Reformasi Kelembagaan Menuju Efisiensi Pelayanan Pemerintah
Reformasi Kelembagaan Menuju Efisiensi Pelayanan Pemerintah
Bahkan, survei yang dilakukan The Political and Economic Risk Consultacy Ltd,
Indonesia menduduki peringkat kedua terburuk dalam hal birokrasi berinvestasi.
Hasil survei menunjukkan, berinvestasi di Indonesia harus melalui prosedur yang
panjang sehingga membutuhkan dana dan biaya yang besar. Indonesia hanya lebih
baik dari India. India dinilai sebagai negara dengan birokrasi terburuk dengan nilai
8,95, sedangkan Indonesia memperoleh nilai 8,20 (Kompas, 2/7/2005).
Di tengah kondisi demikian, birokrasi kita bukannya menutup mata dan tak
bergeming dari realita itu. Beragam inovasi dan kebijakan telah pula dihasilkan
guna meningkatkan kinerja pelayanan mereka. Anehnya, meskipun reformasi
pemerintahan telah bergulir selama delapan tahun, citra tentang birokrasi
ambtenaar masih belum juga berubah. Alhasil, karut marut birokrasi yang terus
berkembang mengantarkan kita pada satu kesimpulan: ada yang kurang pas
dengan reformasi birokrasi Indonesia selama ini.
Dosa Birokrasi
Salah satu penyebab lemahnya kinerja pelayanan publik terjadi karena birokrasi kita
tenggelam dalam paradigma pelayanan yang mereka buat sendiri, yang justru
cenderung mengabaikan aspirasi publik sebagai obyek pelayanan itu sendiri. Dus,
wajah buram pelayanan publik pun, layaknya konsep dosa perencana
pembangunan dari Ul Haq, menjadi dosa birokrasi.
Ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya kondisi ini. Pertama, masalah
kelembagaan dan manajemen pelayanan. Sampai sejauh ini, belum ada
kesepakatan tentang pelembagaan fungsi pemerintah serta kriterianya. Akibatnya,
terjadi kekaburan tugas dan tanggung jawab instansi pemerintah. Inefisiensi,
kelambatan, ketidakmerataan pelayanan dan fasilitas sosial, overhead cost yang
tinggi, serta ketidakpastian biaya yang harus dikeluarkan masyarakat menjadi
fenomena umum.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemahaman pemerintah terhadap penataan
kelembagaan yang tidak dipahami sebatas penataan struktur semata, melainkan
juga sebagai pelembagaan jaringan kerjasama (networking) yang adaptif dalam
persoalan demokrasi. Model pemerintahan yang birokratis dan kaku disingkirkan. Di
samping mempermudah koordinasi, pemerintah daerah juga akan menjadi responsif
terhadap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
Tindak lanjut dari keseluruhan hal di atas adalah penataan lembaga itu sendiri.
Perhatian utama diletakkan pada signifikansi tugas yang diemban organisasi berikut
ketimpangan antara volume kerja dengan besaran struktur organisasi. Karenanya,
perampingan bagi satuan organisasi yang volume kerjanya terlampau sedikit adalah
sebuah tuntutan logis, misalnya dari sub dinas menjadi seksi. Namun, tidak
menutup kemungkinan adanya pengembangan organisasi, misalnya dari kantor
menjadi badan. Selain itu, satuan organisasi yang lebih efisien berdiri sendiri dapat
dikembangkan menjadi organisasi perangkat daerah, seperti dari sub dinas menjadi
kantor. Pemerintah pun tidak perlu ragu untuk membentuk organisasi baru jika
memang terdapat tuntutan pelayanan fungsi baru dari pemerintah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Reformasi Kelembagaan
Pada sebuah lembaga (organisasi) dikenali tidak hanya sekedar dari tujuannya,
aturan mainnya dan bagannya saja. Namun jaringan hubungan imformal ikut
berpengaruh besar terhadap kegiatan setiap unit lembaga (organisasi) apapun
nama dan bentuknya. Apakah itu lembaga bisnis, lembaga sosial ataupun ia
lembaga publik. Yang pasti bahwa hubungan dalam lembaga (organisasi) , baik
dalam konteks formal maupun informal, mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang
besar dalam menentukan perilaku setiap anggotanya. Tentu fakta ini harus disadari
benar bagi setiap pembaharu lembaga (organisasi) dalam administrasi.
Oleh karena itu, Sharp dalam Budi Setiyono (2014: 141) mengatakan bahwa
lembaga (organisasi) adalah merupakan sekumpulan orang yang bekerja di
dalamnya untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam proses mencapai tujuan tersebut,
suatu lembaga (organisasi) seringkali berhadapan dengan berbagai macam
masalah, kendala, dan keterbatasan yang dapat menyebabkan mereka gagal,
kurang berhasil, atau bahkan bubar.
Maka untuk mengatasi masalah tersebut, dituntut pada setiap lembaga (organisasi)
untuk dapat menarik pembelajaran dari proses yang dialami dalam mencapai
undang-undang supaya dapat menjalankan tugas yang sesuai dengan kriteria public
value itu pada satu sisi yaitu, lembaga (organisasi) publik harus selalu
memperhatikan suara rakyat yang diwakili oleh lembaga parlemen serta
memeperhatikan masyarakat pengguna jasanya.
Sementara di sisi yang lain, lembaga (organisasi) publik juga harus mampu
menjalankan tugas sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi sebagaimana yang
dikemukakan oleh A.M. Williams dalam Khaerul Umam (2012: 24-25) antara lain: (1)
Organisasi harus mempunyai tujuan yang jelas. (2) Prinsip skala hierarki. (3) Prinsip
kesatuan perintah. (4) Prinsip pendelegasian wewenang. (5) Prinsip pertanggung
jawaban. (6) Prinsip pembagian pekerjaan. (7) Prinsip rentang pengendalian. (8)
Prinsip fungsional. (9) Prinsip Pemisahan. (10) Prinsip keseimbangan. (11) Prinsip
fleksibilitas. (12) Prinsip kepemimpinan.
2.
Skala. Artinya, Lembaga (organisasi) kecil biasanya memiliki struktur yang
lebih sederhana dan tidak terlalu banyak terjadi pendelegasian wewenang dan
pekerjaan, sedangkan lembaga (organisasi) yang besar memiliki struktur yang lebih
kompleks.
3.
Teknologi. Artinya, terkait dengan penggunaan alat-alat bantu dalam
menjalankan aktivitas lembaga (organisasi) untuk menghasilkan barang dan jasa.
4.
Lingkungan. Artinya, lingkungan yang dinamis akan menuntut lembaga
(organisasi) untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu
berubah-ubah. Sebaliknya, lingkungan lembaga (organisasi) yang cenderung statis
tidak akan terlalu banyak mengubah struktur suatu lembaga (organisasi).
Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Birokrasi
Keyakinan bahwa kelembagaan ini merupakan hal pertama yang harus diperbaharui
dikarenakan kelembagaan ini apabila diperbaharui sekaligus ditunjang dengan
sistem yang tepat maka pembaharuan prilaku SDM dari aparatur pegawai bisa
dilakukan. Oleh karena itu strategi pertama yang harus memperoleh perhatian
adalah kelembagaan aparatur birokrasi pemerintah ini. Kelembagaan terdiri dari
kultur dan struktur.
Kultur merupakan perpaduan tata nilai, kepercayaan dan kebiasaan yang diyakini
kebenaranya untuk diperjuangkan. Kultur inilah yang nantinya akan membentuk
suatu boundary yang membedakan suatu pemerintahan itu dengan pemerintahan
lainnya.
Kendala dalam sector ini khususnya adalah yang berkaitan dengan kultur dan
tradisi dalam masyarakat yang berpengaruh dalam kinerja birokrasi. Kinerja
birokrasi juga sangat dipengaruhi oleh budaya dan sistem sosial yang hidup di
tengah masyarakat diantaranya :
1.
Mentalitas Pegawai
b.
c.
Motivasi birokrat pada umumnya keliru (tidak memahami dan tidak sesuai
dengan fitrah dasar tugas insitusi birokrasi)
Kesemua sikap mental itu menimbulkan dampak negative berupa
ketidakprofesionalan aparatur birokrasi dalam bekerja, sehingga mereka tidak
mampu (incapable) dalam menjalankan tugas secara baik.
2.
Mentalitas Masyarakat
b.
c.
Adapun struktur merupakan kerangka yang dipergunakan sebagai tata aliran proses
bagaimana kultur itu bisa diterapkan dan diwujudkan dalam suatu pemerintahan
itu. Kultur dalam lembaga pemerintahan seringkali muncul dan dipakai adalah
kultur yang menjamin kebiasaan asal bapak senang ABS, kultur yang membiasakan
partisi[pasi rakyat yang menjamin kebiasaan demokrasi dan responsive. Inilah yang
harus dipilih dalam strategi pembaharuan kelembagaan. Sebagaimana yang
dikatakan oleh (Mifta, 2004) bahwa kita harus menumbuhkan kultur yang
demokratis, responsive, partisipatif dan terbuka. Hal ini akan bisa melahirkan tata
kepemerinthan yang baik.
Jika kultur telah dipilih maka struktur tinggal mewadahi dalam kerangka yang
sesuai. Untuk menyusun struktur ini maka leverage point diatasmulai
dipertimbangkan, misalnya perubahan sistem politik yang terjadi dalam lingkungan
strategis nasional dan krisis moneter yang melanda Negara selama ini.
Dengan mempertimbangkan perubahan sistem politik dan krisis tersebut maka
dapat disusun kerangka kelembagaan birokrasi pemerintah. Penyusunan tersebut
meliputi tata hubungan antara jabatan-jabatan tersebut didasarkan ketentuan
perundangan yang demokratis, objektif, transparan dan sistem merit. Olehnya itu
birokrasi merupakan sistem penyelenggaran pemerintahan yang dijalankan
pegawai negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan. Birokrasi adalah
struktur organisasi digambarkan dengan hirarki yang pejabatnya diangkat atau
ditunjuk, garis tanggungjawab dan kewenangan diatur oleh peraturan yang
diketahui ( termasuk sebelumnya), dan justifikasi setiap keputusan membutuhkan
referensi untuk mengetahui kebijakan yang pengesahaanya ditentukan oleh
pemberi mandat diluar struktur organisasi itu sendiri.
Organisasi adalah organisasi yang memiliki jenjang, setiap jenjang diduduki oleh
pejabat yang ditunjuk/diangkat disertai aturan tentang kewenangan dan tanggung
jawabnya, dan setiap kebijakan yang dibuat harus diketahui oleh pemberi mandate,
pada sector swasta adalah para pemegang saham, pada sector publik adalah
rakyat.(sedarmayanti, 2009)
C.
1.
Aliansi, mensinergikan seluruh actor yaitu, pmerintah, dunia usaha dan
masyarakat dalam tim solid.
2.
Menyempurnakan sistem kelembagaan yang efektif, ramping, fleksibel
berdasar prinsip good governace.
3.
4.
5.
Restrukturisasi: tindakan merubah struktur yang dipandang tidak sesuai
dengan tuntan zaman dan tidak efektif lagi dalam memajukan lembaga (organisasi).
Menata ulang kemabli kelembagaan pemerintah, membangun organisasi sesuai
tuntutan kebutuhan.
6.
Reorientasi: mendefinisikan kembali visi, misi, peran, strategi, implementasi
dan evaluasi kelembagaan pemrintah.
7.
Menerapkan strategi organisasi, struktur lembaga (organisasi) yang efektif,
efisien, rasional dan proporsional.
8.
9.
Refungsionalisasi: tindakan/upaya memfungsi kembali yang sebelumnya tidak
atau belum berfungsi
10. Revitalisasi: upaya member tambahan energy/daya kepada lembaga
(organisasi) agar dapat mengoptimalkan kinerja organisasi.
Dari beberapa uraian tersebut di atas, dengan melihat perkembangan yang
terjadi dalam struktur kelembagaan baik pusat maupun daerah, maka sudah
seyogyanya pemerintah tidak lagi memiliki alasan untuk melakukan penataan
kelembagaan secara parsial, tetapi harus holistik atau menyeluruh dengan
menggunakan konsep dan prinsip-prinsip good governace dalam bingkai reformasi
administrasi.
Kita ketahui, dalam birokrasi terdapat berlapis-lapis tingkatan dari bawah keatas
mulai dari staf seksi, bagian, biro dan seterusnya sehingga ada jabatanjabataneselon. Hal seperti ini juga dapat mengurangi pesan optimal birokrasi,
karena :
1.
2.
Timbul ekonomi biaya tinggi baik pada instansi birokrasi itu sendiri maupun
pada pengguna jasanya.
3.
4.
Terjadi proses kerja yang top down dan budaya minta petunjuk dari bawahan
keatasan.
Penataan kelembagaan yang harus dilakukan adalah bagaimana membuat struktur
organisasi ramping dan flat(tidak banyak hirarki dan struktur organisasi lebih
dominan pemegang jabatan professional/fungsional dari pada jabatan struktural.
Olehnya itu, untuk dapat mereformasi sikap mental dan memperbaiki kondisi sistem
kerja birokrasi pemerintah ada tiga hal yang pokok perlu dilakukan sebagaimana
yang dikatakan oleh Budi setiyono (2012).
Faktanya, ada lembaga maupun daerah yang telah maju dengan reformasinya,
sebagian masih biasa saja dan banyak juga yang tertinggal. Seharusnya, kebijakan
reformasi birokrasi bergantung pada sejauh mana mereka telah melaksanakan
reformasi di institusinya.
Demikian menurut mantan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), Prof. Agus
Dwiyanto, dalam paparannya pada diskusi panel bertema Masa Depan
Kelembagaan dan Kepemimpinan Reformasi Birokrasi Nasional: Perubahan dan
Kesinambungan.
Di sisi lain, Agus juga berharap Kementerian PAN-RB memiliki pemikiran baru.
Sebagai leading agency, Kementerian PAN-RB harus memiliki reform minded, dan
hilangkan sifat inward looking, empire building, group think.
Senada dengan itu, Mantan Wamen PAN-RB, Prof. Eko Prasojo juga menyebutkan
kendala dan tantangan RB, yakni masih kuatnya ego sektoral, resistensi kelompok
status quo, rendahnya kualitas pimpinan, besarnya kesenjangan keahlian antar
lembaga, dan keterbatasan anggaran.
Sementara di level daerah, kendala RB erat kaitannya dengan politik lokal. Seperti
disampaikan oleh Wakil KASN, Irham Dilmy dalam paparannya. Disebutkan bahwa
kepala daerah kerap memanfaatkan birokrasi untuk kepentingan politis di daerah.
Kepala daerah terpilih tidak jarang melakukan balas budi dan balas dendam.
Ungkap Irham.
Selain dihadiri oleh utusan dari para pemangku kepentingan reformasi birokrasi di
tingkat pusat, Jambore RB juga dihadiri oleh perwakilan-perwakilan daerah
terutamadari 8 daerah yang menjadi pilot program Komponen CSO Engagement
RTRC Kemitraan yaitu Kabupaten Jayapura (Papua), Kota Mataram (NTB), Kota
Banda Aceh (DI Aceh Darussalam), Kota Makasar dan Kabupaten Maros (Sulawesi
Selatan), Kota Semarang dan Surakarta (Jawa Tengah), Kota Bandung dan
Kabupaten Sumedang (Jawa Barat), Kota Pontianak dan Kabupaten Kayong Utara
(Kalimantan Barat), Kota Surabaya dan Kabupaten Malang (Jawa Timur).
.BIROKRASI, REFORMASI BIROKRASI, DAN TUJUAN REFORMASI BIROKRASI Secara
harfiah, birokrasi berasal dari kata bureau yang berarti meja atau kantor; dan kata
kratia (cratein) yang berarti pemerintah/rakyat. Pada mulanya, istilah ini
digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau
diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi. Dalam konsep
bahasa Inggris secara umum, Birokrasi disebut dengan civil service. Selain itu
juga sering disebut dengan public sector, public service, atau public administration.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, birokrasi adalah: (1) sistem pemerintahan
yang dijalankan oleh pegawai pemerintah yang berpegang pada hierarki dan
jenjang jabatan; (2) cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta
menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya. Max Weber,
menyatakan bahwa birokrasi merupakan organisasi formal bersifat hierarki, yang
ditetapkan oleh aturan-aturan legal rasional untuk mengoordinasikan pekerjaan
orang-orang untuk kepentingan pelaksanaan tugas administrasi agar mencapai
tujuan dengan lebih efektif dan efisien. Ciri birokrasi ialah adanya sebuah
pembagian kerja secara hierarkis dan rinci yang didasarkan pada aturan-aturan
tertulis yang diterapkan secara impersonal, yang dijalankan oleh staff yang bekerja
full time, seumur hidup dan professional, yang sama sekali tidak turut memegang
kepemilikan atas alat-alat pemerintahan atau pekerjaan, maupun keuangan
jabatannya. Mereka hidup dari gaji dan pendapatan yang diterimanya dan tidak
didasarkan secara langsung atas dasar kinerja mereka. Kemudian apabila dikaitkan
dengan Reformasi, kata Reform menurut Oxford Advanded Learners Dictionary
adalah change that is made to a social system, an organization, etc. in order to
improve or correct it. Rumusan tersebut menggambarkan bahwa pada dasarnya
reformasi adalah mengubah, meningkatkan, memperbaiki atau membuat sesuatu
menjadi lebih baik dari sesuatu yang sudah ada. Menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia, reformasi adalah perubahan radikal untuk perbaikan (bidang sosial,
politik, atau agama) di suatu masyarakat atau negara. Menurut Weber sebagaimana
dikutip Setiyono, RB merupakan upaya-upaya strategis dalam menata kembali
birokrasi yang sedang berjalan sesuai prinsip-prinsip span of control division of
labor, line and staff, rule and regulation, and professional staff.Reformasi birokrasi
merupakan perubahan (transformasi) yang terencana, yang berfokus pada
perubahan kelembagaan yang berdampak pada perubahan ketatalaksanaan dan
kultur birokrasi. Sedangkan menurut Eko Prasojo, pada dasarnya, konsep reformasi
birokrasi merupakan suatu kegiatan penataan terhadap sistem penyelenggaraan
pemerintahan agar tercapai suatu tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance). Bentuk reformasi birokrasi di negara berkembang yang pada
umumnya dilakukan melalui dua strategi, yaitu: (1) merevitalisasi kedudukan, peran
dan fungsi kelembagaan yang menjadi motor penggerak reformasi administrasi, (2)
menata kembali sistem administrasi negara baik dalam hal struktur, proses, sumber
daya manusia serta relasi antara negara dan masyarakat.Sedangkan secara umum
tujuan reformasi birokrasi adalah membangun aparatur negara yang efektif dan
efisien serta membebaskan aparatur negara dari praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) dan perbuatan tercela lainnya agar birokrasi pemerintah mampu
menghasilkan dan memberikan pelayanan publik yang prima. Sederhananya, RB
dimaknai sebagai suatu perubahan terencana guna menciptakan good governance.
Di Indonesia, isu tentang RB masih terus diperbincangkan di banyak kesempatan
dan oleh berbagai kalangan, baik dalam forum seminar, sidang kabinet sampai
rapat-rapat dinas di tingkat pemerintah daerah, bahkan secara terbuka dan meluas
di media massa. Namun sampai saat ini nampaknya belum ada suatu formula RB
yang tepat untuk dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi
pemerintah kita saat ini, atau dapat dikatakan kita sedang mencari bentuk ideal
dari RB itu sendiri. D.KEGAGALAN REFORMASI BIROKRASI Birokrasi sebagai suatu
sistem yang dijalankan oleh manusia, akan berkembang sesuai dengan perilaku
manusia yang menjalankannya. Dengan demikian wujud birokrasi merupakan
cerminan dari para pengelolanya. Sehingga, walaupun upaya reformasi birokrasi
dilakukan melalui pendekatan yang sama, namun hasil tidak selalu sama pada
setiap negara. Hal ini disebabkan kuatnya pengaruh sosial budaya masyarakat
terhadap birokrasi, meskipun di beberapa negara justru birokrasi dapat
mengintervensi perilaku dan kultur individu. Yang menjadi masalah adalah yaitu kita
belum dapat menemukan ukuran sejauhmana reformasi birokrasi itu dianggap
berhasil atau gagal. Syarat keberhasilan suatu reformasi birokrasi bukanlah sekedar
perubahan dalam tataran sistem dan struktur birokrasi saja, namun harus meliputi
perubahan perilaku dan budaya pejabat publik dan masyarakat pada umumnya.
Disisi lain, pemerintah harus dapat menciptakan stabilitas politik agar proses
reformasi dapat berjalan dengan efektif, yaitu dengan menciptakan birokrasi yang
profesional dan netral dari pengaruh politik. Dari 8 (delapan) area perubahan
sebagaimana dikemukakan di atas, penulis berpendapat bahwa area-area yang
gagal di-reform, adalah sebagai berikut: 1.Organisasi Dapat dikatakan bahwa
organisasi pemerintahan belum tepat fungsi dan tepat ukuran. Hal ini dapat
ditandai dengan masih banyak satuan-satuan kerja dalam organisasi yang
jumlahnya lebih banyak dan lebih besar daripada fungsi yang harus dijalankannya,
atau istilahnya kaya struktur-miskin fungsi. Struktur-struktur yang dibentuk,
hanyalah akal-akalan untuk membagi-bagi kue kekuasaan dalam jabatan-jabatan
tertentu, sedangkan urgensinya masih dapat dipertanyakan. Permasalahan
organisasi bukan hanya pada jumlah PNS yang terlalu banyak, tetapi juga pada
disparitas atau ketidakmerataan yang terjadi. Memang ciri ini tak dapat dilepaskan
dari kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, yang membuat
diversitas (keberagaman) dan disparitas (ketidakmerataan) kian kentara. Disparitas
dalam manajemen birokrasi di Indonesia bukan hanya dari sisi jumlah SDM-nya,
tetapi juga kompetensi, dan kemampuan dukungan anggaran. Banyak lagi SDM
yang memiliki kompetensi, kemampuan, dan keterampilan namun diberikan jabatan
yang tidak sesuai bahkan tidak sedikit pula SDM yang tidak memiliki kompetensi
apa-apa namun diberikan tanggung jawab atau kewenangan. Dari aspek beban
kerja, banyak satuan kerja yang secara beban kerja seharusnya dikerjakan oleh
banyak SDM, namun justru SDM yang ditempatkan di satuan kerja tersebut sedikit,
tidak sesuai dengan beban kerjanya, sehingga hasil program kerja tidak optimal.
Sebaliknya, banyak juga satuan kerja yang secara beban kerja tidak memerlukan
banyak SDM, namun jumlah SDM-nya melimpah ruah, sehingga banyak yang
menganggur dan tidak mengerjakan apa-apa. Hal ini terjadi karena organisasi yang
dibentuk tidak sesuai dengan kebutuhan dan tidak mempertimbangkan fungsifungsi yang akan dilaksanakannya. 2.Peraturan Perundang-undangan Terdapat
permasalahan klasik terkait peraturan perundang-undangan, yaitu masih
banyaknya peraturan perundang-undangan, khususnya di bidang aparatur negara,
yang tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, dan multitafsir. Sedikit banyak, hal ini
merupakan implikasi dari pembagian kewenangan yang kurang jelas kepada
institusi-institusi yang menangani masalah aparatur negara. Dapat kita ambil
memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya, seperti pendidikan dan kesehatan. Namun
kenyataannya kualitas pelayanan publik dirasa belum membaik. Karena dirasakan
langsung oleh masyarakat, maka masyarakat dapat menilai langsung bagaimana
pemerintah melalui institusi-institusi terkait melaksanakan pelayanan publik.
Pelayanan publik erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, dari
pagi hingga malam hari. Kita dapat ilustrasikan sebagai berikut: Mulai dari sektor
transportasi di pagi hari. Keberadaan bus Transjakarta atau kereta Commuterline
yang dibungkus dalam bentuk badan layanan umum (BLU) pun tidak sekeren
namanya. AC mati, sering terlambat, armada tidak memadai. Siang hari mengurus
perpanjangan SIM, maka luar biasanya antrenya, kecuali melewati jalur istimewa
bagi yang memiliki akses berlebih. Menjelang sore, ketika mendaftar pernikahan ke
KUA maka biaya administrasi menunggu. Malam hari kembali ke rumah, melewati
sepanjang jalan protokol, ternyata lampu penerangan jalan tak ada satupun yang
menyala. Dari ilustrasi sederhana tersebut, dapat dengan mudah kita ukur sejauh
mana pelayanan publik yang sudah diberikan pemerintah kepada masyarakat.
Pelayanan publik yang prima dalam arti pelayanan yang cepat, tepat, adil, dan
akuntabel, ditandai oleh pelayanan tidak berbelit-belit, informatif, akomodatif,
konsisten, cepat, tepat, efisien, transparan dan akuntabel, menjamin rasa aman,
nyaman, dan tertib, kepastian (persyaratan biaya waktu pelayanan dan aturan
hukum), dan tidak dijumpai pungutan tidak resmi, dapat dikatakan belum
sepenuhnya terwujud. Pelayanan publik belum dapat mengakomodasi kepentingan
seluruh lapisan masyarakat dan belum memenuhi hak-hak dasar warga
negara/penduduk. Penyelenggaraan pelayanan publik belum sesuai dengan
harapan bangsa berpendapatan menengah yang semakin maju dan persaingan
global yang semakin ketat. 5.Pola Pikir (Mindset) dan Budaya Kerja Penulis
berpendapat bahwa pola pikir dan budaya kerja birokrat belum sepenuhnya
mendukung birokrasi yang efisien, efektif dan produktif, dan profesional. Selain itu,
birokrat belum benar-benar memiliki pola pikir yang melayani masyarakat, belum
mencapai kinerja yang lebih baik (better performance), dan belum berorientasi
pada hasil (outcomes). Sistem birokrasi di Indonesia sudah mengakar kuat,
termasuk kaitannya dengan pola pikir dan budaya kerja yang sudah tertanam
dalam diri birokrat sejak lama, membuatnya sulit diubah. Adagium populer yang
berlaku sejak lama bagi seorang PNS di republik ini antara lain yaitu PGPS=Pinter
Goblok Penghasilan Sama yang tergabung dalam Brigade 804 (datang jam 8,
kinerja 0, pulang jam 4) sedikit banyak menggambarkan birokrasi kita. Bukan
rahasia lagi apabila terdapat sindiran berupa: Buat apa kita capek-capek mikirin
kerjaan, lha wong dia yang kerjanya seharian main catur aja penghasilannya sama
dengan kita!. Ada pula yang selalu menyalahkan sistem birokrasi yang telanjur
dianggap bobrok sehingga seorang birokrat tinggal mengikuti sistem yang ada.
Sikap perilaku seperti itu sedikit banyak telah tertanam dalam diri birokrat kita,
yang berimplikasi pada kinerja yang dihasilkan menjadi buruk. Banyak sintesa,
walaupun belum terbukti kebenarannya, yang menyatakan budaya kerja yang buruk
yang dilakukan oleh birokrat disebabkan karena mereka digaji terlebih dahulu
sebelum bekerja, lain halnya misalnya dengan swasta atau korporasi dimana
seseorang harus bekerja terlebih dahulu baru dibayar. Pemberian tunjangan kinerja
(remunerasi) memang sedikit memperbaiki pola pikir dan budaya kerja birokrasi,
namun karena sifatnya parsial dan belum merata (di seluruh institusi pemerintah),
maka pola pikir dan budaya kerja yang buruk masih sangat banyak ditemukan
dalam tubuh birokrasi kita.Setelah ramai pemberitaan mengenai rekening gendut
kepolisian, kini muncul kasus rekening gendut pegawai negeri sipil (PNS) berusia
muda. Akibatnya, menurut sebagian kalangan, kebijakan remunerasi dan reformasi
birokrasi yang digaungkan pemerintah untuk menekan dan mengatasi masalah
korupsi di Kementerian/Lembaga dinilai telah gagal. E.KEBERHASILAN REFORMASI
BIROKRASI Rasanya tidak cukup adil, apabila usaha-usaha yang telah dilakukan
pemerintah untuk melakukan bureaucracy reform nirapresiasi. Berdasarkan
pertimbangan seobjektif mungkin, penulis berpendapat bahwa 3 (tiga) dari 8
(delapan) area perubahan reformasi birokrasi dapat dikatakan cukup berhasil.
Berikut ulasannya: 1.Kelembagaan Sektor kelembagaan dapat dikatakan sebagai
area perubahan yang berhasil direalisasikan. Diawali oleh Kementerian Keuangan
yang telah melakukan restrukturisasi kelembagaan melalui perubahan,
pembentukan, dan penggabungan unit-unit kerjanya. Diikuti oleh Kemenpan RB
yang memangkas beberapa unit eselon I dan eselon II di lingkungannya. Demikian
halnya yang dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara dan Badan Kepegawaian
Negara, yang menghapus beberapa jabatan bahkan sampai tingkat eselon IV. Barubaru ini, ada 6 Kementerian/Lembaga yang mengusulkan restrukturisasi
kelembagaan yaitu Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Badan Pusat Statistik
(BPS), Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
dan Kementerian BUMN. Reformasi kelembagaan ini erat kaitannya dengantujuan
efisiensi pemerintahan, salah satunya dengan menekan belanja pegawai/pejabat
yang menduduki jabatan-jabatan tertentu. Dengan jumlah jabatan yang semakin
rasional, maka kinerja yang dihasilkan juga sejalan dengan beban yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Selain itu, efektivitas pun dapat terwujud, karena semakin
sedikitnya alur tata kerja yang ditempuh sebagai konsekuensi dari dihapusnya
jabatan-jabatan tertentu dalam organisasi. Puncaknya adalah ketika pemerintah
menghapuskan (gabung atau bubar) 10 (sepuluh) Lembaga Non Struktural
(LNS)yang keberadaannya dianggap ada dan tiada. Alasan lain pembubaran atau
penggabungan LNS yaitu karena tugas dan fungsinya tumpang tindih dengan
lembaga lain, lembaganya sudah tidak aktif, bahkan ada yang belum pernah
dibentuk. Adapun LNS yang digabungkan atau dibubarkan antara lain adalah Komisi
Hukum Nasional (KHN) serta P3D dialihkan ke Kementerian Hukum dan HAM, Dewan
Buku Nasional (tugas dan fungsinya dialihkan ke Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan), Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional (DEPANRI) yang tugas
dan fungsi perumusan kebijakannya dialihkan ke Kementerian Riset dan Teknologi,
dan beberapa LNS yang lain. 2.Tata Laksana Tata laksana erat kaitannya dengan
manajemen organisasi. Awalnya, Kementerian Keuangan telah memberikan contoh
perubahan ketatalaksanaan dengan membuat ribuan Standard Operating Procedure
(SOP) sebagai pedoman untuk menghilangkan red tape practicesdalam pelaksanaan
tugas dan fungsinya, yang kemudian diikuti oleh institusi-institusi lainnya. Saat ini,
ketatalaksanaan aparatur pemerintah disederhanakan, ditandai oleh mekanisme,
sistem, prosedur, dan tata kerja yang tertib, efisien, dan efektif, melalui pengaturan
ketatalaksanaan yang sederhana. Adagium populer kalau bisa diperlambat, kenapa
harus cepat? perlahan memudar. Standar operasi, sistem, prosedur, mekanisme,
tata kerja, hubungan kerja dan prosedur kerja dituangkan dengan jelas bahkan
dibungkus dengan aturan formal. Proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
evaluasi dan pengendalian dilakukan dengan seksama. Penerapan perkantoran
elektronis dan pemanfaatan teknologi informasi (e-government) juga mulai banyak
dipraktekkan. Beberapa yang populer antara e-LPSE untuk pengadaan barang dan
jasa, SAPK untuk pelayanan kepegawaian, pelayanan imigrasi online, dan lain
sebagainya. Birokrasi kian ditata menjadi efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan
hemat. Paperless principe yang lazim digunakan di perusahaan swasta juga banyak
di-adopt oleh birokrasi kita. Fenomena lain yang juga menarik ialah banyaknya unit
organisasi pemerintah yang mempunyai potensi penerimaan keuangan negara,
yang statusnya didorong menjadi unit korporatisasi dalam bentuk Badan Layanan
Umum (BLU), BHMN, BUMD, Perum, Persero, UPT, UPTD, atau bentuk lainnya. 3.SDM
Aparatur Profesionalisme SDM aparatur yang didukung oleh sistem rekrutmen dan
promosi aparatur yang berbasis kompetensi, transparan, dan mampu mendorong
mobilitas aparatur antardaerah, antarpusat, dan antarapusat dengan daerah, serta
memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan diharapkan
dapat dicapai dari reformasi di sektor ini. Penulis berpendapat, di area SDM
Aparatur perubahan demi perubahan telah banyak dilakukan. Diawali dari sistem
rekrutmen yang relatif bersih dan minim (karena belum dapat dikatakan bebas) dari
KKN, yang telah dimulai sejak medio 2000-an.Dewasa ini, dengan memanfaatkan
kemajuan teknologi informasi, rekrutmen calon birokrat bahkan dilakukan dengan
menggunakan komputer sebagai alat bantu (computer assisted test), sehingga
tidak dapat direkayasa. Hal ini semata-mata dilakukan untuk mendegradasi
kemungkinan kecurangan, penyimpangan, manipulasi, maupun tindak KKN dalam
pelaksanaan rekrutmen. Kemudian pengangkatan dalam jabatan berdasarkan
prinsip meritokrasi. Siapa yang kompeten, dia yang diangkat. Diperkuat lagi dengan
alat bantu assessment center, untuk dapat mengukur layak atau tidaknya
seseorang menduduki suatu jabatan. Yang paling aktual, adalah pengangkatan
jabatan menggunakan sistem open bidding atau lelang jabatan, yang jauh hari
sebelum Jokowi-Ahok mempopulerkannya, Pemerintah Kabupaten Jembrana telah
lebih dahulu melakukannya. Melalui open bidding, dibuka akses seluas-luasnya
kepada siapa saja yang kompeten, untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu
dalam birokrasi. Selanjutnya perihal disiplin dan kinerja. Pemerintah telah mengatur
secara tegas kewajiban dan larangan yang mesti dipatuhi oleh setiap birokrat,
termasuk hukuman-hukumannya. Efeknya, kasus-kasus pelanggaran disiplin yang
dilakukan oleh birokrat pun semakin berkurang. Kinerja birokratpun kian
diperhatikan. Seperti halnya karyawan di sektor swasta, birokrat kita diwajibkan
menetapkan sasaran kinerja setiap tahunnya. Target-target yang telah ditetapkan
akan dievaluasi, dan hasilnya digunakan sebagai bahan pembinaan karir birokrat
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/babaenzo/menakar-keberhasilan-dankegagalan-reformasi-birokrasi_54f76a10a3331177358b47f4
\
Hal ini terjadi karena teknologi baru menyebabkan biaya produksi menurun
signfikan dan perusahaan juga dapat melakukan produksi dalam skala besar
(economies of scale) di dalam pasar tanpa pesaing. Namun pasar monopoli ini
bersifat sementara, karena perusahaan tersebut akan diimitasi oleh perusahaanperusahaan lain yang kemudian akan menyebabkan pasar yang awalnya tanpa
pesaing lambat laun akan penuh dengan para pesaing sehingga monopoly profit
akan dengan segera kembali ke normal profit sebagaimana pada pasar persaingan
sempurna. Kondisi ini kemudian akan terus berulang kembali.
Masalah Kelembagaan
Konsep inovasi Schumpeter ini ternyata tidak sepenuhnya benar. Karena tidak
semua inovasi selalu menemukan hal baru dan membuat pasar baru sehingga
selalu menciptakan pasar monopoli. Richard Nelson dari Universitas Columbia
mengkritik konsep inovasi Schumpeterian tersebut. Nelson mengatakan bahwa
inovasi juga terjadi secara incremental yakni inovasi karena ada perubahan kecil
secara berkesinambungan tanpa harus selalu menemukan teknologi yang benarbenar baru dan menciptakan pasar monopoli baru.
Ada proses learning by doing dan learning by research yang konsisten. Konsep
seperti ini diimplementasikan juga oleh Korea Selatan dengan konsepnya yang
terkenal from imitation to innovation. Melalu proses duplicative imitation kemudian
creative innovation, Korea Selatan melangkah dengan mantab menciptakan Sistem
Inovasi Nasional yang mampu mengantarkan negara tersebut dalam waktu sangat
cepat menjadi salah satu negara paling kompetitif di bidang teknologi informasi.
Fakta ini menunjukkan bahwa menciptakan perangkat sistem inovasi nasional yang
kredibel adalah prioritas kebijakan yang harus diambil. Namun demikian, seringkali
kita mendengar perdebatan masalah kebijakan inovasi teknologi berkutat hanya
pada masalah kelangkaan modal manusia dan modal finansial.
Tapi fokus pada hal-hal tersebut saja masih kurang lengkap. Ada faktor lain yang
sering kali dilupakan yakni faktor institusional atau kelembagaan. Penulis menduga,
Apa yang dimaksud dengan faktor institusional? Douglass Cecil North peraih Nobel
Ekonomi tahun 1993 mendefinisikan institusional sebagai rule of the game in the
society. Kalangan Institutionalist meyakini bahwa masalah daya saing dan
kemampuan sebuah perusahaan/negara untuk bisa atau tidak bisa membuat
terobosan kemajuan sangat tergantung sejauh mana rule of the game di
masyarakat itu ditegakkan.
Karena tanpa itu, menurut Douglass North akan selalu muncul apa yang disebut
dengan biaya transaksi (transaction cost) yang akan membuat ekonomi tidak efisien
dan menciptakan high cost system di sektor mana pun. Dalam konteks Indonesia,
transaction cost bisa terjadi karena penegakan hukum yang lemah, regulasi yang
kurang jelas dan implementasi yang tidak konsisten, kurangnya proteksi terhadap
HAKI, perilaku rent-seeking yang marak di birokrasi - pemerintahan pusat dan
daerah, tata kelola yang buruk dan perilaku korupsi yang sistematik. Semua faktor
ini akan merusak pranata sistem inovasi nasional yang akan dibangun.
Ada studi yang cukup menarik dari Mungiu-Pippidi (2014) dalam The Anticorruption
Report yang mengkonfirmasi tesis di atas. Dia meneliti hubungan antara
pengendalian korupsi dengan:
Dari hasil tudi tersebut didapatkan bahwa pengendalian korupsi terbukti berkorelasi
erat dengan nomor (1), (2) dan (3) berturut-turut sebesar 0,84, 0,85 dan 0,9.
Laporan ini membuat kesimpulan bahwa masalah institusional seperti pengendalian
korupsi memiliki pengaruh besar dalam mendorong kapasitas inovasi nasional.
Agenda Prioritas
Membaca laporan tersebut di atas, penulis jadi teringat dengan buku yang sedang
populer di jagad ilmu ekonomi dunia saat ini yakni Why Nations Fail: The Origins of
Power, Prosperity and Poverty (2012) yang ditulis oleh duo Profesor dari MIT dan
Harvard yakni Acemoglu dan Robinson.
Oleh karena itu sudah saatnya kita menempatkan masalah institusional ini sebagai
isu sentral pembangunan nasional. Perlu ada upaya yang benar-benar serius untuk
menangani masalah ini. Dengan memperbaiki permasalahan institusional kita,
penulis yakin Sistem Inovasi Nasional yang kredibel akan dengan mudah kita
wujudkan.