Anda di halaman 1dari 10

BAB III

ANALISIS MASALAH

Seorang Pria usia 62 tahun datang ke IGD RS. Dr. Bratanata Jambi dalam
kondisi penurunan kesadaran disertai demam. Pasien memiliki riwayat DM tidak
terkontrol sejak 7 tahun yang lalu. Dua bulan terakhir pasien menolak untuk
meminum obat kencing manis.
Pendekatan pada pasien berdasarkan permasalahan penurunan kesadaran
yang dialami oleh pasien. Menurut literatur, penurunan kesadaran dibagi 3, yaitu
gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal/ lateralisasi dan tanpa disertai
kaku kuduk; gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal/ lateralisasi disertai
dengan kaku kuduk; dan gangguan kesadaran disertai dengan kelainan fokal.
Klasifikasi penurunan kesadaran terangkum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi penurunan kesadaran4
Gangguan kesadaran tanpa disertai - Gangguan iskemik
- Gangguan metabolik
kelainan fokal dan kaku kuduk
- Intoksikasi
- Infeksi sistemis
- Hipertermia
- Epilepsi
Gangguan kesadaran tanpa disertai - Perdarahan subarakhnoid
kelainan fokal tapi disertai kaku - Radang selaput otak
- Radang otak
kuduk
Gangguan
kesadaran
dengan - Tumor otak
- Perdarahan otak
kelainan fokal
- Infark otak
- Abses otak
Pada pemeriksaan terhadap pasien ini, ditemukan kesadaran coma dengan
GCS 8 (E2M5V1), nadi 124 kali/menit, tekanan darah 180/120 mmHg, frekuensi
napas 26 kali/menit dan suhu 38,7oC. Tidak ditemukan adanya kelainan fokal
maupun kaku kuduk. Sehingga yang memungkinkan adalah suatu keadaan
gangguan iskemik, gangguan metabolik, infeksi sistemis dan hipertermia.
Gangguan metabolik sangat mungkin terjadi pada pasien. Hal ini didukung oleh
35

hasil pemeriksaan laboratorium terhadap kadar glukosa darah pasien yaitu 537
mg/dL.
Penurunan kesadaran yang terjadi pada penderita DM disebabkan oleh
gangguan metabolisme yang menyebabkan hipoglikemia, krisis hiperglikemi,
asidosis laktat, dan uremik ensefalopati.6
Kadar glukosa darah yang tinggi mengarahkan pasien ke keadaan krisis
hiperglikemi. Krisis hiperglikemia merupakan kegawatdaruratan metabolik
berhubungan dengan DM yang tidak terkontrol dan dapat menghasilkan
morbiditas maupun mortalitas. Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk
Ketoasidosis Diabetik (KAD), Status Hiperosmolar Hiperglikemik (SHH) atau
kondisi yang mempunyai elemen kedua keadaan diatas.1,2
Diabetik ketoasidosis adalah suatu keadaan dekompensasi atau kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemi, asidosis dan ketosis yang
terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolute atau relatif dan adanya
peningkatan hormon kontra regulator seperti glukagon, katekolamin, kortisol dan
hormon pertumbuhan.1,2

Tabel 2. Standar diagnostik Ketoasidosis Diabetikum


Standar diagnosis
Diabetik glukosa >250 mg/dL
Keto produksi keton (+)
Asidosis anion gap metabolic acidosis;
HCO3- <15, pH<7.30

Pada penderita ini


GDS 537
(-)
Tidak dilakukan pemeriksaan

Status Hiperosmolar Hiperglikemik (SHH) adalah keadaan hiperglikemia


ekstrim dengan osmolalitas serum yang tinggi dan disertai dengan dehidrasi berat
tanpa ketosis dengan asidosis yang signifikan. Hiperglikemia pada SHH lebih
berat daripada KAD, yaitu melebihi 600 mg/dL.1,2
Osmolalitas dihitung menggunakan rumus dengan menggunakan rumus.
Berdasarkan hasil laboratorium kimi darah pasien, didapatkan kadar Natrium 141
mmol/L dan ureum 61,1 mg/dL. Sehingga dapat dimasukkan ke dalam rumus
osmolalitas berikut:
{2 x Na(mmol/L)} + {glukosa(mg/dl) : 18} + {ureum(mg/dL) : 2,8}
36

{2 x Na(mmol/L)} + {glukosa(mg/dl) : 18} + {ureum(mg/dL) : 2,8}


= (2x141) + (537:18) + {61,1:2,8)
= 282 + 29,8 + 21,8
= 333,6 mOsm/kg
Berdasarkan data tersebut, pasien tidak dapat dikategorikan secara signifikan ke
dalam diagnosa KAD maupun SHH. Selanjutnya, pasien didiagnosa dengan krisis
hiperglikemi.

Tabel 3. Standar diagnostik Status Hiperosmolalitas Hiperglikemik


Standar diagnosis
Hiperosmolar osmolalitas >320 mOsm/kg
Hiperglikemik glukosa > 600 mg/dL
Keton (-) atau minimal
pH > 7,3

Pada penderita ini


333,6 mOsm/kg
GDS 537
(-)
Tidak dilakukan pemeriksaan

Pada pemeriksaan kimia darah terhadap pasien, ditemukan peningkatan


angka ureum dan kreatinin, yaitu ureum 61,1 mg/dl dan kreatinin 2,7 mg/dl. Hal
ini menunjukkan gangguan terhadap fungsi ginjal.
Acute Kidney Injury (AKI) merupakan sindrom klinik akibat gangguan
fungsi ginjal yang terjadi mendadak dalam beberapa jam sampai beberapa hari
dan menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen dan non-nitrogen, dengan
atau tanpa disertai oligouri. Klasifikasi AKI menurut kriteria RIFLE (Tabel 4).7

Tabel 4. Kriteria RIFLE


Risk

Injury

Failure

Loss

Kriteria GFR
Kriteria Urin Output
Peningkatan serum kreatinin 1,5 x baseline
< 0.5 mL/kg/h
Atau
selama 6 jam
Penurunan GFR* >25%
Peningkatan serum kreatinin 2 x baseline
< 0.5 mL/kg/h
Atau
Selama 12 jam
Penurunan GFR >50%
Peningkatan serum kreatinin 3 x baseline
< 0.5 mL/kg/h
Atau
selama 24 jam
Penurunan GFR >75%
Kerusakan fungsi ginjal persisten, lebih dari 4 minggu

End Stage Kerusakan fungsi ginjal persisten lebih dari 3 bulan


*GFR : Glomerular Filtration Rate

37

Nilai acuan normal kreatinin tertinggi pada hasil pemeriksaan kimia darah
RS Dr. Bratanata adalah 1,3 mg/dl. Pasien mengalami peningkatan nilai serum
kreatinin sebanyak 2 kali dari nilai normal, sehingga dikategorikan pada kondisi
AKI.
Gangguan fungsi ginjal yang terjadi pada pasien dapat pula dikategorikan
dalam kategori komplikasi mikrovaskular DM, yaitu nefropati diabetik. Diagnosis
nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin > 30 mg dalam urin
24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3- 6 bulan, tanpa
penyebab albuminuria lainnya.8

Tabel 5. Klasifikasi Albuminuria


Kategori

Urin 24 jam
(mg/24 jam)

Normal
Mikroalbuminuria
Makroalbuminuria

< 30
30 299
> 299

Urin dalam
waktu tertentu
(ug/menit)
< 20
20 199
> 199

Urin sewaktu
(ug/mg kreatinin)
< 30
30 299
299
> 299

Pemeriksaan terhadap urin 24 jam pasien tanggal 18 Juni 2016


menunjukkan hasil proteinuri +3. Berdasarkan literatur, proteinuria +1 setara
dengan 100 mg/dL, proteinuri +2 setara dengan 300 mg/dL, +3 setara dengan
1000 mg/dL. Pemeriksaan proteinuria dikatakan sensitif terhadap albumin.10
Pemeriksaan terhadap urin 24 jam pasien hanya dilakukan satu kali sehingga
belum dapat memenuhi kriteria diagnosis nefropati diabetik.
Infeksi sistemis dan hipertermia merupakan 2 keadaan yang mendukung
kondisi penurunan kesadaran pasien. Infeksi sistemis atau Systemic Inflammatory
Response Syndrome (SIRS) merupakan suatu respon inflamasi tubuh yang bersifat
kompleks dan nonspesifik terhadap suatu keadaan yang berbahaya bagi tubuh.
SIRS dapat berlanjut menjadi sepsis. Penegakan diagnosis SIRS dan sepsis
terangkum dalam Tabel 6.5
Pada pemeriksaan penunjang 17 juni 2016, didapatkan hemoglobin 9,6
g/dL, hematokrit 28,1%, eritrosit 3 juta/ul, leukosit 13,4 ribu/ul, limfosit 15%, dan
neutrofil 80%. Hal ini menunjukkan terpenuhinya 4 kriteria SIRS pada pasien,

38

yaitu Temperatur 38,7oC, frekuensi jantung 124 kali per menit, frekuensi nafas 26
kali per menit dan nilai leukosit 13,4 ribu/ul.

Tabel 6. Definisi SIRS dan Sepsis


Apabila terdapat minimal 2 dari 4 kriteria berikut:
1. Temperatur > 38oC atau <36oC
2. Frekuensi jantung >100 kali per menit atau <60 kali per menit
3. Frekuensi nafas >20 kali per menit
4. Peningkatan ataupun penurunan jumlah leukosit
SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka

SIRS

Sepsis

Mengikuti follow up pasien terpenuhi pula kriteria Sepsis yaitu disertai


dengan status tersangka infeksi. Status ini berasal dari hasil interpretasi
pemeriksaan foto thorax tanggal 18 Juni 2016 terhadap pasien yaitu pneumonia
sinistra.
Diagnosis awal merujuk kepada krisis hiperglikemi, dengan diagnose
banding adalah KAD dan HHS. Kebehasilan pengobatan KAD dan HONK
membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia dan gangguan keseimbangan
elektrolit; identifikasi komorbid dan monitoring ketat terhadap pasien. Prinsipprinsip pengelolaan KAD1,2,3 sebagai berikut:
a. Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
b. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan
pemberian insulin.
c. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD
d. Mengembalikan keadaan fisiologis normal dan menyadari pentingnya
pemantauan serta penyesuaian pengobatan.
Penatalaksanaan yang dilakukan di UGD RS. Tk. IV. Dr. Bratanata adalah
sebagai berikut:
- Pemberian O2 4 lpm (mask)
- Loading NaCl 0,9% 2000 cc dalam 2 jam pertama, selanjutnya 40 tpm
- Pemasangan cateter foley
- Drip insulin 5 unit/jam,
Cek GDS per 3 jam, selanjutnya sesuai protap.
Jika GDS < 150

Stop drip insulin


39

GDS 150-200

drip insulin 1 UI/jam

GDS 200-250

drip insulin 2 UI/jam

GDS 250-300

drip insulin 3 UI/jam

GDS 300-350

drip insulin 4 UI/jam

GDS > 350

drip insulin 5 UI/jam

- Paracsetamol infus 3x500 mg (iv)


- Ceftriakson 1x2gr (drip dalam NaCl 100cc)
Resusitasi cairan adekuat merupakan terapi utama untuk KAD dan HHS.
Resusitasi cairan merupakan hal pertama yang mesti dilakukan terhadap pasien
dengan krisis hiperglikemi, terutama pada pasien dengan keadaan hipotensi.
Rehidrasi sebelum pemberian insulin mencegah terjadinya penurunan kalium,
hipotensi dan penurunan osmolalitas serum. Pemberian resusitasi cairan
berdasarkan pada keadaan hemodinamik, penemuan klinis, nilai elektrolit dan urin
output1,2,3.
Rehidrasi pada pasien krisis hiperglikemi dimulai dengan pemberian
cairan normosalin 15-20 ml/kgBB/jam atau 1-1,5 liter dalam satu jam pertama.
Selanjutnya menyesuaikan dengan status dehidrasi pasien. Target hidrasi adalah
mengganti setengah total kehilangan cairan tubuh dalam waktu 12-24 jam1,2.
Penanganan rehidrasi cairan pada krisis hiperglikemi mengikuti alur maintenance
per jam seperti pada Tabel 73.

Tabel 7. Standar terapi cairan pada krisis hiperglikemi


Standar terapi cairan
Loading cairan NaCl 0,9%
15-20 ml/kgBB/jam atau 1-2 L/jam
Maintenance :
Mengikuti alur rehidrasi maintenance per jam
Jam ke II : infus NaCl 0,9% 1 liter
Jam ke III : infus NaCl 0,9% 0,5 liter
Jam ke IV : infus NaCl 0,9% 0,5 liter
Jam ke V : infus NaCl 0,9% 0,25 liter
Jam ke VI : infus NaCl 0,9% 0,25 liter

Pada penderita ini


NaCl 0,9% 1 L/2 jam

Jam ke III : NaCl 0,9% 40 tpm,


dan seterusnya

Pemberian resusitasi cairan dapat menurunkan glukosa darah, BUN dan


nilai kalium, namun tidak terhadap perubahan pH atau HCO3. Insulin sebagai
40

hormon Insulin merupakan penatalaksaan kedua terhadap pasien krisis


hiperglikemia. Kolaborasi terapi antara rehidrasi dan insulin sangat diperlukan
dalam penatalaksanaan krisis hiperglikemi. Pemberian insulin sebelum melakukan
resusitasi cairan dapat menyebabkan keadaan hipotensi. Sehingga pemberian
insulin direkomendasikan setelah melakukan inisial rehidrasi1,2,3.
Pemberian insulin diawali dengan bolus intravena sebanyak 10 unit
insulin, diikuti dengan regular insulin drip dosis 0,1 UI/kg/jam atau 5 UI/jam.
Selanjutnya menggunakan syringe pump berisi 50 UI insulin dan 50 cc NaCl
0,9% dilakukan sliding scale sesuai nilai glukosa darah1,2,3,9.

Tabel 7. Standar Sliding Scale Insulin pada krisis hiperglikemi


Standar Sliding Scale Insulin
GDS < 200 1,5 UI
GDS 200-300 3 UI
GDS > 300 6 UI

Pada penderita ini


GDS < 150
Stop drip
GDS 150-200 1 UI
GDS 200-250 2 UI
GDS 250-300 3 UI
GDS 300-350 4 UI
GDS > 350
5 UI

Pemberian insulin harus memperhatikan kadar gula darah pasien, sehingga


diperlukan monitoring setiap 1 jam. Target kadar gula darah adalah 140-180
mg/dl. Apabila kadar gula darah < 250 mg/dl maka ganti infus dengan dekstrosa
5% dalam 0,45% normosalin. Apabila kadar gula darah < 100 mg/dl maka ganti
cairan infus dengan dekstrosa 10%. Apabila kadar gula darah < 80 mg/dl, hentikan
drip insulin dalam 1 jam kemudian lanjutkan kembali9.
Insulin subcutan dapat diberikan jika pasien mendapatkan asupan makanan
peroral. Insulin subcutan diberikan dengan dosis 0,6 UI/kg/24 jam. Insulin drip
tetap dilanjutkan dalam 2 jam pemberian insulin subcutan, lalu dihentikan3.
Penanganan krisis hiperglikemi tidak hanya bertumpu pada rehidrasi
cairan dan insulin saja, tetapi juga terhadap elektrolit kalium dan pH darah.
Penatalaksanaan terhadap penurunan pH darah menggunakan bikarbonat dan
koreksi terhadap elektrolit, terlihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. Pada pasien ini
baik elektrolit dan keasaman darah dalam batas normal sehingga tidak diperlukan
penatalaksanaan lebih lanjut.
41

Gambar 1. Algoritma penanganan Krisis Hiperglikemi1

Gambar 2. Algoritma penanganan Ketoasidosis Diabetikum2

42

Gambar 3. Algoritma Penanganan Ketoasidosis Diabetikum3,9

Mengikuti follow up terhadap pasien tanggal 18 Juni 2016, kadar gula


darah pasien stabil dalam rentang 140 180 mg/dl selama 12 jam. Hal ini
menunjukkan terjadi perbaikan krisis hiperglikemi namun tidak didukung dengan
perbaikan tingkat kesadaran pasien. Penurunan kesadaran pasien dapat disebabkan
oleh faktor lain seperti gangguan iskemik, hipertermi dan infeksi sistemik.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian Brainact 2x500mg,
Parasetamol intravena 500 mg dan injeksi antibiotik broadspectrum berupa
seftriakson 1x2gr.
Seftriakson diindikasikan pada infeksi saluran nafas bawah serius, infeksi
kulit dan jaringan bawah kulit, infeksi tulang sendi, infeksi abdominal, infeksi
ginjal dan saluran kemih bawah, infeksi gonore tak terkomplikasi, meningitis, dan
infeksi perioperasi bedah. Dosis penggunaan adalah 1-2 gr per 24 jam, pada
infeksi berat dapat ditingkatkan hingga 4 gr per hari atau dalam 2 dosis terbagi11.

43

DAFTAR PUSTAKA

1. Ness-Otunnu,Ronald Van & Hack,Jason B. 2013. Hyperglycemic Crisis. J


Emerg Med. 2013;45(5):797-805
2. Gosmanov AR, Gosmanova EO, Kitabchi AE. Hyperglycemic Crises:
Diabetic Ketoacidosis (DKA), And Hyperglycemic Hyperosmolar State
(HHS) in NCBI Bookshelf
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279052/?report=reader#_NBK27
9052_pubdet_ accessed in 25th June 2016; 15.00 WIB
3. Gustaviani R. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam PAPDI. Pusat Penerbitan FKUI. Jakarta, 2009.
4. Harris, S. 2004. Penatalaksanaan Pada Kesadaran Menurun dalam Updates
in Neuroemergencies. FKUI. Jakarta. Hal.1-7
5. Dellinger et al. 2012. International GUIdelines for Management of Severe
Sepsis and Septic Shock. CDC.
6. Funk JL. Disorders of the Endocrine pancreas. In: Mcphee SJ, Hammer
GD. Pathophysiology of Disease: An Introduction to Clinical Medicine.
6th ed. 2010. McGraw-Hill.
7. Bellomo R, Ronco C, Kellum JA, Mehta RL, Palevsky P. Acute renal
failure - definition, outcome measures, animal models, flUId therapy and
information technology needs: the Second International Consensus
Conference of the Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) Group. Crit
Care. 2004 Aug. 8(4):R204-12.
8. PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2. PERKENI
9. PERKENI. 2011. Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes
Melitus. PERKENI
10. Kemenkes RI.2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Kemenkes RI
11. Kemenkes RI. 2012. Formularium Spesialistik Ilmu Penyakit dalam.
Jakarta. Kemenkes RI. Hal. 227-228

44

Anda mungkin juga menyukai