Anda di halaman 1dari 16

Disusun Oleh:

Fajar Dwi Astanto

08151012

Mata Kuliah: Perumahan dan Permukiman


Dosen Pengajar: Farid Nurrahman ST. M.Sc

CRITICAL REVIEW
PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI
STUDI KASUS: PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI KOTA
BANJARMASIN
JURUSAN TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAAN
PROGAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH KOTA
INSTITUT TEKNOLOGI KALIMANTAN
BALIKPAPAN
2016

BAB I
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau,
tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sejumlah besar pulau-pulau tersebut (10.000 buah)
adalah merupakan pulau-pulau berukuran kecil. Pada setiap pulau terdapat tumbuhan, hewan
dan jasat renik yang berbeda sesuai wilayah berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri
(2003). Menurut Suhendang (2002) dari satu pulau dengan pulau yang lain bahkan dari suatu
tempat ke tempat yang lain dari pulau yang sama terdapat keadaan alam yang berbeda.
Perpaduan antara sumberdaya alam dan hayati dan tempat hidupnya yang berbeda,
menumbuhkan berbagai ekosistem di dalamnya, dan bentang alam yang berbeda. Salah satunya
adalah bentang alam yang berupa sungai yang menjadi pusat perkembangan pemukiman di
beberapa daerah di Indonesia. Menurut data BPS (2015), jumlah permukiman di bantaran sungai
di Indonesia mencapapi 21.065 unit. Hal ini menjadikan sungai merupakan salah satu kawasan
yang cepat berkembang.
Menurut Suprijanto (2003), kawasan tepian sungai merupakan kawasan air yang memiliki
kelebihan terutama yang berkaitan dengan fungsi dan aksesbilitas, karena sungai yang strategis.
Sungai dapat dimanfaatkan manusia untuk mendapatkan permukiman baru dan terus
berkembang menjadi permukiman yang lebih ramai, menjadi desa, dan berkembang menjadi
kota. Kawasan tepi sungai di Indonesia berakar pada faktor faktor geografi dan sejarah
nusantara yang selama berabad abad telah menjadi bagian dari jalur perdagangan
internasional. Kawasan sungai umumnya sangat menarik bagi pertumbuhan perumahan,
terutama perumahan nelayan, yang dekat dengan mata pencaharian sebagai penangkap ikan,
dan perumahan ini di bangun dengan seadanya.
Perkembangan permukiman kawasan tepi sungai menjadi tempat yang menarik untuk
permukiman, kawasan ini menjadi kawasan alternative permukiman kota bagi kaum urbanis.
Daerah bantaran sungai di kota senantiasa digunakan terutama oleh masyarakat miskin kota
sebagai tempat tinggal, kondisi ini memyebabkan tingginya laju pertumbuhan perkotaaan,
dimana kawasan tepi sungai cenderung tumbuh lebih cepat, baik demografis maupun ekonomi.
Sungai dapat dimanfaatkan sebagai sarana transportasi dan sumber daya alam uang dibutuhkan
dalam kehidupan sehari hari.
Banjarmasin merupakan salah satu ibukota provinsi di Pulau Kalimantan yang memiliki
banyak sungai sebagai salah satu sumber daya alamnya. Kota Banjarmasin merupakan kota

kepulauan yang terdiri dari sedikitnya 25 buah pulau kecil dan setiap bagian bagian kota
dipisahkan oleh sungai sungai. Dilihat secara makro, Kota Banjarmasin memiliki batasan fisik
dan geografi berupa sungai, dengan hal ini memberikan pengaruh terhadap pembentukan
karakter kota secara fisik karena 40% dari wilayahnya terdiri dari sungai sungai besar maupun
kecil yang saling berpotongan. Itulah mengapa Kota Banjarmasin disebut dengan kota seribu
sungai. Menurut Pujirahayu (2010), Kota Banjarmasin terletak sekitar 50 km dari muara Sungai
Barito dan dibelah Sungai Martapura. Secara topografis, Kota Banjarmasin didominasi oleh
daerah yang datar dan berawa rawa dengan kemiringan 0% - 2% serta berada pada ketinggian
rata rata 0,16 mdpl. Satuan morfologi ini merupakan daerah dominan yang terdapat di wilayah
Kota Banjarmasin. Kondisi ini sangat menunjang untuk perkembangan perkembangan perkotaan
sebagai area fisik yang terbangun.
Menurut Goenmiandari dalam Seminar Perumahan dan Permukiman (2010), seiring dengan
pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi menyebabkan pertumbuhan kota, selanjutnya
permukiman baru pun terbentuk di sepanjang sungai. Sebagian besar sungai di Banjarmasin
kehilangan fungsi dan kualitas lingkungannya yaitu pendangkalan, penyempitan, menurunnya
kualitas air sungai, dan yang paling menjadi masalah adalah sungai yang hilang akibat tertutup
hunian atau diuruk guna berbagai pembangunan. Budaya sungai perlahan mulai mengalami
pergeseran akibat dari oleh perubahan orientasi bermukim dari masyarakat sungai menjadi
masyarakat daratan sehingga merusak lingkungan di bantaran sungai. Alih fungsi lahan petanian
dan tambak menjadi permukiman dan industri menjadi faktor yang paling besar dalam merusak
lingkungan pinggiran sungai. Tumbuhnya kawasan industri menjadi generator pertumbuhan
ekonomi. Keadaan ini seperti pisau bermata dua di satu sisi dapat terlihat baik karena dengan
adanya pertumbuhan kawasan tersebut, menyebabkan peningkatan ekomoni daerah tersebut.
Disisi yang lain keadaan ini membuat kerusakan dan memudarnya budaya sungai sebagai
identitas masyarakat Kota Banjarmasin.
Perkembangan permukiman tepian sungai ini menjadi menarik untuk di lakukan kajian
dimana diketahu bahwa Kota Banjarmasin terkenal dengan sebutan Kota Seribu Sungai. Disisi
lain keberadaan perkembangan permukiman tepian sungai yang terus berkembang menimbulkan
masalah tersendiri. Dapat terlihat ketika pengendalian perkembangan sungai tidak baik sehingga
menimbulkan efek negative, seperti visual kota yang buruk, degradasi lingkungan tepian sungai,
kekumuhan dan sebagainya.
Dampak yang paling terasa jika pengendalian permukian tepian sungai tidak dikendalikan
adalah munculnya permukiman kumuh. Menjadikan pemandangan pusat kota menjadi buruk,
munculnya bau tidak sedap, sampah yang berserakan di tepian sungai. Untuk itu dibuatlah critical

review ini untuk mengangkat isu permukiman tepian sungai agar kedepannya dapat dikendalikan
dan menjadi bahan kajian selanjutnya.
1.2. Rumusan Masalah
Kota Banjarmasin yang dilewati oleh dua sungai besar, yaitu Sungai Barito dan Sungai
Martapura menjadikan kawasan tepian sungai berkembang dengan cepat. Sungai juga
memberikan kehidupan bagi masyarakat sekitarnya. Dari latar belakang ini dibuat rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Perkembangan permukiman tepian Sungai Kota Banjarmasin.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kota terhadap hunian tepi sungai.
3. Kebijakan pemerintah Kota Banjarmasin terhadap hunian tepi sungai.
4. Lunturnya budaya sungai yang menjadi ciri khas Kota Banjarmasin.
1.3. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari critical review ini adalah sebai berikut:
1. Menjelaskan dan mendeskripsikan perkembangan permukiman di tepian sungai di Kota
Banjarmasin.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman di tepian
sungai di Kota Banjarmasin.
3. Mengetahui kebijakan pemerintah Kota Banjarmasin terhadap hunian tepi sungai.

BAB II
Landasan Teori
2.1. Permukiman
Bersarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman terdapat pengertian-pengertian sebagi berikut. Kawasan permukiman adalah
bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun
perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Permukiman adalah bagian dari
lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satuan perumahan yang mempunyai prasarana,
sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan
atau kawasan perdesaan.
Menurut Kuswartojo (1997 : 21) Permukiman adalah perumahan dengan segala isi dan
kegiatan yang ada di dalamnya. Berarti permukiman memiliki arti lebih luas daripada perumahan
yang hanya merupakan wadah fisiknya saja, sedangkan permukiman merupakan perpaduan
antara wadah (alam, lindungan, dan jaringan) dan isinya (manusia yang hidup bermasyarakat
dan berbudaya di dalamnya). Permukiman merupakan bentuk tatanan kehidupan yang di
dalamnya mengandung unsur fisik dalam arti permukiman merupakan wadah aktifitas tempat
bertemunya komunitas untuk berinteraksi sosial dengan masyarakat (Niracanti, Galuh Aji, 2001 :
51). Sedangkan pengertian perumahan dan permukiman menurut Guritno Mangkusoebroto
(1993 : 5) adalah tempat atau daerah dimana penduduk bertempat tinggal atau hidup bersama
dimana mereka membangun sekelompok rumah atau tempat kediaman yang layak huni dan
dilengkapi dengan prasarana lingkungan.
Rumah tidak dapat dipandang secara sendiri-sendiri, karena saling terkait dan harus
bersamaan dengan lingkungan sosialnya, maka peruhan bagian yang tidak bisa terpisahkan
dengan sistem sosialnya. Perencanaan perumahan harus dipandang sebagai unit yang menjadi
satu kesatuan dengan lingkungan sekitarnya, sehingga harus ada ruang sosial untuk masyarakat
berineraksi satu sama lain. Unit-unit adalah pengorganisasian kebutuhan akan privasi dan
kebutuhan untuk berinteraksi.
Di dalam Sistem Permukiman, menurut Doxiadis (1968:35), permukiman adalah paduan
antara unsur manusia dan masyarakatnya, alam dan unsur buatan. Semua unsur pembentuk
permukiman tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi serta saling menentukan satu
dengan lainnya.
Lingkungan permukiman merupakan sistem yang terdiri dari lima elemen, yaitu :

a. Nature (unsur alam) , mencakup sumber-sumber daya alam seperti geologi, topografi,
hidrologi, tanah, iklim, dan unsur hayati seperti vegetasi dan fauna.
b. Man (manusia), mencakup segala kebutuhan pribadinya, seperti kebutuhan biologis,
emosional, nilai-nilai moral, perasaan dan persepsinya.
c. Society (masyarakat), manusia sebagai bagian dari masyarakatnya.
d. Shell (lindungan), tempat dimana manusia sebagai individu dan kelompok melakukan
kegiatan dan kehidupannya.
Network (jejaring), merupakan sistem alami atau yang dibuat manusia untuk menunjang
berfungsinya lingkungan permukimannya, seperti jalan, jaringan air bersih, listrik, telepon, sistem
persampahan dan lain sebagainya.
Dalam tulisan Rapoport, A. (1969) dinyatakan, dalam suatu pemukiman terjadi hubungan
antar manusia dengan manusia, dengan alam, serta manusia dengan penciptanya. Perbedaan
gaya hidup dan sistim nilai yang dianut suatau masyarakat, berpengaruh besar terhadap
bagaimana masyarakat itu membentuk lingkungannya. Pemukiman memiliki banyak bentuk yang
khas sesuai dengan kekuatan non fisik yang tumbuh dalam masyarakatnya, antara lain berupa
sistim sosial budaya, pemerintahan, tingkat pendidikan serta teknologi yang akan memberi
kontribusi fisik lingkungan, Koentjaraningrat (1977) dalam Yudohusodo. Juga menurut
Koentjaraningrat (1985) dalam Yudohusodo, perumahan dan pemukiman (rumah dan
lingkungannya) sebagai ujud fisik kebudayaan (physical culture) merupakan hasil dari kompleks
gagasan suatu sistim budaya yang tercermin pada pola aktifitas sosial masyarakat. Sejalan
dengan pendapat Rapoport, A. (1969), bahwa arsitektur terbentuk dari tradisi masyarakat (fork
traditional) merupakan bangunan yang mencerminkan secara langsung budaya masyarakat,
nilai-nilai yang dianut, kebiasaan-kebiasaan, serta keinginan-keinginan masyarakat. Pemukiman
yang standar (layak huni) maupun tidak memenuhi standar muncul akibat adanya berbagai faktor
yang timbul dari kemampuan masyarakat itu sendiri. Mau tidak mau, masyarakat akan
membentuk suatu komunitas dan tinggal di daerahdaerah jalur hijau dan bantaran sungai, rel
kereta api dan juga lahanlahan kosong yang tidak bertuan.

1.2 Pemukiman Tepi Air


Pemukiman adalah produk budaya juga ruang tempat manusia berbudaya itu sendiri, yang
terus berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya
kebudayaan. Pemukiman akan dengan sendirinya berkembang secara berkelanjutan selama
kehidupan manusia berkembang. Pemukiman tepi sungai adalah pemukiman organis/spontan

meskipun pada akhirnya secara spasial pemukiman tersebut memunculkan pembentuk


lingkungannya sendiri (Budiharjo E., 1993).
Pola penyediaan perumahan/pemukiman menurut Turner dalam Yunus (1976) secara garis
besar perumahan dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
a) Housing for people, dimana penyediaan perumahan untuk masyarakat dilakukan oleh
badan pemerintah atau lembaga yang ditunjuk dan diawasi oleh pemerintah. Pada kasus
di kawasan tepi sungai khususnya Indonesia pola penyediaan permukiman ini tidak
pernah dilakukan.
b) Housing by people, dimana penyediaan perumahan untuk masyarakat dilakukan sendiri
oleh masyarakat tersebut secara individual maupun kelompok. Pada kasus di kawasan
tepi sungai khususnya Indonesia pola penyediaan permukiman ini dilakukan bahkan
tanpa pengawasan pemerintah dan penentu kebijakan lainnya.
Menurut Suprijanto I (2003) secara garis besar karakteristik umum permukiman tepi sungai
antara lain:
a) Karena belum adanya panduan penataan permukiman yang baku, kawasan permukiman
di atas air cenderung rapat dan kumuh.
b) Tipologi bangunan menggunakan struktur dan konstruksi tradisional konvensional seperti
rumah-rumah kayu dengan struktur sederhana.
c) Karakteristik penduduk tergolong ekonomi lemah terbelakang, dengan pendidikan yang
relatif terbatas sehingga pengetahuan akan perumahan sehat cenderung masih kurang.
d) Dampak dari kondisi diatas terjadi kecenderungan akan berbagai kebiasaan tidak sadar
lingkungan seperti: sifat mengotori dan mencemari sumber-sumber air, mencemari
lingkungan yang berpengaruh terhadap air permukaan, dan memungkinkan penyebaran
penyakit melalui pembuangan air limbah, Terbatasnya teknologi terapan untuk
penanganan masalah-masalah di atas seperti sistem pembuangan air limbah, sampah
pengelolaan air bersih.
Pembangunan permukiman yang pesat menyebabkan banyak permukiman yang tumbuh
begitu saja sehingga pola permukiman menjadi tidak teratur dan terencana dengan baik. Dalam
suatu permukiman terjadi interaksi antar manusia dengan manusia, dengan alam, serta manusia
dengan penciptanya. Perbedaan gaya hidup dan sistem sosial, berpengaruh besar terhadap
masyarakat tersebut membentuk lingkungannya (Rapoport, A. 1969). Sinnulingga B (1999),
mengemukakan di setiap rencana kota terlihat penggunaan lahan guna pemukiman sangat besar.
Pola perkembangan permukiman bantaran sungai umumnya adalah pola liner, karena berderat

sepangjang pinggiran sungai mengikuti bentuk sungainya. Permukiman ini tidak bisa meluas
kearah belakang dan depan karena faktor alam (Daljdonie dalam Atmoyo, 2002).
Kawasan tepi air ataupun kawasan tepi sungai di Indonesia sebenarnya berakar pada faktorfaktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad telah menjadi bagian dari jalur
perdagangan internasional (Suprijanto 2003). Dari sisi geografis, banyak kotakota di Indonesia
berlokasi di daerah pantai, dataran rendah maupun dataran tinggi (pegunungan), seperti Kota
Palembang (Sumatera Selatan) terletak di tepi Sungai Musi, Kota Banjarmasin (Kalimantan
Selatan) terletak di tepi Sungai Kuin dan Sungai Barito dan banyak lagi kotakota yang lainnya.
Dari itu duapertiga bagian wilayahnya adalah perairan, menjadikan Indonesia memiliki garis
pantai terpanjang di dunia, hal tersebut menjadikan pula beberapa bagian wilayah di Indonesia
merupakan kawasan pesisir atau tepi air.
2.3. Sungai
Selama ini sungai menjadi hal yang penting dalam kehidupan manusia, terutama untuk
masyarakat Indonesia. Sungai sungai di Indonesia dalam 30 tahun terakhir mengalami
pembangunan fisik yang relatif cepat. Pembangunan fisik dapat merubah badan sungai dan juga
kondisi sempadan sungai. Bantaran sungai adalah daerah pinggir sungai yang tergenang saat
terjadi banjir. Sempadan sungai adalah daeraha bantaran sungai atau bantaran banjir ditambah
dengan lebar longsoran tebing sungai yang mungkin terjadi, lebar ekologis, dan lebar keamanan
letak sungai (misal, areal permukiman dan non permukiman). Menurut definisi lain berdasarkan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63 Tahun 1993 menyebutkan bahwa daerah sempadan
adalah kawasan sepanjang kanan dan kiri sungai yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Sungai memiliki makna yang sangat tinggi di dalam
suatu masyarakat dengan nilai tertentu dan berfungsi sebagai sumberdaya. Pertumbuhan jumlah
penduduk kawasan perkotaan, baik karena pertumbuhan alami maupun migrasi, sejalan dengan
itu.

2.4. Landasan Hukum Mengenai Sungai


Sungai menjadi hal yang sangat krusial dalam hal pembangunan, karena berkaitan erat
dengan penataan. Jika penataan sungai tidak diperhatikan dengan baik, memungkingkan
terjadinya bencana seperti banjir. Penataan permukiman pinggir sungai juga harus diatur agar
dapat di kendalikan dan diawasi sehingga kawasan tersebut tertata. Oleh karena itu, Pemerintah
membuat peraturan mengenai sungai.

2.6.1. Garis Sempadan Sungai


Garis sempadan sungai menurut peraturan mengenai sempadan sungai mengacu
pada Keppres Nomor 32 Tahun 1990 dan PP No. 47 Tahun 1997 yang menetapkan lebar
sempadan pada sungai besar di luar permukiman minimal 100 meter dan pada anak sungai
besar minimal 50 meter di kedua sisinya. Untuk daerah permukiman, lebar bantaran adalah
sekedar cukup untuk jalan inspeksi 10-15 meter. PP No. 47 Tahun 1997 juga menetapkan
bahwa lebar sempadan sungai bertanggul diluar daerah permukiman adalah 5 meter
sepanjang kaki tanggul . sedang lebar sempadan sungai yang tidak bertanggul di luar
permukiman dan lebar sempadan sungai bertanggul dan tidak bertanggul di daerah
permukiman ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis dan sosial ekonomis oleh pejabat
berwenang (Departemen Kimpraswil, 1995).
Secara hidrolis sempadan sungai merupakan daerah bantaran banjit yang berfungsi
memberikan kemungkinan luapan air banjir ke samping kanan kiri sungai sehingga
kecepatan air kehilir dapat dikurangi, energy air dapat diredam disepanjang sungai, serta
erosi tebing dan erosi dasar sungi dapat dikurangi secara simultan.
2.6.2. Peranan Sungai Perkotaan
Sungai menurut PP No. 35 Tahun 1991 mempunyai pengertian sebagai suatu tempat
atau wadah serta jaringan pengaliran air mulai mata air sampai muara dengan dibatasi kanan
dan kirinya serta disepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Dari hal ini dapat di
jelaskan bahwa peranan sungai dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu daerah belakang
maupun sungai sebagi daerah muka. Sungai berperan pada daerah belakang jika sungai
sebagi tempat pembungan limbah termasuk sampah penduduk, mandi dan mencuci.
Sedangkan peranan sungai sebagi daerah muka dimana sungai menjadi elemen tata ruang
yang baik estetika dan fisik.

BAB III
Analisa (Critical Review)
3.1. Metode Analisa
Permasalahan yang akan dikaji oleh peneliti merupakan masalah yang bersifat sosial dan
dinamis. Oleh karena itu, peneliti memilih menggunakan metode analisa kualitatif untuk
menentukan cara mencari, mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data hasil analisa
tersebut. Analisa kualitatif ini dapat digunakan untuk memahami interaksi sosial, misalnya dengan
wawancara mendalam sehingga akan ditemukan pola-pola yang jelas.
3.2. Metode Kualitatif
Secara teoritis format penelitian kualitatif berbeda dengan format penelitian kuantitatif.
Perbedaan tersebut terletak pada kesulitan dalam membuat desain penelitian kualitatif, karena
pada umumnya penelitian kualitatif yang tidak berpola. Format desain penelitian kualitatif terdiri
dari tiga model, yaitu format deskriptif, format verifikasi, dan format grounded research. Dalam
penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif, yaitu penelitian yang memberi
gambaran secara cermat mengenai individu atau kelompok tertentu tentang keadaan dan gejala
yang terjadi (Koentjaraningrat, 1993:89)
Selanjutnya dijelaskan oleh David Williams (1995) seperti yang dikutip Moleong (2007:5)
mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah,
dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik
secara alamiah. Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh gambaran seutuhnya mengenai suatu
hal menurut pandangan manusia yang diteliti. Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide,
persepsi, pendapat atau kepercayaan orang yang diteliti dan kesemuanya tidak dapat diukur
dengan angka.
3.2.1. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder diperoleh dari teknik pengumpulan data yang menunjang data
primer yang bersumber dari buku, jurnal, laporan tahunan, literature, dan dokumen lain yang
berhubungan dengan analisa.
3.3. Metode Komparatif
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat komparatif. Kata komparasi dalam bahasa
inggris comparation yaitu perbandingan. Makna dari kata tersebut menunjukan bahwa dalam
penelitian ini peneliti bermaksud mengadakan perbandingan kondisi yang berbeda yang ada di
satu tempat, apakah kondisi di tempat tersebut sama atau ada perbedaan, dan kalau ada
perbedaan, kondisi mana yang lebih baik. Menurut Ulber Silalahi (2009: 35) menyatakan bahwa
penelitian komparatif adalah penelitian yang membandingkan dua gejala atau lebih. Penelitian

komparatif dapat berupa komparatif deskriptif (descriptive-comparative) maupun komparatif


korelasional (correlation-comparative). Komparatif deskriptif membandingkan variable yang sama
untuk sampel yang berbeda. Maka dapat diketahui bahwa penelitian komparatif adalah penelitian
yang membandingkan tentang benda, orang, dan hal-hal lain dengan cara menganalisis
persamaan dan perbedaan yang ada dari objek/ subjek yang diteliti.
3.4. Analisa Konsep Teori dengan Kondisi Eksisting
3.4.1. Permukiman Sungai Kota Banjarmasin
Bedasarkan dasar teoritis yang sudah dibahas pada sub bab 2.1 permukiman merupakan
kawasan lingkunan hidup diluar kawasan lindung , lebih dari satu satuan perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana dan utilitas umum, serta menunjang kegiatan fungsi lain di
kawasan perkotaan atau perdesaan. Permukiman merupakan perpaduan antara wadah (alam,
lindungan, dan jaringan) dan isinya (manusia yang berbudaya). Tempat bertemunya komunitas
untuk berinteraksi sosial.
Lingkungan permukiman merupakan sistem yang terdiri dari lima elemen, yaitu nature
(unsur alam), man (manusia), society (masyarakat), shell (lindungan). Perbedaan gaya hidup
dan sistim nilai yang dianut suatu masyarakat, berpengaruh besar terhadap bagaimana
masyarakat itu membentuk lingkungannya. Pemukiman memiliki banyak bentuk yang khas
sesuai dengan kekuatan non fisik yang tumbuh dalam masyarakatnya, antara lain berupa sistim
yang dianut berpengaruh besar terhadap bagaimana masyarakat mebentuk lingkungan. Salah
satunya adalah sosial budaya. Standar pemukiman layak huni atau tidak memenuhi standar
akibat adanya faktor yang timbul dari masyarakat itu sendiri.
Pada perkembangan permukiman di Kota Banjarmasin berbentuk linier mengikuti alur
sungai-sungainya. Masih bisa ditemui rumah tradisional yang masih bertahan. Ketergantungan
akan sungai sangat tinggi karena masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut menggunakan
sungai sebagai jalur transportasi perdagangan. Pada kanan dan kiri sungai yang sejajar
dibangun permukiman dan berbagai bangunan yang diperlukan untuk kelengkapan
permukiman penduduk.
Dengan metode analisis komparasi yang membandingkan teori dan kondisi eksisting
didapatkan analisa sebagai berikut: pada mulanya pembangunan permukiman tepi sungai di
Kota Banjarmasin bedasarkan pada kondisi alam dan mengikuti topografinya sesuai denganke
teori yang ada. Namun, dengan perkembangan pertumbuhan Kota Banjarmasin dan
meningkatnya jumlah penduduk, pertumbuhan permukiman baru tidak terkendali di sepanjang
sungai,

sehingga

sungai

kehilangan

fungsinya

dan

kualitas

lingkungannya

akibat

pendangkalan, penyempitan, menurunnya kualitas air. Pemukiman tepi sungai Kota

Banjarmasin kekhasanya berupa budaya sungai. Saat ini orang-orang lebih memilih
membangun permukiman menjauhi sungai karena kemudahan akses di darat daripada melalui
jalur sungai. Banyak sungai yang ditimbun atau diuruk untuk membangun permukiman baru
dan indutri, akibatnya banyak terdapat permukiman kumuh yang merusak keindahan kota.

3.4.2. Faktor yang Mengaruhi Perkembangan Permukiman Tepi Sungai Kota Banjarmasin
Seperti yang sudah di jelaskan pada sub bab Konsep Dasar Teoritis bahwa permukiman
memiliki bentuk yang khas sesuai dengan kekuatan non fisik yang tumbuh dimasyarakat antara
lain berupa sistem sosial budaya. Budaya sungai dapat diartikan sebagai cara hidup
masyarakat yang berada dekat dengan sungai, sungai sebagai tempet berkehidupan dan
sungai membentuk masyarakatnya yang akan tercermin dalam kehidupan fisik. Serta cara
untuk bertahan hidup dilakukan dengan cara menyesuaikan dengam karakter sungai,
kehidupan ekologi, dan sumber daya yang dimiliki sungai. Sungai menjadi faktor yang
mempengaruhi perkembangan permukiman karena sungai mampu memberi penghidupan ke
masyarakat. Faktor selanjutnya yang mempengaruhi adalah kegiatan industri yang
berkembang pesat. Alih fungsi lahan menjadi faktor selanjutnya.
Tepi sungai Kota Banjarmasin saat ini banyak berkembang industri pengolahan kayu,
selain itu juga berkembang industri perkapalan. Sungai saat ini bukan menjadi prioritas utama
masyarakat tepian Sungai Barito, dahulu kawasan Kuinn menjadi pusat perdagangan yang
lebih dikenal dengan pasar terapung. Saat ini, pedagang yang berjualan sudah berkurang.
Banyak permukiman kumuh akibat dari perkembangan kota dan industri sebagai akibat dari
urbanisasi.
Dengan metode analisis komparasi yang membandingkan teori dan kondisi eksisting
didapatkan analisa sebagai berikut: sudah jelas jika pertumbuhan kota sejalan dengan
pertumbuhan manusia, ditambah lagi dengan perkembangan industri di kawasan tepi sungai
membuat magnet tersendiri bagi pendatang. Akibat dari ini semua adalah degradasi lingkungan
yang berupa penyempitan sungai, dan penyumbatan karena semakin banyaknya permukiman
liar yang di bangun di sepanjang bantaran sungai. Pertumbuhan massa bangunan yang terus
berkembang dan terkonsetrasi menyebabkan padatnya permukiman penduduk, hampir tidak
ada jarak yang memisahkan antar bangunan. Nilai budaya lokal yang akrab dengan sungai kian
memudar karena pembangunan permukiman yang berorientasi pada model pembangunan
berbasis lahan bukan lagi panggung. Sungai bukan lagi faktor yang menentukan
perkembangan Kota Banjarmasin, sungai tidak lagi menjadi muka depan aktivitas namun
menjadi muka belakang, permukiman lebih menghadap ke jalan darat sebagai akses utama.

3.4.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Permukiman Tepi Sungai Kota Banjarmasin


Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63 Tahun 1993 menyebutkan
bahwa daerah sempadan adalah kawasan sepanjang kanan dan kiri sungai yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Garis sempadan sungai
menurut peraturan mengenai sempadan sungai mengacu pada Keppres Nomor 32 Tahun 1990
dan PP No. 47 Tahun 1997 yang menetapkan lebar sempadan pada sungai besar di luar
permukiman minimal 100 meter dan pada anak sungai besar minimal 50 meter di kedua sisinya.
PP No. 47 Tahun 1997 juga menetapkan bahwa lebar sempadan sungai bertanggul diluar
daerah permukiman adalah 5 meter sepanjang kaki tanggul . sedang lebar sempadan sungai
yang tidak bertanggul di luar permukiman dan lebar sempadan sungai bertanggul dan tidak
bertanggul di daerah permukiman ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis dan sosial
ekonomis oleh pejabat berwenang.
Jika berdasar pada peraturan yang ada maka benyak bangunan yang tidak sesuai dengan
garis sempadan sungai yang berarti bangunan tersebut harus di tertibkan. Kebanyakan
bangunan rumah di tepi Sungai Kota Banjarmasin yang berada tepat dan bahkan ada yang
diatas sungai yang dapat membahayakan para penghuni jika terjadi luapan sungai. Seharusnya
pemerintah bisa membuat kebijakan agar penataan wilayah permukiman tepi sungai bisa
teratur dan tertata serta masih bisa tetap pada kekhasan budaya sungainya. Hal ini bisa menjadi
potensi wisata baru untuk Kota Banjarmasin, membuat wisata berwawasan budaya sungai.

BAB IV
Kesimpulan
4.1. Kesimpulan
Dari hasil analisis teori-teori dengan kondisi eksisting yang ada dapat disimpulkan bahwa:
1. Sungai awalnya menjadi penentu perkembangan Kota Banjarmasin, namun saat ini
sungai bukan lagi menjadi budaya yang melekat di masayrakat tepi sungai Kota
Banjarmasin.
2. Perkembangan industri yang pesat menambah parah tatanan permukiman tepi
sungai dengan adanya aktivitas industry semakin mejauhkan masyarakat dengan
budaya sungai.
3. Timbulnya permukiman kumuh akibat pembangunan yang terkonsetrasi di sepanjang
sungai dan keberadaan fungsi lain yang membaur menjadi satu.
4. Degradasi lingkungan akibat permukiman liar yang dibangun disepanjang sungai.
5. Berubahnya orientasi terhadap sungai akibat dari dinamisme pembangunan sungai
bukan lagi menjadi halaman depan yang menjadi kebanggan masyarakat namun
sudah menjadi halaman belakang karena pola permukiman yang menghadap ke
akses jalan darat.
6. Nilai-nilai budaya lokal yang akrab dengan sungai, kini kian memudar karena
pembangunan yang berbasi lahan sehingga rumah panggung tidak lagi menjadi
primadona. Dan merupakan ciri khas dari masyarakat yang berbudaya sungai.
7. Karena terlalu banyak pemabangunan menyebabkan hilangnya ruang terbuka di
sepanjang tepian sungai. Akibat peran sungai yang masih cukup penting namun
ketersedianaksesbilitas antar bangunan minim karena terlalu padatnya wilayah
tersebut.
8. Jika berpacu pada Undang-Undang yang ada kebanyakan benguna tepi sungai
melakukan pelanggarang mengenai garis sempadan sungai.

Daftar Pustaka
Budihardjo, E. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Penerbit Alumni. Bandung.
BPS. 2016. Banyaknya Desa 1 / Kelurahan Menurut Keberadaan Permukiman di Bantaran
Sungai, di Bawah Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), dan Permukiman
Kumuh.

Badan

Pusat

Stasistik,

Januari

2015.

Dalam:

https://www.bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1724. [diakses, 10 Oktober 2016].


Bygrave, William D. (1995). The Portable MBA In Entrepreneurship. New Jersey: John Wiley &
Sons Inc
Doxiadis, Constantinos. A (1968), Existic an Introduction to The Science of Human Settlement.
Koentjaraningrat. 1977. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Koentjaraningrat. 1985. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama
Koentjaraningrat. 1993. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama
Kuswartojo, Tjuk dan Suparti A. Salim. (1997). Perumahan dan Permukiman yang Berwawasan
Lingkungan. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Dan Kebudayaan.
Mangkoesoebroto, Guritno. 1993. Ekonomi Publik. Yogyakarta. Tidak diterbitkan
Niracanti, Galuh Aji. 2001.Studi Perubahan Penggunaan Ruang Permukiman KampunG Kauman
Semarang.Tugas Akhir S1. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas
Diponegoro
Presiden Republik Indonesia (1991), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 35 tahun
1991 tentang Sungai.
Presiden Republik Indonesia (1990), Keputusan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1990 tentang
pengelolaan kawasan lindung
Presiden Republik Indonesia (1997) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang RTRW
Nasional
Rapoport, Amos. 1969. House Form and Culture. Englewood Cliffs, New York: Prentice Hall Inc.

Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung; PT. Refika Aditama.
Supriyanto, I (2003), Karakteristik Spesifik, Permasalahan dan Potensi Pengembangan Kawasan
Kota Tepi Air/Pantai (Coastal City) Di Indonesia, Proceeding Studi Dampak Timbal Balik
Antar Pembangunan Kota Dan Perumahan Di Indonesia Dan Lingkungan Global
Turner, John, 1976, Housing By People: Towards Autonomy in Buildings Environtment: Pantheon
Books, New York
Zulfie Syarief, Kebijakan Pemerintah di Bidang Perumahan dan Permukiman bagi Masyarakat
Berpendapatan Rendah, USU Press, Medan. 2000.hlm. 6.

Anda mungkin juga menyukai