Batuk Kronis
Batuk Kronis
dan dengan kurangnya infiltrasi otot polos saluran nafas oleh mast cells. Pada
penelitian observasional yang dilakukan di Eropa, eosinophilic bronchitis terbukti
menyebabkan batuk kronis pada 13% pasien yang dirujuk pada spesialist, dan pada
11% pasien-pasien yang di-evaluasi oleh primary care physician.
Gastro-oesophageal Reflux Disease:
Pasien-pasien yang mengalami GORD-induced cough seringkali tidak dilaporkan
mengalami adanya gejala reflux yang khas. Karena batuk dapat merupakan hanya
penampakan gejala dari adanya GORD, maka diperlukan dugaan yang kuat terhadap
adanya GORD.
Batuk kronis agaknya dikarenakan adanya asam lambung pada oesophagus
distal, yang merangsang vagally-mediated tracheobronchial reflex. Batuk kronis,
pada gilirannya dapat mem-promote disfungsi sfingter eosophageal bawah, sehingga
meningkatkan refluks dan memperkuat lingkaran setan tersebut. Selain itu, refluks
tersebut dapat juga mencapai oesophagus proksimal dan jalan nafas atas,
merangsang lebih lanjut reseptor aferent batuk. Baru-baru ini istilah
laryngopharyngeal reflux (LPR) telah terbukti merefleksikan adanya proses tersebut.
Gold standard diagnostik GORD adalah monitoring 24 jam pH oesophagus
secara ambulatori. Sayangnya, karena test tersebut bersifat invasive dan tidak
tersedia secara umum, maka di-indikasikan suatu diagnostic therapeutic drug trial.
Komplikasi lebih lanjut dari proses diagnostik tersebut adalah adanya fakta bahwa
pasien-pasien batuk kronis yang disebabkan oleh LPR seringkali memberi hasil
negative pada pH monitoring.
Tindakan-tindakan konservatif, seperti menjaga diet dengan tinggi protein,
rendah lemak; menghindari tembakau, kopi, alkohol, cokelat, pepermint, dan
substansi-substansi lain yang dapat
mem-promote refluks; meninggikan posisi
kepala pada waktu berbaring, dapat dikombinasikan dengan terapi farmakologis yang
menekan asam lambung. Selain itu pasien jangan makan atau minum minimal 2 jam
sebelum tidur atau berbaring.
Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa H2receptor antagonists
memberi hasil yang baik terhadap GORD-induced cough, terapi tersebut sendiri saja
dapat TIDAK EFEKTIF atau membutuhkan periode yang panjang sebelum terjadi
perbaikan gejala (2-3 bulan) atau resolusi batuk (5-6 bulan) tercapai. Makanya, terapi
empirikal initial dengan PPI, 2 kali sehari, setengah jam sebelum sarapan pagi dan
sebelum makan malam mungkin memberi hasil yang lebih baik. Pendekatan tersebut
terbukti lebih efektif dan mencapai respons klinis initial lebih segera, kadang-kadang
dalam 2 minggu. Untuk mendapatkan terapi supresi asam yang lebih agresif,
ranitidine (300 mg pada waktu mau tidur) dapat ditambahkan pada pemberian PPI 2x
sehari tersebut.
Dikarenakan respons awal terhadap terapi GORD dapat tertunda pada
beberapa pasien, penyebab potensial lain dari batuk kronis (UACS, asthma) harus diterapi secara empirikal dan disingkirkan sebelum terapi empirikal GORD dimulai. Jika
terapi jangka panjang dengan PPI TIDAK BERHASIL , maka di-indikasikan untuk
mengevaluasi diagnostik GORD secara formal. Jika Diagnosa telah ditegakkan,
antireflux surgery, seperti open ataupun laparoscopic closed fundoplication , dapat
dipertimbangkan. Data awal dari observational study menunjukkan bahwa tindakan
operatif efektif pada 86% dari 21 pasien GORD dan GORD-induced cough sapai 12
bulan postoperatively.
Pada satu subgroup pasien, batuk tetap ada meskipun eliminasi asam pada
oesophagus total atau hampir total dengan terapi medis telah membaik setelah
tindakan operatif. Pada beberapa pasien keadaan ini menimbulkan dugaan, bahwa
batuk-nya disebabkan oleh refluks
nonacid atau material yang mempunyai
keasaman yang lemah. Telah dibuktikan bahwa dismotilitas oesophagus tanpa diikuti
refluks asam memegang peranan pada batuk kronis GORD-induced cough.
Sehingga, sebelum mempertimbangkan tindakan operatif, penambahan suatu agent
prokinetik(seperti metoclopramide, setengah jam sebelum makan dan sebelum
tidur) mungkin cukup bagi GORD-induced cugh yang refrakter terhada terapi
antasida.
Postinfectious Cough :
Pada suatu subgroup pasien, dengan adanya infeksi saluran nafas atas yang belum
lama ini, batuk tetap ada selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah
perbaikan gejala-gejala lain. Batuk postinfectious demikian paling sering disebabkan
oleh infeksi virus; mycoplasma pneumoniae, Chlamidia pneumoniae, Borderella
pertussis. Mekanisme nya meskipun masih belum diketahui dengan jelas, mungkin
melibatkan inflamasi saluran nafas dengan juga adanya peningkatan sensitivitas
cough inducing afferent nerves pada epitel jalan nafas.
Results of suggest
asthma
Results suggest
GORD
Advise patient of
nonpharmacological measures to
control GORD. Give a trial of a
PPI. Consider oredring 24-hour
ambulatory oesophageal pH
monitoring(if available) if cough
Is therapy effective ?
YES
Continue
Therapy, as
needed
Is therapy effective ?
NO
Consider an
Alternative
diagnosis
YES
Continue therapy,
As needed
(note:response to
therapy is consistent
with asthma or
nonasthmatic
eosinophilic
bronchitis)
Is therapy effective ?
NO
YES
Consider an
Alternative
diagnosis
NO
Continue
Therapy, as
needed
Is therapy effective ?
YES
NO
Asthma:
Inhaled bronchodilators
Inhaled corticosteroids
Leukotriene receptor antagonists
Systemic(oral) corticosteroids
Ranitidine*
Sulindac*
Theophylline*
Zafirlukast.
Practice Points:
In at least 25% of pasients, multiple causes of chronic cough
exist simultaneously. A partially response to specific therapy
may indicate that only one of the causes has been addresed.
Given its high negative value, a negative methacholine inhalation
challenge results essentially excludes asthma from the
differential diagnosis of the chronic cough. A positive result is
consisten with, but not diagnostic of , sough-variant asthma.
Traditional antitussive therapy, including codeine, is of limited
benefit in patiens with postinfectious cough. Inhaled
corticosteroids may be useful, but they have not been
adequately evaluated in clinical trials. Oral corticosteroid may be
appropriate for severe cough.
Discontinue angiotensin-converting enzyme(ACE) inhibitors in
any patient who presents with chronic cough, regardless of the
time between initiation of ACE inhibitor therapy and the onset of
cough. The diagnosis is confirmed by resolution of cough, usually
within 1 to 4 weeks of termination of therapy.
About the Authors
Professor Dicpinigaitis is Professor of Clinical Medicine at Albert
Einstein College of Medicine; Director of the Intensive care Unit,
Einstein Division of Montefiore Cough Center, Bronx, NY, United
State. Dr Alva is in private practice with Orangebirg Lung Associates,
Orangeburg, SC, United States.