08151012
CRITICAL REVIEW
PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI
STUDI KASUS: PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI KOTA
BANJARMASIN
JURUSAN TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAAN
PROGAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH KOTA
INSTITUT TEKNOLOGI KALIMANTAN
BALIKPAPAN
2016
BAB I
Pendahuluan
kepulauan yang terdiri dari sedikitnya 25 buah pulau kecil dan setiap bagian bagian kota
dipisahkan oleh sungai sungai. Dilihat secara makro, Kota Banjarmasin memiliki batasan fisik
dan geografi berupa sungai, dengan hal ini memberikan pengaruh terhadap pembentukan
karakter kota secara fisik karena 40% dari wilayahnya terdiri dari sungai sungai besar maupun
kecil yang saling berpotongan. Itulah mengapa Kota Banjarmasin disebut dengan kota seribu
sungai. Menurut Pujirahayu (2010), Kota Banjarmasin terletak sekitar 50 km dari muara Sungai
Barito dan dibelah Sungai Martapura. Secara topografis, Kota Banjarmasin didominasi oleh
daerah yang datar dan berawa rawa dengan kemiringan 0% - 2% serta berada pada ketinggian
rata rata 0,16 mdpl. Satuan morfologi ini merupakan daerah dominan yang terdapat di wilayah
Kota Banjarmasin. Kondisi ini sangat menunjang untuk perkembangan perkembangan perkotaan
sebagai area fisik yang terbangun.
Menurut Goenmiandari dalam Seminar Perumahan dan Permukiman (2010), seiring dengan
pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi menyebabkan pertumbuhan kota, selanjutnya
permukiman baru pun terbentuk di sepanjang sungai. Sebagian besar sungai di Banjarmasin
kehilangan fungsi dan kualitas lingkungannya yaitu pendangkalan, penyempitan, menurunnya
kualitas air sungai, dan yang paling menjadi masalah adalah sungai yang hilang akibat tertutup
hunian atau diuruk guna berbagai pembangunan. Budaya sungai perlahan mulai mengalami
pergeseran akibat dari oleh perubahan orientasi bermukim dari masyarakat sungai menjadi
masyarakat daratan sehingga merusak lingkungan di bantaran sungai. Alih fungsi lahan petanian
dan tambak menjadi permukiman dan industri menjadi faktor yang paling besar dalam merusak
lingkungan pinggiran sungai. Tumbuhnya kawasan industri menjadi generator pertumbuhan
ekonomi. Keadaan ini seperti pisau bermata dua di satu sisi dapat terlihat baik karena dengan
adanya pertumbuhan kawasan tersebut, menyebabkan peningkatan ekomoni daerah tersebut.
Disisi yang lain keadaan ini membuat kerusakan dan memudarnya budaya sungai sebagai
identitas masyarakat Kota Banjarmasin.
Perkembangan permukiman tepian sungai ini menjadi menarik untuk di lakukan kajian
dimana diketahu bahwa Kota Banjarmasin terkenal dengan sebutan Kota Seribu Sungai. Disisi
lain keberadaan perkembangan permukiman tepian sungai yang terus berkembang menimbulkan
masalah tersendiri. Dapat terlihat ketika pengendalian perkembangan sungai tidak baik sehingga
menimbulkan efek negative, seperti visual kota yang buruk, degradasi lingkungan tepian sungai,
kekumuhan dan sebagainya.
Dampak yang paling terasa jika pengendalian permukian tepian sungai tidak dikendalikan
adalah munculnya permukiman kumuh. Menjadikan pemandangan pusat kota menjadi buruk,
munculnya bau tidak sedap, sampah yang berserakan di tepian sungai. Untuk itu dibuatlah critical
review ini untuk mengangkat isu permukiman tepian sungai agar kedepannya dapat dikendalikan
dan menjadi bahan kajian selanjutnya.
1.2. Rumusan Masalah
Kota Banjarmasin yang dilewati oleh dua sungai besar, yaitu Sungai Barito dan Sungai
Martapura menjadikan kawasan tepian sungai berkembang dengan cepat. Sungai juga
memberikan kehidupan bagi masyarakat sekitarnya. Dari latar belakang ini dibuat rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Perkembangan permukiman tepian Sungai Kota Banjarmasin.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kota terhadap hunian tepi sungai.
3. Kebijakan pemerintah Kota Banjarmasin terhadap hunian tepi sungai.
4. Lunturnya budaya sungai yang menjadi ciri khas Kota Banjarmasin.
1.3. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari critical review ini adalah sebai berikut:
1. Menjelaskan dan mendeskripsikan perkembangan permukiman di tepian sungai di Kota
Banjarmasin.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman di tepian
sungai di Kota Banjarmasin.
3. Mengetahui kebijakan pemerintah Kota Banjarmasin terhadap hunian tepi sungai.
BAB II
Landasan Teori
2.1. Permukiman
Bersarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman terdapat pengertian-pengertian sebagi berikut. Kawasan permukiman adalah
bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun
perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Permukiman adalah bagian dari
lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satuan perumahan yang mempunyai prasarana,
sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan
atau kawasan perdesaan.
Menurut Kuswartojo (1997 : 21) Permukiman adalah perumahan dengan segala isi dan
kegiatan yang ada di dalamnya. Berarti permukiman memiliki arti lebih luas daripada perumahan
yang hanya merupakan wadah fisiknya saja, sedangkan permukiman merupakan perpaduan
antara wadah (alam, lindungan, dan jaringan) dan isinya (manusia yang hidup bermasyarakat
dan berbudaya di dalamnya). Permukiman merupakan bentuk tatanan kehidupan yang di
dalamnya mengandung unsur fisik dalam arti permukiman merupakan wadah aktifitas tempat
bertemunya komunitas untuk berinteraksi sosial dengan masyarakat (Niracanti, Galuh Aji, 2001 :
51). Sedangkan pengertian perumahan dan permukiman menurut Guritno Mangkusoebroto
(1993 : 5) adalah tempat atau daerah dimana penduduk bertempat tinggal atau hidup bersama
dimana mereka membangun sekelompok rumah atau tempat kediaman yang layak huni dan
dilengkapi dengan prasarana lingkungan.
Rumah tidak dapat dipandang secara sendiri-sendiri, karena saling terkait dan harus
bersamaan dengan lingkungan sosialnya, maka peruhan bagian yang tidak bisa terpisahkan
dengan sistem sosialnya. Perencanaan perumahan harus dipandang sebagai unit yang menjadi
satu kesatuan dengan lingkungan sekitarnya, sehingga harus ada ruang sosial untuk masyarakat
berineraksi satu sama lain. Unit-unit adalah pengorganisasian kebutuhan akan privasi dan
kebutuhan untuk berinteraksi.
Di dalam Sistem Permukiman, menurut Doxiadis (1968:35), permukiman adalah paduan
antara unsur manusia dan masyarakatnya, alam dan unsur buatan. Semua unsur pembentuk
permukiman tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi serta saling menentukan satu
dengan lainnya.
Lingkungan permukiman merupakan sistem yang terdiri dari lima elemen, yaitu :
a. Nature (unsur alam) , mencakup sumber-sumber daya alam seperti geologi, topografi,
hidrologi, tanah, iklim, dan unsur hayati seperti vegetasi dan fauna.
b. Man (manusia), mencakup segala kebutuhan pribadinya, seperti kebutuhan biologis,
emosional, nilai-nilai moral, perasaan dan persepsinya.
c. Society (masyarakat), manusia sebagai bagian dari masyarakatnya.
d. Shell (lindungan), tempat dimana manusia sebagai individu dan kelompok melakukan
kegiatan dan kehidupannya.
Network (jejaring), merupakan sistem alami atau yang dibuat manusia untuk menunjang
berfungsinya lingkungan permukimannya, seperti jalan, jaringan air bersih, listrik, telepon, sistem
persampahan dan lain sebagainya.
Dalam tulisan Rapoport, A. (1969) dinyatakan, dalam suatu pemukiman terjadi hubungan
antar manusia dengan manusia, dengan alam, serta manusia dengan penciptanya. Perbedaan
gaya hidup dan sistim nilai yang dianut suatau masyarakat, berpengaruh besar terhadap
bagaimana masyarakat itu membentuk lingkungannya. Pemukiman memiliki banyak bentuk yang
khas sesuai dengan kekuatan non fisik yang tumbuh dalam masyarakatnya, antara lain berupa
sistim sosial budaya, pemerintahan, tingkat pendidikan serta teknologi yang akan memberi
kontribusi fisik lingkungan, Koentjaraningrat (1977) dalam Yudohusodo. Juga menurut
Koentjaraningrat (1985) dalam Yudohusodo, perumahan dan pemukiman (rumah dan
lingkungannya) sebagai ujud fisik kebudayaan (physical culture) merupakan hasil dari kompleks
gagasan suatu sistim budaya yang tercermin pada pola aktifitas sosial masyarakat. Sejalan
dengan pendapat Rapoport, A. (1969), bahwa arsitektur terbentuk dari tradisi masyarakat (fork
traditional) merupakan bangunan yang mencerminkan secara langsung budaya masyarakat,
nilai-nilai yang dianut, kebiasaan-kebiasaan, serta keinginan-keinginan masyarakat. Pemukiman
yang standar (layak huni) maupun tidak memenuhi standar muncul akibat adanya berbagai faktor
yang timbul dari kemampuan masyarakat itu sendiri. Mau tidak mau, masyarakat akan
membentuk suatu komunitas dan tinggal di daerahdaerah jalur hijau dan bantaran sungai, rel
kereta api dan juga lahanlahan kosong yang tidak bertuan.
sepangjang pinggiran sungai mengikuti bentuk sungainya. Permukiman ini tidak bisa meluas
kearah belakang dan depan karena faktor alam (Daljdonie dalam Atmoyo, 2002).
Kawasan tepi air ataupun kawasan tepi sungai di Indonesia sebenarnya berakar pada faktorfaktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad telah menjadi bagian dari jalur
perdagangan internasional (Suprijanto 2003). Dari sisi geografis, banyak kotakota di Indonesia
berlokasi di daerah pantai, dataran rendah maupun dataran tinggi (pegunungan), seperti Kota
Palembang (Sumatera Selatan) terletak di tepi Sungai Musi, Kota Banjarmasin (Kalimantan
Selatan) terletak di tepi Sungai Kuin dan Sungai Barito dan banyak lagi kotakota yang lainnya.
Dari itu duapertiga bagian wilayahnya adalah perairan, menjadikan Indonesia memiliki garis
pantai terpanjang di dunia, hal tersebut menjadikan pula beberapa bagian wilayah di Indonesia
merupakan kawasan pesisir atau tepi air.
2.3. Sungai
Selama ini sungai menjadi hal yang penting dalam kehidupan manusia, terutama untuk
masyarakat Indonesia. Sungai sungai di Indonesia dalam 30 tahun terakhir mengalami
pembangunan fisik yang relatif cepat. Pembangunan fisik dapat merubah badan sungai dan juga
kondisi sempadan sungai. Bantaran sungai adalah daerah pinggir sungai yang tergenang saat
terjadi banjir. Sempadan sungai adalah daeraha bantaran sungai atau bantaran banjir ditambah
dengan lebar longsoran tebing sungai yang mungkin terjadi, lebar ekologis, dan lebar keamanan
letak sungai (misal, areal permukiman dan non permukiman). Menurut definisi lain berdasarkan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63 Tahun 1993 menyebutkan bahwa daerah sempadan
adalah kawasan sepanjang kanan dan kiri sungai yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Sungai memiliki makna yang sangat tinggi di dalam
suatu masyarakat dengan nilai tertentu dan berfungsi sebagai sumberdaya. Pertumbuhan jumlah
penduduk kawasan perkotaan, baik karena pertumbuhan alami maupun migrasi, sejalan dengan
itu.
BAB III
Analisa (Critical Review)
3.1. Metode Analisa
Permasalahan yang akan dikaji oleh peneliti merupakan masalah yang bersifat sosial dan
dinamis. Oleh karena itu, peneliti memilih menggunakan metode analisa kualitatif untuk
menentukan cara mencari, mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data hasil analisa
tersebut. Analisa kualitatif ini dapat digunakan untuk memahami interaksi sosial, misalnya dengan
wawancara mendalam sehingga akan ditemukan pola-pola yang jelas.
3.2. Metode Kualitatif
Secara teoritis format penelitian kualitatif berbeda dengan format penelitian kuantitatif.
Perbedaan tersebut terletak pada kesulitan dalam membuat desain penelitian kualitatif, karena
pada umumnya penelitian kualitatif yang tidak berpola. Format desain penelitian kualitatif terdiri
dari tiga model, yaitu format deskriptif, format verifikasi, dan format grounded research. Dalam
penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif, yaitu penelitian yang memberi
gambaran secara cermat mengenai individu atau kelompok tertentu tentang keadaan dan gejala
yang terjadi (Koentjaraningrat, 1993:89)
Selanjutnya dijelaskan oleh David Williams (1995) seperti yang dikutip Moleong (2007:5)
mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah,
dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik
secara alamiah. Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh gambaran seutuhnya mengenai suatu
hal menurut pandangan manusia yang diteliti. Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide,
persepsi, pendapat atau kepercayaan orang yang diteliti dan kesemuanya tidak dapat diukur
dengan angka.
3.2.1. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder diperoleh dari teknik pengumpulan data yang menunjang data
primer yang bersumber dari buku, jurnal, laporan tahunan, literature, dan dokumen lain yang
berhubungan dengan analisa.
3.3. Metode Komparatif
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat komparatif. Kata komparasi dalam bahasa
inggris comparation yaitu perbandingan. Makna dari kata tersebut menunjukan bahwa dalam
penelitian ini peneliti bermaksud mengadakan perbandingan kondisi yang berbeda yang ada di
satu tempat, apakah kondisi di tempat tersebut sama atau ada perbedaan, dan kalau ada
perbedaan, kondisi mana yang lebih baik. Menurut Ulber Silalahi (2009: 35) menyatakan bahwa
penelitian komparatif adalah penelitian yang membandingkan dua gejala atau lebih. Penelitian
sehingga
sungai
kehilangan
fungsinya
dan
kualitas
lingkungannya
akibat
Banjarmasin kekhasanya berupa budaya sungai. Saat ini orang-orang lebih memilih
membangun permukiman menjauhi sungai karena kemudahan akses di darat daripada melalui
jalur sungai. Banyak sungai yang ditimbun atau diuruk untuk membangun permukiman baru
dan indutri, akibatnya banyak terdapat permukiman kumuh yang merusak keindahan kota.
3.4.2. Faktor yang Mengaruhi Perkembangan Permukiman Tepi Sungai Kota Banjarmasin
Seperti yang sudah di jelaskan pada sub bab Konsep Dasar Teoritis bahwa permukiman
memiliki bentuk yang khas sesuai dengan kekuatan non fisik yang tumbuh dimasyarakat antara
lain berupa sistem sosial budaya. Budaya sungai dapat diartikan sebagai cara hidup
masyarakat yang berada dekat dengan sungai, sungai sebagai tempet berkehidupan dan
sungai membentuk masyarakatnya yang akan tercermin dalam kehidupan fisik. Serta cara
untuk bertahan hidup dilakukan dengan cara menyesuaikan dengam karakter sungai,
kehidupan ekologi, dan sumber daya yang dimiliki sungai. Sungai menjadi faktor yang
mempengaruhi perkembangan permukiman karena sungai mampu memberi penghidupan ke
masyarakat. Faktor selanjutnya yang mempengaruhi adalah kegiatan industri yang
berkembang pesat. Alih fungsi lahan menjadi faktor selanjutnya.
Tepi sungai Kota Banjarmasin saat ini banyak berkembang industri pengolahan kayu,
selain itu juga berkembang industri perkapalan. Sungai saat ini bukan menjadi prioritas utama
masyarakat tepian Sungai Barito, dahulu kawasan Kuinn menjadi pusat perdagangan yang
lebih dikenal dengan pasar terapung. Saat ini, pedagang yang berjualan sudah berkurang.
Banyak permukiman kumuh akibat dari perkembangan kota dan industri sebagai akibat dari
urbanisasi.
Dengan metode analisis komparasi yang membandingkan teori dan kondisi eksisting
didapatkan analisa sebagai berikut: sudah jelas jika pertumbuhan kota sejalan dengan
pertumbuhan manusia, ditambah lagi dengan perkembangan industri di kawasan tepi sungai
membuat magnet tersendiri bagi pendatang. Akibat dari ini semua adalah degradasi lingkungan
yang berupa penyempitan sungai, dan penyumbatan karena semakin banyaknya permukiman
liar yang di bangun di sepanjang bantaran sungai. Pertumbuhan massa bangunan yang terus
berkembang dan terkonsetrasi menyebabkan padatnya permukiman penduduk, hampir tidak
ada jarak yang memisahkan antar bangunan. Nilai budaya lokal yang akrab dengan sungai kian
memudar karena pembangunan permukiman yang berorientasi pada model pembangunan
berbasis lahan bukan lagi panggung. Sungai bukan lagi faktor yang menentukan
perkembangan Kota Banjarmasin, sungai tidak lagi menjadi muka depan aktivitas namun
menjadi muka belakang, permukiman lebih menghadap ke jalan darat sebagai akses utama.
BAB IV
Kesimpulan
4.1. Kesimpulan
Dari hasil analisis teori-teori dengan kondisi eksisting yang ada dapat disimpulkan bahwa:
1. Sungai awalnya menjadi penentu perkembangan Kota Banjarmasin, namun saat ini
sungai bukan lagi menjadi budaya yang melekat di masayrakat tepi sungai Kota
Banjarmasin.
2. Perkembangan industri yang pesat menambah parah tatanan permukiman tepi
sungai dengan adanya aktivitas industry semakin mejauhkan masyarakat dengan
budaya sungai.
3. Timbulnya permukiman kumuh akibat pembangunan yang terkonsetrasi di sepanjang
sungai dan keberadaan fungsi lain yang membaur menjadi satu.
4. Degradasi lingkungan akibat permukiman liar yang dibangun disepanjang sungai.
5. Berubahnya orientasi terhadap sungai akibat dari dinamisme pembangunan sungai
bukan lagi menjadi halaman depan yang menjadi kebanggan masyarakat namun
sudah menjadi halaman belakang karena pola permukiman yang menghadap ke
akses jalan darat.
6. Nilai-nilai budaya lokal yang akrab dengan sungai, kini kian memudar karena
pembangunan yang berbasi lahan sehingga rumah panggung tidak lagi menjadi
primadona. Dan merupakan ciri khas dari masyarakat yang berbudaya sungai.
7. Karena terlalu banyak pemabangunan menyebabkan hilangnya ruang terbuka di
sepanjang tepian sungai. Akibat peran sungai yang masih cukup penting namun
ketersedianaksesbilitas antar bangunan minim karena terlalu padatnya wilayah
tersebut.
8. Jika berpacu pada Undang-Undang yang ada kebanyakan benguna tepi sungai
melakukan pelanggarang mengenai garis sempadan sungai.
Daftar Pustaka
Budihardjo, E. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Penerbit Alumni. Bandung.
BPS. 2016. Banyaknya Desa 1 / Kelurahan Menurut Keberadaan Permukiman di Bantaran
Sungai, di Bawah Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), dan Permukiman
Kumuh.
Badan
Pusat
Stasistik,
Januari
2015.
Dalam:
Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung; PT. Refika Aditama.
Supriyanto, I (2003), Karakteristik Spesifik, Permasalahan dan Potensi Pengembangan Kawasan
Kota Tepi Air/Pantai (Coastal City) Di Indonesia, Proceeding Studi Dampak Timbal Balik
Antar Pembangunan Kota Dan Perumahan Di Indonesia Dan Lingkungan Global
Turner, John, 1976, Housing By People: Towards Autonomy in Buildings Environtment: Pantheon
Books, New York
Zulfie Syarief, Kebijakan Pemerintah di Bidang Perumahan dan Permukiman bagi Masyarakat
Berpendapatan Rendah, USU Press, Medan. 2000.hlm. 6.