PEMBIMBING:
dr. Markus Rambu, Sp.THT-KL
OLEH:
ICA JUSTITIA
H1A007027
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari hidung luar dan rongga hidung atau kavum nasi. Selain
sebagai organ pernapasan atas, hidung juga berfungsi dalam penciuman (penghidu).4
2.1.1
Hidung luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:5
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Gambar
2.1 Hidung Luar.4
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang
dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan dan menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari:5
a. tulang hidung (os nasalis)
b. prosesus frontalis os maksila
c. prosesus nasalis os frontalis
Prose
sus
nasali
s os
front
alis
kartilago
lateralis
superior
3
dibelakang
nares
anterior,
disebut
dengan
vestibulum.
Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan
rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.5
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding
medial, lateral, inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum
nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh
tulang
dan
tulang
rawan.
Bagian
Septum
dilapisi
oleh
Pada
meatus
inferior
terdapat
muara
(ostium)
duktus
katup,
sehingga
merupakan
faktor
predisposisi
untuk
sensoris
dari
n.maksila
(CN.V2)
melalui
ganglion
untuk
mukosa
hidung.
Serabut
saraf
parasimpatisnya
Epidemiologi
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai
wanita, terutama pada usia dewasa muda dan pertengahan.1,2,3 Dalam Boies (1997)
disebutkan frekuensi penderita rinitis atrofi wanita : laki-laki adalah 3 : 1.7 Sedangkan
menurut Sampan dkk perbandingan frekuensi rinitis atrofi wanita terhadap laki-laki
adalah 5,6 : 1.1 Di RS H. Adam Malik, Medan, dari Januari 1999 sampai Desember 2000
ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37 tahun.3
Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial
ekonomi rendah, lingkungan yang buruk, dan di negara sedang berkembang.2,3
2.2.3
Etiologi
Penyebab pasti rinitis atrofi atau ozaena belum diketahui sampai sekarang.
Berbagai teori mengenai etiologi dan patogenesis rinitis atrofi dikemukakan, antara
lain:1,2,3
a. Infeksi kronik spesifik
8
Mungkin rinitis atrofi terjadi karena kombinasi beberapa faktor-faktor di atas. Rinitis
atrofi juga bisa digolongkan menjadi rinitis atrofi primer atau idiopatik yang
penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung dan infeksi
hidung kronik.1,2,3
2.2.4
adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia di mukosa respirasi menjadi epitel kubik atau
gepeng berlapis atau atrofik, silia menghilang, dan fibrosis dari tunika propria, terdapat
pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan
9
periarteritis pada arteriole terminal.2,3 Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa
dibagi menjadi dua:3
a) Tipe I: adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi
kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.
b) Tipe II: terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi
estrogen.
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di
submukosa.3
Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta
tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga
dihubungkan dengan teori proses autoimun; dimana antibodi yang berlawanan dengan
surfaktan protein A terdeteksi. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama
menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal
menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang
baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan
juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan
mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang
merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.3
2.2.5
gangguan penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak)
berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. 3 Keluhan yang juga
sering ditemukan adalah napas berbau, karena pasien menderita anosmia biasanya yang
orang lainlah yang mengeluhkan napas pasien berbau.2 Pasien mengeluh kehilangan indra
pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan
napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat
bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan
hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat
telah bergerak semakin jauh dari gambaran.7
10
Pemeriksaan hidung pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga
hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat,
terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi
inferior), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. Bisa juga
ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang timbul).2,3
Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 3
a) Tingkat I: Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta
sedikit.
b) Tingkat II: Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin
pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c) Tingkat III: Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis,
rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat
anosmia yang jelas.
2.2.6
Diagnosis
Diagnosis rinitis atrofi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis rinitis atrofi primer secara klinis
berdasarkan trias yaitu napas berbau, krusta purulen kehijauan, dan rongga hidung
lapang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis rinitis
atrofi adalah pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, CT-scan sinus
paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan
mikrobiologi, dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan
sifilis. Gambaran CT-scan pada rinitis atrofi yaitu penebalan mukosa dinding sinus,
hilangnya gambaran kompleks osteomeatal akibat resorpsi bula etmoid dan prosesus
unsinatus, hipoplasia sinus maksila, kavum nasi membesar dengan erosi dinding lateral,
dan resorpsi tulang dan atrofi mukosa konka media dan inferior. Hipoplasi sinus maksila
terjadi pada stadium lanjut penyakit. 3,7
2.2.7
Diagnosis Banding
Diagnosis banding rinitis atrofi (ozaena) antara lain :
a. Rinitis kronik TBC
b. Rinitis kronik lepra
11
Komplikasi
Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :
a. Perforasi septum
b. Faringitis atrofi
c. Sinusitis
d. Miasis hidung
e. Hidung pelana
2.2.9
Penatalaksanaan
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatan rinitis atrofi belum ada
yang
baku. Pengobatan
hanya
bersifat
paliatif.
Pengobatan
ditujukan untuk
NaCl
NH4Cl
NaHCO3 aaa 9
12
Aqua ad 300 cc
c. Larutan garam dapur. Garam dapur sendok teh dicampur segelas air hangat.
d. Campuran:
Na bikarbonat 28,4 g
Na diborat 28,4 g
rongga hidung yang lapang, mengurangi turbulensi udara, mengurangi pengeringan dan
pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya
regenerasi.2,3
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 3
1) Young's operation
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Dilaporkan hasil yang baik dengan
penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu
hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
2) Modified Young's operation
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
3) Lautenschlager operation
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian
dipindahkan ke lubang hidung.
4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis
seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue.
5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan
tujuan membasahi mukosa hidung.
6) Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF). Dengan mengangkat sekat tulang
yang mengalami infeksi, diharapkan infeksi teredaikasi, fungsi ventilasi dan
drenase sinus kembali normal, sehingga terjadi regenerasi mukosa.
2.2.10 Prognosis
Penyakit ini dapat menetap selama bertahun-tahun. Dengan terapi yang tepat,
diharapkan terjadi perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Prognosisnya baik,
walaupun dapat berulang.3
14
BAB 3
RINGKASAN
1. Rinitis atrofi atau ozaena adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta yang
ketika kering berbau busuk.
2. Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi belum dapat diterangkan dengan memuaskan
hingga sekarang.
3. Gejala klinis biasanya berupa hidung tersumbat, anosmia, ingus kental berwarna
hijau, krusta berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering, serta
napas berbau.
4. Pada pemeriksaan hidung ditemukan rongga hidung dipenuhi krusta hijau dan
purulen, rongga hidung sangat lapang, atrofi konka, mukosa hidung tipis dan kering.
5. Diagnosis rinitis atrofi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan dibantu pemeriksaan penunjang.
6. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada baku.
Pengobatan ditujukan untuk menghilangkam faktor penyebab dan gejala. Pengobatan
dapat diberikan secara konservatif atau operatif.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Sampan S. Bist, Manisha Bist, dan Jagdish P. Purohit. Primary Atrophic Rhinitis: A
Clinical Profile, Microbiological, and Radiological Study. India: International
Scholarly Research Network Otolaryngology, volume 2012. 2012. pp 1-6
2. Retno S. Wardani dan Endang Mangunkusumo. Rinitis Atrofi. Dalam: Efiaty A.
Soepardi dkk (Editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorak Kepala
dan Leher, edisi 6. Jakarta: Balai Penertbit FKUI. 2007. hlm 140-141
3. Rizalina A. Asnir. Rinitis Atrofi. Cermin Dunia Kedokteran, no.144. 2004. hlm 5-7
4. Keith L. Moore dan Arthur F. Dalley. Clinically Oriented Anatomy, 5th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2006. pp 1012-1019
5. Damayanti Soetjipto dan Retno S. Wardani. Hidung. Dalam: Efiaty A. Soepardi dkk
(Editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorak Kepala dan Leher,
edisi 6. Jakarta: Balai Penertbit FKUI. 2007. hlm 118-122
6. Richard L. Drake et al. Grays Anatomy for Students. New York: Elsevier Inc. 2007.
pp 972-976
7. Peter A. Higler. Rinitis Atrofik, Atrofik Hidung, dan Ozaena. In: George L. Adams et
al (editor). Boeis Buku Ajar Penyakit THT (Boeis Fundamental of Otolaryngology),
edisi 6. Jakarta: EGC. 1997. pp 221-222
16