BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BLAKANG
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Rongga Mulut 1
Merupakan bagian pertama dari sistem pencernaan. Strukturnya meliputi
gigi geligi atas dan bawah, palatum lunak (palatum durum) dan palatum lunak
(paltum mole)bagian ujung dari palatum lunak pada bagiam midposterior
disebut palatine uluva, lidah membentuk bagian dasar rongga mulut yang pada
bagian posterior berhubungan dengan pharing. Rongga mulut memiliki organorgan assesoris yang berupa kelenjar-kelenjar ludah antara lain kelenjar parotis,
sub mandibularis/submaxilaris dan sublingualis.
2.
Esofagus 1
Esofagus merupakan saluran otot yang memiliki panjang 25 cm dan diameter
2 cm dimulai dari laringopharing (setinggi kartilao cricoid atau setinggi C5/6)
menyambung pada lambung setinggi T11. Esofagus terletak diantara vertebra
thoracal dan trachea, dimana vertebra thoracal terletak dibagian posterior
esofagus sedangkan trachea terletak dianterior esofagus. Jantung terletak persis
dibagian anterior esofagus bagian distal. Oleh karena letaknya tersebut esofagus
memiliki beberapa karakteristik antara lain memiliki dua penyempitan/indentasi
dan satu dilatasi. Indentasi pertama akibat pendesakan pada esofagus oleh
archus aorta dan yang kedua pendesakan oleh bronchus utama kiri. Sebuah
dilatasi terjadi persis sebelum esofagus melewati diafragma setinggi T10.
Setelah melalui diafragma bagian esofagus yang terletak di rongga abdomen
disebut cardiac antrum, panjangnya sekitar 1-2 cm dan memiliki bentuk
melengkung
tajam
ke
arah
kiri
intuk
bersambungan
dengan
lambung.
tersusun atas otot sirkular dan longitudinal. Pada proses menelan otot-otot ini
mengalami gerak peristaltik yaitu suatu gerak kontraksi otot seperti gelombang
yang berkelanjutan, sehingga makanan yang ada didalamnya terdorong.
Lambung1
Lambung terletak diantara esofagus dan usus halus.merupakan dilatasi terbesar
dari saluran pencernaan. Ketika dalam keadaan kosong lambung dalam keadaan
kempis dan ketika menerima makanan maka bentknya akan mengembang.
Struktur lambung meliputi esofagogastrik junctin merupakan persambungan
antara esofagus dengan lambung atau disebut juga dengan orifisium cardiac.
Pada
bagian
ini
terdapat
otot
sirkular
yang
disebut
4. Duodenum1
Duodenum merupakan bagian akhir dari sistem pencernaan atas. Panjangnya
sekitar 20-24 cm merupakan bagian dari usus halus yang terpendek dan
terlebar. Bentuknya seperti huruf C terletak berdekatan dengan pangkreas.
Duodenum memiliki bagian-bagian yaitu bulbus duodenal, superior portion,
desenden
duodenal,
horizontal
portion,
asenden
portion
dan
fleksura
B.
1.
DEFINISI
2.
ETIOLOGI
2,3
a.
Varises esfagus
Secara panendoskopi pada 277 penderita saat mereka masuk rumah
sakit, ternyata 152 penderita saat mereka masuk rumah sakit, ternyata 152
penderita diantaranya sebagai penyebab perdarahan adalah pecahnya farises
esofagus. Beberapa kasus diantaranya masih memperlihatkan perdarahan segar
yang berasal dari pecahnya varises di sepertiga bawah esofagus.
Varises esofagus ditemukan pada penderita serosis hati dengan
hipertensi portal. Sifat perdarahan yang ditimbulkan ialah muntah darah atau
hematemesis biasanya mendadak dan massif, tanpa didahului perasaan nyeri
epigastrium. Darah yang keluar berwarna kehitam hitaman dan tidak akan
membeku,
karena
sudah
tercampur
dengan
asam
lambung.
Setelah
b.
Karsinoma esofagus
Karsinoma esofagus sering memberikan keluhan melena daripada
hematemesis. Pada penendoskopi jelas terlihat gambaran karsinoma yang
hampir menutup esofagus dan mudah berdarah terletak di sepertiga bawah
esofagus.
c.
Sindrom Mallory-weiss
meningkat,
yang
dapat
mengakibatkan
pecahnya
arteri
d.
2.2.Kelainan di lambung
a.
Tukak lambung
Tukak lambung lebih sering menimbulkan perdarahan terutama yang
terletak di angulus dan prepilorus dibandingkan dengan tukak duedeni dengan
perbandingan 23,7%:19,1%. Tukak lambung yang besifat akut biasanya dangkal
dan multiple yang dapat digolngkan sebagai erosi. Umumnya tukak ini
disebabkan oleh obat-obatan, sehingga timbul gastritis erosive hemoregika.
Pedarahan dapat juga terjadi pada penderita yang pernah mengalami
gastrektomi, yaitu adanya tukak di daerah anastomose. Tukak seperti ini
dinamakan tukak marginalis atau tukak stomal.
c.
Karsinoma lambung
Insidensi karsinoma lambung di Indonesia sangat jarang, yang umunya
datang berobat sudah dalam fase lanjut dan sering mengeluh rasa pedih, nyeri
diulu hati, serta merasa lekas kenyang, badan menjadi lemah. Jarang sekali
mengalami hematemesis, tetapi sering mengeluh buang air besar hitam pekat
(melena).
a.
Tukak duedeni
Tukak duedeni yang menyebabkan perdarahan secara panendoskopi
terletak di bulbus, ditemukan 6 kasus. Empat kasus diantaranya dengan keluhan
utama hematemesis dan melena, sedangkan dua kasus lainnya mengeluh
melena saja. Sebelum timbul perdarahan, semua kasus mengeluh merasa nyeri
dan perih di perut bagian atas agak ke kanan. Keluhan ini juga dirasakan waktu
tengah malam sedang tidur pulas, sehingga terbangun. Untuk mengurangi rasa
nyeri dan pedih, penderita makan roti mari atau minum susu.
b.
3.
GEJALA KLINIS
2. Hematochezia
Keluarnya darah dari rectum yang diakibatkan perdarahan saluran
cerna bahagian bawah, tetapi dapat juga dikarenakan perdarahan saluran
cerna bahagian atas yang sudah berat.
3. Melena
Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran
bercampur asam lambung; biasanya mengindikasikan perdarahan saluran
cerna bahagian atas, atau perdarahan daripada usus-usus
ataupun colon bahagian kanan dapat juga menjadi sumber lainnya. (Porter,
R.S., et al., 2008) Disertai gejala anemia, yaitu: pusing, syncope,
anginaatau dyspnea. (Laine, L., 2008)
Universitas Sumatera Utara 23
4.
Studi meta-analysis
Mendokumentasikan
berikut:Hematemesis -
insidensi
dari
40-50%, Melena -
gejala
70-80%, Hematochezia -
90-98%, Syncope -
43.2%, Dyspepsia -
Nyeri epigastric -
18%,
sebagai
15-
21%, Diffuse nyeri abdominal - 10%, Dysphagia - 5%, Berat badan turun - 12%,
dan Jaundice - 5.2%
Manifestasi klinik
Hematemesis dan/
PSMBB
Hematokesia
melena
5.
Aspirasi nasogastrik
Berdarah
Jernih
Meningkat > 35
<35
Auskultasi usus
Hiperaktif
Normal
ANAMNESIS
b.
c.
d.
Penderita
dengan
hematemesis
yang
disebabkan
pecahnya
varises
6.
PEMERIKSAAN FISIK
Yang pertama perlu diamati adalah keadaan umum, tekanan darah, nadi,
apakah sudah memperlihatkan tanda-tanda syok apa belum. Bila penderita
sudah
dalam
keadaan
syok
pertolongan
untuk
keadaan
gawat
penderita,
segala
manipulasi
yang
tidak
esensial
(gangguan
menstruasi,
atrofi
payudara)
dan
pada
kaum
pria
7.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
8.
DIAGNOSA
Diagnosa dapat ditegakakan berdasarkan Gejala klinis dan pemeriksaan
tambahan
seperti
endoskopi
gastrointestinal,
radiografi
degan
Kreteria endoskopi
barium,
Fores Ia
Perdarahan aktif
Perdarahan arteri
menyembur
Forest Ib
Perdarahan aktif
Perdarahan
merembes
Forest II
Perdrahan berhenti
Gumpalan darah
atau terlihat
pembuluh darah
Forest III
Perdarahan berhenti
tanpa sisa
perdarahan
perdarahan
9.
PENCEGAHAN3, 4
UPAYA PENCEGAHAN
TERJADI
Mengatur
Ulkus Peptikum
pola
teratur,menjauhi
bersifat
asam,
kafein,
membatasi
makan
yang
makanan
yang
pedas,
mengandung
konsumsi
obat
Sindrom
Mallory
Weiss
Luka
pada
lainnya
robek
(lecet)
bagian
bawah
Gastritis
dimana
prosedur
terdapat
alat
yang
mengambil
penderita
yang
tindakan
mengalami
kenyang
,pengurangan
mengandung
asam
dianjurkan
menghindari
stress,rokok,obat-obatan
NSAIDs
dan
Duodenitis
Tidak
mengonsumsi
obat
NSAIDs
Esofagitis
Akibat
yang
paling
adalahgastroesophageal
umum
reflux
disease (GERD)
maka
cara
GERDS
yaitu
dengan
tertentu
seperti
makanan
merokok
dan
hindari
Varises Esofagus
6.
hati
yang
merupakan
7.
Keterangan
Kelainan
kelainan
No 1 5 : Sering terjadi
No 6
No 7
: Jarang terjadi
10. PENATALAKSANAAN
2,3
tersebut
berdasarkan
jumlah
Pengobatan umum
a.
darah
di
badan,
akan
membahayakan
jiwa
penderita,
bahkan
kemungkinan fatal.
Kapan tranfusi darah di berikan sifatnya sangat individual, tergantung jumlah
darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya
perdarahan berlangsung, dan akibat klinik perdarahan tersebut. Indikasi
transfuse darah pada perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan
seperti ini:
1.
2.
Perdarahan baru atau masi berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter atau
lebih
3.
4.
b.
Psikoterapi
Sebagai akibat perdarahan yang banyak sekali penderita menjadi gelisah.
Untuk itu perlu psikoterapi dilakukan.
c.
istirahat
Istirahat sangat dianjurkan, sekurang-kurangnya selama 3 hari setelah
perdarahan yang masif berhenti. Tapi pada umumnya diberikan istirahat mutlak
lebih kurang 2 minggu. Pada saat-saat tersebut perlu diperhatikan hygiene
penderita.
d.
Diet
Dianjurkan berpuasa sekurang kurangnya sampai 24 jam setelah perdaran
terhenti. Setelah 24-48 jam perdarahan berhenti, dapat diberikan makanan cair.
Sebelum itu dapat diberikan batu es, selain untuk menjaga mulut jangan kering,
dapat juga menghentikan perdarahan.
e.
Obat obatan
Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami
perdarahan SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberian tersebut
tidak merugikan dan relatif murah.
Pengobatan kusus
a.
Vasopressin
Vasopressin dapat menghentikan perdarahan PSMBA lewat efek vasokontriksi
pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan tekanan vena porta
menurun. Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin yang mengandung
vasopressin murni dan preparat pituitary gland yang mengandung vasopressin
dan oxcytocin. Pemberian vasopressin dilakukan dengan mengencerkan sediaan
vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5 %, diberikan 0.5-1 mg/menit/iv
selama 20-60 menit dan dapat diulang tiap 3-6 jam atau setelah pemberian
pertama dilanjutkan per infuse 0.1-0.5 U/menit. Vasopressin dapat menimbulkan
efek samping serius berupa insufisiensi koroner mendadak, oleh karena itu
pemberiannya disarankan bersamaan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin iv
dengan dosis awal 40mcg/ menit kemudian secara titrasi dinaikkan maksimal
hingga 400mcg/menit dengan mempertahankan tekanan sistolik diatas 90
mmHg.
b.
Somastostatin
Somatostatin dan analognya (octreotide) diketahui dapat menurunkan
aliran darah splanknik, khasiatnya lebih selektif disbanding vasopressin.
Penggunaan di klinik pada perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar
tahun1978.
Somastotatin dapat menghentikan perdarahan akut varises esofagus
pada 70-80% kasus, dan dapat pula digunakan pada perdarahan non varises.
Dosis pemberian diawali dengan bolus 250 mcg/jam selama 12-24 jam atau
sampai perdarahan berhenti, oktreotide dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per
infuse 25 mcg/jam selama 8-24 jam atau sampai perdarahan berhenti.
c.
dalam
mencegah
perdarahan
ulang
SCBA
karena
tukak
peptic
kurang
bermanfaat.
d.
Balon Tamponade
dimulai
sekitar
tahun1950,
paling
popular
adalah
Sengstaken-
Blakemore tube (SB-tube) yang mempunyai tiga pipa serta dua balon masingmasing untuk esofagus dan lambung. Komplikasi pemasangan SB tube yang bisa
berakibat
fatal
adalah
pnemoni
aspirasi,
laserasi
sampai
perforasi.
e.
Endoskopi
Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang massif aktif
atau tukak dengan pembuluh darah yang tampak.
Metode terapinya meliputi:
1.
2.
3.
Nonthermal
(misalnya
suntikan
adrenalin,
polidokanol,
alcohol,
atau
pemakaian klip).
Berbagai cara endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila
dilakukan ahli endoskopi yang terampil dan berpengalaman. Endoskopi trapeutik
ini dapat diterapkan pada 90 % kasus perdrahan saluran cerna baggaian atas,
sedangkan 10 % sisanya tidak dapat dikerjakan karena alasan teknis seperti
darah terlalu banyak sehingga pengamatan terhalang sehingga pengamatan
terhlang atau letak lesi tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80% perdarahan
tukak peptic dapat berhenti spontan, namun pada kasus perdarahan arterial
yang bisa berhenti spontan hanya 30 %. Terapi endoskopi yang relatif mudah
dan tanpa banyak peralatan mendukung ialah penyuntikan submukosa sekitar
titik perdarahan menggunakan adrenalin 1:10000 sebanyak 0,5-1 ml tiap kali
suntik dengan batas dosis 10 ml atau alcohol absolud (98 %) tidak melebihi 1 ml.
penyuntikan bahan sklerosa seperti alcohol absolute atau polidokanol umumnya
tidak dianjurkan karena bahaya timbulnya tukak dan perforasi akibat nekrosis
jaringan di lokasi penyuntikan. Keberhasilan terapi endoskopi dalam penghentian
perdarahan bisa mencapai diatas 95 % dan tanpa terapi tambahan lain
perdarahan ulang frekuensinya sekitar 15-20 %.
Hemostatis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan karena
varises osefagus. Dengan ligasi varises dapat dihindari efek samping akibat
pemakaian sklerosan, lebih sedikit frekuensi terjadinya ulserasi dan striktur.
Ligasi dilakukan mulai distal mendekati cardia bergerak spiral setiap 1-2 cm.
dilakukan pada varises yang sedang berdarah atau bila ditemukan tanda baru
mengalami perdarahan seperti bekuan darah yang melekat, bilur bilur merah,
noda hematokistik, vena pada vena. Skleroterapi endoskopik sebagai alternatife
bila ligasi endoskopik sulit dilakukan karena perdarahan yang massif, terus
berlangsung, atau teknik tidak memungkinkan. Sklerosan yang bisa digunakan
antara lain campuran sama banyak polidokanol 3%, NaCl 0,9%, dan alcohol
absolute. Campuran dibuat sesaat sebelum skleroterapi dikerjakan. Penyuntikan
dimulai dari bagian paling distal mendekati cardia dilanjutkan ke proksimal
bergerak spiral sampai sejauh 5 cm. pada perdarahan varises lambung dilakukan
penyuntikan cyanoacrylate, skleroterapi untuk varises lambung hasilnya kurang
baik.
f.
Terapi Radiologi
Terapi
angiografi
perlu
dipertimbangkan
bila
perdarahan
tetap
berlangsung dan belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi
endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat beresiko. Tindakan hemostasis
yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin atau embolisasi arterial.
Bila dinilai tidak ada kontraindikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada perdarahan
varises dapat dipertimbangkan TIPS (Transjugular Intrahepatic Portosystemic
Shunt).
g.
Pembedahan
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
hemodinamik,
pemeriksaan
fisik,dan
stabilisasi
hemodinamik,
pemeriksaan
lain
yang
melanjutkan
di
perlukan,
anamnesis,
memastikan
penyebab
perdarahan
dan
sekaligus
untuk
melakukann
http://eprints.undip.ac.id/43750/3/Damayanti_Ika_Prasanti_G2A009057_Bab2KTI.
pdf
http://irfanmichael.blogspot.co.id/2013/10/psmba.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31735/4/Chapter%20II.pdf