MINI SKRIPSI
ANALISIS PERBEDAAN PENGARUH
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT
TEGURAN DAN SURAT PAKSA
TERHADAP PENCAIRAN TUNGGAKAN PAJAKSEBELUM DAN SESUDAH
PELAKSANAAN PENYANDERAAN
(STUDI KASUS DI KPP PRATAMA PALU)
Diajukan oleh:
SOFIAN
NPM. 154060006455
2016
DAFTAR ISI
BAGIAN PENDAHULUAN
Halaman
Halaman Judul...........................................................................................................i
Halaman Persetujuan................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii
BAGIAN ISI
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
A. Latar belakang penelitian...................................................................................1
B. Ruang lingkup penelitian....................................................................................5
C. Masalah penelitian..............................................................................................5
D. Tujuan penelitian................................................................................................6
E. Manfaat penelitian..............................................................................................6
F. Sistematika pembahasan.....................................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................9
A. Landasan Teori...................................................................................................9
1.
2.
Penagihan Pajak.........................................................................................14
3.
Surat Teguran.............................................................................................17
4.
Surat Paksa.................................................................................................21
5.
Penyanderaan (Gijzeling)...........................................................................25
B. Penelitian Terdahulu.........................................................................................42
C. Hipotesis penelitian..........................................................................................43
BAB III METODE PENELITIAN...........................................................................44
A. Gambaran umum objek Penelitian...................................................................44
B. Teknik Pengumpulan Data...............................................................................46
2.
Uji Hipotesis..............................................................................................51
BAB IV PEMBAHASAN...........................................................................................52
A. Peran Juru Sita Pajak........................................................................................52
B. Hasil Analisis dan Pengujian Hipotesis............................................................53
BAB V SIMPULAN DAN SARAN...........................................................................64
A. Simpulan...........................................................................................................64
B. Saran..................................................................................................................66
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................67
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Tujuan Negara Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk membentuk pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan tersebut dapat diwujudkan melalui
pembangunan nasional secara bertahap dan berkelanjutan, Mulai dari Pembangunan
pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Untuk
melaksanakan pembangunan dan melaksanakan tujuan Negara tentu dibutuhkan dana
dan biaya yang sangat besar yang bersumber dari penerimaan Negara baik dari dalam
maupun luar negeri.
Salah satu penerimaan dalam negeri yang menjadi sumber dana utama dan sangat
potensial dalam membiayai pembangunan nasional berasal dari sektor perpajakan.
Pajak merupakan sektor pemasukan terbesar bagi kas Negara Indonesia yang
digunakan untuk melaksanakan pembangunan Melalui APBN. Penerimaan Negara
dari pajak memegang penanan yang sangat penting demi kelangsungan sistem
Pemerintahan Indonesia dan untuk mewujudkan tujuan bernegara yang tertuang
dalam pembukaan UUD tahun 1945. Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada
Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
Pada tahun 2015 Kantor Pelayanan Pajak Pratama Palu menyandera dua orang
penanggung pajak PT. UPP karena menunggak pajak senilai Rp3,2 miliar. Tindakan
penyanderaan (gijzeling) yang dilakukan KPP Pratama palu merupakan salah satu
upaya penagihan aktif agar tunggakan pajak bisa segera dibayar oleh wajib pajak.
Gijzeling yang dilakukan juga bertujuan memberikan deterrent effect berupa
meningkatnya jumlah pelunasan tunggakan pajak.
Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini penulis mengangkat permasalahan
Apakah Terjadi Perbedaan Pengaruh Penagihan dengan Surat Teguran dan
Surat Paksa Terhadap Pencairan Tunggakan Pajak Sebelum dan Sesudah
dilakukan Penyanderaan (Gijzeling) di KPP Pratama Palu?.
B. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti pengaruh penyanderaan (gijzeling)
yang dilakukan KPP Pratama Palu terhadap relisasi pencairan tunggakan pajak
melalui penagihan pajak dengan surat teguran dan surat paksa. Penulis membatasi
penelitian pada proses penagihan aktif dengan Surat Teguran dan Surat Paksa dan
pengaruhnya terhadap pencairan tunggakan pajak pada KPP Pratama Palu yang
dilakukan sebelum penyanderaan (gijzeling) yaitu pada bulan Januari s.d Juni 2015
dan sesudah penyanderaan (gijzeling) yaitu pada kurun waktu bulan Juli s.d.
Desember 2015.
C. Masalah Penelitian
Dari Identifikasi masalah pada pendahuluan di atas dapat dirumuskan suatu
masalah penelitian sebagai berikut :
1. Apakah terdapat pengaruh penagihan pajak dengan surat teguran dan surat paksa
terhadap pencairan tunggakan pajak.
2. Seberapa besar pengaruh penagihan pajak dengan surat teguran dan surat paksa
terhadap pencairan tunggakan pajak?
3. Apakah terdapat perbedaan pengaruh penagihan pajak dengan surat teguran dan
surat paksa terhadap pencairan tunggakan pajak sebelum dan sesudah
dilakukannya penyanderaan (gijzeling)?
4. Seberapa besar perbedaan pengaruh penagihan pajak dengan surat teguran dan
surat paksa terhadap pencairan tunggakan pajak sebelum dan sesudah
dilakukannya penyanderaan (gijzeling)?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan utama dari penelitian yang
dilakukan oleh penulis adalah untuk mencari bukti empiris bahwa terdapat perbedaan
pengaruh surat teguran dan surat paksa terhadap pencairan tunggakan pajak sebelum
dan sesudah dilakukannya penyanderaan (gijzeling).
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat menjadi referensi literatur
penelitian yang menambah pengetahuan guna membantu proses pembelajaran terkait
pelaksanaan penegakan hukum pajak melalui proses penagihan pajak dengan surat
teguran, surat paksa, dan penyanderaan (gijzeling).
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi DJP dalam menyusun
kebijakan. Khususnya bagi Direktorat Penagihan dan Pemeriksaan diharapkan dapat
memberikan
masukan
dalam
kegiatan
sosialisasi
dan
penyuluhan
dengan
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan mencakup uraian ringkas dari materi yang dibahas dalam
skripsi. Penelitian ini disusun ke dalam beberapa bab sebagai beriku:
BAB I PENDAHULUAN
Penelitian ini diawali dengan penjelasan tentang latar belakang penelitian yang
menjadi pemicu munculnya permasalahan. Dengan latar belakang masalah tersebut
ditentukan rumusan masalah yang lebih terperinci sebagai acuan untuk menentukan
hipotesis. Dalam bab ini pula dijabarkan ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan yang menggambarkan garis
besar/pokok-pokok pembahasan secara menyeluruh.
BAB II
LANDASAN TEORI
Sesuai dengan judul yang tertera, pada Bab II ini akan diuraikan tentang landasan
teori yang menjadi dasar pemikiran dalam mencari pembuktian dan solusi yang tepat
untuk hipotesis yang akan diajukan. Sebagai acuan akan diuraikan pula penelitian
terdahulu yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, yang memiliki keterkaitan
dengan hipotesis yang akan diajukan. Dalam bab ini pula akan dijabarkan tentang
kerangka pemikiran dan hipotesis dari permasalahan yang ada pada Bab I.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penjelasan tentang metode penelitian berisi tentang gambaran umum objek penelitian,
variabel penelitian dan definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini.
Dijabarkan pula tentang jumlah dan karakteristik sampel yang digunakan, jenis dan
sumber data yang didapatkan, serta metode pengumpulan data. Selanjutnya akan
dibahas metode analisis yang digunakan untuk mengolah data yang telah
dikumpulkan.
BAB IV
Dalam bab ini akan dijabarkan tentang hasil analisis data yang didapat dari obyek
penelitian (sampel) beserta penjelasan yang diperlukan. Analisis data dan
penjabarannya akan didasarkan pada landasan teori yang telah dijabarkan pada Bab II,
sehingga segala permasalahan yang dikemukakan dalam Bab I dapat terpecahkan atau
mendapat solusi yang tepat.
BAB V
Berdasarkan penjelasan hasil analisis data pada Bab IV di atas, akan dirumuskan
simpulan yang merupakan pembuktian dari hipotesis yang ada pada Bab II. Di
samping itu, juga akan diutarakan keterbatasan penelitian yang dilakukan, serta saransaran yang diharapkan bisa berguna bagi instansi terkait atau pihak lain.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. LANDASAN TEORI
1. Gambaran Pajak Secara Umum
a) Pengertian Pajak
Undang-Undang No.28 tahun 2007 pasal 1 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan menyatakan bahwa pajak adalah Kontribusi wajib kepada negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang Undang dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Pembangunan
Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus-menerus dan berkesinambungan
yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah
pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu
bangsa atau Negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana
yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai
pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Pada hakikatnya manusia
adalah makhluk sosial. Dalam hidupnya manusia saling membutukan dan selalu
berhubungan. Organisasi seperti itu membutuhkan sarana dan prasarana yang
mendukung kelangsungan hidup rakyat beserta Negara itu sendiri, yang dapat
diperoleh melalui peran serta masyarakat secara bersama-sama dalam berbagai
bentuk, salah satunya adalah dengan pajak.
10
Menurut Santoso (1991: 2), pajak adalah iuran kepada Negara yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat jasa
timbal balik yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas
Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public
saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment
(Soemitro,2002:2).
Berdasarkan beberapa definisi pajak yang telah dikemukakan di atas maka peneliti
menyimpulkan pengertian pajak ialah iuran Wajib dari rakyat pada kas Negara
sebagai suatu instrument yang legal yang digunakan oleh pemerintah yang diatur
dalam Undang-undang. Oleh karena itu dengan menjadi Wajib Pajak yang patuh akan
sangat mempengaruhi perekonomian Negara ini.
b) Pengelompokan Pajak
Dalam hukum pajak terdapat pembagian jenisjenis pajak yang dibagi dalam
berbagai kelompok pajak. Cara pengelompokan pajak didasarkan atas sifatsifat
tertentu terdapat dalam masingmasing pajak atau didasarkan pada ciri-ciri tertentu
pada setiap pajak. Sifat dan ciri-ciri tertentu yang bersamaan dari setiap pajak
dimasukkan dalam suatu kelompok sehingga terjadilah pengelompokan atau
pembagian (Mardiasmo, 2011:5).
1) Menurut golongannya
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan
tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak
Penghasilan.
11
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
2) Menurut sifatnya
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak
Penghasilan.
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan nilai
dan pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3) Menurut lembaga pemungutannya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan.
b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: Pajak Hotel, Pajak
Restoran, Pajak Hiburan, dan Pajak Reklame.
c) Sistem Pemungutan Pajak
A. Official Assesment System
Official Assesment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi
wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh wajib pajak.
B. Self Assesment System
Self Assesment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang.
C. With Holding System
12
With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang
bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
13
Penghasilan
Laba usaha
Hadiah dari Undian atau pekerjaan
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta dan
Deviden.
Wajib Pajak
Sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang N0.28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan bahwa : wajib pajak adalah
orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotong pajak, dan pemungut
pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. Wajib Pajak merupakan Subjek Pajak
yang memenuhi syarat objektif yang berkaitan dengan sasaran pengenaan pajak,
misalnya seseorang yang tinggal di Indonesia yang memperoleh penghasilan dan
penghasilan tersebut memenuhi syarat untuk dikenakan pajak.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, Wajib Pajak adalah orang atau
badan yang tidak hanya telah memenuhi syarat-syarat subjektif tapi secara sekaligus
memenuhi syarat-syarat objektif. Orang atau Badan (Subjek Pajak) yang hanya
memenuhi syarat subjektif saja belum dapat dikatakan sebagai wajib Pajak sebab
untuk menjadi Wajib Pajak, Subjek Pajak juga harus memenuhi syarat objektif, yaitu
menerima atau memperoleh penghasilan kena pajak.
2. Penagihan Pajak
a) Pengertian Penagihan Pajak
Pelaksanaan penagihan pajak yang tegas, konsisten dan konsekuen diharapkan
akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam
membayarkan hutang pajaknya. Hal ini merupakan posisi strategis dalam
14
15
Tahapan
kegiatan Waktu
penagihan
1
Dasar hukum
pelaksanaan
kegiatan
Penerbitan Surat Teguran atau 7( tujuh) hari sejak Pasal
Surat
Peringatan
atau
s.d
11
pajak 24/PMK.03/2008
Nomor tidak
melunasi
24/PMK.03/2008
utang pajaknya
Sudah
keuangan
/surat nomor
peringatan
24
dan /PMK.03/2008
penanggung pajak
tidak
3
Penerbitan
surat
melaksanakan penyitaan
melunasi
utang pajak
perintah Setelah lewat 2x24 Pasal
12
UU
Pengumuman lelang
utang
pajak
belum dilunasi
setelah lewat waktu Pasal 26 peraturan
14
hari
tanggal
sejak menteri
nomor
keuangan
16
pelaksanaan
penyitaan
24/PMK.03.2008
dan
penanggung pajak
tidak
melunasi
utang pajak
3. Surat Teguran
a) Pengertian Surat Teguran
Surat teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis sesuai dengan Pasal 1
angka 10 (UU Penagihan Pajak) adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat pajak
untuk meneguur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang
pajaknya. Sesuai Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan No. 561/KMK.04/2000
bahwa tindakan pelaksanaan penagihan pajak diawali dengan surat teguran, surat
peringatan atau surat lain yang sejenis oleh pejabat atau kuasa pejabat setelah 7 hari
sejak saat jatuh tempo pembayaran.
Penerbitan surat teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis merupakan
tindakan awal dari pelaksanaan penagihan pajak dan pelaksanaannya harus dilakukan
sebelum dilanjutkan dengan penerbitan surat paksa. Apabila terdapat Wajib Pajak
tidak pernah diberikan surat teguran, surat
namun langsung diterbitkan dan diberikan surat paksa, maka secara yuridis surat
paksa tersebut dianggap tidak ada karena tidak didahului dengan pengeluaran surat
teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis.
17
18
2) Bagi Wajib Pajak usah kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu sesuai dengan
ketentuan peraturan Perundang undangan perpajakan, jangka waktu pelunasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang menjadi paling lama 2
(dua) bulan
3) Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (SPT PBB) harus dilunasi dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak
4) SKPKB, SKPKBT, STP, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali dalam Bea atas
Perolehan Hak atas Tanah dan / atau Bangunan, yang menyebabkan jumlah Bea
yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak.
5) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas SKPKB/SKPKBT, jangka
waktu pelunasan pajak yang tidak disetunjui dalam pembahasan akhir hasil
pemerikasaan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan
Surat Keputusan Keberatan
6) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan
sehubungan SKPKB/SKPKBT, jangka waktu pelunasan pajak tertangguh sampai
dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
d) Penerbitan Surat Teguran
Dalam buku KUP Pelaksanaan penagihan pajak dilakukan dengan menerbitkan
Surat Teguran oleh Dirjen Pajak. Keputusan Dirjen Pajak yang menyetujui
penanggung
pajak
untuk
mengangsur
atau
menunda
pembayaran
pajak
mengakibatkan tidak adanya upaya penagihan pajak kecuali penanggung pajak tidak
menepati keputusan tersebut. Penerbitan Surat Teguran harus dilakukan dengan
mempertimbangkan upaya hukum Wajib Pajak karena upaya hukum keberatan dan
19
banding atas utang pajak mulai tahun pajak 2008 menyebabkan tertangguhnya jatuh
tempo dengan syarat Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya atas
SKPKB/SKPKBT dalam pembahasan akhir, adalah sebagai berikut:
1) Apabila Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak
yang terutang dalam pembahasan akhir dan ternyata tidak mengajukan
permohonan keberatan atas ketetapan hasil pemeriksaan tersebut, Surat Teguran
disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan.
Tujuan menunggu jatuh tempo pengajuan keberatan 3(tiga) bulan sejak
diterbitkannya SKPKB/SKPKBT karena dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak
mempunyai hak mengajukan permohonan keberatan
2) Apabila wajib pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang
terutang dalam pembahasan akhir dan tidak mengajukan upaya permohonan
banding atas keputusan keberatan SKPKB/SKPKBT, surat teguran disampaikan
setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding Tujuan menunggu
jatuh tempo pengajuan keberatan 3(tiga) bulan sejak diterbitkannya Surat
Keputusan atas keberatan SKPKB/SKPKBT karenadalam jangka waktu tersebut
Wajib Pajak masih mempunyai hak mengajukan permohonan banding
3) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang
masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Wajib Pajak
mengajukan:
a) Permohonan keberatan atas SKPKB/SKPKBT, Surat Teguran disampaikan
setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo berdasarkan Keputusan Keberatan
(jatuh tempo keputusan keberatan adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal
penerbitan keputusan tersebut)
20
21
tetap. Dengan demikian, surat paksa langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan
putusan pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan banding. Dalam Pasal 7 ayat 2 (UU
Penagihan Pajak), disebutkan bahwa surat paksa sekurang-kurangnya harus memuat :
1) Nama Wajib Pajak atau nama Wajib Pajak dan penanggung pajak.
2) Dasar penagihan.
3) Besarnya utang pajak.
4) Perintah untuk membayar.
b) Pelaksanaan Surat Paksa
Menurut KUP Surat Paksa merupakan kegiatan pelaksanaan penagihan pajak yang
dilakukan setelah penerbitan Surat Teguran / Surat Peringatan atau sejenisnya.
Menurut pasal 1 angka 12 UU Penagihan Pajak, Surat Teguran, Surat Paksa adalah
surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
c) Penerbitan Surat Paksa
Secara teori surat paksa diterbitkan setelah surat teguran, surat peringatan atau
surat lain yang sejenis dikeluarkan oleh pejabat. Menurut pasal 8 (UU Penagihan
Pajak) menyatakan bahwa surat paksa diterbitkan apabila:
1) Penanggung pajak tidak melunais utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo
pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan
atau surat lain yang sejenis
2) Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan pajak seketika dan
sekaligus
3) Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak
d) Tata Cara Pemberitahuan Surat Paksa
Surat paksa diberitahukan oleh jurusita pajak dengan pernyataan dan penyerahan
salinan surat paksa kepada penanggung pajak. Pemberitahuan surat paksa kepada
penanggung pajak oleh jurusita pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi surat
22
paksa dan kedua belah pihak menandatangani berita acara sebagai pernyataan bahwa
surat paksa telah diberitahukan. Selanjutnya salinan surat paksa diserahkan kepada
penanggung pajak dan surat paksa yang asli diserahkan disimpan di kantor pejabat.
Pemberitahuan surat paksa dituangkan dalam berita acara yang sekurang-kurangnya
memuat hari dan tanggal pemberitahuan surat paksa, nama jurusita pajak, nama yang
menerima, dan tempat pemberitahuan surat paksa.
Tata cara pemberitahuan Surat Paksa diatur dalam pasal 10 ayat (1) UU PPSP
yaitu pemberitahuan Surat Paksa dilakukan oeh juru sita dengan pernyataan dan
penyerahan Surat Paksa kepada penanggung pajak yang dituangkan dalam berita
acara.
1) Berdasarkan Pasal 10 ayat 3 (UU Penagihan Pajak), surat paksa terhadap orang
pribadi diberitahukan oleh jurusita pajak kepada:
a) Penanggung pajak ditempat tinggal tempat usaha atau di tempat lain yang
memungkinkan
b) Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun bekerja di tempat
usaha penanggung pajak, apabila penanggung pajak yang bersangkutan tidak
dapat dijumpai
c) Salah seorang ahli waris atau pelaksanaan wasiat atau yang mengurus harta
peninggalannya, apabila Wajib Pajak meninggalk dunia dan harta warisan
belum dibagi
d) Para ahli waris apabila penanggung pajak yang telah meninggla dunia dan
harta warisan telah dibagi
2) Berdasarkan Pasal 10 ayat 4 (UU Penagihan Pajak), surat paksa terhadap badan
diberitahukan oleh jurusita pajak kepada:
23
sementara
waktu
kebebasan
Penanggung
Pajak
dengan
24
istilah yang bersifat teknis dan baku yang digunakan dalam pelaksanaan
penyanderaan.
Rumusan pengertian mengenai penyanderaan diperlukan untuk mencegah adanya
salah penafsiran dalam melaksanakan ketentuan perundangan yang berlaku. Sehingga
diharapkan dapat memberi kemudahan dan kelancaran, baik bagi Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak maupun bagi fiskus dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.
Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang tidak
melunasi utang pajaknya setelah lewat jangka waktu 14 hari sejak tanggal Surat Paksa
diberitahukan kepada Penanggung Pajak. Penyanderaan hanya dapat dilakukan
apabila Penanggung Pajak memenuhi syarat kuantitatif dan syarat kualitatif untuk
dilakukannya penyanderaan sesuai dengan ketentuan Undangundang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.
Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak hanya dapat dilaksanakan berdasarkan
Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh pejabat setelah mendapat izin
tertulis dari Menteri Keuangan atau gubernur. Persyaratan izin penyanderaan dari
Menteri Keuangan atau gubernur dimaksudkan agar penyanderaan dilakukan secara
sangat selektif dan hati-hati. Oleh karena itu, pejabat tidak boleh menerbitkan Surat
Perintah Penyanderaan sebelum mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan atau
gubernur.
b) Syarat Penyanderaan
Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang
mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp100.000.000,00 (seratus juta upiah)
dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Penyanderaan merupakan
25
salah satu upaya penagihan pajak. Agar penyanderaan tidak dilaksanakan sewenangwenang dan juga tidak bertentangan dengan rasa keadilan bersama, maka diberikan
syarat-syarat tertentu, baik syarat yang bersifat kuantitatif, yakni harus memenuhi
utang pajak dalam jumlah tertentu, maupun syarat yang bersifat kualitatif, yakni
diragukan itikad baik Penanggung Pajak dalam melunasi utang pajak serta telah
dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa.
Dengan demikian, pejabat perlu mendapatkan data atau informasi yang akurat
yang diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk mengajukan permohonan izin
penyanderaaan. Penyanderaan hanya dilaksanakan secara sangat selektif, hati-hati,
dan merupakan upaya terakhir.
Dari uraian di atas tampak bahwa penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap
Penanggung Pajak yang memenuhi syarat kuantitatif dan syarat kualitatif berikut ini:
1) Syarat kuantitif dilaksanakannya penyanderan adalah Penanggung Pajak
mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) yang meliputi semua jenis pajak dan tahun pajak. Jumlah tersebut
menunjukkan bahwa penyanderaan tidak ditujukan kepada Penanggung Pajak
yang berpenghasilan kecil.
2) Syarat kualitatif dilaksanakannya penyanderaan adalah Penanggung Pajak
diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
Berdasarkan Pasal 3 huruf d Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-218/PJ/2003
tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik
Penanggung Pajak yang disandera, uraian tentang adanya petunjuk bahwa
Penanggung Pajak diragukan itikad baiknya dalam pelunasan utang pajak meliputi:
26
c) Pelaksanaan Penyanderaan
Penyanderaan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan
yang diterbitkan oleh pejabat setelah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan
untuk penagihan pajak pusat atau dari gubernur untuk penagihan pajak daerah.2
Namun, apabila pejabat tersebut berhalangan dan pengganti pejabat tersebut belum
ditunjuk, atasan pejabat dapat mengajukan permohonan izin penyanderaan.
Permohonan izin penyanderaan memuat sekurang-kurangnya:
1)
2)
3)
4)
27
28
melakukan
penyanderaan,
jurusita
pajak
membuat
Berita
Acara
29
d) Tempat Penyanderaan
Penanggung Pajak yang disandera ditempatkan di tempat tertentu sebagai tempat
penyanderaan dengan syarat-syarat antara lain:
1) tertutup dan terasing dari masyarakat;
2) mempunyai fasilitas terbatas; dan
3) mempunyai system pengamanan dan pengawasan yang memadai.
Sebelum tempat penyanderaan sebagaimana dimaksud di atas dibentuk,
Penanggung Pajak yang disandera dititipkan di rumah tahanan Negara dan terpisah
dari tahanan lain. Ketentuan lebih lanjut mengenai tempat penyanderaan Penanggung
Pajak ditetapkan dengan keputusan bersama Menteri Keuangan dan menteri yang
membidangi hukum dan perundang-undangan. Ketentuan yang akan ditetapkan dalam
keputusan bersama tersebut antara lain mengenai:
1) prosedur penitipan penanggung pajak yang disandera di rumah tahanan negara;
2) tanggung jawab atas Penanggung Pajak yang disandera selama dalam
penyanderaan;
3) kriteria pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; dan
4) tata tertib yang diberlakukan terhadap Penanggung Pajak yang disandera.
Sebagai pelaksanaan ketentuan di atas, Menteri Keuangan telah mengeluarkan
keputusan bersama dengan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada tahun
2003 dengan Keputusan Bersama Nomor M-03.JM.09201 Tahun 2003 dan Nomor
394/KMK.03/2003 tanggal 23 Juni 2003 tentang Tata cara Penitipan Penanggung
Pajak yang Disandera di Rumah Tahanan Negara dalam Rangka Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.
Keputusan Bersama ini berlakuk sejak tanggal ditetapkan, yaitu 23 Juni 2003 dan
telah digunakan dalam pelaksanaan penyanderaan terhadap wajib pajak atau
30
Penanggung Pajak yang dikenakan tindakan penyanderaan oleh fiskus, baik terhadap
pajak pusat maupun pajak daerah. Sesuai dengan Pasal 2 keputusan bersama tersebut,
ketentuan yang diatur dalam keputusan tersebut hanya berlaku bagi daerah tempat
penanggung pajak yang disandera yang belum ada tempat penyanderaannya yang
dibentuk oleh Kementerian Keuangan.
Berdasarkan keputusan bersama tersebut, jurusita pajak dapat menitipkan
Penanggung Pajak yang disandera berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang
diterbitkan oleh pejabat yang berwenang ke rumah tahanan negara. Kepala rumah
tahanan negara wajib menerima Penanggung Pajak yang disandera berdasarkan Surat
Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. Penyanderaan
mulai dilaksanakan pada saat Surat Perintah Penyanderaan diterima oleh Penanggung
Pajak yang disandera. Jurusita pajak membuat Berita Acara Penitipan Sandera yang
ditandatangani oleh jurusita pajak, kepala rumah tahanan Negara, dan saksi-saksi.
Penanggung Pajak yang disandera ditempatkan pada tempat penyanderaan di
dalam rumah tahanan Negara yang dipisahkan dengan tempat tahanan tersangka
tindak pidana. Hal ini sesuai dengan pengertian tempat penyanderaan, yaitu rumah
tahanan Negara yang dijadikan tempat pengekangan sementara waktu kebebasan
Penanggung Pajak yang terpisah dari tahanan lain.
Pemisahan Penanggung Pajak yang disandera dari tahanan tersangka tindak
pidana dilakukan berdasarkan jenis kelamin Penanggung Pajak yang disandera. Selain
itu, kepala rumah tahanan Negara wajib memperhatikan penempatan Penanggung
Pajak yang disandera yang berada dalam kondisi tertentu, antara lain sakit keras,
mengidap penyakit menular, atau mengidap gangguan jiwa. Hal ini dimaksudkan
31
untuk menjaga kesehatan dan keselamatan Penanggung Pajak yang disandera dan juga
tahanan lainnya yang ada dalam rumah tahanan Negara tersebut.
Setiap rumah tahanan Negara yang ditunjuk sebagai tempat penyanderaan harus
memiliki administrasi yang baik tentang Penanggung Pajak yang disandera. Oleh
karena itu, setiap penerimaan Penanggung Pajak yang disandera harus dicatat dalam
buku register daftar Penanggung Pajak yang disandera. Penerimaan ini meliputi:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
yang disandera dimaksudkan agar Penanggung Pajak tidak membawa barang atau
senjata berbahaya dan juga barang yang dilarang untuk dibawa oleh Penanggung
Pajak selama disandera. Apabila Penanggung Pajak yang disandera adalah wanita,
penggeledahan badan atau barang dilakukan oleh petugas wanita.
Dalam hal tidak terdapat petugas wanita, penggeledahan dilakukan oleh polisi
wanita atau istri petugas rumah tahanan negara. Petugas dalam melakukan
penggeledahan wajib melakukan sesuai etika penggeledahan yang ditentukan. Semua
barang atau uang yang diperoleh dari penggeledahan dicatat dalam register khusus
dan ditandatangani oleh petugas dan Penanggung Pajak yang disandera. Apabila
ditemukan barang berbahaya atau barang terlarang, barang tersebut dapat dirampas
atau dimusnahkan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Sesuai
dengan sifat penyanderaan yang penempatannya tertutup dan terasing dari masyarakat
32
33
kepala rumah tahanan negara mengatur pelaksanaan pembinaan jasmani atau rohani.
Setiap Penanggung Pajak yang disandera berhak mendapatkan perawatan kesehatan
yang layak. Perawatan kesehatan tersebut dilakukan oleh dokter/paramedis rumah
tahanan negara yang bertugas. Dalam kondisi tertentu, untuk perawatan Penanggung
Pajak yang disandera, kepala rumah tahanan Negara dapat melakukan kerja sama
dengan rumah sakit.
Penanggung Pajak yang disandera yang menderita sakit keras dapat dirawat di
rumah sakit di luar rumah tahanan Negara setelah memperoleh izin dari pejabat yang
berwenang yang menyandera. Apabila Penanggung Pajak yang disandera menderita
sakit keras mendadak yang memerlukan tindakan cepat, petugas rumah tahanan
Negara dapat segera membawanya ke rumah sakit/klinik kesehatan terdekat dan
memberitahukan kepada pejabat yang berwenang dan kepolisian untuk pengawalan.
Hal yang sama juga berlaku terhadap Penanggung Pajak yang disandera yang
menderita gangguan jiwa. Dalam hal demikian, masa perawatan medis di luar rumah
tahanan Negara tidak dihitung sebagai masa penyanderaan.
Apabila Penanggung Pajak yang disandera meninggal dunia di rumah tahanan
Negara karena sakit, kepala rumah tahanan Negara segera memberitahukannya
kepada pejabat yang menyandera dan keluarga dari Penanggung Pajak yang disandera
disertai dengan berita acara kematian. Pemberitahuan dan berita acara kematian
disampaikan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal
Pemasyarakatan, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia, serta kepolisian. Barang atau uang milik Penanggung Pajak yang disandera
yang meninggal dunia tersebut diserahkan kepada keluarganya dengan tanda bukti
penerimaan.
34
Penanggung Pajak yang disandera selama dalam rumah tahanan Negara tidak
dikenakan wajib kerja. Hal ini dapat dipahami mengingat Penanggung Pajak yang
disandera tidak melakukan tindak pidana, melainkan hanyalah belum melunasi utang
pajaknya. Oleh karena itu, Penanggung Pajak yang disandera tidak boleh disamakan
dengan narapidan lainnya yang ada dalam rumah tahanan Negara yang memang
diwajibkan untuk melakukan wajib kerja. Penanggung Pajak yang disandera berhak
menyampaikan keluhan baik kepada pejabat yang menyandera maupun kepada kepala
rumah tahanan Negara. Penanggung Pajak yang disandera juga berhak mendapat
kunjungan keluarga, pengacara, dan sahabat setelah mendapat izin dari pejabat
berwenang yang menyandera. Kunjungan ini paling banyak tiga kali dalam seminggu
selama tiga puluh menit untuk setiap kali kunjungan.
Petugas rumah tahanan Negara meneliti, mencatat izin kunjungan, dan memeriksa
barang yang dibawa oleh pengunjung untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.
Dalam hal terdapat barang yang dilarang dibawa sesuai dengan peraturan yang
ditetapkan oleh kepala rumah tahanan Negara, petugas langsung menyimpan barang
tersebut dan dikembalikan kepada pengunjung setelah kujungan selesai. Penanggung
Pajak yang disandera memiliki kewajiban untuk mengikuti ketentuan yang ditetapkan
dalam rumah tahanan Negara. Apabila melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selama dalam rumah tahanan Negara,
Penanggung Pajak yang disandera wajib mematuhi tata tertib dan disiplin di tempat
penyanderaan.
Kepala rumah tahanan Negara memerintahkan pemeriksaan terhadap Penanggung
Pajak yang disandera apabila terjadi pelanggaran tata tertib dan disiplin. Jika terbukti
terjadi adanya pelanggaran, kepala rumah tahanan Negara memberitahukan kepada
35
36
Hal ini dimaksudkan untuk menghormati hak asasi Penanggung Pajak dalam
melaksanakan ibadah, pekerjaan, dan hak politiknya. Hanya saja, hal ini tidak boleh
dijadikan
alasan
oleh
Penanggung
Pajak
untuk
menghindari
pelaksanaan
di atas, pejabat yang berwenang segera memberitahukan secara tertulis kepada tempat
penyanderaan sebagaimana tercantum dalam Surat Perintah Penyanderaan.
37
38
39
40
teguran dan surat paksa yang diterbitkan berpengaruh signifikan terhadap pencairan
tunggakan pajak di KPP Pratama Makassar Barat.
C. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan ruang lingkup penelitian, landasan teori, dan penelitian sebelumnya
yang telah diuraikan di atas, maka penulis menarik hipotesis sebagai anggapan
sementara yaitu:
H1: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara surat teguran dan surat paksa
terhadap pencairan tunggakan pajak di KPP Pratama Palu.
H2: Terdapat pengaruh yang signifikan antara surat teguran dan surat paksa terhadap
pencairan tunggakan pajak di KPP Pratama Palu.
H3: Tidak terdapat perbedaan pengaruh surat teguran dan surat paksa terhadap
pencairan tunggakan pajak antara sebelum dan sesudah dilakukannya penyanderaan
(gijzeling) terhadap wajib pajak di KPP Pratama Palu.
H4: Terdapat perbedaan pengaruh surat teguran dan surat paksa terhadap pencairan
tunggakan pajak antara sebelum dan sesudah dilakukannya penyanderaan (gijzeling)
terhadap wajib pajak di KPP Pratama Palu.
41
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
a) Gambaran Umum Objek Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada Wajib Pajak yang memiliki tunggakan pajak di
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Palu. KPP Pratama Palu merupakan unit kerja
vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang mempunyai tugas melaksanakan penyuluhan,
pelayanan, pengawasan, dan penagihan Wajib Pajak di bidang Pajak Penghasilan,
Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Tidak Langsung
Lainnya, Pajak Bumi dan dalam wilayah wewenangnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Wilayah yang dimaksud yaitu Kota Palu,
Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Parigi Moutong.
KPP Pratama Palu berada di Jalan M. Yamin 94, Lolu Utara, Palu. Dalam
melaksanakan tugasnya KPP Pratama menyelenggarakan fungsi :
1. pengumpulan, pencarian dan pengolahan data, pengamatan potensi perpajakan,
penyajian informasi perpajakan, pendataan objek dan subjek pajak, serta penilaian
objek Pajak Bumi dan Bangunan;
2. penetapan dan penerbitan produk hukum perpajakan;
3. pengadministrasian dokumen dan berkas perpajakan, penerimaan dan pengolahan
Surat Pemberitahuan, serta penerimaan surat lainnya;
4. penyuluhan perpajakan;
5. pelaksanaan registrasi Wajib Pajak;
6. pelaksanaan ekstensifikasi;
7. penatausahaan piutang pajak dan pelaksanaan penagihan pajak;
8. pelaksanaan pemeriksaan pajak;
9. pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak;
10. pelaksanaan konsultasi perpajakan;
11. pelaksanaan intensifikasi;
12. pembetulan ketetapan pajak;
13. pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;
14. pelaksanaan administrasi kantor.
42
Untuk menyelenggarakan fungsi tersebut KPP Pratama Palu didukung oleh seksiseksi yang dirinci sebagai berikut:
1. Subbagian Umum
2. Seksi Pengolahan Data dan Informasi
3. Seksi Pelayanan
4. Seksi Penagihan
5. Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal
6. Seksi Ekstensifikasi Perpajakan
7. Seksi Pengawasan dan Konsultasi I
8. Seksi Pengawasan dan Konsultasi II
9. Seksi Pengawasan dan Konsultasi III
10. Seksi Pengawasan dan Konsultasi IV
11. Kelompok Fungsional Pemeriksa Pajak
Untuk mempermudah pelayanan terhadap Wajib Pajak KPP Pratama Palu dibantu
oleh dua buah Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan(KP2KP)
yaitu KP2KP Parigi dan KP2KP Banawa yang mempunyai tugas melakukan urusan
pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan kepada masyarakat serta membantu
Kantor Pelayanan Pajak Pratama dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas KP2KP menyelenggarakan fungsi:
1. pelaksanaan penyuluhan, sosialisasi, dan pelayanan konsultasi perpajakan kepada
masyarakat;
2. pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak;
3. bimbingan dan konsultasi teknis perpajakan kepada Wajib Pajak;
4. pemberian pelayanan kepada masyarakat di bidang perpajakan dalam rangka
membantu Kantor Pelayanan Pajak Pratama;
5. pelaksanaan administrasi kantor.
b) Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
langsung dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Palu berupa laporan kinerja seksi
43
penagihan, laporan penerimaan pajak, serta data-data lain yang terkait. Data-data yang
nantinya akan dianalisis dan ditarik kesimpulan, dikumpulkan dengan menggunakan
teknik tertentu yang disebut teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi. Pengumpulan data tersebut
diperoleh dari dokumen-dokumen yang merupakan data olahan dari instansi terkait.
Selain itu, data yang digunakan untuk mendukung hasil penelitian berasal dari
literatur, artikel, dan berbagai sumber lain yang berhubungan dengan masalah
penelitian. Data yang diteliti adalah data surat teguran, surat paksa, dan pencairan
tunggakan pajak KPP Pratama Palu sebelum penyanderaan (gijzeling) yaitu pada
bulan Januari s.d Juni 2015 dan sesudah penyanderaan (gijzeling) yaitu pada kurun
waktu bulan Juli s.d. Desember 2015.
c) Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Sesuai dengan rumusan masalah, untuk melihat pengaruh penagihan pajak dengan
surat teguran dan surat paksa terhadap pencairan tunggakan pajak dan melihat
perbedaannya sebelum dan sesudah dilakukannya penyanderaan (gijzeling), maka
variabel operasional yang digunakan dalam penelitian ini melibatkan tiga variabel
yang terdiri atas dua variabel independen (bebas) dan satu variable dependen (terikat)
yaitu:
1) Surat Teguran
Surat teguran adalah surat yang diterbitkan oleh KPP untuk menegur atau
memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya. Variabel surat
44
teguran yang diterbitkan dilihat dari banyaknya jumlah nominal surat teguran yang
diterbitkan
2) Surat Paksa
Surat Paksa adalah surat perintah yang dikeluarkan oleh KPP dan dilakukan oleh
juru sita untuk memaksa Wajib Pajak melunasi utang pajak dalam jangka waktu
tertentu. Penagihan pajak dengan surat paksa, dalam hal ini dilihat dari jumlah
nominal surat paksa yang diterbitkan.
3) Pencairan Tunggakan Pajak
Pencairan tunggakan pajak adalah segala bentuk pencairan yang berkaitan dengan
tunggakan pajak yang disetorkan ke kas negara yang dapat berupa pembayaran,
penghapusan, pemindahbukuan, maupun keberatan. Variabel pencairan tunggakan
pajak dilihat dari jumlah pembayaran atas pajak yang terutang yang didasarkan pada
STP, SKP, SKPKB, SKPKBT.
Dalam penelitian ini, yang menjadi varibel terikatnya adalah pencairan tunggakan
pajak, sedangkan yang menjadi variable bebasnya adalah nilai surat teguran dan nilai
surat paksa, yaitu nominal rupiah yang tercantum dalam masing-masing surat paksa
dan surat teguran.
45
46
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah sebuah regresi linear ada
korelasi di antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada
periode t-1 sebelumnya. Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem
autokorelasi (Ghozali, 2005:95). Model regresi yang baik adalah yang terbebas dari
problem autokorelasi.
Tabel 3.1
Keputusan Durbin Watson
Hipotesis Nol
Tidak ada autokorelasi positif
Tidak ada autokorelasi positif
Tidak ada autokorelasi negatif
Tidak ada autokorelasi negatif
Tidak ada autokorelasi, positif atau
Keputusan
Tolak
No decision
Tolak
No decision
Tidak ditolak
Jika
0 < d < dl
dl d du
4-dl < d <4
4-du d 4-dl
Du < d < 4-du
negative
4) Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model
regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual suatu pengamatan ke pengamatan
yang lain. Jika varians dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap,
maka
disebut
heteroskedastisitas.
heteroskedastisitas. Salah
satu
Model
cara
untuk
regresi
yang
mendeteksi
baik
ada
tidak
atau
terjadi
tidaknya
heteroskedastisitas yaitu dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi varibel terikat
(Y) dengan residualnya (X). Dasar pengambilan keputusan dari analisis ini adalah,
jika ada pola tertentu seperti titik-titik yang ada membentuk suatu pola tertentu yang
teratur maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas. Sebaliknya jika tidak
47
ada pola yang jelas, serta titik-titik yang menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada
sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2005:105).
b. Uji Hipotesis
1) Uji R2 (Koefisien Determinasi)
Uji koefisien determinasi pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan
model dalam menerangkan variasi variable dependen. Nilai koefisien determinasi
adalah antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variable-variabel
independen dalam menjelaskan variasi variable dependen amat terbatas. Nilai yang
mendekati satu berarti variable-variabek independen memberikan hamper semua
informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variable dependen (Ghozali, 2005:83).
Selanjutnya dengan menghitung koefisien determinasi yang merupakan kuadrat dari
koefisien korelasi (r), akan diketahui seberapa besar hubungan variable bebas (x)
terhadap variable terikat (y).
2) Uji-F (simultan)
Uji statistik F dilakukan untuk mengetahui hubungan variable-variabel
independen secara bersama-sama (simultan) terhadap variable dependennya. Untuk
mengetahui apakah variable-variabel independen secara simultan mempengaruhi
variable dependen, maka digunakan tingkat signifikasi sebesar 0,05. Jika nilai
probabilitas F lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima, sedangkan jika niali
probabilitas lebih kecil dari 0, 05 maka H0 ditolak (Ghozali, 2005:84)
3) Uji-t (Parsial)
Setelah dilakukan uji-F untuk mengetahui hubungan variable-variabel secara
simultan, maka selanjutnya dilakukan uji-t untuk mengetahui hubungan antara
48
dependen
digunakan
tingkat
signifikansi
0,05,
sedangkan
untuk
membandingkan nilai statistic t dengan titik kritis menurut table digunakan dengan
ketentuan bahwa apabila nilai statistic t-hitung lebih tinggi dibandingkan nilai table,
maka menerima hipotesis alternative yang menyatakan bahwa suatu variable
independen secara individual mempengaruhi variable dependen (Ghozali, 2005:85)
e) Hasil yang Diharapkan
Penulis mengharapkan agar penelitian ini dapat membuktikan deterent effect dari
penyanderaan (gijzeling) terhadap percepatan pencairan tunggakan pajak yang
dilakukan melalui surat teguran dan surat paksa. Sehingga penegakan hukum di
bidang perpajakan dapat lebih ditingkatkan untuk memberikan peningkatan kepatuhan
wajib pajak secara keseluruhan.
49
BAB IV
PEMBAHASAN
oleh
wajib
pajak/penunggak
pajak.
Langkah
selanjutnya
adalah
50
sejak SPMP diterbitkan, maka jurusita akan melaksanakan pengumuman lelang dan
melakukan lelang 14 hari setelah pengumuman tersebut.
Jurusita Pajak yang bertugas dalam melakukan penagihan aktif mempunyai
tanggung jawab yang berat. Pada pelaksanaannya jurusita pajak harus berhadapan
langsung dengan wajib pajak/penganggung pajak. Tujuan penagihan aktif ini
dilakukan adalah agar wajib pajak/penanggung pajak melunasi tunggakan pajaknya
ditambah biaya untuk menagih besarnya tunggakan pajak tersebut. Tindakan
penagihan pajak yang dilakukan oleh jurusita pajak akan menjadi tolok ukur dalam
pelunasan tunggakan pajak. Penyampaian surat teguran, surat paksa, surat perintah
melaksanakan penyitaan, hingga pelaksanaan lelang akan terasa sia-sia apabila
tunggakan pajak dan biaya penagihannya tidak dilunasi oleh wajib pajak/penanggung
pajak.
B. HASIL ANALISIS DAN PENGUJIAN HIPOTESIS
A. Uji Asumsi Klasik
a. Hasil Uji Normalitas Data
Uji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan Normality Probability
Plot yang bertujuan untuk menguji apakah data dalam penelitian ini terdistribusi
normal atau tidak.
Gambar 4.1 Sebelum Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)
51
52
Dari dua gambar di atas dapat diketahui bahwa titik-titik data berada di sekitar
garis diagonal dan penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa data sebelum dilakukan maupun sesudah dilakukannnya
Penyanderaan (Gijzeling) dalam penelitian ini adalah data yang berdistribusi normal
yang artinya uji normalitas terpenuhi.
b. Hasil Uji Multikolinieritas
Analisis Hasil Uji Multikolinieritas dengan SPSS disajikan output pada table
Coefficients yang ada dibawah ini:
53
Coefficientsa
Model
1
Collinearity Statistics
Tolerance
VIF
(Constant)
Surat Teguran
,627
Surat Paksa
,627
a. Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak
1,596
1,596
Model
(Constant)
Surat Teguran
Surat Paksa
Collinearity Statistics
Tolerance
VIF
,894
,894
1,119
1,119
54
R Square
a
,705
Model Summaryb
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
,497
,385
Durbin-Watson
61991805,723
2,287
Durbin-Watson
1,745
Dari hasil output SPSS seperti di atas, dapat diketahui angka Durbin-Watson data
sebelum maupun sesudah dilakukannya penyanderaan masing-masing adalah sebesar
2,287 dan 1,238. Nilai-nilai ini akan dibandingkan dengan nilai table dengan
menggunakan tingkat signifikansi 5%, jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu n=12
dan jumlah variable independen k=2. Pada table Durbin-Watson akan didapat nilai dl
sebesar 0,812 dan du sebesar 1,579. Karena 2,287 > 1,579 (batas atas), dan kurang
dari 4 - 1,579, disimpulkan keputusannya tidak ada autokorelasi, baik positif maupun
negative. Sedangkan data setelah penyanderaan 1,745 > 1,579 (batas atas), dan kurang
dari 4 - 1,579, disimpulkan keputusannya tidak ada autokorelasi, baik positif maupun
negative. Jadi dapat disimpulkan dalam kedua data diatas tidak terjadi autokorelasi.
55
56
57
Kedua grafik scatterplot di atas tidak membentuk suatu pola tertentu serta
menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, artinya, tidak terdapat
heteroskedastisitas.
B. Hasil Uji Hipotesis
a. Uji R2 (Koefisien Determinasi)
Hasil Pengujian diperoleh sebagai berikut:
Tabel 4.5 Output Pengujian Koefisien Determinasi
Sebelum Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)
Model
1
R Square
a
,705
,497
Model Summaryb
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
,385
Durbin-Watson
61991805,723
2,287
Hasil output SPSS di atas menunjukkan nilai Adjusted R-Square sebesar 0,385
atau 38,5%. Hal ini menunjukkan pengertian bahwa variable dependen dalam
penelitian ini, yaitu Pencairan Tunggakan Pajak dipengaruhi atau dijelaskan oleh
variable independen dalam penelitian ini, yaitu surat teguran dan surat paksa sebesar
38,5%, sedangkan sisanya sebesar 61,5% dipengaruhi atau dijelaskan oleh faktor lain.
Faktor lain yang mempengaruhi pencairan tunggakan pajak seperti penyitaan,
pelelangan, penagihan seketika sekaligus, dan penyanderaan.
Tabel 4.6 Output Pengujian Koefisien Determinasi
Sesudah Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)
Model
1
R Square
a
,743
,551
Model Summaryb
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
,452
972508404,338
Durbin-Watson
1,745
58
surat paksa sebesar 45,2%, sedangkan sisanya sebesar 55,8% dipengaruhi atau
dijelaskan oleh faktor lain. Faktor lain yang mempengaruhi pencairan tunggakan
pajak seperti penyitaan, pelelangan, penagihan seketika sekaligus, dan penyanderaan.
b. Hasil Uji Statistic F
Dalam penelitian ini menggunakan tingkat signifikansi sebesar 0,05:
Tabel 4.7 Output Pengujian statistic F
Sebelum Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)
Model
1
Sum of Squares
Regression
ANOVAa
Df
3418299185397
6316,000
Residual
3458685579067
6228,000
Total
6876984764465
2544,000
Mean Square
1709149592698
8158,000
F
4,447
Sig.
,045b
3842983976741
803,000
11
Dalam table hasil output SPSS di atas diketahui karena signifikasi sebesar 0,045
yang lebih kecil dari 0,05, maka variable surat paksa dan surat teguran secara
simultan berpengaruh terhadap variable pencairan tunggakan pajak. Kesimpulan yang
dapat ditarik dari hasil perhitungan ini adalah adanya pengaruh signifikan antara surat
teguran dan surat paksa secara simultan terhadap pencairan tunggakan pajak yang
mendukung hipotesis penelitian ini.
59
Sum of Squares
Df
Mean Square
1046559895351
5232799476758
2
7312000,000
656000,000
Residual
8511953368573
9457725965082
9
839400,000
04420,000
Total
1897755232209
11
1150000,000
a. Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak
b. Predictors: (Constant), Surat Paksa, Surat Teguran
Regression
Sig.
,027b
5,533
Dalam table hasil output SPSS di atas diketahui karena signifikasi sebesar 0,027
yang jauh lebih kecil dari 0,05, maka variable surat paksa dan surat teguran secara
simultan berpengaruh terhadap variable pencairan tunggakan pajak. Kesimpulan yang
dapat ditarik dari hasil perhitungan ini adalah adanya pengaruh signifikan antara surat
teguran dan surat paksa secara simultan terhadap pencairan tunggakan pajak yang
mendukung hipotesis penelitian ini.
c. Hasil Uji t-statistik
Tabel 4.9 Output Pengujian t- statistik
Sebelum Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)
Coefficientsa
Model
(Constant)
Unstandardized Coefficients
B
Std. Error
109042398,223
23541828,316
Surat
Teguran
-,014
,018
Surat
Paksa
,135
,049
Standardi
zed
Coefficien
ts
Beta
Sig.
4,632
,001
-,236
-,789
,450
,824
2,759
,022
Dari table uji t-statistik di atas dapat diketahui signifikansi Surat teguran sebesar
0, 450 dan signifikansi surat paksa sebesar 0,022. Hal ini menunjukkan bahwa yang
60
lebih berpengaruh signifikan adalah surat paksa karena signifikansinya jauh lebih
kecil dari 0,05, sebaliknya variable surat teguran cukup signifikan dalam
mempengaruhi pencairan tunggakan pajak karena signifikansinya lebih kecil dari 0,05
Berdasarkan hasil tersebut, dapat diperoleh persamaan regresi, yaitu:
Y = 109.042.398,223 + 0,014 X1 + 0,135 X2
Persamaan regresi di atas menjelaskan bagaimana pengaruh surat teguran (X1)
dan Surat Paksa (X2) terhadap pencairan tunggakan pajak (Y). Hasil diatas
memberikan pemahaman bahwa jika tidak terjadi penerbitan surat teguran dan surat
paksa maka besarnya pencairan tunggakan pajak diprediksi sebesar 109.042.398,223.
Berdasarkan nilai konstanta (a). Selanjutnya nilai koefisien regresi surat teguran (b1)
= 0,014 menunjukkan bahwa setiap penambahan/penurunan satu rupiah surat teguran
maka akan meningkatkan/menurunkan pencairan tunggakan pajak sebesar 0,014
satuan. Demikian pula dengan nilai koefisien surat paksa (b2) = 0,135 menunjukkan
bahwa setiap penambahan/penurunan satu rupiah surat paksa maka akan
meningkatkan/menurunkan pencairan tunggakan pajak sebesar 0,135 satuan.
sesudah
Tabel 4.9 Output Pengujian t- statistik
Sesudah Dilakukannya Penyanderaan (Gijzeling)
Coefficientsa
Model
1
(Constant)
Unstandardized Coefficients
B
Std. Error
Standardized
Coefficients
Beta
-513248950,782 756490093,159
Surat Teguran
1,235
Surat Paksa
,507
a. Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak
,373
,607
,783
,197
Sig.
-,678
,515
3,316
,835
,009
,425
Dari table uji t-statistik di atas dapat diketahui signifikansi Surat teguran sebesar
0, 783 dan signifikansi surat paksa sebesar 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa yang
61
kedua variable surat teguran maupun surat paksa sangat tidak signifikan dalam
mempengaruhi pencairan tunggakan pajak karena signifikansinya jauh lebih tinggi
dari 0,05.
Berdasarkan hasil tersebut, dapat diperoleh persamaan regresi, yaitu:
Y = 513.248.950,782 + 1,235 X1 + 0,507 X2
Persamaan regresi di atas menjelaskan bagaimana pengaruh surat teguran (X1)
dan Surat Paksa (X2) terhadap pencairan tunggakan pajak (Y). Hasil diatas
memberikan pemahaman bahwa jika tidak terjadi penerbitan surat teguran dan surat
paksa
maka
besarnya
pencairan
tunggakan
pajak
diprediksi
sebesar
BAB V
62
A. SIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
a. Secara simultan, penagihan pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa baik
sebelum ataupun sesudah dilakukannya penyanderaan berpengaruh signifikan
terhadap pencairan tunggakan pajak, dengan tingkat signifikasi masing-masing
adalah 0,045 (sebelum) dan 0,027 (sesudah) yang lebih kecil dari 0,05. Maka
terjawab hipotesis 1 dan hipotesis 2 yaitu H1 ditolak H2 diterima.
b. Kedua variabel Surat Paksa dan Surat Teguran ini hanya dapat menjelaskan
variable pencairan tunggakan pajak sebesar 38,5% (sebelum penyanderaan) dan
45,2% (sesudah penyanderaan)
63
ini
sebelum
dilakukannya
penyanderaan
adalah
sebesar
ini
sesudah
dilakukannya
penyanderaan
adalah
sebesar
64
dari variabel Surat teguran dan Rp 0,507 rupiah setiap penambahan Rp 1,- dari
variable surat paksa.
B. SARAN
a. Hasil penelitian dalam laporan ini menunjukkan bahwa penyanderaan yang
dilakukan meningkatkan secara keseluruhan pencairan tunggakan pajak baik
yang melalui surat teguran ataupun surat paksa juga oleh variable lainnya yang
tidak bisa dijelaskan. Maka sebaiknya penyanderaan bisa dilakukan di setiap unit
kerja DJP agar bisa meningkatkan kinerja penagihan pajak secara nasional.
b. Alternatif saran lain adalah untuk memastikan diterimanya Surat Teguran oleh
wajib pajak/penanggung pajak, selain pengiriman Surat Teguran dengan jasa
pengiriman, jurusita juga mengantar sendiri salinan Surat Teguran kepada wajib
pajak/penanggung pajak.
Daftar Pustaka
65
66
67
Teguran
Paksa
Pencairan
Jan 1-15
31.319.334
205.540.267
45.726.992
Jan 16-31
7.829.833
51.385.067
135.546.925
Feb 1-15
96.914.735
127.154.636
57.194.205
Feb 16-31
236.246.344
31.788.659
145.122.218
Mar 1-15
491.738.989
109.537.359
43.624.816
Mar 16-31
1.966.955.958
27.384.340
133.194.412
Apr 1-15
22.863.981
318.862.656
207.370.236
Apr 16-30
278.052.590
1.063.118.185
213.739.584
May 1-15
121.329.538
376.350.176
165.458.895
May 16-30
30.332.384
94.087.544
152.499.354
Jun 1-15
4.415.417.690
1.521.930.476
237.071.322
Jun 16-30
135.937.102
809.506.557
299.604.427
Jul 1-15
1.217.431.602
1.162.940.013
3.527.480.145
Jul 16-30
4.869.726.409
822.786.616
20.630.982
Agus 1-15
806.643.923
1.241.991.352
248.137.065
Agus 16-31
1.081.207.092
1.698.790.471
1.131.747.071
Sep 1-15
791.842.075
1.325.408.870
422.934.101
Sep 16-30
2.314.592.367
331.352.218
2.109.950.307
Okt 1-15
225.808.874
662.704.435
648.198.314
Okt 16-31
1.487.952.236
165.676.109
425.077.789
Nov 1-15
347.188.855
331.352.218
409.414.764
Nov 16-30
Des 1-15
1.388.755.420
325.408.870
1.375.179.462
68
Des 16-31
793.574.526
828.380.544
1.697.607.998
3.198.393.631
113.522.176
4.073.424.013