Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN KEBIJAKAN
DAN KAJIAN LITERATUR

2.1

RENCANA TATA RUANG PROVINSI JAMBI 2013-

2033
Tujuan penataan ruang wilayah Provinsi Jambi adalah :
Mewujudkan ruang wilayah yang harmonis dan merata
berbasis pengelolaan sumber daya alam dan infrastruktur
secara optimal dan berkelanjutan.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Jambi
Tahun 2013 - 2033, ada beberapa strategi yang terkait dengan
Wilayah Kabupaten Sarolangun dan kawasan rawan bencana,
yaitu :

Meningkatkan

pemantapan

fungsi

kawasan

lindung

Kabupaten Sarolangun.

Melakukan

Sikronisasi

fungsi

kawasan

lindung

dengan

Provinsi yang berbatasan dengan Kabupaten Sarolangun

II-1

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA

Kabupaten merupakan kawasan rawan tanah longsor, banjir,


kebakaran hutan dan gempa bumis.

Kawasan strategis Provinsi dari sudut kepentingan ekonomi


dan sosial budaya

Peranan dan Fungsi Wilayah Kabupaten Sarolangun dalam


Rencana Sistem Perkotaan di Provinsi Jambi adalah sebagai
Pusat Perkebunan, Peternakan dan Perikanan, Pertanian,
Pariwisata, Pertambangan dan Kawasan Konservasi.

2.2

RENCANA

TATA

RUANG

WILAYAH

KABUPATEN

SAROLANGUN 2014-2034
Dengan pertimbangan dan fakta ruang yang ada, maka RTRW
Kabupaten Sarolangun Tahun 2014 2034, disusun dengan
tujuan dasar agar tercipta wilayah yang aman, nyaman, produktif
serta berkelanjutan. Secara spesifik penataan ruang Kabupaten
Sarolangun adalah :
Penataan ruang wilayah Kabupaten Sarolangun
bertujuan untuk mewujudkan Kabupaten Sarolangun yang
maju dan sejahtera berbasis sektor perkebunan,
pertanian dan pertambangan yang berwawasan
lingkungan.
Menurut RTRW Kab. Sarolangun tahun 2014-2034, Kabupaten
Sarolangun termasuk ke dalam kawasan rawan bencana longsor,
banjir dan gempa bumi. Berikut penjabaran kawasan rawan
bencana yang ada di Kabupten Sarolangun:
1) Kawasan rawan bencana longsor meliputi:
a. Desa

Temalang,

Maribung, Mersip

dan Napal Melintang

di

Kecamatan Limun; dan


b. Desa Muara Sungai Pinang, Rantau Panjang dan Kasiro di
Kecamatan Batang Asai.

II-2

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA

2) Kawasan rawan banjir meliputi:


a. Kelurahan

Sarolangun

Kembang,

Kelurahan

Pasar

Sarolangun, Desa Ladang Panjang, Desa Lidung, Desa


Pulau Pinang dan Muara Indung di Kecamatan Sarolangun;
b. Desa Teluk Tigo, Teluk Rendah dan Lubuk Resam di
Kecamatan Cermin Nan Gedang;
c. Desa Penegah di Kecamatan Pelawan;
d. Desa Temenggung, Pulau Pandan dan Muaro Limun di
Kecamatan Limun;
e. Desa Teluk Kecimbung di Kecamatan Bathin VIII;
f. Desa Karang Mendapo, Batu Kucing dan Pauh di Kecamatan
Pauh;
g. Desa Muaro Ketalo, Rangkiling Simpang, Gurun Tuo dan
Kertopati di Kecamatan Mandiangin; dan
h. Desa Singkut 2, Singkut 3, Singkut 4, Singkut 5, Singkut 7
dan Payo Lebar di Kecamatan Singkut.
3) Kawasan rawan gempa bumi meliputi: Kecamatan Limun; dan
Kecamatan Batang Asai

2.3

UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2007 TENTANG

PENANGGULANGAN BENCANA
Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis,
biologis,

hidrologis,

klimatologis,

geografis,

sosial,

budaya,

politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka


waktu

tertentu

yang

mengurangi

kemampuan

mencegah,

meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan


untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.
Dalam

UU

ini,

disebutkan

bahwa

Badan

Penanggulangan

Bencana Daerah mempunyai tugas menyusun, menetapkan, dan

II-3
II-3

menginformasikan

peta

rawan

bencana.

penyelenggaraan

penanggulangan

Selain

bencana,

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

itu

dalam

pemerintah

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
menetapkan daerah rawan bencana menjadi daerah terlarang
untuk pemukiman.

2.4

IDENTIFIKASI

KARAKTERISTIK

LOKASI

RAWAN

BENCANA
2.4.1. Kategori Lokasi Rawan Banjir
Berdasarkan

data

sekunder

lain

serta

RTRW

Kabupaten

Sarolangun, ada 4 bencana yang pernah terjadi di Kabupaten ini.


Diantaranya yaitu banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan
kebakaran pada kawasan padat bangunan.
a. Banjir
Banjir seringkali disamaartikan dengan genangan, namun
sebenarnya
sendiri

memiliki

merupakan

meluapnya

aliran

karakteristik
genangan

sungai,

yang

yang

sedangkan

berbeda.
ditimbulkan

genangan

Banjir
oleh
adalah

tertahannya aliran air permukaan akibat tidak berfungsinya


drainase. Banjir dan genangan tersebut sama-sama melanda
daerah

permukiman

penduduk

sehingga

menimbulkan

kerugian harta maupun jiwa.


Banjir

termasuk

bencana

alam,

artinya

terjadi

secara

alamiah. Banjir dianggap sebagai bencana bila manusia


mendiami daerah-daerah rawan banjir, yakni dekat sungai
atau pantai. Banyak sekali faktor yang menyebabkan banjir
terutama curah hujan, kondisi topografi, jenis penutup tanah,
jenis tanah, dan lain-lainnya, penyebab tersebut merupakan
parameter yang menyebabkan banjir.
Berdasarkan

analisis

geomorfologi,

daerah

banjir

biasa

menempati daerah rendah, cekung dan ataran banjir. Akibat


banjir yang parah biasa terjadi di daerah dataran banjir dan
daerah rendah lainnya. Faktor kemiringan lereng, ketinggian,

II-4
II-4

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
dan

geologi

sangat

menentukan

daerah

rentan

banjir.

Selanjutnya kondisi fisik ditambah dengan perilaku manusia


berupa penggunaan lahan dan kepadatan penduduk akan
menentukan tingkat kerentanannya. Ada korelasi yang erat
sekali

antara

tingginya

curah

hujan

dengan

tingkat

kerentanan. Faktor yang terakhir ini dianalisis dengan peta


distribusi curah hujan. Kondisi fisik yang rentan banjir
mempunyai tingkat risiko lebih tinggi jika penduduknya
padat. Unsur lain yang sangat menentukan adanya banjir
yaitu keberadaan air (Wikantini. A & Hidayat. G, 1998).
Untuk mencari parameter yang menyebabkan banjir ini kita
harus mengacu kepada pustaka yang ada, karena yang
mengerti tentang banjir adalah orang yang ahli dalam bidang
hidrolgy, sedangkan posisi kita adalah sebagai analis yang
menggunakan SIG sebagai alat analisis.
Menurut

Suripin

(2004

339)

Penyebab

banjir

dapat

dibedakan menjadi
3 macam, yaitu:
1. Banjir kiriman
Aliran banjir yang datangnya dari daerah hulu di luar
kawasan yang tergenang. Hal ini terjadi jika hujan yang
terjadi di daerah hulu menimbulkan aliran banjir yang
melebihi kapasitas sungainya atau banjir kanal yang ada,
sehingga terjadi limpasan.
2. Banjir lokal
Genangan air yang timbul akibat hujan yang jatuh di
daerah itu sendiri. Hal ini dapat terjadi kalau hujan yang
terjadi melebihi kapasitas sistem drainase yang ada. Pada
banjir lokal, ketinggian genangan air antara 0,2 0,7 m
dan lama genangan 1 8 jam. Terdapat pada daerah yang
rendah.
3. Banjir rob
Banjir yang terjadi baik akibat aliran langsung air pasang
dan/atau air balik dari saluran drainase akibat terhambat

II-5
II-5

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
oleh air pasang. Banjir yang terjadi di Kota Surakarta
merupakan banjir lokal dan banjir kiriman, karena banjir
lokal terjadi akibat hujan yang jatuh di daerah itu sendiri
yang disebabkan air hujan tidak tertampung oleh saluran
drainase karena melebihi kapasitas sistem drainase yang
ada. Banjir kiriman terjadi akibat di daerah lain terjadi
hujan yang airnya mengalir menuju sungai bengawan
solo, kemudian sungai bengawan solo volume airnya naik
hingga meluap.
Dalam

kamus

Ilmiah

Populer,

Lokasi

adalah

tempat,

menempatkan, letak berkenaan dengan tempat. Sedangkan


rawan adalah gawat/buruk (keadaan) tidak aman, lemah.
Lokasi rawan banjir adalah suatu tempat dimana sering
terjadi banjir. Suatu daerah dikatakan rawan banjir, apabila
daerah tersebut sering mengalami banjir. Faktor- faktor yang
mempengaruhi daerah rawan banjir adalah daerah dengan
topografi yang relatif datar dan daerah yang memiliki tata
ruang yang tidak baik. Daerah-daerah tersebut banyak
diketemukan di bantaran sungai dan kota-kota besar.
Analisis yang dilakukan dalam menentukan kawasan rawan
banjir

adalah

melakukan

penyusunan

atribut

dan

pembobotan. Dua proses tersebut dilakukan setelah proses


klasifikasi nilai dalam tiap parameter. Setelahkedua proses
tersebut selesai, dilanjutkan dengan tahap analisis tingkat
kerawanan banjir.
Pembobotan
Pembobotan adalah pemberian bobot pada peta digital
terhadap masing masing parameter yang berpengaruh
terhadap

banjir.

Makin

besar

pengaruh

parameter

terhadap kejadian banjir maka bobot yang diberikan


semakin tinggi.

II-6
II-6

Tabel II.1
Pembobotan Variabel
Parameter

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
o
1
2
3
4
5

Kelerengan
Jenis Tanah
Curah Hujan
Penggunaan Lahan
Buffer Sungai

Sumber : Analisis Tim Penyusun, 2016

Analisis Skoring
Skoring dimaksudkan sebagai pemberian skorterhadap
masing-masing kelas dalam tiap parameter.Pemberian
skor ini didasarkan pada pengeruh kelastersebut tehadap
banjir. Semakin tinggi pengeruhnyaterhadap banjir, maka
skor yang diberikan akan semakintinggi.
a) Pemberian Skor Kelas Kemiringan
Kemiringan
lahan
semakin

tinggi

maka

air

yangditeruskan semakin tinggi. Air yang berada pada


lahantersebut akan diteruskan ke tempat yang lebih
rendahsemakin

cepat,

dibandingkan

lahan

yang

kemiringannyarendah (landai). Sehingga kemungkinan


terjadipenggenangan atau banjir pada daerah yang
derajatkemiringan lahannya tinggi semakin kecil .
Skor
N
o
1
2
3
4
5

Tabel II.2
Kelas Kemiringan Lahan
Kelas
Sko Bob
Lereng
r
ot
0- 8%
5
1.5
8 - 16%
4
1.5
16 - 25%
3
1.5
25 - 40%
2
1.5
>40%
1
1.5

Sumber : Analisis Tim Penyusun, 2016

b) Pemberian Skor Kelas Tekstur Tanah


Tanah
dengan
tekstur
sangat

halus

memiliki

peluangkejadian banjir yang tinggi, sedangkan tekstur


yang

kasarmemiliki

peluang

kejadian

banjir

yang

rendah. Hal inidisebabkan semakin halus tekstur tanah


menyebabkan airaliran permukaan yang berasal dari
hujan maupun luapansungai sulit untuk meresap ke
dalam

II-7
II-7

tanah,

sehinggaterjadi

penggenangan.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
Berdasarkan hal tersebut, makapemberian skor untuk
daerah yang memiliki tekstur tanahyang semakin halus
semakin tinggi.
Tabel II.3
Skor Kelas Tekstur Tanah
N
Bob
o
Kelas
Skor
ot
1
sangat
halus
5
2
2
halus
4
2
3
sedang
3
2
4
kasar
2
2
5
sangat
kasar
1
2
Sumber : Analisis Tim Penyusun, 2016

c) Pemberian Skor Kelas Penutupan Lahan


Penggunaan
lahan
akan
mempengaruhi
kerawananbanjir suatu daerah. Penggunaan lahan akan
berperanpada besarnya air limpasan hasil dari hujan
yang telahmelebihi laju infiltrasi. Daerah yang banyak
ditumbuhi olehpepohonan akan sulit mengalirkan air
limpasan.

Hal

inidisebabkan

besarnya

kapasitas

serapan air olehpepohonan dan lambatnya air limpasan


mengalirdisebabkan tertahan oleh akar dan batang
pohon,sehingga

kemungkinan

banjir

lebih

kecil

daripada daerahyang tidak ditanami oleh vegetasi.


No
1
2
3
4
5

Tabel II.4
Skor Kelas Penutupan Lahan
Sko Bob
Kelas
r
ot
Sawah Tanah Terbuka
5
1.5
Pertanian Lahan Kering,
Pemukiman
4
1.5
Semak Belukar, Alang2
3
1.5
Perkebunan
2
1.5
Hutan
1
1.5

Sumber : Analisis Tim Penyusun, 2016

d) Pemberian Skor Kelas Curah Hujan


Daerah yang mempunyai curah hujan yang tinggiakan
lebih

mempengaruhi

terhadap

kejadian

banjir.Berdasarkan hal tersebut, maka pemberian skor

II-8
II-8

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
untukdaerah curah hujan tersebut semakin tinggi.
Pemberianskor

kelas

curah

hujan

dibedakan

berdasarkan jenis datacurah hujan tahunan, dimana


data curah hujan dibagimenjadi lima kelas .

No
1
2
3
4
5

Tabel II.5
Skor Kelas Curah Hujan
Sko
Kelas
r
>3000
5
2501-3000
4
2001-2500
3
1501-2000
2
<1500
1

Bob
ot
2
2
2
2
2

Sumber : Analisis Tim Penyusun, 2016

e) Skoring Kelas Buffer Sungai


Semakin dekat jarak suatu wilayah dengan sungai,maka
peluang

untuk

terjadinya

banjir

semakin

tinggi.

Olehkarena itu, pemberian skor akan semakin tinggi


dengansemakin dekatnya jarak dengan sungai .

No
1
2
3
4
5

Tabel II.6
Skor Kelas Buffer Sungai
Jarak Buffer
Kelas
sangat rawan
0-50
cukup rawan
>50-100
rawan
>100-150
sedang
>150-200
tidak rawan
>200

Sko
r
5
4
3
2
1

Bob
ot
3
3
3
3
3

Sumber : Analisis Tim Penyusun, 2016

Analisis Tingkat Kerawanan dan Resiko Banjir


Analisis ini ditujukan untuk penentuan nilai kerawanan
danresiko sutu daerah terhadap banjir. Nilai kerawanan
suatu

daerahtehadap

banjir

ditentukan

dari

total

penjumlahan skor seluruhparameter yang berpengaruh


tehadap

banjir.

Nilai

kerawananditentukan

menggunakan persamaan sebagai berikut:

II-9
II-9

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

dengan

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
Keterangan:
K = Nilai kerawanan
Wi = Bobot untuk parameter ke-i
Xi = Skor kelas pada parameter ke-i

Menurut

Kingman

(1991)

untuk

menetukan

lebar

intervalmasing-masing kelas dilakukan dengan membagi


sama

banyak

nilai-nilaiyang

didapat

dengan

jumlah

interval kelas yang ditentukan denganpersamaan sebagai


berikut:
Keterangan:
i = Lebar interval
R = Selisih skor maksimum dan skor minimum
n = Jumlah kelas kerawanan banjir

Daerah

yang

sangat

rawan

terhadap

banjir

akan

mempunyaitotal nilai yang tinggi dan sebaliknya daerah


yang tidak rawan terhadapbanjir akan mempunyai total
nilai yang rendah. Dari tabel dibawah inimenunjukkan
tingkat

kerawanan

banjir

berdasarkan

nilai

kerawananpenjumlahan skor masing-masing parameter


banjir.
Tabel II.7
Nilai tingkat kerawanan Banjir
No
Tingkat
1
sangat rawan
2
cukup rawan
3
rawan
4
sedang
5
tidak rawan
Sumber : Analisis Tim Penyusun, 2016

2.4.2. Lokasi Rawan Tanah Longsor


Longsor merupakan gejala alami yakni suatu proses perpindahan
massa tanahatau batuan pembentuk lereng dengan arah miring
dari kedudukan semula,sehingga terpisah dari massa yang
mantap

karena

pengaruh

gravitasi,

denganjenis

gerakan

berbentuk translasi dan/atau rotasi. Proses terjadinya longsor

II-10
II-10

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
dapatdijelaskan secara singkat sebagai berikut: air meresap ke
dalam tanah sehinggamenambah bobot tanah, air menembus
sampai ke lapisan kedap yang berperansebagai bidang gelincir,
kemudian tanah menjadi licin dan tanah pelapukan diatasnya
bergerak mengikuti lereng dan keluar dari lereng.
Pada umumnya kawasan rawan bencana longsor merupakan
kawasan dengancurah hujan rata-rata yang tinggi (di atas 2500
mm/tahun), kemiringan lerengyang curam (lebih dari 40%),
dan/atau

kawasan

rawan

gempa.

Pada

kawasanini

sering

dijumpai alur air dan mata air yang umumnya berada di lembahlembahyang subur dekat dengan sungai. Di samping kawasan
dengan

karakteristiktersebut,

kawasan

lain

yang

dapat

dikategorikan sebagai kawasan rawan bencanalongsor adalah:


1.

Lereng-lereng pada kelokan sungai, sebagai


akibat proses erosi ataupenggerusan oleh aliran sungai pada

2.

bagian kaki lereng.


Daerah teluk lereng, yakni peralihan antara
lereng curam dengan lerenglandai yang di dalamnya terdapat
permukiman. Lokasi seperti ini merupakanzona akumulasi air
yang meresap dari bagian lereng yang lebih curam.Akibatnya
daerah tekuk lereng sangat sensitif mengalami peningkatan
tekananair pori yang akhirnya melemahkan ikatan antar butir-

butir partikel tanah danmemicu terjadinya longsor.


3.
Daerah yang dilalui struktur patahan/sesar yang
umumnya terdapat hunian.Dicirikan dengan adanya lembah
dengan lereng yang curam (di atas 30%),tersusun dari
batuan

yang

terkekarkan

(retakan)

secara

rapat,

dan

munculnyamata air di lembah tersebut. Retakan batuan


dapat

mengakibatkan

menurunnya

kestabilan

lereng,

sehingga dapat terjadi jatuhan atau luncuran batuan apabila


air hujan meresap ke dalam retakan atau saat terjadi
getaranpada lereng.
Penetapan kawasan rawan bencana longsor dilakukan melalui
identifikasi daninventarisasi karakteristik (ciri-ciri) fisik alami

II-11
II-11

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
yang merupakan faktor-faktorpendorong yang menyebabkan
terjadinya longsor. Secara umum terdapat 14(empat belas) faktor
pendorong yang dapat menyebabkan terjadinya longsorsebagai
berikut:
a. Curah hujan yang tinggi;
b. Lereng yang terjal;
c. Lapisan tanah yang kurang padat dan tebal;
d. Jenis batuan (litologi) yang kurang kuat;
e. Jenis tanaman dan pola tanam yang tidak mendukung
penguatan lereng;
f. Getaran yang kuat (peralatan berat, mesin pabrik, kendaraan
bermotor);
g. Susutnya muka air danau/bendungan;
h. Beban tambahan seperti konstruksi bangunan dan kendaraan
angkutan;
i. Terjadinya pengikisan tanah atau erosi;
j. Adanya material timbunan pada tebing;
k. Bekas longsoran lama yang tidak segera ditangani;
l. Adanya bidang diskontinuitas;
m. Penggundulan hutan; dan/atau
n. Daerah pembuangan sampah.
Keempat belas faktor tersebut lebih lanjut dijadikan dasar
perumusan kriteria(makro) dalam penetapankawasan rawan
bencana longsor sebagai berikut:
a. Kondisi kemiringan lereng dari 15% hingga 70%;
b. Tingkat curah hujan rata-rata tinggi (di atas 2500 mm per
tahun);
c. Kondisi tanah, lereng tersusun oleh tanah penutup tebal
(lebih dari 2 meter);
d. Struktur batuan tersusun dengan bidang diskontinuitas atau
struktur retakan;
e. Daerah yang dilalui struktur patahan (sesar);
f. Adanya gerakan tanah; dan/atau
g. Jenis tutupan lahan/vegetasi (jenis tumbuhan, bentuk tajuk,
dan sifatperakaran).

II-12
II-12

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA

Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007

Gambar 2.1
Tipologi Zona Berpotensi Longsor Berdasarkan Hasil Kajian
Hidrogeomorfologi

a. Zona Tipe A
Zona berpotensi longsor pada daerah lereng gunung, lereng
pegunungan,lereng bukit, lereng perbukitan, dan tebing
sungai dengan kemiringan lerenglebih dari 40%, dengan
ketinggian di atas 2000 meter di atas permukaanlaut.
b. Zona Tipe B
Zona berpotensi longsor pada daerah kaki gunung, kaki
pegunungan, kakibukit, kaki perbukitan, dan tebing sungai
dengan

kemiringan

lereng

berkisarantara

21%

sampai

dengan 40%, dengan ketinggian 500 meter sampaidengan


2000 meter di atas permukaan laut.
c. Zona Tipe C
Zona berpotensi longsor pada daerah dataran tinggi, dataran
rendah, dataran,tebing sungai, atau lembah sungai dengan
kemiringan lereng berkisar antara0% sampai dengan 20%,
dengan ketinggian 0 sampai dengan 500 meter diatas
permukaan laut.

II-13
II-13

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA

N
o

II-14
II-14

Tabel II.8
Kriteria dan Indikator Tingkat Kerawanan Untuk Zona
Berpotensi Longsor Tipe A
(Daerah Lereng Bukit, Lereng Perbukitan, Lereng Gunung,
Lereng Pegunungan
Dan Tebing Sungai, Dengan Kemiringan 40%)
A1: Kriteria Aspek Fisik Alami
Sensitivita
Bobot
s Tingkat
Indikator
Indikator
Verifer
Kerawana
(%)
n
- Lereng
relatif
cembung
denga
Tinggi
kemiringan lebih curam dari (diata
40%
Kemiringan
30%
Lereng
- Lereng relatif landai dengan kemiringa
Sedang
antara 36% s/d 40%
Rendah - Lereng dengan kemiringan 30%-35%
- Lereng tersusun dari tanah penutup teb
(>2m), bersifat gembur dan mudah lolo
air, misalnya tanah residual yan
umumnya menumpang di atas batua
dasarnya (misal andesit, breksi andesi
tuf, napal, dan batu lempung) yang lebi
kompak (padat) dan kedap.
- Lereng tersusun oleh tanah penutup teb
Tinggi
(>2m), bersifat gembur dan mudah lolo
air, misalnya tanah residual atau tana
koluvial, yang didalamnya terdapa
bidang kontras antara tanah denga
kepadatan
lebih
rendah
da
Kondisi Tanah
18%
permeabilitas
lebih
tinggi
yan
menumpang
diatas
tanah
denga
kepadatan lebih tinggi dan permeabilita
lebih rendah
- Lereng tersusun oleh tanah penutup teb
(<2m), bersifat gembur dan mudah lolo
Sedang
air, serta terdapat bidang kontras
lapisan bawahnya
- Lereng tersusun oleh tanah penutup teb
(<2m), bersifat padat dan tidak muda
Rendah
lolos air, tetapi terdapat bidang kontra
di lapisan bawahnya
Batuan
22%
Tinggi
- Lereng yang tersusun oleh batuan deng
Penyusun
bidang diskontinuitas atau struktu
Lereng
retakan/ kekar pada batuan tersebut.
- Lereng yang tersusun oleh perlapisa
batuan miring ke arah luar leren
(perlapisan
batuan
miring
seara
kemiringan lereng), misalnya perlapisa

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
Bobot
Indikator
(%)

N
o

Indikator

Curah Hujan

17%

Kegempaan

3%

Vegetasi

10%

Jumlah bobot

A1: Kriteria Aspek Fisik Alami


Sensitivita
s Tingkat
Verifer
Kerawana
n
batu lempung, batu lanau, serpih, napa
dan tuf
- Lereng tersusun dari batuan denga
bidang diskontinuitas atau ada struktu
Sedang
retakan/ kekar, tapi perlapisan tida
miring kearah luar lereng
- Lereng tidak tersusun oleh batuan denga
Rendah
bidang diskontinuitas atau ada struktu
retakan/ kekar
- Curah hujan yang tinggi (dapat mencap
100 mm/hari atau 70 mm/jam) denga
curah hujan tahunan lebih dari 2500 mm
Tinggi
- Curah hujan kurang dari 70 mm/jam
tetapi
berlangsung
terus-meneru
selama lebih dari dua jam hingg
beberapa hari
- Curah hujan sedang (berkisar 30-7
mm/jam), berlangsung tidak lebih dari
Sedang
jam dan hujan tidak setiap hari (1000
2500 mm)
- Curah hujan rendah (berkisar 30 mm/jam
berlangsung tidak lebih dari 1 jam da
Rendah
hujan tidak setiap hari (kurang dari 100
mm)
- Lereng pada daerah rawan gempa serin
Tinggi
pula rawan terhadap gerakan tanah
- Frekuensi gempa jarang terjadi (1-2 ka
Sedang
per tahun)
Lereng tidak termasuk daerah rawa
Rendah
gempa
- Alang-alang, rumput-rumputan, tumbuha
Tinggi
semak, tumbuhan perdu
- Tumbuhan berdaun jarum seperti cemara
Sedang
pinus
- Tumbuhan
berakar
tunjang
yan
perakarannya menyebar seperti jat
kemiri, kosambi, laban, dlingsem, mind
Rendah
johar, bungur, banyan, mahoni, rengha
sonokeling, trengguli, tayuman, asam
jawa dan pilang

100%

Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007

II-15
II-15

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA

N
o

Indikator

Bobot
Indikator
(%)

Pola Tanam

10%

Penggalian dan
Pemotongan
Lereng

20%

Pencetakan
Kolam

10%

Drainase

10%

Pembangunan

20%

II-16
II-16

A1: Kriteria Aspek Aktifitas Manusia


Sensitivita
s Tingkat
Verifer
Kerawana
n
- Lereng ditanami dengan pola tanam yan
tidak tepat dan sangat sensitif, misalny
Tinggi
ditanami tanaman berakar serabu
dimanfaatkan sebagai sawah/ ladan
dan hutan pinus
- Lereng ditanami dengan pola tanam yan
tidak tepat dan tidak intensif, misalny
Sedang
ditanami tanaman berakar serabu
dimanfaatkan sebagai sawah/ ladan
dan hutan pinus
- Lereng ditanami dengan pola tanam yan
Rendah
teratur dan tepat serta tidak intensi
misal pohon kayu berakar tunjang
- Intensitas penggalian/ pemotongan leren
tiggi, misal untuk jalan atau banguna
dan
penambangan,
tanp
Tinggi
memperhatikan
struktur
perlapisa
tanah/ batuan pada lereng dan tanp
perhitungan analisis kestabilan lereng
- Intensitas penggalian/ pemotongan leren
rendah, misal untuk jalan atau banguna
dan
penambangan,
sert
Sedang
memperhatikan
struktur
perlapisa
tanah/
batuan
pada
lereng
da
perhitungan analisis kestabilan lereng
- Tidak melakukan penggalian/ pemotonga
Rendah
lereng
- Dilakukan pencetakan kolam yang dapa
Tinggi
mengakibatkan merembesnya air kolam
ke dalam lereng
- Dilakukan pencetakan kolam teta
Sedang
terdapat perembesan air, air ko
kedalam lereng
Rendah - Tidak melakukan pencetakan kolam
- Sistem drainase tidak memadai, tidak ad
Tinggi
usaha-usaha untuk memperbaiki
- Sistem drainase agak memadai, da
Sedang
terdapat
usaha-usaha
untu
memperbaiki drainase
- Sistem drainase memadai, ada usaha
Rendah
usaha
untuk
memelihara
salura
drainase
Tinggi
- Dilakukan pembangunan kontruksi denga

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA

N
o

Indikator

Bobot
Indikator
(%)

Kontruksi

Kepadatan
Penduduk

20%

Usaha Mitigasi

10%

Jumlah bobot

A1: Kriteria Aspek Aktifitas Manusia


Sensitivita
s Tingkat
Verifer
Kerawana
n
beban yang terlalu besar dan melampau
daya dukung tanah
- Dilakukan pembangunan kontruksi da
Sedang
beban yang tidak terlalu besar, tetap
belum melampaui daya dukung tanah
- Dilakukan pembangunan kontruksi da
beban yang masih sedikit, dan belum
Rendah
melampaui daya dukung tanah, ata
tidak ada pembangunan kontruksi
Tinggi
- Kepadatan penduduk tinggi (> 50 jiwa/ha
- Kepadatan penduduk sedang (20-5
Sedang
jiwa/ha)
- Kepadatan
penduduk
rendah
(<2
Rendah
jiwa/ha)
- Tidak ada usaha mitigasi bencana ole
Tinggi
pemerintah/ masyarakat
- Terdapat usaha mitigasi bencana ole
pemerintah atau masyarakat, tapi belum
Sedang
terkoordinasi dan melembaga denga
baik
- Terdapat usaha mitigasi bencana alam
oleh pemerintah atau masyarakat, yan
Rendah
sudah terorganisasi dan terkoordina
dengan baik

100%

Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007

N
o

II-17
II-17

Tabel II.9
Kriteria dan Indikator Tingkat Kerawanan Untuk Zona
Berpotensi Longsor Tipe B
(Daerah Kaki Bukit, Kaki Perbukitan, Kaki Gunung, Kaki
PegununganDan Tebing Sungai,
Dengan Kemiringan Lereng 16%-40%)
B1: Kriteria Aspek Fisik Alami
Sensitivita
Bobot
s Tingkat
Indikator
Indikator
Verifer
Kerawana
(%)
n
- Lereng relatif landai dengan kemiringa
Tinggi
36% - 40%
Kemiringan
Lereng dengan kemiringan landai (31%
30%
Sedang
Lereng
35%)
- Lereng dengan kemiringan kurang da
Rendah
21% - 30%

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA

N
o

Indikator

Bobot
Indikator
(%)

Kondisi Tanah

18%

Batuan
Penyusun
Lereng

22%

Curah Hujan

17%

Kegempaan

3%

Vegetasi

II-18
II-18

10%

B1: Kriteria Aspek Fisik Alami


Sensitivita
s Tingkat
Verifer
Kerawana
n
- Kondisi tanah/ batuan penyususn lereng
umumnya merupakan lereng yan
tersusun oleh tanah lempung yan
Tinggi
mudah mengembang apabila jenuh a
(montmorillonite) dan terdapat bidan
kontras dengan batuan di bawahnya
- Lereng tersusun oleh jenis tanah lempun
yang mudah mengembang, tapi tida
Sedang
ada bidang kontras dengan batua
dibawahnya
- Lereng tersusun oleh jenis tanah liat da
berpasir yang mudah, namun terdapa
Rendah
bidang kontras dengan batuan d
bawahnya
- Lereng yang tersusun oleh batuan da
Tinggi
terlihat banyak struktur retakan
- Lereng tersusun oleh batuan dan terliha
Sedang
ada struktur retakan, tetapi lapisa
batuan tidak miring ke arah luar lereng
- Lereng yang tersusun oleh batuan da
Rendah
tanah namun tidak ada struktur retakan
kekar pada batuan.
- Curah hujan yang tinggi (dapat mencap
Tinggi
100 mm/hari atau 70 mm/jam) denga
curah hujan tahunan lebih dari 2500 mm
- Curah hujan sedang (berkisar 30-7
mm/jam), berlangsung tidak lebih dari
Sedang
jam dan hujan tidak setiap hari (1000
2500 mm)
- Curah hujan rendah (berkisar 30 mm/jam
berlangsung tidak lebih dari 1 jam da
Rendah
hujan tidak setiap hari (kurang dari 100
mm)
Tinggi
- Kawasan gempa
- Frekuensi gempa jarang terjadi (1-2 ka
Sedang
per tahun)
- Lereng tidak termasuk daerah rawa
Rendah
gempa
- Alang-alang, rumput-rumputan, tumbuha
Tinggi
semak, tumbuhan perdu
- Tumbuhan berdaun jarum seperti cemara
Sedang
pinus
Rendah - Tumbuhan
berakar
tunjang
yan
perakarannya menyebar seperti jat

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA

N
o

Indikator

Jumlah bobot

Bobot
Indikator
(%)

B1: Kriteria Aspek Fisik Alami


Sensitivita
s Tingkat
Verifer
Kerawana
n
kemiri, kosambi, laban, dlingsem, mind
johar, bungur, banyan, mahoni, rengha
sonokeling, trengguli, tayuman, asam
jawa dan pilang

100%

Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007

N
o

Indikator

Pola Tanam

Penggalian dan
Pemotongan
Lereng

II-19
II-19

Bobot
Indikator
(%)

10%

B1: Kriteria Aspek Aktifitas Manusia


Sensitivita
s Tingkat
Verifer
Kerawana
n
- Lereng ditanami dengan pola tanam yan
tidak tepat dan sangat sensitif, misalny
Tinggi
ditanami tanaman berakar serabu
dimanfaatkan sebagai sawah/ ladan
dan hutan pinus
- Lereng ditanami dengan pola tanam yan
tidak tepat dan sangat intensif, misalny
Sedang
ditanami tanaman berakar serabu
dimanfaatkan sebagai sawah/ ladan
dan hutan pinus
- Lereng ditanami dengan pola tanam yan
tepat dan tidak intensif, misal poho
Rendah
kayu berakar tunjang (pohon/ tanama
tahunan)
- Intensitas penggalian/ pemotongan leren
tiggi, misal untuk jalan atau banguna
dan
penambangan,
tanp
Tinggi
memperhatikan
struktur
perlapisa
tanah/ batuan pada lereng dan tanp
perhitungan analisis kestabilan lereng
- Intensitas penggalian/ pemotongan leren
rendah, misal untuk jalan atau banguna
dan
penambangan,
sert
Sedang
memperhatikan
struktur
perlapisa
tanah/
batuan
pada
lereng
da
perhitungan analisis kestabilan lereng
Rendah - Tidak melakukan penggalian/ pemotonga
lereng,
namun
intansitas
rendah
memperhatikan struktur tanah da

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA

N
o

Indikator

Bobot
Indikator
(%)

Pencetakan
Kolam

10%

Drainase

10%

Pembangunan
Kontruksi

20%

Kepadatan
Penduduk

20%

Usaha Mitigasi

10%

Jumlah bobot

B1: Kriteria Aspek Aktifitas Manusia


Sensitivita
s Tingkat
Verifer
Kerawana
n
batuan dan ada perhitungan analis
kestabilan lereng
- Dilakukan pencetakan kolam yang dapa
Tinggi
mengakibatkan merembesnya air kolam
ke dalam lereng
- Dilakukan pencetakan kolam teta
Sedang
terdapat perembesan air, air ko
kedalam lereng
Rendah - Tidak melakukan pencetakan kolam
- Sistem drainase tidak memadai, tidak ad
Tinggi
usaha-usaha untuk memperbaiki
- Sistem drainase agak memadai, da
Sedang
terdapat
usaha-usaha
untu
memperbaiki drainase
- Sistem drainase memadai, ada usaha
Rendah
usaha
untuk
memelihara
salura
drainase
- Dilakukan pembangunan kontruksi denga
Tinggi
beban melampaui daya dukung tanah
- Dilakukan pembangunan kontruksi da
Sedang
beban yang tidak terlalu besar, tetap
belum melampaui daya dukung tanah
- Dilakukan pembangunan kontruksi da
beban yang masih sedikit, dan belum
Rendah
melampaui daya dukung tanah, ata
tidak ada pembangunan kontruksi
Tinggi
- Kepadatan penduduk tinggi (> 50 jiwa/ha
- Kepadatan penduduk sedang (20-5
Sedang
jiwa/ha)
- Kepadatan
penduduk
rendah
(<2
Rendah
jiwa/ha)
- Tidak ada usaha mitigasi bencana ole
Tinggi
pemerintah/ masyarakat
- Terdapat usaha mitigasi bencana ole
pemerintah atau masyarakat, tapi belum
Sedang
terkoordinasi dan melembaga denga
baik
- Terdapat usaha mitigasi bencana alam
oleh pemerintah atau masyarakat, yan
Rendah
sudah terorganisasi dan terkoordina
dengan baik

100%

Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007

II-20
II-20

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA

N
o

II-21
II-21

Tabel II.10
Kriteria dan Indikator Tingkat Kerawanan Untuk Zona
Berpotensi Longsor Tipe C
(Dataran Tinggi, Dataran Rendah, Dataran, Tebing Sungai,
Lembah Sungai Dengan Kemiringan Lereng 0%-20%)
C1: Kriteria Aspek Fisik Alami
Sensitivita
Bobot
s Tingkat
Indikator
Indikator
Verifer
Kerawana
(%)
n
Tinggi
- Kemiringan Lereng 16% - 20%
Kemiringan
30%
Sedang - Kemiringan Lereng 9% - 15%
Lereng
Rendah - Kemiringan Lereng 0% - 8%
- Lereng yang tersusun oleh batuan dan
terlihat
banyak
struktur
retakan,
lapisan batuan miring ke arah luar
Tinggi
lereng
- Tebing sungai tersusun oleh batuan yang
mudah tererosi aliran sungai dan
terdapat retakan/kekar pada batuan
- Lereng yang tersusun oleh batuan dan
Kondisi Tanah
18%
terlihat ada struktur retakan, lapisan
batuan miring ke arah luar lereng
Sedang - Tebing sungai tersusun oleh batuan yang
mudah tererosi aliran sungai namun
tidak terdapat retakan/kekar pada
batuan
- Lereng yang tersusun oleh batuan dan
Rendah
tanah, namun tidak ada struktur
retakan/ kekar pada batuan
- Lereng yang tersusun oleh batuan dan
Tinggi
terlihat banyak struktur retakan
- Lereng tersusun oleh batuan dan terlihat
Batuan
Sedang
ada struktur retakan, tetapi lapisan
Penyusun
22%
batuan tidak miring ke arah luar lereng
Lereng
- Lereng yang tersusun oleh batuan dan
Rendah
tanah namun tidak ada struktur
retakan/ kekar pada batuan.
Curah Hujan
17%
- Curah hujan yang tinggi (dapat
mencapai 100 mm/hari atau 70
Tinggi
mm/jam) dengan curah hujan tahunan
lebih dari 2500 mm
- Curah hujan sedang (berkisar 30-70
mm/jam), berlangsung tidak lebih dari
Sedang
2 jam dan hujan tidak setiap hari
(1000-2500 mm)
Rendah - Curah hujan rendah (berkisar 30
mm/jam), berlangsung tidak lebih dari

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA

N
o

Indikator

Kegempaan

Vegetasi

Bobot
Indikator
(%)

3%

10%

Jumlah bobot

C1: Kriteria Aspek Fisik Alami


Sensitivita
s Tingkat
Verifer
Kerawana
n
1 jam dan hujan tidak setiap hari
(kurang dari 1000 mm)
Lereng pada daerah rawan gempa sering
Tinggi
pula rawan terhadap gerakan tanah
- Frekuensi gempa jarang terjadi (1-2 kali
Sedang
per tahun)
- Lereng tidak termasuk daerah rawan
Rendah
gempa
- Alang-alang,
rumput-rumputan,
Tinggi
tumbuhan semak, tumbuhan perdu
- Tumbuhan
berdaun
jarum
seperti
Sedang
cemara, pinus
- Tumbuhan
berakar
tunjang
yang
perakarannya menyebar seperti jati,
kemiri, kosambi, laban, dlingsem,
Rendah
mindi, johar, bungur, banyan, mahoni,
renghas,
sonokeling,
trengguli,
tayuman, asam jawa dan pilang

100%

Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007

N
o

Indikator

Bobot
Indikator
(%)

Pola Tanam

10%

Penggalian dan
Pemotongan
Lereng

II-22
II-22

C1: Kriteria Aspek Aktifitas Manusia


Sensitivita
s Tingkat
Verifer
Kerawana
n
- Lereng ditanami dengan pola tanam
yang tidak tepat dan sangat sensitif,
Tinggi
misalnya ditanami tanaman berakar
serabut, dimanfaatkan sebagai sawah/
ladang dan hutan pinus
- Lereng ditanami dengan pola tanam
yang tidak tepat dan sangat intensif,
Sedang
misalnya ditanami tanaman berakar
serabut, dimanfaatkan sebagai sawah/
ladang dan hutan pinus
- Lereng ditanami dengan pola tanam
yang tepat dan tidak intensif, misal
Rendah
pohon kayu berakar tunjang (pohon/
tanaman tahunan)
Tinggi
- Intensitas
penggalian/
pemotongan
lereng tiggi, misal untuk jalan atau
bangunan dan penambangan, tanpa
memperhatikan struktur perlapisan

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA

N
o

Indikator

Bobot
Indikator
(%)

Pencetakan
Kolam

10%

Drainase

10%

Pembangunan
Kontruksi

20%

Kepadatan
Penduduk

20%

II-23
II-23

C1: Kriteria Aspek Aktifitas Manusia


Sensitivita
s Tingkat
Verifer
Kerawana
n
tanah/ batuan pada lereng dan tanpa
perhitungan analisis kestabilan lereng
- Intensitas
penggalian/
pemotongan
lereng rendah, misal untuk jalan atau
bangunan dan penambangan, serta
Sedang
memperhatikan struktur perlapisan
tanah/ batuan pada lereng dan
perhitungan analisis kestabilan lereng
- Tidak
melakukan
penggalian/
pemotongan lereng, namun intansitas
Rendah
rendah, memperhatikan struktur tanah
dan batuan dan ada perhitungan
analisis kestabilan lereng
- Dilakukan pencetakan kolam yang dapat
Tinggi
mengakibatkan
merembesnya
air
kolam ke dalam lereng
- Dilakukan pencetakan kolam tetapi
Sedang
terdapat perembesan air, air kola
kedalam lereng
Rendah - Tidak melakukan pencetakan kolam
- Sistem drainase tidak memadai, tidak
Tinggi
ada usaha-usaha untuk memperbaiki
- Sistem drainase agak memadai, dan
Sedang
terdapat
usaha-usaha
untuk
memperbaiki drainase
- Sistem drainase memadai, ada usahaRendah
usaha
untuk
memelihara
saluran
drainase
- Dilakukan
pembangunan
kontruksi
Tinggi
dengan beban melampaui daya dukung
tanah
- Dilakukan pembangunan kontruksi dan
Sedang
beban yang tidak terlalu besar, tetapi
belum melampaui daya dukung tanah
- Dilakukan pembangunan kontruksi dan
beban yang masih sedikit, dan belum
Rendah
melampaui daya dukung tanah, atau
tidak ada pembangunan kontruksi
- Kepadatan penduduk tinggi (> 50
Tinggi
jiwa/ha)
Kepadatan penduduk sedang (20-50
Sedang
jiwa/ha)
Kepadatan
penduduk
rendah
(<20
Rendah
jiwa/ha)

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA

N
o

Indikator

Bobot
Indikator
(%)

Usaha Mitigasi

10%

Jumlah bobot

C1: Kriteria Aspek Aktifitas Manusia


Sensitivita
s Tingkat
Verifer
Kerawana
n
- Tidak ada usaha mitigasi bencana oleh
Tinggi
pemerintah/ masyarakat
- Terdapat usaha mitigasi bencana oleh
pemerintah atau masyarakat, tapi
Sedang
belum terkoordinasi dan melembaga
dengan baik
- Terdapat usaha mitigasi bencana alam
oleh pemerintah atau masyarakat,
Rendah
yang
sudah
terorganisasi
dan
terkoordinasi dengan baik

100%

Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007

2.4.3. Lokasi Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan


Proses awal dalam mengidentifikasi karekteristik lokasi terjadinya
kebakaran hutan dan lahan adalah analisis tumpang susun
antara areal bekas kebakaran dengan karakteristik lokasi pada 5
titik tahun yang berbeda, yaitu: 2000, 2003, 2006, 2009 dan
2012. Pendugaan pengaruh aktivitas manusia sebagai pemicu
kebakaran hutan dan lahan adalah dengan menghitung jarak
terdekat antara lokasi kebakaran dengan jarak permukiman,
jalan dan sungai serta kondisi tutupan lahan dan kepadatan
penduduk dilokasi kebakaran. Karakteristik kondisi pendukung
yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan diperoleh dari
lokasi kebakaran hutan dan lahan terhadap kondisi curah hujan,
jenis tanah, dan kemiringan lereng.
Kebakaran hutan adalah pembakaran yang penjalarannya bebas
serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan sepertis
serasah, rumput, ranting/cabang pohon mati, pohon mati yang
tetap berdiri, logs, tunggak pohon, gulma, semak belukar,

II-24
II-24

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
dedaunan dan pohon-pohon. Setiap kebakaran yang ukan secara
disengaja dilakukan pada areal-areal yang direncanakan.
Berikut merupakan cirri-ciri kebakaran hutan :
1. Karakterisitik Kebakaran Hutan
Pada umumnya, kebakaran hutan mencakup areal yang relatif
luas, karena banyak benda yang dapat terbakar. Dari segi
kualitas dan kuantitas kebakaran pun beragam. Karakteristik
kebakaran itu antara lain :
a) Lokasi

kebakaran

kampung

hingga

lokasi

jauh

ke

kebakaran
dalam

biasanya

hutan

yang

dari
pada

umumnya sulit dijangkau dan air tidak tersedia


b) Bentuk permukaan tanah : keadaan hutan yang berbukit
dengan

perubahan

menimbulkan

cuaca

kebakaran

yang

drastis

hutan

yang

dapat
sangat

membahayakan
c) Meluasnya kobaran api di lereng pegunungan sangat
cepat dan meluasnya kobaran api tersebut banyak yang
di

sebabkan

oleh

loncatan

(percikan

api)

sehingga

menimbulkan lidah api yang panjang, yang panjangnya


berbeda dengan lidah api kebakaran bangunan
2. Tiga Unsur Pembakaran
Syarat terjadinya pembakaran (api) ada tiga unsur seperti
konsep segitiga api berikut ini, yaitu: adanya benda yang
dapat terbakar, temperatur (panas), dan udara (oksigen).
Apabila salah satu unsur dari tiga unsur ini tidak terpenuhi
tidak akan terjadi pembakaran.
Pemadaman

kebakaran

hutan

dapat

dilakukan

dengan

menurunkan temperatur udara (disiram air, ditutup dan


sebagainya), meniadakan benda yang dapat terbakar (jalur
pemisah api), menyetop aliran udara (diurug tanah).
3. Jenis Kebakaran Hutan
Pada umunya kebakaran hutan di Indonesia berdasarkan
sumber apinya dapat dibagi menjadi jenis yaitu :

II-25
II-25

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
a) Kebakaran Bawah Permukaan
Kebakaran inni disebabkan oleh terbakarnya lapisan batu
bara, bauksit dan bahan organik (gambut) yang ada di
lapisan bumi. Karena aliran udara sedikit, kecepatan
meluasnya nyala api berkisar 4 5 m/jam, namun jenis
kebakaran ini sulit dipadamkan.
b) Kebakaran Permukaan
Merupakan kebakaran yang paling banyak terjadi karena
terbakarnya belukar, limbah pembalakan, rerumputan,
tonggak

pohon,

daun

dan

ranting

(yang

jatuh

dan

menutupi permukaan tanah).


Kecepatan meluasnya kobaran api di permukaan tanah
sangat dipengaruhi oleh bentuk tanah dan cuaca (terutama
angin). Kecepatan normal meluasnya kobaran api berkisar
4 7 km/jam, namun bila angin bertiup kencang di lereng
yang curam, kecepatan meluasnya kobaran api menjadi
lebih dari 10 km/jam.
c) Kebakaran Tajuk dan Batang
Merupakan kebakaran karena terbakarnya pohon (ranting
dan daun) yang diakibatkan oleh api loncat (spot fire) yang
umumnya

timbul

pada

saat

terjadinya

kebakaran

permukaan. Api kebakaran tajuk ini jarang yang terjadi dari


pohon itu sendiri.
Pada jenis kebakaran tajuk ini, api akan cepat membesar
dan sangat sulit dipadamkan. Kebakarn ini seringkali
menimbulkan api loncat. Kecepatan meluasnya kobaran api
lambat,

berkisar

2-4

km/jam.

Tiupan

angin

akan

menyebabkan menyebarnya percikan api dan ranting yang


sedang terbakar dan menimbulkan bahaya tersendiri bagi
operasi pemadaman.
4. Pengaruh Bentuk Permukaan Tanah dan Kondisi Hutan

II-26
II-26

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
Kebanyakan

kebakaran

hutan

disebabkan

oleh

faktor

manusia, tapi menjalarnya kebakaran dan membesarnya


kerugian banyak dipengaruhi oleh kondisi alam.
a) Pengaruh bentuk tanah
Yang disebut bentuk tanah pegunungan adalah tinggi
rendah

lereng

dan

gundukan

tanah

(elevasi).

Sifat

kebakaran yang dipengaruhi bentuk permukaan tanah,


pada umumnya :
Naiknya udara panas yang menyusuri lereng bukit dan
puncak

gunung

dapat

mengakibatkan

meluasnya

kobaran api
Angin yang bertiup ke atas dari lembah ke perbukitan

menjadi sumber penyuplai oksigen


Jalan setapak di hutan dan tebing yang ada di lereng
yang

curam

tidak

efektif

sebagai

jalur

pencegah

meluasnya kobaran api.


Arus angin yang bertiup ke atas akibat kebakaran, bila
terhembus ke puncak pepohonan akan cepat mengering
karena terkena hawa panas. Kandungan minyak yang
terkandung pada daun akan keluar, daun mulai rontok

dan mempercepat meluasnya kebakaran


Sampah menyala yang jatuh bertebaran di lereng / bukit
yang curam, menjadi penyebab meluasnya kobaran api
di bagian bawah lereng.

b) Pengaruh kondisi hutan


Menjalarnya kobaran api di padang rumput seperti alang

alang cukup cepat.


Kebakaran yang melanda padang rumput kadang-kadang
menjalar ke hutan, bahkan akan sampai ke tengah hutan
bila terjadi kemarau panjang, akan terbakar kembali

sebelum kondisi hutannya pulih kembali.


Di areal tanah bekas penebangan, sisa ranting dan
dedaunan

II-27
II-27

yang

dibiarkan

berserakan

akan

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

cepat

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
mengering dan bila terkena api, kobaran apinya sangat
besar.
c) Pengaruh Cuaca
Terjadinya kebakaran hutan tidak sama setiap tahunnya.
Musim kemarau merupakan masa dimana banyak terjadi
kebakaran terutama antara bulan Juni Oktober. Pengaruh
cuaca terhadap kebakaran ini antara lain :
Meluasnya kobaran api di lokasi kebakaran banyak
terjadi di sore hari dimana kelembaban udaranya paling

rendah
Pengaruh angin sangat kuat dan dapat menentukan arah

meluasnya kobaran api


Lereng yang terbakar juga akan menambah kecepatan

tiupan angin
Pada malam hari terutama dini hari, cuaca dingin,
kelembaban

tinggi

serta

tiupan

angin

lemah,

mengakibatkan meluasnya kobaran api lambat


Kobaran api akan meluas searah dengan tiupan angin,
yang

mana

kecepatannya

proporsional

dengan

kecepatan angin
d) Meluasnya kobaran api akibat loncatan api
e) Dalam kebakaran hutan umunya daun kering, ranting,
sarang burung dan kulit kayu yang terbakar terbawa arus
angin dan jatuh di areal yang belum terbakar dapat
menimbulkan terjadinya kebakaran baru.
Pada saat kebakaran batang dan tajuk di daerah lereng
telah mulai mencapai ujung ranting, ranting yang
terbakar apinya akan loncat melewati lembah dan

membakar lereng bagian bawah


Loncatan api mudah terjadi pada ranting yang kering dan
pada pohon yang banyak rantingnya

5. Penyebab Kebakaran Hutan

II-28
II-28

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
Kebakaran hutan adalah kebakaran yang menghanguskan
hutan dan padang rumput. Penyebab kebakaran hutan itu
sendiri terdiri dari :
a) Sumber Api yang Berasal dari Manusia
Yang dinyalakan secara sengaja, misalnya kegiatan :
- Perladangan
- Penggembalaan ternak
- Perburuan binatang liar
- Persiapan lahan
- Tindakan iseng
- Balas dendam
- Mengalihkan perhatian petugas
- Api unggun

Yang Disengaja, seperti :


- Api dari kereta api
- Pekerja hutan
- Pengunjung objek wisata hutan
- Obor
- Puntung rokok
- Perkemahan , dll

b) Faktor Alam, misalnya karena :


Karena petir
Meletus gunung berapi
Api abadi
Analisis yang dilakukan dalam menentukan kawasan rawan
kebakaran hutan dan lahan adalah melakukan penyusunan
atribut dan pembobotan. Dua proses tersebut dilakukan
setelah proses klasifikasi nilai dalam tiap parameter. Setelah
kedua proses tersebut selesai, dilanjutkan dengan tahap
analisis tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan.
Pembobotan
Pembobotan adalah pemberian bobot pada peta digital
terhadap masing masing parameter yang berpengaruh
terhadap kebakaran hutan dan lahan. Makin besar pengaruh
parameter terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan
maka bobot yang diberikan semakin tinggi

II-29
II-29

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA

N
o
1
2
3

Tabel II.11
Pembobotan variabel
Parameter
Kandungan Oksigen di Udara
Landfrom
Penutupan Lahan

Bobot
2/10
3/10
2/10

Sumber : Analisis Tim Penyusun, 2016

Analisis Skoring
Skoring dimaksudkan sebagai pemberian skor terhadap
masing-masing kelas dalam tiap parameter. Pemberian skor
ini

didasarkan

pada

pengeruh

kelas

tersebut

tehadap

kebakaran hutan dan lahan. Semakin tinggi pengeruhnya


terhadap kebakaran hutan dan lahan, maka skor yang
diberikan akan semakin tinggi.
a) Pemberian Skor Kandungan Oksigen di Udara
Semakin besar kandungan oksigen dalam udara maka
nyala api akan semakin besar. Pada kandungan oksigen
kurang dari 12% tidak akan terjadi kebakaran. Dalam
keadaan normal kandungan oksigen di udara 21% cukup
efektif untuk terjadinya kebakaran .

N
o
1
2
3
4
5

Tabel II.12
Skor Kelas Jumlah Oksigen pada ketinggian
Sko
Bob
Skor x
Kelas
r
ot
Bobot
0-1500 mdpl
5
2
10
>1500-4500
2
mdpl
4
8
>4500-6000
2
mdpl
3
6
>6000-9000
2
mdpl
2
4
>9000 mdpl
1
2
2

Sumber : Analisis Tim Penyusun, 2016

b) Pemberian Skor Kelas Jenis Tanah


Tanah dengan tekstur sangat halus memiliki peluang
kejadian banjir yang tinggi, sedangkan tekstur yang kasar
memiliki peluang kejadian banjir yang rendah. Hal ini
disebabkan semakin halus tekstur tanah menyebabkan air

II-30
II-30

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
aliran permukaan yang berasal dari hujan maupun luapan
sungai sulit untuk meresap ke dalam tanah, sehingga
terjadi penggenangan. Berdasarkan hal tersebut, maka
pemberian skor untuk daerah yang memiliki tekstur tanah
yang semakin halus semakin tinggi.
Tabel II.13
Skor Kelas Landfrom
N
o
1
2
3
4
5

Kelas
Kubah Gambut
Dataran Tuf masam
Dataran
Pegunungan dan
plato
Alluvial dan
perbukitan

Skor

Bobot

5
4
3

3
3
3

Skor x
Bobot
15
12
9

Sumber : Analisis Tim Penyusun, 2016

c) Pemberian Skor Kelas Penutupan Lahan


Penggunaan lahan akan mempengaruhi kerawanan banjir
suatu daerah. Penggunaan lahan akan berperan pada
besarnya air limpasan hasil dari hujan yang telah melebihi
laju

infiltrasi.

Daerah

yang

banyak

ditumbuhi

oleh

pepohonan akan sulit mengalirkan air limpasan. Hal ini


disebabkan

besarnya

kapasitas

pepohonan

dan

lambatnya

mengalirdisebabkan

tertahan

oleh

serapan

air

air
akar

oleh

limpasan
dan

batang

pohon, sehingga kemungkinan banjir lebih kecil daripada


daerah yang tidak ditanami oleh vegetasi .

No
1
2
3
4
5

Tabel II.14
Skor Kelas Penutupan Lahan
Sko Bob
Kelas
r
ot
Perkebunan
5
2
Hutan
4
2
Semak Belukar, Alang2
3
2
Pertanian Lahan Kering,
Pemukiman
2
2
Sawah Tanah Terbuka
1
2

Skor x
Bobot
10
8
6
4
2

Sumber : Analisis Tim Penyusun, 2016

Analisis Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan

II-31
II-31

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
Analisis ini ditujukan untuk penentuan nilai kerawanan. Nilai
kerawanan suatu daerah tehadap kebakaran hutan dan lahan
ditentukan dari total penjumlahan skor seluruh parameter
yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan..
Nilai kerawanan ditentukan dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut:

Keterangan:
K = Nilai kerawanan
Wi = Bobot untuk parameter ke-i
Xi = Skor kelas pada parameter ke-i

Menurut Kingman (1991) untuk menetukan lebar interval


masing-masing

kelas

dilakukan

dengan

membagi

sama

banyak nilai-nilai yang didapat dengan jumlah interval kelas


yang ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:
Keterangan:
i = Lebar interval
R = Selisih skor maksimum dan skor minimum
n = Jumlah kelas kerawanan kebakaran

Daerah yang sangat rawan kebakaran hutan dan lahan akan


mempunyai total nilai yang tinggi dan sebaliknya daerah
yang tidak rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan akan
mempunyai total nilai yang rendah. Dari tabel dibawah ini
menunjukkan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan
berdasarkan nilai kerawanan penjumlahan skor masingmasing parameter.
2.2.4 Kebakaran Di Kawasan Padat Bangunan
Rawan

kebakaran

merupakan

kondisi

yang

berpotensi

menimbulkan bahaya api yang tidak diinginkan dan dapat


merugikan berupa materi maupun nyawa sekaligus. Untuk
menentukan tingkat kerawanan kebakaran, diperlukan data dan
informasi tentang kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap
meluasnya

II-32
II-32

kebakaran.

Variabel-variabel

terpilih

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

dalam

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA
menentukan kerawanan kebakaran tersebut adalah kepadatan
bangunan, tata letak bangunan, lebar jalan masuk, ukuran
bangunan,

kualitas

Disamping

itu

atap

penilaian

bangunan
juga

dan

aktivitas

internal.

mempertimbangkan

faktor

penghambat menyebarnya kebakaran yang terjadi, yaitu jarak


terhadap kantor pemadam kebakaran, jarak terhadap sungai,
dan ketersediaan hidran (Sony Setiawan, 2001). Adapun yang
dimaksud faktor penghambat kebakaran dalam hal ini dimaksud
adalah fasilitas pemadam kebakaran yang dapat mencegah
menjalarnya api sehingga kebakaran tidak terjadi secara luas.
Dasar untuk mengenali kerawanan terhadap kebakaran pada
bangunan caranya adalah dengan identifikasi kondisi lingkungan
fisiknya.Persyaratan suatu lokasi untuk dapat menilai tingkat
kerawanan kebakaran antara lain dapat dilihat dari kepadatan
bangunan, tata letak bangunan, lebar jalan masuk, ukuran
bangunan, kualitas

atap bangunan, jarak

terhadap kantor

pemadam kebakaran, jarak terhadap sungai, akitivitas internal


dan ketersediaan hidran. Blok bangunan yang dianggap relatif
aman dari bahaya kebakaran memiliki kepadatan bangunan yang
rendah, tata letak teratur, lebar jalan masuk cukup untuk dilalui
mobil pemadam kebakaran, tersedia tandon air yang cukup
untuk

memadamkan

api,

dan

kualitas

bahan

bangunan

permanen atau tahan terhadap api dan tidak mudah terbakar.


Analisis data untuk menentukan tingkat kerawanan kebakaran
dilakukan secara kuantitatif, yaitu dengan pemberian peringkat
berjenjang di setiap variabel yang terpilih. Setiap variabel
tersebut diklasifikasikan lagi menjadi 3 kelas. Peringkat yang
diberikan kepada setiap kelas variabel berkisar antara 1 3
bergantung kepada besar kecilnya pengaruh yang diberikan.
Variabel-variabel tersebut selain diberi peringkat jugadiberi
faktor pembobot (weighting factor). Bobot yang diberikan kepada
setiap variabel berkisar antara 1 3 tergantung kepada besar
kecilnya pengaruh yang diberikan.
Tabel II.15

II-33
II-33

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA

No

Indikator

Kepadatan
Bangunan

Kepadatan
Penduduk

Tata Letak
Bangunan

Jarak
Terhadap
Kantor
Pemadan
Kebakaran

Aktivitas
Internal

Kualitas
Bahan
Bangunan

II-34
II-34

Faktor Penimbang Parameter Penilaian Kerawanan


Kebakaran
Sensitivi
Bobot
tas
Bobot
Indikato
Tingkat
Verifer
Penilai
r
Kerawan
an
an
Kepadatan bangunan >100
Tinggi
3
rumah/ ha
Kepadatan bangunan
25%
Sedang
mencapai antara 60-100
2
rumah/ ha
kepadatan bangunan < 60
Rendah
1
rumah/ ha
Tinggi
> 201 jiwa/ ha
3
20%
Sedang
151-200 jiwa/ ha
2
Rendah
< 150 jiwa/ ha
1
Mengelompok dengan
Tinggi
3
kerapatan bangunan tinggi
Mengelompok dengan
10%
Sedang
kerapatan bangunan
2
sedang
Menyebar dengan
Rendah
1
kerapaan bangunan rendah
untuk waktu tempuh lebih
Jauh
3
dari 60 menit
untuk waktu tempuh
5%
Sedang
2
antara 30 sampai 60 menit
untuk waktu tempuh
Dekat
1
kurang dari 30 menit
Memiliki aktivitas tinggi
yang melayani skala
regional, seperti pusat
Tinggi
3
perkantoran, perdagangan
dan jasa, dan fasilitas
pendukung
15%
Memiliki aktivitas sedang
Sedang
dan bukan merupakan
2
pusat aktivitas kawasan
Memiliki aktivitas rendah
Rendah
dan bukan pusat aktivitas
1
kawasan
15%
Bangunan terbuat dari
Tidak
bahan yang mudah
3
Permanen
terbakar
Bangunan terbuat dari
Semi
bahan yang agak mudah
2
Permanen
terbakar
Permanen Bangunan terbuat dari
1

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

Nilai
Bobo
t
0,75
0,5
0,25
0,60
0,40
0,20
0,30
0,20
0,10
0,15
0,10
0,05

0,45

0,30
0,15
0,45
0,30
0,15

LAPORANANTARA

BELANJA MODAL PENGADAAN PETA


BENCANA

No

Bobot
Indikato
r

Indikator

Sensitivi
tas
Tingkat
Kerawan
an

Bobot
Penilai
an

Verifer
material yang sukar
terbakar

Sumber: Suharyadi dalam Iman (2007) , dengan perubahan Tim Penyusun, 2016

2.2.5 Kekeringan
Menurut BAKORNAS PB (Badan Koordinasi Nasional Penanganan
Bencana, 2007), peristiwa yang pernah terjadi dan dari data
historis, kekeringan di Indonesia sangat berkaitan dengan
fenomena

ENSO

(El-Nino

Southern

Oscilation). Pengaruh El-Nino lebih kuat pada musim kemarau


dari pada musim hujan. Pengaruh El-Nino pada keragaman hujan
memiliki beberapa pola : akhir musim kemarau mundur dari
normal, awal masuk musim hujan mundur dari normal, curah
hujan musim kemarau turun tajam dibanding normal, deret hari
kering semakin panjang, khususnya di daerah Indonesia bagian
Timur.
Pengaruh
kekeringan,

musim

tersebut

apalagi

kalau

merupakan
musim

pemicu

kemarau

terjadinya

yang

datang

berkepanjangan akan membuat lahan sawah akan semakin rusak


dan bahkan tanaman yang ada di lahan tersebut akan mati dan
akhirnya gagal panen .
Berikut parameter yang berpengaruh terhadap tingkat rawan
kekeringan di Kabupaten Sarolangun :
1. Penggunaan Lahan
2. Kemiringan Lereng
3. Tekstur Tanah
4. Curah Hujan

II-35
II-35

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Sarolangun

Nilai
Bobo
t

Anda mungkin juga menyukai