Anda di halaman 1dari 9

Menteri Azwar Abu Bakar Beberkan PNS yang Bermasalah Sejak

2010-2013
Posted about 50 days ago |acehterkini.com

BADAN Pertimbangan Kepegawaian (Bapek) telah memberhentikan 25 PNS yang


menjadi calo CPNS. Dari jumlah itu, tiga diantaranya dipecat dalam sidang Bapek
pada 1 Maret 2013.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Azwar Abubakar mengatakan, pihaknya tidak akan
memberikan toleransi terhadap PNS yang melakukan berbagai pelanggaran. Mulai dari tindakan displin sampai kawin cerai yang
tidak sesuai dengan aturan. Terlebih bagi PNS yang melakukan penyalahgunaan wewenang, misalnya menjadi calo CPNS.
Menteri PANRB yang juga menjabat sebagai ketua Bapek mengungkapkan, sejak 2010 hinga saat ini sebanyak 627 PNS dijatuhi
sanksi. Tahun 2012 paling banyak, yakni 322 PNS, ujarnya di Jakarta, Minggu (10/3).
Tercatat pada 2010 ada 166 PNS yang dijatuhi sanksi, tahun 2011 ada 89 orang. Sedangkan dua bulan pertama tahun 2013, Bapek
sudah menjatuhkan sanksi terhadap 50 PNS.
Dari 627 orang, sebanyak 511 orang dijatuhi hukuman karena melakukan pelanggaran terhadap PP No 53/2010 tentang Displin PNS.
Paling banyak PNS yang tidak masuk kerja (TMK), yakni 265 orang. Ada juga yang melakukan pemalsuan dokumen, penipuan,
narkotika, melakukan pungutan liar, menjadi calo CPNS, perzinahan/perselingkuhan dan lain-lain.
Sedangkan PNS yang dijatuhi hukuman karena pelanggaran terhadap PP No 45/1990 tentang Izin Kawin tercatat ada 115 orang.
Sebanyak 64 orang melakukan kawin/cerai tanpa izin pejabat yang berwenang. Ada juga yang menjadi isteri kedua, serta PNS yang
hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah (kumpul kebo).
Diakui mantan Plt Gubernur Aceh ini, kehadiran calo CPNS selama ini sulit diberantas, karena korban juga enggan melapor. Namun
dengan pemberian sanksi terhadap calo-calo CPNS ini diharapkan bisa menyadarkan masyarakat, bahwa saat ini sudah tidak ada
tempat lagi bagi calo dalam setiap penerimaan CPNS.
Masyarakat diminta tidak mempercayai kalau ada pihak-pihak tertentu, termasuk pegawai di suatu instansi yang mengaku dapat
membantu meloloskan anak atau saudaranya untuk menjadi CPNS dengan sejumlah imbalan. Mantu saya saja tidak diterima
karena tidak lulus tes, ujarnya.
Terkait dengan PNS yang menjadi calo CPNS ini, diakuinya ada yang merupakan pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN). Dalam
sidang Bapek tanggal 1 Maret 2013 lalu, dua PNS dari BKN dipecat karena menjadi calo CPNS.(acehterkini/jpnn)

Setelah ditetapkannya Al-Amin Nasution (PPP) & Sarjan Tahir (Demokrat) dalam kasus pengalihan lahan hutan di
bagansiapi2(sumsel) & bintan (kepri), kini menurut pengakuan Sekda Bintan Azirwan, ada 4 oknum anggota DPR yang
juga terlibat dalam kasus pengalihan hutan di bintan. Pesan juga untuk KPK, kapan Bupati Bintan ditetapkan jadi
tersangka? Kenapa hanya level sekda yang tersentuh? Menhut MS Kaban juga diperiksa dong, enggak mungkin hanya
legeslatif & eksekutif di daerah yang terlibat? Jangan tebang pilih begitu dong?
Azirwan Sebut Empat Anggota DPR Terlibat
Tuesday, 08 July 2008
JAKARTA(SINDO) Sebanyak empat anggota Komisi IV DPR disebut ikut terlibat dalam perkara dugaan suap Sekretaris
Daerah Bintan,Kepulauan Riau,Azirwan kepada anggota Komisi IV DPR,Al Amin Nur Nasution.
Uang suap diberikan untuk memuluskan perizinan alih fungsi kawasan hutan lindung Bintan. Penyelidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Sagita Haryadi, saat bersaksi dalam sidang perkara itu di Pengadilan Khusus Tindak
Pidana Korupsi menyebut anggota DPR yang sempat terlibat pembicaraan dengan Azirwan adalah Hilman Indra dari Fraksi
Bintang Pelopor Demokrasi (BPD), Sujud Sirajudin dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN),Azwar Chesputra dan Syarfi
Hutauruk dari Fraksi Partai Golkar (FPG).
Sagita adalah petugas KPK yang bertugasmenyelidiki,termasukmenyadap pembicaraan melalui telepon yang dilakukan
Azirwandengansejumlahpihak. Pembicaraan telepon itu sebagian berisi tentang pemberian uang kepada anggota DPR dan
pejabat di eksekutif. Sagita membeberkan keempat anggota DPR itu terlibat pembicaraan dengan Azirwan, sebelum
Sekretaris Daerah Bintan itu aktif berkomunikasi dengan Al Amin Nur Nasution.
Sagita bertugas menyelidiki kasus itu sejak November 2007,termasuk melakukan penyadapan.Selama itu beberapa
anggota DPR telah menjalin komunikasi, bahkan sempat menggelar pertemuan dengan Azirwan. Salah satu komunikasi
antara Azirwan dan beberapa anggota DPR itu terjadi pada 20 Juni 2007.
Komunikasi itu antara lain menyepakati komitmen pemberian uang kepada sejumlah anggota DPR. Komunikasi antara
anggota DPR dan Azirwan itu kemudian tertunda sehingga komunikasi kemudian ditangani Al Amin Nur Nasution. Ada
kesulitan Hilman Indra menghubungi Azirwan, akhirnya Al Amin yang menangani, ungkap Sagita.
Penyelidik KPK lain yang bersaksi,Amir Arif,mengaku melihat dua anggota Komisi IV selain Al Amin sebelum suami
penyanyi dangdut Kristina itu tertangkap petugas KPK di Ritz Carlton Hotel, Jakarta, pada 8 April 2008. Saya melihat
Azirwan bersama dua orang wanita, katanya sembari menyatakan Azirwan memasuki Mistre Pub di Hotel Ritz Carlton
pada malam hari.
Kedatangan Azirwan, menurut Amir,disusul Al Amin. Amir memastikan dua anggota DPR lain juga menyusul Amin dan
Azirwan di sana. Saya ketahui dua orang itu adalah Syarfi Hutauruk dan Sujud Sirajudin, kata Amir. Di dalam tempat
hiburan, semua orang itu duduk terpisah.
Azirwan duduk bersama seorang laki-laki,sementara Al Amin duduk di seberang Azirwan bersama dua wanita yang
mengapitnya.Sujud dan Syarfi duduk di kursi lain. Menurut Amir, Azirwan dan Al Amin sempat menghampiri Sujud dan
Syarfi.Setelah Amin dan Azirwan kembali ke tempat semula,Sujud dan Syarfi meninggalkan tempat hiburan itu.
Tidak lama setelah itu, kata Amir, Azirwan beberapa kali bertemu dengan Al Amin di lorong toilet. Amir mengamati mereka
dari jarak sekitar tiga meter. Di tempat itulah Azirwan memberikan uang kepada Al Amin. Setelah meninggalkan tempat
hiburan,Azirwan dan Al Amin ditangkap secara terpisah oleh petugas KPK.
Bersama Al Amin ditemukan uang sedikitnya Rp3,9 juta dan Rp60 juta di mobil Al Amin. Sebaliknya, bersama Azirwan

ditemukan dokumen hasil rapat Komisi IV DPR dengan Menteri Kehutanan MS Kaban. Dalam surat dakwaan jaksa
penuntut umum (JPU) menyebutkan terjadinya pemberian uang oleh Azirwan kepada Al Amin dalam jumlah lebih banyak
daripada yang ditemukan saat penangkapan.
Pemberian itu terjadi sebelum penangkapan dalam beberapa tahap. Salah satu anggota Komisi IV DPR yang disebut
terlibat, Azwar Chesputra,belum bersedia berkomentar menyangkut dugaan keterlibatannya dalam kasus suap alih fungsi
hutan lindung di Bintan. Sementara ini no commentdulu, apalagi kasusnya masih dalam proses. Tunggu saja hasilnya
nanti,kata Azwar saat dihubungi tadi malam.
Menhut Terbawa
Seseorang bernama Kaban juga disebut terlibat dan menerima jatah dalam kasus dugaan pemberian uang oleh Azirwan
kepada Al Amin Nur Nasution. Sagita membenarkan adanya hubungan telepon antara Azirwan dan seseorang yang
namanya diringkas menjadi AN pada 14 November 2007. Dalam transkrip pembicaraan yang dibacakan di sidang
terungkap,Azirwan mengatakan kepada AN bahwa ada investor yang bersedia memberikan dana Rp4 miliar untuk alih
fungsi hutan lindung.
Empat miliar ini harus kitahematjuga,kata Azirwan. Saya usahakan dua miliar ke DPR dan satu miliar ke menteri, kata
Azirwan menambahkan tentang penggunaan uang Rp4 miliar itu. Berikutnya terungkap bahwa Azirwan akan menemui
seorang bernama Kaban. Hal itu dinyatakan dalam pembicaraan telepon antara Azirwan dengan seorang yang namanya
disebut male dalam transkrip pembicaraan.
Mungkin mereka mau buat saya jumpadenganPakKaban sekali, kata Azirwan kepada male yang tercatat dalam
transkrip pembicaraan. Sagita membenarkan pula terjadinya hubungan telepon antara Azirwan dan male pada 30 Januari
2008. Dalam pembicaraan itu, Azirwan mengatakan urusan dengan Menhut sudah selesai.
Menhut sudah selesai, tinggal DPR, kata Azirwan seperti terungkap dalam transkrip pembicaraan. Azirwan tidak
menyangkal telah melakukan pembicaraan dengan sejumlah pihak dalam proses pemberian uang kepada anggota DPR.
Namun dia dengan tegas menyatakan tidak pernah berinisiatif menyuap,melainkan hanya memenuhi permintaan anggota
DPR.
Menanggapi hal itu, MS Kaban sebagai menteri kehutanan alias menhut mengaku tidak tahu dugaan suap alih fungsi hutan
lindung yang dilontarkan Azirwan. Disebut apa, yang nyebut siapa, kata MS Kaban saat dimintai konfirmasi oleh SINDO
tadi malam. Menhut mengatakan persoalan alif fungsi hutan sudah berjalan sesuai mekanisme yang berlaku.
Kalau ada dugaan dia menerima dana, itu hanya isu tanpa fakta. Wah saya apes dong, tidak dapat bagian apa-apa, tapi
dapat baunya saja,jelasnya. Mengenai langkah yang bakal dilakukan untuk menepis dugaan suap yang disebutkan sekitar
Rp1 miliar itu Kaban menjawab, Enggak perlu ada langkah apaapa. Memang langkah apa yang diperlukan?ujarnya. (m
purwadi)

JAKARTA, KOMPAS.com 16 Okt 2012 Ketua Komisi II DPR Agun Gunanjar menilai, secara teknis prosedural pengaktifan
kembali Azirwan, mantan terpidana kasus korupsi, menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau tidak
bermasalah. Menurutnya, hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian
Pegawai Negeri Sipil (PNS).
"Karena di dalam PP itu mengatur PNS diperbolehkan, maka secara teknis prosedural sudah sesuai," ujar Agun, Selasa
(16/10/2012), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Dalam PP Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS itu mengatur soal penonaktifan kembali PNS jika masa hukumannya
kurang dari empat tahun. Azirwan sendiri divonis 2 tahun 6 bulan penjaradan membayar denda Rp 100 juta atau subsider tiga bulan
penjara. Azirwan terbukti menyuap Anggota DPR Al Amin Nasution terkait pembahasan alih fungsi hutan lindung di Bintan pada
2008. Meski secara teknis prosedural tidak menyalahi aturan, Agun menilai kebijakan pengaktifan kembali ini sudahmengabaikan
ranah etika.
"Keputusan itu tidak mempertimbangkan aspek etika meski secara legalitas formalitasnya tidak menyalahi aturan," ujarnya.
Oleh karena itu, Agun melihat perlunya mempercepat realisasi Rancangan Undang-Undang tentang Etika Birokrasi.
"Saat dulu saya di Baleg, RUU Etika Pemerintahan ini pernah dibahas. Di dalamnya mengatur sebuah larangan dan kewajiban
terhadap aparat negara yang terkena sanksi hukum. Ini yang harus didorong," kata Agun.
Ia menambahkan, jika etika birokrasi dikembangkan, pemerintah akan mendapatkan kepercayaan publik. "Kalau terus begini, etika
birokrasi tidak dikembangkan, trust publik juga tidak akan terjadi," ujarnya lagi.
Diberitakan sebelumnya, Azirwan, mantan terpidana korupsi dalam kasus alih fungsi hutan lindung di Pulau Bintan, diaktifkan
kembali sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau, beberapa waktu lalu. Mantan Sekretaris Daerah
Kabupaten Bintan itu bebas dari tahanan sekitar tahun 2010. Azirwan dan Al Amin Nasution (waktu itu anggota Komisi IV DPR)
ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, pada 8 April 2008.

Bambang Soesatyo: Kasus Century Akan Dibongkar


pada Pemerintahan Mendatang
Penulis : Leo Sunu | Minggu, 11 April 2010 | 15:40 WIB

Inggried Dwi W

Anggota DPR Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo (tengah)

TERKAIT:

Rizal Ramli: Kasus Pajak, Pengalihan Isu yang Kena Muka Sendiri

Bambang Soesatyo Luncurkan Buku "Skandal Gila Bank Century"

Khawatir Konflik, Chandra Bersedia Tak Tangani Kasus Century

KPK Perlu Gelar Perkara Kasus Century

Terkait L/C Century, Dirut PT SPI Ditahan

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan anggota Pansus Hak Angket Century Bambang Susatyo berkeyakinan skandal Bank Century
senilai Rp 6,7 triliun akan terbongkar, cepat ataupun lambat. Kalaupun tidak terselesaikan dalam masa pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono saat ini, pemerintahan mendatang mulai 2014 nanti yang akan membongkarnya.
Hal ini disampaikan Bambang Soesatyo saat meluncurkan bukunya Skandal Gila Bank Century, Minggu (11/4/2010), di Doekoen
Coffe, Jakarta. "Century ini persoalan besar. Kalau tak selesai sekarang, pemerintahan mendatang yang akan mengungkap," kata
anggota Komisi III DPR ini.
Ia mengatakan, skandal Century telah tercatat dan terdokumentasikan dalam catatan negara. "Ini akan terus diingat dan didorong
pada pemerintahan mendatang," katanya.
Sementara untuk saat ini, kata Bambang, pihaknya di DPR masih terus mengupayakan pembentukan tim pengawas untuk
mengawal penyelesaian kasus Bank Century di aparat penegak hukum.
"Tugas ini pengawas penting untuk mengawal proses hukum menuntaskan kasus aliran dana dengan tim gabungan Polri, PPATK,
BPK, dan KPK," tuntasnya.

Editor :

wah

Politisasi Century dan Kerugian Negara


Rabu, 20 Maret 2013 | 09:14 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - "Perlu juga dipahami bahwa penjualan Bank Mutiara adalah upaya mengurangi beban ongkos penyelamatan
ekonomi, bukan transaksi untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya".
Sudah empat tahun berlalu, bara Century belum juga padam. Sejak bank bobrok ini diselamatkan oleh pemerintah pada November
2008, sumbu politik kasus ini bahkan kerap mudah tersulut. Hiruk-pikuk kembali terjadi ketika beberapa anggota tim pengawas
Century DPR mewartakan kabar penting selepas menyambangi Anas Urbaningrum di kediamannya. Menurut para politikus
Senayan, mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu menyebut sejumlah nama yang terkait aliran dana bailout Century sebesar Rp
6,76 triliun.
Tapi, percikan api politik itu tiba-tiba kembali padam. Dalam sebuah acara talkshow radio, Anas menyatakan tidak pernah menyebut
nama-nama terkait aliran dana Century. Bahkan, kata dia, para koleganya di tim pengawas menyatakan bahwa media massa telah
memelintir pernyataan mereka. Drama ini sekali lagi menunjukkan bahwa kasus Century selalu punya tempat istimewa di panggung
politik Indonesia. Para badut politik bahkan bisa mendapat panggung megah menjelang perhelatan Pemilu 2014.
Banyak yang tak sadar bahwa politisasi kasus Century sesungguhnya dapat berdampak pada semakin besarnya tingkat kerugian
negara. Hal itu dikarenakan upaya penjualan Bank Century, yang kini bernama Bank Mutiara, menjadi semakin sulit direalisasi
dengan harga optimal.
Kegaduhan yang terus-menerus kerap membuat investor tak punya nyali untuk membeli bank eks Century ini. Padahal, kinerja
keuangannya tak buruk. Modalnya yang saat diselamatkan pada 21 November 2008 minus Rp 2,2 triliun, kini sudah mencapai
sekitar Rp 1,4 triliun. Rasio kecukupan modalnya pun naik drastis dari minus 36 persen menjadi di atas 11 persen.
Perlu juga disadari oleh semua pihak bahwa penjualan Bank Mutiara bukanlah perkara mudah. Ketentuan dalam Undang-Undang
Lembaga Penjamin Simpanan mengharuskan bank ini dijual minimal seharga nilai bailout Rp 6,8 triliun atau setara dengan 4,8 kali
modalnya.
Harga ini jelas terlalu mahal dibanding bank-bank lainnya. Sebagai gambaran, price to book value atau perbandingan harga
terhadap nilai buku bank-bank besar, seperti BNI, BRI, Mandiri, Danamon, dan CIMB Niaga, saja hanya berkisar 1-3 kali. Bankbank di Eropa dan Asia lainnya bahkan hanya 1-1,5 kali dari nilai buku.
Ketentuan harga jual minimum sebesar penyertaan modal yang ditanamkan LPS ini mengikat selama tiga tahun sejak bank diambil
alih. Tenggat ini bisa diperpanjang dua tahun, meski harus tetap dijual dengan patokan harga yang sama. Barulah jika tetap gagal,
penjualan di tahun keenam bisa dilakukan di bawah nilai bailout.
Mengacu pada ketentuan itu, Bank Mutiara baru bisa dijual dengan harga realistisnya di bawah Rp 6,8 triliun pada November 2013
hingga November 2014. Padahal, di masa itu suhu politik akan mencapai titik didihnya menjelang pemilu. Sangat mungkin para
politikus akan kembali berteriak jika Bank Mutiara dijual di bawah nilai bailout, meski UU memungkinkannya. Jika ini terjadi, upaya
penjualan bisa kembali gagal dan nasib Bank Mutiara bakal semakin tidak menentu. Sebab, belum ada aturan yang jelas, siapa
yang harus menangani bank itu setelah wewenang LPS habis di tahun keenam.
Untuk memecah kebuntuan itu, perlu segera dibuat opsi terobosan. Pertama, agar Bank Mutiara bisa terjual tahun ini, perlu ada
insentif bagi calon investor untuk bisa membelinya secara bertahap dalam periode tertentu. Dengan cara ini, meski nilai jual relatif
mahal 4,8 kali nilai buku, investor masih bisa memetik keuntungan dari keringanan skema pembayaran. Investor yang menawarkan

skema paling menguntungkanlah yang keluar sebagai pemenang.


Kedua, perlu dikaji kemungkinan bank-bank BUMN bisa membeli Bank Mutiara dengan obligasi rekap. Opsi ini ideal dilakukan agar
Bank Mutiara yang telah menguras energi publik dan dana tak sedikit ini bisa memperkuat perbankan nasional, khususnya
menghadapi persaingan ketat di era perdagangan bebas ASEAN yang akan dimulai pada 2015.
Bank-bank besar nasional, seperti BCA, memang tidak terpaut jauh dibanding bank DBS di Singapura yang memiliki kapitalisasi
pasar tertinggi. Namun, berdasarkan modalnya, Mandiri sebagai bank dengan modal terbesar di Indonesia hanya menempati urutan
ke-7 di bawah bank-bank di Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Perlu juga dipahami bahwa penjualan Bank Mutiara adalah upaya mengurangi beban ongkos penyelamatan ekonomi, bukan
transaksi untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Karena itu, kalaupun pada akhirnya Bank Mutiara hanya bisa dijual di
bawah Rp 6,8 triliun, kita semua harus realistis menerimanya.
Taruhlah Mutiara hanya berhasil dijual sebesar dua kali nilai bukunya saat ini atau Rp 2,8 triliun. Ini berarti ongkos riil penyelamatan
Century sudah berkurang menjadi tinggal Rp 4 triliun. Angka ini sesungguhnya sudah lebih rendah dari ongkos riil yang harus
dikeluarkan negara jika Century ditutup empat tahun lalu yang mencapai Rp 5,8 triliun.
Ongkos penutupan ini berasal dari pengeluaran dana oleh LPS untuk penggantian dana nasabah yang dijamin pemerintah sebesar
Rp 6,4 triliun, dikurangi potensi pendapatan dari hasil penjualan aset-aset Bank Century setelah ditutup yang ditaksir sekitar Rp 600
miliar.
Perbandingan inilah yang selama ini luput dari perhatian publik, termasuk media. Keributan hanya seputar ongkos bailout Rp 6,8
triliun, tanpa mengetahui kalkulasi riilnya. Tanpa politisasi, niscaya Bank Mutiara bisa dijual lebih tinggi, yang berarti kerugian
negara pun semakin kecil. *
Oleh: Metta Dharmasaputra, Direktur Eksekutif KATADATA

Laporan Parsel Lebaran; Banyak Kepala Daerah Abaikan Imbauan


KPK
Sejumlah kepala daerah terindikasi mengabaikan imbauan Komisi Pemberantasan Korupsi tentang larangan memberi atau
menerima parsel Lebaran, serta penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
Transparency International Indonesia (TII) mencatat, dalam sepekan sebelum hingga sesudah Lebaran tahun ini, ada 22
penyelewengan yang justru dibiarkan atau bahkan diperbolehkan kepala daerah.
Sejumlah kepala daerah terindikasi mengabaikan imbauan Komisi Pemberantasan Korupsi tentang larangan memberi atau
menerima parsel Lebaran, serta penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
Transparency International Indonesia (TII) mencatat, dalam sepekan sebelum hingga sesudah Lebaran tahun ini, ada 22
penyelewengan yang justru dibiarkan atau bahkan diperbolehkan kepala daerah.
Sebagian dari penyelewengan itu justru disampaikan secara terbuka oleh kepala daerah di media massa atau bahkan dengan
mengeluarkan surat keputusan yang membolehkan penggunaan mobil dinas untuk kepentingan pribadi selama Lebaran, kata
peneliti Ekonomi dan Pemerintahan TII, Putut Aryo Saputro, Senin (20/9).
Penyelewengan tersebut, menurut dia, mengindikasikan pembangkangan kepala daerah terhadap komitmen dan usaha untuk
memberantas korupsi. Selain itu, hal tersebut menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mendisiplinkan birokratnya,
buruknya keteladanan pemimpin daerah, serta lemahnya kontrol masyarakat.
Manajer Pusat Anti-Korupsi TII Ilham Saenong mengungkapkan, kasus gratifikasi yang cukup menonjol adalah indikasi penggunaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk pembagian parsel bagi pegawai negeri sipil (PNS) di Blitar, Jawa Timur. Total
anggaran yang digunakan diperkirakan mencapai Rp 2,4 miliar, yang pengadaannya menggunakan mekanisme penunjukan
langsung.
Ada motif politik dalam pemberian parsel tersebut di mana bupati incumbent ingin menarik simpati pemilih dari kalangan PNS dan
keluarganya dalam menghadapi pemilu kepala daerah ke depan, kata Ilham.
Secara terpisah, Juru Bicara KPK Johan Budi menyatakan, KPK setiap menjelang hari raya selalu mengeluarkan imbauan kepada
penyelenggara negara agar tidak menerima atau memberi parsel. Jika penyelenggara negara tersebut dikirimi parsel, mereka wajib
menyerahkan dan melaporkannya kepada KPK.
KPK memang menerima laporan gratifikasi dari sejumlah penyelenggara negara. Data lebih rinci akan kami rekapitulasi dan
sampaikan kepada publik, kata Johan.
Tindakan menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, menurut Johan, juga tidak diperbolehkan. Meskipun demikian,
KPK mengaku kesulitan memproses penyelewengan-penyelewengan tersebut. (WHY)
Sumber: Kompas, 21 September 2010

Anda mungkin juga menyukai