Anda di halaman 1dari 71

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN


POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
TANGERANG SELATAN

MINI SKRIPSI
ANALISIS PERBEDAAN PENGARUH
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT
TEGURAN DAN SURAT PAKSA
TERHADAP PENCAIRAN TUNGGAKAN PAJAKSEBELUM DAN SESUDAH
PELAKSANAAN PENYANDERAAN
(STUDI KASUS DI KPP PRATAMA PALU)
Diajukan oleh:
SOFIAN
NPM. 154060006455
2016
DAFTAR ISI
BAGIAN PENDAHULUAN

Halaman

Halaman Judul...........................................................................................................i
Halaman Persetujuan................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii

BAGIAN ISI

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
A. Latar belakang penelitian...................................................................................1
B. Ruang lingkup penelitian....................................................................................5
C. Masalah penelitian..............................................................................................5
D. Tujuan penelitian................................................................................................6
E. Manfaat penelitian..............................................................................................6
F. Sistematika pembahasan.....................................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................9
A. Landasan Teori...................................................................................................9
1.

Gambaran Pajak Secara Umum...................................................................9

2.

Penagihan Pajak.........................................................................................14

3.

Surat Teguran.............................................................................................17

4.

Surat Paksa.................................................................................................21

5.

Penyanderaan (Gijzeling)...........................................................................25

B. Penelitian Terdahulu.........................................................................................42
C. Hipotesis penelitian..........................................................................................43
BAB III METODE PENELITIAN...........................................................................44
A. Gambaran umum objek Penelitian...................................................................44
B. Teknik Pengumpulan Data...............................................................................46

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...................................................47


D. Metode Analisis Data.......................................................................................48
1.

Uji Asumsi Klasik......................................................................................48

2.

Uji Hipotesis..............................................................................................51

BAB IV PEMBAHASAN...........................................................................................52
A. Peran Juru Sita Pajak........................................................................................52
B. Hasil Analisis dan Pengujian Hipotesis............................................................53
BAB V SIMPULAN DAN SARAN...........................................................................64
A. Simpulan...........................................................................................................64
B. Saran..................................................................................................................66
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................67

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Tujuan Negara Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk membentuk pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan tersebut dapat diwujudkan melalui
pembangunan nasional secara bertahap dan berkelanjutan, Mulai dari Pembangunan
pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Untuk
melaksanakan pembangunan dan melaksanakan tujuan Negara tentu dibutuhkan dana
dan biaya yang sangat besar yang bersumber dari penerimaan Negara baik dari dalam
maupun luar negeri.
Salah satu penerimaan dalam negeri yang menjadi sumber dana utama dan sangat
potensial dalam membiayai pembangunan nasional berasal dari sektor perpajakan.
Pajak merupakan sektor pemasukan terbesar bagi kas Negara Indonesia yang
digunakan untuk melaksanakan pembangunan Melalui APBN. Penerimaan Negara
dari pajak memegang penanan yang sangat penting demi kelangsungan sistem
Pemerintahan Indonesia dan untuk mewujudkan tujuan bernegara yang tertuang
dalam pembukaan UUD tahun 1945. Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada
Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan

digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta
bagi masyarakat khususnya wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan Negara dan pembangunan
nasional.
Sebesar 70% lebih penerimaan Negara Republik Indonesia dalam APBN
bersumber dari Pajak, baik pajak Pusat maupun Pajak Daerah. Oleh karena itu
Pemerintah terus berusaha menggenjot dan menaikkan target penerimaan Pajak dari
tahun ke tahun, hal ini dimaksudkan agar program-program Pemerintah dalam
menjalankan roda Pemerintahan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat
ditingkatkan juga. Dari sekian banyak fungsi dari pemungutan pajak yang dilakukan
oleh negara, Salah satu dari tujuan negara melakukan pemungutan terhadap pajak
ialah meningkatkan kemajuan pada sektor pembangunan, pembangunan infrastruktur
yang dilakukan di dalam Negara untuk mewujudkan cita-cita pembangunan.
Mengingat pentingnya pajak untuk pembangunan, pemerintah melalui Direktorat
Jenderal Pajak terus melakukan terobosan guna meningkatkan penerimaan melalui
kebijakan dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu kebijakan yang diambil
adalah melakukan reformasi di bidang perpajakan (tax reform) pada tahun 1983,
dimana sistem pemungutan pajak telah mengalami perubahan dari official assessment
system menjadi self assessment system. Dalam self assessment system, Wajib Pajak
diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan
sendiri kewajiban pajaknya, sehingga melalui sistem administrasi perpajakan ini

diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana dan mudah


dipahami oleh masyarakat.
Sistem ini menaruh kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menjalankan
kewajiban-kewajiban perpajakannya. Hal tersebut tentu meletakkan tanggung jawab
yang lebih besar kepada Wajib Pajak untuk melaksanakan kepercayaan tersebut
dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu, pemerintah terus memberikan pengertian
kepada masyarakat tentang betapa pentingnya kesadaran dan pemahaman mengenai
pajak bagi kelangsungan pembangunan nasional dan pembiayaan negara. Apabila
masyarakat mengerti tentang manfaat dan fungsi dari pajak maka tentu masyarakat
sadar akan pajak (tax counciouness) dan tidak akan lagi dijumpai Wajib Pajak yang
tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Sebagaimana kita ketahui bersama kesadaran dan kepedulian masyarakat
Indonesia terhadap Pajak masih sangat kurang yang ditunjukkan oleh data tax ratio
Indonesia yang masih rendah di kisaran 11%. Meskipun tahun-tahun terakhir ini
terdapat peningkatan penerimaan yang cukup baik, tetapi tetap saja sebagian besar
masyarakat masih awam tentang pajak, baik cara melaksanakan kewajiban perpajakan
dan yang tidak kalah pentingnya adalah kurangnya pengetahuan tentang manfaat dan
kegunaan pajak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak sedikit juga
masyarakat yang dengan sengaja melakukan kecurangan-kecurangan dan melalaikan
kewajibannya dalam melaksanakan pembayaran pajak yang telah ditetapkan sehingga
menyebabkan timbulnya tunggakan pajak. Untuk mengatasi masalah tunggakan pajak
inilah, maka dibutuhkan tindakan penagihan yang mempunyai kekuatan hukum
memaksa.

Penagihan pajak merupakan serangkaian tindakan agar penanggung pajak


melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan cara menegur atau
memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan
surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita (Suandy, 2008:173). Tindakan
tersebut berupa penagihan pajak pasif melalui himbauan dengan menggunakan surat
tagihan atau surat ketetapan pajak. Dan selanjutnya berupa penagihan pajak aktif yang
meliputi penerbitan surat teguran, pemberitahuan surat paksa, melaksanakan
penyitaan, serta menjual barang yang telah disita berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.
Undang-undang penagihan pajak ini diharapkan dapat memberikan kepastian
hukum dan keadilan serta dapat mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan
masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya guna mengurangi tunggakan
pajak yang terjadi. Dengan demikian diharapkan penerimaan negara dari sektor pajak
dapat lebih optimal.
Selain upaya aktif penagihan pajak diatas, ada upaya paksa lagi dalam penagihan
aktif tunggakan pajak berupa penyanderaan (gijzeling). Gijzeling dipergunakan oleh
pemerintah sebagai salah satu upaya setelah tahapan penagihan sebelumnya yang
meliputi penerbitan surat teguran, pemberitahuan surat paksa, melaksanakan
penyitaan belum berhasil. Diharapkan dengan adanya gijzeling yang dipublikasikan
secara luas akan memberikan efek jera kepada Wajib Pajak yang belum membayar
tunggakan pajak.

Pada tahun 2015 Kantor Pelayanan Pajak Pratama Palu menyandera dua orang
penanggung pajak PT. UPP karena menunggak pajak senilai Rp3,2 miliar. Tindakan
penyanderaan (gijzeling) yang dilakukan KPP Pratama palu merupakan salah satu
upaya penagihan aktif agar tunggakan pajak bisa segera dibayar oleh wajib pajak.
Gijzeling yang dilakukan juga bertujuan memberikan deterrent effect berupa
meningkatnya jumlah pelunasan tunggakan pajak.
Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini penulis mengangkat permasalahan
Apakah Terjadi Perbedaan Pengaruh Penagihan dengan Surat Teguran dan
Surat Paksa Terhadap Pencairan Tunggakan Pajak Sebelum dan Sesudah
dilakukan Penyanderaan (Gijzeling) di KPP Pratama Palu?.
B. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti pengaruh penyanderaan (gijzeling)
yang dilakukan KPP Pratama Palu terhadap relisasi pencairan tunggakan pajak
melalui penagihan pajak dengan surat teguran dan surat paksa. Penulis membatasi
penelitian pada proses penagihan aktif dengan Surat Teguran dan Surat Paksa dan
pengaruhnya terhadap pencairan tunggakan pajak pada KPP Pratama Palu yang
dilakukan sebelum penyanderaan (gijzeling) yaitu pada bulan Januari s.d Juni 2015
dan sesudah penyanderaan (gijzeling) yaitu pada kurun waktu bulan Juli s.d.
Desember 2015.
C. Masalah Penelitian
Dari Identifikasi masalah pada pendahuluan di atas dapat dirumuskan suatu
masalah penelitian sebagai berikut :

1. Apakah terdapat pengaruh penagihan pajak dengan surat teguran dan surat paksa
terhadap pencairan tunggakan pajak.
2. Seberapa besar pengaruh penagihan pajak dengan surat teguran dan surat paksa
terhadap pencairan tunggakan pajak?
3. Apakah terdapat perbedaan pengaruh penagihan pajak dengan surat teguran dan
surat paksa terhadap pencairan tunggakan pajak sebelum dan sesudah
dilakukannya penyanderaan (gijzeling)?
4. Seberapa besar perbedaan pengaruh penagihan pajak dengan surat teguran dan
surat paksa terhadap pencairan tunggakan pajak sebelum dan sesudah
dilakukannya penyanderaan (gijzeling)?

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan utama dari penelitian yang
dilakukan oleh penulis adalah untuk mencari bukti empiris bahwa terdapat perbedaan
pengaruh surat teguran dan surat paksa terhadap pencairan tunggakan pajak sebelum
dan sesudah dilakukannya penyanderaan (gijzeling).
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat menjadi referensi literatur
penelitian yang menambah pengetahuan guna membantu proses pembelajaran terkait
pelaksanaan penegakan hukum pajak melalui proses penagihan pajak dengan surat
teguran, surat paksa, dan penyanderaan (gijzeling).

2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi DJP dalam menyusun
kebijakan. Khususnya bagi Direktorat Penagihan dan Pemeriksaan diharapkan dapat
memberikan

masukan

dalam

kegiatan

sosialisasi

dan

penyuluhan

dengan

menitikberatkan pada variabel yang berpengaruh signifikan pada proses penagihan


pajak terhadap pencairan tunggakan pajak. Dengan demikian diharapkan kepatuhan
Wajib Pajak meningkat dan penerimaan pajak dari pencairan tunggakan pajak pun
meningkat.

F. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan mencakup uraian ringkas dari materi yang dibahas dalam
skripsi. Penelitian ini disusun ke dalam beberapa bab sebagai beriku:
BAB I PENDAHULUAN
Penelitian ini diawali dengan penjelasan tentang latar belakang penelitian yang
menjadi pemicu munculnya permasalahan. Dengan latar belakang masalah tersebut
ditentukan rumusan masalah yang lebih terperinci sebagai acuan untuk menentukan
hipotesis. Dalam bab ini pula dijabarkan ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan yang menggambarkan garis
besar/pokok-pokok pembahasan secara menyeluruh.
BAB II

LANDASAN TEORI

Sesuai dengan judul yang tertera, pada Bab II ini akan diuraikan tentang landasan
teori yang menjadi dasar pemikiran dalam mencari pembuktian dan solusi yang tepat
untuk hipotesis yang akan diajukan. Sebagai acuan akan diuraikan pula penelitian

terdahulu yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, yang memiliki keterkaitan
dengan hipotesis yang akan diajukan. Dalam bab ini pula akan dijabarkan tentang
kerangka pemikiran dan hipotesis dari permasalahan yang ada pada Bab I.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penjelasan tentang metode penelitian berisi tentang gambaran umum objek penelitian,
variabel penelitian dan definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini.
Dijabarkan pula tentang jumlah dan karakteristik sampel yang digunakan, jenis dan
sumber data yang didapatkan, serta metode pengumpulan data. Selanjutnya akan
dibahas metode analisis yang digunakan untuk mengolah data yang telah
dikumpulkan.
BAB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan dijabarkan tentang hasil analisis data yang didapat dari obyek
penelitian (sampel) beserta penjelasan yang diperlukan. Analisis data dan
penjabarannya akan didasarkan pada landasan teori yang telah dijabarkan pada Bab II,
sehingga segala permasalahan yang dikemukakan dalam Bab I dapat terpecahkan atau
mendapat solusi yang tepat.
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penjelasan hasil analisis data pada Bab IV di atas, akan dirumuskan
simpulan yang merupakan pembuktian dari hipotesis yang ada pada Bab II. Di
samping itu, juga akan diutarakan keterbatasan penelitian yang dilakukan, serta saransaran yang diharapkan bisa berguna bagi instansi terkait atau pihak lain.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. LANDASAN TEORI
1. Gambaran Pajak Secara Umum
a) Pengertian Pajak
Undang-Undang No.28 tahun 2007 pasal 1 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan menyatakan bahwa pajak adalah Kontribusi wajib kepada negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang Undang dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Pembangunan
Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus-menerus dan berkesinambungan
yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah
pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu
bangsa atau Negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana
yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai
pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Pada hakikatnya manusia
adalah makhluk sosial. Dalam hidupnya manusia saling membutukan dan selalu
berhubungan. Organisasi seperti itu membutuhkan sarana dan prasarana yang
mendukung kelangsungan hidup rakyat beserta Negara itu sendiri, yang dapat
diperoleh melalui peran serta masyarakat secara bersama-sama dalam berbagai
bentuk, salah satunya adalah dengan pajak.

10

Menurut Santoso (1991: 2), pajak adalah iuran kepada Negara yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat jasa
timbal balik yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas
Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public
saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment
(Soemitro,2002:2).
Berdasarkan beberapa definisi pajak yang telah dikemukakan di atas maka peneliti
menyimpulkan pengertian pajak ialah iuran Wajib dari rakyat pada kas Negara
sebagai suatu instrument yang legal yang digunakan oleh pemerintah yang diatur
dalam Undang-undang. Oleh karena itu dengan menjadi Wajib Pajak yang patuh akan
sangat mempengaruhi perekonomian Negara ini.
b) Pengelompokan Pajak
Dalam hukum pajak terdapat pembagian jenisjenis pajak yang dibagi dalam
berbagai kelompok pajak. Cara pengelompokan pajak didasarkan atas sifatsifat
tertentu terdapat dalam masingmasing pajak atau didasarkan pada ciri-ciri tertentu
pada setiap pajak. Sifat dan ciri-ciri tertentu yang bersamaan dari setiap pajak
dimasukkan dalam suatu kelompok sehingga terjadilah pengelompokan atau
pembagian (Mardiasmo, 2011:5).
1) Menurut golongannya
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan
tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak
Penghasilan.

11

b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
2) Menurut sifatnya
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak
Penghasilan.
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan nilai
dan pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3) Menurut lembaga pemungutannya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan.
b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: Pajak Hotel, Pajak
Restoran, Pajak Hiburan, dan Pajak Reklame.
c) Sistem Pemungutan Pajak
A. Official Assesment System
Official Assesment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi
wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh wajib pajak.
B. Self Assesment System
Self Assesment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang.
C. With Holding System

12

With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang
bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

d) Subjek dan Objek Pajak


Subjek Pajak menurut Waluyo (2007:57) ialah sebagai berikut.
1) Orang pribadi
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di
Indonesia maupun di luar Indonesia.
2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
Menggantikan yang berhak warisan yang belum terbagi dimaksud merupakan
subjek pajak pengganti menggantikan mereka yang berhak yaitu sebagai ahli waris.
3) Badan
Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi PT, CV, perseroan
lainnya.
4) Bentuk Usaha Tetap
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan Orang Pribadi yang
bertempat tinggal di Indonesia atau berada diluar Indonesia tidak lebih 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, atau Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat dari
kedudukan di Indonesia ntuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia.

13

Menurut Waluyo (2008: 65), ia mengartikan objek pajak sebagai berikut:


1)
2)
3)
4)
5)
e)

Penghasilan
Laba usaha
Hadiah dari Undian atau pekerjaan
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta dan
Deviden.
Wajib Pajak
Sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang N0.28 Tahun 2007 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan bahwa : wajib pajak adalah
orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotong pajak, dan pemungut
pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. Wajib Pajak merupakan Subjek Pajak
yang memenuhi syarat objektif yang berkaitan dengan sasaran pengenaan pajak,
misalnya seseorang yang tinggal di Indonesia yang memperoleh penghasilan dan
penghasilan tersebut memenuhi syarat untuk dikenakan pajak.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, Wajib Pajak adalah orang atau
badan yang tidak hanya telah memenuhi syarat-syarat subjektif tapi secara sekaligus
memenuhi syarat-syarat objektif. Orang atau Badan (Subjek Pajak) yang hanya
memenuhi syarat subjektif saja belum dapat dikatakan sebagai wajib Pajak sebab
untuk menjadi Wajib Pajak, Subjek Pajak juga harus memenuhi syarat objektif, yaitu
menerima atau memperoleh penghasilan kena pajak.
2. Penagihan Pajak
a) Pengertian Penagihan Pajak
Pelaksanaan penagihan pajak yang tegas, konsisten dan konsekuen diharapkan
akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam
membayarkan hutang pajaknya. Hal ini merupakan posisi strategis dalam

14

meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak sehingga tindakan penagihan


pajak tersebut dapat menyelamatkan penerimaan pajak yang tertunda. Kegiatan
penagihan pajak merupakan ujung tombak dalam menyelamatkan penerimaan Negara
yang tertunda, oleh sebab itu seksi penagihan merupakan seksi produksi yang paling
dibanggakan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dalam pelaksanaaanya penagihan pajak
haruslah dilandaskan pada peraturan perundang undangan yang berlaku, sehingga
mempunyai kekuatan hukum baik bagi wajib pajak maupun aparatur pajaknya.
Menurut Anang Mury Kurniawan (2011; 111) Penagihan Pajak adalah serangkaian
tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak
dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita (Pasal 1
angka 9 UU No. 19/2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa).

b) Dasar Penagihan Pajak


Dalam buku KUP, Dasar penagihan pajak yaitu:
Pasal 18 ayat (1) UU KUP menyebutkan dasar penagihan pajak adalah:
1)
2)
3)
4)

Surat Tagihan Pajak(SPT)\


Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,

yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.


Pasal 12UU PBB menyebutkan dasar penagihan pajak adalah:
1) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
2) Surat ketetapan pajak
3) Surat Tagihan Pajak (SPT) merupakan dasar penagihan pajak.
c) Tindakan Penagihan Pajak

15

Proses penagihan pajak menurut Rudy Suhartono dan Wirawan B Ilyas


(2010;80):
No

Tahapan

kegiatan Waktu

penagihan
1

Dasar hukum

pelaksanaan

kegiatan
Penerbitan Surat Teguran atau 7( tujuh) hari sejak Pasal
Surat

Peringatan

atau

s.d

11

surat saat jatuh tempo Permenkeu Nomor

7( tujuh) hari sejak saat jatuh utang

pajak 24/PMK.03/2008

tempo utang pajak Pasal 8 s.d 11 penanggung pajak


Permenkeu

Nomor tidak

melunasi

24/PMK.03/2008

utang pajaknya

22 lain yang sejenis setelah


Penerbitan Surat Paksa

Sudah

lewat (pasal 7 UU Nomor

21(dua puluh satu) 19/2000 dan pasal


hari

sejak 15 s.d 23 peraturan

diterbitkanya Surat menteri


teguran

keuangan

/surat nomor

peringatan

24

dan /PMK.03/2008

penanggung pajak
tidak
3

Penerbitan

surat

melaksanakan penyitaan

melunasi

utang pajak
perintah Setelah lewat 2x24 Pasal

12

UU

jam Surat Paksa Nomor 19/2000


diberitahukan
kepada
penanggung pajak
dan

Pengumuman lelang

utang

pajak

belum dilunasi
setelah lewat waktu Pasal 26 peraturan
14

hari

tanggal

sejak menteri
nomor

keuangan

16

pelaksanaan
penyitaan

24/PMK.03.2008
dan

penanggung pajak
tidak

melunasi

utang pajak

3. Surat Teguran
a) Pengertian Surat Teguran
Surat teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis sesuai dengan Pasal 1
angka 10 (UU Penagihan Pajak) adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat pajak
untuk meneguur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang
pajaknya. Sesuai Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan No. 561/KMK.04/2000
bahwa tindakan pelaksanaan penagihan pajak diawali dengan surat teguran, surat
peringatan atau surat lain yang sejenis oleh pejabat atau kuasa pejabat setelah 7 hari
sejak saat jatuh tempo pembayaran.
Penerbitan surat teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis merupakan
tindakan awal dari pelaksanaan penagihan pajak dan pelaksanaannya harus dilakukan
sebelum dilanjutkan dengan penerbitan surat paksa. Apabila terdapat Wajib Pajak
tidak pernah diberikan surat teguran, surat

peringatan atau surat lain yang sejenis

namun langsung diterbitkan dan diberikan surat paksa, maka secara yuridis surat
paksa tersebut dianggap tidak ada karena tidak didahului dengan pengeluaran surat
teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis.

17

b) Pelaksanaan Surat Teguran


Menurut Rudy Suhartono dan Wirawan B Ilyas dalam bukunya Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (2010), Penerbitan Surat Teguran, Surat peringatan, atau
Surat lain yang sejenis merupakan awal tindakan penagihan pajak sehingga hal
tersebut menjadi pedoman tindakan penagihan pajak berikutnya yaitu penyampaian
Surat Paksa dan sebagainya.
Sesuai pasal 8 ayat (2) UU PPSP, Surat Teguran / Surat Peringatan atau Surat lain
yang sejenis diterbitkan apabila penganggung pajak tidak melunasi utang pajak
sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran Pasal 1 angka 10 UU PPSP
menyebutkan bahwa Surat Teguran, Surat peringatan atau surat lain yang sejenis
adalah Surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan
kepada wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya.

c) Penentuan Tanggal Jatuh Tempo


Dalam buku KUP oleh Rudy suhartono dan Wirawan B. Ilyas (2010;140),
Penentuan tanggal jatuh tempo dalam penerbitan Surat Teguran sangat penting karena
tanggal jatuh tempo menunjukkan timbulnya utang pajak dan juga mulai timbulnya
wewenang melakukaan penagihan pajak.
1) STP, SKPKB, SKPKBT, dan surat keputusan pembetulan, surat keputusan
keberatan, putusan banding, serta putusan peninjauan kembali, yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu
satu bulan setelah tanggal diterbitkan.

18

2) Bagi Wajib Pajak usah kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu sesuai dengan
ketentuan peraturan Perundang undangan perpajakan, jangka waktu pelunasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang menjadi paling lama 2
(dua) bulan
3) Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (SPT PBB) harus dilunasi dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak
4) SKPKB, SKPKBT, STP, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali dalam Bea atas
Perolehan Hak atas Tanah dan / atau Bangunan, yang menyebabkan jumlah Bea
yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak.
5) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas SKPKB/SKPKBT, jangka
waktu pelunasan pajak yang tidak disetunjui dalam pembahasan akhir hasil
pemerikasaan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan
Surat Keputusan Keberatan
6) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan
sehubungan SKPKB/SKPKBT, jangka waktu pelunasan pajak tertangguh sampai
dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
d) Penerbitan Surat Teguran
Dalam buku KUP Pelaksanaan penagihan pajak dilakukan dengan menerbitkan
Surat Teguran oleh Dirjen Pajak. Keputusan Dirjen Pajak yang menyetujui
penanggung

pajak

untuk

mengangsur

atau

menunda

pembayaran

pajak

mengakibatkan tidak adanya upaya penagihan pajak kecuali penanggung pajak tidak
menepati keputusan tersebut. Penerbitan Surat Teguran harus dilakukan dengan
mempertimbangkan upaya hukum Wajib Pajak karena upaya hukum keberatan dan

19

banding atas utang pajak mulai tahun pajak 2008 menyebabkan tertangguhnya jatuh
tempo dengan syarat Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya atas
SKPKB/SKPKBT dalam pembahasan akhir, adalah sebagai berikut:
1) Apabila Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak
yang terutang dalam pembahasan akhir dan ternyata tidak mengajukan
permohonan keberatan atas ketetapan hasil pemeriksaan tersebut, Surat Teguran
disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan.
Tujuan menunggu jatuh tempo pengajuan keberatan 3(tiga) bulan sejak
diterbitkannya SKPKB/SKPKBT karena dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak
mempunyai hak mengajukan permohonan keberatan
2) Apabila wajib pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang
terutang dalam pembahasan akhir dan tidak mengajukan upaya permohonan
banding atas keputusan keberatan SKPKB/SKPKBT, surat teguran disampaikan
setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding Tujuan menunggu
jatuh tempo pengajuan keberatan 3(tiga) bulan sejak diterbitkannya Surat
Keputusan atas keberatan SKPKB/SKPKBT karenadalam jangka waktu tersebut
Wajib Pajak masih mempunyai hak mengajukan permohonan banding
3) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang
masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Wajib Pajak
mengajukan:
a) Permohonan keberatan atas SKPKB/SKPKBT, Surat Teguran disampaikan
setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo berdasarkan Keputusan Keberatan
(jatuh tempo keputusan keberatan adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal
penerbitan keputusan tersebut)

20

b) Permohonan banding atas Keputusan Keberatan sehubungan dengan


SKPKB/SKPKBT,Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat
jatuh tempo berdasarkan putusan banding (jatuh tempo putusan banding
adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan putusan tersebut)
4) Dalam hal Wajib Pajak menyetujui jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Surat Teguran disampaikan setelah 7(tujuh)
hari sejak saat jatuh tempo pelunasan (1 bulan setelah tanggal penerbitan
SKPKB/SKPKBT)
5) Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan atas SKPKB/SKPKBT,
Surat Teguran disampaikan setelah 7(tujuh) hari sejak tanggal pencabutan
pengajuan keberatan tersebut. Surat Teguran dalam rangka penagihan pajak atas
utang Pajak Bumi dan Bangunan dan atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan sebagaimana tercantum dalam STP PBB, SKBKB, SKBKBT, atau
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah disampaikan
kepada Wajib Pajak setelah 7(tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo.
4. Surat Paksa
a) Pengertian Surat Paksa
Surat paksa sesuai Pasal 1 huruf 21 (UU KUP) dan Pasal 1 huruf 12 (UU
Penagihan Pajak) menyatakan bahwa surat paksa adalah surat perintah membayar
utang pajak dan biaya penagihan pajak. Surat paksa berkepala kata-kata Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Agar tercapai efektivitas dan
efisiensi penagihan pajak yang didasari dengan surat paksa, maka surat paksa
mempunyai kekuatan hukum eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan
grosse akte yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum

21

tetap. Dengan demikian, surat paksa langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan
putusan pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan banding. Dalam Pasal 7 ayat 2 (UU
Penagihan Pajak), disebutkan bahwa surat paksa sekurang-kurangnya harus memuat :
1) Nama Wajib Pajak atau nama Wajib Pajak dan penanggung pajak.
2) Dasar penagihan.
3) Besarnya utang pajak.
4) Perintah untuk membayar.
b) Pelaksanaan Surat Paksa
Menurut KUP Surat Paksa merupakan kegiatan pelaksanaan penagihan pajak yang
dilakukan setelah penerbitan Surat Teguran / Surat Peringatan atau sejenisnya.
Menurut pasal 1 angka 12 UU Penagihan Pajak, Surat Teguran, Surat Paksa adalah
surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
c) Penerbitan Surat Paksa
Secara teori surat paksa diterbitkan setelah surat teguran, surat peringatan atau
surat lain yang sejenis dikeluarkan oleh pejabat. Menurut pasal 8 (UU Penagihan
Pajak) menyatakan bahwa surat paksa diterbitkan apabila:
1) Penanggung pajak tidak melunais utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo
pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan
atau surat lain yang sejenis
2) Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan pajak seketika dan
sekaligus
3) Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak
d) Tata Cara Pemberitahuan Surat Paksa
Surat paksa diberitahukan oleh jurusita pajak dengan pernyataan dan penyerahan
salinan surat paksa kepada penanggung pajak. Pemberitahuan surat paksa kepada
penanggung pajak oleh jurusita pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi surat

22

paksa dan kedua belah pihak menandatangani berita acara sebagai pernyataan bahwa
surat paksa telah diberitahukan. Selanjutnya salinan surat paksa diserahkan kepada
penanggung pajak dan surat paksa yang asli diserahkan disimpan di kantor pejabat.
Pemberitahuan surat paksa dituangkan dalam berita acara yang sekurang-kurangnya
memuat hari dan tanggal pemberitahuan surat paksa, nama jurusita pajak, nama yang
menerima, dan tempat pemberitahuan surat paksa.
Tata cara pemberitahuan Surat Paksa diatur dalam pasal 10 ayat (1) UU PPSP
yaitu pemberitahuan Surat Paksa dilakukan oeh juru sita dengan pernyataan dan
penyerahan Surat Paksa kepada penanggung pajak yang dituangkan dalam berita
acara.
1) Berdasarkan Pasal 10 ayat 3 (UU Penagihan Pajak), surat paksa terhadap orang
pribadi diberitahukan oleh jurusita pajak kepada:
a) Penanggung pajak ditempat tinggal tempat usaha atau di tempat lain yang
memungkinkan
b) Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun bekerja di tempat
usaha penanggung pajak, apabila penanggung pajak yang bersangkutan tidak
dapat dijumpai
c) Salah seorang ahli waris atau pelaksanaan wasiat atau yang mengurus harta
peninggalannya, apabila Wajib Pajak meninggalk dunia dan harta warisan
belum dibagi
d) Para ahli waris apabila penanggung pajak yang telah meninggla dunia dan
harta warisan telah dibagi

2) Berdasarkan Pasal 10 ayat 4 (UU Penagihan Pajak), surat paksa terhadap badan
diberitahukan oleh jurusita pajak kepada:

23

a) Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik


modal, baik di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal
mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan, atau
b) Pegawai tetap di tempat kedudukan atau di tempat usaha badan yang
bersangkutan apabila jurusita pajak tidak dapat menjumpai salah seorang
sebagaimana dimaksud dalam huruf (a).
Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, surat paksa diberitahukan kepada
kurator, hakim pengawas atau Balai Harta Peninggalan, dan jika Wajib Pajak
dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, maka surat paksa diberitahukan kepada orang
atau badan yang dibebani untuk pemberesan atau likuidasi. Jika tidak dapat
dilaksanakan surat paksa disampaikan melalui pemerintah daerah setempat.
Dalam hal Wajib Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau
tempat kedudukannya, maka penyampaian surat paksa dilaksanakan dengan cara
menempelkan surat paksa pada papan pengumuman kantor pejabat yang
menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa, atau cara lain yang ditetapkan
oleh keputusan menteri atau keputusan kepala daerah.
5. Penyanderaan (Gijzeling)
a) Pengertian Penyanderaan (Gijzeling)
Menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa Pasal 1 Angka 21, yang dimaksud dengan penyanderaan adalah
pengekangan

sementara

waktu

kebebasan

Penanggung

Pajak

dengan

menempatkannya di tempat tertentu. Pasal ini memuat rumusan mengenai pengertian

24

istilah yang bersifat teknis dan baku yang digunakan dalam pelaksanaan
penyanderaan.
Rumusan pengertian mengenai penyanderaan diperlukan untuk mencegah adanya
salah penafsiran dalam melaksanakan ketentuan perundangan yang berlaku. Sehingga
diharapkan dapat memberi kemudahan dan kelancaran, baik bagi Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak maupun bagi fiskus dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.
Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang tidak
melunasi utang pajaknya setelah lewat jangka waktu 14 hari sejak tanggal Surat Paksa
diberitahukan kepada Penanggung Pajak. Penyanderaan hanya dapat dilakukan
apabila Penanggung Pajak memenuhi syarat kuantitatif dan syarat kualitatif untuk
dilakukannya penyanderaan sesuai dengan ketentuan Undangundang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.
Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak hanya dapat dilaksanakan berdasarkan
Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh pejabat setelah mendapat izin
tertulis dari Menteri Keuangan atau gubernur. Persyaratan izin penyanderaan dari
Menteri Keuangan atau gubernur dimaksudkan agar penyanderaan dilakukan secara
sangat selektif dan hati-hati. Oleh karena itu, pejabat tidak boleh menerbitkan Surat
Perintah Penyanderaan sebelum mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan atau
gubernur.
b) Syarat Penyanderaan
Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang
mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp100.000.000,00 (seratus juta upiah)
dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Penyanderaan merupakan

25

salah satu upaya penagihan pajak. Agar penyanderaan tidak dilaksanakan sewenangwenang dan juga tidak bertentangan dengan rasa keadilan bersama, maka diberikan
syarat-syarat tertentu, baik syarat yang bersifat kuantitatif, yakni harus memenuhi
utang pajak dalam jumlah tertentu, maupun syarat yang bersifat kualitatif, yakni
diragukan itikad baik Penanggung Pajak dalam melunasi utang pajak serta telah
dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa.
Dengan demikian, pejabat perlu mendapatkan data atau informasi yang akurat
yang diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk mengajukan permohonan izin
penyanderaaan. Penyanderaan hanya dilaksanakan secara sangat selektif, hati-hati,
dan merupakan upaya terakhir.
Dari uraian di atas tampak bahwa penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap
Penanggung Pajak yang memenuhi syarat kuantitatif dan syarat kualitatif berikut ini:
1) Syarat kuantitif dilaksanakannya penyanderan adalah Penanggung Pajak
mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) yang meliputi semua jenis pajak dan tahun pajak. Jumlah tersebut
menunjukkan bahwa penyanderaan tidak ditujukan kepada Penanggung Pajak
yang berpenghasilan kecil.
2) Syarat kualitatif dilaksanakannya penyanderaan adalah Penanggung Pajak
diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
Berdasarkan Pasal 3 huruf d Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-218/PJ/2003
tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik
Penanggung Pajak yang disandera, uraian tentang adanya petunjuk bahwa
Penanggung Pajak diragukan itikad baiknya dalam pelunasan utang pajak meliputi:

26

1) Penanggung Pajak tidak merespon himbauan untuk melunasi utang pajak;


2) Penanggung Pajak tidak menjelaskan/tidak bersedia melunasi utang pajak baik
sekaligus maupun angsuran;
3) Penanggung Pajak tidak bersedia menyerahkan hartanya untuk melunasi utang
pajak;
4) Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau
berniat untuk itu;
5) Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimilki atau yang dikuasai
dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau
pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
6) Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya atau menggabungkan
usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang
dimiliki atau dikuasai, atau melakukan perubahan bentuk lainnya.

c) Pelaksanaan Penyanderaan
Penyanderaan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan
yang diterbitkan oleh pejabat setelah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan
untuk penagihan pajak pusat atau dari gubernur untuk penagihan pajak daerah.2
Namun, apabila pejabat tersebut berhalangan dan pengganti pejabat tersebut belum
ditunjuk, atasan pejabat dapat mengajukan permohonan izin penyanderaan.
Permohonan izin penyanderaan memuat sekurang-kurangnya:
1)
2)
3)
4)

identitas Penanggung Pajak yang akan disandera;


jumlah utang pajak yang belum dilunasi;
tindakan penagihan pajak yang telah dilaksanakan; dan
uraian tentang adanya petunjuk bahwa Penanggung Pajak diragukan itikad baik
dalam pelunasan utang pajak.

27

Surat Perintah Penyanderaan diterbitkan olah pejabat seketika setelah diterimanya


izin tertulis dari Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat atau dari gubernur
untuk penagihan pajak daerah. Surat Perintah Penyanderaan memuat sekurangkurangnya:
1)
2)
3)
4)
5)

identitas Penanggung Pajak;


alasan penyanderaan;
izin penyanderaan;
lamanya penyanderaan; dan
tempat penyanderaan.
Pejabat yang berwenang untuk melaksanakan penyanderaan adalah jurusita pajak.

Dalam melaksanakan penyanderaan, jurusita pajak harus menyampaikan Surat


Perintah Penyanderaan langsung kepada Penanggung Pajak dan salinannya diserahkan
kepada kepala tempat penyanderaan. Penyanderaan dilaksanakan pada saat Surat
Perintah Penyanderaan diterima oleh Penanggung Pajak yang bersangkutan.
Penyanderaan dilaksanakan oleh jurusita pajak dengan disaksikan oleh dua orang
penduduk Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh jurusita pajak, dan dapat
dipercaya.
Hal ini dimaksudkan agar ada saksi yang menyaksikan bahwa penyanderaan telah
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam melaksanakan
penyanderaan, jurusita pajak dapat meminta bantuan kepolisian dan kejaksaan. Hal ini
dilakukan apabila jurusita pajak menemui kesulitan ataupun karena alasan keamanan
serta keselamatan jurusita pajak dan para saksi.
Apabila Penanggung Pajak yang akan disandera tidak dapat ditemukan, jurusita
pajak melalui pejabat atau atasan pejabat yang berwenang dapat meminta bantuan
pihak kepolisian atau kejaksaan untuk dapat menghadirkan Penanggung Pajak yang

28

tidak dapat ditemukan tersebut. Termasuk dalam pengertian menghadirkan


Penanggung Pajak adalah mencari, menangkap, dan membawa Penanggung Pajak ke
tempat pejabat untuk selanjutnya diserahkan kepada kepala tempat penyanderaan.
Setelah

melakukan

penyanderaan,

jurusita

pajak

membuat

Berita

Acara

Penyanderaan. Berita Acara Penyanderaan dibuat pada saat Penanggung Pajak


ditempatkan di tempat penyanderaan dan ditandatangani oleh jurusita pajak, kepala
tempat penyanderaan, dan para saksi.
Berita Acara Penyanderaan merupakan suatu dokumen yang penting dan
merupakan syarat formal sahnya penyanderaan dan berfungsi sebagai berita acara
serah terima Penanggung Pajak yang disandera dari jurusita pajak kepada kepala
tempat penyanderaan. Dengan demikian, tanggung jawab atas keberadaan
Penanggung Pajak selam dalam penyanderaan beralih kepada kepala tempat
penyanderaan.
Salinan Berita Acara Penyanderaan selanjutnya disampaikan oleh jurusita pajak
kepada kepala tempat penyanderaan, Penanggung Pajak yang disandera, dan bupati
atau walikota. Berita Acara Penyanderaan sekurang-kurangnya memuat:
1)
2)
3)
4)
5)
6)

nomor dan tanggal Surat Perintah Penyanderaan;


izin tertulis Menteri Keuangan atau gubernur;
identitas Penanggung Pajak yang disandera;
tempat penyanderaan;
lamanya penyanderaan; dan
identitas saksi penyanderaan.

29

d) Tempat Penyanderaan
Penanggung Pajak yang disandera ditempatkan di tempat tertentu sebagai tempat
penyanderaan dengan syarat-syarat antara lain:
1) tertutup dan terasing dari masyarakat;
2) mempunyai fasilitas terbatas; dan
3) mempunyai system pengamanan dan pengawasan yang memadai.
Sebelum tempat penyanderaan sebagaimana dimaksud di atas dibentuk,
Penanggung Pajak yang disandera dititipkan di rumah tahanan Negara dan terpisah
dari tahanan lain. Ketentuan lebih lanjut mengenai tempat penyanderaan Penanggung
Pajak ditetapkan dengan keputusan bersama Menteri Keuangan dan menteri yang
membidangi hukum dan perundang-undangan. Ketentuan yang akan ditetapkan dalam
keputusan bersama tersebut antara lain mengenai:
1) prosedur penitipan penanggung pajak yang disandera di rumah tahanan negara;
2) tanggung jawab atas Penanggung Pajak yang disandera selama dalam
penyanderaan;
3) kriteria pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; dan
4) tata tertib yang diberlakukan terhadap Penanggung Pajak yang disandera.
Sebagai pelaksanaan ketentuan di atas, Menteri Keuangan telah mengeluarkan
keputusan bersama dengan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada tahun
2003 dengan Keputusan Bersama Nomor M-03.JM.09201 Tahun 2003 dan Nomor
394/KMK.03/2003 tanggal 23 Juni 2003 tentang Tata cara Penitipan Penanggung
Pajak yang Disandera di Rumah Tahanan Negara dalam Rangka Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.
Keputusan Bersama ini berlakuk sejak tanggal ditetapkan, yaitu 23 Juni 2003 dan
telah digunakan dalam pelaksanaan penyanderaan terhadap wajib pajak atau

30

Penanggung Pajak yang dikenakan tindakan penyanderaan oleh fiskus, baik terhadap
pajak pusat maupun pajak daerah. Sesuai dengan Pasal 2 keputusan bersama tersebut,
ketentuan yang diatur dalam keputusan tersebut hanya berlaku bagi daerah tempat
penanggung pajak yang disandera yang belum ada tempat penyanderaannya yang
dibentuk oleh Kementerian Keuangan.
Berdasarkan keputusan bersama tersebut, jurusita pajak dapat menitipkan
Penanggung Pajak yang disandera berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang
diterbitkan oleh pejabat yang berwenang ke rumah tahanan negara. Kepala rumah
tahanan negara wajib menerima Penanggung Pajak yang disandera berdasarkan Surat
Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. Penyanderaan
mulai dilaksanakan pada saat Surat Perintah Penyanderaan diterima oleh Penanggung
Pajak yang disandera. Jurusita pajak membuat Berita Acara Penitipan Sandera yang
ditandatangani oleh jurusita pajak, kepala rumah tahanan Negara, dan saksi-saksi.
Penanggung Pajak yang disandera ditempatkan pada tempat penyanderaan di
dalam rumah tahanan Negara yang dipisahkan dengan tempat tahanan tersangka
tindak pidana. Hal ini sesuai dengan pengertian tempat penyanderaan, yaitu rumah
tahanan Negara yang dijadikan tempat pengekangan sementara waktu kebebasan
Penanggung Pajak yang terpisah dari tahanan lain.
Pemisahan Penanggung Pajak yang disandera dari tahanan tersangka tindak
pidana dilakukan berdasarkan jenis kelamin Penanggung Pajak yang disandera. Selain
itu, kepala rumah tahanan Negara wajib memperhatikan penempatan Penanggung
Pajak yang disandera yang berada dalam kondisi tertentu, antara lain sakit keras,
mengidap penyakit menular, atau mengidap gangguan jiwa. Hal ini dimaksudkan

31

untuk menjaga kesehatan dan keselamatan Penanggung Pajak yang disandera dan juga
tahanan lainnya yang ada dalam rumah tahanan Negara tersebut.
Setiap rumah tahanan Negara yang ditunjuk sebagai tempat penyanderaan harus
memiliki administrasi yang baik tentang Penanggung Pajak yang disandera. Oleh
karena itu, setiap penerimaan Penanggung Pajak yang disandera harus dicatat dalam
buku register daftar Penanggung Pajak yang disandera. Penerimaan ini meliputi:
1)
2)
3)
4)
5)
6)

penelitian surat sebagai dasar penyanderaan;


pencocokan nama Penanggung Pajak yang disandera;
penggeledahan badan atau barang;
pengambilan sidik jari;
pengambilan foto; dan
pemeriksaan kesehatan oleh dokter/paramedis rumah tahanan Negara.
Penggeledahan badan atau barang yang dilakukan terhadap Penanggung Pajak

yang disandera dimaksudkan agar Penanggung Pajak tidak membawa barang atau
senjata berbahaya dan juga barang yang dilarang untuk dibawa oleh Penanggung
Pajak selama disandera. Apabila Penanggung Pajak yang disandera adalah wanita,
penggeledahan badan atau barang dilakukan oleh petugas wanita.
Dalam hal tidak terdapat petugas wanita, penggeledahan dilakukan oleh polisi
wanita atau istri petugas rumah tahanan negara. Petugas dalam melakukan
penggeledahan wajib melakukan sesuai etika penggeledahan yang ditentukan. Semua
barang atau uang yang diperoleh dari penggeledahan dicatat dalam register khusus
dan ditandatangani oleh petugas dan Penanggung Pajak yang disandera. Apabila
ditemukan barang berbahaya atau barang terlarang, barang tersebut dapat dirampas
atau dimusnahkan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Sesuai
dengan sifat penyanderaan yang penempatannya tertutup dan terasing dari masyarakat

32

dan mempunyai pengamanan dan pengawasan memadai, setiap Penanggung Pajak


yang disandera dilarang membawa telepon genggam atau peralatan elektronik lain
yang dapat menghubungi seseorang di luar rumah tahanan negara.
Setiap Penanggung Pajak yang disandera yang dititipkan di dalam rumah tahanan
negara wajib dirawat oleh petugas rumah tahanan negara dengan memberikan
makanan, tempat tidur, pelayanan kesehatan, baik jasmani maupun rohani, dan
keperluan lainnya. Dalam hal tertentu Penanggung Pajak yang disandera dapat
menyediakan fasilitas terbatas yang layak untuk kebutuhannya sendiri dalam rumah
tahanan negara setelah mendapat persetujuan dari kepala rumah tahanan.

e) Hak Penanggung Pajak Selama Penyanderaan


Selama dalam penyanderaan Penanggung Pajak berhak untuk:
1) melakukan ibadah di tempat penyanderaan sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing;
2) memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
3) mendapat makanan yang layak termasuk menerima kiriman dari keluarga;
4) menyampaikan keluhan tentang perlakukan petugas;
5) memperoleh bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya Penanggung Pajak
yang disandera; dan
6) menerima kunjungan dari keluarga dan sahabat; dokter pribadi atas biaya sendiri;
dan rohaniawan.
Penanggung Pajak yang disandera dapat mengikuti kegiatan pembinaan jasmani
atau rohani yang diselenggarakan oleh rumah tahanan negara. Penanggung Pajak yang
disandera berhak untuk melaksanakan atau menunaikan ibadah sesuai dengan agama
dan kepercayaannya masing-masing dalam rumah tahanan negara. Untuk hal ini,

33

kepala rumah tahanan negara mengatur pelaksanaan pembinaan jasmani atau rohani.
Setiap Penanggung Pajak yang disandera berhak mendapatkan perawatan kesehatan
yang layak. Perawatan kesehatan tersebut dilakukan oleh dokter/paramedis rumah
tahanan negara yang bertugas. Dalam kondisi tertentu, untuk perawatan Penanggung
Pajak yang disandera, kepala rumah tahanan Negara dapat melakukan kerja sama
dengan rumah sakit.
Penanggung Pajak yang disandera yang menderita sakit keras dapat dirawat di
rumah sakit di luar rumah tahanan Negara setelah memperoleh izin dari pejabat yang
berwenang yang menyandera. Apabila Penanggung Pajak yang disandera menderita
sakit keras mendadak yang memerlukan tindakan cepat, petugas rumah tahanan
Negara dapat segera membawanya ke rumah sakit/klinik kesehatan terdekat dan
memberitahukan kepada pejabat yang berwenang dan kepolisian untuk pengawalan.
Hal yang sama juga berlaku terhadap Penanggung Pajak yang disandera yang
menderita gangguan jiwa. Dalam hal demikian, masa perawatan medis di luar rumah
tahanan Negara tidak dihitung sebagai masa penyanderaan.
Apabila Penanggung Pajak yang disandera meninggal dunia di rumah tahanan
Negara karena sakit, kepala rumah tahanan Negara segera memberitahukannya
kepada pejabat yang menyandera dan keluarga dari Penanggung Pajak yang disandera
disertai dengan berita acara kematian. Pemberitahuan dan berita acara kematian
disampaikan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal
Pemasyarakatan, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia, serta kepolisian. Barang atau uang milik Penanggung Pajak yang disandera
yang meninggal dunia tersebut diserahkan kepada keluarganya dengan tanda bukti
penerimaan.

34

Penanggung Pajak yang disandera selama dalam rumah tahanan Negara tidak
dikenakan wajib kerja. Hal ini dapat dipahami mengingat Penanggung Pajak yang
disandera tidak melakukan tindak pidana, melainkan hanyalah belum melunasi utang
pajaknya. Oleh karena itu, Penanggung Pajak yang disandera tidak boleh disamakan
dengan narapidan lainnya yang ada dalam rumah tahanan Negara yang memang
diwajibkan untuk melakukan wajib kerja. Penanggung Pajak yang disandera berhak
menyampaikan keluhan baik kepada pejabat yang menyandera maupun kepada kepala
rumah tahanan Negara. Penanggung Pajak yang disandera juga berhak mendapat
kunjungan keluarga, pengacara, dan sahabat setelah mendapat izin dari pejabat
berwenang yang menyandera. Kunjungan ini paling banyak tiga kali dalam seminggu
selama tiga puluh menit untuk setiap kali kunjungan.
Petugas rumah tahanan Negara meneliti, mencatat izin kunjungan, dan memeriksa
barang yang dibawa oleh pengunjung untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.
Dalam hal terdapat barang yang dilarang dibawa sesuai dengan peraturan yang
ditetapkan oleh kepala rumah tahanan Negara, petugas langsung menyimpan barang
tersebut dan dikembalikan kepada pengunjung setelah kujungan selesai. Penanggung
Pajak yang disandera memiliki kewajiban untuk mengikuti ketentuan yang ditetapkan
dalam rumah tahanan Negara. Apabila melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selama dalam rumah tahanan Negara,
Penanggung Pajak yang disandera wajib mematuhi tata tertib dan disiplin di tempat
penyanderaan.
Kepala rumah tahanan Negara memerintahkan pemeriksaan terhadap Penanggung
Pajak yang disandera apabila terjadi pelanggaran tata tertib dan disiplin. Jika terbukti
terjadi adanya pelanggaran, kepala rumah tahanan Negara memberitahukan kepada

35

pejabat atau instansi yang melakukan penyanderaan. Jika pelanggaran tersebut


merupakan suatu tindak pidana, kepala rumah tahanan Negara melaporkan hal
tersebut kepada kepolisian terdekat agar dapat diambil tindakan sesuai dengan hukum
yang berlaku di Indonesia.
f) Jangka Waktu Penyanderaan
Jangka waktu penyanderaan terhadap Penanggung Pajak adalah paling lama enam
bulan terhitung sejak Penaggung Pajak ditempatkan dalam tempat penyanderaan dan
dapat diperpanjang untuk selama-lamanya enam bulan.4 Izin perpanjangan jangka
waktu penyanderaan dapat sekaligus diberikan oleh Menteri Keuangan atau gubernur
yang berwenang pada waktu memberikan izin penyanderaan.
Apabila izin perpanjangan penyanderaan sekaligus diberikan, maka tidak
diperlukan suatu izin baru. Ketentuan jangka waktu maksimum penyanderaan ini
tidak berlaku jika sandera melarikan diri. Penentuan lamanya penyanderaan
didasarkan pada perhitungan besarnya utang pajak, besarnya jumlah harta yang
disembunyikan, dan dihubungkan dengan itikad tidak baik Penanggung Pajak untuk
melunasi utang pajaknya.
g) Larangan Penyanderaan
Penyanderaan dilaksanakan pada saat Surat Perintah Penyanderaan diterima oleh
Penanggung Pajak yang bersangkutan. Namun, dalam hal tertentu jurusita pajak tidak
dapat langsung melakukan penyanderaan terhadap wajib pajak. Undang-undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa menetapkan bahwa penyanderaan tidak boleh
dilaksanakan apabila Penanggung Pajak sedang beribadah , atau sedang mengikuti
sidang resmi, atau sedang mengikuti pemilihan umum.

36

Hal ini dimaksudkan untuk menghormati hak asasi Penanggung Pajak dalam
melaksanakan ibadah, pekerjaan, dan hak politiknya. Hanya saja, hal ini tidak boleh
dijadikan

alasan

oleh

Penanggung

Pajak

untuk

menghindari

pelaksanaan

penyanderaan. Artinya, segera setelah Penanggung Pajak selesai melaksanakan


ibadah, sidang resmi, ataupun pemilihan umum jurusita pajak dapat melakukan
penyanderaan terhadapnya.
h) Pelepasan Sandera
Penanggung Pajak yang disandera akan dilepas apabila telah memenuhi
persyaratan yang ditentukan. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)

Utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas.


Jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan telah dipenuhi.
Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan atau gubernur, yaitu:
a) Penanggung Pajak sudah membayar utang pajak 50% (lima puluh persen) atau
lebih dari jumlah utang pajak/sisa utang pajak, dan sisanya akan dilunasi
dengan angsuran;
b) Penanggung Pajak sanggup melunasi utang pajak dengan menyerahkan bank
garansi;
c) Penanggung Pajak sanggup melunasi utang pajak dengan menyerahkan harta
kekayaannya yang sama nilainya dengan utang pajak dan biaya penagihan
pajak;
d) Penanggung Pajak telah berumur 75 (tujuh puluh lima) tahun atau lebih;
e) Untuk kepentingan perekonomian negara dan kepentingan umum.
Sebelum Penanggung Pajak dilepas sebagaimana dimaksud pada poin a, c, dan d

di atas, pejabat yang berwenang segera memberitahukan secara tertulis kepada tempat
penyanderaan sebagaimana tercantum dalam Surat Perintah Penyanderaan.

37

Pemberitahuan ini wajib disampaikan oleh pejabat yang menyandera secara


tertulis dalam jangka waktu 24 jam. Hal ini dimaksudkan agar kepala tempat
penyanderaan dapat melepaskan Penanggung Pajak yang disandera. Penghitungan dan
penentuan tanggal pelepasan Penanggung Pajak yang disandera sebagaimana
dimaksud dalam poin 2 di atas ditetapkan oleh kepala rumah tahanan negara.
Selanjutnya kepala tempat penyanderaan segera memberitahukan secara tertulis
kepada pejabat apabila Penanggung Pajak telah dilepas dari penyanderaan.
i) Gugatan Penanggung Pajak
Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap
pelaksanaan penyanderaan hanya kepada pengadilan negeri. Adanya hak untuk
mengajukan gugatan ini adalah untuk memberikan keadilan bagi Penanggung Pajak
apabila terjadi kesalahan dalam pelaksanaan penyanderaan yang tentunya merugikan
Penanggung Pajak yang bersangkutan.
Pengajuan gugatan atas pelaksanaan penyanderaan dilakukan bukan atas materi
utang pajak, tetapi lebih kepada masalah prosedural ketika Jurusita Pajak
melaksanakan penyanderaan. Oleh karena itu pengajuannya ke Pengadilan Negeri
bukan ke Pengadilan Pajak. Misalnya, Jurusita Pajak tidak membawa surat tugas
ketika melaksanakan penyanderaan, Penanggung Pajak mengalami kekerasan fisik
dalam proses penyanderaan.
Jadi gugatan tersebut cenderung diajukan terhadap pelaksanaan penyanderaan
yang tidak sesuai dengan Undang-undang. Hanya saja Penanggung Pajak harus
memperhatikan ketentuan tentang waktu pengajuan gugatan, yaitu selama
Penanggung pajak dalam penyanderaan. Penanggung Pajak tidak dapat mengajukan

38

gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan setelah masa penyanderaan berakhir.


Putusan atas gugatan Penanggung Pajak dapat saja terjadi setelah masa penyanderaan
berakhir. Apabila dikabulkan, Penanggung Pajak berhak atas ganti rugi dan
rehabilitasi nama baik.
j) Rehabilitasi dan Ganti Rugi
Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik dan
ganti rugi apabila gugatan Penanggung Pajak dikabulkan oleh Pengadilan Negeri dan
putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Permohonan rehabilitasi
nama baik dan ganti rugi dari Penanggung Pajak yang disandera diajukan kepada
pejabat yang menerbitkan Surat Perintah Penyanderaan. Rehabilitasi nama baik
dilaksanakan oleh pejabat dalam bentuk satu kali pengumuman pada media cetak
harian yang berskala nasional dengan ukuran yang memadai yang dilakukan paling
lambat 30 hari sejak diterimanya permohonan rehabilitasi nama baik Penanggung
Pajak.
Besarnya ganti rugi yang diberikan pejabat kepada wajib pajak atau Penanggung
Pajak adalah sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap hari selama masa
penyanderaan yang telah dijalaninya. Besarnya ganti rugi terhadap Penanggung Pajak
yang disandera tersebut dapat berubah dan ditetapkan dengan keputusan Menteri
Keuangan.
Ganti rugi diberikan kepada Penanggung Pajak paling lambat 30 hari sejak
diterimanya permohonan ganti rugi yang diajukan oleh Penanggung Pajak. Tata cara
pemberian ganti rugi ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
k) Penanggung Pajak yang Melarikan Diri

39

Penanggung pajak yang melarikan diri dari tempat penyanderaan disandera


kembali berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan dahulu diterbitkan terhadapnya.
Oleh karena itu, apabila Penanggung Pajak yang disandera melarikan diri, kepala
rumah tahanan Negara harus melaporkannya kepada pejabat yang berwenang agar
dilakukan tindakan pencarian dan penangkapan, bersama dengan aparat kepolisian
terhadap Penanggung Pajak tersebut. Masa penyanderaan kembali terhadap
Penanggung Pajak yang melarikan diri adalah sama dengan masa penyanderaan
menurut Surat Perintah Penyanderaan yang dahulu diterbitkan terhadapnya tanpa
memperhitungkan masa penyanderaan yang telah dijalani sebelum Penanggung Pajak
melarikan diri. Hal ini merupakan hukuman terhadapnya karena telah melakukan
perlawanan terhadap Negara.
B. Penelitian Terdahulu
Mulyatsih (2005) melakukan penelitian mengenai Pengaruh Lembaga Sandera
(gijzeling) Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak/ Penanggung Pajak yang hasil
penelitiannya yaitu lembaga sandera (Gijzeling) baru bisa berpengaruh secara terbatas
kepada wajib pajak/penanggung pajak yang disandera. Kemudian lembaga sandera
(gijzeling) memerlukan waktu yang panjang untuk menunjukkan eksistensinya dalam
memberi dampak positif (deferent effect) terhadap wajib pajak/ penanggung pajak
lainnya untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai ketentuan yang berlaku.
Andi Marduati (2012) dalam skripsinya yang berjudul Pengaruh Penagihan Pajak
Dengan Surat Teguran dan Surat Paksa Terhadap Pencairan Tunggakan Pajak di
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Barat mengemukakan bahwa jumlah surat

40

teguran dan surat paksa yang diterbitkan berpengaruh signifikan terhadap pencairan
tunggakan pajak di KPP Pratama Makassar Barat.
C. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan ruang lingkup penelitian, landasan teori, dan penelitian sebelumnya
yang telah diuraikan di atas, maka penulis menarik hipotesis sebagai anggapan
sementara yaitu:
H1: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara surat teguran dan surat paksa
terhadap pencairan tunggakan pajak di KPP Pratama Palu.
H2: Terdapat pengaruh yang signifikan antara surat teguran dan surat paksa terhadap
pencairan tunggakan pajak di KPP Pratama Palu.
H3: Tidak terdapat perbedaan pengaruh surat teguran dan surat paksa terhadap
pencairan tunggakan pajak antara sebelum dan sesudah dilakukannya penyanderaan
(gijzeling) terhadap wajib pajak di KPP Pratama Palu.
H4: Terdapat perbedaan pengaruh surat teguran dan surat paksa terhadap pencairan
tunggakan pajak antara sebelum dan sesudah dilakukannya penyanderaan (gijzeling)
terhadap wajib pajak di KPP Pratama Palu.

41

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
a) Gambaran Umum Objek Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada Wajib Pajak yang memiliki tunggakan pajak di
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Palu. KPP Pratama Palu merupakan unit kerja
vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang mempunyai tugas melaksanakan penyuluhan,
pelayanan, pengawasan, dan penagihan Wajib Pajak di bidang Pajak Penghasilan,
Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Tidak Langsung
Lainnya, Pajak Bumi dan dalam wilayah wewenangnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Wilayah yang dimaksud yaitu Kota Palu,
Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Parigi Moutong.
KPP Pratama Palu berada di Jalan M. Yamin 94, Lolu Utara, Palu. Dalam
melaksanakan tugasnya KPP Pratama menyelenggarakan fungsi :
1. pengumpulan, pencarian dan pengolahan data, pengamatan potensi perpajakan,
penyajian informasi perpajakan, pendataan objek dan subjek pajak, serta penilaian
objek Pajak Bumi dan Bangunan;
2. penetapan dan penerbitan produk hukum perpajakan;
3. pengadministrasian dokumen dan berkas perpajakan, penerimaan dan pengolahan
Surat Pemberitahuan, serta penerimaan surat lainnya;
4. penyuluhan perpajakan;
5. pelaksanaan registrasi Wajib Pajak;
6. pelaksanaan ekstensifikasi;
7. penatausahaan piutang pajak dan pelaksanaan penagihan pajak;
8. pelaksanaan pemeriksaan pajak;
9. pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak;
10. pelaksanaan konsultasi perpajakan;
11. pelaksanaan intensifikasi;
12. pembetulan ketetapan pajak;
13. pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;
14. pelaksanaan administrasi kantor.

42

Untuk menyelenggarakan fungsi tersebut KPP Pratama Palu didukung oleh seksiseksi yang dirinci sebagai berikut:
1. Subbagian Umum
2. Seksi Pengolahan Data dan Informasi
3. Seksi Pelayanan
4. Seksi Penagihan
5. Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal
6. Seksi Ekstensifikasi Perpajakan
7. Seksi Pengawasan dan Konsultasi I
8. Seksi Pengawasan dan Konsultasi II
9. Seksi Pengawasan dan Konsultasi III
10. Seksi Pengawasan dan Konsultasi IV
11. Kelompok Fungsional Pemeriksa Pajak
Untuk mempermudah pelayanan terhadap Wajib Pajak KPP Pratama Palu dibantu
oleh dua buah Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan(KP2KP)
yaitu KP2KP Parigi dan KP2KP Banawa yang mempunyai tugas melakukan urusan
pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan kepada masyarakat serta membantu
Kantor Pelayanan Pajak Pratama dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas KP2KP menyelenggarakan fungsi:
1. pelaksanaan penyuluhan, sosialisasi, dan pelayanan konsultasi perpajakan kepada
masyarakat;
2. pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak;
3. bimbingan dan konsultasi teknis perpajakan kepada Wajib Pajak;
4. pemberian pelayanan kepada masyarakat di bidang perpajakan dalam rangka
membantu Kantor Pelayanan Pajak Pratama;
5. pelaksanaan administrasi kantor.
b) Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
langsung dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Palu berupa laporan kinerja seksi

43

penagihan, laporan penerimaan pajak, serta data-data lain yang terkait. Data-data yang
nantinya akan dianalisis dan ditarik kesimpulan, dikumpulkan dengan menggunakan
teknik tertentu yang disebut teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi. Pengumpulan data tersebut
diperoleh dari dokumen-dokumen yang merupakan data olahan dari instansi terkait.
Selain itu, data yang digunakan untuk mendukung hasil penelitian berasal dari
literatur, artikel, dan berbagai sumber lain yang berhubungan dengan masalah
penelitian. Data yang diteliti adalah data surat teguran, surat paksa, dan pencairan
tunggakan pajak KPP Pratama Palu sebelum penyanderaan (gijzeling) yaitu pada
bulan Januari s.d Juni 2015 dan sesudah penyanderaan (gijzeling) yaitu pada kurun
waktu bulan Juli s.d. Desember 2015.
c) Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Sesuai dengan rumusan masalah, untuk melihat pengaruh penagihan pajak dengan
surat teguran dan surat paksa terhadap pencairan tunggakan pajak dan melihat
perbedaannya sebelum dan sesudah dilakukannya penyanderaan (gijzeling), maka
variabel operasional yang digunakan dalam penelitian ini melibatkan tiga variabel
yang terdiri atas dua variabel independen (bebas) dan satu variable dependen (terikat)
yaitu:
1) Surat Teguran
Surat teguran adalah surat yang diterbitkan oleh KPP untuk menegur atau
memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya. Variabel surat

44

teguran yang diterbitkan dilihat dari banyaknya jumlah nominal surat teguran yang
diterbitkan
2) Surat Paksa
Surat Paksa adalah surat perintah yang dikeluarkan oleh KPP dan dilakukan oleh
juru sita untuk memaksa Wajib Pajak melunasi utang pajak dalam jangka waktu
tertentu. Penagihan pajak dengan surat paksa, dalam hal ini dilihat dari jumlah
nominal surat paksa yang diterbitkan.
3) Pencairan Tunggakan Pajak
Pencairan tunggakan pajak adalah segala bentuk pencairan yang berkaitan dengan
tunggakan pajak yang disetorkan ke kas negara yang dapat berupa pembayaran,
penghapusan, pemindahbukuan, maupun keberatan. Variabel pencairan tunggakan
pajak dilihat dari jumlah pembayaran atas pajak yang terutang yang didasarkan pada
STP, SKP, SKPKB, SKPKBT.
Dalam penelitian ini, yang menjadi varibel terikatnya adalah pencairan tunggakan
pajak, sedangkan yang menjadi variable bebasnya adalah nilai surat teguran dan nilai
surat paksa, yaitu nominal rupiah yang tercantum dalam masing-masing surat paksa
dan surat teguran.

d) Metode Analisis Data


Setelah data terkumpul, kemudian dilakukan analisis data. Aplikasi perangkat
lunak yang digunakan dalam menganalisis data pada penelitian ini adalah Statistical
Product and Service Solution (SPSS). Metode-metode yang digunakan untuk
menganalisis data dan menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

45

a. Uji Asumsi Klasik


1) Uji Normalitas Data
Uji Normalitas Data bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model
regresi, variable bebas, variable terikat, ataupun keduanya mempunyai distribusi
normal atau tidak dengan menggunakan P-P Plot. Model regresi yang baik adalah
distribusi data normal atau mendekati normal. Deteksi normalitas dengan melihat
penyebaran data atau titik pada sumbu diagonal dari grafik. Dasar pengambilan
keputusan jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis
diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model
regresi memenuhi asumsi normalitas. Sedangkan jika data menyebar jauh dari
diagonal dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogram tidak
menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi
normalitas (Ghozali, 2005:112).
2) Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variable bebas. Jika terjadi maka terdapat masalah
multikolinearitas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara
variable bebas. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas di dalam model
regresi dalat dilihat dari nilai Tolerace (TOL) dan lawannya Variance Inflation Factor
(VIF). Model regresi dapat dikatakan terbebas dari masalah multikolinearitas apabila
nilai tolerance tidak kurang dari 0,1 atau TOL > 0,1 dan VIF tidak lebih dari 10
atau VIF < 10 (Ghozali, 2005:91-92)
3) Uji Autokorelasi

46

Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah sebuah regresi linear ada
korelasi di antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada
periode t-1 sebelumnya. Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem
autokorelasi (Ghozali, 2005:95). Model regresi yang baik adalah yang terbebas dari
problem autokorelasi.
Tabel 3.1
Keputusan Durbin Watson
Hipotesis Nol
Tidak ada autokorelasi positif
Tidak ada autokorelasi positif
Tidak ada autokorelasi negatif
Tidak ada autokorelasi negatif
Tidak ada autokorelasi, positif atau

Keputusan
Tolak
No decision
Tolak
No decision
Tidak ditolak

Jika
0 < d < dl
dl d du
4-dl < d <4
4-du d 4-dl
Du < d < 4-du

negative
4) Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model
regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual suatu pengamatan ke pengamatan
yang lain. Jika varians dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap,
maka

disebut

heteroskedastisitas.

heteroskedastisitas. Salah

satu

Model

cara

untuk

regresi

yang

mendeteksi

baik
ada

tidak
atau

terjadi
tidaknya

heteroskedastisitas yaitu dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi varibel terikat
(Y) dengan residualnya (X). Dasar pengambilan keputusan dari analisis ini adalah,
jika ada pola tertentu seperti titik-titik yang ada membentuk suatu pola tertentu yang
teratur maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas. Sebaliknya jika tidak

47

ada pola yang jelas, serta titik-titik yang menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada
sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2005:105).
b. Uji Hipotesis
1) Uji R2 (Koefisien Determinasi)
Uji koefisien determinasi pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan
model dalam menerangkan variasi variable dependen. Nilai koefisien determinasi
adalah antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variable-variabel
independen dalam menjelaskan variasi variable dependen amat terbatas. Nilai yang
mendekati satu berarti variable-variabek independen memberikan hamper semua
informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variable dependen (Ghozali, 2005:83).
Selanjutnya dengan menghitung koefisien determinasi yang merupakan kuadrat dari
koefisien korelasi (r), akan diketahui seberapa besar hubungan variable bebas (x)
terhadap variable terikat (y).
2) Uji-F (simultan)
Uji statistik F dilakukan untuk mengetahui hubungan variable-variabel
independen secara bersama-sama (simultan) terhadap variable dependennya. Untuk
mengetahui apakah variable-variabel independen secara simultan mempengaruhi
variable dependen, maka digunakan tingkat signifikasi sebesar 0,05. Jika nilai
probabilitas F lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima, sedangkan jika niali
probabilitas lebih kecil dari 0, 05 maka H0 ditolak (Ghozali, 2005:84)
3) Uji-t (Parsial)
Setelah dilakukan uji-F untuk mengetahui hubungan variable-variabel secara
simultan, maka selanjutnya dilakukan uji-t untuk mengetahui hubungan antara

48

variable independen secara parsial terhadap variable dependennya. Untuk mengetahui


ada tidaknya pengaruh masing-masing variable independen secara individual terhadap
variable

dependen

digunakan

tingkat

signifikansi

0,05,

sedangkan

untuk

membandingkan nilai statistic t dengan titik kritis menurut table digunakan dengan
ketentuan bahwa apabila nilai statistic t-hitung lebih tinggi dibandingkan nilai table,
maka menerima hipotesis alternative yang menyatakan bahwa suatu variable
independen secara individual mempengaruhi variable dependen (Ghozali, 2005:85)
e) Hasil yang Diharapkan
Penulis mengharapkan agar penelitian ini dapat membuktikan deterent effect dari
penyanderaan (gijzeling) terhadap percepatan pencairan tunggakan pajak yang
dilakukan melalui surat teguran dan surat paksa. Sehingga penegakan hukum di
bidang perpajakan dapat lebih ditingkatkan untuk memberikan peningkatan kepatuhan
wajib pajak secara keseluruhan.

49

BAB IV
PEMBAHASAN

A. PERAN JURUSITA PAJAK


Pelaksanaan kegiatan penagihan pajak dilakukan oleh jurusita masing-masing
kantor pelayanan pajak. Penagihan ini dimulai sejak Surat Ketetapan Pajak atau Surat
Tagihan Pajak sudah jatuh tempo masa pembayarannya, yaitu satu bulan sejak tanggal
terbitnya. Menurut peraturan perundang-undangan tentang Penagihan dengan Surat
Paksa (PPSP), surat teguran sebagai langkah pertama dalam penagihan aktif,
diterbitkan tujuh hari setelah tanggal jatuh tempo pembayaran. Jika wajib pajak tetap
tidak memenuhi kewajiban pajaknya dengan membayar tunggakan pajaknya dalam 21
hari sejak diterbitkannya surat teguran, maka diterbitkan surat paksa yang memaksa
wajib pajak untuk melunasi tunggakan pajaknya dalam 2x24 jam sejak surat paksa
diterima

oleh

wajib

pajak/penunggak

pajak.

Langkah

selanjutnya

adalah

diterbitkannya Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP). Dalam waktu 14 hari

50

sejak SPMP diterbitkan, maka jurusita akan melaksanakan pengumuman lelang dan
melakukan lelang 14 hari setelah pengumuman tersebut.
Jurusita Pajak yang bertugas dalam melakukan penagihan aktif mempunyai
tanggung jawab yang berat. Pada pelaksanaannya jurusita pajak harus berhadapan
langsung dengan wajib pajak/penganggung pajak. Tujuan penagihan aktif ini
dilakukan adalah agar wajib pajak/penanggung pajak melunasi tunggakan pajaknya
ditambah biaya untuk menagih besarnya tunggakan pajak tersebut. Tindakan
penagihan pajak yang dilakukan oleh jurusita pajak akan menjadi tolok ukur dalam
pelunasan tunggakan pajak. Penyampaian surat teguran, surat paksa, surat perintah
melaksanakan penyitaan, hingga pelaksanaan lelang akan terasa sia-sia apabila
tunggakan pajak dan biaya penagihannya tidak dilunasi oleh wajib pajak/penanggung
pajak.
B. HASIL ANALISIS DAN PENGUJIAN HIPOTESIS
A. Uji Asumsi Klasik
a. Hasil Uji Normalitas Data
Uji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan Normality Probability
Plot yang bertujuan untuk menguji apakah data dalam penelitian ini terdistribusi
normal atau tidak.
Gambar 4.1 Sebelum Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)

51

Gambar 4.2 Output Hasil Uji Normalitas


Sesudah Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)

52

Dari dua gambar di atas dapat diketahui bahwa titik-titik data berada di sekitar
garis diagonal dan penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa data sebelum dilakukan maupun sesudah dilakukannnya
Penyanderaan (Gijzeling) dalam penelitian ini adalah data yang berdistribusi normal
yang artinya uji normalitas terpenuhi.
b. Hasil Uji Multikolinieritas
Analisis Hasil Uji Multikolinieritas dengan SPSS disajikan output pada table
Coefficients yang ada dibawah ini:

Tabel 4.1 Output Pengujian Multikolinieritas


Sebelum Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)

53

Coefficientsa

Model
1

Collinearity Statistics
Tolerance
VIF
(Constant)

Surat Teguran
,627
Surat Paksa
,627
a. Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak

1,596
1,596

Tabel 4.2 Output Pengujian Multikolinieritas


Sesudah Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)
Coefficientsa

Model
(Constant)
Surat Teguran
Surat Paksa

Collinearity Statistics
Tolerance
VIF
,894
,894

1,119
1,119

a. Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak

Sumber: Data Sekunder yang Diolah


Dengan menggunakan besaran tolerance () dan variance inflation factor (VIF)
dapat dilihat bahwa VIF surat teguran dan surat paksa dari data sebelum maupun
sesudah dilakukannya penyanderaan masing-masing lebih kecil dari 10, yaitu adalah
1,596 dan 1,119. Kemudian semua tolerance variable bebas diatas masing-masing
lebih dari 10%, yaitu (0,627=62,7%) dan (0,894=89,4%), sehingga dapat disimpulkan
bahwa antar variable bebas pada data sebelum maupun sesudah dilakukannya
penyanderaan tidak terjadi multikolinieritas dan tidak ada multikolonieritas dalam
model regresi penelitian ini.

c. Hasil Uji Autokorelasi

54

Tabel 4.3 Output Pengujian Autokorelasi


Sebelum Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)
Model
1

R Square
a

,705

Model Summaryb
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate

,497

,385

Durbin-Watson

61991805,723

2,287

a. Predictors: (Constant), Surat Paksa, Surat Teguran


b.Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak

Tabel 4.4 Output Pengujian Autokorelasi


Sesudah Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)
Model Summaryb
Adjusted R
Std. Error of the
Model
R
R Square
Square
Estimate
1
,743a
,551
,452
972508404,338
a. Predictors: (Constant), Surat Paksa, Surat Teguran
b. Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak

Durbin-Watson
1,745

Dari hasil output SPSS seperti di atas, dapat diketahui angka Durbin-Watson data
sebelum maupun sesudah dilakukannya penyanderaan masing-masing adalah sebesar
2,287 dan 1,238. Nilai-nilai ini akan dibandingkan dengan nilai table dengan
menggunakan tingkat signifikansi 5%, jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu n=12
dan jumlah variable independen k=2. Pada table Durbin-Watson akan didapat nilai dl
sebesar 0,812 dan du sebesar 1,579. Karena 2,287 > 1,579 (batas atas), dan kurang
dari 4 - 1,579, disimpulkan keputusannya tidak ada autokorelasi, baik positif maupun
negative. Sedangkan data setelah penyanderaan 1,745 > 1,579 (batas atas), dan kurang
dari 4 - 1,579, disimpulkan keputusannya tidak ada autokorelasi, baik positif maupun
negative. Jadi dapat disimpulkan dalam kedua data diatas tidak terjadi autokorelasi.

d. Hasil Uji Heteroskedastisitas

55

Gambar 4.3 Output Uji Heteroskedastisitas


Sebelum Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)

Gambar 4.4 Output Uji Heteroskedastisitas


Sesudah Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)

56

57

Kedua grafik scatterplot di atas tidak membentuk suatu pola tertentu serta
menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, artinya, tidak terdapat
heteroskedastisitas.
B. Hasil Uji Hipotesis
a. Uji R2 (Koefisien Determinasi)
Hasil Pengujian diperoleh sebagai berikut:
Tabel 4.5 Output Pengujian Koefisien Determinasi
Sebelum Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)
Model
1

R Square
a

,705

,497

Model Summaryb
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
,385

Durbin-Watson

61991805,723

2,287

a. Predictors: (Constant), Surat Paksa, Surat Teguran


b. Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak

Hasil output SPSS di atas menunjukkan nilai Adjusted R-Square sebesar 0,385
atau 38,5%. Hal ini menunjukkan pengertian bahwa variable dependen dalam
penelitian ini, yaitu Pencairan Tunggakan Pajak dipengaruhi atau dijelaskan oleh
variable independen dalam penelitian ini, yaitu surat teguran dan surat paksa sebesar
38,5%, sedangkan sisanya sebesar 61,5% dipengaruhi atau dijelaskan oleh faktor lain.
Faktor lain yang mempengaruhi pencairan tunggakan pajak seperti penyitaan,
pelelangan, penagihan seketika sekaligus, dan penyanderaan.
Tabel 4.6 Output Pengujian Koefisien Determinasi
Sesudah Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)
Model
1

R Square
a

,743

,551

Model Summaryb
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
,452

972508404,338

Durbin-Watson
1,745

a. Predictors: (Constant), Surat Paksa, Surat Teguran


b. Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak

Hasil output SPSS di atas menunjukkan sesudah dilakukannya penyanderaan nilai


Adjusted R-Square sebesar 0,452 atau 45,2%. Hal ini menunjukkan pengertian bahwa
variable dependen dalam penelitian ini, yaitu Pencairan Tunggakan Pajak dipengaruhi
atau dijelaskan oleh variable independen dalam penelitian ini, yaitu surat teguran dan

58

surat paksa sebesar 45,2%, sedangkan sisanya sebesar 55,8% dipengaruhi atau
dijelaskan oleh faktor lain. Faktor lain yang mempengaruhi pencairan tunggakan
pajak seperti penyitaan, pelelangan, penagihan seketika sekaligus, dan penyanderaan.
b. Hasil Uji Statistic F
Dalam penelitian ini menggunakan tingkat signifikansi sebesar 0,05:
Tabel 4.7 Output Pengujian statistic F
Sebelum Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)
Model
1

Sum of Squares
Regression

ANOVAa
Df

3418299185397

6316,000
Residual

3458685579067

6228,000
Total

6876984764465
2544,000

Mean Square
1709149592698
8158,000

F
4,447

Sig.
,045b

3842983976741
803,000

11

a. Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak


b. Predictors: (Constant), Surat Paksa, Surat Teguran

Dalam table hasil output SPSS di atas diketahui karena signifikasi sebesar 0,045
yang lebih kecil dari 0,05, maka variable surat paksa dan surat teguran secara
simultan berpengaruh terhadap variable pencairan tunggakan pajak. Kesimpulan yang
dapat ditarik dari hasil perhitungan ini adalah adanya pengaruh signifikan antara surat
teguran dan surat paksa secara simultan terhadap pencairan tunggakan pajak yang
mendukung hipotesis penelitian ini.

Tabel 4.8 Output Pengujian statistic F

59

Sesudah Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)


ANOVAa
Model
1

Sum of Squares
Df
Mean Square
1046559895351
5232799476758
2
7312000,000
656000,000
Residual
8511953368573
9457725965082
9
839400,000
04420,000
Total
1897755232209
11
1150000,000
a. Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak
b. Predictors: (Constant), Surat Paksa, Surat Teguran
Regression

Sig.
,027b

5,533

Dalam table hasil output SPSS di atas diketahui karena signifikasi sebesar 0,027
yang jauh lebih kecil dari 0,05, maka variable surat paksa dan surat teguran secara
simultan berpengaruh terhadap variable pencairan tunggakan pajak. Kesimpulan yang
dapat ditarik dari hasil perhitungan ini adalah adanya pengaruh signifikan antara surat
teguran dan surat paksa secara simultan terhadap pencairan tunggakan pajak yang
mendukung hipotesis penelitian ini.
c. Hasil Uji t-statistik
Tabel 4.9 Output Pengujian t- statistik
Sebelum Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)
Coefficientsa

Model
(Constant)

Unstandardized Coefficients
B
Std. Error
109042398,223

23541828,316

Surat
Teguran

-,014

,018

Surat
Paksa

,135

,049

Standardi
zed
Coefficien
ts
Beta

Sig.

4,632

,001

-,236

-,789

,450

,824

2,759

,022

a. Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak

Dari table uji t-statistik di atas dapat diketahui signifikansi Surat teguran sebesar
0, 450 dan signifikansi surat paksa sebesar 0,022. Hal ini menunjukkan bahwa yang

60

lebih berpengaruh signifikan adalah surat paksa karena signifikansinya jauh lebih
kecil dari 0,05, sebaliknya variable surat teguran cukup signifikan dalam
mempengaruhi pencairan tunggakan pajak karena signifikansinya lebih kecil dari 0,05
Berdasarkan hasil tersebut, dapat diperoleh persamaan regresi, yaitu:
Y = 109.042.398,223 + 0,014 X1 + 0,135 X2
Persamaan regresi di atas menjelaskan bagaimana pengaruh surat teguran (X1)
dan Surat Paksa (X2) terhadap pencairan tunggakan pajak (Y). Hasil diatas
memberikan pemahaman bahwa jika tidak terjadi penerbitan surat teguran dan surat
paksa maka besarnya pencairan tunggakan pajak diprediksi sebesar 109.042.398,223.
Berdasarkan nilai konstanta (a). Selanjutnya nilai koefisien regresi surat teguran (b1)
= 0,014 menunjukkan bahwa setiap penambahan/penurunan satu rupiah surat teguran
maka akan meningkatkan/menurunkan pencairan tunggakan pajak sebesar 0,014
satuan. Demikian pula dengan nilai koefisien surat paksa (b2) = 0,135 menunjukkan
bahwa setiap penambahan/penurunan satu rupiah surat paksa maka akan
meningkatkan/menurunkan pencairan tunggakan pajak sebesar 0,135 satuan.
sesudah
Tabel 4.9 Output Pengujian t- statistik
Sesudah Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)
Coefficientsa

Model
1
(Constant)

Unstandardized Coefficients
B
Std. Error

Standardized
Coefficients
Beta

-513248950,782 756490093,159

Surat Teguran
1,235
Surat Paksa
,507
a. Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak

,373
,607

,783
,197

Sig.

-,678

,515

3,316
,835

,009
,425

Dari table uji t-statistik di atas dapat diketahui signifikansi Surat teguran sebesar
0, 783 dan signifikansi surat paksa sebesar 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa yang

61

kedua variable surat teguran maupun surat paksa sangat tidak signifikan dalam
mempengaruhi pencairan tunggakan pajak karena signifikansinya jauh lebih tinggi
dari 0,05.
Berdasarkan hasil tersebut, dapat diperoleh persamaan regresi, yaitu:
Y = 513.248.950,782 + 1,235 X1 + 0,507 X2
Persamaan regresi di atas menjelaskan bagaimana pengaruh surat teguran (X1)
dan Surat Paksa (X2) terhadap pencairan tunggakan pajak (Y). Hasil diatas
memberikan pemahaman bahwa jika tidak terjadi penerbitan surat teguran dan surat
paksa

maka

besarnya

pencairan

tunggakan

pajak

diprediksi

sebesar

513.248.950,782.berdasarkan nilai konstanta (a). Selanjutnya nilai koefisien regresi


surat teguran (b1) = 1,235 menunjukkan bahwa setiap penambahan/penurunan satu
rupiah surat teguran maka akan meningkatkan/menurunkan pencairan tunggakan
pajak sebesar 1,235 satuan. Demikian pula dengan nilai koefisien surat paksa (b2) =
0,507 235 menunjukkan bahwa setiap penambahan/penurunan satu rupiah surat paksa
maka akan meningkatkan/menurunkan pencairan tunggakan pajak sebesar 0,507
satuan.

BAB V

62

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
a. Secara simultan, penagihan pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa baik
sebelum ataupun sesudah dilakukannya penyanderaan berpengaruh signifikan
terhadap pencairan tunggakan pajak, dengan tingkat signifikasi masing-masing
adalah 0,045 (sebelum) dan 0,027 (sesudah) yang lebih kecil dari 0,05. Maka
terjawab hipotesis 1 dan hipotesis 2 yaitu H1 ditolak H2 diterima.
b. Kedua variabel Surat Paksa dan Surat Teguran ini hanya dapat menjelaskan
variable pencairan tunggakan pajak sebesar 38,5% (sebelum penyanderaan) dan
45,2% (sesudah penyanderaan)

sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor

lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyanderaan membuat tingkat


signifikansi surat teguran dan surat paksa meningkat dari sebelum dilakukannya
penyanderaan. Dan meningkatkan pengaruh surat teguran dan surat paksa
terhadap variable pencairan tunggakan pajak dari ang sebelumna 38,5% menjadi
45,2% dan sisanya dipengaruhi dan dijelaskan oleh faktor lainnya. Maka
terjawab hipotesis 3 dan hipotesis 4 yaitu H3 ditolak H4 diterima. Karena
penyanderaan yang dilakukan membuat perubahan cukup signifikan terhadap
pengaruh surat teguran dan surat paksa terhadap pencairan tunggakan pajak.
c. Secara parsial, yang berpengaruh signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak
hanya Surat Paksa dengan tingkat signifikansinya 0,022 (sebelum penyanderaan)
dan 0,001 (sesudah penyanderaan), sedangkan Surat Teguran tidak terlalu
signifikan dalam mempengaruhi pencairan tunggakan pajak karna tingkat

63

signifikansinya masing-masing adalah 0,450 (sebelum penyanderaan) yang hanya


sedikit dibawah 0,05. dan 0,783(sesudah penyanderaan) yang cukup jauh di atas
0,05. Hal ini menunjukkan penyanderaan yang dilakukan secara parsial
meningkatkan signifikansi dari surat paksa dari yang sebelumnya sebesar 0,022
setelah dilakukannya penyanderaan meningkat (menjauh dari signifikansi 0,05).
Kemudian penyanderaan yang dilakukan secara parsial menurunkan tingkat
signifikansi surat teguran dari yang sebelumnya sebesar 0,450 setelah
dilakukannya penyanderaan menjauh melebihi tingkat signifikansi 0,05 yaitu
menjadi sebesar 0,783. Hal ini juga menjawab hipotesis 3 dan hipotesis 4 yaitu
H3 ditolak H4 diterima. Karena penyanderaan yang dilakukan membuat
perubahan terhadap pengaruh surat teguran dan surat paksa terhadap pencairan
tunggakan pajak.
d. Dalam penelitian ini, yang menggunakan data bulan Januari-Desember 2015,
disimpulkan bahwa dari kedua tahap penagihan pajak yang diteliti yaitu
penagihan dengan Surat Teguran dan Surat Paksa, yang berpengaruh secara
signifikan adalah variable Surat Paksa. Pencairan pajak dari model regresi dalam
penelitian

ini

sebelum

dilakukannya

penyanderaan

adalah

sebesar

Rp109.042.398,223 ditambah kenaikan Rp0,014 rupiah setiap penambahan Rp


1,- dari variabel Surat teguran dan Rp 0,135 rupiah setiap penambahan Rp 1,dari variable surat paksa. Kemudian Pencairan pajak dari model regresi dalam
penelitian

ini

sesudah

dilakukannya

penyanderaan

adalah

sebesar

Rp513.248.950,782 ditambah kenaikan Rp1,235 rupiah setiap penambahan Rp1,-

64

dari variabel Surat teguran dan Rp 0,507 rupiah setiap penambahan Rp 1,- dari
variable surat paksa.
B. SARAN
a. Hasil penelitian dalam laporan ini menunjukkan bahwa penyanderaan yang
dilakukan meningkatkan secara keseluruhan pencairan tunggakan pajak baik
yang melalui surat teguran ataupun surat paksa juga oleh variable lainnya yang
tidak bisa dijelaskan. Maka sebaiknya penyanderaan bisa dilakukan di setiap unit
kerja DJP agar bisa meningkatkan kinerja penagihan pajak secara nasional.
b. Alternatif saran lain adalah untuk memastikan diterimanya Surat Teguran oleh
wajib pajak/penanggung pajak, selain pengiriman Surat Teguran dengan jasa
pengiriman, jurusita juga mengantar sendiri salinan Surat Teguran kepada wajib
pajak/penanggung pajak.

Daftar Pustaka

65

Anang Mury Kurniawan. (2011). Upaya Hukum Terkait dengan Pemeriksaan,


Penyidikan, dan Penagihan Pajak . Jakarta : Graha Ilmu.
Andi Marduati (2012) dalam skripsinya yang berjudul Pengaruh Penagihan Pajak
Dengan Surat Teguran dan Surat Paksa Terhadap Pencairan Tunggakan Pajak di
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Barat
Brotodiharjo, R, Santoso. 1991. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Pertama,. Buku
Pertama, Cetakan Pertama. Bandung: PT. Eresco
Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS
21.Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Ilyas, Wirawan B dan Rudy Suhartono. 2010. Panduan Komprehensif dan Praktis
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Jakarta: Salemba Empat
Indonesia. Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan. Undang-Undang No.28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Paksa Badan. Peraturan Pemerintah Nomor
137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi
Nama Baik Penanggung Pajak dan Penggantian Ganti Rugi Dalam Rangka
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
Indonesia. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman dan
HAM Nomor M-03.JM.09201 Tahun 2003 dan Nomor 394/KMK.03/2003
tanggal 23 Juni 2003 tentang Tata cara Penitipan Penanggung Pajak yang
Disandera di Rumah Tahanan Negara dalam Rangka Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa
Indonesia. Undang-Undang Penagihan Pajak. Undang-Undang No. 19 Tahun 2000
Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
Kementerian Keuangan. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
561/Kmk.04/2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika Dan
Sekaligus Dan Pelaksanaan Surat Paksa.
Mardiasmo. 2009. Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta.

66

Mulyatsih (2005) melakukan penelitian mengenai Pengaruh Lembaga Sandera


(gijzeling) Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak/ Penanggung Pajak
Rohmat, Soemitro. 2002. Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan. Bandung:
Eresco
Suandy, Erly. 2008. Hukum Pajak. Jakarta : Salemba Empat
Waluyo. 2007. Perpajakan Indonesia, Edisi 7. Jakarta: Salemba Empat
Waluyo. 2008. Perpajakan Indonesia (Pembahasan Sesuai Dengan Ketentuan
Perundang-Undangan Perpajakan dan Aturan Pelaksanaan Perpajakan Terbaru),
Edisi Delapan. Jakarta: Penerbit Salemba Empat

DATA PENAGIHAN PAJAK KPP PRATAMA PALU TAHUN 2015

67

Teguran

Paksa

Pencairan

Jan 1-15

31.319.334

205.540.267

45.726.992

Jan 16-31

7.829.833

51.385.067

135.546.925

Feb 1-15

96.914.735

127.154.636

57.194.205

Feb 16-31

236.246.344

31.788.659

145.122.218

Mar 1-15

491.738.989

109.537.359

43.624.816

Mar 16-31

1.966.955.958

27.384.340

133.194.412

Apr 1-15

22.863.981

318.862.656

207.370.236

Apr 16-30

278.052.590

1.063.118.185

213.739.584

May 1-15

121.329.538

376.350.176

165.458.895

May 16-30

30.332.384

94.087.544

152.499.354

Jun 1-15

4.415.417.690

1.521.930.476

237.071.322

Jun 16-30

135.937.102

809.506.557

299.604.427

Jul 1-15

1.217.431.602

1.162.940.013

3.527.480.145

Jul 16-30

4.869.726.409

822.786.616

20.630.982

Agus 1-15

806.643.923

1.241.991.352

248.137.065

Agus 16-31

1.081.207.092

1.698.790.471

1.131.747.071

Sep 1-15

791.842.075

1.325.408.870

422.934.101

Sep 16-30

2.314.592.367

331.352.218

2.109.950.307

Okt 1-15

225.808.874

662.704.435

648.198.314

Okt 16-31

1.487.952.236

165.676.109

425.077.789

Nov 1-15

347.188.855

331.352.218

409.414.764

Nov 16-30
Des 1-15

1.388.755.420

325.408.870

1.375.179.462

68

Des 16-31

793.574.526

828.380.544

1.697.607.998

3.198.393.631

113.522.176

4.073.424.013

Anda mungkin juga menyukai