Anda di halaman 1dari 8

Hijrahnya Beberapa PPnBM ke PPh Pasal 22 Barang Mewah

Oleh :
Hilda Yuliani
(Pengamat Perpajakan, Universitas Trilogi)
Louis Vuitton, Gucci, Prada, Chanel, dan Burberry adalah beberapa fashion
brand yang mendistribusikan produk-produknya ke Indonesia, salah satu jenis produk
yang ditawarkan adalah tas kulit yang sangat digandrungi kalangan artis dan sosialita.
Dulu, tas kulit ini termasuk salah satu kategori Barang Kena Pajak (BKP) yang
tergolong mewah dan patut dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
pada saat diimpor. Namun, setelah adanya penghapusan sekitar 33 barang dari Objek
PPnBM Selain Kendaraan Bermotor yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor 106/PMK.010/2015 tentang jenis BKP yang tergolong mewah selain
kendaraan bermotor yang dikenai PPnBM yang diundangkan pada 9 Juni 2015, dan
berlaku sejak 9 Juli 2015 lalu, para pecinta tas kulit dan beberapa produk impor lain
yang dihapuskan dari Objek PPnBM dapat bersukacita karena tidak perlu lagi
membayar PPnBM dengan tarif yang cukup tinggi.
Alasan Penghapusan Beberapa Objek PPnBM?
Berikut ini adalah beberapa kelompok barang yang dihapuskan dari Objek
PPnBM : (1) Peralatan Elektronik; pendingin ruangan, lemari es, mesin cuci, televisi,
kamera, dll. (2) Alat Olahraga; alat pancing, peralatan golf, alat selam, selancar, dll.
(3) Alat Musik; piano, alat musik elektrik, dll. (4) Barang Bermerk; pakaian, parfum,
aksesoris, tas, arloji, barang dari logam, dll. (5) Perabot Rumah Tangga dan Kantor;
karpet, kasur, furnitur, porselin, kristal, dll. Sedangkan alasan dihapuskannya 33
barang tersebut menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro adalah
barang-barang tersebut sudah tidak layak lagi disebut sebagai barang mewah, karena

sesuai perkembangan zaman, meskipun barang-barang tersebut impor, namun bukan


lagi barang yang sulit untuk dimiliki oleh masyarakat.
Dampak Penghapusan Beberapa Objek PPnBM?
Jika sebelumnya saat mengimpor tas kulit dikenakan PPh Impor sebesar 7,5%
dan dikenakan biaya ekstra PPnBM dengan tarif 40%, maka dengan dihapuskannya
33 Objek PPnBM kita hanya perlu membayar PPh Impor sebesar 7,5% tanpa biaya
tambahan PPnBM, sungguh menyenangkan. Dilihat dari sisi penjual, yakni importir
yang melakukan kegiatan impor barang untuk dijual kembali (retail), dampak dari
kebijakan penghapusan ini adalah Harga Pokok Penjualan yang lebih rendah, dan
mengakibatkan barang impor tersebut dapat dijual kembali kepada masyarakat
dengan harga yang lebih murah. Dilihat dari sisi konsumen, karena barang impor
sekarang dapat dibeli dengan harga yang lebih murah, maka dampak dari kebijakan
ini adalah meningkatnya daya beli masyarakat terhadap barang impor tersebut dan
dapat meningkatkan permintaan terhadap barang impor secara keseluruhan. Apalagi,
dipicu dengan anggapan masyarakat bahwa menggunakan produk bermerk dari luar
negeri lebih berkualitas bahkan dapat meningkatkan status sosial, maka permintaan
akan barang impor dapat terus meningkat dan berpeluang menyebabkan Indonesia
kebanjiran barang impor dari luar negeri. Tidak hanya itu, pendapatan negara yang
berasal dari pajak atas impor juga ikut terpengaruh oleh adanya kebijakan ini.
Langkah Antisipasi Serbuan Produk Asing?
Langkah yang diambil untuk menghadapi kemungkinan meningkatnya
volume impor di Indonesia adalah dengan memindahkan tarif pajak yang seharusnya
dibayarkan oleh para importir ke dalam PPh Pasal 22 Barang Mewah. Pajak
Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan
pajak yang dilakukan satu pihak terhadap Wajib Pajak dan berkaitan dengan kegiatan
perdagangan barang. Sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 107/PMK.010/2015

tentang Perubahan Keempat Atas PMK Nomor 154/PMK.03/2010 tentang


Pemungutan PPh Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang
dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain. Tarif PPh Pasal
22 untuk impor barang-barang tersebut dinaikkan dari yang awalnya 7,5% kini
menjadi 10% dari nilai impor. Kenaikan tarif PPh Pasal 22 ini dilakukan untuk
menekan aktivitas impor Indonesia serta sebagai proteksi bagi industri dan produkproduk dalam negeri. Dengan ditingkatkannya tarif PPh Pasal 22 untuk barangbarang tertentu ini juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan pajak negara.
PMK Nomor 107/PMK.010/2015 ini sekarang digantikan dengan PMK Nomor
16/PMK.010/2016 tentang Perubahan Kelima Atas PMK Nomor 154/PMK.03/2010
tentang Pemungutan PPh Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan
Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.
Apa Objek Pajak, Siapa Subjek Pajak, dan Siapa Pemungutnya?
Seperti yang ditetapkan dalam PMK Nomor 154/PMK.03/2010, objek PPh
Pasal

22

Barang

Mewah

adalah

kegiatan

impor

barang.

Subjek

yang

dipungut/dikenakan PPh Pasal 22 Barang Mewah adalah importir yang melakukan


kegiatan impor tersebut. Pemungutan PPh Pasal 22 Barang Mewah dilaksanakan
dengan cara penyetoran oleh importir yang bersangkutan atau Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai (DJBC) ke kas negara melalui Kantor Pos, Bank Devisa, atau Bank yang
ditunjuk Menteri Keuangan. Terdapat beberapa objek yang dikecualikan dari
pemungutan PPh Pasal 22 Barang Mewah yakni : impor barang yang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh dinyatakan dengan Surat
Keterangan Bebas (SKB), impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk
dan/atau PPN, impor sementara (dimaksudkan untuk diekspor kembali), serta impor
kembali, yang meliputi barang barang yang diimpor kembali dalam kualitas yang
sama atau barang yang telah diekspor untuk perbaikan, pengerjaan dan pengujian
yang memenuhi syarat yang ditentukan DJBC

Kapan Saat Terutang dan Berapa Dasar Pengenaan Pajaknya?


Pemungutan PPh Pasal 22 terutang saat pembayaran bea masuk, kecuali jika
pembayaran

bea

masuk

ditunda/

dibebaskan,

pemungutan

dilakukan

saat

penyelesaian Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Perhitungan PPh Pasal 22


dilakukan dengan mengalikan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dengan persentase tarif
PPh Pasal 22 yang berlaku, dalam hal ini 10%, sedangkan DPP yang digunakan
adalah nilai impor. Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar
penghitungan bea masuk yaitu Harga Beli (Cost) + Asuransi (Insurance) + Ongkos
Angkut (Freight) ditambah Bea Masuk dan pungutan lain yang dikenakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pabean di bidang impor.
Besarnya tarif pemungutan yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak
memiliki NPWP lebih tinggi 100% daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib
Pajak yang dapat menunjukkan NPWP.
Ketentuan Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22 Barang
Mewah
Di Indonesia, barang impor wajib diperiksa oleh surveyor di tempat pemuatan
barang di luar negeri sebelum barang tersebut dikapalkan. Pemeriksaan demikian
dimaksudkan untuk memperoleh Laporan Kebenaran Pemeriksaan (LKP). Atas impor
yang dilengkapi dengan LKP PPh Pasal 22 disetor oleh importir ke Bank Devisa
dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP) yang
berlaku sebagai bukti pungutan pajak. Sedangkan impor tidak dilengkapi dengan LKP
PPh Pasal 22 dipungut dan disetor oleh DJBC ke bank devisa, atau bank persepsi,
atau bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. DJBC wajib menerbitkan Bukti
Pemungutan PPh Pasal 22 dalam rangkap 3 yaitu : Lembar pertama untuk Wajib
Pajak yang dipungut; Lembar kedua untuk disampaikan kepada KPP sebagai
lampiran laporan bulanan (dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak

Penghasilan Pasal 22); Lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang
bersangkutan.
DJBC harus menyetorkan pemungutan PPh Pasal 22 atas impor dalam jangka
waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan ke Kantor Pos dan Giro atau bankbank persepsi, dan harus melaporkan hasil pemungutannya tersebut ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) secara mingguan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah
batas waktu penyetoran pajak berakhir. PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi
bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda
atau dibebaskan, PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi saat penyelesaian dokumen
pemberitahuan pabean impor. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah
masa pajak berakhir.
Sanksi Perpajakan
Sanksi perpajakan yang berlaku terhadap PPh Pasal 22 antara lain bunga
sebesar 2% sebulan untuk selama-lamanya 24 bulan atas jumlah pajak yang terutang
tidak atau kurang dibayar dalam hal PPh Pasal 22 tidak atau kurang dibayar dan/atau
dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah
tulis dan/atau salah hitung, bunga 2% sebulan dihitung dari jatuh tempo pembayaran
sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan,
apabila pembayaran atau penyetoran yang terutang untuk suatu saat atau masa
dilakukan setelah jatuh tempo pembayaran atau penyetoran, dan denda sebesar Rp.
100.000,- apabila Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 22 tidak disampaikan
sesuai dengan batas waktu yaitu selambat-lambatnya 14 (empat) belas hari setelah
bulan takwim berakhir
Perlakuan Akuntansi
Perlakuan akuntansi PPh Pasal 22 terhadap pencatatan ke buku besar bagi
pihak pemungut adalah mencatat penerimaan kas dan mengakui utang pajak, sebab

harus disetor ke kas negara. Sedangkan perlakuan akuntansi PPh Pasal 22 terhadap
pencacatan ke buku besar bagi pihak yang dipungut adalah mencatat pembayaran
tersebut sebagai pajak dibayar di muka pada saat pembelian, sebab kewajiban
perpajakannya telah dipenuhi.
Contoh Soal :
Pada tanggal 29 November 2015, Veronica, Wajib Pajak yang telah memiliki
NPWP, mengimpor tas yang berbahan dasar kulit asli dari Amerika untuk digunakan
pada pesta tahun baru bersama teman-temannya. Harga beli tas tersebut adalah $750,
biaya angkut $50, dan tidak diasuransikan. Jika bea masuk yang dikenakan atas
barang tersebut adalah 20%, dan Kurs Menteri Keuangan yang berlaku saat itu adalah
Rp 12.500/$, hitunglah PPh Pasal 22 Impor terutang dari tas kulit yang dibeli
Veronica, serta buatlah jurnal pencatatan bagi pihak Pemungut dan pihak yang
Dipungut!
Jawaban :
Dasar Pengenaan Pajak

= CIF + Bea Masuk


= (Cost + Insurance + Freight) + (20% x CIF)
= ( $750 + $0 + $50) + (20% x ($750 + $0 + $50))
= $800 + (20% x $800)
= $800 + $160
= $960

Dasar Pengenaan Pajak

= $960 x Rp 12.500/$
= Rp 12.000.000

PPh Pasal 22 Impor Terutang = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif


= Rp 12.000.000 x 10%
= Rp 1.200.000

Pencatatan Pihak Pemungut :


29 November 2015

Kas

Rp 1.200.000
Hutang PPh Pasal 22

Rp 1.200.000

Contoh Pencatatan Pihak yang Dipungut :


29 November 2015

PPh Pasal 22 Dibayar Dimuka


Kas

Rp 1.200.000
Rp 1.200.000

Referensi :
PMK Nomor 106/PMK.010/2015
PMK Nomor 107/PMK.010/2015
PMK Nomor 16/PMK.010/2016

Anda mungkin juga menyukai