Anda di halaman 1dari 23

JOURNAL READING

INDUKSI PERSALINAN

Oleh:
Mohd Ariff Hasreen Bin Ahlun
110100445
Pembimbing:
dr. Marwan Indamirsah, M. Ked (OG), Sp. OG
DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT, makalah ini telah selesai
disusun sebagai salah satu syarat lulus dari Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada
yang terhormat dr.Marwan Indamirsah, M.Ked (OG), Sp.OG sebagai pembimbing di
Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang
telah memberikan waktunya dalam membimbing dan membantu selama pelaksanaan makalah
ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penulisan makalah ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menghasilkan
karya yang lebih baik lagi di kemudian hari.
Akhir kata, penulis memohon maaf atas segala kekurangan yang ada dan semoga
makalah ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi kita semua.
Medan, Agustus 2016
Penulis,
( Mohd Ariff Hasreen )

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................

ii

DAFTAR ISI ...............................................................................................

iii

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................

1.0 Induksi Persalinan ..................................................................................

1.1 Definisi Induksi Persalinan ....................................................................

1.2 Indikasi Insuksi Persalinan ....................................................................

1.3 Kontra Indikasi ......................................................................................

1.4 Komplikasi atau Risiko Melakukan Induksi Persalinan ........................

1.5 Persyaratan .............................................................................................

1.6 Proses Induksi ........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

11

LAMPIRAN

TINJAUAN PUSTAKA

1.0

Induksi Persalinan

1.1

Definisi Induksi Persalinan


Induksi dimaksudkan sebagai stimulasi kontraksi sebelum mulai terjadi persalinan

spontan, dengan atau tanpa rupture membrane. Augmentasi merujuk pada stimulasi terhadap
kontraksi spontan yang dianggap tidak adekuat karena kegagalan dilatasi serviks dan penurunan
janin.1
Secara umum induksi persalinan adalah berbagai macam tindakan terhadap ibu hamil
yang belum inpartu, baik secara operatif maupun medisinal, untuk merangsang timbulnya atau
mempertahankan kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan. Atau dapat juga diartikan sebagai
inisiasi persalinan secara buatan setelah janin viable. (Llewellyn, 2002).
1.2

Indikasi Induksi Persalinan


Induksi persalinan hanya diindikasikan sekiranya lebih banyak memberikan kebaikan

kepada si ibu ataupun janin. Induksi persalinan mungkin diperlukan untuk menyelamatkan janin
dari lingkungan intra uteri yang potensial berbahaya pada kehamilan lanjut untuk berbagai alasan
atau karena kelanjutan kehamilan membahayakan ibu.1
Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini, hipertensi gestasional,
oligohidramnion, kehamilan lebih waktu dan penyakit lain yang diderita si ibu seperti hipertensi
kronis dan diabetes.2
1.3

Kontra Indikasi
Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi untuk menghindarkan

persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu: disproporsi sefalopelvik (CPD), plasenta
previa, gamelli, polihidramnion, riwayat sectio caesar klasik, malpresentasi atau kelainan letak
janin, gawat janin, vasa previa, hidrosefalus, dan infeksi herpes genital aktif.1

1.4

Komplikasi atau Risiko Melakukan Induksi Persalinan


4

Komplikasi dapat ditemukan selama pelaksanaan induksi persalinan maupun setelah bayi
lahir. Komplikasi yang dapat ditemukan antaranya melahirkan secara cesarean, korioamnionitis,
ruptur uteri, perdarahan postpartum akibar dari atoni uteri.1
1.5

Persyaratan
Untuk

dapat

melaksanakan

induksi

persalinan

perlu

dipenuhi

beberapa

kondisi/persyaratan sebagai berikut:


1. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)
2. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar dan menipis, hal ini
dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop. Jika kondisi tersebut belum terpenuhi maka
kita dapat melakukan pematangan serviks dengan menggunakan metode farmakologis
atau dengan metode mekanis.
3. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.
4. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul.
Apabila kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka induksi persalinan mungkin tidak
memberikan hasil yang diharapkan. Untuk menilai keadaan serviks dapat dipakai skor Bishop.
berdasarkan kriteria Bishop, yakni:
1. Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalinan biasanya berhasil diinduksi
dengan hanya menggunakan induksi.
2. Jika kondisi serviks tidak baik (skor <5), matangkan serviks terlebih dahulu sebelum
melakukan induksi. (Yulianti, 2006 & Cunningham, 2013)
Tabel 1.1 Tabel Skor Bishop
NILAI
FAKTOR
Pembukaan (cm)
Penipisan (%)
Penurunan
Konsistensi
Posisi

0
0
0-30%
-3
Tegang
Posterior

1-2
3-4
40-50%
60-70%
-2
-1
Sedang
Lunak
Pertengahan
Anterior
Tabel 1.1 Tabel Skor Bishop

3
5
80%
+1/+2

Pada kebanyakan kasus, teknik yang digunakan untuk meningkatkan favorability atau
kematangan serviks juga menstimulasi kontraksi. Jadi teknik tersebut dapat digunakan untuk
menginduksi persalinan. Metode yang digunakan untuk mematangkan serviks meliputi preparat
farmakologis dan berbagai bentuk distensi serviks mekanis.1
5

Metode farmakologis diantaranya yaitu pemberian prostaglandin E2 (dinoprostone,


cervidil, dan prepidil), prostaglandin E1 (Misoprostol atau cytotec), dan donor nitrit oksida.
Sedangkan yang termasuk kedalam metode mekanis yakni kateter transservikal (kateter foley),
ekstra amnionik salin infusion (EASI), dilator servikal higroskopik, dan stripping membrane1.
Tabel 1.2 Teknik Pematangan Serviks
TEKNIK
FARMAKOLOGI
Prostaglandin E2

Prostaglandin E1a

AGEN

DOSIS

Dinoprostone gel, 0.5mg


(Predipil)
Dinoprostone 10mg (Cervidil)
Misoprostol Tablet, 100
ataupun 200 mikrogram

Servikal 0.5mg/ 6 jam


Max: 3 kali pemberian
Fornix posterior, 10mg
Vaginal, 25 mikrogram/ 3-6
jam
Oral, 50-100 mikrogram/ 3-6
jam

MEKANIKAL
Transervikal Kateter Foley
Hyqroscopic dilators

1.6

30ml balloon
Laminaria, magnesium sulfate

Proses Induksi
Ada dua cara yang biasanya dilakukan untuk memulai proses induksi, yaitu kimia dan

mekanik. Namun pada dasarnya, kedua cara ini dilakukan untuk mengeluarkan zat prostaglandin
yang berfungsi sebagai zat penyebab otot rahim berkontraksi.
Secara kimia atau farmakologis
1. Prostaglandin E2 (PGE2)
PGE2 tersedia dalam bentuk gel, time-release vaginal insert, dan 10mg suppository. Gel
atau time-release vaginal insert diindikasikan untuk pematangan serviks sebelum induksi
dilakukan. PGE2 memperlunak jaringan ikat serviks dan merelaksasikan serabut otot serviks,
sehingga mematangkan serviks1.
Bentuk gelnya (prepidil) tersedia dalam suntikan 2,5 ml untuk pemberian intraserviks
berisi 0,5 mg dinoprostone. Ibu dalam posisi terlentang, ujung suntikan yang belum diisi
diletakkan di dalam serviks, dan gel dimasukkan tepat di bawah os serviks interna. Setelah
pemberian, ibu tetap berbaring selama setidaknya 30 menit. Dosis dapat diulang setiap 6 jam,
dengan maksimum tiga dosis yang direkomendasikan dalam 24 jam1.

Cervidil (dinoprostone 10 mg) juga diakui untuk pematangan serviks. Bentuknya yang
persegi panjang (berupa wafer polimerik) yang tipis dan datar, yang dibungkus dalam kantung
jala kecil berwarna putih yang terbuat dari polyester. Kantungnya memiliki ekor panjang agar
mudah untuk mengambilnya dari vagina. Pemasukannya memungkinkan dilepaskannya obat 0,3
mg/jam (lebih lambat dari pada bentuk gel)1.
Cervidil digunakan dalam dosis tunggal yang diletakkan melintang pada forniks posterior
vagina. Pelumas harus digunakan sedikit, atau tidak sama sekali, saat pemasukan. Pelumas yang
berlebihan dapat menutupi dan mencegah pelepasan dinoprostone. Setelah pemasukan, ibu harus
tetap berbaring setidaknya 2 jam. Obat ini kemudian dikeluarkan setelah 12 jam atau ketika
persalinan aktif mulai terjadi1.
Cervidil ini dapat dikeluarkan jika terjadi hiperstimulasi. American College of
Obstetricians and Gynecologists (1999) merekomendasikan agar pemantauan janin secara
elektronik digunakan selama cervidil digunakan dan sekurang-kurangnya selama 15 menit
setelah dikeluarkan1.
Efek samping setelah pemberian prostaglandin E2 pervaginam adalah peningkatan
aktivitas uterus, menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (1999)
mendeskripsikannya sebagai berikut:
1. Takisistol uterus diartikan sebagai 6 kontraksi dalam periode 10 menit.
2. Hipertoni uterus dideskripsikan sebagai kontraksi tunggal yang berlangsung lebih lama
dari 2 menit.
Hiperstimulasi uterus jika salah satu kondisi menyebabkan pola denyut jantung janin
yang meresahkan. Karena hiperstimulasi yang dapat menyebabkan masalah bagi janin bisa
berkembang jika prostaglandin diberikan sebelum adanya persalinan spontan, maka
penggunaannya tidak direkomendasikan. Kontra indikasi untuk agen prostaglandin secara umum
meliputi asma, glaucoma, peningkatan tekanan intra-okular1,2.

2. Prostaglandin E1 (PGE1)
Misoprostol atau cytotec adalah PGE1 sintetik, diakui sebagai tablet 100 atau 200 g.
Obat ini telah digunakan secara off label (luas) untuk pematangan serviks prainduksi dan dapat

diberikan per oral atau per vagina. Tablet ini lebih murah daripada PGE2 dan stabil pada suhu
ruangan1,2.
Misoprostol oral maupun vagina dapat digunakan untuk pematangan serviks atau induksi
persalinan. Dosis yang digunakan 25 50 g dan ditempatkan di dalam forniks posterior vagina.
100 g misoprostol per oral atau 25 g misoprostol per vagina memiliki manfaat yang serupa
dengan oksitosin intravena untuk induksi persalinan pada perempuan saat atau mendekati cukup
bulan, baik dengan rupture membrane kurang bulan maupun serviks yang baik. Walaupun
misoprostol dapat dikaitkan dengan peningkatan angka hiperstimulasi. Selain itu induksi dengan
PGE1, mungkin terbukti tidak efektif dan memerlukan augmentasi lebih lanjut dengan oksitosin,
dengan catatan jangan berikan oksitosin dalam 8 jam sesudah pemberian misoprostol. Karena itu,
terdapat pertimbangan mengenai risiko, biaya, dan kemudahan pemberian kedua obat, namun
keduanya cocok untuk induksi persalinan. Pada augmentasi persalinan, hasil dari penelitian awal
menunjukkan bahwa misoprostol oral 75 g yang diberikan dengan interval 4 jam untuk
maksimum dua dosis, aman dan efektif. (Saifuddin, 2002, Cunningham, 2013)
3. Donor nitrit oksida1,2
Beberapa temuan telah mengarahkan pada pencarian zat yang menstimulusi produksi
nitrit oksida (NO) lokal yang digunakan untuk tujuan klinis diantaranya yakni, NO merupakan
mediator pematangan serviks, metabolit NO pada serviks meningkat pada awal kontraksi uterus,
dan produksi NO di serviks sangat rendah pada kehamilan lebih bulan. Dasar pemikiran dan
penggunaan donor NO yaitu isosorbide mononitrate dan glyceryl trinitrate. Isosorbide
mononitrate menginduksi COX-2 serviks, agen ini juga menginduksi pengaturan ulang
ultrastruktur serviks, serupa dengan yang terlihat pada pematangan serviks spontan. Namun
sejauh ini uji klinis belum menunjukkan bahwa donor NO sama efektifnya dengan prostaglandin
E2 dalam menghasilkan pematangan serviks, dan penambahan isosorbide mononitrate pada
dinoprostone atau misoprostol tidak meningkatkan pematangan serviks pada awal kehamilan
atau saat cukup bulan dan tidak mempersingkat waktu pelahiran pervaginam.

4. Oksitoksin1,2
Tujuan induksi atau augmentasi adalah untuk menghasilkan aktifitas uterus yang cukup
untuk menghasilkan perubahan serviks dan penurunan janin. Penggunaan oksitoksin dihentikan
sekiranya frekuensi kontraksi lebih dari 5 kali dalam 10 menit.
8

Sejumlah regimen oksitosin untuk stimulasi persalinan direkomendasikan oleh American


College of Obstetricians and Gynecologists. Oksitosin diberikan dengan menggunakan protokol
dosis rendah (1 4 mU/menit) atau dosis tinggi (6 40 mU/menit), awalnya hanya variasi
protokol dosis rendah yang digunakan di Amerika Serikat, kemudian dilakukan percobaan
dengan membandingkan dosis tinggi, dan hasilnya kedua regimen tersebut tetap digunakan untuk
induksi dan augmentasi persalinan karena tidak ada regimen yang lebih baik dari pada terapi
yang lain untuk memperpendek waktu persalinan1,2.
Oksitosin digunakan secara hati-hati karena gawat janin dapat terjadi dari hiperstimulasi.
Walaupun jarang, rupture uteri dapat pula terjadi, lebih-lebih pada multipara. Untuk itu
senantiasa lakukan observasi yang ketat pada ibu yang mendapat oksitosin.
Dosis efektif oksitosin bervariasi, kecepatan infus oksitosin untuk induksi persalinan
dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 1.3 Regimen Oksitoksin Dosis rendah dan Tinggi
Regimen

Dosis awal

Penaikan Dosis

Interval (menit)

(mU/menit)
(mU/menit)
0,5-1,5
1
15-40
2
4, 8, 12, 16, 20, 25, 30
15
Tinggi
4
4
15
4,5
4,5
15-30
6
6
20-40
Dublin (tahun 1984) menguraikan protokol untuk penatalaksanaan aktif

Rendah

persalinan yang menggunakan oksitosin dosis awal dan tambahan 6 mU/menit dan di Parkland
Hospital, Satin, dkk (1992) mengevaluasi regimen oksitosin dengan dosis tersebut, peningkatan
dengan interval 20 menit jika diperlukan, menghasilkan rata-rata waktu masuk ke persalinan
yang lebih singkat, lebih sedikit induksi yang gagal, dan tidak ada kasus sepsis neonatus. Dengan
percobaan pada sampel yang berbeda, mereka yang mendapat regimen 6 mU/menit memiliki
durasi waktu persalinan yang lebih singkat, persalinan forseps yang lebih sedikit, pelahiran
caesar karena distosia yang lebih sedikit, dan menurunnya korioamnionitis intrapartum atau
sepsis neonatorum.
Dengan demikian, manfaat yang lebih banyak didapatkan dengan memberikan regimen
dosis yang lebih tinggi dibandingkan dosis yang lebih rendah. Di Parkland hospital penggunaan
regimen oksitosin dengan dosis awal dan tambahan 6 mU/menit secara rutin telah dilakukan
hingga saat ini. Sedangkan di Birmingham Hospital di University Alabama memulai oksitosin
9

dengan dosis 2 mU/menit dan menaikkannya sesuai kebutuhan setiap 15 menit yaitu menjadi 4,
8, 12, 16, 20, 25, dan 30 mU/menit. Walaupun regimen yang pertama tampaknya sangat berbeda,
jika tidak ada aktifitas uterus, kedua regimen tersebut mengalirkan 12 mU/menit selama 45 menit
ke dalam infuse.
Oksitoksin jarang menyebabkan ruptur uteri walaupun pada ibu primigravida kecuali
pada ibu yang memiliki parut bekas operasi pada uterus. Oksitoksin juga bersifat antidiuretik
sehingga bisa menyebabkan konvulsi, koma dan kematian. Oleh karena itu, penggunaan
oksitoksin haruslah secara berhati-hati agar efek samping tidak terjadi.
Secara mekanis atau tindakan
a) Kateter Transservikal (Kateter Foley)1
Kateter

foley merupakan alternatif yang efektif disamping pemberian prostaglandin

untuk mematangkan serviks dan induksi persalinan. Akan tetapi tindakan ini tidak boleh
digunakan pada ibu yang mengalami servisitis, vaginitis, pecah ketuban, dan terdapat riwayat
perdarahan. Kateter foley diletakkan atau dipasang melalui kanalis servikalis (os seviks interna)
di dalam segmen bawah uterus (dapat diisi sampai 100 ml). Tekanan kearah bawah yang
diciptakan dengan menempelkan kateter pada paha dapat menyebabkan pematangan serviks.
Modifikasi cara ini, yang disebut dengan extra-amnionic saline infusion (EASI), cara ini
terdiri dari infus salin kontinu melalui kateter ke dalam ruang antara os serviks interna dan
membran plasenta. Teknik ini telah dilaporkan memberikan perbaikan yang signifikan pada skor
bishop dan mengurangi waktu induksi ke persalinan.
Gambar 1.1 Extra-amnionic Saline Infusion (EASI)

10

Penempatan kateter, dengan atau tanpa infus salin yang kontinu, menghasilkan perbaikan
favorability serviks dan sering kali menstimulasi kontraksi. Sherman dkk. (1996), merangkum
hasil dari 13 percobaan dengan metode ini menghasilkan peningkatan yang cepat pada skor
bishop dan persalinan yang lebih singkat. Chung dkk. (2003) secara acak mengikutsertakan 135
wanita untuk menjalani teknik induksi persalinan dengan kateter foley ekstra amnion dengan
inflasi balon sampai 30 ml juga menghasilkan waktu rata-rata induksi ke pelahiran memendek
secara nyata. Levy dkk. (2004) melaporkan bahwa penggunaan balon kateter foley transservikal
80 ml lebih efektif untuk pematangan serviks dan induksi dari pada yang 30 ml.
(Cunningham, 2013)
Adapun teknik pemasangan kateter foley yaitu sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Pasang speculum pada vagina.


Masukkan kateter foley pelan-pelan melalui servik dengan menggunakan cunam tampon.
Pastikan ujung kateter telah melewati ostium uteri internum
Gelembungkan balon kateter dengan memasukkan 10 ml air.
Gulung sisa kateter dan letakkan dalam vagina
Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi uterus atau maksimal 12 jam.
Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkannya dan kemudian lanjutkan dengan
infus oksitosin.

b) Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)1

11

Dilatasi serviks dapat juga di timbulkan menggunakan dilator serviks osmotik


higroskopik. Teknik yang dilakukan yakni dengan batang laminaria dan pada keadaan dimana
serviks masih belum membuka. Dilator mekanik ini telah lama berhasil digunakan jika
dimasukkan sebelum terminasi kehamilan, tetapi kini alat ini juga digunakan untuk pematangan
serviks sebelum induksi persalinan. Pemasangan laminaria dalam kanalis servikalis dan
dibiarkan selama 12-18 jam, kemudian jika perlu dilanjutkan dengan infus oksitosin.
c) Stripping membrane1
Yang dimaksud dengan stripping membrane yaitu cara atau teknik melepaskan atau
memisahkan selaput kantong ketuban dari segmen bawah uterus. Induksi persalinan dengan
stripping membran merupakan praktik yang umum dan aman serta mengurangi insiden
kehamilan lebih bulan. Stripping dapat dilakukan dengan cara manual yakni dengan jari tengah
atau telunjuk dimasukkan dalam kanalis servikalis.
d) Induksi Amniotomi
Ruptur membran artifisial atau terkadang disebut dengan induksi pembedahan, teknik ini
dapat digunakan untuk menginduksi persalinan. Pemecahan ketuban buatan memicu pelepasan
prostaglandin. Amniotomi dapat dilakukan sejak awal sebagai tindakan induksi, dengan atau
tanpa oksitosin. Pada uji acak, Bacos dan Backstrom (1987) menemukan bahwa amniotomi saja
atau kombinasi dengan oksitosin lebih baik dari pada oksitosin saja. Induksi persalinan secara
bedah (amniotomi) lebih efektif jika keadaan serviks baik (skor Bishop > 5). Amniotomi pada
dilatasi serviks sekitar 5 cm akan mempercepat persalinan spontan selama 1 sampai 2 jam,
bahkan Mercer dkk. (1995) dalam penelitian acak dari 209 perempuan yang menjalani induksi
persalinan baik itu amniotomi dini pada dilatasi 1-2 cm ataupun amniotomi lanjut pada dilatasi 5
cm didapatkan awitan persalinan yang lebih singkat yakni 4 jam.
Namun ada komplikasi atau resiko yang dapat timbul setelah dilakukan amniotomi yakni:
sekitar 0,5 % terjadi prolaps tali pusat, infeksi (jika jangka waktu antara induksi-persalinan > 24
jam), perdarahan ringan, perdarahan post partum (resiko relatif 2 kali dibandingkan dengan tanpa
induksi persalinan), hiperbilirubinemia neonatus (bilirubin > 250 mol/l). (Llewellyn, 2002)

e) Stimulasi putting susu1

12

Untuk stimulasi payudara gunakan pedoman CST dan pantau DJJ dengan auskultasi atau
pemantauan janin dengan cardiotografi. Observasi adanya hiperstimulasi pada uterus.
f) Hubungan seksual1
Hanya dilakukan apabila ketuban dalam keadaan utuh. Orgasme pada wanita akan
menyebabkan kontraksi uterus. Semen atau sperma mengandung prostaglandin, sehingga dapat
pula merangsang kontraksi.

DAFTAR PUSTAKA
13

1. Cunningham. G, Leveno. K, Bloom. S, Spong. C, Dashe. J, et al. 2014. Williams &


Obstetrics. 24th edition. Mc- Graw Hill Education. United States.
2. American College of Obstetrician & Gynaecology. 2003. Dystocia & Augmentation of
Labor. Practice Bulletin No.49. United States
3. Collingham. J, Fuh. K, Caughey. A, et al. 2010. Oras Misoprostol & Vaginal Isosorbide
Mononitrate for Labor Induction. Obstetric Gynaecology 116 (1): 121.

14

Stimulasi Melahirkan Dengan Menggunakan Oksitoksin: Efek Secara Obstetri Dan


Terhadap Janin

Objektif: Untuk mengevaluasi efek melahirkan dengan stimulasi oksitoksin terhadap maternal
dan neonatal. Metode: Penelitian secara deskresiptf dan analitik denganmenggunak 338 wanita
yang melahirkan di rumah sakit tertier. Variabel obstetrik dan neonatal diukur dan dibandingkan
terhadap kelompok wanita yang menerima oksitoksin dengan yang tidak menerima oksitoksin.
Statistik diukur dengan menggunakan Chi-square, tes Fisher, tes Student t-test, dan crude Odss
Ratio dengan Confidence Interval 95%. Nilai p < 0.05 adalh signifikan. Hasil: Stimulasi dengan
menggunakan oksitoksin meningkatkan kadar operasi Cesarean, anestesi epidural, dan demam
maternal baik terhadap wanita primigravida maupun multigravida. Selain itu, penggunaan
oksitoksin juga sering dikaitkan dengan kadar pH yang rendah pada darah uri-uri dan durasi kala
1 yang lebih pendek pada wanita primigravida. Tetapi, penggunaan oksitoksin tidak berpengaruh
terhadap kadar laserasi perineal derajat 3 dan 4, episiotomi, resusitasi neonatus, Skor Apgar 5
menit dan mekonium. Konklusi: stimulasi dengan menggunakan oksitoksin harus digunakan
secara sistematis tetapi hanya pada kasus tertentu. Penelitian ini sangat berguna terhadap dokter
dan bidan mengenai efek penggunaan oksitoksin dalam proses melahirkan.
Kata kunci: Oksitoksin; Melahirkan; Neonatus.

Introduksi
Oksitoksin adalah medikasi yang sering digunakan dalam menginduksi proses
melahirkan. Oksitoksin sangat berpengaruh terhadap kontraksi uterus. Oksitoksin sering
digunakan untuk meningkatkan kontraksi uterus sekiranya proses melahirkan gagal dengan
harapan persalinan pervaginam masih dapat diteruskan.
Penggunaan oksitoksin telah diindikasikan sebagai tatalaksana distosia. Dengan
menggunakan oksitoksin, diharapkan kadar operasi Cesarean menurun. Hal ini kerana, distosia
dan proses melahirkan yang terlalu lama adalah indikasi untuk dilakukan operasi Cesarean.

Pada tahun 2007, Institute for the Safety of Medical Practice mengatakan bahwa,
penggunaan oksitoksin harus secara berhati- hati. Hal ini karena, oksitoksin sangat berisiko
tinggi untuk menimbulkan efek yang buruk jika tidak digunakan dengan benar. Kesalahan
menggunakan oksitoksin sangat sering dilakukan saat melahirkan dimana dosis oksitoksin yang
terlalu tinggi menyebabkkan aktivitas uterus yang berlebihan.
Intervensi dengan menggunakan oksitoksin, terutama dengan menggunakan dosis yang
tinggi berpotensi untuk menimbulkan efek samping terhadap maternal dan juga janin yang
dikandungnya seperti takisistol uteri dan kelainan denyut jantung janin. Hal ini terjadi karena
adanya penggurangan ataupun gangguan terhadap aliran darah di ruangan intervilli saar
kontraksi terjadi. Kontraksi saat proses melahirkan masih bisa ditoleransi janin, tetapi risiko
terjadinya fetal hipoksemia dan asidemia bisa terjadi sekiranya kontraksi uterus terlalu banyak
atau terlalu lama. Roman dan Lothian melaporkan bahwa tanpa adanya komplikasi, intervensi
saat proses melahirkan yang fisiologis meningkatkan resiko tejadinya perubahan terhadap
maternal dan janinya. Mereka mengatakan bahwa, proses melahirkan secara normal haruslah
diutamakan tanpa adanya intervensi. Tetapi ada penelitian lain menyimpulkan bahwa
penggunaan oksitoksin dosis tinggi untuk membantu proses melahirkan menurunkan kadar
operasi Cesarean dan durasi melahirkan yang lebih pendek tanpa adanya efek samping terhadap
maternal dan janinnya.
Di Sepanyol, Menteri Kesehatan Sepanyol

dalam Strategi Kelahiran Normal

merekomendasikan untuk membatasi penggunaan oksitoksin dalam proses melahirkan.


Stimulasi melahirkan dengan menggunakan oksitoksin dan amniotomi sering dilakukan
di rumah sakit dimana penelitian ini dilakukan (rumah sakit tertiar di Sepanyol).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efek stimulasi melahirkan dengan
menggunakan oksitoksin terhadap maternal dan janinnya. Objektif spesifik adalah:
membandingkan kadar operasi Cesarean, Skor Apgar 5 menit, kadar pH darah arterir uri-uri dan
jenis resusitasi neonatus yang diperlukan diantara kelompok wanita yang diberikan oksitoksin
dan kelompok wanita yang tidak menerima oksitoksin.

METODE
Studi ini dilakukan secara deskriptif dan analitik di rumah sakit tertier di Selatan
Sepanyol, dimana 338 wanita melahirkan dari periode September 2011 sehingga September
2013. Rumah sakit ini adalah rumah rujukan baik peringkat regional maupun nasional.
Populasi studi ini meliputi seluruh wanita primigravida dan multigravida yang
melahirkan secara spontan pada periode tersebut.
Kriteria inklusi adalah: kehamilan aterm, kehamilan resiko rendah, onset melahirkan
secara spontan, melahirkan spontan dengan presentasi kepala. Wanita yang melahirkan secara
induksi dan wanita yang tidak melahirkan baik secara elektif ataupun operase Cesarean
emergensi diekslusikan dari penelitian ini.
Pasien yang termasuk dalam kriteria inklusi dibentuk menjadi kelompok yaitu, kelompok
yang menerima oksitoksin dan wanita yang tidak menerima oksitoksin dan melahirkan secara
spontan. Variabel obstetrik dan neonatus diukur dan dibandingkan diantara kedua kelompok
tersebut.
Stimulasi oksitoksin didefinisikan sebagai administrasi oksitoksin untuk meningkatkan
frekuensi dan intensitas kontraksi pada wanita yang melahirkan secara spontan. Perfusi
oksitoksin dibuat dengan melarutkan 5 unit oksitoksin kedalam 500 ml cairan salin. Perfusi
dimulakan dengan dosis 6 ml/jam. Dosis ditambah 2 kali lipat setiap 30 menit sehingga
mencapai dosis maksimal 96ml/ jam ataupun kontraksi adekuat tercapai. Oksitoksin digunakan
pada proses melahirkan secara spontan dengan kontraksi uterus yang lemah dan tidak meningkat.
Subjek penelitian dipilih secara systematic random sampling dengan memilih satu org
wanita bagi setiap 25 pendaftaran yang dibuat. Data didapatkan secara retrospektif di rekam
medis dan terapi dilakukan secara anonymous. Data yang didapat dimasukkan ke program
Statistic PASW program (versi 18) dan dianalisa.
Variabel

yang

dipertimbangkan

adalah:

Usia

ibu

(Tahun),

paritas

(primigravida/multigravida), usia gestasional (minggu), operasi Caesarean (ya/tidak), laserasi


vagina-perineum derajat 3 atau 4 (ya/tidak), penggunaan oksitoksin selama tahap pertama
persalinan (ya/tidak), jenis kelahiran (eutocic/instrumental/operasi Cesarean), amniontomi

(ya/tidak), demam intrapartum pada maternal (ya/tidak), resusitasi neonatus (ya/tidak), skor
Apgar 5 menit 7 (ya/tidak), kadar pH arteri uri-uri 7.20 (ya/tidak), ditemukan adanya
mekonium pada ciran amnion (ya/tidak) dan durasi kala 1 (jam).
Untuk analisis data, statistik Chi-square dan Fisher tes yang tepat digunakan untuk
variabel kualitatif, dan Student t-test digunakan untuk variabel kuantitatif. Pertama dinyatakan
sebagai frekuensi dan persentase, sedangkan yang terakhir dinyatakan sebagai mean dan standar
deviasi. Crude Odds Rasio dengan 95% Confidence Interval juga dihitung untuk setiap variabel.
P <0,05 dianggap signifikan secara statistik.
Komite Etik di rumah sakit dimana penelitian dilakukan meluluskan desain studi
penelitian ini.

HASIL
Dari 363 perempuan yang dipilih untuk sampel penelitian, 25 dikeluarkan. Dari jumlah
tersebut, 7 dikeluarkan karena anteseden bedah Cesarean, 6 karena darurat bedah Cesarean
tanpa tenaga kerja, lain 2 melahirkan di sebuah rumah sakit yang berbeda, lain 7 karena
kelahiran prematur, dan akhirnya, 3 karena pengiriman kembar. Sampel akhir terdiri dari 338
perempuan.
Rata-rata usia wanita dalam sampel adalah 30,80 (5,01) tahun, dengan usia minimal 16
tahun dan maksimum 46 tahun. Persentase spontan kelahiran, kelahiran instrumental dan bedah
sesar yang 67,5%, 13,9% dan 18,6%, masing-masing. Primigravida perempuan 63% (n = 213)
dan multigravida yang 37% (n = 125). Secara total, 6% perempuan (n = 20) memiliki mengalami
operasi Caesarean sebelumnya. Persentase perempuan yang dirangsang dengan oksitosin adalah
51,5% (N = 174). Demikian juga, persentase perempuan yang menerima anestesi epidural adalah
78% (n = 263). Episiotomi adalah dilakukan di 39% perempuan (n = 133) dan 11,5% (n = 39)
memiliki demam intrapartum. Pemecahan membran artifisial dilakukan di 48,5% perempuan
(n = 164). Rata-rata pH arteri darah tali pusat adalah 7,28 (0,09). Data ini ditunjukkan pada Tabel
1.

Tabel 1- Karakteristik wanita melahirkan di Rumah Sakit

Mengenai hasil kandungan dan bayi (Tabel 2 menunjukkan hasil perempuan


primigravida, dan tabel 3 menunjukkan hasil wanita multigravida). Statistik perbedaan signifikan
yang ditemukan oleh membandingkan hasil tingkat operasi Caesarean, anastesi epidural, demam
intrapartum, pH arteri darah tali pusat dan durasi tahap pertama persalinan pada wanita
primigravida. Ada signifikan perbedaan dalam penggunaan analgesia epidural antara wanita
multigravida

Tabel 2 - Perbandingan diantara kelompok yang menerima oksitoksin dengan yang tidak
menerima oksitoksin

Analisis jenis pengiriman mengakibatkan statistik perbedaan yang signifikan antara


wanita primigravida, dan itu diverifikasi dengan proporsi yang lebih tinggi dari persalinan per
vagina di kelompok wanita dengan tanpa stimulasi oksitosin. Persentase bagian Caesarean di
antara wanita primigravida dengan tanpa stimulasi oksitoksin adalah 9% jauh lebih rendah dari
persentase diamati untuk wanita-wanita dirangsang dengan oksitosin (36%). Sehingga ada
perbedaan yang signifikan (OR 5,76, 95% CI: 2,55-13, p <0,001). Demikian pula, wanita
multigravida yang tidak distimulasi dengan oksitosin menunjukkan persentase yang lebih rendah
dari sesar bagian (OR 6,95, 95% CI: 1,41-34, p = 0,014).
Mengenai laserasi derajat 3 atau 4 dan episiotomy, tidak ada perbedaan yang diamati
antara kedua kelompok pada wanita primigravida dan multigravida. Namun, persentase
perempuan primigravida dengan anestesi epidural dalam kelompok dengan stimulasi oksitosin
adalah 93% (n = 115) dibandingkan 74% (n = 66) pada perempuan tanpa stimulasi oksitosin (OR
4,45, 95% CI: 1,94-10,19, p <0,001). Perbedaan ini lebih tinggi pada wanita multipara, 92%,
ketika dibandingkan dengan 48% (OR = 12,45, 95% CI: 4,07-38, p <0,001). Perbedaan
signifikan juga ditemukan pada demam intrapartum. Persentase perempuan yang memiliki suhu
38 C atau lebih tinggi saat melahirkan dalam kelompok dengan stimulasi oksitosin adalah 21%,
dibandingkan dengan 8% di kalangan wanita tanpa oksitosin (OR 3.10, 95% CI: 1,28-7,52, p =
0,009).
Hasil neonatal dari penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya, di mana
statistik perbedaan yang signifikan yang diamati ketika nilai pH tali darah pusat dari bayi yang
baru lahir dari ibu dirangsang dengan oksitosin dibandingkan dengan ibu tanpa stimulasi
oksitoksin. Oleh yang demikian, penggunaan oksitosin dikaitkan dengan nilai-nilai pH yang

lebih rendah (21-22). Pada penelitian sebelumnya, wanita yang melahirkan tanpa perencanaan
memiliki hasil yang lebih baik pada pH tali darah pusat dari bayi yang baru lahir dibandingkan
dengan ibu dengan kelahiran yang direncanakan yang kurang penggunaan oksitosin dan
intervensi lain (23). Penelitian lain yang terkait penggunaan protokol dengan dosis tinggi
oksitosin dengan tingkat yang lebih tinggi dari rawat inap di unit neonatal, yang berkurang ketika
protokol dengan dosis yang lebih rendah oksitosin digunakan.
Mengenai skor Apgar 5 menit, pada penlilitian ini tidak ada kelainan yang ditemukan.
Tetapi pada penilitian yang lain, peneliti menemukan adanya perbedaan persentasi diantara bayi
yang baru lahir pervaginam pada ibu yang distimulasi dengan oksitoksin dibandingkan dengan
ibu yang tidak distimulasi dengan oksitoksin.
Penelitian ini juga menemukan adanya asosiasi diantara oksitoksin dengan demam
maternal intrapartum. Tetapi pada penelitian yang lain, tidak ada kaitan diantara penggunaan
dosis oksitoksin yang tinggi terhada kejadian demam maternal intrapartum. Pada tahun 2012, ada
penelitian yang menunjukkan adanya kaitan diantara temperatur yang tinggi dengan BMI tubuh
yang tinggi seiring dengan rupturnya membran saat melahirkan. Penggunaan anestesi epidural
tidak memiliki efek terhadap temperatur tubuh. Pada penelitian ini tidak ada kaitan ditemukan
diantara temperatur meternal dengan administrasi epidural.
Dilatasi berlaku lebih lama pada kelompok primigravida yang tidak distimulasi dengan
oksitoksin. Hasil sama seperti penelitian lain yang dibuat sebelumnya yang menunjukkan
kelahiran kala 1 memiliki durasi yang lebih pendek dengan dosis oksitoksin ditingkatkan.

KONKLUSI
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan oksitoksin dalam stimulasi
melahirkan bisa merugikan terhadap si ibu dan janinnya. Penggunaan oksitoksin meningkatkan
kadar operasi Cesarean, penggunaan anestesi epidural, demam maternal intrapartum, pada kedua
primigravida dan multigravida. Selain itu, ada kaitan diantara stimulasi oksitoksin dengan kadar
pH yang rendah pada tali pusat bayi baru lahir terhadap anak ibu yang primgravida. Oksitoksin
juga dibuktikan untuk membantu memendekkan durasi proses melahirkan kala 1. Tetapi tidak

memiliki efek terhadap kadar laserasi derajat 3 dan 4, episiotomi, resusitasi bayi baru lahir, skor
Apgar 5 menit dan mekonium pada cairan amnion.
Oleh karena itu, kita bisa mengkonklusikan bahwa stiimulasi dengan oksitoksin tidak
harus digunakan secara sistematis, tetapi hanya pada kasus-kasus tertentu yang sangat
membutuhkan penggunaan oksitoksin.
Hasl penelitian ini memberikan informasi terhadap petugas kesehatan untuk lebih
memahami efek penggunaan oksitoksin saat melahirkan yang sangat membantu dalam membuat
satu keputusan saat melakukan tatalaksana pasien. Pada masa yang sama, hasil ini juga
menunjukkan bahwa adanya keperluan untuk merubah paradigma dalam proses melahirkan.
Sebagai tambahan, penelitian ini juga memberikan info terhadap ibu-ibu yang ingin tahu lebih
lanjut mengenai proses melahirkan karena seorang ibu berhak tau efek-efek yang mungkin
terjadi saat menggunakan stimulasi oksitoksin.

Anda mungkin juga menyukai