Teori Dasar
Proses absorpsi merupakan dasar penting dalam menentukan aktivitas
farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan
mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan. Faktor
mempengaruhi kecepatan dan besarnya absorbsi, termasuk bentuk dosis, jalur/rute
masuk obat, aliran darah ketempat pemberian, fungsi saluran pencernaan
(Gastrointestinal), adanya makanan atau obat lain, dan variable lainnya (Abrams,
2005).
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul
obat ke dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati
sawar biologik. Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk akhirnya
menentukan efektivitas obat (Joenoes, 2002). Agar suatu obat dapat mencapai
tempat kerja di jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati berbagai
membran sel. Pada umumnya, membrane sel mempunyai struktur lipoprotein
yang bertindak sebagai membran lipid semipermeabel (Shargel and Yu, 1988).
Sebelum obat diabsorpsi, terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan biologis.
Kelarutan serta cepat-lambatnya melarut menentukan banyaknya obat terabsorpsi.
Dalam hal pemberian obat per oral, cairan biologis utama adalah cairan
gastrointestinal, dari sini melalui membrane biologis obat masuk keperedaran
sistemik (Joenoes, 2002).
Obat pada umumnya diabsorpsi dari saluran pencernaan secara difusi pasif
melalui membrane selular. Obat-obat yang ditranspor secara difusi pasif hanyalah
yang larut dalam lipid. Makin baik kelarutannya dalam lipid, maka baik
absorpsinya sampai suatu absorpsi optimum tercapai. Obat-obat yang digunakan
sebagian besar bersifat asam atau basa organik lemah. Absorpsi obat dipengaruhi
derajat ionisasinya pada waktu zat tersebut berhadapan dengan membran.
Membran sel lebih permeable terhadap bentuk obat yang tidak terionkan dari pada
bentuk obat yang terionkan. Derajat ionisasi tergantung pada pH larutan dan pKa
(Watson, 2007).
Absorpsi obat adalah langkah utama untuk disposisi obat dalam tubuh dari
sistem
LADME
(Liberasi-Absorpsi-Distribusi-Metabolisme-Ekskresi).
Bila
pembebasan obat dari bentuk sediaannya (liberasi) sangat lamban, maka disolusi
dan juga absorpsinya lama, sehingga dapat mempengaruhi efektivitas obat secara
keseluruhan (Joenoes, 2002).
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat
a. Ukuran partikel obat
Kecepatan disolusi obat berbanding langsung dengan luas permukaan yang
kontak dengan cairan/pelarut. Bertambah kecil partikel, bertambah luas
permukaan total, bertambah mudah larut
b. Pengaruh daya larut obat
Pengaruh daya larut obat/bahan aktif tergantung pada:
i.
Sifat kimia: modifikasi kimiawi obat
ii. Sifat fisik: modifikasi fisik obat
iii.
Prosedur dan teknik pembuatan obat
iv. Formulasi bentuk sediaan/galenik dan penambahan eksipien
c. Beberapa faktor lain fisiko-kimia obat.
i.
Temperatur
ii.
metabolism obat pada sel epitelusus. Sementara kerugian adalah karena adanya
mukosa muskularis menyebabkan obat untuk berpindah dari lumen kedalam
lamina propria dan menembus mukosa muskularis, menyebabkan obat obat
tertentu dapat terikat dengannya dan menyebabkan transportasi lebih rendah dari
yang seharusnya diukur (Keperawatan, 2011).
Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah
tikus. Tikus (Rattusnor vegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara sempurna,
mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relative sehat dan cocok untuk
berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattusnor vegicus antara lain memiliki
berat 150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar dengan panjang 18-25 cm,
kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga relative kecil dan tidak
lebih dari 20-23 mm.
Usus Halus
Usus halus terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum pada
manusia memiliki panjang sekitar 25 cm terikat erat pada dinding dorsal abdomen
dan sebagian besar terlatak retroperitoneal. Jalannya berbentuk sepertihuruf C
yang mengitari pancreas dan ujung distalnya menyatu dengan jejunum yang
terikat pada dinding dorsal rongga melalui mesenterium. Jejunum dapat bergerak
bebas pada mesenteriumnya dan merupakan dua-perlima bagian proksimal usus
halus. Sedangkan ileum merupakan sisa tiga-perlimanya. Dinding usus halus
terdiri atas empat lapis konsentris yaitu mukosa, submukosa, muskularis, dan
serosa (Leeson et al. 1990).
Lapisan mukosa terdiri dari lamina epitel, lamina propia, dan muskularis
mukosa. Bentuk mukosa tersusun dari tonjolan berbentuk jari yang disebut vili
yang digunakan untuk memperluas permukaan. Pada permukaan epitel vili
terdapat mikrovili yang dapat meningkatkan efisiensi penyerapan nutrisi. Pada
usus halus jugater dapat sel goblet yang menghasilkan mucus sebagai pelindung
mukosa usus.
Pemerian: Serbuk kristal putih, hampir putih atau tidak berwarna; tidak berbau.
Kelarutan: Sedikit larut dalam air (1:460), larut dalam alkohol (1:3). (Depkes RI,
1995).
VIII.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Abrams, RN, MSN. 2005. Clinical Drug Therapy. US. Wolters Kluwer Health,
Lippincott Williams Wilkins.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia IV. Jakarta. Departemen Kesehatan.
Familiamedika. 2013. Asam Salisilat. Tersedia di http://familiamedika.net/obatkeluarga/asamsalisilat.html [diakses tanggal 06 Oktober 2016]
Joenoes, Z. N. 2002. Ars Prescribendi Jilid 3.Surabaya. Airlangga University
Press.
Keperawatan, A. 2011. Absorpsi obat. Tersedia di
http://www.artikelkeperawatan.info/ materi-kuliah-studi-absorbsi-obat159.html [diakses tanggal 06 Oktober 2016]
Leeson, C.R., T.S. Lesson, dan A.A. Paparo. 1990. Buku Ajar Histologi. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Shargel, L and Yu, A. B. C. 1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.
Surabaya. Airlangga University Press.
Syukri, S. 2002. KIMIA DASAR 1. Bandung. Penerbit ITB.
Watson, D.G., 2007. Analisis Farmasi. EGC. Jakarta.