Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Kesehatan dengan standar optimal, dicantumkan dalam konstitusi World

Health Organization (WHO) sebagai hak dasar yang harus didapat oleh setiap
orang. Kesehatan kerja menjadi salah satu program khusus yang dirancang WHO
sejak tahun 1950 berkolaborasi dengan International Labour Organization (ILO)
untuk mencapai tujuan tersebut. Program WHO menekankan pada perlunya
menempatkan pelayanan kesehatan primer baik preventif maupun kuratif sedekat
mungkin dengan tempat tinggal atau bekerja. Program yang telah sejak lama
diluncurkan WHO terkait kerja ini, mengharapkan terjadi perubahan signifikan
dalam mewujudkan pekerja yang sehat secara global dengan melibatkan peran
aktif pemerintah setiap negara melalui tindakan nyata mewujudkan kesehatan
kerja yang didukung oleh undang-undang. Penyerapan dan aplikasi program
WHO terutama di negara-negara berkembang, berdasarkan survey yang dilakukan
tahun 2008-2009, sebagian besar belum melaksanakannya sesuai dengan
ketentuan (WHO, 2013).
Indonesia telah lama mengeluarkan Undang-undang mengenai kesehatan
dan keselamatan kerja namun seperti halnya negara berkembang lain, penerapan
sistem tersebut baik secara nasional dan per individual di banyak industri belum
sesuai standar yang telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Standar PBB yang dikenal dengan ILO-OSH 2001 Occupational Safety and

Health Management Systems, mengatur sistem manajemen penerapan standar


yang akan mencegah secara maksimal pekerja dari bahaya serta risiko di tempat
kerja (ILO, 2011).
Penerapan kesehatan kerja yang belum sesuai standar di seluruh dunia,
berdampak pada tingginya angka kecelakaan kerja dan kejadian penyakit akibat
kerja yang menyebabkan 6.300 pekerja meninggal setiap harinya atau sebanyak
2,3 juta kematian pertahun. Dampak merugikan lain karena lalai mengutamakan
kesehatan dalam bekerja dilaporkan 317 juta kecelakaan yang terjadi
menyebabkan ketidakmampuan bekerja dalam jangka panjang (ILO, 2015).
Absennya pekerja akan diikuti dengan berbagai dampak lain seperti dampak
terhadap kehidupan secara individu meliputi kehilangan kendaraan, rumah,
gangguan

terhadap

kelancaran

pendidikan,

keharusan

anggota

keluarga

menggantikan mencari nafkah dan sebagainya. Dampak lebih besar dialami oleh
negara karena keharusan membayar asuransi dan berkurangnya produksi yang
dilaporkan dapat mencapai 1% dari Gross Domestic Product (GDP) atau total
pendapatan negara dari penjualan barang dan jasa per tahun (ILO, 2012 : 2-3).
Data angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di Indonesia
berdasarkan survey dari Direktorot Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (KemenKes RI), sampai dengan tahun
2014 didapatkan sebanyak 24.910 kasus. Angka ini meskipun lebih rendah dari
tahun 2013 yang sebanyak 35.917 kasus, tidak menunjukkan adanya penurunan
karena diperkirakan kejadian yang tidak terdeteksi di lapangan lebih tinggi.
Penyakit karena kerja, sebagai risiko lain dari pekerjaan diperkirakan mencapai

40.964 kasus selama satu tahun. Provinsi Aceh merupakan daerah yang memiliki
angka kecelakaan kerja mencapai 1.000 kasus dan penyakit akibat kerja sebanyak
4.500 kasus per tahun (KemenKes RI, 2015: 2-3).
Angka kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja di perusahaan yang
tertinggi di dunia terdapat di sektor jasa seperti rumah sakit. Hal ini dikemukakan
oleh National Safety Council (NSC) dalam publikasinya tahun 2011 bahwa cedera
di Rumah Sakit mencapai 47% dari keseluruhan cedera yang ada di Amerika
Serikat. Jumlah cedera mencapai 570.000 orang (NSC, 2011). Laporan
Occupational Safety and Health Administration/ OSHA menunjukkan terdapat
penurunan cedera dan penyakit karena pekerjaan di Rumah Sakit dari rekapitulasi
data tahun 1989 sampai dengan 2011 namun Rumah Sakit masih menjadi tempat
kerja paling berbahaya. Cedera dan penyakit yang terjadi pada pekerja di Rumah
Sakit tahun 2011 diperkirakan sebesar 157,5 kasus per 10.000 pekerja penuh
waktu. Angka ini menempati urutan tertinggi dibandingkan pekerjaan bidang
konstruksi, pabrik, industri swasta, dan pelayanan profesional serta bisnis lainnya
(OSHA, 2011).
Pekerja di rumah sakit yang paling rentan terhadap risiko kerja adalah
tenaga perawat terutama yang melakukan perawatan langsung terhadap pasien.
Risiko atau bahaya pekerjaan di lingkungan ini, tergolong beragam yang meliputi
lingkungan fisik, kimia, psikologis dan sebagainya. Jenis bahaya yang beragam
dan kompleks di rumah sakit menjadi dasar perlunya pekerja seperti perawat
menerapkan manajemen kesehatan kerja dengan benar. Keharusan tersebut seperti

seperti

tertuang

dalam

keputusan

Menteri

Kesehatan

No

1087/MENKES/SK/VIII/2010 (Kemenkes RI, 2010).


Penerapan kesehatan dan keselamatan kerja yang terdiri atas berbagai
tindakan untuk menghindarkan pekerja dari gangguan kesehatan sangat
bergantung pada perilaku kesehatan kerja. Perilaku seseorang dalam bertindak
didukung oleh berbagai keadaan baik internal maupun eksternal individu. Faktor
yang dianggap memberikan kontribusi diantaranya persepsi. Hal ini seperti
dikemukakan Muntiana (2014) bahwa APD tidak digunakan oleh beberapa
karyawan meskipun telah disediakan oleh pihak perusahaan dipengaruhi oleh
persepsi terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Penelitian yang melibatkan
sampel sebanyak 30 pekerja, diambil secara purposive sampling, menunjukkan
adanya korelasi dengan nilai p adalah 0,018 (p<0,05) dan nilai korPutielasi adalah
0,429, yang berarti ada hubungan yang signifikan dan positif antara persepsi
karyawan terhadap penerapan K3 dengan penggunaan APD.
Faktor lain yang diprediksi memberikan pengaruh terhadap perilaku
kesehatan kerja agar terhindar dari penyakit akibat kerja dinyatakan oleh Putri
(2011) adalah dukungan sosial. Pekerja yang menerima dukungan sosial akan
berfikiran positif, mampu mengatasi kelelahan fisik serta psikis dan mencari
solusi sehingga dapat beradaptasi dengan lingkungan, atau individu lain yang
menjadi penyebab tekanan dalam bekerja. Dukungan sosial dari keluarga, rekan
atau atasan sangat efektif mencegah pekerja mengalami stres, yang terlihat dari
hasil signifikan (p value=0,000) hubungan tingkat stres rendah dengan dukungan
sosial.

Personal reference atau referensi pribadi dan diterjemahkan sebagai


kerangka acuan dari seseorang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dan
berpengaruh dilingkungannya (Verderber dkk, 2014). Pengalaman yang didapat
dari orang yang berpengaruh menurut Istiarti (2002 dalam Kurniawan dkk, 2010),
merupakan hal yang mempengaruhi perilaku kerja atau kinerja seseorang.
Individu yang mendapatkan pengalaman bekerja dari orang yang seorang
pimpinan dengan komitmen terhadap kesehatan dan keselamatan kerja akan lebih
mampu bekerja sesuai prosedur dibandingkan individu dengan pengalaman
berhadapan dengan pimpinan yang tidak mempunyai kepedulian terhadap item
tersebut. Pengalaman merupakan variabel yang tidak berdiri sendiri dan terkait
dengan masa kerja. Hasil penelitian mendapatkan adanya pengaruh pengalaman
terhadap perilaku di tempat kerja.
Penelitian awal yang peneliti lakukan di ruang perawatan Kelas III (Mata
Uroe) Pria dan Wanita, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit
Umum (RSUD) Kota Langsa, mendapatkan 6 dari 10 perawat yang peneliti
observasi dan wawancarai, menyatakan tidak selalu menggunakan masker ketika
bekerja, tidak selalu mencuci tangan sesuai prosedur tetap, tidak selalu membuang
sampah sesuai klasifikasinya dan sebagainya. Hal ini menyebabkan terdapat
seorang perawat yang menderita penyakit akibat kerja yaitu tuberkulosis namun
telah dalam proses pengobatan sehingga kemungkinan menginfeksi pasien atau
rekan kerja telah minimal yang dibuktikan dengan hasil BTA (-). Perilaku kerja
yang tergolong belum optimal tersebut, dapat mengancam kesehatan perawat dan

menjadi sumber penyebaran infeksi bagi lingkungan kerja serta individu dalam
rawatannya.
1.2

Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah perilaku kesehatan kerja

merupakan hal utama yang harus diterapkan oleh pekerja di rumah sakit untuk
menghindari risiko dan penyakit akibat kerja. Perawat sebagai bagian terbesar
sumber daya manusia di Rumah Sakit tidak menjadikan hal tersebut bagian
penting dalam bekerja. Hal ini menyebabkan perlu dilakukan analisa mengenai
seberapa besar hubungan persepsi, dukungan sosial dan personal reference
terhadap perilaku kesehatan kerja di ruang perawatan Kelas III (Mata Uroe)
Badan Layanan Umum Rumah Sakit Umum Daerah (BLUD RSUD) Kota Langsa.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan persepsi, dukungan
sosial dan personal reference terhadap perilaku kesehatan kerja di ruang
perawatan Kelas III (Mata Uroe) BLUD RSUD Kota Langsa.
1.3.2

Tujuan Khusus

1.3.2.1 Untuk mengetahui hubungan persepsi terhadap perilaku kesehatan kerja


di ruang perawatan Kelas III (Mata Uroe) BLUD RSUD Kota Langsa.
1.3.2.2 Untuk mengetahui hubungan dukungan sosial terhadap perilaku
kesehatan kerja di ruang perawatan Kelas III (Mata Uroe) BLUD RSUD
Kota Langsa.

1.3.2.3 Untuk mengetahui hubungan personal reference terhadap perilaku


kesehatan kerja di ruang perawatan Kelas III (Mata Uroe) BLUD RSUD
Kota Langsa.
1.4
1.4.1

Manfaat Penelitian
Kesehatan Lingkungan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi petugas

kesehatan lingkungan dalam memberikan penyuluhan mengenai pentingnya


menjaga kesehatan agar terhindar dari risiko kerja.
1.4.2

Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian dan masukan dalam

pengembangan pendidikan kesehatan lingkungan di masa yang akan datang,


khususnya dalam meminimalkan paparan bahaya dari lingkungan kerja seperti
rumah sakit. Tindakan yang dapat dilakukan diantaranya memformulasikan alat
pelindung diri yang nyaman sehingga pekerja di rumah sakit tidak merasa
terbebani dengan penggunaan alat tersebut.
1.4.3

Penelitian Kesehatan Lingkungan


Dasar untuk penelitian lanjutan terhadap faktor-faktor determinan yang

mempengaruhi kesehatan kerja.

Anda mungkin juga menyukai