MAKALAH TOKSIKOLOGI
Disusun Oleh:
Ihsan Arham P052150411
SEKOLAH PASCASARJANA
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
1. PENDAHULUAN
Kestabilan terhadap panas dan kimia tersebutlah yang menjadikan PCBs sangat
banyak dipakai dalam skala industri. Sebagai contoh, PCB telah ditambahkan ke dalam
plastik untuk menambahkan ketahanan terhadap api dan menambah waktu hidup. PCBs
dalam keadaan murni seringkali ditemui sebagai kristal tidak berwarna, tetapi PCBs
komersial yang merupakan campuran PCB murni dengan senyawa lain diberi pewarna
kuning terang atau warna gelap (Oliver et al 1989).
Sifat-sifat PCBs dapat dikatakan mirip dengan insektisida organoklor dan dengan
demikian teknik isolasi yang mirip digunakan dalam pembuatan sampel untuk analisis.
Sebelum pertengahan tahun 1960-an, pendeteksi PCB dilakukan dengan analisa
kromatografi gas dari sampel diisolasi. Analisa ini menyebabkan deteksi puncakpuncak kromatogram yang palsu.
Pada saat tersebut menurut Connel (2006) menjelaskan bahwa tampaknya terdapat
kebingungan antara puncak kromatografi gas PCB dan puncak yang disebabkan oleh
insektisida organoklor dalam pustaka ilmiah sebelum masa itu. Di tahun 1966 telah
dipastikan bahwa puncak palsu tersebut ternyata karena PCB. Hal inilah yang
memicu penelitian di seluruh dunia mengenai keberadaan PCB di lingkungan hingga
saat ini.
Mekanisme Terjadinya Diabetes
Diabetes atau biasa dikenal sebagai Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan
metabolik yang dikarakteristikkan dengan hiperglikemia kronis serta kelainan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin,
kerja insulin maupun keduanya (Kardika et.al. 2009). Diabetes Mellitus (DM)
merupakan salah satu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia
karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Keadaan hiperglikemia
kronis dari diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi
dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah (ADA, 2012).
Diabetes Mellitus adalah sindrom klinis yang ditandai dengan hiperglikemia
karena defisiensi insulin yang absolut maupun relatif. Kurangnya hormon insulin
dalam tubuh yang dikeluarkan dari sel B pankreas mempengaruhi metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak menyebabkan gangguan signifikan. Kadar glukosa
darah erat diatur oleh insulin sebagai regulator utama perantara metabolisme. Hati
sebagai organ utama dalam transport glukosa yang menyimpan glukosa sebagai
glikogen dan kemudian dirilis ke jaringan perifer ketika dibutuhkan (Biswas, 2006).
World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM
merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan
singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomi
dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan gangguan fungsi insulin (Purnamasari, 2009).
Diabetes melitus secara umum terjadi karena adanya proses patogenesis. Ini
bersamaan dengan rusaknya autoimun pada sel beta di pankreas yang menyebabkan
berkurangnya produksi insulin hingga menjadi abnormal yang menghasilkan resistensi
terhadap kerja insulin. Dasar dari ketidaknormalan metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein pada penderita diabetes merupakan akibat dari berkurangnya kerja insulin
pada jaringan. Berkurangnya hasil kerja insulin adalah dari tidak cukupnya sekresi
insulin dan / atau kurangnya respon jaringan terhadap insulin dalam jalur kompleks
kerja hormon. Penurunan sekresi insulin dan resistensi kerja insulin sering terjadi pada
pasien yang sama, dan itu menjadi tidak jelas apa kelainannya, jika hanya salah satu
saja, penybabnya adalah hiperglikemia.
Gejala hiperglikemia meliputi poluiria, polidipsia, penurunan berat badan,
kadang dengan polipagia, dan penglihatan kabur. Melambatnya pertumbuhan dan
kerentanan terhadap infeksi tertentu juga dapat menyertai penderita hiperglikemia
kronik. Bahayanya, ancaman hidup dari akibat diabetes adalah hiperglikemia dengan
ketoasidosis atau sindrom hiperosmolar nonketotik.
Komplikasi jangka panjang dari diabetes meliputi retinopati dengan potensi
hilangnya penglihatan; nefropati yang menyebabkan gagal ginjal; neuropati perifer
dengan risiko ulkus kaki, amputasi, dan sendi Charcot, dan neuropati otonom yang
menyebabkan gejala gastrointestinal, Genitourinari, kardiovaskuler dan disfungsi
seksual. Glikasi protein jaringan dan makromolekul lainnya serta kelebihan produksi
senyawa poliol dari glukosa adalah salah satu mekanisme berpikir untuk menghasilkan
kerusakan jaringan dari hiperglikemia kronis. Pasien dengan diabetes memiliki
peningkatan komplikasi atherosklerosis, pembuluh darah perifer, dan penyakit
serebrovaskular. Hipertensi, kelainan metabolisme lipoprotein, dan penyakit
periodontal sering ditemukan pada penderita diabetes. Dampak emosional dan sosial
diabetes dan tuntutan terapi dapat menyebabkan disfungsi psikososial yang signifikan
pada pasien dan keluarganya.
Diabetes terbagi menjadi tiga tipe. Kardika (2006) menjelaskan bahwa DM
adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah. Secara
etiologi DM dapat dibagi menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, DM dalam kehamilan, dan
diabetes tipe lain:
a. Diabetes Mellitus Tipe 1
DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel pankreas (reaksi autoimun).
Sel pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan insulin
yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Bila kerusakan sel
pankreas telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai muncul. Perusakan
sel ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Sebagian besar
penderita DM tipe 1 sebagian besar oleh karena proses autoimun dan sebagian
kecil non autoimun. DM tipe 1 yang tidak diketahui penyebabnya juga disebut
sebagai type 1 idiopathic, pada mereka ini ditemukan insulinopenia tanpa
adanya petanda imun dan mudah sekali mengalami ketoasidosis. DM tipe 1
sebagian besar (75% kasus) terjadi sebelum usia 30 tahun dan DM Tipe ini
diperkirakan terjadi sekitar 5-10 % dari seluruh kasus DM yang ada.
b. Diabetes Mellitus Tipe 2
DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non
insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Bentuk DM ini bervariasi mulai
yang dominan resistensi insulin, defisiensi insulin relatif sampai defek sekresi
insulin. Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di
jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel . Akibatnya, pankreas
Keberadaan tersebut mengganggu kinerja sel yang berujung pada penurunan fungsi sel.
Kegagalan tersebutlah yang mengakibatkan terganggunya sistem produksi insulin
dalam pankreas tubuh manusia dan peningkatan glukosa yang menahun.
Peningkatan glukosa yang menahun ( glukotoksisitas ) pada penderita yang
mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor utama sehingga menimbulkan
komplikasi diabetes melalui 4 jalur yaitu :
1. Jalur pembentukan AGEs (advanced glycation end products)
Jalur pembentukan AGEs (advanced glycation end products) jalur non
enzimatik, adalah proses perlekatan glukosa secara kimiawi ke gugus amino bebas
pada protein tanpa bantuan enzim. Derajat glikosilasi non enzimatik tersebut berikatan
dengan kadar gula darah, karena dalam pemeriksaan ini menghasilkan indeks rerata
kadar gula darah selama usia eritrosit 120 hari. Pembentukan AGEs (advanced
glycosylation end products) pada protein seperti kolagen, membentuk ikatan silang di
antara berbagai polipeptida yang dapat menyebabkan terperangkapnya protein
interstisium dan plasma yang tidak terglikosilasi. AGEs juga dapat mempengaruhi
struktur dan fungsi kapiler, termasuk glomerulus ginjal yang mengalami penebalan
membran basal dan menjadi bocor. AGEs berikatan dengan reseptor pada berbagai
tipe sel seperti sel endotel, monosit, limfosit, makrofag dan sel mesangial. Pengikatan
tersebut menyebabkan berbagai aktivitas biologi termasuk migrasi sel neutrofil,
pengeluaran sitokin, peningkatan permeabilitas endotel, peningkatan proliferasi
fibroblas serta sintesis matrik ekstraseluler (Schteingart 2005).
2. Jalur poliol
Jalur poliol, merupakan hiperglikemi intrasel dimana glukosa dimetabolisme
oleh aldose reduktase menjadi sorbitol. Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan
berkurangnya kadar inositol yang menyebabkan gangguan osmolaritas membrane
basal (Schteingart 2005). Jalur poliol yang merupakan sitosolik monomerik
oksidoreduktase yang mengkatalisa NADPH- dependent reduction dari senyawa
karbon, termasuk glikosa. Aldose reduktase mereduksi aldehid yang dihasilkan oleh
ROS (reactive oxigen species ) menjadi inaktif alkohol serta mengubah glukosa
menjadi sorbitol dengan menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel, aktivitas
aldose reduktase cukup untuk mengurangi glutathione ( GSH ) yang merupakan
tambahan stres oksidatif. Sorbitol dehydrogenase berfungsi untuk mengoksidasi
sorbitol menjadi fruktosa menggunakan NAD sebagai kofaktor (Saputro dan Setiawan
2007).
3. Jalur Protein kinase C
Protein Kinase C, Hiperglikemi dalam sel akan meningkatkan sintesis molekul
diasil gliserol yang merupakan kofaktor penting pada aktifasi PKC, yang akan
menimbulkan berbagai efek ekspresi gen (Jones 2006).
Aktifasi protein kinase C (PKC), yang berefek terhadap:
a. Produksi molekul proangiogenik VEGF yang berimplikasi terhadap
neovaskularisasi, karakteristik komplikasi diabetik.
b. Peningkatan aktivitas vasokonstriktor endotelin-1 dan penurunan aktivitas
vasodilator endothelial nitrit oksida sinthase (eNOS).
c. Produksi molekul profibrinogenik serupa TGF-yang akan memicu deposisi matrik
ekstraseluler dan material membran basal.
fish) secara tidak langsung mengumpulkan PCB dari sedimen. Hambatan dari senyawa
ini, penyebab biodegradasi PCB menjadi lebih terkonsentrasi ketika mereka bergerak
ke atas melalui rantai makanan dari organisme bottom-feeding. Sebagai hasil dari
biokonsentrasi dan biomagnifikasi, tingkat PCB dalam organisme air dapat sebanyak
satu juta kali lebih tinggi dari tingkat dalam lingkungan air (ATSDR 2000). Dalam
studi Nasional Kimia Residu di Fish dilakukan antara tahun 1986 dan 1989 (EPA
1992), konsentrasi rata-rata PCB pada ikan bottom-feeding sebesar 1,9 ppm. Namun,
tingkat PCB setinggi 20 ppm telah terdeteksi pada ikan yang diambil dari perairan
dekat lokasi limbah berbahaya (ATSDR 2000).
Total Studi Diet yang dilakukan oleh Food and Drug Administration (FDA)
telah mengungkapkan bahwa jumlah tingkat PCB telah menunjukkan tren penurunan
konsentrasi dari tahun 1970-an sampai 1980-an dan asupan yang relatif stabil dari tahun
1982 sampai 1997. Sebagai contoh, jumlah diet studi yang dilakukan 1982-1984 untuk
orang dewasa antara usia 25 dan 30 menunjukkan bahwa asupan harian rata-rata PCB
adalah <0,001 mikrogram / kilogram (mg / kg) berat badan / hari sedangkan pada studi
tahun 1997, rata-ratanya adalah 0.002 mg / kg berat badan / hari (ATSDR 2000).
Faktor Risiko dan Penanganan PCBs
Faktor Risiko Penggunaan PCBs dapat diukur dengan tingkat toksisitas pada
PCBs yang sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor.diantaranya:
1. Congener PCB. Toksisitas PCB tergantung pada congener PCB yang spesifik
(ATSDR, 2000).
2. Kebakaran dan sumber suhu tinggi. Seperti insinerator limbah berbahaya dan
kebakaran trafo listrik, juga dapat meningkatkan toksisitas campuran PCB dengan
pembentukan CDFS (ATSDR, 2000). Misalnya, dalam kebakaran trafo di
Binghamton (New York), cairan dielektrik terdiri dari 65% Aroclor 1254 dan 35%
benzena polychlorinated adalah pyrolyzed. Pirolisis ini menyebabkan pembentukan
jelaga berminyak, yang didistribusikan ke seluruh bangunan melalui lubang
ventilasi. Selain PCB, jelaga juga mengandung CDF tingkat tinggi, CDDs, termasuk
2,3,7,8-etrachlorodibenzodioxin (TCDD), biphenylenes diklorinasi, dan bahan
kimia lainnya. Informasi yang terbatas tersedia tentang efek kesehatan pada orang
yang terkena jelaga di kulit, jika terhirup, atau konsumsi dari makan dengan tangan
kotor.
3. Pengikatan metabolit PCB dengan makromolekul seluler nukleofilik dapat
berkontribusi pada efek racun dari PCB. PCB dimetabolisme oleh sistem
mikrosomal monooxygenase yang dikatalisis oleh sitokrom P-450 untuk fenol
(melalui intermediet aren oksida), yang dapat terkonjugasi atau dihidroksilasi lebih
lanjut untuk membentuk suatu katekol. Arene oksida intermediet bersifat elektrofilik
di alam, kovalen dan dapat mengikat makromolekul nukleofilik selular (misalnya,
protein, DNA, RNA) dan menginduksi untaian DNA dan perbaikan DNA, yang
dapat berkontribusi terhadap respon toksik dari PCB. Selain itu, arena oksida
intermediet dapat terkonjugasi dengan glutathione dan selanjutnya dimetabolisme
untuk membentuk metabolit metilsulfonil, yang telah diidentifikasi dalam serum dan
jaringan sampel manusia dan pada hewan laboratorium. Pengikatan metabolit
metilsulfonil dengan beberapa protein dapat berkontribusi untuk beberapa efek
racun dari PCB. Hal ini juga telah dihipotesiskan bahwa metabolit PCB
hydroxylated dapat berkontribusi terhadap toksisitas PCB (ATSDR 2013).
Sebagai penangan atau pengurangan dampak PCBs terhadap manusia maka
perlu dilakukan pengaturan Nilai Ambang Batas penggunaan PCBs. Occupational
Safety and Health Administration (OSHA) menyarankan batas pemaparan yang
diizinkan (Pemissible Exposure Limit atau PEL) sebesar 1,0 miligram per meter kubik
(mg / m3) pada area kerja udara selama 8 jam kerja per hari atau 40 jam per minggu
(TWA) untuk PCB yang mengandung 42% klorin (rata-rata rumus molekul C12H7Cl3).
Adapun PEL untuk PCB dengan 54% klorin dan rumus molekul rata-rata C12H5Cl5
adalah 0,5 mg / m3 (OSHA 1998). Kedua standar mencakup semua bentuk fisik
senyawa seperti Aerosol, uap, kabut, spray (semprotan), dan partikel debu yang sarat
akan PCB.
The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH)
merekomendasikan 10 jam TWA dari 1,0 mikrogram per meter kubik (ug / m3)
berdasarkan konsentrasi minimum yang terdeteksi dan potensi karsinogenisitas dari
PCB. NIOSH juga merekomendasikan bahwa semua paparan di tempat kerja dikurangi
ke tingkat terendah yang layak (NIOSH, 2005).
EPA menganggap PCB sebagai zat yang mungkin karsinogen pada manusia
dan melarang limbah industri di bawah Pedoman Water Act Effluent. Tujuan EPA
untuk tingkat kontaminasi maksimum (Maximum Contaminant Level atau MCL) dari
air minum adalah nol, dan MCL untuk PCB dalam sistem air publik sebesar 0.0005
ppm (EPA 2001). EPA mensyaratkan bahwa tumpahan PCB atau secara tidak sengaja
rilis ke lingkungan dari 1 pound atau lebih dilaporkan ke EPA (ATSDR 2000).
FDA mewajibkan toleransi PCB dari 0,2-3,0 ppm untuk semua makanan,
dengan tingkat toleransi pada ikan yaitu 2 ppm. FDA juga membatasi PCB di kertas
bahan makanan kemasan untuk 10 ppm (FDA 1996). The Food and Agriculture
Organization (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membolehkan asupan
PCB harian 6 mg / kg per hari.
Di Indonesia, baku mutu PCB diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Makan seimbang artinya adalah apa yang dimakan dan apa yang dikeluarkan
seimbang disesuiakan dengan aktifitas fisik dan kondisi tubuh, dengan
menghindari makanan yang mengandung lemak tinggi karena bisa menyebabkan
penyusutan konsumsi energi. Mengkonsusmsi makanan dengan kandungan
karbohidrat yang berserat tinggi dan bukan olahan.
Meningkatkan kegiatan olah raga yang berpengaruh pada sensitifitas insulin dan
menjaga berat badan agar tetap ideal.
Kerjasama dan tanggung jawab antara instansi kesehatan, masyarakat, swasta dan
pemerintah, untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat
b. Pencegahan Sekunder
Ditujukan pada pendeteksian dini DM serta penanganan segera dan efektif,
sehingga komplikasi dapat dicegah.
Hal ini dapat dilakukan dengan skrining, untuk menemukan penderita sedini
mungkin terutama individu/populasi.
Kalaupun ada komplikasi masih reversible / kembali seperti semula.
Penyuluhan kesehatan secara profesional dengan memberikan materi penyuluhan
seperti : apakah itu DM, bagaimana penatalaksanaan DM, obat-obatan untuk
mengontrol glukosa darah, perencanaan makan, dan olah raga.
c. Pencegahan Tersier
Upaya dilakukan untuk semua penderita DM untuk mencegah komplikasi.
Mencegah progresi dari komplikasi supaya tidak terjadi kegagalan organ.
Mencegah kecacatan akibat komplikasi yang ditimbulkan.
Strategi yang bisa dilakukan untuk pencegahan DM adalah :
a. Population/Community Approach (Pendekatan Komunitas).
Strategi ini dilakukan dengan mendidik masyarakat untuk menjalankan gaya
hidup sehat dengan cara:
Mengendalikan berat badan, glukosa darah, lipid, tekanan darah, asam urat.
Menghindari gaya hidup berisiko.
Kerjasama dengan semua lapisan masyarakat.
b. Individual High Risk Approach (Pendekatan Individu) :
Umur > 40th
Obesitas
Hipertensi
Riwayat keluarga / keturunan
Dislipidemia / timbunan lemak dalam darah yang berlebihan
Riwayat melahirkan > 4 kg
Riwayat DM pada saat kehamilan
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association [ADA]. 2012, Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus. Diabetes Care volume 35 Supplement 1 : 64-71.
[ATSDR]. 2000, Toxicological Profile For Polychlorinated Biphenyls (PCBs)
[online]. Available from: http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/tp17.pdf [24
Mei 2016]