Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akuntansi Manajemen Sektor Publik
Disusun oleh:
Ayu Rahmantari
135020301111018
Ria Ristyana
135020301111024
135020301111027
M. Hafid Yusuf
135020307111040
Dima Fuad. H
135020301111096
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
1. Latar belakang
Globalisasi telah banyak merubah pandangan masyarakat, seperti halnya pandangan
mengenai pelayanan pemerintah. Berbagai tuntutan muncul dari masyarakat, untuk itu sistem
birokrasi lama (model tradisional) sudah tidak dapat lagi digunakan. Birokrasi dituntut untuk
melakukan perubahan atau mereformasi sistem pemerintahan. Tuntutan birokrasi ini dapat
dijawab dengan NPM (New Public Management). NPM merupakan suatu pendekatan dalam
administrasi publik yang menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam
dunia manajemen bisnis dan disiplin yang lain untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas
kinerja pelayanan publik pada birokrasi modern. Konsep New public management ini dapat
dipandang sebagai suatu konsep baru yang ingin menghilangkan monopoli pelayanan yang
tidak efisien yang dilakukan oleh instansi dan pejabat-pejabat pemerintah. Dengan konsep
seperti ini maka New Public Management akan mengubah cara dan model birokrasi publik
yang tradisional ke arah model bisnis privat dan perkembangan pasar. Hal ini dimungkinkan
dengan diberikannya asas persaingan dan berbagai prinsip-prinsip dan perangkat New Public
Management. Ketidakpuasan warga terhadap efisiensi administrasi atau penyelenggaraan
pemerintahan dan tuntutan dari pihak donator internasional serta mitra memaksa
penyelenggara pemerintah mengkaji tema Good Governance ke satu arah yang mendorong
terciptanya peningkatan dan perbaikan kinerja dari organisasi publik, yang pada gilirannya
menghalangi terjadinya penyalahgunaan dana dan mengakhiri pemborosan dana. Dengan
penerapan New Publik Management, praktik-praktik seperti korupsi dan nepotisme pasti bisa
ditemukan dan dihentikan sejak dini. Pada saat yang sama, melalui pembatasan tanggung
jawab yang jelas, mereka yang melakukan kesalahan bisa diminta pertanggungjawabannya.
Dengan demikian, New Publik Management sangat perlu diterapkan pada organisasi publik,
meski itu menuntut pekerjaan yang tak ringan. Sebelum upaya penerapan NPM ini bisa
direalisasikan, harus diciptakan dulu prakondisi, yakni batasan tanggung jawab antara unit
perencana dan unit pelaksana (politik dan administrasi) dan perangkat sumber daya yang
terlibat langsung. Inti dari New Public Management adalah bagaimana membawa paradigma
bisnis yang menguntungkan ke dalam administrasi negara atau dengan kata lain privatisasi
administrasi negara. Dengan mentransformasikan kinerja pasar seperti ini maka dengan kata
lain akan mengganti atau mereform kebiasaan kinerja sektor publik yang berlandaskan aturan
dan proses yang menggantungkan pada otoritas pejabat menjadi orientasi pasar, dan dipacu
untuk berkompetisi sehat.
Paradigma baru pengelolaan keuangan negara, sesuai dengan paket peraturan perundangundangan di bidang keuangan negara meliputi Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara,
dan RUU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (disetujui dalam
sidang paripurna DPR tanggal 21 Juni 2004) setidaknya mengandung tiga kaidah manajemen
keuangan negara, yaitu: orientasi pada hasil, profesionalitas serta akuntabilitas dan
transparansi.
Dalam kerangka principal agen theory secara jelas terlihat bahwa BLU tidak
memposisikan masyarakat sebagai bagian dari pengakuan atas keberadaan warga negara,
yang sebenarnya sangat penting untuk pengembangan partisipasi dan demokratisasi terhadap
kepemerintahan termasuk pelayanan publik oleh pemerintah. Menempatkan menteri dan atau
pimpinan lembaga sebagai agen, menunjukkan bahwa perubahan struktur yang dilakukan
masih setengah hati. Kembali bahwa paradigma NPM masih terlalu menghalangi jalan bagi
keterlibatan warganegara dalam kepemerintahan.
Selain itu konsep NPM juga digunaan dalam penentuan Standar Pelayanan Minimum
yaitu dengan mengedepankan konsep Partisipatif, Transparan dan Akuntabel. Yang mana
konsep tersebut merupakan salah satu pilar dari NPM. Keberhasilan dalam penerapan
konsep standar dan kualitas pelayanan publik yang minimal memerlukan dimensi yang
mampu mempertimbangkan realitas. Ada sepuluh dimensi untuk mengukur keberhasilan
tersebut. Sepuluh konsep itu mempertegas bagaimana model manajemen penyediaan
standarisasi pelayanan publik dalam mengelola sektor-sektor publik yang lebih partisipatif,
transparan, dan akuntabel.
Selain penerapan NPM dalam pengelolaan institusi pemerintahan di atas, prinsip NPM
juga digunakan dalam penentuan tarif, anggaran berbasis kinerja, subsidi pemerintah,
pelaporan keuangan. Yang jelas konsep NPM sudah mulai digunakan di Indonesia walaupun
penerapannya belum maksimal.
Dalam pengelolaan keuangan instansi pemerintah jelas berkaitan dengan yang namanya
penentuan Unit Cost. Penentuan Unit Cost ini diatur dalam Undang-Undang nomor 1 tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Salah satu masalah pengelolaan keuangan daerah yang tidak kalah pentingnya dengan
maslah-masalah manajemen keuangan lainnya adalah pembuatan keputusan untuk
menentukan harga jual atau tarif pelayanan publik. Masalah ini sering kali sangat rumit dan
perlu mempertimbangkan banyak faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Faktor
internal yang harus dipertimbangkan misalnya adalah biaya yang dikeluarkan untuk
menghasilkan pelayanan, pendapatan yang ingin diperoleh dari penyediaan layanan, dan
sebagainya. Sementara itu, faktor-faktor eksternal yang juga harus dipertimbangkan dalam
penentuan harga pelayanan antara lain faktor ekonomi, sosial, dal politik. Faktor ekonomi
terkait dengan kemampuan masyarakat untuk membayar dan dampaknya terhadap
perekonomian. Faktor sosial yang perlu dipertimbangkan misalnya apakah harga pelayanan
yang ditetapkan dapat menimbulkan akses sosial yang negatif, misalnya menimbulkan
keresahan dan gejolak masyarakat, sedangkan faktor politik terkait dengan keberterimaan
secara politik atas kebijakan harga pelayanan tersebut. Lalu peran unit cost dalam penentuan
tarif pelayanan ini sendiri sangat krusial. Hal ini dikarenakan dalam perhitungan tarif
pelayanan harus berdasarkan total biaya per unit pelayanan. Jadi sebelum menentukan tarif
pelayanan terlebih dahulu harus mentotal seluruh biaya yang dibutuhkan untuk satu layanan
sehingga baru dapat di tentukan tarif pelayanannya.
2. Pengertian dan Tujuan Penentuan Unit Cost
a. Pengertian Unit Cost
Biaya satuan ( unit cost ) adalah biaya yang dihitung untuk satu satuan produk pelayanan
yang dihitung dengan cara membagi total cost dengan jumlah/kualitas output ( UC ( unit
cost ) = TC ( total cost ) T/O ( total output ) ). Secara sederhana, biaya satuan sering kali
disebut dengan rata-rata. Yang merupakan hasil perhitungan dengan membagi biaya
total dengan jumlah produksi. Hasil perhitungan biaya satuan terdapat dua macam biaya
satuan yaitu biaya satuan normative dan biaya satuan aktual.
Menurut Hansen&Mowen (2005) unit cost didefinisikan sebagai hasil pembagian antara
total cost yang dibutuhkan dengan jumlah unit produk yang dihasilkan. Produk yang
dimaksud dapat berupa barang ataupun jasa.
Istilah perhitungan unit cost yang dikenal selama ini sebenarnya merupakan salah satu
bagian dari teori akuntansi biaya. Akuntansi biaya merupakan proses pencatatan,
penggolongan, peringkasan dan penyajian atas informasi biaya yang dikeluarkan dalam
menghasilkan produk atau pemberian jasa dengan cara tertentu serta penafsiran
terhadapnya. Proses ini berlaku bagi setiap organisasi yang menerapkan akuntansi biaya.
Penentuan unit cost dalam analisis biaya, atau yang dikenal secara umum dengan harga
pokok, diperlukan untuk menentukan tarif yang sesuai dengan biaya yang benar-benar
terjadi (the real costs), disamping tujuan lainnya seperti mengidentifikasi sistem
akuntansi biaya, menilai efisiensi, dan anggaran.
b. Unit Cost dalam Pemerintahan
Dalam Pasal 1 ayat (23) UU Nomor 1 Tahun 2004 disebutkan bahwa BLU adalah instansi
di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatan didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas. Definisi tersebut memberikan penekanan bahwa BLU harus dapat
beroperasi / dikelola secara efisien dan memiliki produktivitas tinggi hingga dapat efektif
mencapai tujuannya dalam memberikan pelayanan kepada publik.
Untuk menunjang kelancaran operasional organisasi, BLU dapat memungut biaya kepada
masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan oleh BLU tersebut.
Pasal 9 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan atas PP
Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU mengatur bahwa imbalan
atas barang/jasa layanan yang diberikan ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas
dasar perhitungan biaya per unit (unit cost) layanan. Tarif layanan yang ditetapkan oleh
BLU harus mempertimbangkan aspek-aspek antara lain:
1. Kontinuitas dan pengembangan layanan,
2. Daya beli masyarakat,
3. Asas keadilan dan kepatutan, dan
4. Kompetisi yang sehat.
Untuk dapat menghitung biaya per unit layanan dan menentukan tarif, maka BLU perlu
menjalankan sistem akuntansi berbasis akrual sebagai kerangka pelaksanaan sistem
akuntansi biaya. Dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan
Umum, disebutkan bahwa sistem akuntansi BLU terdiri dari Sistem Akuntansi Keuangan,
Sistem Akuntansi Aset Tetap dan Sistem Akuntansi Biaya. Selanjutnya Pasal 9 PMK
Nomor 76/PMK.05/2008 tersebut menjelaskan bahwa sistem akuntansi biaya di BLU
paling sedikit mampu menghasilkan informasi tentang harga pokok produksi, biaya
satuan (unit cost) per unit layanan dan informasi tentang analisis varian (perbedaan antara
biaya standar dan biaya sesungguhnya). Berdasarkan data per 27 Mei 2013 yang
disajikan dalam laman elektronis Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan
(www.ppkblu.depkeu.go.id) diketahui bahwa terdapat 141 entitas pemerintahan yang
telah diberikan status sebagai BLU
c. Tujuan Penentuan Unit Cost
1. Sebagai dasar pengajuan pola tarif baru
2. Analisa biaya pelayanan berbasis unit cost dapat dipakai mengukur kinerja dan
tingkat efisiensi serta mutu pelayanan.
3. Sebagai dasar penyusunan anggaran / subsidi pemerintah
4. Sebagai alat advocacy kepada stakeholder
d. Syarat Penentuan Unit Cost
1.
2.
3.
4.
5.
apa yang digunakan. Pembebanan biaya dapat ditelusuri secara langsung maupun tidak
langsung. Ada beberapa metode yang digunakan untuk pembebanan biaya.
c. Metode dalam Cost Assignment dalam Bisnis
Actual Costing
Perhitungan biaya aktual membebankan biaya aktual bahan baku langsung, tenaga
kerja langsung dan overhead pada produk. Tetapi pada praktiknya, system
perhitungan biaya aktual murni jarang digunakan karea tidak dapat menyediakan
informasi biaya per unit yang akurat secara tepat waktu.
Normal Costing
Perhitungan biaya normal membebankan biaya aktual bahan baku langsung dan
tenaga kerja langsung pada produk. Sedangkan biaya overhead dibebankan pada
produk dengan menggunakan tarif perkiraan.
Standard Costing
Perhitungan biaya standar membebankan biaya yang sudah ditentukan dimuka, yang
merupakan jumlah biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk membuat produk atau
untuk membiayai kegiatan tertentu, dibawah asumsi kondisi ekonomi, efisiensi dan
faktor-faktor lain tertentu.
d. Metode dalam Cost Assignment dalam Institusi Pemerintahan
Metode dalam pembebanan biaya pada instutusi pemerintah sama dengan metode yang
digunakan pada entitas bisnis. Metode yang digunakan antara lain biaya aktual, biaya
normal, dan biaya standar. Yang membedakan yaitu pembebanan biaya nya tergantung
pada jenis pelayanan yang diberikan bukan pada produk yang dibuat, misalnya taris rawat
inap di rumah sakit.
e. Pendekatan Perhitungan
Konvensional (tradisional)
Metode konvensional adalah metode yang digunakan untuk menentukan harga pokok
penjualan dengan cara mengalokasikan biaya overhead berdasarkan perubahan
volume, berbasiskan jam mesin dan jam kerja langsung. Metode perhitungan
konvensional dalam perusahaan yang menghasilkan lebih dari satu jenis produk akan
menimbulkan kesulitan dalam menyajikan biaya produksi yang akurat. Hal ini terjadi
karena pembebanan biaya overhead dilakukan berdasarkan unit produksi, dari tiap
jenis produk, sedangkan proporsi sumber daya yang diserap oleh tiap jenis produk
berbeda. Karena itu, metode konvensional dapat mendistorsi biaya produksi per unit,
dimana produk dengan tingkat pengerjaan yang lebih rumit dikenai biaya yang sama
atau bahkan lebih rendah dari produk dengan tingkat pengerjaan yang tidak terlalu
rumit. Sehingga metode ini kurang mampu memberikan informasi yang akurat dalam
pembuatan keputusan. Biaya overhead pabrik dalam biaya produk menjadi lebih
tinggi dari biaya utama dan perhitungan biaya secara konvensional dianggap tidak
dapat mengalokasikan biaya overhead ke biaya produk secara adil.
Activity Based-Costing
Activity Based Costing dikembangkan untuk menjawab keterbatasan metode
konvensional dari kebutuhan manajemen akan informasi harga pokok penjualan yang
mampu mencerminkan konsumsi sumber daya dalam berbagai aktivitas untuk
menghasilkan harga pokok penjualan secara akurat. Penerapan Activity Based
Costing akan relevan bila biaya overhead pabrik merupakan biaya yang paling
dominan dan multiproduk. Activity Based Costing dapat menelusuri aktivitas yang
memberi nilai tambah dan aktivitas yang tidak memberi nilai tambah yang ditakutkan
dalam menghasilkan suatu produk. Sehingga perusahaan dapat meminimalisasi
aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah bagi produk, yang akhirnya akan
menghasilkan produk bernilai tinggi dengan biaya seminimal mungkin. Hal ini
dikarenakan perhitungan metode ABC benar-benar mencerminkan konsumsi sumber
daya yang digunakan dalam proses produksi.
Contoh ( Jurnal Penerapan Metode Activity Based Costing Dalam Menentukan
Besarnya Tarif Jasa Rawat Inap Pada Rs Hikmah oleh Dani Saputri
Selama ini pihak Rumah Sakit Hikmah dalam menentukan harga pokoknya (tarif
rawat inap) hanya menggunakan sistem biaya tradisional yang penentuan harga
pokoknya tidak lagi mencerminkan aktivitas yang spesifik karena banyaknya kategori
biaya yang bersifat tidak langsung dan cenderung fixed. Di samping itu, biaya produk
yang dihasilkan memberikan informasi biaya produksi yang terdistorsi yaitu under
costing atau over costing. Distorsi tersebut mengakibatkan kesalahan pengambilan
keputusan dalam hal harga produk dan kelangsungan organisasi. Sehingga perlu
diterapkannya sistem penentuan harga pokok produk berdasarkan aktivitasnya
(activity based) atau lebih dikenal dengan nama Activity Based Costing System. Dari
beberapa tahap metode yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa 1). Perhitungan
biaya produk yang telah digunakan oleh manajemen rumah sakit telah banyak
menimbulkan distorsi biaya, hal ini dikarenakan konsumsi sumber daya pada masingmasing aktivitas tidaklah sama. Sedangkan pada metode Activity Based Costing,
biaya-biaya yang terjadi dibebankan pada produk aktivitas dan sumber daya yang
dikonsumsikan oleh produk dan juga menggunakan dasar lebih dari satu cost driver.
2). Perhitungan tarif jasa rawat inap dengan menggunakan pendekatan Activity Based
Costing dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pertama biaya ditelusur ke aktivitas
yang menimbulkan biaya dan tahap selanjutnya membebankan biaya aktivitas ke
produk. Sedangkan tarif diperoleh dengan menambah biaya (cost) rawat inap dengan
laba yang diharapkan pihak rumah sakit. 3). Hasil dari penentuan tarif jasa rawat inap
jenis perawatan umum pada rumah sakit menggunakan pendekatan Activity Based
Costing yaitu terdapat selisih harga yang lebih rendah dan lebih tinggi dari penetapan
manajemen rumah sakit.
BerdasarkanSumber:
perhitungan
Cost2013
pool diatas, sehingga diperoleh biaya per aktivitas pelayanan
Inri P.M.,
rawat inap kelas VIP A adalah sebagai berikut :
Berdasarkan perhitungan biaya diatas, dapat diperoleh hasil biaya pelayanan perhari
untuk rawat inap kelas VIP A adalah sebesar 105.234.20.
2. Instansi Pendidikan
Berikut komponen dalam penghitungan biaya pendidikan pada penyelenggara
pendidikan:
3.
Persediaan
diperoleh dengan
pembelian
Biaya standar
Persediaan
diperoleh dengan
memproduksi
sendiri
Nilai wajar
Persediaan
diperoleh dengan
cara lain,
misalnya donasi
Rp. 1.000.000,-
Biaya angkut
Total harga
Dikurangi potongan harga (Rp. 500 x 100)
Nilai persediaan sebesar
Rp.
10.000,Rp. 1.010.000,Rp.
50.000,Rp. 960.000,-