangan
b. Seluruh Team Operasi, sdm lainnya harus sudah siap dikamar operasi.
c. Obat Alat dan Meja operasi sudah diposisikan dan disiapkan sejak awal.
d. Pasen Sadar, Kooperatif, Verbal comand saat dilakukan Brain mapping
e. Monitor EKG, Sa, Tekanan Darah, Tidak diperlukan Monitor invasif, kateter urin.
7. Tatalaksana Anestesi
Berdasarkan waktu terjadinya trauma medula spinalis dibagi dalam 3 fase :
fase akut ( 0-48 jam),
fase semi akut ( 48 jam sampai 1-12 minggu),
fase intermediet ( 1-12 minggu) dan fase kronis ( sudah lebih dari 3 bulan)
Pada Fase Akut; tonus simpatis setinggi lesi kebawah akan hilang sehingga akan terjadi hipotensi,
bradikardi dan respon yang sangat buruk terhadap berbagai stimulus. Lesi pada cervikal 3,4,5
menyebabkan disfungsi diafragma dan dapat terjadi respiratory arrest. Lesi pada cervikal bawah dan
daerah thorak juga terjadi gangguan respirasi dengan derajat yang lebih ringan karena disfungsi otot
interkosta. Hipovolumia relatif atau absolut memerlukan kombinasi penggantian cairan atau suport
inotropik dengan memonitor CVP. Kondisi lambung penuh memerlukan RSI dengan Sellicks manuver
dalam intubasi. Kemungkinan trauma pada daerah lain terutama pada tulang panjang, abdomen dan
thorak.1
Fase Semi Akut berlangsung 48 jam sampai periode waktu antara 1-12 minggu. Pada fase ini pada
beberapa pasien masih terjadi spinal shock. Resiko hiperkalemia pada penggunaan suksinilkholin dan
juga hiperkalsemia.
Fase Intermediet pada fase ini terjadi peningkatan kalium serum. Sebaiknnya hindari pemakaian
suksinil kholin. Pada trauma medula spinalis terjadi denervasi otot dalam jumlah besar, usaha fisiologis
tubuh agar setiap rangsangan mendapat jawaban adalah dengan cara meningkatkan jumlah reseptor
postsinaptik dan juga meningkatkan sensitifitas reseptor tersebut. Spinal shock telah hilang. Komplikasi
lain berupa hiperrefleksia otonom.
Pada fase Kronis terjadi hiperrefleksia otonom, postural hipotensi, gangguan kontrol respirasi,
gangguan ginjal dan elektrolit, kehilangan kontrol temperatur tubuh, ulkus dekubitus dan
tromboemboli. Hiperrefleksia otonom terjadi pada periode 3 bulan/lebih setelah trauma medula spinalis
diatas T7. Ditandai dengan adanya hiperrefleksia, spastisitas dan spasme otot secara involunter.
Hiperrefleksia ini terjadi karena hilangnya kontrol dari koordinasi simpatis pusat pada hipotalamus
terhadap sistem saraf simpatis spinal antara T1-L2. Stimulasi kandung kencing daerah genital, usus dan
kulit daerah perineum, impuls akan dihantarkan melalui serabut saraf simpatis diatas lesi. Keadaan ini
akan menyebabkan berkeringat dan vasokonstriksi pada bagian tubuh tersebut. Postural hipotensi
terjadi pada lesi diatas T4 karena gangguan respon kardiovaskuler. Imobilisasi yang lama pada
penderita trauma medula spinalis dapat mengakibatkan perubahan dalam metabolisme kalsium yang
dapat mengakibatkan terjadinya kalsifikasi otot, immobilitas sendi, osteoporosis, hiperkalsemia dan
nefrokalsinosis dengan gagal ginjal. Fungsi ginjal akan menurun akibat nefrokalsinosis maupun infeksi
berulang yang menyebabkan hilangnya protein, natrium dan kalium.Oleh karena itu pemeriksaan
elektrolit, protein, ureum dan kreatinin penting sebelum operasi. Kerusakan medula spinalis diatas T7
bisa merusak pusat berkeringat yang menyebabkan beberapa penderita menjadi poikilotermi oleh
karena temperatur tubuhnya tergantung pada suhu sekitar dan sering berkembang menjadi hipertermia
yang disebabkan penderita tidak mampu menurunkan suhu tubuh akibat terganggunya proses
berkeringat. Pada saat dilakukan pembedahan penderita cenderung hipotermi karena pelepasan panas
tubuh berlebihan karena pembuluh darah yang terbuka tidak mampu melakukan vasokonstriksi dan hal
ini bisa memperpanjang masa pemulihan anestesi. Oleh karena itu penting untuk memantau suhu tubuh
baik di dalam maupun di luar kamar operasi untuk memastikan apakah suhu penderita tetap normal dan
mempersiapkan cairan infus yang hangat serta pemakaian alas penghangat diatas meja operasi.1
Prosedur
1. Persiapan
a. Kunjungan Preop visite
110
b.
c.
d.
e.
Pasien dengan trauma medula spinalis seringkali mempunyai komplikasi lain yang akan
mempengaruhi rencana menejemen anestesi.
Pemeriksaan Penunjang meliputi darah lengkap, elektrolit, BUN, creatinin, glukosa, test fungsi hepar,
urinalisis. EKG, AGD, Ro thorax dan test fungsi paru. Lesi pada servikal 4-5 akan menyebabkan
gangguan pada otot-otot interkostalis bahkan pada otot pernapasan utama diafragma sehingga
pemeriksaan AGD dan spirometri harus dilakukan. Selain itu penurunan kemampuan membersihkan
sekret pernapasan juga beresiko hipoksemia dan hiperkarbi 1,4,5,8
Evaluasi Jalan Napas/Respirasi; sangat diperlukan. Pemeriksaan jalan napas meliputi oropharing
dengan klasifikasi malampati dan gerakan leher. Apabila pasien menggunakan alat fiksasi cervikal
harus direncanakan intubasi sadar atau tekhnik lain untuk mengamankan jalan napas. Pasien dengan
trauma servikal mengalami gangguan paru restriktif dengan penurunan volume paru beresiko
hipoksemia. Trauma cervikal dan thorak atas menyebabkan kesulitan dalam membersihkan sekret yang
juga berpotensi hipoksemia dan hiperkarbi.
Evaluasi jantung penting untuk membuktikan kelainan akibat oleh trauma medula spinalis atau
kelainan tersebut memang sudah ada sebelumnya. Harus dilakukan penilaian derajat hipotensi
ortostatik dan resiko hiperrefleksia otonom.
Evaluasi Neurologis untuk menilai defisit neurologis pre operasi.
Penilaian neurologis menurut American Spinal Injury Association (ASIA) meliputi:
1. Test otot: Ada 10 kelompok otot yang harus diperiksa, 5 pada ekstremitas atas dan 5 pada
ekstremits bawah. Skala pemeriksaan dari 0-5 (Tabel 2).1,6
2. Test sensori: Diperiksa pada 28 dermatom pada tiap sisi. Pemeriksaan dengan sentuhan dan pin
prick dengan skala 0-2 (Tabel 3)1,6
3.
111
2.
Tatalaksana anestesi; pada operasi tulang belakang khususnya vertebra servicalis memerlukan perhatian
khusus mulai dari persiapan operasi. Harus ditentukan berapa lama lesi tersebut sudah berlangsung, karena
penatalaksanaannya akan berbeda setiap fase.1,5,8
1. Prinsip Utama; Amankan jalan napas jangan menyebabkan eksaserbasi trauma medula spinalis.
a. Intubasi Sadar menguntungkan karena pasien dapat menjadi monitor untuk menghindari
perburukan trauma medula spinalis. Intubasi sadar juga menghindari penggunaan suksinil kolin dan
resiko hiperkalemia.
b. Intubasi nasal (blind) seringkali direkomendasikan menjadi salah satu cara terbaik intuk
menghindari manipulasi spinal selama intubasi. Pemberian lidokain 4 % dengan phenyleprin 0,2 %
penting untuk vasokonstriksi jaringan nasal dan mencegah perdarahan.
c. Intubasi sadar dengan fiber optic dapat digunakan dalam kasus yang bukan emergensi.
d. Direct laringoskopy dapat dilakukan apabila cara lain tidak mungkin lagi dilakukan. Netralitas leher
harus dijaga untuk mencegah trauma medula spinalis lebih lanjut. In line manual cervical
immobilization merupakan cara paling aman untuk meminimalkan gerakan kolumn spinal. In line
manual cervical immobilization dilakukan dengan cara seorang asisten meletakkan tangannya pada
kedua sisi kepala dan menekan occiput dan mencegah gerakan rotasi leher.
2. Induksi dan Rumatan Anestesi
Fungsi sistem saraf simpatis pada pasien dengan trauma medula spinalis tidak dapat diprediksi. Induksi
dilakukan perlahan dalam prosedur operasi elektif karena pasien biasanya juga dalam status
hipovolumia.
Ketamin 1-2 mg/kg BB intra vena menghasilkan profil hemodinamik yang stabil. Namun. (Tidak
direkomendasikan bila ada trauma kepala dengan peningkatan TIK).
Etomidate juga menghasilkan stabilitas kardiovaskular selama induksi.
Pemakaian thiopental harus hati-hati karena dapat menyebabkan hipotensi berat.
Pilihan lain dapat digunakan kombinasi midazolam dan alfentanil.2
Selama induksi spinal cord perfusion pressure dijaga minimal 60 mmHg (idealnya 80-90 mmHg).
Pasien trauma medula spinalis bagian atas beresiko terjadi bradikardi dan asystole, sehingga dianjurkan
penggunaan antikolinergik profilaksis untuk mencegah komplikasi tersebut.
Trauma medula spinalis mengakibatkan otot skelet mengalami supersensitivitas terhadap pelumpuh
otot depolarisasi. Akibat denervasi otot jumlah reseptor asetilkolin post sinap meningkat dan
melipatgandakan rangsang neuromuskuler yang hanya kecil saja. Ketika terjadi depolarisasi karena
penggunaan suksinilkholin menyebabkan keluarnya simpanan kalium masif. Karena berapa lama waktu
yang dibutuhkan dalam peningkatan reseptor ekstrajuntional tidak diketahui (bisa dalam 24 jam saja)
maka penggunaan suksinilkholin perlu dihindari meski trauma baru saja terjadi.5
3. Posisi
112
Prosedur operasi biasanya dilakukan dalam posisi prone. Anestesi dilakukan di atas bed atau stretcher
kemudian menggulingkan keatas meja operasi. Jaga kepala dan leher dalam posisi netral, ganjal yang
adekuat pada dada, perut, kepala dan ekstremitas dan mencegah pergerakan leher fleksi dan ekstensi.
Perhatikan posisi ET perubahan posisi, dapat mengubah posisi ET. Hindari perubahan posisi yang
mendadak karena dapat terjadi perubahan hemodinamik signifikan akibat kurangnya mekanisme
kompensasi untuk vasokonstriksi dan reflek kardiak dalam menjaga venous return dan kardiak output.
Kepala diposisikan dalam keadaan bagian keras dari kepala menyokong berat kepala dan hindari
penekanan pada mata, telinga dan hidung.1,8
4. Monitoring
Penggunaan monitor tergantung level trauma, defisit neurologis, kompleksitas, lamanya prosedur
operasi serta adanya penyakit yang lain.1
Monitor Rutin; seperti EKG, pulse oksimetri, kapnograp, NIBP, temperatur. Kateter urin untuk
memonitor status volume pasien.
Monitoring Neurofisiologis diperlukan pada pasien yang mengalami trauma neurologis dan dalam
resiko instabilitas kelainan spinalnya dan pada pasien yang mengalami trauma neurologis
incomplet dan menjalani operasi stabilisasi. Monitoring neurofisiologis meliputi test wake-up intra
operatif, somatosensory evoke potential (SSEP) atau motor evoked potential. SSEP memonitor
kolumn posterior medula spinalis sedangkan motor evoked potential memonitor bagian anterior
medula spinalis. 5
Monitor tekanan intra kranial diperlukan bagi pasien yang juga mengalami trauma kepala.
Pasien yang mengalami spinal shock, indikasi pemasangan monitor tekanan darah langsung yang
idealnya dipasang sebelum induksi. Pemasangan catheter arteri juga bermanfaat untuk pemeriksaan
AGD dan pemeriksaan laboratorium lain yang diperlukan selama operasi.
Penggunaan cateter arteri pulmoner selama spinal shock juga sangat tepat. Pengukuran CVP
(central venous pressure), PCWP (pulmonary capillary wedge pressure), LVEDP (left ventrikular
end diastolic pressure) dalam hubunan dengan cardiac output dan TD untuk membedakan
hipovolemia dari rendahnya SVR
Simpulan
Trauma pada vertebra servikalis memiliki banyak potensi masalah yang dapat timbul sebelum operasi, pada
saat operasi dan setelah operasi. Semua potensi masalah tersebut harus dapat diprediksi dan dilakukan
langkah-langkah antisipasinya.
Proteksi medula spinalis pada pasien dengan trauma servikal harus dilakukan dengan menejemen yang
benar-benar cermat dan teliti sejak saat resusitasi, periode perioperatif dan selama perawatan di ICU.
Selama operasi menejemen anestesi mempunyai tujuan utama melindungi medula spinalis untuk perbaikan
defisit neurologis yang terjadi atau paling tidak mencegah perburukan. Proteksi dilakukan dengan cara:
1. Induksi anestesi dilakukan hati-hati dengan memonitor hemodinamik. Pinsip obat induksi yang dipakai
pemberiannya harus perlahan-lahan sambil mengobservasi respon kardiovaskuler. Target MAP idealnya
80-90 mmHg, minimal 60 mmHg.
2. Menejemen jalan napas merupakan tahap yang paling krusial dalam menejemen anestesi, laringoskopi
dan intubasi dilakukan dengan manual inline neck stabilization untuk mengurangi pergerakan leher.
3. Apabila operasi dalam posisi prone, jaga kepala-leher dalam posisi netral, ganjal adekuat pada dada,
perut, kepala dan ekstremitas dan mencegah pergerakan leher fleksi dan ekstensi karena pergerakan
segmen yang mengalami trauma akan dapat menyebabkan eksaserbasi trauma yang telah dialami.
Hindari perubahan posisi yang mendadak karena dapat terjadi perubahan hemodinamik yang
signifikan.
4. Selama operasi MAP dipertahankan antara 60-120 mmHg untuk menjaga aliran darah medulla spinalis
(SCBF) tetap normal sehingga medulla spinalis mendapatkan tekanan perfusi yang optimal.
5. Gunakan monitor tekanan darah invasif, CVC dan monitor urin output selain monitor standar (EKG,
NIBP, Pulse Oksimetri, Capnometri dan monitor suhu) karena resiko terjadi instabilitas hemodinamik
yang bisa timbul akibat eksaserbasi trauma akibat prosedur anestesi maupun pembedahan.
6. Cairan dipilih kristaloid dan koloid sebagai cairan resusitasi dan hindari glukosa yang terbukti
memperburuk outcome neurologis.
7. Gunakan agent inhalasi yg tidak menggangu autoregulasi Spinal Cord Blood Flow.
8. Paska operasi perawatan di ICU dan ekstubasi dilakukan setelah pasien sadar penuh sehingga tidak
perlu manipulasi leher untuk mempertahankan jalan napas.
Semua tindakan tersebut dilakukan dengan simultan dan terintegrasi dalam menejemen anestesi selama
operasi.
113
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
114
Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, peningkatan mutu kualitas layanan merupakan salah
satu aspek yang sangat penting dirumah sakit sebagai salah satu penyedia pelayanan yang professional dan
berkwalitas. Sejalan dengan upaya tersebut agar dapat memberikan pelayanan prima bagi para pasiennya
diperlukan pedoman pelayanan Neuro Critical Care sebagai acuan dalam setiap tindakan yang dilakukan.
Tujuan
Memberikan acuan yang benar tentang pelayanan Neuro Critical Care.
Kebijakan:
Kognitif
1. Memahami prinsip-prinsip umum kedokteran gawat darurat dan neuro Critical Care (Emergency and
Critical Care Medicine).Resusitasi Jantung Paru Otak, meliputi Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support),
Bantuan Hidup Lanjut (Advanced Life Support) dan Bantuan Hidup Jangka Panjang (Prolonged Life
Support) pada pasien Neuro Critical Care.
2. Mampu menjelaskan indikasi masuk dan keluar perawatan pada keluarga/pasien Neuro Critical Care.
3. Mampu menjelaskan indikasi dan pengelolaan prosedur invasif seperti pemasangan kateter vena central,
SJVO2, kateter intra-arterial, EVD, trakeostomi pada keluarga/pasien Neuro Critical Care.
4. Mampu menjelaskan pengelolaan jalan napas dan bantuan napas dengan / tanpa ventilasi mekanik pada
keluarga/pasien Neuro Critical Care.
5. Mengenal tanda dan gejala yang mengancam nyawa pasien akibat gangguan pernapasan, kardiovaskular,
susunan saraf pusat, gangguan keseimbangan cairan, asam basa dan elektrolit, infeksi berat, gangguan
hemostasis, krisis metabolik dan endokrin, gangguan fungsi ginjal dan hepar pada keluarga/pasien Neuro
Critical Care.
6. Mampu menjelasankan pengelolaan nutrisi, sedasi, analgesia dan termoregulasi pasien kritis.
7. Mampu menentukan mati klasis dan mati batang otak
8. Mampu menjelaskan penanganan akhir kehidupan : mengakhiri dan menunda bantuan hidup (with-drawing
dan with-holding life support).
Psikomotor
Menguasai keterampilan dalam posedur klinik, baik untuk pemantauan, diagnosis, maupun untuk terapi:
1. Pemasangan kateter vena sentral, intra arterial. krikotirotomi.
2. Menanggulangi keadaan yang mengancam nyawa pasien akibat gangguan pernapasan, kardiovaskular,
susunan saraf pusat, gangguan keseimbangan cairan, asam basa dan elektrolit, infeksi berat, gangguan
hemostasis, krisis metabolik dan endokrin, gangguan fungsi ginjal dan hepar.
3. Mampu mengelola nutrisi, sedasi, analgesia dan termoregulasi pasien kritis.
4. Melakukan konsultasi pada disiplin ilmu kedokteran lain pada saat yang tepat.
5. Melakukan jawaban atas konsultasi pasien-pasien dari ruang perawatan atau rumah sakit lain yang akan
dirawat di Neuro Critical Care/Rawat Intensif.
6. Melakukan komunikasi dengan sejawat dari beberapa disiplin terkait sebagai anggota tim.
7. Melakukan bimbingan kepada peserta program atau residen lain, mahasiswa kedokteran maupun perawat.
9. Mampu menanggulangi dan mengelola pasien bayi kasus Neuro Critical Care di ICU / NICU
8. Mampu menanggulangi dan mengelola pasien anak kasus Neuro Critical Care di ICU / PICU.
9. Mampu menanggulangi dan mengelola pasien tua kasus Neuro Critical Care (Geriatri) di ICU.
10. Mampu membuat keputusan yang independen dalam menjalankan pekerjaan profesinya berdasarkan
pemikiran logis, kritis, sistematis, kreatif, dan komprehensif;
11. Mampu mengomunikasikan hasil kajian, kritik, apresiasi, argumen, atau inovasi yang bermanfaat bagi
pengembangan profesi, dan kemaslahatan manusia, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan
etika profesi.
12. Melakukan evaluasi secara kritis terhadap hasil kerja dan keputusan yang dibuat dalam melaksanakan
pekerjaan profesinya baik oleh dirinya sendiri, sejawat, atau sistem institusinya,
13. Meningkatkan keahlian keprofesiannya dan mutu sumber daya pada bidang anestesiologi dan neuro
Critical Care yang khusus melalui pelatihan dan pengalaman kerja dengan mempertimbangkan
kemutakhiran bidang anestesiologi dan Neuro Critical Care di tingkat nasional, regional, dan internasional;
14. Memimpin suatu tim kerja untuk memecahkan masalah baik pada bidang anestesiologi dan Neuro
Critical Care, maupun masalah yang lebih luas dari bidangnya serta bisa bekerja sama dengan profesi
lain yang sebidang maupun yang tidak sebidang dalam menyelesaikan masalah pekerjaan yang kompleks
yang terkait dengan bidang anestesiologi dan neuro Critical Care;
115
15. Mengembangkan dan memelihara jaringan kerja dengan masyarakat profesi kedokteran dan kliennya
dan bertanggungjawab atas pekerjaan di bidang profesi anestesiologi dan Neuro Critical Care sesuai
dengan kode etik kedokteran Indonesia;
16. Mampu berkontribusi dalam evaluasi atau pengembangan kebijakan nasional dalam rangka peningkatan
mutu pendidikan anestesiologi dan Neuro Critical Care atau pengembangan kebijakan nasional pada
bidang kesehatan;
17. Mendokumentasikan, menyimpan, mengaudit, mengamankan, dan menemukan kembali data serta
informasi untuk keperluan pengembangan hasil kerja profesinya.
Kepustakaan:
1. Permenkes RI No. 519/Menkes/PER/III/2011; Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesilogi dan
Neuro Critical Care di Rumah Sakit. Menkes RI, 3 Maret 2011
2. Republik Indonesia; Undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembar Negara RI
Tahun 2004 nomor 116), Jakarta 2004
3. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
116