Anda di halaman 1dari 9

BATUK KRONIS

Pencaharian Sebab dan Solusi


Peter V Dicpinigatis, MD; Rakesh V Alva, MD.
[Medical Progress September 2008]

Pada sebagian besar nonsmoker yang tidak menggunakan angiotensin converting


enzym inhibitor (ACEi) dan pasien-pasien yang tidak terbukti dan tidak mempunyai
penyakit aktif pada radiologis, batuk kronis disebabkan oleh postnasal drip
syndrome, asthma, non asthmatic eosinophilic bronchitis, atau gastrooesophageal reflux disease, baik sendiri-sendiri maupun kombinasi. Setiap
keadaan tersebut dapat hanya memberi gejala berupa batuksaja.
Refleks batuk berfungsi memberi perlindungan dengan mencegah benda-benda
asing memasuki traktus respiratorius dan dengan memfasilitasi pengeluaran mukus
dari saluran nafas. Batuk di-picu oleh stimulasi pada reseptor sensorik didalam
traktus respiratorius, yang mana impulse afferent mengaktifkan pusat batuk pada
batang otak. Batuk persisten yang tidak bermanfaat merupakan respons
maladaptive yang mengakibatkan rasa tidak nyaman.
Batuk merupakan keluhan utama yang paling sering pada pasien-pasien rawat
jalan yang mencari pengobatan di USA. Batuk akut, seringkali disebabkan oleh infeksi
virus saluran nafas bagian atas, biasanya self-limited. Penyebab lain dari batuk
akut, antara lain gagal jantung kongestif, pneumonia, emboli paru, dan adanya benda
asing pada endobronchial ataupun adanya malignancy, perlu dipertimbangkan di
klinis. Batuk antara 3-8 minggu disebut sebagai subakut. Batuk kronis
didefinisikan sebagai batuk yang berlangsung lebih dari 8 minggu.
Artikel ini membahas evaluasi dan pengobatan batuk kronis pada orang
dewasa, yang terfokus pada penyebabnya yang paling sering: postnasal drip
syndrome, yang akhir-akhir ini di beri nama dengan UACS (upper airway cough
syndrome); asthma; nonasthmatic eosinophilic bronchitis; dan gastro-oesophageal
reflux disease (GORD).
EVALUASI:
Berbagai penelitian prospektif menunjukkan bahwa evaluasi secara sistemis terhadap
batuk kronis telah memberi diagnosa yang tepat pada sebagian besar kasus. Pada
sebagian besar pasien nonsmoker, serta tidak memnggunakan ACEi, dan mempunyai
gambaran radiologis yang normal, batuk kronis dapat dijelaskan dengan 4 penyebab,
baik sendiri-sendiri maupun dalam kombinasi: UACS, asthma, nonasthmatic
eosinophilic bronchitis, dan GORD. Jika dapat menentukan penyebab spesifik-nya
maka pengobatan akan efektif.
Pada minimal 25% pasien, penyebab batuk kronis yang multiple dapat terjadi
bersamaan, dan respons terhadap terapi terhadap terapi spesifik hanya partial
dapat mengindikasikan bahwa ternyata hanya satu dari berbagai penyebab yang
diatasi. ACCP(American College of Chest Physicians) baru-baru ini mempublikasikan
panduan yang telah di update untuk managemen batuk, yang memasukkan suatu
algoritma diagnostik. Penyederhanaan algoritma dalam meng-evaluasi batuk kronis
tampak pada gambar 1, dan singkatan terhadap ACCP guidelines tampak pada tabel
1.
Penting sekali melaksanakan anamnesa ynag baik dan pemeriksaan fisik yang
teliti. Karena UACS, asthma/nonasthmatic eosinophilic brochitis dan GORD dapat
kesemuanya memberikan gejala batuk sebagai gejala tunggal, maka dibutuhkan
suatu rasa kecurigaan yang besar terhadap kemungkinannya. Tanpa gejala yang
berkaitan, seringkali diberikan trial obat-obat empirical dalam evaluasi batuk
tersebut. Radiologi thoraks harus dipertimbangkan pada setiap orang dewasa yang
mengalami batuk kronis.
Upper Airway Cough Syndrome [UACS]:
Berbagai penelitian prospektif menunjukkan bahwa UACS merupakan penyebab yang
paling sering dari batuk kronis orang dewasa. Suatu petunjuk yang didapat pada
UACS adalah sensasi akumulasi mukus di tenggorokan, yang menyebabkan usaha
untuk membersihkan tenggorok tersebut dan batuk yang lebih sering. UACS dapat
disebabkan oleh alerrgic rhinitis, parennial rhinitis nonallergic , vasomotor rhinitis,
post infectious (postviral) rhinitis, ataupun bacterial rhinosinusitis,yang datangnya
baik seasonal(musiman) maupun terus-terusan. Pilihan terapi tergantung penyebab
spesifik-nya. (tabel-2).

Pada sebagian kecil pasien UACS yang disebabkan oleh bacterial


rhinosinusitis, dianjurkan pemberian antibiotika yang lama (3 minggu atau lebih)
untuk streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenzae dan bakteri-bakteri
anaerob. Untuk bentuk-bentuk lain dari UACS, kombinasi antihistamin generasi
pertama dengan dekongestan merupakan terapi yang paling efektif.
Obat-obat antihistamin baru yang nonsedatif, sayangnya terbukti TIDAK
EFEKTIF pada pengobatan batuk akut yang disebabkan oleh common cold.
Generasi kedua antihistamin tersebut kekurangan efek antitussif untuk mengatasi
batuk-batuk yang diinduksi baik pada volunteer yang sehat maupun pada pasien
dengan penyakit infeksi saluran atas (ISPA). Hal itu tampaknya disebabkan
rendahnya penetrasi obat tersebut pada CNS dan konsekuensi dari potensi
antikolinergiknya yang rendah.
Karena UACS mungkin merupakan penyebab yang paling sering dari batuk
kronis, tampaknya beralasan untuk mengawali terapi empirikal pada pasien-pasien
yang tidak terbukti mempunyai penyebab lain. Ketika Pratter dkk meng-evaluasi
strategi tersebut, mereka mendapatkan terapi antihistamin generasi pertama
/dekongestan ternyata bermanfaat terhadap sekitar 87% pasien tersebut dan hanya
36% dari 45 pasien membutuhkan terapi lainnya. Pasien tersisa kemudian di-evaluasi
sesuai dengan langkah-langkah algoritma.
Asthma dan Nonasthmatic Eosinophilic Bronchitis.
Asthma menyebabkan 24%-29% batuk kronis pada orang-orang dewasa. Asthma
dimana batuk merupakan gejala yang predominan atau satu-satunya gejala disebut
cough variant asthma. Pasien-pasien dengan bentuk asthma demikian, hasilhasil pemeriksaan fisik dan spirometrik dapat normal. Batuk kronis yang tidak dapat
dijelaskan mungkin merupakan indikasi yang paling sering untuk menggunakan
methacholine inhalation challenge(MIC) testing, yang mana dapat meng-identifikasi
responsivitas hiperesponsif bronchial dan menegaskan diagnosa suatu asthma.
Dikarenakan tingginya negative predictive value, maka hasil negative MIC
penting sekali menyingkirkan asthma dari DD batuk kronis. Hasil positif sesuai
dengan, tetapi bukan diagnostik dari adanya suatu cough variant asthma. Diagnosa
ditegaskan hanya dengan adanya pengurangan batuk dengan terapi spesifik asthma.
Irwin dkk melaporkan bahwa batuk yang berkurang dengan terapi spesifik asthma
hanya 9 dari 15 pasien batuk kronis dan hasil positive MIC. Pasien lainnya dapat
mempunyai penyebab lain, terutama UACS dan GORD.
Umumnya, pendekatan terapi terhadap cough variant asthma serupa dengan
terapi bagi tipikal asthma. Banyak pasien-pasien mengalami perbaikan gejala
setelah terapi 1 minggu dengan bronkodilator inhalasi. Bagi batuk yang persisten,
harus ditambahkan inhalasi kortikosteroid. Resolusi(perbaikan) gejala yang
menyeluruh(lengkap) membutuhkan terapi selama 8 minggu(2 bulan).
Suatu prospective, randomized, double-blind placebo-controlled menunjukkan
bahwa antagonist reseptor leukotrient
zafirlukast mengurangi batuk dan
mengurangi sensitivitas refleks batuk pada pasien-pasien cugh-variant asthma,
antara lain pada suatu subgroup pasien dimana batuk-nya refrakter terhadap
kortikosteroid inhalasi. Pada subset pasien cough variant asthma berat yang
refrakter terhadap terapi inhalasi, trial dengan prednison 40 mg/hari, telah
memberikan hasil yang baik.
Telah direkomendasikan suatu langkah-langkah pendekatan terapi terhadap
cough-variant asthma. Apakah antagonist reseptor leukotrient harus dipakai selain,
penambahan terhadap kortikosteroid inhlasi pada terapi cough variant asthma
pada saat ini masih belum jelas . Saat ini terdapat issue kurangnya informasi
mengenai efektifitas leukotrin receptor antagonist terhadap inflamasi kronis dan
airway modelling yang terjadi pada individu asthma.
Penebalan lapisan subepitel, suatu indikasi adanya inflamasi kronis jalan
nafas, telah ditunjukkan pada cough-variant asthma, meskipun dalam skala yang
lebih kecil daripada tipical asthma. Terapi jangka panjang dengan anti-inflamasi,
makanya , pantas bagi pasien-pasien yang mengalami cough-variant asthma, tetapi
apakah monotherapy dengan leukotrient receptor antagonist cukup untuk
mencegah sequele inflamasi jalan nafas kronis dalam hal ini masih memerlukan
penjelasan lebih lanjut.
Subgroup pasien dengan batuk kronis dengan sputum eosinophilia yang lain,
suatu keadaan yang disebut sebagai nonasthmatic eosinophilic bronchitis juga
memberi respons baik terhadap inhalasi kortikosteroid. Diagnosa dibuat dengan hasil
penemuan >3% eosinophil pada sputum yang di-induksi dan negative MIC.
Eosinophilic brochitis berbeda dengan asthma dengan tidak dijumpainya reversible
airway obstruction dan bronchial hyperesponsive-ness terhadap methacholine,

dan dengan kurangnya infiltrasi otot polos saluran nafas oleh mast cells. Pada
penelitian observasional yang dilakukan di Eropa, eosinophilic bronchitis terbukti
menyebabkan batuk kronis pada 13% pasien yang dirujuk pada spesialist, dan pada
11% pasien-pasien yang di-evaluasi oleh primary care physician.
Gastro-oesophageal Reflux Disease:
Pasien-pasien yang mengalami GORD-induced cough seringkali tidak dilaporkan
mengalami adanya gejala reflux yang khas. Karena batuk dapat merupakan hanya
penampakan gejala dari adanya GORD, maka diperlukan dugaan yang kuat terhadap
adanya GORD.
Batuk kronis agaknya dikarenakan adanya asam lambung pada oesophagus
distal, yang merangsang vagally-mediated tracheobronchial reflex. Batuk kronis,
pada gilirannya dapat mem-promote disfungsi sfingter eosophageal bawah, sehingga
meningkatkan refluks dan memperkuat lingkaran setan tersebut. Selain itu, refluks
tersebut dapat juga mencapai oesophagus proksimal dan jalan nafas atas,
merangsang lebih lanjut reseptor aferent batuk. Baru-baru ini istilah
laryngopharyngeal reflux (LPR) telah terbukti merefleksikan adanya proses tersebut.
Gold standard diagnostik GORD adalah monitoring 24 jam pH oesophagus
secara ambulatori. Sayangnya, karena test tersebut bersifat invasive dan tidak
tersedia secara umum, maka di-indikasikan suatu diagnostic therapeutic drug trial.
Komplikasi lebih lanjut dari proses diagnostik tersebut adalah adanya fakta bahwa
pasien-pasien batuk kronis yang disebabkan oleh LPR seringkali memberi hasil
negative pada pH monitoring.
Tindakan-tindakan konservatif, seperti menjaga diet dengan tinggi protein,
rendah lemak; menghindari tembakau, kopi, alkohol, cokelat, pepermint, dan
substansi-substansi lain yang dapat
mem-promote refluks; meninggikan posisi
kepala pada waktu berbaring, dapat dikombinasikan dengan terapi farmakologis yang
menekan asam lambung. Selain itu pasien jangan makan atau minum minimal 2 jam
sebelum tidur atau berbaring.
Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa H2receptor antagonists
memberi hasil yang baik terhadap GORD-induced cough, terapi tersebut sendiri saja
dapat TIDAK EFEKTIF atau membutuhkan periode yang panjang sebelum terjadi
perbaikan gejala (2-3 bulan) atau resolusi batuk (5-6 bulan) tercapai. Makanya, terapi
empirikal initial dengan PPI, 2 kali sehari, setengah jam sebelum sarapan pagi dan
sebelum makan malam mungkin memberi hasil yang lebih baik. Pendekatan tersebut
terbukti lebih efektif dan mencapai respons klinis initial lebih segera, kadang-kadang
dalam 2 minggu. Untuk mendapatkan terapi supresi asam yang lebih agresif,
ranitidine (300 mg pada waktu mau tidur) dapat ditambahkan pada pemberian PPI 2x
sehari tersebut.
Dikarenakan respons awal terhadap terapi GORD dapat tertunda pada
beberapa pasien, penyebab potensial lain dari batuk kronis (UACS, asthma) harus diterapi secara empirikal dan disingkirkan sebelum terapi empirikal GORD dimulai. Jika
terapi jangka panjang dengan PPI TIDAK BERHASIL , maka di-indikasikan untuk
mengevaluasi diagnostik GORD secara formal. Jika Diagnosa telah ditegakkan,
antireflux surgery, seperti open ataupun laparoscopic closed fundoplication , dapat
dipertimbangkan. Data awal dari observational study menunjukkan bahwa tindakan
operatif efektif pada 86% dari 21 pasien GORD dan GORD-induced cough sapai 12
bulan postoperatively.
Pada satu subgroup pasien, batuk tetap ada meskipun eliminasi asam pada
oesophagus total atau hampir total dengan terapi medis telah membaik setelah
tindakan operatif. Pada beberapa pasien keadaan ini menimbulkan dugaan, bahwa
batuk-nya disebabkan oleh refluks
nonacid atau material yang mempunyai
keasaman yang lemah. Telah dibuktikan bahwa dismotilitas oesophagus tanpa diikuti
refluks asam memegang peranan pada batuk kronis GORD-induced cough.
Sehingga, sebelum mempertimbangkan tindakan operatif, penambahan suatu agent
prokinetik(seperti metoclopramide, setengah jam sebelum makan dan sebelum
tidur) mungkin cukup bagi GORD-induced cugh yang refrakter terhada terapi
antasida.
Postinfectious Cough :
Pada suatu subgroup pasien, dengan adanya infeksi saluran nafas atas yang belum
lama ini, batuk tetap ada selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah
perbaikan gejala-gejala lain. Batuk postinfectious demikian paling sering disebabkan
oleh infeksi virus; mycoplasma pneumoniae, Chlamidia pneumoniae, Borderella
pertussis. Mekanisme nya meskipun masih belum diketahui dengan jelas, mungkin
melibatkan inflamasi saluran nafas dengan juga adanya peningkatan sensitivitas
cough inducing afferent nerves pada epitel jalan nafas.

Antitussuve traditional, seperti codeinne, memberi manfaat yang terbatas. Inhalasi


kortiksteroid mungkin berguna, tetapi obat tersebut belum di-eavluasi dengan cukup
pada trial-trial klinis. Oral kortikosteroid telah dipakai dan memberi hasil baik pada
keadaan tersebut, dan mungkin cukup sesuai untuk batuk yang berat.
ACE inhibitor-Induced Cough :
Sekitar 10%-30% pasien-pasien yang mendapat ACE-I mengalami batuk kering,
persisten, kadang-kadang juga mengalami sensis tengorok gatal seperti digelitik.
Batuk mungkin terjadi beberapa jam setelah mebdapat dosis pertama obat, atau
onsetnya tertunda sampai beberapa minggu atau beberapa bulan setelah mengawali terapi ACE-i. Batuk ayng diakibatkan oleh ACEi lebih sering dijumpai pada
wanita, nonsmoker, dan individu-individu ras Chinese. Pasien yang mendapat ACEi
untuk gagal jantung kongestive lebih sering daripada mereka yang mendapat ACEi
ubtuk hipertensi-nya.
Mekanisme ACEi induced cough masih belum jelas. Kemungkinan mediatormediator yang menyebabkannya antara lain bradykinin dan substansi P, agent
batuk yang diurai oleh ACE dan makanya, berakumulasi di paru-paru bilamana
ACE(enzim) tersebut di-inhibisi; dan prostaglandins yang produksinya distimulasi
oleh bradykinin.
ACE inhibitor harus dihentikan pada setiap pasien yang mengalami batuk
kronis, tanpa memandang waktu inisiasi terapi ACE inhibitor dan onset batuk.
Diagnosa ditegakkan dengan terjadinya resolisi(perbaikan) batuk, biasanya dalam 14 minggupenghentian terapi ACE-i. Sayangnya, reesolusi batuk dapat saja
lama9tertunda) pada beberapa pasien.
Pada auatu randomized, double-blind,placebo-controlled trials, obat-obat
yang dapat mengurangi batuk yang disebabkan pemakaian ACE-I antara lain,
cromolynn, theophyllin, sulindac, indomethacin, calcium channel antagonists
amlodipine dan nifedipine, dan thromboxane receptor antagonist picotamide.
Sayangnya, terapi efektif bagi batuk yang diinduksi oleh ACE-I yang uniformly
efective hanya penghentian dari obat yang menyebabkannya.
TERAPI :
Umumnya, terapi farmakologis untuk batuk dapat dikategorikan sebagai: terapi
antitussive, yang bertujuan untuk menghilangkan batuk yang mengganggu, dan
protussive terapi, yang bertujuan meningkatkan efisiensi batuk guna memobilisasi
sekresi bilamana dibutuhkan. Terapi antitussive selanjutnya dibagi menjadi terapi
spesifik yang ditujukan pada penyebab atau dugaan penyebab
batuk, dan
supressant terapi (sebelum nya dirujuk sebagai terapi antitussive nonspesifik)
yang ditujukan untuk menghambat refleks-batuk tanpa mempedulikan penyebab
batuk-nya. Pilihan terapi antitussive spesifk tampak pada Tabel 3.
Suppressant Therapy :
Terapi jenis ini sering TIDAK EFEKTIF tetapi dapat di-indikasikan pada keadaankeadaan berikut:
Batuk yang disebabkan oleh penyebab yang tidak dapt diobati(untreatable),
seperti kanker paru atau idiopathic pulmnoary fibrosis;
Batuk berat dimana pelegaan sementara diperlukan ketika menunggu efek
suatu terapi; dan
Batuk yang tidak dapat dijelaskan(unexplained, yang sebelumnya disebut
idiopathic).
Cough suppressant therapy (nonspecific antitussive therapy) secara luas
diklasifikasikan sebagai central dan perifer, berdasarkan pada tempat kerja.
Central antitussive bekerja pada CNS untuk menghambat reflex batuk. Golongan
narkotik codeine, hydrocodone dan hydromorphone di-approve pemakaiannya
sebagai antitussive.
Codeine telah terbukti efektif terhadap berbagai bentuk batuk baik patologis
maupun exprimetally-induced cough tetapi TIDAK EFEKTIF terhadap batuk yang
disebabkan oleh infeksi saluran nafas akut. Dosis yang direkomendasikan bagi
dewasa adalah 10-30 mg setiap 4-6 jam, JANGAN melebihi 120 mg/hari. Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa dosis rendah morfine efektif pada batuk kronis dan
refrakter.
Dextromethrophan, suatu opioid nonnarkotik, merupakan satu obat yang
dipakai paling banyak baik sendiri-sendiri maupun dalam kombinasi dengan obatobat bebas bagi batuk dan common cold. Dosi yang direkomendasikan bagi dewasa
adalah 10-30 mg setiap 4-8 jam, jangan melebihi 120 mg/hari. Suatu randomized,

double-blind, placebo controlled studies menunjukkan bahwa efektifitasnya terhadap


berbagai batuk patologis, seperti batuk yang dikaitkan dengan infeksi saluran nafas
bagian atas. Dosis minimal 30 mg dibutuhkan untuk supresi batuk yang efektif.
Diphenhydramine, suatu generasi pertama histamine-receptor antagonist,
telah terbukti berguna pada batuk kronis yang disebabkan oleh brochitis dan pada
induced cough pada volunteer sehat. Dosis tipikal pada dewasa adalah 25 mg setiap
4 jam, jangan melebihi 150 mg/hari. Side effect potensial antara lain
sedation(ngantuk), efek antikolinergik, seperti confussion(pada individu lanjut usia)
dan mulut kering.
Peripherally acting antitussive agent seperti benzonatate, suatu turunan
polyglycol rantai panjang yang secara kimia berhubungan dengan procaine.
Benzonatae diberikan secara oral dan bekerja via inhibisi peripheral stretch
receptors. Kapsul obat harus ditelan utuh tanpa dikunyah guna mencegah efek
anestetik oral. Dosis yang dianjurkan bagi dewasa adalah 100 mg(1 kapsul) 3x
sehari, jangan melebihi 600 mg/hari. Efektifitas antitussive tampak pada trial-trial
segera setelah pemasaran obat setengah abad yang lalu, tetapi controlled trial yang
baru masih kurang.
Anestetik inhalasi dapat merupakan antuitussive yang efektif. Pada beberapa
kasus dilaporkan keberhasilan penggunaan lidokain inhalasi dan bupivacaine inhalasi
pada batuk yang refrakter. Perlu adanya nebulisator, menghambat pemakaian
obat ini di klinis.
Protussive Therapy:
Obat-obat protussive diklasifikasikan sebagai :obat ekspektorant dan muko-kinetik.
Obat tersebut berguna pada mem-promote mobilisasi sekresi pada gangguan seperti
pada cystic fibrosis dan bronchiectasis. Penelitian yang meng-evaluasi efektifitas obat
tersebut sukar dilaksanakan karena perbaikan volume atau konsistensi sekresi
saluran nafas tidak perlu ada korelasinya dengan efektifitas perbaikan batuk atau
gejala.
Ekspetorant seperti guaiaphenesin, bekerja dengan hidrasi dan makanya
mengurangi kekentalan sekresi saluran nafas (hydration hypothesis), makanya
memfasilitasi pengeluarannya. Satu penelitian menunjukkan bahwa guaifenesin
menghambat sensitivitas refleks batuk pada individu infeksi saluran nafas atas yang
mana receoptor batuknya sensitif secara sementara. Jadi juga mempunyai kerja
antitussive selain efek ekspektorant-nya.
GAMBAR dan Tabel-Tabel: Gambar-1; Tabel-1; Tabel-2; tabel-3; Therapeutic Agents in
this Article; Parctice Points. About the Authors.
TABEL 1:
Hal-hal yang Baru dalam Diagnosa dan Managemen Batuk pada ACCP 2006
Evidence-based guidelines:
Upper airway cough syndrome(UACS):
UACS menggantikan istilah postnasal drip syndrome, dengan skop yang lebih luas .
Nonasthmatic eosinophilic bronchitis:
Ditambahkan pada daftar sebagai penyebab yang paling sering.
Reflux disease:
Menggantikan istilah acid reflux disease, untuk menunjukkan fakta bahwa beberapa
batuk kronis disebabkan oleh reflux material non acid atau hanya bersifat asam yang
lemah.
Unexplained Cough:
Menggantikan istilah idiopathic cough yang
hanya meng-implikasikan satu
penyebab spesifik.
Acute Cough akibat common cold:
Beberpa penelitian mendukung efektifitas produk nonresep mengatasi batuk akibat
common cold. Kombinasi antihistamin generasi pertama dengan dekongestan
agaknya paling efektif [pada orang dewasa. Karena kurangnya bukti efektivitas dan
perhatian terhadap efek samping, obat-obat tersebut tidak dianjurkan untuk supresi
batuk pada anak-anak.
ACCP= American College of Chest Physicians.
Adapted from reference 4.

Tabel 2: Penyebab dan terapi UACS (sebelumnya disebut postnasal drip


syndrome):
PENYEBAB
TERAPI
Chronic bacterial rhinosinusitis
Antibiotika;
oral
antihistamine
plus
decongestant; nasal decongestant
Seasonal allergic rhinitis
Intranasal
coticosteroids;
intrabnasa
cromolyn;
oral
antihistamine
or
antihistamine
plus
decongestant;
avoidance of allergens
Perennial allergic rhinitis
Intranasal
corticosteroids;
intranasal
cromolyn;
oral
antihistamine
or
antihistamine
plus
decongestant;
avoidance of allergens
Perennial nonallergic rhinitis
Oral antihistamine plus decongestant;
intranasal
corticosteroids;
intranasal
ipratropium
Vasomotor rhinitis
Avoidance
of
triggers;
intrnasal
ipratropium; oral or nasal decongestant;
intranasal ipratropium.
Postinfectious(postviral) rhinitis
Oral antihistamine plus decongestant;
intranasal
corticosteroids;intranaal
ipratroprium
Rhinitis medicamentosa
Avoidance
of
irritants;
intranasal
corticosteroids
Rhinitis of pregnancy
Therapy based on underlying cause

GAMBAR 1: EVALUASI YANG DIANJURKAN PADA BATUK KRONIS:


Nonsmoking patient present with
chronic cough

Perform a history and physical examination; consider chest


radiography*

Result are normal


or
Suggest UACS

Give a trial a first-generation


Antihistamine plus a decongestant.
Consider giving an intranasal
Corticosteroid, ipratropium,or
cromolyn

Results of suggest
asthma

Results suggest
GORD

Order prebronchodilator and


Postbronchodilator spirometry. Give
a trial of an inhaled -agonist or
corticosteroid, leukotriene receptor
antagonist, or systemic(oral)
corticosteroid

Advise patient of
nonpharmacological measures to
control GORD. Give a trial of a
PPI. Consider oredring 24-hour
ambulatory oesophageal pH
monitoring(if available) if cough

persists despite 2 months of


PPI therapy.

Is therapy effective ?

YES
Continue
Therapy, as
needed

Is therapy effective ?

NO
Consider an
Alternative
diagnosis

YES
Continue therapy,
As needed
(note:response to
therapy is consistent
with asthma or
nonasthmatic
eosinophilic
bronchitis)

Is therapy effective ?

NO

YES

Consider an
Alternative
diagnosis

NO

Continue
Therapy, as
needed

Consider adding a prokinetic agent, such


as metoclopramide, to the PPI therapy

Is therapy effective ?

YES

NO

GORD=Gastro-oesophageal reflux disease; PPI=proton pump inhibitor;


Continue
Consider an
UACS= upper way cough syndrome.
therapy, as
alternative
*if the patient is taking an ngiotensin-converting enzyme inhibitor;such treatment
needed
diagnosis
Should be discontinued.
Because UACS is the most common cause of chronic cough in adults, it is appropriate to empiricallly treat this condition first if there are no findings that suggest
another diagnosis.
If bacterial rhinpsinusitis is suspected, an antibiotic trail may be appropriate before cinsidering four-view sinus radiography.
Because the initial response to GORD therapy may be delayed, other causes (UACS,asthma) should be excluded first.

TABEL 3 SPECIFIC ANTITUSSIVE THERAPY:


Upper airway cough syndrome (formerly postnasal drip syndrome)*
First generation antihistamine/decongestant
Intranasal corticosteroids
Intranasal cromolyn
Intranasal ipratropium

Asthma:
Inhaled bronchodilators
Inhaled corticosteroids
Leukotriene receptor antagonists
Systemic(oral) corticosteroids

Gastro-oesophageal reflux disease:


Proton pump inhibitors
H2-receptor antagonists
Prokinetic agents (such as metoclopramide)
Nonpharmacological measures
Surgery (open or laparoscopic closed fundoplication)

Postinfectious (postviral) cough:


Oral corticosteroids
Inhaled corticosteroids
Inhaled iprattropium

ACE inhibitor-induced cough:


Cessation of ACE inhibitor
ACE = Angiotensin-converting enzyme
* inpatients with upper airway cough syndrome caused by sinusitis, prolonged
antibiotic
therapy (3 weeks or more) may be warranted.
Although inhaled corticosteroids are propably useful in this setting, they have not
been
adequately avaluated in clinical trials.
Multiple agents have been shown to be partially effective.
THERAPEUTIC AGENTS IN THIS ARTICLE:
Amlodipine
Benzonatate *
Bupivicaine*
Codeine*
Cromolyn*
Dextromethorphan*
Diphenhydramine*

Ranitidine*
Sulindac*
Theophylline*
Zafirlukast.

Guaifenesine* (various combination products)


Hydrocodone* (Various combination products)
Hydromorphone*
Indomethacin*
Ipratropium*
Lidocaine*
Metoclopramide*
Morphine*
Nifedipine*
Picotamide
Prednisone*
Procaine*
Available in generic formulation

Practice Points:
In at least 25% of pasients, multiple causes of chronic cough
exist simultaneously. A partially response to specific therapy
may indicate that only one of the causes has been addresed.
Given its high negative value, a negative methacholine inhalation
challenge results essentially excludes asthma from the
differential diagnosis of the chronic cough. A positive result is
consisten with, but not diagnostic of , sough-variant asthma.
Traditional antitussive therapy, including codeine, is of limited
benefit in patiens with postinfectious cough. Inhaled
corticosteroids may be useful, but they have not been
adequately evaluated in clinical trials. Oral corticosteroid may be
appropriate for severe cough.
Discontinue angiotensin-converting enzyme(ACE) inhibitors in
any patient who presents with chronic cough, regardless of the
time between initiation of ACE inhibitor therapy and the onset of
cough. The diagnosis is confirmed by resolution of cough, usually
within 1 to 4 weeks of termination of therapy.
About the Authors
Professor Dicpinigaitis is Professor of Clinical Medicine at Albert
Einstein College of Medicine; Director of the Intensive care Unit,
Einstein Division of Montefiore Cough Center, Bronx, NY, United
State. Dr Alva is in private practice with Orangebirg Lung Associates,
Orangeburg, SC, United States.

Anda mungkin juga menyukai