Anda di halaman 1dari 25

Reformasi Kelembagaan Menuju Efisiensi Pelayanan Pemerintah

Posted on April 2, 2008 by alisjahbana08


Dr. Ir. Alisjahbana, MA
Abad 21 ditandai dengan globalisasi yang merambah hampir semua aspek
kehidupan manusia. Revolusi dalam bidang teknologi informasi semakin
mempercepat kecenderungan ini. Dunia kita menjadi begitu kecil. Manusia abad 21
telah terkoneksi secara global, melintasi batas ruang dan waktu.Namun globalisasi
itu tidak berlangsung begitu saja. Dia membawa perubahan besar dalam pola
kehidupan manusia. Tidak terkecuali dalam manajemen pemerintahan. Globalisasi
tak lepas dari kompetisi dunia global yang makin keras, yang mensyaratkan
peningkatan daya saing. Pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan yang
lebih baik kepada setiap stakeholdernya. Efisiensi menjadi penting. Terminologi
Better, Cheaper, Faster, Easier pun menjadi jargon utama.Efisiensi dalam
pelayanan menjadi modal utama guna memenangkan kompetisi tersebut,
utamanya dalam menggaet investor. Namun hal ini tampaknya kurang disadari
betul oleh aparatur birokrasi. Sampai sejauh ini, ragam layanan yang diberikan
pemerintah masih belum memenuhi harapan, baik masyarakat maupun para
penanam modal.Tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri pernah
mengeluhkan kinerja birokrasi yang dipimpinnya, yang belum juga berubah secara
signifikan. Birokrasi Indonesia masih bekerja seperti yang biasa dikerjakan selama
ini: lamban bertindak dan lamban memproses sesuatu yang pada akhirnya lamban
mengambil keputusan, boros waktu, dan tidak efisien (Kompas, 26/5/2006).

Bahkan, survei yang dilakukan The Political and Economic Risk Consultacy Ltd,
Indonesia menduduki peringkat kedua terburuk dalam hal birokrasi berinvestasi.
Hasil survei menunjukkan, berinvestasi di Indonesia harus melalui prosedur yang
panjang sehingga membutuhkan dana dan biaya yang besar. Indonesia hanya lebih
baik dari India. India dinilai sebagai negara dengan birokrasi terburuk dengan nilai
8,95, sedangkan Indonesia memperoleh nilai 8,20 (Kompas, 2/7/2005).

Di tengah kondisi demikian, birokrasi kita bukannya menutup mata dan tak
bergeming dari realita itu. Beragam inovasi dan kebijakan telah pula dihasilkan
guna meningkatkan kinerja pelayanan mereka. Anehnya, meskipun reformasi
pemerintahan telah bergulir selama delapan tahun, citra tentang birokrasi
ambtenaar masih belum juga berubah. Alhasil, karut marut birokrasi yang terus
berkembang mengantarkan kita pada satu kesimpulan: ada yang kurang pas
dengan reformasi birokrasi Indonesia selama ini.
Dosa Birokrasi

Salah satu penyebab lemahnya kinerja pelayanan publik terjadi karena birokrasi kita
tenggelam dalam paradigma pelayanan yang mereka buat sendiri, yang justru
cenderung mengabaikan aspirasi publik sebagai obyek pelayanan itu sendiri. Dus,
wajah buram pelayanan publik pun, layaknya konsep dosa perencana
pembangunan dari Ul Haq, menjadi dosa birokrasi.

Padahal, belum optimalnya peran pemerintah dalam memberikan pelayanan yang


paripurna berakibat pada minimnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Selain itu, kemiskinan yang terus melembaga juga tak dapat dilepaskan dari
terhambatnya akses pelayanan yang seharusnya ikut dinikmati dan dimanfaatkan
oleh warga yang berdiam di kantong-kantong kemiskinan.

Ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya kondisi ini. Pertama, masalah
kelembagaan dan manajemen pelayanan. Sampai sejauh ini, belum ada
kesepakatan tentang pelembagaan fungsi pemerintah serta kriterianya. Akibatnya,
terjadi kekaburan tugas dan tanggung jawab instansi pemerintah. Inefisiensi,
kelambatan, ketidakmerataan pelayanan dan fasilitas sosial, overhead cost yang
tinggi, serta ketidakpastian biaya yang harus dikeluarkan masyarakat menjadi
fenomena umum.

Kedua, masalah profesionalisme dalam sikap, managerial, teknis dan administratif.


Masalah-masalah ini berdampak pada perilaku aparat yang lambat, terutama dalam
mengikuti perkembangan teknologi, e-governement, paperless, efisiensi kerja, serta
pola kerja yang kompetitif. Pemerintahpun cenderung sulit untuk menggerakkan
partisipasi masyarakat serta menciptakan iklim yang kondusif guna merangsang
peran swasta dalam penyediaan pelayanan yang tidak dapat dipenuhi sendiri oleh
pemerintah.

Ketiga, masalah keuangan pemerintah. Pemerintah memiliki keterbatasan sumber


pendapatan dalam membiayai pelayanan dan pembangunan secara menyeluruh.
Pemerintah pun dipaksa untuk mencari solusi alternatif. Salah satunya melalui
peningkatan partisipasi dan kerjasama dengan pihak swasta dalam pengadaan
pelayanan. Untuk itu dibutuhkan sikap birokrasi yang proaktif dan bukannya reaktif,
yang masih merupakan kecenderungan perilaku birokrasi saat ini.

Keempat, masalah radius pelayanan. Banyaknya jenis pelayanan, terutama di


kota/daerah yang sulit dibatasi secara administrasi pemerintahan, pada akhirnya
menyulitkan administrasi pelayanan dan koordinasi pembangunan. Untuk itu
diperlukan kerjasama antar daerah dalam rangka pengelolaan berbagai pelayanan
yang ada sehingga manfaatnya bisa dirasakan bersama.
Pembaruan Birokrasi

Dalam praktiknya, empat masalah di atas dapat diantisipasi melalui reaktualisasi


pemerintahan, utamanya di tingkat daerah, dengan strategi penguatan pemerintah
daerah yang tepat. Strategi penguatan tersebut bermanfaat dalam mempercepat
proses sustainabilitas pemerintah daerah itu sendiri, yang mengurangi
ketergantungan daerah pada bantuan dari pemerintah pusat maupun propinsi.
Strategi ini dijalankan melalui reaktualisasi kewenangan daerah, restrukturisasi
kelembagaan pemerintah, reposisi dan relokasi personil yang cermat, penataan
manajemen keuangan, pemberdayaan DPRD sebagai fungsi kontrol eksekutif, dan
perbaikan manajemen pelayanan.

Dalam kerangka demikian, perampingan kelembagaan pemerintah menjadi


keniscayaan, meskipun reformasi kelembagaan itu bukan pekerjaan mudah.
Sebagai langkah awal, pemerintah perlu melakukan evaluasi kelembagaan
berdasarkan tugas-tugas yang diemban oleh dinas-dinas terkait. Evaluasi ini
diarahkan untuk melihat permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan tugas
kelembagaan tersebut. Beberapa permasalahan itu di antaranya: pertama, adanya
beberapa penugasan yang tumpang tindih, baik antar organisasi, maupun antara
satuan tugas organisasi. Kedua, terdapat ketimpangan antara volume kerja dengan
besaran struktur organisasi; ketiga, terdapat beberapa satuan organisasi yang
kurang didukung oleh sumber daya (aparat, anggaran dan sarana) yang sesuai
kebutuhan; dan keempat, koordinasi pelaksanaan tugas kurang optimal karena
belum adanya mekanisme kerja yang baku.

Berangkat dari empat permasalahan tersebut, penataan kelembagaan yang


dikembangkan oleh pemerintah daerah harus diletakkan dalam kerangka peran
pemerintah, yang terdiri atas fungsi pengaturan, pelayanan publik, dan
pemberdayaan, guna meningkatkan profesionalitas lembaga dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Penataan tersebut juga diwujudkan dalam model
subsidiarity, di mana masyarkat dilibatkan secara aktif dalam penyelenggaraan
pemerintahan.

Selain itu, penataan kelembagaan dilaksanakan juga untuk meningkatkan


efektivitas penyelenggaraan kewenangan pemerintah, dengan memperhatikan
kemampuan potensi daerah. Penataan itu dilakukan dengan jalan penguatan
organisasi di tingkat kecamatan, desa/kelurahan yang lebih banyak berinteraksi
langsung dengan masyarakat melalui pemberian kewenangan yang lebih besar
kepada camat.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemahaman pemerintah terhadap penataan
kelembagaan yang tidak dipahami sebatas penataan struktur semata, melainkan
juga sebagai pelembagaan jaringan kerjasama (networking) yang adaptif dalam
persoalan demokrasi. Model pemerintahan yang birokratis dan kaku disingkirkan. Di
samping mempermudah koordinasi, pemerintah daerah juga akan menjadi responsif
terhadap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.

Tindak lanjut dari keseluruhan hal di atas adalah penataan lembaga itu sendiri.
Perhatian utama diletakkan pada signifikansi tugas yang diemban organisasi berikut
ketimpangan antara volume kerja dengan besaran struktur organisasi. Karenanya,
perampingan bagi satuan organisasi yang volume kerjanya terlampau sedikit adalah
sebuah tuntutan logis, misalnya dari sub dinas menjadi seksi. Namun, tidak
menutup kemungkinan adanya pengembangan organisasi, misalnya dari kantor
menjadi badan. Selain itu, satuan organisasi yang lebih efisien berdiri sendiri dapat
dikembangkan menjadi organisasi perangkat daerah, seperti dari sub dinas menjadi
kantor. Pemerintah pun tidak perlu ragu untuk membentuk organisasi baru jika
memang terdapat tuntutan pelayanan fungsi baru dari pemerintah.

Pada akhirnya, keseluruhan penataan kelembagaan tersebut ditujukan untuk


membangun organisasi pemerintah daerah yang fleksibel, tahan banting dan
adjustable atas setiap perubahan situasi yang berkembang di masyarakat.
Organisasi itu nantinya diharapkan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap
berbagai tantangan dan permasalahan yang muncul kemudian, sekaligus mampu
melakukan lompatan ke depan untuk menjawab berbagai dinamika tersebut dan
mewujudkan tata pemerintahan yang efektif, aspiratif dan efisien.

Di sisi lain, reformasi kelembagaan tersebut berjalan beriringan dengan keharusan


untuk membangun ukuran kinerja birokrasi itu sendiri. Komitmen serta dukungan
yang tinggi dari para pengambil keputusan serta pembuat kebijakan di tubuh
birokrasi menjadi prasyarat mutlak. Dedikasi ini dilaksanakan secara bertahap, yang
dimulai dari institusi yang sudah cukup stabil, dalam arti tidak sedang dalam proses

perubahan ataupun pergantian personil. Transparansi pun diperlukan sebagai


jembatan informasi kepada seluruh stakeholder birokrasi, baik internal, apalagi
khalayak eksternal.

Partisipasi masyarakat tak boleh dikesampingkan. Setelah penguatan internal


dilakukan, birokrat perlu berdialog dengan masyarakat guna menyusun indikator
masing masing jenis layanan. Indikator ini tidak lepas dari faktor pembiayaan yang
dibutuhkan berikut sumber dana itu. Langkah ini ditindaklanjuti dengan sosialisasi
indikator secara mendetail hingga dipahami oleh publik. Tentu aja tolok ukur
penilaian kinerja itu harus yang tepat dan mudah dioperasionalkan. Semakin
sederhana alat ukurnya, semakin mudah pula implementasi dan evaluasinya.
Pemerintah pun secara transparan dan berkala harus menginformasikan hasil
implementasinya kepada publik. Dengan demikian, masyarakat dapat
menyampaikan komplainnya dengan terarah dan tepat sasaran. Melalui langkah
dialogis itu pula, para aparatur birokrasi kita tidak lagi terjebak ke dalam tujuh dosa
perencana pembangunan, sebagaimana yang dipaparkan oleh Ul Haq

BAB II
PEMBAHASAN

A.

Reformasi Kelembagaan

Pada sebuah lembaga (organisasi) dikenali tidak hanya sekedar dari tujuannya,
aturan mainnya dan bagannya saja. Namun jaringan hubungan imformal ikut
berpengaruh besar terhadap kegiatan setiap unit lembaga (organisasi) apapun
nama dan bentuknya. Apakah itu lembaga bisnis, lembaga sosial ataupun ia
lembaga publik. Yang pasti bahwa hubungan dalam lembaga (organisasi) , baik
dalam konteks formal maupun informal, mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang
besar dalam menentukan perilaku setiap anggotanya. Tentu fakta ini harus disadari
benar bagi setiap pembaharu lembaga (organisasi) dalam administrasi.
Oleh karena itu, Sharp dalam Budi Setiyono (2014: 141) mengatakan bahwa
lembaga (organisasi) adalah merupakan sekumpulan orang yang bekerja di
dalamnya untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam proses mencapai tujuan tersebut,
suatu lembaga (organisasi) seringkali berhadapan dengan berbagai macam
masalah, kendala, dan keterbatasan yang dapat menyebabkan mereka gagal,
kurang berhasil, atau bahkan bubar.
Maka untuk mengatasi masalah tersebut, dituntut pada setiap lembaga (organisasi)
untuk dapat menarik pembelajaran dari proses yang dialami dalam mencapai

tujuan: mengapa kurang berhasil, mengapa ada hambatan, apa penyebab


keterbatasan, siap bertanggung jawab atas kegagalan dan sebagainya. Dengan
demikian, diharapkan agar pada masa yang akan datang, lembaga (organisasi)
akan bisa memiliki kinerja lebih baik, lebih berhasil dan lebih dapat mencapai tujuan
yang diharapkan. Proses pembelajaran atas kegagalan untuk menuju perbaikan
inilah yang disebut sebagai organizational learning atau pembelajaran
organisasi.
Pada tataran inilah menurut Soesilo Zauhar (2012: 63) memandang
keanggotaan kelompok lembaga (organisasi) mempunyai kekuatan potensial yang
melebih potensi individual dalam menentukan perilaku bekerja, maka perhatian
sudah selayaknya difokuskan pada pemahaman dan perubahan perilaku kelompok
dari pada individual. Dalam setiap lembaga (organisasi), di dalamnya sudah pasti
hidup sekumpulan nilai, norma dan kultur, yang sudah barang tentu sangat berbeda
dengan nilai, norma dan kultur yang ada di lembaga (organisasi) di tempat lain.
Selanjutnya, bagaimana sifat kultur, norma dan nilai ini terhadap perilaku
lembaga (organisasi)? Apakah mendukung atau justru menghambat? Terkait dengan
ini, maka terdapat dua pandangan yang berbeda sebagaimana dikemukakan Milne
dan Cohen dalam Soesilo Zauhar (2012: 65), bahwa dalam pandangan Milne
menganggap kalau kultur yang dibawa oleh setiap anggota suatu lembaga
(organisasi) biasanya tidak begitu mendukung terhadap aktivitas lembaga
(organisasi) dan kebanyakan lembaga (organisasi) tidak mampu mengubah kultur
tersebut dalam rangka reformasi administrasi.
Namun sebaliknya, justru Cohen berkeyakinan bahwa walaupun kulturnya sama,
tetap perilaku di dalam lembaga (organisasi) dapat diubah dan dapat berbeda-beda.
Dengan pengalamannya mengelola sebuah lembaga (organisasi) di India,
berkesimpulan bahwa dengan pelatihan yang intensif, setiap unit lembaga
(organisasi) mampu mengatasi hambatan kultural untuk melakukan penataan
kelembagaan.
Menjadi pertanyaan, apakah ada sebuah mekanisme yang dapat memaksa
lembaga (organisasi) publik untuk memperbaiki diri dalam konteks kinerja maupun
produk yang mereka hasilkan? Budi setiyono menjawabnya ada (2014: 143), setiap
lembaga (organisasi) publik tentu harus selalu dapat memperbaiki diri dan
sekaligus membutuhkan indikator yang menentukan kesuksesan untuk mendorong
perbaikan dimaksud.
Kesuksesan lembaga (organisasi) dapat ditentukan oleh kriteria public value, yang
ditentukan oleh Indikator berupa: (1) terpenuhinya mandat dalam political
marketplace dan aspirasi pengguna jasa atau stakeholders. (2) terpenuhinya
rasionalitas teknis manajemen.
Agar dapat melaksanakan perbaikan secara secara terus-menerus atau
berkesinambungan, maka lembaga (organisasi) publik harus diwajibkan oleh

undang-undang supaya dapat menjalankan tugas yang sesuai dengan kriteria public
value itu pada satu sisi yaitu, lembaga (organisasi) publik harus selalu
memperhatikan suara rakyat yang diwakili oleh lembaga parlemen serta
memeperhatikan masyarakat pengguna jasanya.
Sementara di sisi yang lain, lembaga (organisasi) publik juga harus mampu
menjalankan tugas sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi sebagaimana yang
dikemukakan oleh A.M. Williams dalam Khaerul Umam (2012: 24-25) antara lain: (1)
Organisasi harus mempunyai tujuan yang jelas. (2) Prinsip skala hierarki. (3) Prinsip
kesatuan perintah. (4) Prinsip pendelegasian wewenang. (5) Prinsip pertanggung
jawaban. (6) Prinsip pembagian pekerjaan. (7) Prinsip rentang pengendalian. (8)
Prinsip fungsional. (9) Prinsip Pemisahan. (10) Prinsip keseimbangan. (11) Prinsip
fleksibilitas. (12) Prinsip kepemimpinan.

B. Faktor Yang Mempengaruhi Struktur Lembaga


Struktur Kelembagaan
Berbicara pada tataran struktur kelembagaan, maka sudah pasti kita tidak bisa
lepas dari struktur birokrasi. Dalam konteks lembaga pemerintahan di Indonesia,
sampai saat ini sebagian besar masih menggunakan struktur birokrasi weberian
yang sifatnya masih sangat hierarkis, terkotak-kotak pada satuan yang kecil,
sempit, gagal membangun interkoneksi yang efektif serta berorientasi pada control
dan prosedur yang berlebihan.
Struktur lembaga (organisasi) yang demikian itu, sering kali gagal dalam merespon
dinamika sosial dan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat secara wajar.
Kegagalan lembaga publik untuk merespon dinamika lingkungan sosialnya secara
wajar, kadang-kadang bahkan sering kali memndorong warga dan pemangku
kepentingan kebutuhan pelayanan cepat mencari jalan dengan cara-cara yang
kurang patut.
Menurut Agus Dwiyanto (2015: 167) bahwa salah-satu sumber kelemahan
lembaga pemerintah yang paling menonjol dan mendorong terjadinya transaksi
korupsi adalah struktur kelembagaan birokrasi yang salah karena sampai saat ini
masih mempertahankan struktur lembaga yang kental dengan Weberian, yang
sering menghalangi terjadinya interaksi mudah dan sederhana. Proses kerja dalam
lembaga pemerintah menjadi sangat kompleks dan panjang.
Dengan proses kerja yang panjang dan kompleks itulah, maka para pejabat
birokrasi dalam lembaga pemerintah terbuka peluang untuk menjual kekuasaan
mereka dan menukarkannya dengan resources lainnya dari warga masyarakat dan
pemangku kepentingan yang memiliki kebutuhan untuk menyuap. Dengan
demikian, struktur kelembagaan yang buruk dapat membuka dan mempermudah

terjadinya transaksi korupsi dengan mempertemukan antara aktor yang memilki


kesanggupan membayar pungli dan aktor pemburu rente.
Maka menjadi sangat penting harus dikenali dan dipahami menurut Iwan
Purwanto (2012: 234-237) struktur lembaga (organisasi) yang cocok dengan model
birokrasi ala Indonesia untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan
atau penyakit-penyakit birokrasi.
Dalam realitas yang ada, setidaknya ada lima jenis struktur lembaga (organisasi)
yang bisa menjadi pilihan yaitu:
(1) Struktur lembaga/organisasi sederhana.
(2) Struktur lemabag/organisasi fungsional.
(3) Struktur lembaga/organisasi devisional.
(4) Struktur lembaga/organisasi SBU.
(5) Struktur Lembaga/organisasi matriks.
Dari pilihan-pilihan struktur lembaga (organisasi) yang ada itu, Agus Dwiyanto
(2015: 168-169) mengatakan kalau struktur model matriks yang paling ideal
menjadi pilihan dalam mengubah struktur kelembagaan pemerintah, karena
dengan model struktur matriks dapat mengendorkan
adanya sekat-sekat birokrasi yang rigid dan kompleks. Pola hubungan yang selama
ini hanya bersifat vertikal dapat diperkaya dengan pola hubungan yang bersifat
horizontal.
Struktur lembaga (organisasi) matriks juga dapat menciptakan kebersamaan dan
memperjelas komitmen pada misi kelembagaan (organisasi). Dalam lembaga
(organisasi) matriks, orientasi anggota terhadap pencapaian misi lembaga
(organisasi) dapat diperkuat melampaui komitmennya pada tugasnya sendiri.
Struktur lembaga (organisasi) yang berbasis matriks dapat pula memperkuat
interkoneksi di antara unit-unit yang terdapat di dalamnya.
Namun demikian dalam menentukan struktur lembaga (organisasi) tersebut,
analisis strategis terhadap pilihan model lembaga (organisasi) tentukan harus
dilakukan lebih dahulu dengan tetap memperhatikan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi struktur lembaga (organisasi) itu. Faktor-faktor yang dimaksud
dalam perspektif Daryanto, dkk (2013: 50-51) adalah antara lain:
1.
Strategi. Artinya, lembaga (organisasi) dibentuk sebagai upaya pencapaian
tujuan lembaga (organisasi) itu sendiri. Struktur lembaga (organisasi) dibentuk
sebagai jalan untuk mencapai tujuan. Karena itu, struktur lembaga (organisasi)
harus sejalan dengan strategi lembaga (organisasi).

2.
Skala. Artinya, Lembaga (organisasi) kecil biasanya memiliki struktur yang
lebih sederhana dan tidak terlalu banyak terjadi pendelegasian wewenang dan
pekerjaan, sedangkan lembaga (organisasi) yang besar memiliki struktur yang lebih
kompleks.
3.
Teknologi. Artinya, terkait dengan penggunaan alat-alat bantu dalam
menjalankan aktivitas lembaga (organisasi) untuk menghasilkan barang dan jasa.
4.
Lingkungan. Artinya, lingkungan yang dinamis akan menuntut lembaga
(organisasi) untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu
berubah-ubah. Sebaliknya, lingkungan lembaga (organisasi) yang cenderung statis
tidak akan terlalu banyak mengubah struktur suatu lembaga (organisasi).
Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Birokrasi
Keyakinan bahwa kelembagaan ini merupakan hal pertama yang harus diperbaharui
dikarenakan kelembagaan ini apabila diperbaharui sekaligus ditunjang dengan
sistem yang tepat maka pembaharuan prilaku SDM dari aparatur pegawai bisa
dilakukan. Oleh karena itu strategi pertama yang harus memperoleh perhatian
adalah kelembagaan aparatur birokrasi pemerintah ini. Kelembagaan terdiri dari
kultur dan struktur.
Kultur merupakan perpaduan tata nilai, kepercayaan dan kebiasaan yang diyakini
kebenaranya untuk diperjuangkan. Kultur inilah yang nantinya akan membentuk
suatu boundary yang membedakan suatu pemerintahan itu dengan pemerintahan
lainnya.
Kendala dalam sector ini khususnya adalah yang berkaitan dengan kultur dan
tradisi dalam masyarakat yang berpengaruh dalam kinerja birokrasi. Kinerja
birokrasi juga sangat dipengaruhi oleh budaya dan sistem sosial yang hidup di
tengah masyarakat diantaranya :
1.

Mentalitas Pegawai

Mentalitas pegawai pada umumnya kondusif dalam mendorong birokrasi bekerja


optimal. Diantara beberapa sikap itu adalah :
a.

Sikap mental yang berorientasi membelanjakan daripada menghasilkan

b.

Sikap mental dilayani, bukan melayani

c.
Motivasi birokrat pada umumnya keliru (tidak memahami dan tidak sesuai
dengan fitrah dasar tugas insitusi birokrasi)
Kesemua sikap mental itu menimbulkan dampak negative berupa
ketidakprofesionalan aparatur birokrasi dalam bekerja, sehingga mereka tidak
mampu (incapable) dalam menjalankan tugas secara baik.

2.

Mentalitas Masyarakat

Sikap mental masyarakat juga banyak yang tidak mendukung bahkan


menghambat berfungsinya tugas birokrasi secara baik. Diantara sikap itu adalah :
a.

Sikap apatis (non partisipatif dan permisif)

b.

Mentalitas menerabas (hedonistic dan pragmatis)

c.

Rasa ketergantungan yang berlebihan terhadap birokrasi

Sikap mental masyarakat yang demikian menyebabkan semakin suburnya


berbagai penyelewengan yang ada dalam tubuh institusi birokrasi.

Adapun struktur merupakan kerangka yang dipergunakan sebagai tata aliran proses
bagaimana kultur itu bisa diterapkan dan diwujudkan dalam suatu pemerintahan
itu. Kultur dalam lembaga pemerintahan seringkali muncul dan dipakai adalah
kultur yang menjamin kebiasaan asal bapak senang ABS, kultur yang membiasakan
partisi[pasi rakyat yang menjamin kebiasaan demokrasi dan responsive. Inilah yang
harus dipilih dalam strategi pembaharuan kelembagaan. Sebagaimana yang
dikatakan oleh (Mifta, 2004) bahwa kita harus menumbuhkan kultur yang
demokratis, responsive, partisipatif dan terbuka. Hal ini akan bisa melahirkan tata
kepemerinthan yang baik.
Jika kultur telah dipilih maka struktur tinggal mewadahi dalam kerangka yang
sesuai. Untuk menyusun struktur ini maka leverage point diatasmulai
dipertimbangkan, misalnya perubahan sistem politik yang terjadi dalam lingkungan
strategis nasional dan krisis moneter yang melanda Negara selama ini.
Dengan mempertimbangkan perubahan sistem politik dan krisis tersebut maka
dapat disusun kerangka kelembagaan birokrasi pemerintah. Penyusunan tersebut
meliputi tata hubungan antara jabatan-jabatan tersebut didasarkan ketentuan
perundangan yang demokratis, objektif, transparan dan sistem merit. Olehnya itu
birokrasi merupakan sistem penyelenggaran pemerintahan yang dijalankan
pegawai negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan. Birokrasi adalah
struktur organisasi digambarkan dengan hirarki yang pejabatnya diangkat atau
ditunjuk, garis tanggungjawab dan kewenangan diatur oleh peraturan yang
diketahui ( termasuk sebelumnya), dan justifikasi setiap keputusan membutuhkan
referensi untuk mengetahui kebijakan yang pengesahaanya ditentukan oleh
pemberi mandat diluar struktur organisasi itu sendiri.
Organisasi adalah organisasi yang memiliki jenjang, setiap jenjang diduduki oleh
pejabat yang ditunjuk/diangkat disertai aturan tentang kewenangan dan tanggung
jawabnya, dan setiap kebijakan yang dibuat harus diketahui oleh pemberi mandate,

pada sector swasta adalah para pemegang saham, pada sector publik adalah
rakyat.(sedarmayanti, 2009)

C.

Penataan Kelembagaan Pemerintah dalam Konteks Good Governance

Dalam era reformasi seperti sekarang ini, penataan lembaga (organisasi)


pemerintah telah menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk
membentuk sebuah kepemerintahan yang baik (good governance). Mengapa
menjadi sesuatu yang sangat mendesak? Karena masyarakat sebagai warga Negara
semakin sadar akan hak-haknya yang harus terpenuhi dan semakin kritik terhadap
segala permasalahan yang terjadi di sistem kelembagaan pemerintahan, khusus
terkait dengan pelayanan publik.
Oleh karena itu, Agus Dwiyanto (2015 : 279-280) memberi isyarat perlu adanya
penataan kelembagaan pemerintah. Tujuannya adalah untuk membentuk
pemerintahan yang efisien, efektif dan akuntabel. Pemerintah saat ini memiliki 34
Kementerian, 28 Lembaga Non Kementerian (LPNK) dan 135 Lembaga Non
Struktural. Jumlah ini lanjut Agus Dwiyanto, sudah sangat banyak dan cenderung
membengkak, sehingga bukan hanya membuat inefisinsi tetapi juga mengganggu
aktivitas dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam konteks daerah misalnya, terjadinya pembengkakan jumlah SKPD karena
sering dorong oleh cara pandangan yang keliru dari Kementerian dan Lembaga di
pusat, dimana Kementerian dan lembaga pada pemerintah pusat selalu mendorong
daerah untuk mengembangkan SKPD yang memilki nomenklatur yang sama dengan
Kementerian. Kemudian menggunakan dana alokasi khusus dan dana dekonsentrasi
untuk menciptakan insentif dan disinsentif bagi daerah telah membentuk SKPD
yang memilki nomenklatur yang sama tadi. Akibatnya, banyak daerah yang
memiliki SKPD dalam jumlah besar sekalipun relevansi dari keberadaan SKPD
tersebut bagi pembagunan daerah sangat kecil.
Tentu hal itu sangat memprihantinkan dan sangat menyedihkan kita semua
sebagai warga bangsa. Bagaimana tidak, uang Negara yang notabenanya uang
rakyat dihabiskan begitu saja untuk hal-hal yang sama sekali tidak ada manfaatnya
untuk mensejahterakan rakyat. Penerapan good governace dalam kelembagaan
pemerintah harus menjadi harga mati yang harus segera dilaksanakan.
Karena menurut Delly Mustafa (2013: 187) pada good governace terdapat prinsipprinsip seperti: Partisipasi masyarakat, Tegaknya supermasi hukum, Transparansi,
Peduli pad stakeholder, berorientasi pada consensus, Kesetaraan, Efektifitas dan
efesinsi, Akuntabilitas dan Visi strategis.
Pada konteks penataan kelembagaan, Sedarmayanti (2013: 79) menawarkan
beberapa konsep penataan melalui:

1.
Aliansi, mensinergikan seluruh actor yaitu, pmerintah, dunia usaha dan
masyarakat dalam tim solid.
2.
Menyempurnakan sistem kelembagaan yang efektif, ramping, fleksibel
berdasar prinsip good governace.
3.

Menyempurnakan struktur jabatan Negara dan jabatan negeri.

4.

Reposisi jabatan struktural dan fungsional.

5.
Restrukturisasi: tindakan merubah struktur yang dipandang tidak sesuai
dengan tuntan zaman dan tidak efektif lagi dalam memajukan lembaga (organisasi).
Menata ulang kemabli kelembagaan pemerintah, membangun organisasi sesuai
tuntutan kebutuhan.
6.
Reorientasi: mendefinisikan kembali visi, misi, peran, strategi, implementasi
dan evaluasi kelembagaan pemrintah.
7.
Menerapkan strategi organisasi, struktur lembaga (organisasi) yang efektif,
efisien, rasional dan proporsional.
8.

Menerapkan prinsip-prinsip organisasi (lembaga)

9.
Refungsionalisasi: tindakan/upaya memfungsi kembali yang sebelumnya tidak
atau belum berfungsi
10. Revitalisasi: upaya member tambahan energy/daya kepada lembaga
(organisasi) agar dapat mengoptimalkan kinerja organisasi.
Dari beberapa uraian tersebut di atas, dengan melihat perkembangan yang
terjadi dalam struktur kelembagaan baik pusat maupun daerah, maka sudah
seyogyanya pemerintah tidak lagi memiliki alasan untuk melakukan penataan
kelembagaan secara parsial, tetapi harus holistik atau menyeluruh dengan
menggunakan konsep dan prinsip-prinsip good governace dalam bingkai reformasi
administrasi.
Kita ketahui, dalam birokrasi terdapat berlapis-lapis tingkatan dari bawah keatas
mulai dari staf seksi, bagian, biro dan seterusnya sehingga ada jabatanjabataneselon. Hal seperti ini juga dapat mengurangi pesan optimal birokrasi,
karena :
1.

Mengakibatkan ketidak-efesienan organisasi dalam mencapai tujuan.

2.
Timbul ekonomi biaya tinggi baik pada instansi birokrasi itu sendiri maupun
pada pengguna jasanya.
3.

Terdapat potensi pertentangan antara unit dan induk organisasi

4.
Terjadi proses kerja yang top down dan budaya minta petunjuk dari bawahan
keatasan.
Penataan kelembagaan yang harus dilakukan adalah bagaimana membuat struktur
organisasi ramping dan flat(tidak banyak hirarki dan struktur organisasi lebih
dominan pemegang jabatan professional/fungsional dari pada jabatan struktural.
Olehnya itu, untuk dapat mereformasi sikap mental dan memperbaiki kondisi sistem
kerja birokrasi pemerintah ada tiga hal yang pokok perlu dilakukan sebagaimana
yang dikatakan oleh Budi setiyono (2012).

Reformasi Birokrasi dan Permasalahannya

Jakarta, (3/6/2015). Masalah kunci dari pelaksanaan reformasi birokrasi adalah


adanya anggapan bahwa program hanya sebatas proyek, bukan public values.
Selain itu, kecenderungan diterapkannya kebijakan one fits all menjadikannya tidak
berkembang.

Faktanya, ada lembaga maupun daerah yang telah maju dengan reformasinya,
sebagian masih biasa saja dan banyak juga yang tertinggal. Seharusnya, kebijakan
reformasi birokrasi bergantung pada sejauh mana mereka telah melaksanakan
reformasi di institusinya.

Demikian menurut mantan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), Prof. Agus
Dwiyanto, dalam paparannya pada diskusi panel bertema Masa Depan
Kelembagaan dan Kepemimpinan Reformasi Birokrasi Nasional: Perubahan dan
Kesinambungan.

Di sisi lain, Agus juga berharap Kementerian PAN-RB memiliki pemikiran baru.
Sebagai leading agency, Kementerian PAN-RB harus memiliki reform minded, dan
hilangkan sifat inward looking, empire building, group think.

Senada dengan itu, Mantan Wamen PAN-RB, Prof. Eko Prasojo juga menyebutkan
kendala dan tantangan RB, yakni masih kuatnya ego sektoral, resistensi kelompok
status quo, rendahnya kualitas pimpinan, besarnya kesenjangan keahlian antar
lembaga, dan keterbatasan anggaran.

Sementara di level daerah, kendala RB erat kaitannya dengan politik lokal. Seperti
disampaikan oleh Wakil KASN, Irham Dilmy dalam paparannya. Disebutkan bahwa
kepala daerah kerap memanfaatkan birokrasi untuk kepentingan politis di daerah.

Kepala daerah terpilih tidak jarang melakukan balas budi dan balas dendam.
Ungkap Irham.

Jabatan-jabatan strategis dalam birokrasi sering digunakan sebagai bagian dari


balas budi maupun balas dendam oleh kepala daerah. Implementasi UU ASN
menurut Irham dapat meminimalisasi praktik-praktik tersebut.

Sayangnya sejauh ini implementasi UU tersebut belum terlihat, oleh karenanya


selain mempercepat pelaksanaan UU ASN, para pembicara merekomendasikan
kepada pemerintahan Jokowi untuk melakukan beberapa hal diantaranya
konsolidasi arah kebijakan politik RB, pengaktifan kembali kelembagaan RB
nasional, Percepatan pembahasan RPP UU ASN, perlunya percepatan e-government,
pembahasan RUU Sistem Pengawasan Internal, serta penugasan pelaksanaan RB di
K/L/Pemda.

Selain dihadiri oleh utusan dari para pemangku kepentingan reformasi birokrasi di
tingkat pusat, Jambore RB juga dihadiri oleh perwakilan-perwakilan daerah
terutamadari 8 daerah yang menjadi pilot program Komponen CSO Engagement
RTRC Kemitraan yaitu Kabupaten Jayapura (Papua), Kota Mataram (NTB), Kota
Banda Aceh (DI Aceh Darussalam), Kota Makasar dan Kabupaten Maros (Sulawesi
Selatan), Kota Semarang dan Surakarta (Jawa Tengah), Kota Bandung dan
Kabupaten Sumedang (Jawa Barat), Kota Pontianak dan Kabupaten Kayong Utara
(Kalimantan Barat), Kota Surabaya dan Kabupaten Malang (Jawa Timur).
.BIROKRASI, REFORMASI BIROKRASI, DAN TUJUAN REFORMASI BIROKRASI Secara
harfiah, birokrasi berasal dari kata bureau yang berarti meja atau kantor; dan kata
kratia (cratein) yang berarti pemerintah/rakyat. Pada mulanya, istilah ini
digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau
diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi. Dalam konsep
bahasa Inggris secara umum, Birokrasi disebut dengan civil service. Selain itu
juga sering disebut dengan public sector, public service, atau public administration.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, birokrasi adalah: (1) sistem pemerintahan
yang dijalankan oleh pegawai pemerintah yang berpegang pada hierarki dan

jenjang jabatan; (2) cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta
menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya. Max Weber,
menyatakan bahwa birokrasi merupakan organisasi formal bersifat hierarki, yang
ditetapkan oleh aturan-aturan legal rasional untuk mengoordinasikan pekerjaan
orang-orang untuk kepentingan pelaksanaan tugas administrasi agar mencapai
tujuan dengan lebih efektif dan efisien. Ciri birokrasi ialah adanya sebuah
pembagian kerja secara hierarkis dan rinci yang didasarkan pada aturan-aturan
tertulis yang diterapkan secara impersonal, yang dijalankan oleh staff yang bekerja
full time, seumur hidup dan professional, yang sama sekali tidak turut memegang
kepemilikan atas alat-alat pemerintahan atau pekerjaan, maupun keuangan
jabatannya. Mereka hidup dari gaji dan pendapatan yang diterimanya dan tidak
didasarkan secara langsung atas dasar kinerja mereka. Kemudian apabila dikaitkan
dengan Reformasi, kata Reform menurut Oxford Advanded Learners Dictionary
adalah change that is made to a social system, an organization, etc. in order to
improve or correct it. Rumusan tersebut menggambarkan bahwa pada dasarnya
reformasi adalah mengubah, meningkatkan, memperbaiki atau membuat sesuatu
menjadi lebih baik dari sesuatu yang sudah ada. Menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia, reformasi adalah perubahan radikal untuk perbaikan (bidang sosial,
politik, atau agama) di suatu masyarakat atau negara. Menurut Weber sebagaimana
dikutip Setiyono, RB merupakan upaya-upaya strategis dalam menata kembali
birokrasi yang sedang berjalan sesuai prinsip-prinsip span of control division of
labor, line and staff, rule and regulation, and professional staff.Reformasi birokrasi
merupakan perubahan (transformasi) yang terencana, yang berfokus pada
perubahan kelembagaan yang berdampak pada perubahan ketatalaksanaan dan
kultur birokrasi. Sedangkan menurut Eko Prasojo, pada dasarnya, konsep reformasi
birokrasi merupakan suatu kegiatan penataan terhadap sistem penyelenggaraan
pemerintahan agar tercapai suatu tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance). Bentuk reformasi birokrasi di negara berkembang yang pada
umumnya dilakukan melalui dua strategi, yaitu: (1) merevitalisasi kedudukan, peran
dan fungsi kelembagaan yang menjadi motor penggerak reformasi administrasi, (2)
menata kembali sistem administrasi negara baik dalam hal struktur, proses, sumber
daya manusia serta relasi antara negara dan masyarakat.Sedangkan secara umum
tujuan reformasi birokrasi adalah membangun aparatur negara yang efektif dan
efisien serta membebaskan aparatur negara dari praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) dan perbuatan tercela lainnya agar birokrasi pemerintah mampu
menghasilkan dan memberikan pelayanan publik yang prima. Sederhananya, RB
dimaknai sebagai suatu perubahan terencana guna menciptakan good governance.
Di Indonesia, isu tentang RB masih terus diperbincangkan di banyak kesempatan
dan oleh berbagai kalangan, baik dalam forum seminar, sidang kabinet sampai
rapat-rapat dinas di tingkat pemerintah daerah, bahkan secara terbuka dan meluas
di media massa. Namun sampai saat ini nampaknya belum ada suatu formula RB
yang tepat untuk dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi
pemerintah kita saat ini, atau dapat dikatakan kita sedang mencari bentuk ideal
dari RB itu sendiri. D.KEGAGALAN REFORMASI BIROKRASI Birokrasi sebagai suatu

sistem yang dijalankan oleh manusia, akan berkembang sesuai dengan perilaku
manusia yang menjalankannya. Dengan demikian wujud birokrasi merupakan
cerminan dari para pengelolanya. Sehingga, walaupun upaya reformasi birokrasi
dilakukan melalui pendekatan yang sama, namun hasil tidak selalu sama pada
setiap negara. Hal ini disebabkan kuatnya pengaruh sosial budaya masyarakat
terhadap birokrasi, meskipun di beberapa negara justru birokrasi dapat
mengintervensi perilaku dan kultur individu. Yang menjadi masalah adalah yaitu kita
belum dapat menemukan ukuran sejauhmana reformasi birokrasi itu dianggap
berhasil atau gagal. Syarat keberhasilan suatu reformasi birokrasi bukanlah sekedar
perubahan dalam tataran sistem dan struktur birokrasi saja, namun harus meliputi
perubahan perilaku dan budaya pejabat publik dan masyarakat pada umumnya.
Disisi lain, pemerintah harus dapat menciptakan stabilitas politik agar proses
reformasi dapat berjalan dengan efektif, yaitu dengan menciptakan birokrasi yang
profesional dan netral dari pengaruh politik. Dari 8 (delapan) area perubahan
sebagaimana dikemukakan di atas, penulis berpendapat bahwa area-area yang
gagal di-reform, adalah sebagai berikut: 1.Organisasi Dapat dikatakan bahwa
organisasi pemerintahan belum tepat fungsi dan tepat ukuran. Hal ini dapat
ditandai dengan masih banyak satuan-satuan kerja dalam organisasi yang
jumlahnya lebih banyak dan lebih besar daripada fungsi yang harus dijalankannya,
atau istilahnya kaya struktur-miskin fungsi. Struktur-struktur yang dibentuk,
hanyalah akal-akalan untuk membagi-bagi kue kekuasaan dalam jabatan-jabatan
tertentu, sedangkan urgensinya masih dapat dipertanyakan. Permasalahan
organisasi bukan hanya pada jumlah PNS yang terlalu banyak, tetapi juga pada
disparitas atau ketidakmerataan yang terjadi. Memang ciri ini tak dapat dilepaskan
dari kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, yang membuat
diversitas (keberagaman) dan disparitas (ketidakmerataan) kian kentara. Disparitas
dalam manajemen birokrasi di Indonesia bukan hanya dari sisi jumlah SDM-nya,
tetapi juga kompetensi, dan kemampuan dukungan anggaran. Banyak lagi SDM
yang memiliki kompetensi, kemampuan, dan keterampilan namun diberikan jabatan
yang tidak sesuai bahkan tidak sedikit pula SDM yang tidak memiliki kompetensi
apa-apa namun diberikan tanggung jawab atau kewenangan. Dari aspek beban
kerja, banyak satuan kerja yang secara beban kerja seharusnya dikerjakan oleh
banyak SDM, namun justru SDM yang ditempatkan di satuan kerja tersebut sedikit,
tidak sesuai dengan beban kerjanya, sehingga hasil program kerja tidak optimal.
Sebaliknya, banyak juga satuan kerja yang secara beban kerja tidak memerlukan
banyak SDM, namun jumlah SDM-nya melimpah ruah, sehingga banyak yang
menganggur dan tidak mengerjakan apa-apa. Hal ini terjadi karena organisasi yang
dibentuk tidak sesuai dengan kebutuhan dan tidak mempertimbangkan fungsifungsi yang akan dilaksanakannya. 2.Peraturan Perundang-undangan Terdapat
permasalahan klasik terkait peraturan perundang-undangan, yaitu masih
banyaknya peraturan perundang-undangan, khususnya di bidang aparatur negara,
yang tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, dan multitafsir. Sedikit banyak, hal ini
merupakan implikasi dari pembagian kewenangan yang kurang jelas kepada
institusi-institusi yang menangani masalah aparatur negara. Dapat kita ambil

contoh, kewenangan yang dimiliki Kemenpan RB dan Badan Kepegawaian Negara


dalam merumuskan kebijakan. Kemenpan RB beranggapan yang berhak
merumuskan kebijakan umum hanyalah Kementerian bukan LPNK, sedangkan
Badan Kepegawaian Negara beranggapan bahwa berdasarkan undang-undang yang
mengatur mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, LPNK juga
dapat merumuskan kebijakan. Ketidaksepahaman terkait kewenangan ini
berimplikasi pada ketidaksingkronan produk peraturan perundang-undangan yang
dibuatnya. Selain itu, masih ada pertentangan antara peraturan perundangundangan yang satu dengan yang lainnya, baik yang sederajat maupun antara
peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan di bawahnya atau antara peraturan
pusat dengan peraturan daerah. Di samping itu, masih banyak peraturan
perundang-undangan yang belum disesuaikan dengan dinamika perubahan
penyelenggaraan pemerintahan dan tuntutan masyarakat, yang belakangan ini
direspon Rancangan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara. 3.Akuntabilitas
Dalam kaitan dengan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, kondisinya masih
banyak dikeluhkan masyarakat. Meskipun perlahan mengalami peningkatan,
capaian tersebut masih menunjukkan kapasitas kelembagaan/efektivitas
pemerintahan di Indonesia tertinggal jika dibandingkan dengan kemajuan yang
dicapai oleh negara-negara lain. Kondisi ini mencerminkan masih adanya
permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, seperti kualitas birokrasi,
pelayanan publik, dan kompetensi aparat pemerintah. Selanjutnya, berdasarkan
penilaian terhadap Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), pada
tahun 2009 jumlah instansi pemerintah yang dinilai akuntabel baru mencapai 24%.
Memang terdapat peningkatan yang cukup signifikan dari LAKIP tahun 2012, di
mana terdapat 3 (tiga) instansi pemerintah yang mendapat penilaian sangat baik
(predikat A). Gambaran di atas mencerminkan kondisi birokrasi kita saat ini.
Akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, kualitasnya masih perlu banyak
pembenahan termasuk dalam penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan
Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas
laporan keuangan K/L dan Pemda masih banyak yang perlu ditingkatkan menuju
opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). 4.Pelayanan Publik Dalam hal pelayanan
publik, pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan publik yang berkualitas
sesuai dengan tantangan yang dihadapi, yaitu perkembangan kebutuhan
masyarakat yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat. Hal ini
dapat dilihat dari hasil survey integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada tahun 2009 yang menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik
Indonesia baru mencapai skor 6,64 dari skala 10 untuk instansi pusat, sedangkan
pada tahun 2008 skor untuk unit pelayanan publik di daerah sebesar 6,69. Skor
integritas menunjukkan karakteristik kualitas dalam pelayanan publik, seperti ada
tidaknya suap, ada tidaknya Standard Operating Procedures (SOP), kesesuaian
proses pelayanan dengan SOP yang ada, keterbukaan informasi, keadilan dan
kecepatan dalam pemberian pelayanan, dan kemudahan masyarakat melakukan
pengaduan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
menegaskan, bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara untuk

memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya, seperti pendidikan dan kesehatan. Namun
kenyataannya kualitas pelayanan publik dirasa belum membaik. Karena dirasakan
langsung oleh masyarakat, maka masyarakat dapat menilai langsung bagaimana
pemerintah melalui institusi-institusi terkait melaksanakan pelayanan publik.
Pelayanan publik erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, dari
pagi hingga malam hari. Kita dapat ilustrasikan sebagai berikut: Mulai dari sektor
transportasi di pagi hari. Keberadaan bus Transjakarta atau kereta Commuterline
yang dibungkus dalam bentuk badan layanan umum (BLU) pun tidak sekeren
namanya. AC mati, sering terlambat, armada tidak memadai. Siang hari mengurus
perpanjangan SIM, maka luar biasanya antrenya, kecuali melewati jalur istimewa
bagi yang memiliki akses berlebih. Menjelang sore, ketika mendaftar pernikahan ke
KUA maka biaya administrasi menunggu. Malam hari kembali ke rumah, melewati
sepanjang jalan protokol, ternyata lampu penerangan jalan tak ada satupun yang
menyala. Dari ilustrasi sederhana tersebut, dapat dengan mudah kita ukur sejauh
mana pelayanan publik yang sudah diberikan pemerintah kepada masyarakat.
Pelayanan publik yang prima dalam arti pelayanan yang cepat, tepat, adil, dan
akuntabel, ditandai oleh pelayanan tidak berbelit-belit, informatif, akomodatif,
konsisten, cepat, tepat, efisien, transparan dan akuntabel, menjamin rasa aman,
nyaman, dan tertib, kepastian (persyaratan biaya waktu pelayanan dan aturan
hukum), dan tidak dijumpai pungutan tidak resmi, dapat dikatakan belum
sepenuhnya terwujud. Pelayanan publik belum dapat mengakomodasi kepentingan
seluruh lapisan masyarakat dan belum memenuhi hak-hak dasar warga
negara/penduduk. Penyelenggaraan pelayanan publik belum sesuai dengan
harapan bangsa berpendapatan menengah yang semakin maju dan persaingan
global yang semakin ketat. 5.Pola Pikir (Mindset) dan Budaya Kerja Penulis
berpendapat bahwa pola pikir dan budaya kerja birokrat belum sepenuhnya
mendukung birokrasi yang efisien, efektif dan produktif, dan profesional. Selain itu,
birokrat belum benar-benar memiliki pola pikir yang melayani masyarakat, belum
mencapai kinerja yang lebih baik (better performance), dan belum berorientasi
pada hasil (outcomes). Sistem birokrasi di Indonesia sudah mengakar kuat,
termasuk kaitannya dengan pola pikir dan budaya kerja yang sudah tertanam
dalam diri birokrat sejak lama, membuatnya sulit diubah. Adagium populer yang
berlaku sejak lama bagi seorang PNS di republik ini antara lain yaitu PGPS=Pinter
Goblok Penghasilan Sama yang tergabung dalam Brigade 804 (datang jam 8,
kinerja 0, pulang jam 4) sedikit banyak menggambarkan birokrasi kita. Bukan
rahasia lagi apabila terdapat sindiran berupa: Buat apa kita capek-capek mikirin
kerjaan, lha wong dia yang kerjanya seharian main catur aja penghasilannya sama
dengan kita!. Ada pula yang selalu menyalahkan sistem birokrasi yang telanjur
dianggap bobrok sehingga seorang birokrat tinggal mengikuti sistem yang ada.
Sikap perilaku seperti itu sedikit banyak telah tertanam dalam diri birokrat kita,
yang berimplikasi pada kinerja yang dihasilkan menjadi buruk. Banyak sintesa,
walaupun belum terbukti kebenarannya, yang menyatakan budaya kerja yang buruk
yang dilakukan oleh birokrat disebabkan karena mereka digaji terlebih dahulu
sebelum bekerja, lain halnya misalnya dengan swasta atau korporasi dimana

seseorang harus bekerja terlebih dahulu baru dibayar. Pemberian tunjangan kinerja
(remunerasi) memang sedikit memperbaiki pola pikir dan budaya kerja birokrasi,
namun karena sifatnya parsial dan belum merata (di seluruh institusi pemerintah),
maka pola pikir dan budaya kerja yang buruk masih sangat banyak ditemukan
dalam tubuh birokrasi kita.Setelah ramai pemberitaan mengenai rekening gendut
kepolisian, kini muncul kasus rekening gendut pegawai negeri sipil (PNS) berusia
muda. Akibatnya, menurut sebagian kalangan, kebijakan remunerasi dan reformasi
birokrasi yang digaungkan pemerintah untuk menekan dan mengatasi masalah
korupsi di Kementerian/Lembaga dinilai telah gagal. E.KEBERHASILAN REFORMASI
BIROKRASI Rasanya tidak cukup adil, apabila usaha-usaha yang telah dilakukan
pemerintah untuk melakukan bureaucracy reform nirapresiasi. Berdasarkan
pertimbangan seobjektif mungkin, penulis berpendapat bahwa 3 (tiga) dari 8
(delapan) area perubahan reformasi birokrasi dapat dikatakan cukup berhasil.
Berikut ulasannya: 1.Kelembagaan Sektor kelembagaan dapat dikatakan sebagai
area perubahan yang berhasil direalisasikan. Diawali oleh Kementerian Keuangan
yang telah melakukan restrukturisasi kelembagaan melalui perubahan,
pembentukan, dan penggabungan unit-unit kerjanya. Diikuti oleh Kemenpan RB
yang memangkas beberapa unit eselon I dan eselon II di lingkungannya. Demikian
halnya yang dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara dan Badan Kepegawaian
Negara, yang menghapus beberapa jabatan bahkan sampai tingkat eselon IV. Barubaru ini, ada 6 Kementerian/Lembaga yang mengusulkan restrukturisasi
kelembagaan yaitu Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Badan Pusat Statistik
(BPS), Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
dan Kementerian BUMN. Reformasi kelembagaan ini erat kaitannya dengantujuan
efisiensi pemerintahan, salah satunya dengan menekan belanja pegawai/pejabat
yang menduduki jabatan-jabatan tertentu. Dengan jumlah jabatan yang semakin
rasional, maka kinerja yang dihasilkan juga sejalan dengan beban yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Selain itu, efektivitas pun dapat terwujud, karena semakin
sedikitnya alur tata kerja yang ditempuh sebagai konsekuensi dari dihapusnya
jabatan-jabatan tertentu dalam organisasi. Puncaknya adalah ketika pemerintah
menghapuskan (gabung atau bubar) 10 (sepuluh) Lembaga Non Struktural
(LNS)yang keberadaannya dianggap ada dan tiada. Alasan lain pembubaran atau
penggabungan LNS yaitu karena tugas dan fungsinya tumpang tindih dengan
lembaga lain, lembaganya sudah tidak aktif, bahkan ada yang belum pernah
dibentuk. Adapun LNS yang digabungkan atau dibubarkan antara lain adalah Komisi
Hukum Nasional (KHN) serta P3D dialihkan ke Kementerian Hukum dan HAM, Dewan
Buku Nasional (tugas dan fungsinya dialihkan ke Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan), Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional (DEPANRI) yang tugas
dan fungsi perumusan kebijakannya dialihkan ke Kementerian Riset dan Teknologi,
dan beberapa LNS yang lain. 2.Tata Laksana Tata laksana erat kaitannya dengan
manajemen organisasi. Awalnya, Kementerian Keuangan telah memberikan contoh
perubahan ketatalaksanaan dengan membuat ribuan Standard Operating Procedure
(SOP) sebagai pedoman untuk menghilangkan red tape practicesdalam pelaksanaan

tugas dan fungsinya, yang kemudian diikuti oleh institusi-institusi lainnya. Saat ini,
ketatalaksanaan aparatur pemerintah disederhanakan, ditandai oleh mekanisme,
sistem, prosedur, dan tata kerja yang tertib, efisien, dan efektif, melalui pengaturan
ketatalaksanaan yang sederhana. Adagium populer kalau bisa diperlambat, kenapa
harus cepat? perlahan memudar. Standar operasi, sistem, prosedur, mekanisme,
tata kerja, hubungan kerja dan prosedur kerja dituangkan dengan jelas bahkan
dibungkus dengan aturan formal. Proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
evaluasi dan pengendalian dilakukan dengan seksama. Penerapan perkantoran
elektronis dan pemanfaatan teknologi informasi (e-government) juga mulai banyak
dipraktekkan. Beberapa yang populer antara e-LPSE untuk pengadaan barang dan
jasa, SAPK untuk pelayanan kepegawaian, pelayanan imigrasi online, dan lain
sebagainya. Birokrasi kian ditata menjadi efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan
hemat. Paperless principe yang lazim digunakan di perusahaan swasta juga banyak
di-adopt oleh birokrasi kita. Fenomena lain yang juga menarik ialah banyaknya unit
organisasi pemerintah yang mempunyai potensi penerimaan keuangan negara,
yang statusnya didorong menjadi unit korporatisasi dalam bentuk Badan Layanan
Umum (BLU), BHMN, BUMD, Perum, Persero, UPT, UPTD, atau bentuk lainnya. 3.SDM
Aparatur Profesionalisme SDM aparatur yang didukung oleh sistem rekrutmen dan
promosi aparatur yang berbasis kompetensi, transparan, dan mampu mendorong
mobilitas aparatur antardaerah, antarpusat, dan antarapusat dengan daerah, serta
memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan diharapkan
dapat dicapai dari reformasi di sektor ini. Penulis berpendapat, di area SDM
Aparatur perubahan demi perubahan telah banyak dilakukan. Diawali dari sistem
rekrutmen yang relatif bersih dan minim (karena belum dapat dikatakan bebas) dari
KKN, yang telah dimulai sejak medio 2000-an.Dewasa ini, dengan memanfaatkan
kemajuan teknologi informasi, rekrutmen calon birokrat bahkan dilakukan dengan
menggunakan komputer sebagai alat bantu (computer assisted test), sehingga
tidak dapat direkayasa. Hal ini semata-mata dilakukan untuk mendegradasi
kemungkinan kecurangan, penyimpangan, manipulasi, maupun tindak KKN dalam
pelaksanaan rekrutmen. Kemudian pengangkatan dalam jabatan berdasarkan
prinsip meritokrasi. Siapa yang kompeten, dia yang diangkat. Diperkuat lagi dengan
alat bantu assessment center, untuk dapat mengukur layak atau tidaknya
seseorang menduduki suatu jabatan. Yang paling aktual, adalah pengangkatan
jabatan menggunakan sistem open bidding atau lelang jabatan, yang jauh hari
sebelum Jokowi-Ahok mempopulerkannya, Pemerintah Kabupaten Jembrana telah
lebih dahulu melakukannya. Melalui open bidding, dibuka akses seluas-luasnya
kepada siapa saja yang kompeten, untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu
dalam birokrasi. Selanjutnya perihal disiplin dan kinerja. Pemerintah telah mengatur
secara tegas kewajiban dan larangan yang mesti dipatuhi oleh setiap birokrat,
termasuk hukuman-hukumannya. Efeknya, kasus-kasus pelanggaran disiplin yang
dilakukan oleh birokrat pun semakin berkurang. Kinerja birokratpun kian
diperhatikan. Seperti halnya karyawan di sektor swasta, birokrat kita diwajibkan
menetapkan sasaran kinerja setiap tahunnya. Target-target yang telah ditetapkan
akan dievaluasi, dan hasilnya digunakan sebagai bahan pembinaan karir birokrat

yang bersangkutan, termasuk dalam hal pemberian remunerasi. Terakhir,


pengembangan jabatan-jabatan tertentu yang bersifat keahlian dan profesional
terus digencarkan. Dulu berlaku istilah, birokrat kita adalah ahli segala bidang.
Seorang Sarjana Agama bisa menjadi Kepala Dinas Pemakaman, Kepala Dinas Cipta
Karya, dan sebagainya, yang berbeda jalur dengan latar belakang pendidikannya.
Kemudian terdapat juga situasi, di mana seorang birokrat bingung dengan job
description-nya dan apa yang harus dikerjakannya. Kini setiap birokrat diarahkan
untuk memangku jabatan-jabatan tertentu sesuai pendidikan, kompetensi, dan
keahlianya. Misal, bagi yang ahli pertanian, maka dia dapat memangku jabatan
keahlian Penyuluh Pertanian, yang expert di bidang bahasa dan sastra, maka dia
diarahkan untuk menduduki jabatan Penerjemah. Bagi yang peduli terhadap kondisi
hukum di tanah air, khususnya Hukum Tata Negara, wa bil khusus mengenai
peraturan perundang-undangan, maka dia dapat saja menjadi seorang Perancang
Peraturan Perundang-undangan.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/babaenzo/menakar-keberhasilan-dankegagalan-reformasi-birokrasi_54f76a10a3331177358b47f4
\

Inovasi dan Masalah Kelembagaan


Mohamad Sohibul Iman
Mohamad Sohibul Iman
Presiden PKS
Sabtu, 28 Mei 2016 | 15:57 WIB
Ikuti
Inovasi Energi via samengroup.com

Pemerintahan Jokowi-JK dalam Nawacita berjanji akan melakukan transformasi


peran perguruan tinggi dalam memajukan dunia riset dan inovasi teknologi
nasional. Janji tersebut salah satunya terwujud dalam keinginan mengintegrasikan
Ristek dan Dikti dalam satu Kementrian sehingga Perguruan Tinggi berperan sentral
mendorong inovasi teknologi. Upaya ini tentunya tidak mudah, dan perlu
pembuktiaan lebih lanjut. Hingga saat ini pun, proses integrasi dan restrukturisasi
dalam Kementrian masih belum tuntas. Sebuah awal yang makan waktu relatif
banyak dan perlu kerja keras dari pemerintah.

Memperbincangkan inovasi teknologi, ada baiknya kita kembali membaca kembali


pemikiran yang paling mendasar dari konsep inovasi tersebut. Berbicara inovasi
tidak mungkin bisa dilepaskan dari konsep entrepreneurship. Joseph Alois
Schumpeter dalam karya Magnum Opus-nya yang berjudul Capitalism, Socialism
and Democracy (1943) meletakkan untuk pertama kali konsep inovasi dan
entrepreneurship sebagai variabel penting dalam mendorong kemajuan dan
keberlangsungan perekonomian atau negara yang menganut kapitalisme.

Dalam konsep Schumpeter, inovasi adalah sebuah proses creative destruction


yang dijalankan oleh para Entrepreneur tersebut. Guru Besar Ilmu Ekonomi
Universitas Harvard ini meyakini bahwa dengan adanya creative destruction
perusahaan mencoba menemukan teknologi baru yang mampu menciptakan
produk baru dan pasar baru. Proses ini pada akhirnya akan menciptakan apa yang
dia sebut dengan entrepreneurial profit yang membentuk pasar monopoli.

Hal ini terjadi karena teknologi baru menyebabkan biaya produksi menurun
signfikan dan perusahaan juga dapat melakukan produksi dalam skala besar
(economies of scale) di dalam pasar tanpa pesaing. Namun pasar monopoli ini
bersifat sementara, karena perusahaan tersebut akan diimitasi oleh perusahaanperusahaan lain yang kemudian akan menyebabkan pasar yang awalnya tanpa
pesaing lambat laun akan penuh dengan para pesaing sehingga monopoly profit
akan dengan segera kembali ke normal profit sebagaimana pada pasar persaingan
sempurna. Kondisi ini kemudian akan terus berulang kembali.

Masalah Kelembagaan

Konsep inovasi Schumpeter ini ternyata tidak sepenuhnya benar. Karena tidak
semua inovasi selalu menemukan hal baru dan membuat pasar baru sehingga
selalu menciptakan pasar monopoli. Richard Nelson dari Universitas Columbia
mengkritik konsep inovasi Schumpeterian tersebut. Nelson mengatakan bahwa
inovasi juga terjadi secara incremental yakni inovasi karena ada perubahan kecil
secara berkesinambungan tanpa harus selalu menemukan teknologi yang benarbenar baru dan menciptakan pasar monopoli baru.

Nelson mempercayai bahwa faktor terpenting dalam menciptakan inovasi itu


terletak pada ada tidaknya sistem yang tepat dan mendukung untuk terjadinya
proses inovasi. Nelson menyebutnya dengan konsep Sistem Inovasi Nasional
(National Innovation System). Sistem inovasi ini yang menciptakan iklim inovasi
lebih kondusif, penegakan hukum yang kredibel dalam memproteksi Hak Kekayaan
Intelektual dan mendorong kolaborasi triple helix antara Universitas, Industri dan
Pemerintah.

Nelson mengambil contoh bagaimana Jepang melalui MITI menciptakan sebuah


Sistem Inovasi Nasional yang mumpuni. Proses inovasi di Jepang dilakukan tidak
mengikuti seperti apa yang diutarakan Schumpeter, tapi lebih ke proses
incremental dan perbaikan kecil yang berkesinambungan. Tengoklah cerita sukses
kebijakan inovasi Jepang melalui konsep Just in Time System, Total Quality
Management, Lean Production System dimana sistem inovasi dijalankan dengan
cara perbaikan kecil yang dilakukan secara terus menerus (kaizen) pada proses
produksi.

Ada proses learning by doing dan learning by research yang konsisten. Konsep
seperti ini diimplementasikan juga oleh Korea Selatan dengan konsepnya yang
terkenal from imitation to innovation. Melalu proses duplicative imitation kemudian
creative innovation, Korea Selatan melangkah dengan mantab menciptakan Sistem
Inovasi Nasional yang mampu mengantarkan negara tersebut dalam waktu sangat
cepat menjadi salah satu negara paling kompetitif di bidang teknologi informasi.

Fakta ini menunjukkan bahwa menciptakan perangkat sistem inovasi nasional yang
kredibel adalah prioritas kebijakan yang harus diambil. Namun demikian, seringkali
kita mendengar perdebatan masalah kebijakan inovasi teknologi berkutat hanya
pada masalah kelangkaan modal manusia dan modal finansial.

Ujung-ujungnya solusinya adalah pemberiaan beasiswa secara masif untuk sekolah


lebih tinggi dan meningkatkan anggaran R&D-nya. Seringkali juga pemerintah justru
lebih fokus membangun infrastruktur fisik seperti gedung, techno park, science
park, dan bangunan fisik lainnya. Apakah ini tidak penting? Jelas penting.

Tapi fokus pada hal-hal tersebut saja masih kurang lengkap. Ada faktor lain yang
sering kali dilupakan yakni faktor institusional atau kelembagaan. Penulis menduga,

faktor institusional dalam konteks Indonesia adalah variabel paling bermasalah


yang menghambat proses terjadinya inovasi di Indonesia.

Apa yang dimaksud dengan faktor institusional? Douglass Cecil North peraih Nobel
Ekonomi tahun 1993 mendefinisikan institusional sebagai rule of the game in the
society. Kalangan Institutionalist meyakini bahwa masalah daya saing dan
kemampuan sebuah perusahaan/negara untuk bisa atau tidak bisa membuat
terobosan kemajuan sangat tergantung sejauh mana rule of the game di
masyarakat itu ditegakkan.

Karena tanpa itu, menurut Douglass North akan selalu muncul apa yang disebut
dengan biaya transaksi (transaction cost) yang akan membuat ekonomi tidak efisien
dan menciptakan high cost system di sektor mana pun. Dalam konteks Indonesia,
transaction cost bisa terjadi karena penegakan hukum yang lemah, regulasi yang
kurang jelas dan implementasi yang tidak konsisten, kurangnya proteksi terhadap
HAKI, perilaku rent-seeking yang marak di birokrasi - pemerintahan pusat dan
daerah, tata kelola yang buruk dan perilaku korupsi yang sistematik. Semua faktor
ini akan merusak pranata sistem inovasi nasional yang akan dibangun.

Ada studi yang cukup menarik dari Mungiu-Pippidi (2014) dalam The Anticorruption
Report yang mengkonfirmasi tesis di atas. Dia meneliti hubungan antara
pengendalian korupsi dengan:

(1) Kapasitas perusahaan berinovasi;

(2) Kualitas riset saintifik nasional;

(3) Proporsi belanja R&D terhadap PDB di negara-negara Uni Eropa.

Dari hasil tudi tersebut didapatkan bahwa pengendalian korupsi terbukti berkorelasi
erat dengan nomor (1), (2) dan (3) berturut-turut sebesar 0,84, 0,85 dan 0,9.
Laporan ini membuat kesimpulan bahwa masalah institusional seperti pengendalian
korupsi memiliki pengaruh besar dalam mendorong kapasitas inovasi nasional.

Agenda Prioritas

Membaca laporan tersebut di atas, penulis jadi teringat dengan buku yang sedang
populer di jagad ilmu ekonomi dunia saat ini yakni Why Nations Fail: The Origins of
Power, Prosperity and Poverty (2012) yang ditulis oleh duo Profesor dari MIT dan
Harvard yakni Acemoglu dan Robinson.

Keduanya meneliti selama 15 tahun tentang apa faktor-faktor yang menentukan


sebuah negara-bangsa itu kaya atau miskin, sukses atau gagal, maju atau
terbelakang. Dari proses studi yang panjang itu, keduanya akhirnya sampai pada
satu kesimpulan bahwa faktor institusional adalah faktor yang paling menentukan
dibandingkan faktor-faktor lainnya. Institusi yang inclusive baik di bidang politik,
hukum maupun ekonomi yang paling menentukan kemajuan bangsa-bangsa.
Sebaliknya, institusi yang extraktif dan eksploitatif yang menguntungkan sebagian
kecil orang atau elit saja yang menyebabkan bangsa-bangsa mengalami kegagalan
dan keterpurukan.

Oleh karena itu sudah saatnya kita menempatkan masalah institusional ini sebagai
isu sentral pembangunan nasional. Perlu ada upaya yang benar-benar serius untuk
menangani masalah ini. Dengan memperbaiki permasalahan institusional kita,
penulis yakin Sistem Inovasi Nasional yang kredibel akan dengan mudah kita
wujudkan.

Anda mungkin juga menyukai