Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

RINITIS ATROFI (OZAENA)

PEMBIMBING:
dr. Markus Rambu, Sp.THT-KL

OLEH:
ICA JUSTITIA
H1A007027

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM PROPINSI NTB
2013
BAB 1
PENDAHULUAN
Rinitis atrofi atau ozaena telah dikenal sejak lama, pertama kali dijabarkan oleh
Fraenkel pada akhir abad ke-19. Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik,
yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan
krusta yang ketika kering berbau busuk.1,2
Rinitis atrofi banyak mengenai wanita, khususnya usia dewasa muda dan
pertengahan. Angka kejadiannya bervariasi di berbagai belahan dunia. Kondisi ini banyak
ditemukan di negara tropis.1
Penyebab pasti rinitis atrofi belum diketahui. Berbagai teori mengenai etiologi
dan patogenesis rinitis atrofi dikemukakan. Infeksi spesifik, autoimunitas, infeksi hidung
dan sinus kronik, ketidakseimbangan hormon, status gizi buruk, anemia defisiensi besi,
dan faktor hereditas diduga menjadi faktor-faktor penyebab rinitis atrofi. Infeksi
Klebsiella ozaenae adalah yang paling sering didapatkan. Kuman lain yang juga terlibat
adalah Coccobacillus foetidus ozaenae, Bacillus mucosus, Diphtheroids bacillus,
Bacillus pertusis, Haemophilus influenzae, Pseudomonas aeruginosa, Stafilokokus,
Streptokokus, dan Proteus sp. Keterlibatan kuman-kuman ini sebagai penyebab langsung
atau hanya sebagai penyebab infeksi sekunder belum diketahui pasti. Teori infeksi kronis
dan autoimunitas mendapat dukungan ahli terbanyak.1,2
Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatan rinitis atrofi belum ada
yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk
menghilangkan gejala. Pengobatan dapat secara konservatif atau jika tidak menolong
dilakukan pembedahan.2,3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari hidung luar dan rongga hidung atau kavum nasi. Selain
sebagai organ pernapasan atas, hidung juga berfungsi dalam penciuman (penghidu).4
2.1.1

Hidung luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:5
a.
b.
c.
d.
e.
f.

pangkal hidung (bridge)


dorsum nasi
puncak hidung (hip)
ala nasi
kolumela
lubang hidung (nares anterior)

Gambar
2.1 Hidung Luar.4
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang
dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan dan menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari:5
a. tulang hidung (os nasalis)
b. prosesus frontalis os maksila
c. prosesus nasalis os frontalis

Prose
sus
nasali
s os
front
alis

Sementara itu, kerangka tulang rawan terdiri atas


beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu:5
a. sepasang

kartilago

Gambar 2.2. Kerangka hidung.4


nasalis

lateralis

superior
3

b. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor)


c. kartilago alar minor
d. tepi anterior kartilago septum
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan
kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi
bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut
nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi,
tepat

dibelakang

nares

anterior,

disebut

dengan

vestibulum.

Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan
rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.5
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding
medial, lateral, inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum
nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh
tulang

dan

tulang

rawan.

Bagian

tulang adalah lamina prependikularis


os ethmoid, vomer, krista nasalis os
maksila, krista nasalis os palatina.
Bagian tulang rawan adalah kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan
kolumela.

Septum

dilapisi

oleh

perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian


Gambar 2.3 Dinding medial hidung.6
tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.4,5
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka superior,
konka media, konka inferior dan konka supreme. Ukurannya dari yang
terbesar ke yang terkecil yaitu konka inferior, konka media, konka
superior, dan konka suprema yang biasanya rudimenter.5

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga


sempit yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya, ada 3 meatus
yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di
anatara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga
hidung.

Pada

meatus

inferior

terdapat

muara

(ostium)

duktus

nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan


dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula
etmoid, prosesus usinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum
etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung
dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid
anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka
superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid.5

Gambar 2.4 Dinding lateral hidung.6


Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk
oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung
sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis yang memisahkan
rongga terngkorak dan rongga hidung.5
Pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan
lamina papirasea terdapat celah sempit yang disebut kompleks
osteomeatal. Struktur anatomi yang membentuknya yaitu prosesus
5

unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger


nasi, dan resessus frontalis. Kompleks ini merupakan tempat ventilasi
dan drenase sinus-sinus yang letaknya anterior.5
2.1.2 Pendarahan hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang a.oftalmika (cabang
dari a.karotid interna). Bagian bawah rongga hidung mendapat
perdarahan dari cabang a. maksilaris interna, yaitu a.palatina mayor
dan a.sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari
cabang-cabang a.fasialis.4,5

Gambar 2.5 Pendarahan rongga hidung.4


Pada bagian depan septum dan terletak superfisial terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior,
a.labialis superior, a.palatina major, yang disebut Pleksus Kiesselbach
(Littles area).
Vena-vena hidung berjalan berdampingan dengan arteri. Vena di
vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yg
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak
memiliki

katup,

sehingga

merupakan

faktor

predisposisi

untuk

mudahnya penyebaran infeksi sampai intrakranial.5


6

2.1.3 Persarafan hidung


Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
sensoris dari n.etmoidalis anterior, cabang dari n.nasosiliaris yang
berasal dari n.oftalmikus (CN.V1), rongga hidung lainnya mendapat
persarafan

sensoris

dari

n.maksila

(CN.V2)

melalui

ganglion

sfenopalatina. Ganglion ini juga memberikan persarafan vasomotor


(otonom)

untuk

mukosa

hidung.

Serabut

saraf

parasimpatisnya

diperoleh dari n.petrosus superfisialis mayor, cabang CN.VII, dan


serabut simpatis diperoleh dari n.petrosus profundus yang berasal dari
nervus spinalis T1. Serabut parasimpatis berkaitan dengan fungsi
sekresi kelenjar mukosa hidung dan sinus paranasal, sedangkan
serabut simpatis terlibat dalam pengaturan aliran darah mukosa
hidung.5,6
Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius yang turun melalui
lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir
pada sel-sel reseptor penghidu di mukosa olfaktorius.5
2.1.4 Mukosa hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologi dan
fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respirasi) dan
mukosa mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan
terdapat pada sebagian besar rongga hidung, dilapisi epitel kolumnar
berlapis semu bersilia dan diantaranya terdapat sel goblet. Mukosa
penghidu terdapat di atap rongga hidung, konka superior, dan
sepertiga atas septum, dilapisi epitel kolumnar berlapis semu tidak
bersilia. Epitelnya dibentuk oleh sel penunjang, sel basal, dan sel
reseptor penghidu.5
Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah
mudan dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir. Di bawah
epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh
darah, kelenjar mukosa, dan jaringan limfoid.5
7

Mukosa hidung, palut lendir dan gerak silia penyusunnya


membentuk sistem transpor mukosilier. Sistem ini merupakan sistem
pertahanan aktif rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur, atau
partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Efektivitas
sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut
lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel goblet dan kelenjar
seromusinosa submukosa. Bagian bawah palut lendir terdiri dari cairan
serosa, sedangkan bagian permukaannya terdiri dari mukus yang lebih
elastik dan banyak mengandung laktoferin, lisozim, imunoglobulin A
sekretorik (s-IgA), dan IgG.1,5
2.2 Rinitis Atrofi
2.2.1 Definisi
Rinitis atrofi atau ozaena adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta yang
ketika kering berbau busuk. Disebut juga rinitis kronik foetida atau rinitis krustosa.2,3
2.2.2

Epidemiologi
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai

wanita, terutama pada usia dewasa muda dan pertengahan.1,2,3 Dalam Boies (1997)
disebutkan frekuensi penderita rinitis atrofi wanita : laki-laki adalah 3 : 1.7 Sedangkan
menurut Sampan dkk perbandingan frekuensi rinitis atrofi wanita terhadap laki-laki
adalah 5,6 : 1.1 Di RS H. Adam Malik, Medan, dari Januari 1999 sampai Desember 2000
ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37 tahun.3
Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial
ekonomi rendah, lingkungan yang buruk, dan di negara sedang berkembang.2,3
2.2.3

Etiologi
Penyebab pasti rinitis atrofi atau ozaena belum diketahui sampai sekarang.

Berbagai teori mengenai etiologi dan patogenesis rinitis atrofi dikemukakan, antara
lain:1,2,3
a. Infeksi kronik spesifik
8

Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella ozaena. Kuman ini menghentikan


aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain golongan
Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain Pseudomonas
aeuruginosa (penyebab kedua terbanyak), Stafilokokus, Streptokokus,
Coccobacillus foetidus ozaenae, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli,
Bacillus pertusis, Haemophilus influenzae, dan Proteus sp. Keterlibatan
kuman-kuman ini sebagai penyebab langsung atau hanya sebagai penyebab
infeksi sekunder belum diketahui pasti. Diduga infeksi kronik, hidung dan
sinus, oleh kuman-kuman ini menyebabkan gangguan gerakan mukosilia
mukosa hidung.
b. Autoimunitas.
Teori infeksi kronis dan autoimunitas mendapat dukungan ahli terbanyak.
c. Defisiensi Fe
d. Defisiensi vitamin A
e. Status gizi buruk
f. Sinusitis kronik
g. Ketidakseimbangan hormon estrogen.
Kejadian onset rinitis atrofi meningkat pada saat mengandung dan pubertas.
h. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun
i. Ketidakseimbangan vasomotor atau otonom.
Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi pembuluh darah akibat
j.
k.
l.
m.

gangguan sistem saraf otonom.


Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS)
Herediter
Supurasi di hidung dan sinus paranasal
Golongan darah

Mungkin rinitis atrofi terjadi karena kombinasi beberapa faktor-faktor di atas. Rinitis
atrofi juga bisa digolongkan menjadi rinitis atrofi primer atau idiopatik yang
penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung dan infeksi
hidung kronik.1,2,3
2.2.4

Patologi dan Patogenesis


Studi kepustakaan menyatakan pada pemeriksaan histopatologis didapatkan

adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia di mukosa respirasi menjadi epitel kubik atau
gepeng berlapis atau atrofik, silia menghilang, dan fibrosis dari tunika propria, terdapat
pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan
9

periarteritis pada arteriole terminal.2,3 Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa
dibagi menjadi dua:3
a) Tipe I: adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi
kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.
b) Tipe II: terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi
estrogen.
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di
submukosa.3
Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta
tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga
dihubungkan dengan teori proses autoimun; dimana antibodi yang berlawanan dengan
surfaktan protein A terdeteksi. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama
menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal
menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang
baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan
juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan
mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang
merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.3
2.2.5

Gejala Klinis dan Pemeriksaan


Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat,

gangguan penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak)
berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. 3 Keluhan yang juga
sering ditemukan adalah napas berbau, karena pasien menderita anosmia biasanya yang
orang lainlah yang mengeluhkan napas pasien berbau.2 Pasien mengeluh kehilangan indra
pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan
napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat
bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan
hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat
telah bergerak semakin jauh dari gambaran.7

10

Pemeriksaan hidung pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga
hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat,
terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi
inferior), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. Bisa juga
ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang timbul).2,3
Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 3
a) Tingkat I: Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta
sedikit.
b) Tingkat II: Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin
pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c) Tingkat III: Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis,
rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat
anosmia yang jelas.
2.2.6

Diagnosis
Diagnosis rinitis atrofi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis rinitis atrofi primer secara klinis
berdasarkan trias yaitu napas berbau, krusta purulen kehijauan, dan rongga hidung
lapang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis rinitis
atrofi adalah pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, CT-scan sinus
paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan
mikrobiologi, dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan
sifilis. Gambaran CT-scan pada rinitis atrofi yaitu penebalan mukosa dinding sinus,
hilangnya gambaran kompleks osteomeatal akibat resorpsi bula etmoid dan prosesus
unsinatus, hipoplasia sinus maksila, kavum nasi membesar dengan erosi dinding lateral,
dan resorpsi tulang dan atrofi mukosa konka media dan inferior. Hipoplasi sinus maksila
terjadi pada stadium lanjut penyakit. 3,7
2.2.7

Diagnosis Banding
Diagnosis banding rinitis atrofi (ozaena) antara lain :
a. Rinitis kronik TBC
b. Rinitis kronik lepra
11

c. Rinitis kronik sifilis


d. Rinitis sika
2.2.8

Komplikasi
Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :
a. Perforasi septum
b. Faringitis atrofi
c. Sinusitis
d. Miasis hidung
e. Hidung pelana

2.2.9

Penatalaksanaan
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatan rinitis atrofi belum ada

yang

baku. Pengobatan

hanya

bersifat

paliatif.

Pengobatan

ditujukan untuk

menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat


secara konservatif atau jika tidak menolong dilakukan pembedahan.2,3,7
Terapi konservatif.
Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung,
dan terapi simptomatik.
1) Antibiotik spektrum luas atau sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat
sampai tanda-tanda infeksi, seperti sekret purulen kehijauan, hilang. Dilaporkan
hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari
selama 12 minggu.2,3
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret serta
menghilangkan bau busuk. Larutan yang digunakan adalah larutan garam
hipertonik, antara lain : 2,3
a. Betadin solution 15 cc (1 sendok makan) dalam 100 ml air hangat atau
b. Campuran:

NaCl

NH4Cl

NaHCO3 aaa 9
12

Aqua ad 300 cc

Diencerkan dengan campuran 1 sendok makan larutan dicampur 9 sendok


makan air hangat

c. Larutan garam dapur. Garam dapur sendok teh dicampur segelas air hangat.
d. Campuran:

Na bikarbonat 28,4 g

Na diborat 28,4 g

NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat

Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan


menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui
mulut, dilakukan dua kali sehari.3
3) Obat tetes hidung. Setelah krusta diangkat, diberi obat tetes hidung antara lain:
glukosa 25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak
Arachis 10.000 U/ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl
30 ml. Diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.3
4) Vitamin A 3 x 50.000 U selama 2 minggu.2,3
5) Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (ozaena) biasanya dengan
pemberian preparat Fe.3
6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. 3
Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara
sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta
submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini
membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya
memberikan: trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci
hidung dengan NaCl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk
melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci
hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan
pada 6 dari 7 penderita.3
Terapi pembedahan.
Jika pengobatan konservatif gagal, maka dilakukan pembedahan. Tujuan
pembedahan atau operasi pada rinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk menyempitkan
13

rongga hidung yang lapang, mengurangi turbulensi udara, mengurangi pengeringan dan
pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya
regenerasi.2,3
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 3
1) Young's operation
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Dilaporkan hasil yang baik dengan
penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu
hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
2) Modified Young's operation
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
3) Lautenschlager operation
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian
dipindahkan ke lubang hidung.
4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis
seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue.
5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan
tujuan membasahi mukosa hidung.
6) Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF). Dengan mengangkat sekat tulang
yang mengalami infeksi, diharapkan infeksi teredaikasi, fungsi ventilasi dan
drenase sinus kembali normal, sehingga terjadi regenerasi mukosa.
2.2.10 Prognosis
Penyakit ini dapat menetap selama bertahun-tahun. Dengan terapi yang tepat,
diharapkan terjadi perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Prognosisnya baik,
walaupun dapat berulang.3

14

BAB 3
RINGKASAN
1. Rinitis atrofi atau ozaena adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta yang
ketika kering berbau busuk.
2. Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi belum dapat diterangkan dengan memuaskan
hingga sekarang.
3. Gejala klinis biasanya berupa hidung tersumbat, anosmia, ingus kental berwarna
hijau, krusta berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering, serta
napas berbau.
4. Pada pemeriksaan hidung ditemukan rongga hidung dipenuhi krusta hijau dan
purulen, rongga hidung sangat lapang, atrofi konka, mukosa hidung tipis dan kering.
5. Diagnosis rinitis atrofi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan dibantu pemeriksaan penunjang.
6. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada baku.
Pengobatan ditujukan untuk menghilangkam faktor penyebab dan gejala. Pengobatan
dapat diberikan secara konservatif atau operatif.

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Sampan S. Bist, Manisha Bist, dan Jagdish P. Purohit. Primary Atrophic Rhinitis: A
Clinical Profile, Microbiological, and Radiological Study. India: International
Scholarly Research Network Otolaryngology, volume 2012. 2012. pp 1-6
2. Retno S. Wardani dan Endang Mangunkusumo. Rinitis Atrofi. Dalam: Efiaty A.
Soepardi dkk (Editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorak Kepala
dan Leher, edisi 6. Jakarta: Balai Penertbit FKUI. 2007. hlm 140-141
3. Rizalina A. Asnir. Rinitis Atrofi. Cermin Dunia Kedokteran, no.144. 2004. hlm 5-7
4. Keith L. Moore dan Arthur F. Dalley. Clinically Oriented Anatomy, 5th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2006. pp 1012-1019
5. Damayanti Soetjipto dan Retno S. Wardani. Hidung. Dalam: Efiaty A. Soepardi dkk
(Editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorak Kepala dan Leher,
edisi 6. Jakarta: Balai Penertbit FKUI. 2007. hlm 118-122
6. Richard L. Drake et al. Grays Anatomy for Students. New York: Elsevier Inc. 2007.
pp 972-976
7. Peter A. Higler. Rinitis Atrofik, Atrofik Hidung, dan Ozaena. In: George L. Adams et
al (editor). Boeis Buku Ajar Penyakit THT (Boeis Fundamental of Otolaryngology),
edisi 6. Jakarta: EGC. 1997. pp 221-222

16

Anda mungkin juga menyukai