Anda di halaman 1dari 2

Pudarnya Jancuk

Ketika mendengar kata-kata Walter itu, Sergeant Djepris naik darah. Dan
dia berkata, Orang Jawa itu kotor. Orang Jawa bodoh, orang Jawa malas,
orang Jawa tidak beschafd (Kartodikromo, 2015: 118).
AKU pernah mendengar seorang kawan berkata. Kalau misuh pakai
bahasa Inggris itu lebih enak didengar daripada pakai bahasa Jawa.
Jancuk! Berani-beraninya merendahkan bahasa pisuhan paling rusak (tapi
nikmat) sedunia. Sebuah bahasa yang pisuhan-pisuhannya sangat
destruktif dari segi makna, namun lugas dari segi tajwid.
Tentunya aku tidak benar-benar misuh kepada kawanku itu. Aku sadar
pernyataannya tadi amat dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya yang
terteror film-film Hollywood. Umpatan-umpatan bertebaran di sana. Bukan
hanya bertebaran, mereka adalah umpatan mahal yang keluar dari aktor
dan aktris populer dengan tampang menawan dan harta berlimpah.
Umpatan asing terangkat martabatnya meski di negeri asal pun tetap
dinilai kasar.
Sementara bahasa Jawa telah mengalami degradasi pemakaian bahkan
oleh manusia Jawa sendiri. Jangankan dipakai dalam suatu film, bahasa
Jawa ngoko yang dipakai sehari-hari tidak berkembang secara variatif.
Hingga akhirnya terjadi kejenuhan berbahasa, dan pelafalnya
menyelipkan bahasa Indonesia serta Inggris ke bahasa Jawa yang mereka
gunakan. Termasuk pisuhan.
Heran. Karena melihat sejarah penggunaannya, bahasa Jawa adalah
bahasa yang penting pengaruhnya terhadap bahasa Indonesia. Benedict
Anderson melalui esainya yang terkenal Bahasa Politik Indonesia (1996)
menjelaskan hal ini dengan rapi. Bahasa Indonesia mulanya adalah titik
tengah antara bahasa Belanda dan bahasa Jawa. Bahasa Melayu
revolusioner (demikian Anderson menyebut bahasa Indonesia) digunakan
sebagai bahasa perlawanan terhadap hegemoni Belanda. Lalu pasca 1956
mungkin karena terlalu sering digunakan tanpa dimaknai secara
mendalam bahasa Melayu revolusioner kehilangan aura revolusinya. Di
sinilah Jawanisasi bahasa terjadi.
Dua hal yang paling nampak dalam Jawanisasi ini adalah kramanisasi
bahasa Indonesia dan munculnya ngoko baru. Dalam bahasa Jawa, krama
menekankan jarak dan status antara pelafalnya. Sementara ngoko lebih
lugas, jenaka, terkadang sinis, dan digunakan oleh para pelafal yang
akrab satu sama lain. Anderson lantas menyimpulkan, Krama lebih resmi,
aspiratif seperti topeng. Ngoko lebih personal, sinis, bergairah mirip
seperti hati. Krama dalam bahasa Indonesia adalah kata-kata formal
laiknya mahasiswa berbicara dengan dosennya (neo-feodal?), dan ngoko
adalah bahasa kongko atau bahasa Indonesia yang lebih luwes plus
bahasa slang.

Pisuhan jelas menjadi bagian tak terpisahkan dari bahasa ngoko. Ia bukan
topeng, tapi hati. Pisuhan menjadi istimewa karena tidak ditemukan
padanan kramanya. Cocote tidak berubah menjadi cocotipun. Asu
tidak berubah menjadi segawon. Serta jancuk, apa versi kramanya?
Pudarnya pisuhan bisa menandai pudarnya bahasa perlawanan yang dulu
dipakai untuk menghadapi feodalisme priayi. Meminjam pernyataan
Bandung Mawardi yang pernah kudengar, misuh adalah selemahlemahnya perlawanan. Ketika fisik tak berdaya senjata tak punya, melalui
pisuhan-lah perlawanan terakhir terhadap ketidakadilan dilancarkan.
Post-Jawanisasi Bahasa Indonesia
Masuknya bahasa Inggris dalam budaya populer tidak bisa disamakan
dengan bahasa Belanda pada era kolonial. Bahasa Belanda masuk melalui
politik etis, sehingga orang-orang Hindia diberikan pendidikan dan mampu
mempelajari pemikiran-pemikiran Barat. Orang yang mampu berbahasa
Belanda hanyalah orang yang benar-benar berpendidikan. Sampai-sampai
bahasa ini dianggap sebagai krama inggil-nya bahasa Indonesia.
Sedangkan bahasa Inggris menyerang lewat budaya massa yang
seragam, pasif bagi penerimanya, dan melenakan. Kalangan
berpendidikan mungkin saja mengoptimalkan kemampuan berbahasa
Inggris ini seperti para intelektual pra revolusi 1945. Tapi golongan
menengah dan bawah hanya mendengar kedangkalan bahasa Inggris
lewat lagu dan film (celakanya, manusia Indonesia adalah manusia
pendengar dan penonton. Bukan pembaca dan penulis).
Tradisi kritis berbahasa hilang. Yang dulu dipakai sudah ditinggalkan,
padahal belum mendalami maknanya. Yang baru sudah keburu dipakai,
padahal belum jelas asal-usulnya. Fuck, shit, damn, asshole, tertelan
mulut-mulut orang Jawa, lalu dikeluarkan lagi dalam wujud muntahan
yang baunya bukan main. Jangan-jangan sifat orang Jawa seperti yang
dikatakan Sergeant Djepris yang kukutip di awal tulisan memang benar
adanya. Hingga pisuhan pun kudu diimpor dari luar negeri.
Maka misuhlah secara kritis. Misuhlah pada tempatnya. Dan misuhlah
sebelum misuh itu dila. Misuh belum dilarang kan?![]
Satya Adhi. Mahasiswa S1 Komunikasi Terapan (yang katanya Ilmu
Komunikasi) Universitas Sebelas Maret. Gemar berjalan kaki. Surel:
muhammadsatya31@gmail.com.

Anda mungkin juga menyukai