Anda di halaman 1dari 3

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Wilayah pesisir dan laut merupakan
lokasi beberapa ekosistem yang unik, saling
terkait, dinamis, dan produktif. Salah satunya
adalah pantai Carita yang merupakan objek
wisata yang cukup terkenal di Propinsi
Banten. Wilayah pesisir pantai merupakan
daerah pertemuan antara darat dan laut yang
masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti
pasang surut dan proses alami yang terjadi di
darat seperti aliran air tawar maupun yang
disebabkan oleh kegiatan manusia di darat
(Wouthuyzen & Sapulete 1994).
Pantai Carita sebagai salah satu ekosistem
pantai mempunyai substrat bervariasi seperti
pasir dan hamparan terumbu karang. Terdapat
juga vegetasi seperti lamun dan rumput laut.
Umumnya wilayah perairan pesisir pantai
amat kaya akan keanekaragaman jenis
biotanya termasuk moluska.
Moluska dalam dunia hewan merupakan
filum terbesar kedua setelah Arthropoda.
Jumlah spesiesnya yaitu sekitar 50.000110.000 spesies yang masih hidup dan 35.000
spesies fosil (Pechenik 2000). Filum moluska
terdiri atas delapan kelas yaitu Caudofoveata,
Aplacophora,
Monoplacophora,
Polyplacophora, Cephalopoda, Scaphopoda,
Gastropoda, dan Bivalvia (Brusca & Brusca
1990). Dua kelas terbesar dari filum moluska
adalah Gastropoda dan Bivalvia (Dharma
1992).
Kelas Gastropoda umumnya lebih dikenal
dengan sebutan siput atau keong. Tubuh
Gastropoda sangat bervariasi dalam bentuk
dan
ukurannya.
Gastropoda
memiliki
cangkang tunggal berulir, kepala yang
berkembang baik, dilengkapi dengan tentakel
dan mata. Kaki lebar dan berotot untuk
merayap dan mendukung massa viseral
(Pechenik 2000).
Kelas Bivalvia memiliki 15.000 spesies.
Bivalvia tidak dapat hidup di wilayah daratan.
Kaki berbentuk kapak digunakan untuk
menggali. Bivalvia tidak memiliki kepala dan
radula, memiliki dua keping cangkang yang
berhubungan di bagian dorsal (Pechenik
2000).
Moluska memiliki beberapa manfaat bagi
manusia diantaranya sebagai sumber protein,
bahan pakan ternak, bahan industri dan
perhiasan, bahan pupuk serta untuk obatobatan.
Tingginya aktivitas manusia dalam
memanfaatkan lingkungan perairan pantai
dapat mengakibatkan penurunan kualitas
lingkungan perairan tersebut. Selain itu

kualitas ekosistem perairan juga dipengaruhi


oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik
maupun abiotik. Faktor biotik yang
berpengaruh diantaranya adalah produsen
sebagai sumber makanan dan adanya predator.
Sedangkan faktor abiotik adalah fisika kimia
air diantaranya suhu, pH, salinitas, oksigen
terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi
(BOD) dan kimia (COD), serta substrat hidup.
Penelitian
diberbagai
tempat
menunjukkan bahwa pencemaran yang
berlangsung
terus-menerus
mempunyai
dampak terhadap komunitas biota perairan,
terutama di sekitar area pusat kegiatan. Hal ini
terjadi jika laju pengeluaran bahan pencemar
melebihi kapasitas pemulihan dari ekosistem
perairan penerima (Setyobudiandi et al. 1996).
Selain memberikan informasi mengenai
keberadaan komunitas moluska di pantai
Carita, hasil penelitian ini juga diharapkan
bermanfaat dalam memberikan gambaran
mengenai kondisi perairan pantai Carita
melalui gambaran kualitas biologis perairan.
Informasi yang diperoleh dapat merupakan
masukan bagi tindakan pengelolaannya
berkaitan dengan pemanfaatan wilayah pesisir
pantai tersebut secara optimal berkelanjutan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kekayaan dan keanekaragaman jenis Bivalvia
dan Gastropoda yang terdapat di sepanjang
pantai Carita, Pandeglang, Banten.

BAHAN DAN METODE


Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Mei 2008 sampai Agustus 2008, diawali
dengan tahap pengambilan sampel moluska di
pantai Carita, Pandeglang, Banten (Lampiran
1). Identifikasi dan analisis data dilakukan di
Laboratorium Malakologi PPB LIPI Cibinong
dan Laboratorium Zoologi Departemen
Biologi FMIPA IPB. Analisis kualitas air
dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan
Lingkungan
Perairan,
Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dan
Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan
Ternak, Departemen Ilmu Nutrisi dan
Makanan Ternak, Fakultas Peternakan IPB.
Bahan dan Alat
Bahan yang diamati pada penelitian ini
adalah spesimen moluska untuk diidentifikasi
dan air laut untuk analisis kualitas air. Bahan
untuk mengawetkan moluska digunakan
alkohol 40%.

Alat yang digunakan dalam penelitian


adalah kerangka kuadrat ukuran 1m x 1m,
serok, label, ember, kantong plastik, GPS
(Global Positioning System), universal
indikator, termometer, cooler box, dan botol
yang terdiri atas botol BOD, COD, dan bekas
air mineral.
Penentuan Stasiun
Penentuan stasiun pengambilan sampel
dilakukan berdasarkan hasil survei lapangan.
Lokasi pengambilan sampel dibagi menjadi 4
stasiun yaitu di pantai Perhutani, muara pantai
Carita, pantai Mutiara Carita, dan pantai Abil
(Lampiran 2). Stasiun 1 merupakan lokasi
pantai berpasir. Stasiun II merupakan daerah
muara. Stasiun III dan IV merupakan lokasi
pantai berkarang.
Pengambilan Sampel Moluska
Pengambilan sampel moluska dilakukan
secara acak pada 4 stasiun dengan metode
kuadrat (Krebs 1980). Pada setiap stasiun
dilakukan 10 kali penentuan kuadrat secara
acak sehingga pada masing-masing stasiun
terdapat 10 titik pengambilan sampel.
Pengambilan
sampel
moluska
hanya
dilakukan satu kali selama penelitian saat
musim
kemarau.
Pada
setiap
titik
pengambilan sampel dilakukan pencatatan
posisi wilayah menggunakan GPS. Semua
moluska khususnya Bivalvia dan Gastropoda
yang terdapat di dalam kuadrat diambil,
kemudian diawetkan dalam alkohol 40%.
Pengukuran Kondisi Lingkungan
Penentuan jenis substrat pada setiap
stasiun dilakukan secara visualisasi dan
dengan mengukur partikel sedimen. Sedimen
yang telah diambil dari setiap stasiun
dikeringkan lalu disaring dengan ayakan
bertingkat. Sedimen yang tersisa pada setiap
tingkat saringan kemudian ditimbang.
Pengukuran untuk parameter air, seperti
suhu, pH, dan DO (Dissolved Oxygen)
dilakukan secara in situ langsung di lokasi
pengambilan sampel (Lampiran 3). Suhu air
diukur menggunakan termometer, pH
menggunakan universal indikator, dan DO
diukur secara tetrimetrik menurut metode
standar Winkler (Alaerts & Santika 1984).
Salinitas diukur menggunakan alat
refraktometer.
Penentuan
TSS
(Total
Suspended Solid) dilakukan dengan cara
gravimetrik (Alaerts & Santika 1984),
penentuan COD (Chemical Oxygen Demand)
dengan metode standar reflux yaitu dengan
metode heat of dilution procedure

(pemanasan dengan asam sulfat) (Alaerts &


Santika 1984), dan penentuan BOD5
(Biologycal Oxygen Demand) dilakukan
secara tetrimetrik menurut metode standar
Winkler (Alaerts & Santika 1984).
Pengukuran kalsium (Ca) dan timbal (Pb)
dilakukan dengan metode spektrofotometri
menggunakan AAS (Atomic Absorption
Spectrofotometer).
Identifikasi Moluska
Identifikasi moluska menggunakan buku
Siput dan Kerang Indonesia 1 dan 2 (Dharma
1988 dan 1992) dan Recent And Fossil
Indonesian Shells (Dharma 2005). Selanjutnya
dibandingkan dengan koleksi di Laboratorium
Malakologi PPB LIPI Cibinong. Data hasil
identifikasi digunakan sebagai acuan beberapa
parameter. Parameter yang digunakan untuk
mengetahui jenis yang dominan dari seluruh
stasiun adalah jumlah setiap jenis, kerapatan,
frekuensi, dan indeks nilai penting (INP). INP
yang terbesar menunjukkan jenis yang
dominan di sepanjang pantai Carita. Analisis
data juga dilakukan pada masing-masing
stasiun terhadap keanekaragaman jenis (H),
keseragaman jenis (E), dominansi (C), dan
pengelompokan habitat.
Analisis Data
1. Indeks NIlai Penting (INP)
Jumlah dari Kerapatan Relatif (KR) dan
Frekuensi Relatif (FR) dinyatakan sebagai
Indeks Nilai Penting (INP).
Kerapa tan =

Jumlah individu satu spesies


Total individu spesies

Kerapatan relatif =

Frekuensi=

Kerapatan satu spesies


x100%
Total ker apa tan

Jumlah titik ditemukannya satu spesies


Jumlah titik keseluruhan

Frekuensi relatif =

Frekuensi satu spesies


x100%
Total frekuensi tiap spesies

INP = Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif


2. Kepadatan Moluska
Kepadatan adalah jumlah indvidu per
satuan luas area. Rumus untuk menghitung
kepadatan individu adalah sebagai berikut:

D =

Ni
A

Keterangan:
D = kepadatan moluska (ind./m2)
Ni = jumlah individu spesies moluska
A = luas total (m2)
3. Keanekaragaman
Keanekaragaman jenis disebut juga
keheterogenan jenis. Indeks keanekaragaman
menunjukkan kekayaan spesies dalam suatu
komunitas
dan
juga
memperlihatkan
keseimbangan dalam pembagian jumlah per
individu per spesies. Indeks keanekaragaman
dapat dihitung dengan indeks ShannonWiener (Magurran 1987) dengan persamaan:

H ' = Pi ln Pi
Keterangan :
H = indeks keanekaragaman
Pi = ni/N
ni = jumlah individu spesies ke-i
N = jumlah individu total
Kriteria
hasil
keanekaragaman
(H)
berdasarkan Shannon-Wiener (Krebs 1989)
adalah:
H 3.32
: keanekaragaman rendah
3.32 <H< 9.97 : keanekaragaman sedang
H 9.97
: keanekaragaman tinggi
4. Keseragaman
Perbandingan keanekaragaman dengan
keanekaragaman
maksimum
dinyatakan
sebagai keseragaman komunitas. Indeks
keseragaman adalah komposisi individu tiap
spesies yang terdapat dalam suatu komunitas.
Indeks keseragaman (Magurran 1987), yaitu:

E=

H'
Hmaks

Keterangan:
E
= indeks keseragaman
H = indeks keanekaragaman
Hmaks = ln S
S
= jumlah spesies
5. Dominansi
Dominansi spesies tertentu dapat
diketahui dengan menggunakan indeks
dominansi Simpson (Magurran 1987), yaitu:

C = ( Pi)

Keterangan:
C = indeks dominansi
Pi = ni/N
6. Pengelompokan Habitat
Indeks similaritas Sorensen (Cox 2002)
digunakan untuk membandingkan kesamaan
antar stasiun berdasarkan kesamaan antar
spesies. Rumus yang digunakan adalah:

Is =

2w
( A + B)

Keterangan:
Is = indeks similaritas Sorensen
A = jumlah jenis pada stasiun A
B = jumlah jenis pada stasiun B
w = jumlah jenis yang sama pada kedua
stasiun

HASIL
Kondisi Lingkungan
Persentase ukuran partikel sedimen pada
setiap stasiun menunjukkan substrat pasir
memiliki persentase yang lebih besar
dibandingkan kerikil dan lumpur (Tabel 1).
Stasiun I didominasi substrat pasir halus
sampai sedang. Stasiun II didominasi oleh
substrat berupa pasir kasar sampai kerikil.
Stasiun III dan IV didominasi oleh substrat
berupa hamparan karang dan pasir sedang
sampai kasar.
Vegetasi rumput laut seperti Sargassum
sp., Codium sp., dan Padina sp. ditemukan
pada stasiun III dan IV (Lampiran 4).
Vegetasi lamun seperti Cymodocea rotundata,
Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, dan
Halophila decipiens hanya ditemukan pada
stasiun IV. Pengukuran fisika kimia perairan
menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda
pada masing-masing stasiun (Tabel 2).
Kondisi perairan setiap stasiun masih berada
dalam baku mutu yang telah ditetapkan.
Namun kadar Pb yang diperoleh menunjukkan
nilai yang melebihi baku mutu yang telah
ditetapkan.

Anda mungkin juga menyukai